• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Beberapa Taraf Tinggi Lanjaran Terhadap Pertumbuhan Dan Produktivitas Dioscorea Esculenta (Lour.) Burk. (Combilium)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengujian Beberapa Taraf Tinggi Lanjaran Terhadap Pertumbuhan Dan Produktivitas Dioscorea Esculenta (Lour.) Burk. (Combilium)"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUJIAN

BEBERAPA

TARAF

TINGGI

LANJARAN

TERHADAP

PERTUMBUHAN

DAN

PRODUKTIVITAS

Dioscorea esculenta

(Lour.) Burk.

(Combilium)

Oleh

Muhammad Siddiq Mirza A34101048

PROGRAM STUDI AGRONOMI

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PENGUJIAN

BEBERAPA

TARAF

TINGGI

LANJARAN

TERHADAP

PERTUMBUHAN

DAN

PRODUKTIVITAS

Dioscorea esculenta

(Lour.) Burk.

(Combilium)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

Muhammad Siddiq Mirza A34101048

PROGRAM STUDI AGRONOMI

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

RINGKASAN

Muhammad Siddiq Mirza. Pengujian Beberapa Taraf Tinggi Lanjaran Terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Dioscorea esculenta (Lour.) Burk.

(Combilium). (Dibimbing Oleh Eko Sulistyono)

Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui tinggi lanjaran optimum terhadap pertumbuhan dan produktivitas Dioscorea esculenta (Lour.) Burk. (Combilium) yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Babakan IPB Sawah Baru pada bulan Desember 2004 - Juli 2005.

Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor, yaitu tinggi lanjaran yang terdiri dari empat taraf perlakuan (tanpa lanjaran sebagai kontrol, 50 cm, 100 cm, dan 150 cm) dengan 3 ulangan. Pengaruh dari seluruh perlakuan dilihat dengan menggunakan uji-F dengan menggunakan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5% dan 1%. Keeratan hubungan atau korelasi linier antara peubah vegetatif dengan peubah produksi dianalisis dengan menggunakan uji korelasi.

Penanaman bibit dilakukan dalam lubang dengan jarak tanam 100 cm x 50 cm. Pupuk yang diberikan terdiri dari pupuk kandang dan pupuk anorganik. Pupuk kandang diberikan pada saat penanaman, sedangkan pemberian pupuk anorganik dilakukan 10 minggu setelah tanam (MST) dengan cara disebar di sekeliling tanaman sedalam 5 cm. Pemasangan lanjaran dilakukan ketika tanaman berumur 7 MST.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemasangan lanjaran berpengaruh nyata untuk semua peubah vegetatif mulai 10 MST atau dua minggu setelah perlakuan. Nilai tertinggi untuk semua peubah vegetatif dihasilkan oleh tinggi lanjaran 150 cm. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman cenderung meningkat pada 8-16 MST untuk semua perlakuan. Nilai bobot umbi basah dan kering per tanaman tertinggi dihasilkan oleh lanjaran 150 cm, sedangkan terendah dihasilkan oleh kontrol (tanpa lanjaran). Korelasi antara peubah vegetatif dengan peubah panen menunjukkan nilai positif dan berbeda nyata.

(4)

Judul :PENGUJIAN BEBERAPA TARAF TINGGI LANJARAN TERHADAPPERTUMBUHANDANPRODUKTIVITASDioscorea esculenta (Lour.) Burk. (Combilium)

Nama : Muhammad Siddiq Mirza NRP : A34101048

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Eko Sulistyono, MSi NIP : 131667779

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP : 130422698

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 1 April 1983. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan suami istri bapak Mirza Jacob dan Juriah Sitinjak.

Tahun 1995 penulis lulus dari SD Muhammadiyah Pematangsiantar, kemudian pada tahun 1998 penulis menyelesaikan studi di SLTPN 1 Pematangsiantar. Selanjutnya pada tahun 2001 penulis lulus dari SMUN2 Pematangsiantar

Penulis diterima di IPB melalui jalur UMPTN tahun 2001 sebagai mahasiswa Program Studi Agronomi, Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mengaruniakan taufik dan hidayah-Nya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penelitian pengujian beberapa taraf lanjaran pada tanaman Dioscorea

esculenta terdorong oleh keinginan penulis untuk memasyarakatkan dan

mengangkat kembali tanaman umbi-umbian potensial yang hampir terlupakan. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Babakan IPB, sawah baru-Dramaga.

Penulis menyampaikan terimakasih kepada Dr. Ir. Eko sulistyono, MSi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi, Ir. Sugiyanta, MSi selaku dosen pembimbing akademik selama penulis studi di IPB, Dr. Ir. Maya Melati, MS dan Ir. A. Pieter Lontoh, MSi sebagai dosen penguji, dan kedua orangtua beserta keluarga yang telah memberikan dorongan moril dan materi, serta seluruh teman dan sahabat yang telah membantu dan berjuang bersama-sama selama di IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi yang membutuhkan. Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Hipotesis ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Taksonomi dan Penyebaran ... 3

Syarat Tumbuh ... 6

Siklus Hidup dan Produksi ... 7

Tipe Perbanyakan ... 8

Lanjaran ... 9

Hama Penyakit ... 11

Cara dan Waktu Pemanenan... 12

METODOLOGI ... 13

Tempat dan Waktu ... 13

Bahan dan Alat ... 13

Metode Penelitian ... 13

Pelaksanaan Kegiatan ... 14

Pengamatan ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Kondisi Umum ... 17

Tinggi Tanaman ... 19

Jumlah Daun ... 20

Panjang Daun ... 22

Lebar Daun ... 23

Indeks Luas Daun ... 25

Peubah Produksi ... 26

Korelasi Antara Peubah Vegetatif dengan Peubah Produksi .. 28

Pertumbuhan Vegetatif ... 29

Peubah Hasil Produksi ... 33

KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

Kesimpulan ... 35

Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengujian Beberapa Taraf Tinggi Lanjaran terhadap Pertumbuhan Tanaman

Dioscorea esculenta ... 18

2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengujian Beberapa Taraf Tinggi Lanjaran terhadap Produktivitas Tanaman Dioscorea esculenta ... 19

3. Tinggi Tanaman pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran ... 20

4. Jumlah Daun pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran ... 21

5. Panjang Daun pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran ... 23

6. Lebar Daun pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran ... 24

7 ILD pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran ... 25

8. Peubah Hasil Produksi per Tanaman pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran ... 27

Lampiran 1. Sidik Ragam Tinggi Tanaman 8-23 MST ... 39

2. Sidik Ragam Jumlah Daun 8-23 MST ... 40

3. Sidik Ragam Panjang Daun 8-23 MST ... 42

4. Sidik Ragam Lebar Daun 8-23 MST ... 43

5. Sidik Ragam Indeks Luas daun 8-23 MST ... 45

6. Sidik Ragam Bobot Basah Akar ... 46

7. Sidik Ragam Bobot Kering Akar ... 46

8. Sidik Ragam Bobot Basah Tajuk ... 47

9. Sidik Ragam Bobot Kering Tajuk ... 47

10. Sidik Ragam Bobot Basah Umbi ... 47

11. Sidik Ragam Bobot Kering Umbi ... 47

12. Sidik Ragam Panjang Umbi ... 47

(9)

14. Nilai Titik Kritis Uji DMRT ... 48

15. Korelasi Tinggi Tanaman dengan Peubah Produksi ... 50

16. Korelasi Jumlah Daun dengan Peubah Produksi ... 50

17. Korelasi Lebar Daun dengan Peubah Produksi ... 51

18. Korelasi Panjang Daun dengan Peubah Produksi ... 51

19. Korelasi ILD dengan Peubah Produksi ... 51

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. Tipe Lanjaran untuk Tanaman Dioscorea esculenta ... 10

2. Hubungan Luas Daun dengan Panjang Kali Lebar Daun .... 15

3. Tinggi Tanaman ... 20

4. Jumlah Daun ... 21

5. Panjang Daun ... 23

6. Lebar Daun ... 24

7. Indeks Luas Daun ... 26

8. Peubah Hasil Produksi ... 27

Lampiran 1. Denah Rancangan Percobaan ... 52

2. Keadaan Tanaman Sebelum Perlakuan pada 7 MST ... 54

3. Keadaan Tanaman Setelah Perlakuan pada 12 MST ... 54

4. Penampilan Tanaman pada Setiap Taraf Perlakuan ... 55

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman umbi-umbian merupakan sumber pangan karbohidrat penting yang memproduksi dan menyimpan pati dalam organ penyimpanan dalam tanah berupa akar, umbi, dan stolon. Salah satu sumber karbohidrat dari kelompok umbi-umbian yang ada di Indonesia dan belum banyak dikembangkan dan dimanfaatkan adalah Dioscorea spp. (yam). Menurut Lingga (1989) di dunia jenis ini terdapat sekitar 600 jenis dan hanya sebagian kecil saja dari jenis-jenisnya yang dibudidayakan untuk diambil umbinya sebagai bahan pangan, obat-obatan, racun, dan keperluan lainnya. Jenis-jenis yang dibudidayakan pun masih banyak yang tumbuh liar seperti di hutan-hutan, hutan bambu, hutan jati, dan lain-lain. Karena bagi penduduk yang tinggal dekat dengan kawasan hutan lebih banyak memungut hasil di tempat tersebut daripada sengaja menanamnya.

