• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN INSANG, OTOT DAN USUS IKAN MAS ( Cyprinus carpio) DI DESA CIBANTENG DWI SUSANTO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN INSANG, OTOT DAN USUS IKAN MAS ( Cyprinus carpio) DI DESA CIBANTENG DWI SUSANTO"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN INSANG, OTOT

DAN USUS IKAN MAS ( Cyprinus carpio) DI DESA

CIBANTENG

DWI SUSANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN INSANG, OTOT

DAN USUS IKAN MAS ( Cyprinus carpio) DI DESA

CIBANTENG

DWI SUSANTO B04104035

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

ABSTRAK

DWI SUSANTO. Gambaran Histopatologi Organ Insang, Otot dan Usus Ikan Mas (Cyprinus carpio) di Desa Cibanteng. Dibimbing oleh BAMBANG PONTJO

PRIOSOERYANTO DAN RISA TIURIA.

Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang berprotein tinggi, murah dan mudah didapat. Salah satu jenis ikan air tawar yang umum dikonsumsi dan dibudidayakan yaitu ikan mas (Cyprinus carpio). Ikan mas adalah salah satu jenis

ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Ikan ini menyebar hampir di semua tempat budidaya ikan air tawar di Indonesia. Pengelolaan kesehatan ikan pada pusat-pusat pemeliharaan ikan mas masih sangat kurang. Salah satu faktor yang menyebabkan adalah terbatasnya sumber pengetahuan tentang penyakit ikan dan dokter hewan yang ahli di bidang perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi organ insang, usus dan otot ikan mas yang disebabkan beberapa penyakit. Ikan yang dijadikan sampel berjumlah 18 ekor diambil dari kolam di Desa Cibanteng Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Organ yang diambil dibuat preparat histopat dengan pewarnaan Haematoxillin Eosin kemudian diamati perubahan histopatologinya. Hasil penelitian ini

menunjukan bahwa perubahan yang terjadi pada insang ikan mas antara lain hiperplasia epitel lamela, hemoragi, edema dan telangiektasis. Pada insang ditemukan juga cacing monogenea yang menyebabkan fusi lamela sekunder, telangeaktesis dan infiltrasi sel eosinofil. Pada otot ikan mas yang diteliti terjadi kelainan berupa nekrosa sel otot, edema, atropi otot dan degenerasi hyalin. Pada usus ikan mas paling banyak ditemukan hemoragi, nekrosa epitel vili usus dan edema epitel usus. Perubahan-perubahan patologis pada jaringan insang, otot dan usus mungkin terjadi karena infeksi parasit, bakteri, virus, jamur dan defisiensi makanan.

(4)

Judul Skripsi : Gambaran Histopatologi Organ Insang, Otot dan Usus Ikan Mas (Cyprinus carpio) di Desa Cibanteng

Nama : Dwi Susanto

NRP : B04104035

Disetujui Dosen Pembimbing :

drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D drh. Risa Tiuria, MS, Ph. D Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kapada Allah SWTRabb semesta alam dan isinya, yang menentukan seluruh kehidupan ini sehingga penuh cinta dan kasih sayang. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah kepada qudwah hasanah

nabi Muhammad SAW. yang telah mengajarkan jalan kebenaran.

Dengan penuh penghargaan dan rasa terimakasih, penulis ucapkan kepada drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D dan drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D sebagai pembimbing skripsi. Terimakasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada drh. Isdoni, M. Biomed yang dengan sabar menjadi pembimbing akademik. Terimaksih juga kepada staf lab. Histopatologi dan Helminth. Tidak lupa Ibu dan Ayah tersayang yang telah dengan keikhlasan mengucurkan keringat dan pikiran, telah mendidik penulis sampai sekarang ini. Salam cinta, ukhuwah dan perjuangan kepada sahabat-sahabatku di DPM TPB 2004, BEM FKH 2005, Himpro Ruminansia 2005, DKM An Nahl, Rohis FKH 41 dan Panitia Salam ISC 2006. Sahabat-sahabatku asteroidea 41 yang menciptakan banyak kepingan sejarahku, Hamas crew (Zu, kudik dan Hari), F4 (Ali, Fajrin, Zul, Agus), Adik-adikku angkatan 42, 43, 44 dan 45. Brother n sister 39 (mb Marwah et al.)

angkatan 40 (Daeng et al.). Sahabat perjuangan tim ikan (spesial Ivan, Reni dan

Debi).

Penulis sangat menyadari kekurangan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat. Amien.

Bogor, Agustus 2008 Penulis

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 21 Juli 1985 dari pasangan Bapak Paimo dan Ibu Suparmi. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1992-1998 di SDN manyaran V. Tahun 1998 sampai dengan 2001, penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP N 1 Manyaran. Sekolah Menengah Atas (SMA) ditempuh di SMAN 1 Wonogiri dari tahun 2001-2004. Dilanjutkan dengan pendidikan perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur USMI pada tahun 2004-2008.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan, antara lain adalah Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (DPM TPB) tahun 2004-2005. Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa FKH IPB tahun 2005-2006. Dilanjutkan dengan Dewan Keluarga Musholla (DKM) An-Nahl tahun 2005-2008. Pada tahun 2006-2007 penulis juga aktif sebagai pengurus Himpro Ruminansia. Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Pendidikan Agama Islam selama tiga semester, Asisten Histologi Veteriner selama satu semester, Asisten Pengelolaan Kesehatan dan Produksi Ternak Tropis (PKPTT) selama dua semester dan asisten Endoparasit bagian Helminthologi selama satu semester. Penulis juga pernah masuk 10 besar mahasiswa berprestasi FKH, menerima beasiswa POM, BRI, GAKA, PPA dan Goodwill Internasional.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

ABSTRAK... ii

LEMBAR PENGESAHAN... iii

KATA PENGANTAR... iv

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR GRAFIK ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Biologi ikan mas ... 3

Anatomi dan Histologi Ikan Mas ... 6

Perubahan Histopatologi pada Ikan Mas... 10

Penyakit penyakit pada Ikan Mas... 12

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Pelaksanaan ... 17

Bahan dan Alat ... 17

Metode Penelitian... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Histopatologi Organ Insang... 19

Perubahan Histopatologi Organ Otot... 26

Perubahan Histopatologi Organ Usus... 29

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 35

Saran ... 35

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Tabel 1 Jumlah rata-rata sel goblet per lima lamela sekunder... 26 2. Tabel 2 Jumlah rata-rata sel goblet dalam tiap vili usus... 33

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ikan mas (Cyprinus carpio)... 4

2. Penebalan lamela primer; Infiltrasi sel radang, proliferasi dan fusi lamela sekunder; telangiektasis; edema epitel lamela sekunder dan deskuamasi epitel lamela sekunder... 20

3. Insang normal; pembendungan lamela primer dan edema... 21

4. Fusi lamela sekunder dengan infiltrasi sel radang dan pembendungan lamela sekunder... 22

5. Hiperplasia dan fusi lamela sekunder; edema epitel lamela sekunder; trophont protozoa di antara lamela sekunder dan Sel radang eusinofil 23 6. Beberapa parasit cacing; edema dan desquamasi epitel lamela sekunder; fusi lamela sekunder; hiperplasia epitel lamela dan hiperplasia sel goblet insang... 24

7. Edema yang menyebabkan serabut otot tidak teratur; nekrosa serabut otot dan degenerasi hyalin... 28

8. Sebagaian besar otot mengalami nekrosa serabut otot; degenerasi lemak dan edema... 29

9. Pembendungan pada usus... 31

10. Edema epitel usus dan nekrosa epitel... 32

(10)

DAFTAR GRAFIK

Halaman 1. Grafik 1 Perubahan yang terjadi pada insang... 19 2. Grafik 2 Perubahan yang terjadi pada otot... 27 3. Grafik 3 Perubahan yang terjadi pada usus... 30

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang berprotein tinggi, murah dan mudah didapat. Saat ini masih sedikit jenis ikan air tawar yang dapat dibudidayakan di masyarakat. Salah satu jenis ikan air tawar yang umum dikonsumsi dan dibudidayakan yaitu ikan mas (Cyprinus carpio). Ikan mas

merupakan salah satu ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan memenuhi 46,5% produksi ikan air tawar Indonesia ( Taukhid et al. 2007). Ikan ini menyebar

hampir di semua tempat budidaya ikan air tawar di seluruh provinsi di Indonesia. Bahkan di beberapa daerah tertentu seperti di Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan budidaya ikan mas telah menjadi sumber mata pencarian masyarakat setempat. Penyediaan benih yang baik, jumlah yang cukup dan secara kontinyu menjadi hal yang sangat penting dalam mengembangkan budidaya ikan mas ini. Oleh karena itu salah satu hal yang menjadi jaminan kualitas ikan adalah kondisi kesehatannya. Hal ini mungkin masih jarang diperhatikan secara serius atau dalam porsi yang besar. Nilai produksi yang menjadi porsi terbesar yang digarap para peternak ikan mas. Padahal kondisi kesehatan ikan akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas produksi secara keseluruhan (Lingga 2002).

Data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat tahun 2008 menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan ikan khususnya ikan air tawar saat ini masih sangat terbatas. Keterbatasan pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan air tawar ini karena memang tingkat produksi yang jumlahnya belum berimbang dengan tingkat kebutuhan masyarakat. Saat ini di Kabupaten Bogor tersebar hampir puluhan peternak ikan mas mulai dari skala kecil sampai dengan skala cukup besar. Hampir seluruh sentra peternakan ikan mas di Kabupaten Bogor menggunakan kolam yang berasal dari air sungai. Kondisi lain yang dapat ditemukan di lapangan bahwa pengelolaan kesehatan ikan pada sentra peternakan ikan mas yang ada masih sangat kurang. Bahkan di beberapa tempat para pemilik

(12)

kolam hanya sekedar memelihara ikan pada kolam dan memberi pakan saja tanpa pemeriksaan atau kontrol kondisi kesehatan ikannya. Hal ini yang mendorong untuk perlu dilakukan studi atau penelitian mengenai kondisi ikan khususnya gambaran histopatologinya.