Menurut Sediaoetama (1996) nutrisi uwi (yam) adalah pati 19.8%, lemak 0.2% dan protein 2.0% dan bila dibandingkan dengan kandungan nutrisi kentang (pati 19.1%, lemak 0.1% dan protein 2.0%), ketela pohon (pati 34.7%, lemak 0.3% dan protein 1.2%), serta ubi jalar (pati 27.8%, lemak 0.7% dan protein 1.8%) tidak terlalu jauh berbeda. Sejak dahulu umbi ini sudah dikenal dan dikonsumsi masyarakat Indonesia terutama di wilayah Maluku, Nusa Tenggara dan Sulawesi dalam bentuk gaplek sebagai pengganti beras atau sagu pada saat rawan pangan.

FAO (1993) menyatakan bahwa luas areal tanaman Dioscorea spp. di Indonesia belum sampai 1 000 ha dan data luas areal untuk Asia Tenggara adalah 19 ribu ha dengan produksi 249 ribu ton. Data ini menunjukkan bahwa pengembangan kurang maksimal terutama di Indonesia. Umbi Dioscorea spp. di negara Afrika Barat dan Filipina digunakan sebagai makanan pokok, selain itu dapat juga digunakan sebagai bahan baku pati, alkohol, obat luka dan insektisida. Salah satu spesies Dioscorea spp. yang merupakan penghasil karbohidrat potensial yang telah dikenal oleh petani dan dibudidayakan secara tradisional adalah Dioscorea esculenta (Lour.) Burk. (Combilium) (Flack dan Rumawas

(12)

mendapat perhatian karena informasi tentang tanaman tersebut sangat terbatas. Karakterisasi maupun teknik budidayanya belum banyak diketahui, sehingga prospektif tanaman ini belum terlihat jelas. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian-penelitian untuk mencari dan memperdalam informasi tentang tanaman ini. Salah satu aspek budidaya yang penting diketahui untuk pengembangan komoditi ini di daerah beriklim basah adalah penggunaan lanjaran (staking) sebagai dukungan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Budidaya yam tanpa lanjaran di daerah-daerah ini menimbulkan masalah dalam hal pengendalian gulma, penyakit daun dan batang, serta mengurangi hasil tanaman (Wilson and Akapa, 1981).

Lanjaran merupakan teknik pengaturan pertumbuhan tanaman secara fisik yang dapat mengatur bentuk, ukuran, dan arah tanaman. Menurut Janick dalam

Maryasa (1990) penggunaan lanjaran menyebabkan pemakaian ruang oleh tanaman menjadi lebih efisien, mempercepat masa pembungaan, memperpanjang masa produktif, dan memperluas areal tangkapan sinar matahari. Seandainya sosialisasi dan pengenalan teknik budidaya terus dilakukan, kemungkinan besar tanaman ini dapat dikembangkan dengan baik untuk diversifikasi pangan maupun mengurangi ketergantungan kita terhadap komoditi beras yang setiap tahunnya menjadi masalah politis dan klasik di negara Indonesia.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tinggi lanjaran optimum terhadap pertumbuhan dan produktivitas Dioscorea esculenta (Lour.) Burk. (Combilium)

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Tinggi lanjaran mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas terbaik. 2. Adanya korelasi antara peubah-peubah vegetatif dengan peubah-peubah

(13)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi dan Penyebaran

Dioscorea adalah satu dari tiga genera anggota famili Dioscoreaceae, dari

ordo liliales, kelas Monocotydoledoneae. Dioscorea merupakan genus yang paling besar dan penting dari famili Dioscoreaceae dibanding dengan kedua anggota genera yang lain yaitu Rajanta dan Tamus (Tjondronegoro, 1991).

Dioscorea merupakan tanaman dioeceous, dimana bunga jantan dan betina

terdapat pada tanaman yang berbeda (Lingga, 1989). Urutan taksonomi tanaman dari yang tertinggi adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plant/Tumbuhan

Subkingdom : Tracheobionta/Tumbuhan Berpembuluh Superdivisi : Spermatophyta/Tumbuhan Berbiji Divisi : Magnoliophyta/Tumbuhan Berbunga Kelas : Liliopsida/Monokotil

Subkelas : Lilidae Ordo : Liliales

Famili : Dioscoreaceae/YamFamily Genus : Dioscorea L./Yam

Spesies : Dioscorea esculenta (Lour.) Burkill/Lesser yam (O'Hair, 1990)

Dioscorea esculenta dikenal juga dengan istilah lesser yam atau chinese

yam. Beberapa nama daerah yang lazim digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut: huwi teropong, huwi landak, huwi kemayung (Sunda); ubi torak, ubi teropong (Melayu); uwi sayavu (Sulawesi Utara); ubi opang, opa (Sulawesi Selatan); lame, cengka (Sulawesi); bihaun (Bali); kaburan (Madura); katilin (Seram); nale (Irian Jaya bagian Selatan) (Sudiarta, 1979). Nama-nama daerah lain, diantaranya gembili, sudo, ubi aung, ubi jahe, dan huwi butul (Indobiogen, 2005).

(14)

pada cabang. Dasar petiol diperbesar oleh tiga sampai empat duri yang menonjol, pada akar juga terdapat duri. Bunganya tersusun dalam bulir yang berwarna hijau kekuningan (Sastrapradja, 1977). Tetapi, pembungaan jarang terjadi pada tipe yang dibudidayakan. Umbinya banyak dan bentuknya bulat sampai bulat panjang serta berukuran kecil. Tanaman ini biasanya hanya memproduksi satu atau dua umbi yang berukuran besar, tidak seperti kebanyakan Dioscorea spp. lain. Setiap tanaman bisa menghasilkan 5-20 umbi. Setiap umbi tumbuh di ujung stolon yang panjangnya kira-kira 5-50 cm. Umbi dewasa memiliki ukuran panjang 8-20 cm, diameter 2-5 cm, dan berat mencapai 100-200 g. Daging umbinya putih sampai putih kekuningan. Umbi berkulit tipis, licin, dan berwarna coklat kekuningan serta memiliki kandungan karbohidrat yang berjaring lebih halus daripada jenis yam lain, ubi kayu, dan ubi jalar (Onwueme, 1978).

Tumbuhan dengan seluruh permukaannya diliputi rambut lembut berbentuk T. Percabangan terdiri atas satu cabang atau lebih, berpenampang lintang bulat panjang, berduri rapat pada bagian pangkalnya dan makin berkurang pada bagian atas. Seluruh ruas pangkal batang berduri sedangkan pertengahan batang hanya berduri pada buku-buku saja, masing-masing pangkal tangkai daun berduri pada tepinya. Daun kebanyakan berukuran 10 cm x 10 cm, kadang-kadang dapat juga mencapai 15 cm x 17 cm, dengan ujung daun meruncing; tangkai daun 1-1.5 panjang helai daun, kadang-kadang dengan duri-duri kecil diantara rambut-rambut lembut pada permukaan helai daun (Sudiarta, 1979).

(15)

meruncing, berukuran 2 mm. Tangkai bunga betina sangat pendek. Dasar bunga hampir berbentuk tabung. Tenda bunga terluar berbentuk bulat-bulat melembing, berujung tumpul, berukuran 1.5 mm, tenda bunga bagian dalam berujung lebih runcing. Buah kotak sejati terpilin, berukuran 27 mm x 12 mm, berujung agak berlekuk dan berpangkal agak terputus, dan biji-bijinya bersayap (Sudiarta, 1979).

Dioscorea esculenta merupakan tumbuhan yang berasal dari Muang Thai

dan Indo-Cina kemudian menyebar ke Asia Tenggara, Madagaskar, India Utara, dan New Guinea. Di Indonesia, jenis ini tersebar mulai dari Sulawesi, Buton sampai ke Maluku, dan telah lama dikenal pula di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Barat dan Timur) (Sudiarta, 1979). Umumnya telah dibudidayakan dan jarang ditemukan tumbuh liar. Beberapa tipe liar dari spesies ini juga ditemukan di daerah Malasyia, New Guinea, dan Philipina. Tipe liar memiliki daun yang banyak dan lebih besar, stolon lebih panjang, daging umbi berserat, serta memilki duri yang banyak pada tunas dan akar (Onwueme, 1978). Secara botani, tipe yang dibudidayakan dapat dibedakan ke dalam dua varietas, yaitu varietas spinosa

(Roxb.) merupakan varietas dengan akar berduri dan varietas fasciculata (Roxb.) merupakan varietas dengan akar berduri sedikit (Sudiarta, 1979).

Yam secara bebas telah didomestikasikan di banyak tempat berbeda di dunia. Yam merupakan tanaman sumber penghasil diosgenin, prekursor

progesterone, kortison, dan sumber steroid-steroid penting secara medis. Koleksi

tanaman untuk produksi diosgenin diizinkan di beberapa negara di dunia (WealthFood, 2003). Umbinya bila telah direbus, enak rasanya. Agak lekat-lekat seperti ketan dan manis. Umbi yang masih mentah berkhasiat obat yang bila dimakan rasanya agak gatal. Di Afrika Barat umbinya dipakai sebagai bahan industri pati dan alkohol (Sastrapradja, 1977).

(16)

Percobaan evaluasi awal dengan 24 tipe Dioscorea esculenta memiliki peranan penting dalam mengidentifikasi dua tipe yang bernilai hasil tinggi, yaitu DeK-4/86 (11.6 ton/ha) dan DeK-17/87 (11.5 ton/ha). Jenis-jenis tersebut toleran terhadap naungan dan lebih unggul daripada Sri Latha yang dikeluarkan oleh CTCRI (KAU, 2003).

Yam biasanya ditumpangsarikan dengan barisan tanaman giant taro

(Alocasia macrorrhiza), pisang (Musa cultivars), dan taro (Colocasia esculenta).

Di sepanjang pinggiran, Dioscorea esculenta sering ditanam bersebelahan dengan tiang pagar dan pandan-pandanan sebagai bahan baku anyaman. Tebu atau bayam hibiscus (Abelmoschus manihot) yang merupakan sayuran daun hijau penting sering di tanam di sepanjang pinggiran atau garis pagar kebun. Pagar hidup yang sering ditanam adalah Abelmoschus manihot, hibiscus pantai atau fau (Hibiscus

tiliaceus), dadap, atau ngatae (Erythrina variegata). Pohon kayu seperti kasuarina

(Casuarina equisetifolia) atau spesies-spesies introduksi, seperti kauri Australia

(Agathis robusta) atau mahogany India Barat (Swietenia macrophylla) ditanam di

beberapa baris sepanjang batas pinggir pada pertanaman, atau kadang-kadang seperti gundukan kayu. Tanaman-tanaman semusim atau jangka pendek seperti bawang hijau (Allium fistulosum dan A. ascalonicum), kubis cina atau paak tsoi

(Brassica chinensis), dan jagung (Zea mays) sering ditanam secara sistematis.

(Australian Agroforestry, 2001).

Syarat Tumbuh

Dioscorea esculenta tumbuh baik di daerah tropik dengan curah hujan

tinggi serta musim hujan dan musim kemarau jelas. Curah hujan minimal 1150 mm selama pertumbuhan, dengan musim kemarau 2-4 bulan. Pada daerah tersebut produksi mencapai 60-70 ton/ha (Gurnah, 1974 dan Martin, 1972 dalam

Marpaung).

Suhu udara optimum selama pertumbuhan maksimum adalah 25-30oC, yaitu selama 14-20 minggu setelah tanam. Sifat fisik tanah yang penting adalah kegemburan, kedalaman dan drainase. Kegemburan tanah penting karena umbi menembus tanah pada saat pembesaran umbi (Onwueme, 1978). Dioscorea

(17)

pertama kali setelah pembukaan lahan. Umumnya ditanam di lahan-lahan kering seperti tegalan, ladang dan kebun, baik di tempat datar maupun di tempat berbukit (Lingga, 1989).

Menurut Lingga (1989) pemanenan dilakukan apabila daun sudah mulai menguning, kering serta batang mengering. Bila keadaan menunjukkan umbi sudah siap untuk dipanen, tetapi tidak segera dilakukan pemanenan maka pada musim penghujan akan tumbuh tunas yang akan dihasilkan umbi yang membentuk tanaman baru.

Ketinggian hinggá 900 m dpl cocok untuk pertumbuhan tanaman, panjang hari yaitu hari pendek berkisar 10-12 jam untuk merangsang pembentukan umbi, sementara hari panjang yang lebih dari 12 jam mendukung perkembangan cabang. Pemberian mulsa setelah penanaman melindungi tanaman dari panas dan pengeringan yang berlebihan. Penurunan drastis hasil panen terjadi seandainya mulsa tidak diaplikasikan (terutama penurunan persentase perkecambahan), khususnya di daerah dimana temperatur panas dan cuaca kering sering terjadi.

Pengendalian gulma penting dilakukan selama 2-3 bulan pertama setelah penanaman. Tipe tanah yang disukai adalah bersolum dalam, kaya hara, dan permeabel. Tanah bertekstur remah penting untuk perkembangan dan pembesaran umbi. Tanah-tanah yang tergenang sebaiknya dihindari.

Siklus Hidup dan Produksi

Secara umum Dioscorea esculenta mengalami siklus hidup yang terdiri dari empat fase. Fase pertama dimulai saat umbi berkecambah hingga berumur enam minggu berikutnya, pada saat itu sistem akar mulai terbentuk dan batang (liana) mulai merambat. Fase kedua berlangsung mulai sekitar minggu 6-10 setelah berkecambah, dicirikan oleh pertumbuhan daun yang luas, pertumbuhan selanjutnya dari batang (liana), dan pengurangan pertumbuhan akar. Pada saat umur 10 minggu setelah berkecambah dimulai fase ketiga, dimana umbi mulai terisi sehingga akar sejati mulai berkembang (Onwueme, 1992).

(18)

mulai menurun, karena dijadikan sebagai sumber energi untuk metabolisme tanaman (Onwueme, 1978). Pada fase ini tanaman juga mulai menunjukkan gejala senescence. Senescen didefenisikan sebagai kegagalan reaksi-reaksi sintesis yang mendahului kematian sel. Senescen atau penuaan merupakan fase pertumbuhan tanaman yang lamanya berkisar dari dewasa penuh hingga kematian aktual. Proses tersebut diciri-cirikan dengan penimbunan produk metabolis dan kehilangan bobot kering, khususnya daun dan buah. Senescen daun-daun ditandai dengan penguningan dan kehilangan zat klorofil sebelum absisi atau layu serta matinya daun yang tidak gugur (Osborne dalam Weaver, 1972).

Pada tanaman perennial senescen merupakan proses proteksi aktif. Asimilat sering diekspor dari daun-daun senescen ke tanaman induk yang dapat memberikan proteksi lebih besar terhadap tanaman dari faktor lingkungan seperti kekeringan, udara dingin, dan kondisi-kondisi merugikan lainnya. Jangka hidup suatu daun ditentukan oleh kondisi tersebut. Tanaman dapat mengalami kenaikan atau penurunan pertumbuhan karena beberapa sebab. Seandainya hanya satu daun tertinggal pada tanaman maka daun dapat hidup dalam waktu lebih lama. Potongan daun atau daun tunggal yang tidak berkompetisi dengan jaringan atau organ lainnya untuk nutrisi dan substansi pertumbuhan dapat hidup dalam periode yang lebih lama. Sebaliknya, lama kehidupan tersebut turun dengan adanya perkembangan bagian sink pada bagian lain dari tanaman (Osborne dalam

Weaver, 1972).

Produksi Dioscorea esculenta berbeda-beda di setiap daerah, yaitu 24.1 ton/ha (Malaysia), 20-30 ton/ha (Philipina), 20 ton/ha (Irian Jaya) dan 10-20 ton/ha (Papua New Guinea) dengan berat umbi 0,1-3 kg (Onwueme, 1996). Kay (1973) menyatakan walaupun ukuran umbi kecil, hasil Dioscorea esculenta sering lebih tinggi daripada yang diperoleh dari spesies lainnya.

Tipe Perbanyakan

(19)

Secara alami, umbi tersedia sebagai organ tahunan utama bagi tanaman, sehingga memungkinkan tanaman tetap hidup pada musim yang kurang menguntungkan, dan tumbuh kembali pada tahun berikutnya. Oleh karena itu, banyak famili liar dari genus ini dan sebagian tipe yang sudah dibudidayakan memiliki duri yang mengelilingi umbi dalam jumlah banyak. Hal ini bermanfaat sebagai alat proteksi ketika keadaan lingkungan tidak mendukung (Onwueme, 1978).

Lanjaran

Lanjaran merupakan salah satu aspek pemeliharaan paling penting untuk mendukung pertumbuhan tanaman Dioscorea esculenta. Di beberapa negara, seperti dimana bahan lanjaran sulit tersedia mengakibatkan lanjaran menjadi aspek pemeliharaan yang mahal. Menurut Lingga (1989) pemasangan lanjaran harus sudah dilakukan saat panjang batang sudah mencapai 1 m. Hal ini berguna sebagai pendukung bagi batang untuk memanjat dan membelit. Ada beberapa tipe lanjaran yang umum digunakan pada tanaman Dioscorea esculenta, antara lain: tipe individu, piramid, dan tipe pagar (Gambar 1).

Pada tipe lanjaran individu, tiang kokoh ditempatkan secara vertikal dan tanaman diarahkan untuk membelitinya. Biasanya satu lanjaran digunakan untuk satu tanaman atau dapat dibuat untuk 2-3 tanaman yang berdekatan. Lanjaran harus cukup kuat untuk menahan kerusakan atau tercabut, terutama ketika daun sudah berkembang penuh. Lanjaran bambu cukup ideal untuk tipe lanjaran ini. Di daerah-daerah pembudidayaan tradisional cabang tanaman kadang-kadang diarahkan membeliti semak dan pohon-pohon tertentu yang dibiarkan pada plot selama pembukaan lahan. Tanaman biji-bijian (cereal) seperti jagung kadang-kadang juga ditumpangsarikan dengan yam. Cabang tanaman diusahakan menggunakan tanaman cereal sebagai pendukung. Praktek ini sebenarnya tidak mendukung karena batang cereal yang lemah menyebabkan kerusakan dalam skala besar, selain itu hasil yang diperoleh sangat rendah baik untuk yam maupun tanaman cereal sendiri (Onwueme, 1978).

(20)

piramid (Onwueme, 1978). Setelah membeliti keseluruhan lanjarannya, setiap tanaman kemudian akan saling membelit satu sama lain pada titik pertemuan lanjaran. Keuntungan tipe lanjaran ini adalah lebih stabil karena bentuk piramid cenderung saling mendukung satu dengan lainnya. Lanjaran yang diperlukan juga tidak harus sekuat pada lanjaran individu. Seandainya yang kuat tersedia sebaiknya digunakan, tetapi jika tidak ada lanjaran berstruktur lemah seperti tulang tengah daun kelapa sawit bisa digunakan (Onwueme, 1978).