Penelitian ini akan membahas tentang gambaran perubahan histopatologi yang terlihat pada organ usus, insang dan otot ikan mas yang sampelnya diambil dari kolam ikan di Desa Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Perubahan yang terjadi pada organ tersebut dijelaskan secara deskripsi.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi secara deskripsi dari ikan mas pada organ usus, insang dan otot yang sampelnya diambil di kolam ikan di Desa Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Selain itu penelitian ini bertujuan menyediakan salah satu hasil ilmiah mengenai gambaran histopatologi yang terjadi pada organ usus, insang dan otot ikan mas yang masih tersedia dalam jumlah yang terbatas.

(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Mas 2.1.1 Taksonomi ikan mas

Ikan mas (Cyprinus carpio) dalam taksonomi masuk ke dalam kingdom

animalia, filum chordata, sub filum vertebrata, kelas pisces, sub kelas teleostei, ordo osteriophysi, sub ordo cyprinoidea, famili cyprinidae dan genus Cyprinus. Ikan yang menjadi sampel penelitian ini termasuk ke dalam spesies Cyprinus carpio (Santoso 1999).

2.1.2 Sejarah ikan mas

Ikan mas pertama kali masuk ke Indonesia berasal dari daratan Eropa dan China yang kemudian berkembang menjadi ikan budidaya yang sangat penting. Ikan mas berkembang membentuk beberapa ras atau strain. Strain-strain yang ada terbentuk secara alami maupun rekayasa dalam waktu cukup lama. Ras-ras ikan mas berwarna gelap diduga berasal dari Eropa dan warna terang berasal dari China (Suseno 1994).

Pada tahun 1927 dan 1930 dari Belanda ke Indonesia dimasukkan dua ras ikan mas yaitu ras galisia (karper gajah) dan ras frankisia (karper kaca). Dua ras ini sangat disukai karena kualitas dagingnya yang baik, memiliki duri yang sedikit dan lebih cepat berkembang dibandingkan ras lokal. Pada tahun 1974 Indonesia mengimpor ikan mas ras taiwan, ras jerman, dan ras fancy carp masing-masing

dari Taiwan, Jerman dan Jepang. Pada tahun 1977 diimpor lagi ikan mas ras yamato dan ras koi dari Jepang. Dalam perjalanannya ikan-ikan tersebut ada yang disilangkan dengan ras lokal dan hanya beberapa saja yang masih dapat ditemukan ras murninya, misalnya ikan mas koi. Sedangkan Indonesia sendiri memiliki beberapa ras lokal seperti ras si nyonya, punten majalaya, merah, biru, hijau, putih, hitam, kumpay dan kancra domas. Ikan mas sejarahnya berasal dari sungai Danube dan laut Hitam. Pada awalnya ikan mas termasuk ikan liar, karena sifatnya yang mudah berkembang biak dalam berbagai jenis dan kualitas air tawar menyebabkan ikan ini menyebar ke seluruh dunia (Santoso 1999).

(14)

2.1.3 Morfologi

Gambar 1 Ikan mas (Cyprinus carpio)

Tubuh ikan mas agak memanjang dan memipih tegak (compressed).

Mulut terletak di ujung tengah dan dapat disembulkan (protaktil). Bagian anterior mulut terdapat dua pasang sungut. Secara umum permukaan tubuh ikan mas tertutup sisik, sisik ikan mas relatif besar dan digolongkan sisik tipe sikloid. Selain itu tubuh ikan mas juga dilengkapi dengan sirip. Sirip punggung (dorsal) berukuran relatif panjang dengan bagian belakang berjari-jari keras dan sirip terakhir yaitu sirip ketiga dan keempat bergerigi. Letak permukaan sirip punggung berseberangan dengan permukaan sirip perut (ventral), sedangkan sirip anus yang terakhir bergerigi. Linea lateralis (gurat sisi) terletak di pertengahan tubuh,

melintang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor. Gigi kerongkongan terdiri dari tiga baris yang berbentuk gigi geraham (Suseno 1994). 2.1.4 Habitat

Ikan mas dapat dibudi dayakan hampir pada semua jenis kolam baik kolam yang airnya mengalir deras atau kolam berair tenang. Ikan mas juga dapat tumbuh baik di sungai, danau, waduk atau kolam buatan. Kondisi optimal untuk pertumbuhan ikan mas yaitu pada ketinggian antara 150-1.000 meter di atas permukaan laut, suhu air antara 200 – 250 C dan pH air antara 7-8 (Santoso 1999). Ikan mas termasuk jenis ikan yang bersifat termofil karena mampu menyesuaikan diri dengan suhu lingkungan yang tinggi. Ikan mas masih dapat tumbuh pada suhu 350C. Ikan mas dapat hidup dengan kandungan oksigen air kurang dari 4mg/L,

(15)

kandungan nitrit kurang dari 0,1mg/L, kandungan nitrat kurang dari 0,25 mg/L serta kandungan amonia kurang dari 0,6 mg/L (Boyd 1979).

2.1.5 Makanan

Ikan mas termasuk golongan ikan pemakan segala (omnivora). Pada ikan muda (ukuran 10 cm), ikan mas senang memakan jasad hewan atau tumbuhan yang tumbuh di dasar kolam seperti Chironomidae, Olighochaeta, Tubificidae, Epimidae dan Trichoptera. Beberapa protozoa dan zooplankton seperti copepoda dan cladocera juga biasa menjadi makanan ikan mas. Ikan mas biasa mencari makanan di sekeliling pematang dan mengaduk-aduk dasar kolam atau perairan agar sumber makanan di dasar kolam atau perairan terbuka dan dapat dimakan (Santoso 1999). Makanan alami kebul (istilah untuk fase ikan mas setelah larva) adalah zooplankton seperti Rotifera, Nauplii, Moina, dan Daphnia (Suseno 1994). Pada ikan muda biasanya memakan invertebrata yang tinggal di dasar air. Setelah usia bertambah ikan jenis ini memakan zooplankton, antara lain Rotifera, copepoda, dan ganggang. Sedangkan ikan dewasa akan memakan banyak organisme seperti serangga, binatang berkulit keras, anelida, kerang-kerangan dan sisa ikan (Anonim 2008)

2.1.6 Siklus Hidup

Siklus reproduksi ikan mas dimulai di dalam gonad, yaitu ovarium pada ikan betina dan testis pada ikan jantan. Dari ovarium dihasilkan telur dan dari testis akan di hasilkan spermatozoa. Perkawinan ikan mas dapat terjadi sepanjang tahun karena tidak mengenal musim. Biasanya perkawinan ikan mas terjadi pada malam hari sampai menjelang fajar. Telur ikan mas akan menempel pada rumput, daun, atau material penutup kolam. Telur ikan mas berbentuk bulat, bening, dan ukuran yang bervariasi menurut umur dan berat badan induk. Diameter telur ikan mas antara 1,5-1,8 mm dan beratnya antara 0,17-0,20 mg. Embrio yang tumbuh dalam telur yang sudah dibuahi akan menetas menjadi larva setelah 2-3 hari. Larva ikan mas biasanya menempel dan bergerak vertikal. Ciri morfologinya antara lain berukuran panjang antara 0,5-0,6 mm dan beratnya antara 0,18-20,0mg. Larva kemudian berubah menjadi benih (kebul) yang memerlukan makanan dari luar tubuh.. Jumlah makanan kebul mencapai 60-70% berat

(16)

badannya. Setelah 2-3minggu, kebul tumbuh menjadi burayak. Burayak ini memiliki ukuran 1-3 cm dan beratnya sekitar 0,1-0,5 gr. Dua sampai tiga minggu kemudian burayak tumbuh menjadi putihan. Putihan ini berukuran antara 3-5 cm dan beratnya antara 0,5-2,5 gr. Putihan secara alami tumbuh terus dan setelah tiga bulan menjadi gelondongan dan beratnya akan mencapai 100 gr per ekornya. Setelah enam bulan ikan jantan dapat mencapai 0,5 kg dan dalam 15 bulan ikan betina dapat mencapai 1,5 kg (Lingga 2002).

2.2 Anatomi dan Histologi Ikan Mas 2.2.1 Sistem Respirasi (Insang)

Insang merupakan alat respirasi ikan seperti paru-paru pada mamalia atau hewan darat lainnya. Luas permukaan epitel insang hampir setara dengan luas total permukaan kulit, bahkan pada sebagian besar spesies ikan luas permukaan epitel insang ini jauh melebihi kulit. Fungsi lain dari insang yaitu mengatur homeostasis ikan. Lapisan epitel insang yang tipis dan berhubungan langsung dengan lingkungan luar menyebabkan insang berpeluang besar terinfeksi penyakit. Insang juga berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air, pengeluaran limbah-limbah yang mengandung nitrogen. Kerusakan struktur yang ringan sekalipun dapat sangat mengganggu pengaturan osmose dan kesulitan pernafasan (Nabib dan Pasaribu 1989).

Insang terdiri dari dua rangkaian yang tersusun atas empat lengkungan tulang rawan dan tulang keras (holobrankhia) yang menyusun sisi faring. Masing-masing holobrankhia yang menonjol dari pangkal posterior lengkung insang. Hemibrankhia terdiri dari dua baris filamen tipis panjang yang disebut lamela primer. Lamela primer permukaannya mengalami perluasan oleh adanya lamela sekunder yang merupakan lipatan semilunar yang menutupi permukaan dorsal dan ventral. Insang juga dilengkapi dengan lapisan sel-sel penghasil mukus dan sel-sel yang mengekresi amonia dan kelebihan garam. Pada bagian tepi tengah anterior dilengkapi stuktur (gill rakers) yang berperan menyaring partikel-partikel pakan

(Roberts 2001).