Tipe pagar; tipe lanjaran pagar sederhana sudah lama digunakan oleh petani yam tradisional di daerah savana Afrika Barat, seperti daerah Oyo dan Ilorin di Nigeria. Baru-baru ini sistem pagar yang lebih kompleks untuk budidaya yam dikembangkan di India Barat. Pada sistem ini, dua tiang kuat ditempatkan pada kedua ujung setiap baris yang menyusuri panjang lahan keseluruhan. Seutas kawat besi direntangkan antara tiang pada ketinggian kira-kira 2 m di atas permukaan tanah. Tiang tengah (lanjutan) pada interval kira-kira 20 m merupakan dukungan tambahan bagi kawat. Diatas setiap tanaman digantung seutas tali ke bawah dari kawat utama. Ketika tanaman berkecambah, cabang akan membelit dengan perantara tali hingga mencapai kawat. Tanaman kemudian berkembang dan merambat sepanjang kawat. Tipe pagar ini memiliki keuntungan, yaitu material yang sama dapat digunakan selama beberapa tahun dan seandainya pemanenan secara mekanik dilakukan, lanjaran dapat dibongkar dengan mudah.

(21)

proses metabolisme, sehingga mendorong proses fotosintesis lebih besar (Chapman dalam Osiru dan Hahn, 1994). Menurut Onwueme (1978) bahwa dengan pemberian lanjaran maka sebagian daun akan muncul dan tumbuh lebih baik. Daun-daun yang ternaungi akan berkurang, sehingga kapasitas fotosintesis lebih besar. Selain itu dapat memelihara tunas pucuk sehingga tidak menyentuh permukaan tanah yang mungkin berada dalam kondisi panas atau basah yang dapat menyebabkan tanaman terbakar atau terserang penyakit. Penyiangan dan kegiatan pemeliharan lainnya juga lebih mudah dikerjakan karena cabang tidak merambat acak di permukaan tanah.

Hama dan Penyakit

Jenis-jenis kumbang kecil yang menyerang umbi atau tunas diantaranya

Heterogilus meles, Aspediella hartii, Crioceris livida, dan Palaeopus dioscorae.

Apabila tunas yang diserang perkembangan umbi menjadi terhambat. Jenis cacing tanah yang membusukkan umbi diantaranya Meloidogyne spp., Scutel Ionema

bradys, dan Pratylenchus spp. Tindakan pengendalian hama, baik kumbang kecil

maupun cacing tanah yang menyerang umbi agak sulit diketahui pada taraf dini karena tertimbun oleh tanah, hanya akan diketahui apabila tanaman sudah mulai menguning atau mati sebelum waktunya akibat serangan hebat dari hama tersebut. Pencegahan tersebarnya hama ke lokasi lain yaitu tanaman dibongkar dan dibuang jauh-jauh dari kebun atau dibakar, sedangkan lubang bekas bongkaran tadi diberi insektisida dan dibiarkan terbuka (Lingga, 1989).

Bintik-bintik coklat atau hitam pada daun dan batang bisa disebabkan oleh sejenis jamur Cercospora carbonacea, terdapat pula beberapa jenis jamur lain yang menyerang batang dan daun, diantaranya Gloesoporium pestis dan

Glomerella singulata. Virus Phylluethypa Dioscoreae dan Gopiana Dioscoreae

dapat mengakibatkan batang atau cabang menjadi kecil mengeriting seperti sapu. Jenis jamur yang menyerang umbi di gudang berupa Rosellina bunodes,

Penicillium spp., dan Fusarium spp., sedangkan untuk jenis Botrydiplodia

theobromae selain menyerang di gudang juga menyerang di kebun. (Lingga,

1989).

(22)

dalam jumlah besar seperti di Afrika Barat dan Karibia. Di Indonesia kasus serupa agak langka dijumpai dan memang masih dalam tahap penelitian, baik cara pemberantasannya maupun jenis hama dan penyakit yang ditimbulkan. (Lingga, 1989).

Cara dan Waktu Pemanenan

Tanaman Dioscorea spp. dipanen pada usia rata-rata 6-12 bulan, masa pemanenan ini juga bisa tergantung pada jenisnya. Tanaman yang sudah siap panen dapat dicirikan dengan daunnya yang sudah mulai menguning dan kering, keadaan demikian biasanya terjadi pada musim-musim kemarau. Pemanenan juga bisa ditangguhkan sampai musim berikutnya. Pemeliharaan tanaman Dioscorea

spp. dengan masa panenan yang ditangguhkan umumnya tidak jauh berbeda dengan pemeliharaan pada tahap permulaan (Lingga, 1989).

(23)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di UPT Kebun Percobaan Babakan IPB, Dramaga-Bogor. Kegiatan ini dilaksanakan dari bulan Desember 2004 sampai dengan Juli 2005 pada ketinggian 250 m di atas permukaan laut (dpl) dengan jenis tanah Latosol.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan meliputi bahan tanam berupa umbi dengan berat 85-95 g yang berasal dari daerah Wonosari, furadan 3-G, dan Artona (anti rayap) sebagai bahan proteksi lanjaran. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang 20 ton/ha, KCl 200 kg/ha, Urea 135 kg/ha, dan SP-36 250 kg/ha.

Alat-alat yang digunakan terdiri atas seperangkat alat budidaya pertanian, tali rafia, meteran, lanjaran berupa bambu berdiameter kurang lebih 6 cm, gergaji,

automatic area meter, oven, kertas label, jangka sorong, mistar, meteran,

seperangkat alat tulis, dan timbangan.

Metode Penelitian

Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor, yaitu tinggi lanjaran yang terdiri dari empat taraf perlakuan (tanpa lanjaran sebagai kontrol, 50 cm, 100 cm, dan 150 cm) dengan 3 ulangan. Total percobaan berjumlah 12 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari delapan tanaman yang berjarak 100 cm x 50 cm dengan luasan 2 m x 2 m. Total tanaman contoh berjumlah 60, yaitu setiap petak diambil lima tanaman contoh.

Model linier yang digunakan adalah: Yij = µ + ái + âj + ΣΣij

Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan pada taraf ke-i dalam kelompok ke-j µ = Nilai tengah populasi

ái = Pengaruh aditif dari perlakuan taraf ke-i

ßj = Pengaruh aditif dari kelompok ke-j

(24)

Pengaruh dari seluruh perlakuan dilihat dengan menggunakan uji-F pada taraf 5% dan 1%. Apabila terdapat pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati maka setiap perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan

Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5% dan 1%. Keeratan

hubungan antara peubah vegetatif dengan peubah produksi dianalisis dengan menggunakan uji korelasi.

Pelaksanaan Kegiatan

Sebelum penanaman, terlebih dahulu dilakukan pengolahan tanah secara minimum sekaligus pembuatan plot penelitian berukuran 2 m x 2 m sebanyak 12 petakan yang dibagi dalam tiga kelompok (ulangan). Kemudian dibiarkan hingga kondisi siap tanam selama satu minggu.

Penanaman bibit dilakukan dalam lubang dengan jarak tanam 100 cm x 50 cm. Lubang tanam dibuat dengan kedalaman kira-kira 30-40 cm. Pupuk yang diberikan terdiri dari pupuk kandang dan pupuk anorganik. Pupuk kandang diberikan pada saat penanaman, yaitu dicampur dengan tanah galian dan dimasukkan kembali ke dalam lubang hingga penuh. Kedalaman bibit yang terbenam ke dalam tanah antara 5-12 cm, kemudian ditutup dengan tanah. Sedangkan pemberian pupuk anorganik dilakukan 10 minggu setelah tanam (MST) dengan cara disebar di sekeliling tanaman sedalam 5 cm. Pemasangan lanjaran sebagai tempat membelitnya batang dan cabang dilakukan ketika tanaman berumur 7 MST. Tipe lanjaran yang digunakan pada penelitian ini adalah

single staking (lanjaran individu).

Pengamatan dilakukan mulai 8-23 MST terhadap peubah-peubah yang telah ditentukan. Ketika tanaman berumur kurang lebih 31 MST dilakukan pemanenan secara serempak pada seluruh tanaman. Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi pengguludan, penyiangan gulma, dan pengendalian hama penyakit bila diperlukan.

Pengamatan

(25)

y = 0,6849x - 2,0235 R2 = 0,9944

0 20 40 60 80 100 120 140

0 100 200

P x L Daun

Lua

s D

a

un de

nga

n A

la

t

Peubah Vegetatif:

1. Tinggi tanaman: sebagai indikator pertumbuhan maupun peubah yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang ditetapkan. Peubah diukur setiap minggu dimulai ketika tanaman berumur 8 MST hingga 23 MST.

2. Jumlah daun: sebagai indikator pertumbuhan dan data penunjang untuk menjelaskan proses pertumbuhan yang terjadi. Peubah dihitung setiap minggu pada saat tanaman berumur 8 MST hingga 23 MST. Kriteria daun yang dihitung adalah yang telah terbuka penuh dan dalam kondisi baik. 3. Panjang dan lebar daun, diukur satu daun/tanaman contoh mulai 8-23

MST. Daun contoh diambil dari buku kedua dari cabang primer tanaman. Pengukuran dilakukan pada bagian daun yang terpanjang dan terlebar. 4. Indeks Luas Daun (ILD): merupakan perbandingan luas daun total dengan

luas tanah yang ditutupi. Peubah dihitung berdasarkan metode panjang kali lebar dari daun yang diukur. Hubungan luas daun dengan panjang kali lebar daun ditampilkan pada gambar berikut:

Gambar 2. Hubungan Luas Daun dengan Panjang Kali Lebar Daun Luas satu daun contoh = 0.6849 x (P x L) – 2.0235

Luas daun per tanaman = 1.000051 x jumlah daun x luas satu daun contoh ILD = luas daun per tanaman/jarak tanam

Peubah Hasil Panen:

(26)

8. Bobot Kering Akar per tanaman contoh. 9. Bobot Kering Umbi per tanaman contoh

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Kondisi Umum

Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2004 sampai Juli 2005 dengan curah hujan rata-rata 620 mm/bulan (Tabel Lampiran 21). Selama penelitian, curah hujan sangat tinggi sehingga penyiraman (irigasi) tidak dilakukan sama sekali. Kegiatan penggantinya adalah melakukan perbaikan drainase di sekeliling petakan. Pada umur kurang lebih tujuh minggu setelah tanam (MST), umbi-umbi sudah mulai bertunas menembus permukaan tanah. Persentase daya tumbuhnya cukup baik, yaitu sekitar 90.625 %.

Selama pertumbuhan dan perkembangan, hama dan penyakit yang menyerang tanaman antara lain: hama belalang, walang sangit, dan penyakit karat daun. Namun, hal tersebut tidak mengganggu pertanaman atau masih di bawah batas ambang ekonomi, sehingga tidak dilakukan pengendalian secara kimiawi. Pada awal pertumbuhan atau sebelum diberikan perlakuan lanjaran, seluruh tanaman tumbuh menjalar dan merayap di permukaan tanah. Kondisi ini berlangsung kira-kira seminggu. Kemudian ketika tanaman berumur 7 MST, lanjaran dipasang dengan beberapa taraf tinggi yang berbeda pada tanaman yang telah ditentukan.

Pada dua minggu pertama, taraf perlakuan belum memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman, kecuali terhadap tinggi tanaman. Tetapi, pada minggu-minggu berikutnya perlakuan rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap semua parameter vegetatif yang diamati. Rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa tinggi lanjaran berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, jumlah daun, dan indeks luas daun (ILD).

(28)

Gambar 23). Sebaliknya, pada tanaman kontrol (tanpa lanjaran) menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang lambat dan kurang sempurna. Keadaan ini mungkin karena tanaman tidak memiliki dukungan untuk pertumbuhan, faktor

mutual shading (ternaungi satu sama lain), serta kondisi yang merugikan bagi

tanaman karena merambat di permukaan tanah sehingga perkembangan bagian-bagian tanaman terhambat (Gambar Lampiran 22).

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengujian Beberapa Taraf Tinggi Lanjaran terhadap Pertumbuhan Tanaman Dioscorea esculenta

Umur TT JD PD LD ILD

(MST) L KK L KK L KK L KK L KK 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** 17.24 15.00 13.80 14.57 11.43 4.63 3.06 5.33 5.65 4.57 3.76 1.87 3.80 4.49 9.53 2.69 tn tn * tn tn * * * * ** * * * * * * 21.23 18.29 17.14 17.14 20.19 15.60 13.52 13.00 12.43 11.43 11.58 11.46 11.48 11.64 11.71 11.34 tn tn ** * tn * ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** 6.95 10.14 4.13 5.77 6.87 9.39 7.88 9.16 7.42 4.34 3.88 4.94 5.05 4.54 3.80 4.29 tn tn ** * tn * * ** ** ** ** ** ** ** ** ** 6.45 8.94 4.89 6.56 9.43 11.73 10.06 9.90 7.70 4.83 6.28 7.36 4.64 4.74 4.72 5.87 tn tn * * tn * * * ** ** ** ** ** ** ** ** 26.91 29.87 23.46 29.56 32.63 42.50 35.68 36.51 27.72 21.74 20.67 22.50 21.84 17.46 17.79 19.59 Keterangan:

L : Lanjaran tn : Tidak nyata KK : Koefisien Keragaman (%) TT : Tinggi Tanaman * : Nyata pada taraf Uji 5% JD : Jumlah Daun ** : Nyata pada taraf Uji 1% PD : Panjang Daun ILD : Indeks Luas Daun LD : Lebar Daun

Pada Gambar Lampiran 22 terlihat penampilan tanaman setelah dibumbun. Pada umur ini tanaman sudah mulai memasuki fase inisiasi (pembentukan) umbi. Ketika tanaman berumur 21 MST, tanaman mulai menunjukkan gejala senescence

(29)

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengujian Beberapa Taraf Tinggi Lanjaran terhadap Produktivitas Tanaman Dioscorea esculenta

Keragaman Peubah

L KK

Bobot Basah Tajuk Bobot Basah Akar Bobot Basah Umbi Bobot Kering Tajuk Bobot Kering Akar Bobot Kering Umbi Panjang Umbi Diameter Umbi * * * tn * ** tn ** 19.03 13.69 9.72 17.92 19.37 11.05 10.08 5.09 Keterangan:

L : Lanjaran KK : Koefisien Keragaman (%) * : Nyata pada taraf Uji 5% ** : Nyata pada taraf Uji 1% tn : Tidak nyata

Tinggi Tanaman

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tinggi lanjaran berpengaruh sangat nyata dalam meningkatkan tinggi tanaman pada setiap minggu pengamatan (Tabel Lampiran 2). Tinggi tanaman pada 8 hingga 23 MST dengan tinggi lanjaran 150 cm nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, lanjaran 50 cm, dan lanjaran 100 cm, sedangkan tinggi lanjaran 50 cm menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata terhadap kontrol pada 8 dan 11 MST dan tinggi lanjaran 100 cm pada 18 MST (Tabel 3).

Lanjaran 150 cm menghasilkan pertambahan tinggi terbesar dibandingkan taraf perlakuan lainnya, sedangkan kontrol menghasilkan pertambahan yang terendah. Lanjaran 150 cm menghasilkan pertumbuhan tanaman tertinggi ketika 17 MST, yaitu sebesar 160.73 cm dan terendah dihasilkan oleh tanaman kontrol, yaitu 27.13 cm pada 8 MST (Tabel 3).

(30)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Umur Tanaman (MST)

Tinggi Tanaman (cm)

[image:30.612.177.462.96.348.2]

0 cm 50 cm 100 cm 150 cm Tabel 3. Tinggi Tanaman pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran

Umur Taraf Tinggi Lanjaran cm

(MST) 0 cm 50 cm 100 cm 150 cm 8 27.13 c 47.80 c 86.40 b 118.66 a 9 32.13 d 59.13 c 94.13 b 124.20 a 10 33.53 d 59.73 c 95.86 b 132.60 a 11 40.67 c 57.20 c 101.27 b 140.60 a 12 36.53 d 60.06 c 104.66 b 148.53 a 13 41.86 d 59.93 c 108.60 b 155.60 a 14 35.93 d 60.93 c 104.06 b 154.26 a 15 38.13 d 60.86 c 104.80 b 156.53 a 16 33.73 d 62.20 c 106.26 b 155.53 a 17 36.20 d 64.13 c 106.26 b 160.73 a 18 36.73 d 61.60 c 104.06 c 155.46 a 19 35.66 d 62.20 c 105.93 b 158.06 a 20 35.40 d 59.33 c 105.80 b 159.00 a 21 36.53 d 60.80 c 108.06 b 158.93 a 22 36.00 d 59.26 c 100.40 b 152.20 a 23 36.26 d 57.53 c 104.06 b 157.33 a

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Gambar 3. Tinggi Tanaman pada Berbagai Taraf Tinggi Lanjaran

Jumlah Daun

[image:30.612.156.506.398.580.2]
(31)

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Umur Tanaman (MST)

Jumlah Daun

0 cm 50 cm 100 cm 150 cm

cm memiliki jumlah daun yang berbeda nyata dengan kontrol, lanjaran 50 cm, dan lanjaran 100 cm ketika tanaman berumur14-23 MST. Pada 10 MST, lanjaran 150 cm hanya berbeda nyata terhadap lanjaran 100 cm dan pada 13 MST berbeda nyata dengan kontrol dan lanjaran 100 cm.

Tabel 4. Jumlah Daun pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran Umur Taraf Tinggi Lanjaran

(MST) 0 cm 50 cm 100 cm 150 cm 8 40.13 43.80 29.33 44.33 9 55.20 57.90 42.60 70.80 10 86.87ab 100.80 a 67.13 b 120.13 a 11 118.40 146.87 120.87 188.40 12 150.80 186.27 151.67 235.67 13 179.13 b 217.13ab 182.80 b 281.80 a 14 203.80 b 245.80 b 211.93 b 322.87 a 15 224.07 b 270.27 b 233.27 b 345.40 a 16 240.73 b 289.27 b 249.67 b 368.33 a 17 247.40 b 304.87 b 263.53 b 386.53 a 18 264.20 b 315.47 b 274.07 b 400.13 a 19 271.07 b 321.67 b 288.53 b 410.27 a 20 274.87 b 324.87 b 293.20 b 415.67 a 21 276.93 b 325.73 b 295.13 b 418.00 a 22 275.73 b 325.27 b 295.73 b 418.93 a 23 275.67 b 293.87 b 324.47 b 425.00 a

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

[image:31.612.164.469.175.415.2]

(32)

Perlakuan teknis pemasangan lanjaran dapat memberikan ruang bagi tanaman untuk tumbuh menjadi percabangan produktif dan merambat sepanjang ajir. Gambar 4 menunjukkan bahwa jumlah daun meningkat terus mulai 8-20 MST pada semua taraf perlakuan, dan pada lanjaran 150 cm terus terjadi peningkatan hingga 23 MST. Jumlah daun maksimum dihasilkan sekitar umur 19-20 MST dan ketika umur 21-23 MST cenderung konstan. Pada saat pemanenan, jumlah daun menunjukkan penurunan dari minggu-minggu sebelumnya. Jumlah daun tertinggi dihasilkan oleh tanaman dengan lanjaran 150 cm, yaitu 425 pada 23 MST, sedangkan jumlah daun terendah diperoleh dari lanjaran 100 cm, yaitu 29.33 pada 8 MST.