Insang memiliki beberapa glandula yang disebut dengan glandula brankhial. Glandula brankhial merupakan sel-sel epitel insang yang mengalami

(17)

diferensiasi. Glandula tersebut adalah glandula mukosa dan glandula asidofilik (sel-sel khlorida). Glandula mukosa berupa sejumlah sel-sel tunggal berbentuk buah pear atau oval yang terletak pada lengkung insang, filamen insang maupun lamela sekunder. Glandula ini berfungsi menghasilkan mukus glikoprotein yang bersifat basa atau netral. Fungsi mukus tersebut antara lain: sebagai perlindungan atau proteksi, menurunkan terjadinya friksi atau gesekan, antipatogen, membantu pertukaran ion, membantu pertukaran gas dan air (Irianto 2005).

2.2.2 Sistem Pencernaan

Sistem pencernaan ikan pada dasarnya terdiri dari dua bagian yaitu saluran pencernaan dan kelenjar pencernaan. Setiap spesies ikan memiliki bermacam-macam variasi saluran cerna dan kelenjarnya. Saluran pencernaan ikan terdiri dari rongga mulut, pharing, esofagus, lambung, dan usus. Pada ikan Cyprinids lambung hanya berupa perluasan usus anterior. Struktur histologi saluran pencernaan ikan secara umum sama dengan struktur histologi vertebrata. Lapisan saluran pencernakan ikan terdiri dari mukosa, sub mukosa, muskularis, dan serosa. Lapisan mukosa terdiri dari epitel, lamina basalis, lamina propria, dan mukosa muskularis. Lapisan sub mukosa terdiri dari stratum kompaktum dan stratum granulosum. Lapisan muskularis merupakan lapisan otot yang terdiri dari otot sirkuler dan otot memanjang (Hibiya 1995).

Lambung ikan umumnya berbentuk sigmoid yang melengkung dengan banyak lipatan pada dinding dalamnya. Lapisan otot lambung depan didominasi oleh otot bergaris melintang dan berganti otot licin pada bagian belakangnya. Terdapat sejumlah lapisan otot yang berbatas dengan suatu muskularis mukosa, dan lapisan-lapisan jaringan ikat, yang sering dipenuhi dengan sel-sel eosinofil. Mukosa lambung sangat berlendir yang dihasilkan oleh beberapa kelenjar pada bagian dasar dari lipatan-lipatan (Roberts 2001).

Meskipun panjang usus ikan bisa berbeda-beda sesuai dengan makanannya, tetapi kebanyakan usus ikan merupakan suatu tabung sederhana yang tidak dapat bertambah diameternya untuk membentuk seperti kolon dibagian belakangnya. Usus bisa lurus, melengkung atau bergulung-gulung sesuai dengan bentuk dari rongga perut ikan. Usus mempunyai suatu epitel silindris sederhana

(18)

yang berlendir menutupi suatu sub-mukosa yang mengandung sel eosinofilik yang dibatasi oleh suatu lapisan muskularis mukosa yang rapat dan lapisan fibroelastik. Rektum pada ikan berdinding lebih tebal dari pada usus dan sangat berlendir serta dapat sangat berkembang (Nabib dan Pasaribu 1989).

2.2.3 Sistem Integumen

Kulit ikan disusun oleh dua lapisan yaitu epidermis dan dermis. Lapisan terluar adalah epidermis yang menutupi tubuh ikan. Lapisan epidermis dibatasi oleh dermis yang merupakan lapisan di dalamnya. Epidermis dan dermis mengandung beberapa organ reseptor, alat keseimbangan, kelenjar ekskresi, kelenjar pertahanan dan kelanjar minyak yang khusus setiap spesiesnya (Hibiya 1995).

Epidermis disusun oleh beberapa lapisan sel epitel dan berhubungan dengan membran basal. Sel epitel biasanya tidak berkeratin, tetapi permukaannya dilindungi oleh cairan mukus. Pada lapisan epidermis selain epitel juga ada beberapa jenis sel lain, misalnya sel penghasil mukus dan sel yang baru tumbuh. Selain itu juga ada beberapa sel yang berpindah atau ada karena reaksi misalnya limfosit atau makrofag yang dapat kita temukan pada beberapa kasus (Hibiya 1995).

Lapisan dermis terbentuk dari kolagen yang berfungsi sebagai penghubung. Pada lapisan ini ada pigmen yang fungsinya memberikan warna pada ikan. Letak lapisan pigmen ini biasanya di bawah epidermis. Pada dermis terdapat alat keseimbangan yang terdiri dari lapisan dalam dan lapisan luar. Lapisan luar adalah lapisan keras yang tersusun dari sel-sel tulang dan lapisan dalam merupakan jaringan kolagen (Hibiya 1995).

Kulit merupakan pelindung pertama terhadap perubahan lingkungan serta serangan patogen dari luar tubuh. Lapisan kulit terdiri atas kutikula, epidermis, membran basalis, dermis dan hipodermis. Ikan tidak memiliki lapisan keratin pada epidermisnya, tetapi dilapisi oleh kutikula yang memiliki mukus, mukopolosakarida, immunoglobulin spesifik, lisosim dan sejumlah asam lemak bebas. Sel lain yang ada pada lapisan epidermis yaitu sel-sel goblet yang berperan dalam sekresi mukus. Mukus memiliki kemampuan protektif bagi hewan karena

(19)

mukus melapisi permukaan tubuh sehingga mempermudah gerakan saat berenang, membentuk lapisan pelindung dari infeksi agen patogenik dan mengandung senyawa anti mikroba, melindungi permukaan tubuh dari abrasi, dan berperan dalam proses osmoregulator (Irianto 2005).

Sisik dan kulit merupakan bagian dari sistim pelindungan fisik tubuh ikan. Pada umumnya kerusakan sisik dan kulit dapat terjadi akibat penanganan (handling stress), kelebihan populasi, dan infeksi parasit. Kelebihan populasi

(overcrowded) atau multi kultur dapat menyebabkan trauma akibat berkelahi disertai lepasnya sisik dan kerusakan kulit. Infestasi parasit dapat pula menyebabkan gangguan berupa kerusakan insang, kulit, sirip serta kehilangan sisik. Kerusakan pada sisik dan kulit akan mempermudah patogen menginvasi inang. Banyak kasus menunjukkan bahwa kematian ikan sebenarnya akibat dari infeksi sekunder oleh bakteri sebagai kelanjutan infestasi parasit yang berat dan berakibat pada kerusakan pelindung fisik tubuh seperti mukus, kulit dan sisik (Irianto 2005).

2.2.4 Sistem Muskuloskeletal (Otot)

Otot ikan seperti pada vertebrata tersusun atas bagian-bagian kecil yang disebut dengan serabut otot. Secara morfologi dan fungsi otot dibagi menjadi dua yaitu otot halus dan otot lurik. Otot lurik dibagi lagi menjadi otot tulang dan otot jantung. Otot tulang bekerja sama dengan tulang dalam sistem muskuloskeletal dan menyusun bentuk tubuh ikan. Otot halus dapat ditemukan pada dinding pembuluh darah, saluran pencernaan, buluh empedu, dan buluh pankreas. Sedangkan otot lurik jantung merupakan otot khusus penyusun organ jantung (Hibiya 1995).

Serabut otot halus panjang berbentuk gelendong. Otot ini berfungsi dalam kontraksi beberapa organ pencernaan dan membentuk struktur pembuluh darah, buluh empedu, dan buluh pankreas. Otot halus biasanya tersusun dari satu atau beberapa gelondong serabut otot. Di dalam beberapa lapisan terdapat fibroblast, kolagen, dan jaringan ikat lunak lainnya. Selain itu terdapat pembuluh darah dan serabut syaraf sebagai sistem koordinasi gerakan (Hibiya 1995).

(20)

Otot lurik merupakan komponen utama pembentuk daging pada ikan. Serabut otot lurik terdiri atas sarkoplasma, myofibril, nukleus dan sarkolema. Sarkoplasma mengisi ruang di antara myofibril. Terutama terdapat di sekitar nukleus dan dekat akhir dari inervasi syaraf serabut itu. Sarkoplasma adalah pemasok bahan makanan dan berperan penting dalam kontraksi otot. Nukleus berbentuk oval atau gelendong yang tajam dan bervariasi di dalam beberapa ukuran (Hibiya 1995).

Hasil pemeriksaan histopatologi dan biokimia dari otot ikan ternyata terdapat sejumlah tipe serabut otot yang pada banyak spesies ikan tersusun dalam banyak kelompok-kelompok yang terpisah. Umumnya ada dua kelompok yaitu, kelompok muskularis lateralis superfisialis terdiri atas yang disebut otot merah dan kelompok muskularis lateralis profundus yang terdiri atas serabut-serabut putih. Serabut-serabut merah ini adalah serabut aerobik dan berdaya kontraksi lamban dan banyak pembuluh darah, serupa dengan serabut-serabut merah pada otot mamalia, sedangkan serabut-serabut putih adalah anaerob berdaya kontraksi cepat dan mudah menderita kerusakan. Diantara lapisan otot-otot merah dan putih terdapat serabut merah muda yang fungsinya berada diantara serabut-serabut merah dan putih. Serabut aerobik berarti dalam kontraksinya memerlukan oksigen sebagai bahan bakar metabolismenya sedangkan serabut anaerobik tidak menggunakan oksigen (Nabib dan Pasaribu 1989).

2.3 Perubahan Histopatologi pada Ikan Mas. 2.3.1 Perubahan Histopatologi pada Insang

Insang merupakan komponen utama sistem respirasi ikan. Beberapa perubahan histopatologi pada insang yang umum terjadi antara lain: perubahan regresif, anomali sirkulasi, dan perubahan progresif. Banyak agen patologis menyebabkan edema, vakuolasi, nekrosa lamela sekunder, dan sekresi mukus berlebihan sampai kematian sel mukus. Umumnya edema akan disertai radang yang dapat diketahui dari infiltrasi sel-sel radang sebagai reaksi pertahanan (Hibiya 1995).