Panjang Daun

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tinggi lanjaran berpengaruh nyata terhadap panjang daun pada 11 dan 13 MST, serta sangat nyata ketika 10 MST dan 14-23 MST (tabel lampiran 3). Pada umur-umur tersebut lanjaran 150 cm menghasilkan panjang daun yang nyata lebih besar dibandingkan kontrol, lanjaran 50 cm, dan lanjaran 100 cm, kecuali pada 11 dan 13 MST lanjaran 150 cm tidak berbeda nyata dengan lanjaran 100 cm.

Tanaman yang diberi perlakuan lanjaran 150 cm rata-rata menghasilkan panjang daun terbesar pada setiap pengamatan, sedangkan panjang daun terkecil rata-rata diperoleh dari tanaman kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi lanjaran dapat meningkatkan pertambahan panjang daun. Panjang daun terbesar diperoleh dari lanjaran 150 cm, yaitu 9.7867 cm ketika tanaman berumur 16 MST, sedangkan panjang daun terkecil dihasilkan oleh kontrol pada 8 MST sebesar 5.9133 cm.

(33)

0 2 4 6 8 10 12

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Umur Tanaman (MST)

Panjang Daun (cm)

0 cm

50 cm 100 cm 150 cm

Tabel 5. Panjang Daun pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran Umur Taraf Tinggi Lanjaran

cm

(MST) 0 cm 50 cm 100 cm 150 cm 8 5.9133 6.3667 6.3667 6.2667 9 5.9667 6.7000 6.9800 6.9533 10 6.1733 c 6.5733bc 6.9067 b 7.4733 a 11 6.2667 b 6.7800 b 7.0667ab 7.8333 a 12 6.2600 6.6600 6.9267 7.3933 13 6.7267 b 7.3800 b 7.8667ab 9.3000 a 14 6.4200 c 6.9200bc 7.8867 b 9.2400 a 15 6.4133 b 7.1533 b 7.8200 b 9.7333 a 16 6.3867 c 7.0467bc 7.9067 b 9.7867 a 17 6.2400 d 7.1000 c 7.8133 b 9.6867 a 18 6.0600 d 6.8933 c 7.9133 b 9.3000 a 19 6.4867 c 6.7267 c 7.6467 b 9.3533 a 20 6.1333 c 6.7467bc 7.4200 b 8.9800 a 21 6.1600 c 6.5867 c 7.3267 b 8.7333 a 22 5.8867 c 6.5200 b 7.0000 b 8.4000 a 23 5.8200 c 6.4867 b 6.8667 b 8.2400 a

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

[image:33.612.178.461.98.348.2]

Gambar 5. Panjang Daun pada Berbagai Taraf Tinggi Lanjaran

Lebar Daun

(34)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Umur Tanaman (MST)

Lebar Daun (cm)

0 cm

50 cm

100 cm

150 cm

Tanaman dengan tinggi lanjaran 150 cm menghasilkan lebar daun terbesar, sedangkan lebar daun terkecil dihasilkan oleh tanaman tanpa lanjaran (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa lanjaran dapat menambah peningkatan lebar daun. Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa lanjaran 150 cm nyata lebih besar dibandingkan kontrol, lanjaran 50 cm, lanjaran 100 cm pada 10-11 MST dan 14-23 MST, sedangkan pada 13 MST hanya berbeda nyata terhadap kontrol dan lanjaran 50 cm.

Tabel 6. Lebar Daun pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran Umur Taraf Tinggi Lanjaran

cm

(MST) 0 cm 50 cm 100 cm 150 cm 8 5.0333 5.5600 5.5333 5.5067 9 5.0800 5.8667 6.2067 6.1533 10 5.2933 c 5.7000 bc 6.0067 b 6.7533 a 11 5.4667 b 5.9267 b 6.1600 b 7.1667 a 12 5.4467 5.6800 6.0200 6.7267 13 5.7733 b 6.4800 b 6.8200 ab 8.3733 a 14 5.5800 b 6.0200 b 6.7733 b 8.2600 a 15 5.6067 b 6.2933 b 6.8533 b 8.6933 a 16 5.5933 c 6.1200 bc 7.0600 b 8.3800 a 17 5.3600 d 6.3067 c 6.9933 b 8.4533 a 18 5.1267 c 5.7800 c 6.8267 b 8.3000 a 19 5.4000 c 5.7267 cb 6.5867 b 8.4400 a 20 5.2200 d 5.8200 c 6.4533 b 8.1800 a 21 5.1267 c 5.5800 c 6.3400 b 7.7267 a 22 4.9200 c 5.5200 b 5.9467 b 7.4267 a 23 4.8467 c 5.5533 b 5.7933 b 7.3067 a

[image:34.612.179.463.234.483.2]

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

(35)

Peningkatan lebar daun pada tanaman rata-rata terjadi pada minggu 8-15 MST untuk semua taraf perlakuan, pada 15-17 MST cenderung konstan, dan ketika tanaman berumur 17-23 MST terjadi penurunan perlahan-lahan. Peningkatan terbesar dihasilkan oleh tinggi lanjaran 150 cm, selanjutnya berturut-turut lanjaran 100 cm, 50 cm, dan terkecil adalah kontrol. Lebar daun optimum rata-rata dicapai pada !5-17 MST (Gambar 6). Lanjaran 150 cm menghasilkan lebar daun terbesar, yaitu 8.45 cm saat 17 MST dan terkecil adalah kontrol sebesar 5.0333 cm pada 8 MST.

Indeks Luas Daun

[image:35.612.177.460.404.642.2]

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tinggi lanjaran berpengaruh nyata terhadap ILD saat tanaman berumur 10-11 MST dan 13-15 MST, serta sangat nyata pada 16-23 MST (Tabel Lampiran 5). Perlakuan lanjaran 150 cm nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, lanjaran 50 cm, dan lanjaran 100 cm pada umur tersebut, sedangkan antara kontrol, lanjaran 50 cm, dan lanjaran 100 cm tidak memperlihatkan nilai yang berbeda nyata.

Tabel 7. ILD pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran

Umur Taraf Tinggi Lanjaran

(MST) 0 cm 50 cm 100 cm 150 cm 8 0.1478 0.1994 0.1306 0.1970 9 0.2056 0.3021 0.2450 0.4218 10 0.3569 b 0.4895 b 0.3610 b 0.7914 a 11 0.5085 b 0.7809 b 0.6793 b 1.3983 a 12 0.6497 0.9311 0.8112 1.5158 13 0.9076 b 1.3787 b 1.2735 b 3.0795 a 14 0.9172 b 1.3461 b 1.4609 b 3.4543 a 15 1.0286 b 1.6192 b 1.6485 b 4.0640 a 16 1.0872 b 1.6950 b 1.8120 b 4.1351 a 17 1.0566 b 1.8238 b 1.8492 b 4.3201 a 18 1.0110 b 1.6342 b 1.9258 b 4.1260 a 19 1.2185 b 1.5840 b 1.8706 b 4.3720 a 20 1.0979 b 1.6940 b 1.7985 b 4.0907 a 21 1.0940 b 1.5815 b 1.7519 b 3.7557 a 22 0.9879 b 1.5042 b 1.5606 b 3.4805 a 23 0.9473 b 1.4795 b 1.5328 b 3.4106 a

(36)

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Umur Tanaman (MST)

ILD

0 cm

50 cm

100 cm

150 cm

Lanjaran 150 cm menghasilkan pertambahan ILD terbesar dibandingkan perlakuan lain, sedangkan pertambahan ILD terkecil diperoleh dari tanaman kontrol.(Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa tinggi lanjaran dapat menambah peningkatan ILD. Lanjaran 150 cm menghasilkan ILD tertinggi pada 19 MST, yaitu sebesar 4.3720.

Peningkatan ILD rata-rata terjadi mulai minggu 8-16 MST (Gambar 7). Pada minggu 16-19 setelah tanam, perkembangan ILD cenderung konstan, tetapi ketika berumur 19-23 MST tanaman sudah memasuki fase senescence dan mulai terjadi penurunan ILD perlahan-lahan.. Indeks luas daun optimum rata-rata dihasilkan pada 17-19 MST, sedangkan ILD terendah dicapai pada awal pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Gambar 7. ILD pada Berbagai Taraf Tinggi Lanjaran

Peubah Produksi

(37)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800

BBT BKT BBU BKU BBA BKA

Peubah Panen Bobot (gr) 0 cm 50 cm 100 cm 150 cm

Tabel 8. Peubah Hasil Produksi per Tanaman pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran Peubah Taraf Tinggi Lanjaran

Panen 0 cm 50 cm 100 cm 150 cm Bobot Basah Tajuk (g) 264.67 b 287.67 b 313.00 b 456.00 a Bobot Kering Tajuk (g) 61.24 63.87 65.00 94.96 Bobot Basah Akar (g) 37.76 ab 30.76 b 28.30 b 45.40 a Bobot Kering Akar (g) 10.53 a 9.26 a 9.46 a 15.20 b Bobot Basah Umbi (g)

Bobot Kering Umbi (g)

996.67 c 401.83 c 1066.00cb 464.30cb 1256.00 b 564.43 b 1695.33 a 789.20 a Panjang Umbi (cm) 15.30 14.96 15.70 17.53 Diameter Umbi (cm) 4.24 b 4.18 b 4.44 b 5.08 a Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama

menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Bobot basah (BB) dan BK untuk tajuk dan umbi terendah dihasilkan oleh perlakuan kontrol. Bobot basah (BB) dan BK akar terendah dihasilkan oleh lanjaran 50 cm, serta panjang dan diameter umbi terendah juga diperoleh dari lanjaran 50 cm (Tabel 8). Gambar 8 menunjukkan bahwa peubah BBU memiliki selisih nilai terbesar dibanding peubah BBT, BKT, BKU, BBA, dan BKA, sedangkan selisih nilai terkecil dihasilkan oleh BKA.