Secara mikroskopis pada lamela sekunder dapat kita temukan eritrosit di dalam lumen-lumen kapiler. Kadang-kadang darah ini menumpuk menjadi

(21)

kongesti atau menyebar ke jaringan menjadi hemoragi. Edema atau penumpukan darah pada kapiler dapat mendorong telangiektasis. Telangiektasis terlihat berupa perbesaran lamela sekunder yang berbentuk seperti bola. Hiperplasia sel epitel pada lamela primer dan sekunder dapat terjadi karena terpapar agen fisik atau kimia. Hiperplasia sel mukus, menempelnya lamela-lamela sekunder, dan hiperplasia sel epitel lamela sekunder biasanya terjadi sebagai respon kronis karena paparan bakteri, parasit, atau agen kimia. Pada kondisi kronis sekali lamela sekunder sudah tidak berbentuk normal lagi tetapi saling menempel sehingga lamela primer tampak seperti pemukul base ball. Kondisi ini biasa disebut clubing

lamela insang (Hibiya 1995).

2.3.2 Perubahan Histopatologi pada Usus

Perubahan degeneratif yang sering terjadi pada saluran pencernaan ikan terutama usus yaitu atropi sel-sel epitel mukosa, nekrosa sel-sel epitel mukosa, dan deskuamasi sel epitel yang disertai infiltrasi sel limfosit ke lapisan lamina propia dan sub mukosa. Selain itu dapat juga terjadi dilatasi lumen usus, perdarahan, dan kongesti atau pembendungan pembuluh darah. Ulser dan deskuamasi menyebabkan mukosa terlepas dari submukosanya disertai perdarahan. Hal ini bisa terjadi karena parasit atau benda asing lainnya. Infiltrasi sel limfosit, leukosit, dan hipertrofi jaringan ikat akan mengikuti kelainan ini (Hibiya 1995).

Hipertrofi lapisan mukosa juga dapat terjadi sehingga lumen akan menyempit karena vili-vili usus akan menebal. Pada kondisi kronis hal ini dapat menyebabkan hiperplasia sel-sel goblet yang jumlahnya akan meningkat drastis. Beberapa kasus tumor lapisan usus dan kelenjar pencernaan dapat kita temukan juga pada tampilan histopatologinya (Hibiya 1995).

2.3.3 Perubahan Histopatologi pada Otot

Perubahan patologis pada otot ikan yang ditemukan pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan perubahan patologis pada otot vertebrata. Hasil penelitian para ahli patologi ikan saat ini masih belum cukup untuk menjelaskan perubahan patologis yang terjadi. Oleh karena itu penelitian patologi ikan masih sangat

(22)

diperlukan. Perubahan serabut yang tidak menjadi jelas dapat menunjukkan adanya kelainan. Perubahan ini dapat terjadi sebagian atau menyeluruh tergantung derajat keparahannya.

Perubahan patologis yang terjadi pada otot antara lain perubahan serabut otot, perubahan nukleus sel otot, bengkak berawan (cloudy swelling), degenerasi

hyalin, degenerasi granular, degenerasi lemak sampai nekrosa serabut otot. Infiltrasi sel-sel radang menunjukan adanya reaksi patologis yang terjadi pada otot. Sel-sel radang yang tampak dapat menunjukan derajat keparahannya dan membantu menentukan kausanya. Jenis-jenis sel radang yang bisa ditemui antara lain limfosit, neutrofil, histiosit, dan fibroblast dari endomysium. Hemoragi pada jaringan dan kongesti pembuluh darah dapat diidentifikasi dari adanya eritrosit pada preparat histopatologinya. Edema merupakan bentuk patologi karena adanya penumpukan cairan pada rongga-rongga antar serabut otot. Edema akan menyebabkan lokasi antar serabut menjauh dan meregang (Hibiya 1995).

2.3 Penyakit-penyakit pada Ikan Mas. 2.3.1 Penyakit infeksius pada ikan mas

Penyakit ikan pada dasarnya dibagi menjadi dua kelompok yaitu penyakit ikan infeksius dan penyakit ikan non infeksius. Penyakit ikan infeksius disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit. Sedangkan penyakit non infeksius disebabkan oleh gangguan fisik seperti trauma fisik, zat kimia, pH dan kekurangan nutrisi atau zat makanan. Virus yang sering menyerang ikan mas adalah Koi Herpes Virus (KHV). Badan inklusi merupakan ciri spesifik yang menandakan gangguan virus ini. KHV menyebabkan hiperplasia lamela sekunder insang ikan mas, selain itu pada pemeriksaan darah akan menunjukan peningkatan leukosit yang drastis (Amalia 2006). Koi Herpes Virus (KHV), merupakan penyakit virus yang dikenal ganas sehingga meyebabkan kematian massal pada ikan mas. Kasus kematian massal ikan mas karena KHV telah menyebar ke beberapa negara di dunia (Oata 2001).

Jenis parasit ikan air tawar (lele, mas, gurami, mujair dan patin) yang ditemukan pada lokasi pemantauan di wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten dan DI Yogyakarta adalah : Trichodina sp, Dactylogyrus sp, Gyrodactylus sp,

(23)

Ichthyopthirius sp, Glossatella sp, Glocidium sp dan Copepoda sp. Jenis parasit

yang dominan ditemukan adalah Trichodina sp dan Dactylogyrus sp. Jenis bakteri

ikan air tawar yang ditemukan pada lokasi pemantauan di wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten dan DI Yogyakarta adalah : Aeromonas hydrophila, Edwardsiella sp, Pseudomonas sp, Staphylococcus sp dan Micrococcus sp. Jenis

bakteri yang dominan ditemukan adalah Aeromonas hydrophila. Pemeriksaan

virus Koi Herpes virus (KHV) pada lokasi pemantauan di wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten dan Yogyakarta sebanyak 5 pemantauan menunjukkan hasil positif 20% dan negatif 80% (Anonim 2008a).

Parasit yang menyerang ikan air tawar ada tujuh macam yaitu protozoa, coelenterata, trematoda, nematoda, cestoda, moluska, dan arthropoda (Markevich, 1963). Parasit yang biasa menyerang ikan yang dibudidayakan di kolam termasuk ikan mas adalah protozoa dan cacing. Protozoa dari golongan ciliata seperti

Ichthiophthirius multifiliis, Trichodina sp. dan Epistylis sp. merupakan jenis

protozoa yang banyak ditemukan pada ikan mas (Hoole et al 2001). Trichodina

sp. adalah jenis protozoa yang digolongkan ke dalam filum protozoa, sub pilum Ciliophora, sub kelas Peritrichia, ordo Mobilina, Famili Urceolariidae dan genus Trichodina (Hoffman 1967). Gejala klinis dari protozoa ini yaitu peningkatan mukus, letarghi, kerusakan kulit dan sirip. Hiperplasia sekunder dan hipertropi epitel insang akan terlihat pada kondisi kronis. Trikodiniasis menular melalui kontak langsung dengan ikan atau air yang terkontaminasi (Irianto 2005).

Ichthiophthirius multifiliis adalah jenis parasit yang digolongkan ke

dalam phylum protozoa, subphylum Ciliophora, kelas Ciliate, subkelas Holotichia, ordo Hymenostomatida, famili Ophryoglenidae dan genus

Ichthiophthirius multifiliis (Hoffman 1967). Parasit ini menyebabkan white spot disease atau ich dan menginfeksi kulit, insang dan mata beberapa spesies ikan air

tawar. Gejala klinis yang terlihat adalah erupsi berat pada kulit. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada ikan (Noble dan Noble 1989).

Cacing termasuk parasit yang banyak menyerang ikan air tawar. Beberapa cacing trematoda dan cestoda sering ditemukan pada ikan air tawar. Trematoda monogenea merupakan parasit di kulit dan insang yang dapat menjadi indikasi kondisi sanitasi. Infestasi cacing ini menyebabkan iritasi, luka yang

(24)

dalam pada kulit, produksi mukus meningkat dan hiperplasia epitel. Luka yang terjadi dapat diikuti infeksi sekunder oleh bakteri dan agen lainnya (Irianto 2005). Ada dua ordo dari kelas monogenea yang biasa menyerang ikan air tawar. Ordo pertama Gyrodactylus dan ordo kedua yaitu Dactylogyrus. Trematoda monogenea berbentuk pipih dengan ujung anterior yang dilengkapi alat penempel berpengait serta alat hisap (sucker). Beberapa spesies memiliki alat hisap di ventral tubuh atau di posterior. Seluruh trematoda monogenea adalah hermaprodit dan memiliki siklus hidup langsung. Gyrodactylus berhabitat di kulit dan insang, berbentuk

seperti daun, tanpa bintik mata, ujung kepala seperti huruf V serta memiliki orgen untuk menempel (opisthohaptor) dengan dua anchor (kait berbentuk jangkar). Setiap anchor memiliki rata-rata 16 kait kecil. Cacing dewas bersifat vivipar, yaitu melepaskan larva yang berbentuk seperti cacing dewasa. Larva ini akan menempel pada insang atau kulit ikan. Cacing dewasa Dactylogyrus memiliki dua atau empat bintik mata dan memiliki alat menempel yang berbentuk jangkar (opisthohaptor). Dactylogyrus bersifat ovipar sehingga cacing dewasa akan melepaskan telur yang menetas menjadi larva. Larva Dactylogyrus memiliki bulu getar sebagai alat gerak di air untuk menuju inang (Markevich 1963).

Dactylogyrus cenderung melekat pada insang dengan haptor, menginfeksi hampir semua ikan air tawar terutama cryprinid. Hal ini merangsang sekresi mukus berlebihan dan dapat menyebabkan tepi lamella insang tercabik atau luka. Pada infeksi berat akan mengganggu penyerapan oksigen sehingga ikan akan kekurangan oksigen. Dactylogyrus membebaskan telur ke kolam kemudian

menetas menjadi larva berbulu getar yang berenang bebas hingga menemukan inang yang sesuai. Waktu yang diperlukan dari telur hingga menjadi individu dewasa sangat tergantung suhu, pada suhu 8,5-9 0C hanya perlu beberapa hari, adapun pada suhu yang lebih rendah akan berlangsung beberapa minggu hingga beberapa bulan (Irianto 2005). Trematoda dari ordo Digenea juga ada yang menyerang ikan air tawar. Digenea berbeda dengan Monogenea karena memiliki siklus hidup tidak langsung, sehingga memerlukan inang antara dalam siklus hidupnya (Paperna 1996).