Tabel 8 menunjukkan bahwa peubah BBT, BBA, BKA, BBU, BKU, dan DU yang diamati pada lanjaran 150 cm nyata lebih tinggi dibanding taraf perlakuan lain. Taraf perlakuan kontrol, lanjaran 50 cm, dan lanjaran 100 cm menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata untuk peubah BBA, BKA, dan DU, sedangkan untuk peubah BBA, BBU, dan BKU antara tinggi lanjaran 50 cm dan 100 cm menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata.

(38)

Bobot umbi basah per hektar setelah dikonversi dari per tanaman beturut-turut dari yang tertinggi adalah 33.90 ton (lanjaran 150 cm), 25.12 ton (lanjaran 100 cm), 21.32 ton (lanjaran 50 cm), dan 19. 93 ton (tanpa lanjaran). Bobot kering umbi yang dihasilkan per hektar adalah 15.78 ton (lanjaran 150 cm), 11.28 ton (lanjaran 100 cm), 9.28 ton (lanjaran 50 cm), dan 8.03 ton (tanpa lanjaran). Nilai ini lebih besar dari hasil yang biasanya diperoleh.

Korelasi Antara Peubah Vegetatif dengan Peubah Produksi

Korelasi antara peubah vegetatif dengan peubah produksi menunjukkan korelasi atau hubungan yang positif secara keseluruhan. Tinggi tanaman menghasilkan korelasi yang berbeda nyata terhadap semua peubah produksi, kecuali terhadap bobot basah akar. Koefisien korelasi tertinggi dihasilkan terhadap bobot kering umbi, sedangkan yang terendah adalah terhadap peubah bobot basah akar (Tabel Lampiran 15).

Korelasi antara jumlah daun dan peubah produksi menunjukkan nilai korelasi yang positif dan berbeda nyata terhadap semua peubah. Koefisien korelasi tertinggi ditunjukkan oleh peubah diameter umbi, sedangkan nilai terendah dihasilkan oleh bobot basah akar (Tabel Lampiran 16). Analisis korelasi pada peubah panjang daun dan lebar daun dengan peubah panen menunjukkan nilai korelasi yang positif. Panjang dan lebar daun menunjukkan hubungan yang berbeda nyata terhadap semua peubah produksi pada setiap taraf perlakuan. Nilai koefisien korelasi tertinggi diperoleh pada bobot basah umbi, sedangkan nilai terendah dihasilkan oleh bobot basah akar (Tabel Lampiran 17 dan 18).

(39)

PEMBAHASAN

Pertumbuhan Vegetatif

Harjadi (1989) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif berhubungan dengan pembelahan sel yang terjadi pada saat pembentukan sel-sel baru, dan terjadinya perpanjangan sel karena adanya perkembangan sel-sel baru dan jaringan primer. Pertumbuhan vegetatif tanaman meliputi pertumbuhan akar, daun dan batang baru. Jika pembentukan sel-sel dan jaringan baru berjalan dengan cepat, maka pertumbuhan akar, daun, dan batang juga berjalan cepat

Pada minggu 8-9 setelah tanam perlakuan yang dicobakan terhadap tanaman belum memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap peubah vegetatif, kecuali terhadap tinggi tanaman. Tinggi lanjaran 150 cm menghasilkan pertambahan tinggi tanaman terbesar. Hal ini mungkin disebabkan tanaman mendapat dukungan untuk membelitkan batang dan cabang-cabang baru. Menurut Gultom (2004) perlakuan teknis pemasangan lanjaran dapat memberikan dukungan bagi tanaman untuk tumbuh dan menjadi percabangan produktif.

Lanjaran bermanfaat sebagai pendukung untuk meninggikan cabang-cabang yang lemah (Onwueme, 1978). Selain itu, tunas-tunas pucuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dengan adanya lanjaran, sedangkan tanaman tanpa lanjaran (kontrol) menghasilkan tinggi tanaman terendah. Hal ini dikarenakan tanaman tidak mendapatkan dukungan untuk merambat dan membelitkan batang dan cabang sesuai dengan karakter hidupnya. Tunas dan cabang-cabang muda (baru berkembang) tidak bisa berdiri kokoh (lemah), sehingga merayap atau merambat di permukaan tanah. Kondisi ini sangat merugikan bagi tunas-tunas dan daun muda yang sedang dalam pertumbuhan dan perkembangan. Tanaman yang diberi lanjaran akan membelit lanjaran secara keseluruhan hingga kanopi terbentuk sepenuhnya. Pemberian lanjaran memungkinkan tunas-tunas dari setiap cabang tumbuh baik karena memperoleh kondisi tumbuh yang menguntungkan.

(40)

untuk berfotosintesis secara optimal karena banyaknya daun yang saling menutupi. Pada umur 13-23 MST, tinggi tanaman dengan perlakuan lanjaran cenderung konstan. Kondisi ini mungkin disebabkan tajuk tanaman lanjaran sudah membeliti keseluruhan lanjaran. Biasanya cabang-cabang akan saling membelit satu sama lain dalam satu tanaman jika lanjaran tidak dapat lagi dirambati oleh tanaman.

Daun secara umum dipandang sebagai organ produsen fotosintat utama, meskipun proses fotosintesis dapat berlangsung pada bagian lain dari tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tinggi lanjaran 150 cm menghasilkan jumlah daun per tanaman terbesar dibanding taraf perlakuan lainnya. Keadaan tersebut diduga karena tanaman mendapatkan kondisi ruang tumbuh yang lebih baik. Daun-daun dapat berkembang dan melakukan aktivitas metabolismenya dengan lancar. Gultom (2004) menyatakan bahwa pemasangan lanjaran mengakibatkan cahaya alami yang berasal dari matahari dapat diterima oleh tanaman secara optimal.

Pemasangan lanjaran pada tanaman dapat meningkatkan jumlah daun yang terbuka penuh, mengurangi efek saling menaungi antara daun (mutual shading), dan memelihara tunas pucuk serta cabang-cabang tanaman sehingga tidak kontak langsung dengan permukaan tanah. Menurut Maryasa (1990) tanaman dapat menangkap cahaya matahari secara efisien dengan berkurangnya efek saling menaungi.

(41)

karena kondisi vigor awal tanaman yang dipengaruhi oleh fisiologi bahan tanam. Tetapi pada peubah panjang dan lebar daun dapat kita lihat bahwa tanaman dengan lanjaran 100 cm berniali lebih besar dibanding lanjaran 50 cm. Lanjaran yang lebih tinggi memberikan kondisi ruang tumbuh yang baik bagi perkembangan daun. Daun-daun terbuka sempurna dan cabang dapat tumbuh dan berkembang cepat.

Peningkatan tangkapan intensitas cahaya matahari oleh daun menyebabkan kapasitas fotosíntesis lebih besar. Asimilat yang terbentuk bermanfaat untuk inisiasi bakal daun baru. Jumlah daun terus mengalami peningkatan mulai 8-17 MST, setelah itu jumlah daun cenderung konstan. Hal ini mungkin disebabkan tanaman sudah mulai memasuki fase inisiasi umbi. Menurut Onwueme (1978) pada umur 10 minggu setelah berkecambah (bertunas) dimulai fase ketiga, dimana umbi mulai terisi sehingga akar sejati mulai berkembang. Hasil fotosíntesis yang terbentuk akan ditranslokasikan ke bagian akar tanaman. Penurunan jumlah daun cenderung terjadi pada semua taraf perlakuan pada 23 MST. Kondisi ini diduga karena kematian dan absisi daun-daun tua lebih cepat daripada pembentukan daun-daun baru. Menjelang pemanenan tunas-tunas pucuk menunjukkan pertumbuhan (vigor) yang mulai berkurang daripada sebelumnya, malah sebagian darinya sudah mati. Akibatnya pertumbuhan daun-daun baru menurun drastis.

Pertumbuhan tanaman semakin meningkat dengan meningkatnya ILD karena intersepsi cahaya lebih besar, sehingga fotosíntesis akan besar juga. Penambahan jumlah daun menyebabkan daun-daun pada bagian bawah tidak mendapatkan cahaya yang cukup untuk fotosíntesis. Pada umur 22 MST, tanaman sudah menunjukkan gejala senescence, yaitu daun menguning dan kehilangan zat klorofil sebelum absisi (layu).

(42)

lainnya. Daun berkembang dengan baik karena terekspos bebas oleh cahaya matahari dan efek saling menaungi antara daun rendah.

Peningkatan luas daun penting karena menentukan rata-rata peningkatan kapasitas fotosíntesis dari tanaman (Brown, 1978). Besarnya kapasitas fotosíntesis pada tanaman dengan lanjaran 150 cm berpengaruh sekali terhadap penampilan vegetatif tanaman yang prima. Sebaliknya, pertumbuhan vegetatif tanaman kontrol lebih jelek dibanding taraf lainnya. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh translokasi asimilat yang dihasilkan. Daun-daun yang berukuran kecil cenderung akan menghasilkan asimilat yang rendah karena kapasitas fotosintesisnya rendah.