Cestoda merupakan endoparasit yang memiliki bentuk khas yang dapat menginfeksi ikan. Cacing dewasa hidup di usus ikan dan akan melepaskan telur

(25)

yang mengandung calon skolek dewasa bersama feses inang definitifnya. Telur ini akan termakan inang antara dan akan menjadi protoskolek, apabila protoskolek ini termakan inang definitif akan menjadi dewasa. Cestoda memiliki kepala (skolek) yang dilengkapi batil hisap (suker atau bothria), leher dan segmen-segmen (strobila). Di dalam segmen inilah terdapat testis dan ovarium sebagai alat reproduksi, karena cestoda selain Dioecocestus adalah hermaprodit (Markevich 1963). Beberapa cestoda yang sering menyerang ikan mas antara lain Ligula intestinalis, Bothriocephalus acheilognathi dan Khawia sinensis (Anonim

2008b). Cestoda dapat menginfeksi saluran pencernaan, jaringan otot atau organ lain. Pleroserkoid menyebabkan penurunan kualitas karkas ikan jika dijumpai pada jaringan otot dan menyebabkan gangguan reproduksi jika menginfeksi organ kelamin. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa infeksi cestoda juga menyebabkan kerusakan sejumlah organ seperti otak, mata dan jantung (Irianto 2005).

Beberapa bakteri dari famili pseudomonadaceae ditemukan dapat menyebabkan kelainan patologis pada ikan Cyprinid. Bakteri Aeromonas liquefaciens, Aeromonas hidrophila dan Pseudomonas fluorescens dapat

menyebabkan hemoragi septisemia. Bakteri ini menyebabkan penyakit hemoragi septisemia atau Infectious dropsy (Rubella; Redmouth; Red Pest; Fresh Water Eel Disease) (Bullock 1971). Aeromonas hidrophila merupakan bekteri gram negatif,

berbentuk batang dan motil. Bakteri ini menyebabkan hemoragi septicemia atau MAS (Motile Aeromonas Septicaemia) pada beragam spesies ikan air tawar

(Irianto 2005). Gejala klinis infeksi Aeromonas hidrophila bervariasi, tetapi

umumnya ditunjukkan adanya hemoragi pada kulit, insang, rongga mulut dan borok pada kulit yang dapat meluas ke jaringan otot. Gejala klinis lainya seperti eksoptalmia, asites, pembengkakan limpa dan ginjal. Secara histopatologi tampak terjadinya nekrosa pada limpa, hati, ginjal dan jantung. Seringkali bakterimia ditandai oleh penampakan sel-sel bakteri pada jaringan tersebut (Irianto 2005).

Pseudomonas fluorescens merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang, dan

motil dengan flagella. Pseudomonas fluorescens menyerang ikan air tawar dan

merupakan patogen oportunistik. Secara umum tanda-tanda klinis infeksi

(26)

hemoraghik septicemia, hemoraghik pada insang dan ekor serta borok pada kulit (Irianto 2005).

2.3.2 Penyakit non infeksius pada ikan mas

Penyakit non infeksius disebabkan oleh gangguan fisik seperti benturan, zat kimia, pH dan kekurangan nutrisi atau zat makanan. Defisiensi zat makanan terjadi karena kekurangan protein atau asam amino yang akan menyebabkan pertumbuhan terganggu (Roberts 2001). Defisiensi vitamin juga akan menyebabkan abnormalitas pada ikan. Defisiensi vitamin C menyebabkan skoliosis, hemoragi eksternal, erosi sirip dan melanosis (Irianto 2005). Defisiensi vitamin C pada ikan menyebabkan lordosis, skoliosis, stress, fraktur dan deformitas lamelar insang. Perubahan patologi akibat dari defisiensi vitamin E yaitu degenerasi hyalin pada otot, infiltrasi lemak subepikardial dan proliferasi fibroblast (Roberts 2001). Zat kimia seperti pestisida yang digunakan untuk memberantas hama ikan terkadang berakibat buruk pada ikan. Salah satu diantaranya yaitu pyretrin yang sangat toksik bagi ikan dalam dosis rendah.

Piretrin mempunyai sifat menghambat fungsi respirasi. Pestisida lain toxisitasnya relatif rendah apabila tercerna bersama makanan, tetapi berbahaya bila terakumulasi di dalam tubuh organisme lain yang menjadi makanan ikan (Roberts 2001). Gangguan fisik pada ikan terjadi karena penanganan ikan yang kurang tepat, misalnya benturan, wadah yang terlalu kecil atau populasi yang terlalu padat. Beberapa gas tertentu juga dapat menyebabkan gangguan pada ikan air tawar. Kekurangan gas oksigen, nitrogen atau gas lain dapat menyebabkan kematian pada ikan. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi kesehatan ikan antara lain suhu, cahaya, pH dan kepadatan populasi (Irianto 2005).

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2007 sampai dengan Maret 2008. Sedangkan tempat penelitian dilakukan di dua laboratorium yaitu Laboratorium Helminthologi bagian Helminthologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner serta Laboratorium Histopatologi bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah organ usus, otot, insang ikan mas, xylol, formalin 10%, eosin, Mayer,s haematoxillin, alkohol

absolute, alkohol 95%, alkohol 85% dan lithium karbonat. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: gelas obyek, penutup gelas obyek, mesin mikrotom, mikroskop, skalpel, gunting, dan kaset plastik tempat blok parafin.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengambilan sampel

Sampel diambil dari sebuah kolam ikan air tawar di Desa Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Jumlah ikan mas yang diambil yaitu 18 ekor ikan mas dengan berbagi variasi ukuran dengan berat minimal 200 gram. Ikan yang dijadikan sampel ada dua warna yaitu ikan mas warna kuning dan ikan mas warna hitam.

3.3.2 Pembuatan preparat histopatologi

Ikan dinekropsi kemudian diambil sebagian organ usus, otot, insang dan diawetkan dalam larutan fiksatif Bufer Netral Formalin (BNF) 10% selama 1-2 hari. Setelah itu organ ditrimming dan dimasukkan ke dalam kaset plastik untuk dibuat blok lilin. Blok lilin yang terbentuk di potong dengan menggunakan mesin mikrotom dan diletakkan di gelas objek. Setelah itu dilakukan pewarnaan HE

(28)

(Haematoxillin Eosin). Pertama kali dimasukan ke dalam xylol I, xylol II, alkohol absolut, alkohol 95% dan alkohol 85% masing-masing selama dua menit. Setelah itu secara berurutan dicuci dengan air kran selama satu menit, direndam pada larutan pewarna Haematoxilin selama delapan menit, dicuci dengan air kran selama 30 detik, dimasukkan ke lithium carbonat selama 15-30 detik, kemudian dicuci dengan air kran selama 2 menit dan dimasukkan ke eosin selama 2-3 menit. Setelah itu secara berlawanan seperti perlakuan awal di celupkan ke dalam alkohol 85%, alkohol 95%, alkohol absolut, xylol I dan xylol II masing-masing dua menit. Preparat di keringkan dan ditutup dengan cover glass yang diberi

perekat (Humason 1985).

3.3.3 Pengamatan preparat histopatologi dan pengambilan gambar

Preparat yang sudah siap diamati dengan mikroskop cahaya. Perbesaran yang digunakan bervariasi mulai dari perbesaran obyektif 4X, 10X, 40X dan 100X. Khusus pada perbesaran obyektif 100X digunakan minyak emersi. Setelah selesai pengamatan dilakukan pengambilan gambar preparat. Pada organ insang dan usus dihitung jumlah sel goblet pada epitelnya. Pada usus dihitung jumlah sel goblet pada tiga vili usus kemudian dibuat rata-rata sel goblet tiap vili usus. Pada insang di hitung jumlah sel goblet pada lima lamela sekunder di tiga lamela primer dan dibuat rata-rata sel goblet pada lamela sekunder.

(29)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perubahan Histopatologi Organ Insang

Pada insang ikan mas yang diteliti ditemukan beberapa kejadian patologis seperti hiperplasia sel epitel lamela sekunder, perdarahan, pembendungan dan telangiektasis. Beberapa parasit cacing dan diduga tahap perkembambangan protozoa juga ditemukan pada insang yang diteliti. Eosinofil yang ditemukan menjadi indikasi adanya infeksi parasit (Grafik 1).

0 2 4 6 8 10 12 14

Telangiektasis Pembendungan lamela primer Perdarahan parasit cacing Protozoa Eosinofil Hiperplasia dan fusi lamela

J e ni s pe ruba ha n

Jumlah ikan yang insangnya mengalami perubahan

Grafik 1 Perubahan yang terjadi pada insang

Nabib dan Pasaribu (1989) menyampaikan bahwa lapisan epitel insang yang tipis dan berhubungan langsung dengan lingkungan luar menyebabkan insang berpeluang besar terpapar penyakit. Insang juga berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air serta pengeluaran limbah-limbah yang mengandung nitrogen. Kerusakan struktur yang ringan sekalipun dapat sangat mengganggu pengaturan osmose dan kesulitan pernafasan. Beberapa kejadian patologis yang banyak ditemukan pada pengamatan histopatologi insang ikan yaitu penebalan lamela primer (Gambar 2). Penebalan ini membuat lamela primer tampak seperti pemukul base ball. Beberapa kausa yang menyebabkan penebalan lamela primer

(30)

A

B

Gambar 2 Penebalan lamela primer (Panah A). Pembendungan (Panah B). Perdarahan, proliferasi sel lamela sekunder dan fusi lamela sekunder (Kepala panah B). Pewarnaan HE. Bar (A 100μm; B 60μm).

Proliferasi sel-sel lamela yang terjadi merupakan respon dari infeksi yang lama maupun cepat. Penambahan jumlah sel menyebabkan lapisan epitel lamela sekunder yang hanya satu lapis menjadi tampak berlapis-lapis (Gambar 2). Hiperplasia sel dapat pula terjadi bersamaan dengan peningkatan sel-sel penghasil mukus yang berfungsi melapisi permukaan insang. Pada keadaan normal mukus yang dihasilkan berupa glikoprotein basa yang berfungsi sebagai pelindung pertama, dengan adanya gangguan berupa parasit maka terjadi proliferasi sel-sel penghasil mukus sebagai bentuk reaksi pertahanan. Bentuk tidak normal dari sel-sel lamela ini juga dapat terjadi akibat reaksi terhadap gangguan kimia misalnya perubahan pH yang menjadi lebih asam di kolam yang perairannya tidak bersirkulasi dengan baik sehingga terjadi penumpukan gas karbondioksida (CO2), amonia (NH3) dan zat-zat atau gas lain sisa metabolisme ikan itu sendiri. Selain bersumber dari hasil metabolisme ikan cemaran pada air juga dapat berasal dari lingkungan perairan seperti sampah atau buangan industri. Hal ini yang menjadi dasar atau alasan pentingnya memperhatikan sirkulasi dan kebersihan air kolam pada budidaya ikan air tawar.

(31)

A

B

Gambar 3 Insang normal (A). Pembendungan lamela primer (Panah B). Edema (Kepala panah B). Pewarnaan HE. Bar (A 100μm; B 100μm).

Pembuluh darah di tengah-tengah lamela primer mengalami pembendungan (Gambar 3). Terlihat adanya penumpukan sel-sel darah merah yang sangat padat pada pembuluh darah tersebut. Hal ini menunjukkan kondisi tidak normal dari insang ikan tersebut. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pembendungan darah pada pembuluh darah, antara lain adalah trauma fisik, adanya parasit atau gangguan sistem peredaran darahnya. Terhambatnya aliran darah ini memungkinkan terjadinya edema di sekitar pembuluh darah yang terlihat dari perluasan jaringan antara pembuluh darah dengan lapisan epitel lamela primer (gambar 3). Hoole et al. (2001) mengatakan bahwa kondisi seperti

hiperplasia sel-sel epitel, peningkatan sel-sel penghasil mukus, pembendungan, edema dan infiltrasi sel-sel radang akan mengurangi efisiensi difusi gas dan dapat berakibat fatal atau kematian. Difusi gas terganggu karena luas permukaan serap pada lamela sekunder insang menyempit. Kejadian fatal dapat terjadi apabila proliferasi sel-sel lamela sekunder telah bersifat kronis sehingga hampir semua lamelanya mengalami fusi.

(32)

B

A

Gambar 4 Fusi lamela sekunder dengan infiltrasi sel radang (Kepala panah A). Pembendungan lamela sekunder (Panah B). Pewarnaan HE. Bar (A 60μm; B 40μm).

Telangiektasis (Gambar 4) merupakan kejadian pembendungan lamela sekunder dan terjadi pembesaran ujung lamela sekunder yang tampak seperti gelembung balon. Kejadian ini khas pada insang ikan yang berada pada kualitas air yang buruk, ada serangan parasit, penumpukan sisa metabolisme dan polutan kimia (Robert 2001). Telangietasis ini berakibat langsung pada terganggunya difusi gas dan dapat berakibat lebih fatal pada kondisi lingkungan bertemperatur di atas normal, oksigen terlarut lebih rendah dan kebutuhan akan oksigen metabolik lebih tinggi dari keadaan normal. Telangiektasis lamela insang terjadi karena pemaparan NH3, kerusakan mekanis, cemaran bahan toksik, virus, bakteri, parasit dan defisiensi nutrisi (Plumb 1994). Selain itu terlihat pula proliferasi lamela sekunder, fusi lamela sekunder dan beberapa sel radang (Gambar 4)

(33)

A

B

Gambar 5 Hiperplasia dan fusi lamela sekunder (Panah A). Edema epitel lamela sekunder (Kepala panah A). Organisme seperti trophont protozoa di antara lamela sekunder (Lingkaran A). Sel radang eosinofil (Panah B). Pewarnaan HE. Bar (A 40μm; B 20μm).

Trichodina sp merupakan salah satu protozoa kecil (20-100μm) sebagian

besar hidup di insang di bagian ujung lamela sekunder (Basson dan Van 1989). Spora atau bentuk lain dari tahap perkembangan ciliata berada di dalam lamela insang (Rowland et al. 1991). Infestasi protozoa dalam insang meyebabkan reaksi

yang beragam tergantung jumlah protozoa, kondisi fisiologis ikan dan lingkungan ikan. Secara umum protozoa pada insang akan menyebabkan hiperplasia epitel, proliferasi sel penghasil mukus, nekrosa epitel lamela, deplesi sel mukus dan deskuamasi (Paperna 1996). Beberapa protozoa menghasilkan cytotoxin dan enzim proteolitik yang bisa menyebabkan spongiosis, proliferasi dan perubahan lapisan epitel (Robertson et al. 1981).

Protozoa dinoflagelata genus Piscinoodinum merupakan parasit umum yang menyerang ikan laut atau air tawar di daerah tropis dan subtropis. Jenis ini di Malaysia menyebar dari budidaya ikan hias menyerang ikan mas liar dan ikan konsumsi serta menyebabkan kematian pada Puntius gonionotus ( Shaharom-

Harrison et al. 1990). Trophont (Gambar 5) merupakan salah satu tahap

(34)

fusi lamela sekunder, deskuamasi sel epitel lamela sekunder, edema lamela dan infiltrasi sel radang (Gambar 5). Protozoa yang menembus sel epitel ini akan dilokalisir oleh hiperplasia sel-sel epitel lamela sekunder, setelah itu akan ada infiltrasi sel-sel eosinofil sebagai reaksi pertahanan tubuh ikan itu sendiri (gambar 5). Pengangkatan epitel lamela (deskuamasi) terjadi karena adanya penyumbatan aliran ekstraseluler karena terjadi edema yang dimungkinkan karena terjadi gangguan sirkulasi darah karena hiperplasi epitel. Hiperplasia selain akan menekan kapiler pembuluh darah juga memerlukan peningkatan suplai darah ke jaringan yang baru terbentuk.

A

C

D

B

D

Gambar 6 Beberapa parasit cacing (Kepala panah A). Edema dan desquamasi epitel lamela sekunder (Kepala panah B). Fusi lamela sekunder (Panah C). Hiperplasia epitel lamela dan hiperplasia sel goblet insang (Kepala panah D). Pewarnaan HE. Bar (A 200

(35)

Trematoda monogenea merupakan kelompok cacing yang sering menginfeksi insang dan kulit ikan sehingga menyebabkan gangguan pernafasan atau penurunan kualitas otot. Beberapa monogenea spesifik terhadap jenis ikan dan habitat tertentu. Gyrodactylus lebih patogen terhadap ikan yang lebih muda dan di kolam budidaya daripada di habitat alami. Perubahan patologi insang yang paling banyak disebabkan oleh cacing ini adalah hiperplasia (Paperna 1996). Ikan yang terinfeksi Gyrodactylus akan menjadi pucat, selain itu terjadi peningkatan sekresi mukus dan proliferasi sel epitel (Kabata 1985). Sebagian besar Dactylogyrus ikan Carp menyebabkan kerusakan selular yang terbatas pada filamen basalis (Sarig 1971). Infeksi cacing juga menyebabkan deskuamasi lamela sekunder insang, kongesti pembuluh darah yang berdekatan dan peningkatan sel-sel eosinofil. Infeksi cacing pada kulit kadang-kadang menimbulkan luka yang dapat diikuti infeksi sekunder oleh bakteri atau agen lain.

Dua jenis cacing monogenea yang sering menginfeksi ikan yaitu genus Gyrodactylus dan Dactylogyrus. Gyrodactylus berhabitat di kulit dan insang, berbentuk seperti daun, tanpa bintik mata, ujung kepala seperti huruf V serta memiliki organ untuk menempel (opisthohaptor) dengan dua anchor (kait seperti jangkar). Setiap anchor memiliki rata-rata 16 kait kecil. Cacing dewasa bersifat vivipar, yaitu melepaskan larva yang berbentuk seperti cacing dewasa. Larva ini akan menempel pada insang atau kulit ikan. Cacing dewasa Dactylogyrus memiliki dua atau empat bintik mata dan memiliki alat menempel yang berbentuk jangkar (opisthohaptor). Dactylogyrus bersifat ovipar sehingga cacing dewasa akan melepaskan telur yang menetas menjadi larva. Telur akan menetas setelah 2-6 hari pada suhu 20-18oC, larva yang keluar akan menempel pada insang dan menstimulasi sekresi mukus ikan (Shaharom-Harrison 1986). Larva Dactylogyrus memiliki bulu getar sebagai alat gerak di air untuk menuju inang (ikan). Sebagian besar Dactylogyrus merupakan ektoparasit pada insang dan hanya sedikit yang parasit pada kulit sebaliknya Gyrodactylus lebih banyak menyerang kulit dari pada insang (Ergens 1988 dalam Paperna 1996).

(36)

Tabel 1 Jumlah rata-rata sel goblet per lima lamela sekunder.

Sampel Rata-rata jumlah sel Goblet per lima lamela sekunder insang

1 10 2 13 3 32 4 22 5 11 6 15 7 16 8 24 9 33 10 30 11 44 12 75 13 24 14 26 15 28 16 30 17 26 18 39 Rata-rata 27,6667±15,8395

Tabel 1 menunjukan jumlah rata-rata sel goblet setiap lima lamela sekunder insang. Secara umum proliferasi sel goblet insang tidak menunjukkan angka yang tinggi, tetapi pada beberapa insang yang terinfeksi cacing dapat di lihat bahwa sel gobletnya mengalami pertambahan jumlah.

4.2 Perubahan Histopatologi Organ Otot

Perubahan patologis yang ditemukan pada otot ikan mas yang diteliti tidak terlalu banyak. Pada otot yang diteliti juga tidak ditemukan parasit atau agen penyakit lain seperti bakteri, virus atau jamur. Perubahan yang ditemukan lebih banyak diduga karena faktor kekurangan nutrisi makanan (Grafik 2). Otot ikan merupakan bagian tubuh ikan yang paling penting dan lazim disebut daging ikan. Struktur anatomi dan histologi otot ikan identik dengan struktur otot mamalia sehingga kelainan yang terjadi juga hampir sama. Perubahan yang banyak ditemukan pada otot ikan antara lain degenerasi dan nekrosa miofibril (Haensly et al. 1982). Respon terhadap infeksi parasit, bakteri, virus atau kekurangan nutrisi

(37)

akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan penurunan kualitas daging ikan. 0 2 4 6 8 10 12 Degenerasi lemak Degenerasi hyalin Nekrosa serabut otot Edema Jenis perubahan Ju m la h ika n ya n g o to tn ya me ng a la m i pe ru ba ha n

Grafik 2 Perubahan yang terjadi pada otot

Nekrosa serabut otot (Gambar 7) merupakan kelainan yang terjadi berupa lisisnya sel-sel otot yang terlihat menjadi lubang-lubang. Nekrosa serabut otot dapat terjadi karena iskemia atau berhentinya suplai darah ke suatu jaringan otot, kekurangan nutrisi dan penyakit infeksius. Asupan nutrisi yang kurang akan menyebabkan otot mengalami atropi (Gambar 7). Kekurangan beberapa jenis vitamin (vitamin C dan B komplek dan vitamin E) dapat menyebabkan gangguan pada otot juga. Biotin dan thiamin dapat menyebabkan atropi otot, sedangkan kekurangan asam pantotenat dapat menyebabkan atropi insang. Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan anemia, anoreksia dan abnormalitas kartilago, sedangkan distropi otot dapat disebabkan karena kekurangan vitamin E (Purwakusuma 2007). Iskemia atau berhentinya aliran darah menyebabkan nekrosa sel-sel otot. Pembendungan darah pada pembuluh darah di sekitar otot dapat berlanjut menjadi edema (Gambar 7) sehingga serabut otot akan tampak menjadi jarang karena rongga antar serabutnya berisi cairan.

(38)

B

A

Gambar 7 Edema yang menyebabkan serabut otot tidak teratur (kepala panah). Nekrosa serabut otot (Panah A). Degenerasi hyalin (lingkaran B). Pewarnaan HE. Bar (A 60μm; B 40mμ)

Degenerasi hyalin adalah keadaan serabut otot yang menunjukan penampilan homogen dan menyerap pewarnaan eosin secara dominan (Gambar 7). Serabut otot yang mengalami degenerasi hyalin akan lebih mudah rusak dibandingkan serabut otot yang normal. Nukleus otot pada serabut otot normal yang berada di sekitar otot yang mengalami hyalinasi terkadang mengalami hiperplasia. Beberapa serabut otot yang terlihat normal di sekitar serabut yang terhyalinasi sering memperlihatkan pemisahan longitudinal yang frequen (Hibiya 1995)

(39)

A

B

L

Gambar 8 Sebagaian besar otot mengalami nekrosa serabut otot (A). Penumpukan lemak (L). Edema (Panah B). Pewarnaan HE. Bar (A 40μm; B 60μm).

Degenerasi lemak (Gambar 8) terjadi karena akumulasi lipid dan gangguan metabolisme lemak karena kekurangan enzim lipase intraseluler atau asupan nutrisi yang mengandung lemak yang tinggi. Lemak pada otot ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi rasa daging ikan. Degenerasi lemak juga dapat terjadi karena penyakit infeksi, ketidakseimbangan nutrisi dan beberapa bahan toksik. Kerusakan otot ikan ini memang terkadang tidak terlihat secara fisik dan tidak menyebabkan kematian tetapi kerusakan ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan akan berdampak nyata terhadap nilai ekonomi ikan secara umum.

4.3 Perubahan Histopatologi Organ Usus

Usus merupakan bagian saluran pencernaan yang berfungsi untuk menyerap sari-sari makanan sehingga gangguan pada organ ini dapat berakibat fatal bagi pertumbuhan ikan. Walaupun jarang ditemui gangguan yang berakibat pada kematian tetapi beberapa penyakit ikan berakibat buruk pada keseluruhan

(40)

nilai produksinya. Oleh karena itu pengetahuan tentang kondisi tidak normal organ usus sangat penting untuk pengelolaan kesehatan ikan itu sendiri.

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Grafik 3 Perubahan yang terjadi pada usus

Beberapa perubahan yang sering ditemukan pada usus ikan antara lain proliferasi sel goblet, hemoragi, atropi vili usus, dan metaplasia. Beberapa penelitian menunjukan bahwa tingginya kandungan beberapa logam berat dapat menyebabkan peningkatan apoptosis dari sel-sel usus (Berntssen et al. 1999).

Pada organ usus beberapa kejadian patologis yang ditemukan antara lain nekrosa sel epitel usus, proliferasi sel goblet dan perdarahan (Grafik 3).

Nekrosa dan atropi lapisan epitel vili usus merupakan perubahan yang paling banyak ditemukan. Beberapa vili juga mengalami deskuamasi epitel dan nekrosa sel-sel epitel. Hal ini dapat terjadi karena terjadi hemoragi (Gambar 9) sehingga suplai darah ke sel-sel epitel terganggu. Hemoragi atau perdarahan terlihat dari ditemukannya eritrosit yang menyebar pada ujung vili usus. Kelainan vili ini akan menyebabkan terganggunya penyerapan zat-zat makanan yang penting sehingga ikan akan mengalami defisiensi nutrisi.

Nekrosa sel epitel proliferasi sel P

goblet erdarahan Jenis perubahan J u i k a n y a n g us us n y a me n g a la m i pe ru ba ha n ml a h

(41)

A

B

Gambar 9 Pembendungan (Panah ). Pewarnaan HE. Bar (A 60 μm; B 40μm)

Beberapa parasit yang dapat menyebabkan degenerasi usus antara lain protozoa dan cacing. Digenea adalah cacing trematoda yang memerlukan inang antara (moluska) dalam siklus hidupnya. Infestasi Digenea dewasa pada saluran cerna ikan perlu diperhatikan apalagi saat jumlahnya banyak. Infestasi di luar saluran pencernaan berpotensi patogen terhadap ikan (Paperna 1996). cacing atau protozoa pada usus ikan mas yang diteliti. Koksidiosis pada ikan Cyprinid dapat berakibat fatal, infeksi kronis koksidia pada ikan mas berusia delapan hari akan menyebabkan kematian dalam waktu 30-45 hari kemudian (Kent dan Hedrick 1985). Kerusakan yang umum terjadi karena koksidia ini adalah rupturnya epitel vili usus karena merozoit dan ookista Eimeria (G. Carpeli dan E.

Sinensis 1976; Kent dan Hedrick 1985). Ikan yang terinfeksi Eimeria vanasi akan

mengalami kerusakan epitel vili usus karena parasit ini berkembang dalam sitoplasma sel-sel usus (Marincek 1973; Molnar 1984). Eimeria vanasi

merupakan koksidia yang sering menyerang ikan Carp tetapi pada literatur

disampaikan bahwa kejadian ini banyak ditemukan di Afrika.

Edema (Gambar 10) menyebabkan epitel usus terangkat dan pada kondisi parah dapat berlanjut menjadi dequamasi dan ruptur epitel. Edema yang ditemukan menandakan adanya masalah pada sistem sirkulasi darah. Adanya

(42)

eritrosit yang menyebar menandakan terjadi hemoragi sedangkan limfosit menandakan ada peradangan karena gangguan parasit, bakteri atau virus. Proliferasi endotelium arteri pernah ditemukan pada ikan Carp yang terinfeksi Sanguinicola inermis (Prost dan Poland dalam Lucky 1964).

A

B

Gambar 10 Edema epitel usus (Panah). Nekrosa epitel (Kepala panah). Pewarnaan HE. Perbesaran lensa obyektif 40x. Bar (A 140μm; B 40μm).

Kondisi akut karena toksin, bakteri, virus, parasit, zat kimia atu alga dapat menyebakan nekrosa dan desquamasi sel epitel vili usus ikan. Sedangkan perubahan akibat defisiensi nutrisi dan kaheksia dapat menyebabkan sel-sel epitel menggulung yang disertai penebalan kromatin dan sitoplasma eosinofil. Pada keadaan khusus seperti apoptosis atau pelepasan mukosa ke dalam lumen usus kadang-kadang disertai hemoragi dan edema submukosa (Gambar 10) (Robert 2001). Deskuamasi epitel mukosa yang disertai hemoragi dapat terjadi akibat degenerasi progresif di dalam saluran pencernaan.

(43)

Gambar 11 Proliferasi sel goblet vili usus (lingkaran). Pewarnaan HE. Bar 60μm.

Tabel 2 Jumlah rata-rata sel goblet dalam tiap vili usus.

Sampel Rata-rata jumlah sel Goblet tiap vili usus 1 24.5 2 42 3 21.5 4 17.5 5 47.5 6 13.5 7 37 8 13.5 9 38.5 10 31 11 30.5 12 19.5 13 33.5 14 14.5 15 35.5 16 54.5 17 33 18 25 Rata-rata 29,5833 ± 11,56

Sel – sel goblet usus berfungsi menghasilkan mukus yang membantu proses pencernaan. Jumlah sel goblet ini dapat meningkat karena infeksi parasit

(44)

seperti cacing atau protozoa. Dalam studi ini tampaknya ada kenaikan jumlah sel goblet walaupun tidak terlalu tinggi (Tabel 2). Hal ini berhubungan dengan beberapa kejadian patologis yang ditemukan pada ikan-ikan tersebut. Selain itu dengan adanya cacing di organ insang dapat terjadi kemungkinan cacing tersebut juga menyerang saluran pencernaan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa spesies cacing Digenea dapat juga hidup di saluran cerna khususnya usus.

(45)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perubahan yang terjadi pada insang ikan mas antara lain adalah hiperplasia, hemoragi, edema dan telangiektasis. Pada insang ditemukan adanya infestasi cacing monogenea yang diduga dari genus Gyrodactylus dan Dactylogyrus yang menyebabkan fusi lamela sekunder, telangiektesis dan infiltrasi sel eosinofil. Pada otot ikan mas yang diteliti terjadi kelainan berupa nekrosa serabut otot, edema, degenerasi hyalin dan degenerasi lemak. Pada usus ikan mas paling banyak ditemukan hemoragi, nekrosa epitel vili usus dan edema epitel usus. Perubahan-perubahan histopatologi pada jaringan insang, otot dan usus mungkin terjadi karena infeksi parasit, bakteri, virus, jamur dan defisiensi nutrisi. Kondisi lingkungan kolam dan kepadatan populasinya juga berpotensi menyebabkan keadaan patologis yang ditemukan.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian ini disarankan agar dilakukan penelitian lanjutan dengan menambah jumlah dan lokasi pengambilan sampel. Perlu dilakukan peningkatan kondisi kesehatan ikan agar resiko perubahan patologi dapat dikurangi. Hal tersebut dapat dengan pemberantasan cacing ikan, perbaikan sirkulasi air dan peningkatan kualitas pakan. Selain itu disarankan agar dipersiapkan dokter hewan yang berkompeten di bidang kesehatan ikan karena ikan termasuk hewan yang berpotensi sangat tinggi meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Al lail SMJ dan Sakr SA. 2005. Fenvalerate Induced Histopathological and Histochemical Changes in the Liver of the Catfish Clarias gariepinus. Journal. Journal of Applied Science Research 1(3), Egypt. 263-267 pp.

Anonim. 2008a. Laporan Pemantauan Kesehatan Ikan Air Tawar Departemen Perikanan dan Ilmu Kelautan 2007. http: //

www.bbpbat.net/infotek/hasil- pengawasan/35-hasil-pengawasan/109-200735-pemantauan-kesehatan-ikan-air-tawar. [ 6 Juli 2008]

Anonim. 2008b. http: //www.fao.org/fishery/culturedspecies/Cyprinus_carpio. [ 6 Juli 2008]

Boyd CE. 1991. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming.

Proyek Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta.

Bullock GL, Conroy D and Snieszko SF. 1971. Diseases of Fish. T F H

Publication, London England. 160 hal.

Citra A. 2006. Efektifitas Ekstrasi Bawang Putih (Allium sativum) Terhadap Ketahanan Tubuh Ikan Mas (Cyprinus carpio) yang Diinfeksi Koi Herpes Virus. [skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hibiya T. 1995. An Atlas of Fish Histology Normal and Pathological Features.

(second edition). Kodansha LTD, Tokyo.

Hoffman GL. 1967. Parasites of North American Freshwater Fisher. University

California Press, Berkeley. 169 hal.

Hoole et al. 2001. Disease of Carp and Other Cyprinid Fishes. Fishing New

Books. Blackwell Sciences Ltd., Oxford.

Humason GL. 1985. Animal Tissue Technique. Fourth Edition. W N Freeman and

Company, San Frasisco, USA

Irianto A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gajah Mada University Press,

Yogyakarta.

Kabata Z. 1985. Parasites and Disease of Fish Cultured in The Tropics. Taylor

(47)

Lawrence AJ dan Hemingway KL. 2003. Effect of Polutian on Fish (Molecular Effect and Populatian Responses). Blackwell Publishing, Australia. 342

hal.

Lingga P. 2002. Ikan Mas Kolam Air Deras. Penebar Swadaya, Depok.

Lom J. 1995. Trichodinidae and Other Ciliates (Phylum Ciliopgora). P: 229-257. in Fish Disease and Disorder. Volume I. Protozoa and Metazoa Infection.

Edited by P.T. K. Woo, Departement of Zoology, University of Guelph. Canada. Cab International, Canada.

Lucky Z. 1964. Di dalam Paperna, Ilan. 1996. Parasites, Infection and Disordes of Fishes in Africa. Food and Agricultural Organization of United Nations,

Roma Italia.355 hal.

Markevich AP. 1963. Parasitic Fauna of Fresh Water Fish of the Ukranian SSR.

Oldbourne Press, London.

Muss BJ. 1999. Freshwater Fish. Scandinavian Fishing Year Book, Denmark.

Nabib R dan FH Pasaribu. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Bogor . Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Bogor. 158 hal.

Noble ER dan Noble GA. 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan. Edisi V.

diterjemahkan oleh drh. Wardiato. Gajah Mada Universiti Press.

Noga EJ. 2000. Fish Disease Diagnosis and Treatment. Iowa State Press, USA.

366 hal.

Oata. 2001. Vaksinasi Ikan Mas untuk Meningkatkan Daya Tahan Tubuh Terhadap Infeksi Koi Herpes Virus.

http://www.bbpbat.net/infotek/hasil-perekayasaan/ 34-hasil-http://www.bbpbat.net/infotek/hasil-perekayasaan/89. [6 Juli 2008]

Olsen OW. 1974. Animal Parasites, Their Life Cycle and Ecology. University of

Park Press, Baltimore, London and Tokyo.

Paperna I. 1996. Parasites, Infection and Disordes of Fishes in Africa. Food and

Agricultural Organization of United Nations, Roma Italia.355 hal.

Plumb JA. 1994. Health Maintenance and principal Microbial Diseases of Cultured Fishes. Iowa State University CRC Press, Boca Raton, Florida.

Purwakusuma W. 2007. Kebutuhan Nutrisi Ikan. http:// www.O-fish.com. [17 Juli

(48)

Roberts RJ. 2001. Fish Pathology. Edisi III. W.B.Saunders, London, Edinburgh,

Philadelphia, St Louis, Sydney, Toronto. 472 hal.

Robertson DA, Robert RJ dan Bullock AM. 1981. Di dalam Paperna I. 1996.

Parasites, Infection and Disordes of Fishes in Africa. Food and

Agricultural Organization of United Nations, Roma Italia.355 hal.

Sachlan M. 1974. Parasites, Pest and Diseases of Fish Fry. Lecture Notes,

Prepare for Training Course and Induced Fish Breeding Technique, Biotrop Seameo Regional Centre for Biology, Bogor.

Santoso B. 1999. Ikan Mas: Mengungkap Teknik Pemeliharaan. Penerbit

Kanisius, Yogyakarta.

Sarig S. 1971. The prevention and treatment of diseases of warm water fish under subtropical conditions, with special emphasis on intensive fish farming. T H F Publication inc, Jersey city N J. 127 p. Di dalam Paperna I. 1996.

Parasites, Infection and Disordes of Fishes in Africa. Food and

Agricultural Organization of United Nations, Roma Italia.355 hal.

Schmidt GD dan Robert LS. 1977. Foundation of Parasitology. The C. V. Mosby

Co, Saint Louis.

Shaharom-Harrison F M. 1986. The reproductive of Dactylogyrus nobilis

(monogenean: Dactylogyridae) from the gills of big head carp. Di dalam Paperna I. 1996. Parasites, Infection and Disordes of Fishes in Africa.

Food and Agricultural Organization of United Nations, Roma Italia.355 hal.

Shaharom-Harrison FM, Anderson IG, Siti AZ, Shazili NAM, Ang KJ dan Azmi TL. 1990. Di dalam Paperna I. 1996. Parasites, Infection and Disordes of Fishes in Africa. Food and Agricultural Organization of United Nations,

Roma Italia.355 hal.

Suseno D. 1994. Pengelolaan Usaha Pembenihan ikan Mas. Penebar Swadaya,

Depok.

Taukhid, Nugraha E dan Subagyo. 2007. Efektifitas Daun Sambiloto (Andrographis peniculata) bagi pengendalian Penyakit Koi Herpes Virus

(KHV) pada Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jurnal Riset Akuakultur, Jakarta.

(49)

Valent M, Andreji J, Stranai I, Kac niov M dan Mass nyi. 2006. Heavy Metals Content and Microbiological Quality of Carp (Cyprinus carpio, L.) Muscle

from Two Southwestern Slovak Fish Farms. Journal of Environmental Science and Health, Part A, Volume 41, Issue 6 July 2006 , pages 1071 – 1088. http://www.informaworld.com/smpp/content.

Gambar

Gambar 1 Ikan mas (Cyprinus carpio)
Grafik 1 Perubahan yang terjadi pada insang
Gambar 2 Penebalan lamela primer (Panah A). Pembendungan (Panah B). Perdarahan,  proliferasi sel lamela sekunder dan fusi lamela sekunder (Kepala panah B)
Gambar 3 Insang normal (A). Pembendungan lamela primer (Panah B). Edema (Kepala  panah B)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Jika halaju digandakan, kirakan peratusan jumlah rintangan kedua-dua filem dan peratus peningkatan

Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, orang yang sabar akan mampu menerima segala macam cobaan dan musibah. Berbagai musibah dan malapetaka yang melanda Indonesia telah

Kualitas pelayanan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pelanggan , ini dibuktikan dengan persamaan regresi linear sederhana Y= 3,467 + 0,218 X 1 +e

Hasil susut tercecer (bobot) perontokan dari kedua mesin perontok pada Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi kecepatan putar silinder, susut tercecer (bobot) yang diperoleh

Penelusuran bakteri laut yang berasal dari perairan pulau panjang yang mempunyai aktivitas antagonis terhadap beberapa jenis bakteri Vibrio penyebab vibriosis pada ikan dan

1 Mencuri atau merampas barang milik orang lain 100 2 Membawa dan atau menggunakan senjata tajam atau senjata api 100 3 Menggunakan dan atau membawa narkoba, miras, ganja

Pembinaan yang dilakukan terhadap kepala sekolah pada sekolah binaan dengan sasaran binaan tentang tugas utama kepala sekolah yang meliputi tugas manajerial dan