Osiru dan Hahn (1994) menyatakan bahwa NAR (Net Assimilation Rate) atau tingkat asimilasi bersih secara konsisten tinggi pada tanaman dengan lanjaran, karena daun-daun terbuka dengan baik sehingga mampu menangkap radiasi matahari dengan efisien serta efek saling menaunginya (mutual shading) rendah. Brown (1988) menyatakan bahwa pada saat ILD rendah, NAR atau efisiensi daun akan tinggi dan ketika ILD meningkat NAR akan turun walaupun tingkat pertumbuhan tanaman meningkat selama periode yang sama. Penurunan efisiensi daun merupakan hasil dari peningkatan efek saling menaungi antara daun-daun tanaman. Biasanya efisiensi daun tertinggi terjadi pada fase pertumbuhan awal, karena pada fase ini sedikit atau hampir tidak ada efek saling menaungi antara daun tanaman (Osiru dan Hahn, 1994).

(43)

Peubah Hasil Produksi

Produksi peubah panen tertinggi dihasilkan oleh tanaman dengan tinggi lanjaran 150 cm. Hal ini mungkin dikarenakan pertumbuhan vegetatif tanaman yang baik, yaitu kondisi tajuk berkembang lebih sempurna dibanding perlakuan lainnya. Keadaaan tersebut mendorong terjadinya fotosintesis dalam kapasitas besar dan jumlah yang lebih besar juga. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa jumlah daun, panjang daun, lebar daun tertinggi diperoleh pada tanaman dengan tinggi lanjaran 150 cm. Hal ini berkorelasi dengan peubah produksi yang diamati

Bobot basah umbi per hektar yng dihasilkan tanaman dengan tinggi lanjaran 150 cm mencapai 33.90 ton. Hasil ini menunjukkan bahwa tanaman

Dioscorea esculenta dapat tumbuh baik pada kondisi curah hujan tinggi tanpa

adanya musim kemarau yang jelas. Kemungkinan curah hujan yang tinggi berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif yang baik. Keadaan vegetatif yang baik mendukung proses asimilasi yang bermanfaat dalam menghasilkan asimilat.

Pergerakan fotosintat dari daun memiliki dua kegunaan. Pertama untuk memberi makan bagian tanaman yang tidak berfotosintesis, kedua disimpan dalam organ-organ penyimpanan untuk digunakan pada waktu-waktu tertentu (Brown 1988). Akar merupakan organ penyimpanan bagi tanaman Diosorea esculenta. Pada saat perkembangan umbi, fotosintat bergerak dari source (biasanya daun) ke

sink (tempat yang dibutuhkan) (Brown, 1988). Tanaman akan memperoleh fotosintat yang besar seiring dengan meningkatnya kapasitas fotosintesis, sedangkan pada tanaman yang memiliki kapasitas fotosintesis rendah akan menghasilkan fotosintat yang kecil. Hal ini dapat kita lihat dari umbi yang dihasilkan tanaman kontrol, yaitu bobot umbi basah maupun kering lebih rendah dibandingkan taraf perlakuan lain.

Korelasi atau hubungan antara seluruh peubah vegetatif dan peubah panen menunjukkan nilai yang positif dan berbeda nyata. Hal ini kemungkinan karena peubah-peubah yang diamati ketika panen sangat ditentukan oleh pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman dengan jumlah daun yang banyak dan tingkat mutual

shading yang rendah cenderung menghasilkan bobot tajuk dan umbi dalam jumlah

(44)
(45)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Secara keseluruhan pertumbuhan vegetatif tanaman dipengaruhi secara nyata oleh tinggi lanjaran. Tinggi lanjaran 150 cm menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang terbaik dibanding taraf perlakuan lainnya, sedangkan kontrol (tanpa lanjaran) menghasilkan pertumbuhan vegetatif terendah dari seluruh taraf perlakuan yang diujikan. Tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, dan indeks luas daun terbesar dihasilkan tanaman dengan lanjaran 150 cm. Sebaliknya, nilai peubah vegetatif terendah diperoleh dari tanaman kontrol.

Lanjaran memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah produksi, kecuali terhadap bobot kering tajuk dan panjang umbi. Lanjaran 150 cm dapat meningkatkan produksi baik per tanaman maupun per hektar, yaitu untuk umbi segar 70% dan bobot umbi kering 96% dari hasil kontrol (tanaman tanpa lanjaran). Bobot tajuk dan bobot umbi terendah diperoleh dari tanaman kontrol. Korelasi antara peubah vegetatif dengan peubah panen menunjukkan nilai korelasi yang positif dan berbeda nyata. Nilai-nilai yang besar dari peubah vegetatif cenderung untuk terjadi bersama-sama dengan nilai-nilai yang besar dari peubah produksi. Pertumbuhan vegetatif yang baik mendorong peningkatan bobot hasil panen. Dioscorea esculenta dapat tumbuh dengan baik pada kondisi curah hujan 620 mm/bulan, walaupun tanpa ada musim kemarau yang jelas selama pertanaman.

Saran

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Australian Agroforestry. 2001.Tongan Agroforestry. www.agroforestry.net/overst ory (Desember 2005)

Bakri, S. 2002. Pengaruh Pemupukan N dan P terhadap Pertumbuhan dan Produksi Soba (Fagopyrum esculentum Moench.). Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Faperta, IPB. Bogor. 30 hal.

Brown, R. H. 1988. Growth of the Green Plant, p. 153-173. In: M. B. Tesar (ed.). Physiological Basis of Growth and Development. American Society of Agronomy. Wisconsin, USA.

Ernest, J. and J. O’Sullivan. 2004. Improved fallow and live-staking of yam using

Gliricidia sepium in Papua New Guinea. www.cropscience.org/icsc2004/po

ster/2/3/1265_ernestj.htm (Desember 2005)

FAO. 1993. In Plant Resources of South East Asia (PROSEA). Bogor, Indonesia. No. 9:. 17-18

Gultom, M. 2004. Pengaruh Teknis Pemasangan Lanjaran terhadap Pertumbuhan dan Produksi pada Tiga Galur Kacang Panjang (Vigna sinensis (L.) Savi ex Hassk). Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian, Faperta, IPB. 42 hal. Indobiogen. 2004. Plasma Nutfah Ubi-ubian Minor: Gembili (Dioscorea

esculenta). www indobiogen.or.id/berita_artikel/mengenal_plasmanutfah.p

hp. (Desember 2005)

International Starch Institute. 1999. Yam. Science Park Aarhus, Denmark. www.starch.dk/isi/starch/yam.htm (Desember 2005)

KAU. 2003. Dioscorea (Yams). www.kau.edu/pop/tubers.htm (Desember 2005) Kay, D. E. 1973. NO. 2 Root Crops. The Tropical Product Institute, Foreign and

Commonwealth Office. London. 240 p.

Kissan. 2003. Lesser Yam. www.kissankerala.net/kissan/kissancontent/LESSER YAM.htm#top (Desember 2005)

Lingga,P.1989.Bertanam Ubi-ubian. P.T. Penebar Swadaya. Jakarta. 285 hal. Marpaung, J. 2001. Karakterisasi Morfologi Tajuk, Umbi, dan Kandungan Nutrisi

Koleksi. Dioscorea spp. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Faperta, IPB. Bogor. 37 hal.

Martin, F. W. 1976. Selected Yam Varieties for the Tropics, p. 44-49. In: J.Cock, Maclntyre, and M. Graham (Eds.). Proceedings of Fourth Symposium of the International Society for the Tropical Roots. The International Society for Tropical Root Crops. Ottawa.

Maryasa, A. 1990. Pengaruh Tinggi Lanjaran dan Waktu Pemetikan Sebagian Polong Muda terhadap Produksi dan Viabilitas Benih Kacang Panjang

(Vigna sinensis (L.) Savi ex Hassk). Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian,

(47)

Nasoetion, A. H. dan Barizi. 1982. Metode Statistika untuk Penarikan Kesimpulan. P. T. Gramedia. Jakarta. 223 hal.

O' Hair, S.K. 1990. Tropical Root and Tuber Crops. p. 424-428. In: J. Janick and J.E. Simon (eds.), Advances in new crops. Timber Press, Portland, OR. www.hort.purdue.edu/newcrop/proceedings1990/VI-h424.html#Yams (Desember 2005)

Onwueme, I. C. 1978. The Tropical Tuber Crops. John Wiley & Sons Ltd. Nigeria. 234 p.

. . 1996. Dioscorea L., p 85-97. In : M. Flach and F. Rumawas

(Eds.) Plant Resources of South East Asia (PROSEA), Bogor, Indonesia.

Osiru, D. S. O. and S. K. Hahn. !994. African Crop Science Journal. Vol. 2, (2): 153-160.

Pardede, J. M. 2002. Pengaruh Pemupukan N Dosis Tinggi terhadap Produksi dan Kandungan Bahan Kering Umbi, Genotipe Ubi jalar (Ipomoea batatas L. Lamk) Genjah. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Faperta, IPB. Bogor. 16 hal.

Partohardjono, S. 2002. Pengembangan Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi- umbian Potensial Mendukung Ketahanan Pangan, hal. 137-149. Dalam: P. W. Suryana (Ed.). Peningkatan Produktivitas dan Efisiensi Sistem Produksi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Menuju Ketahanan Pangan dan Agribisnis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Malang.

Rasskumara. 2002.Varieties of Dioscorea spp. www.kau.edu/raskumarakom.htm (Desember 2005)

Ravindran, G.; J. P. D. Wanasundera. 1993. Chemical changes in yam tubers

(Dioscorea alata and D. esculenta) during storage. Tropical Sci.

3(1):57-62. http://libnts.avrdc.org.tw/scripts/minisa.dll/ (Desember 2005)

Rai, A. 2004. Pengaruh Beberapa Taraf Naungan Tajuk Kelapa Sawit terhadap Pertumbuhan dan Produksi Empat Genotipe Ubi Jalar (Ipomoea batatas L. Lamk). Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian, Faperta, IPB. Bogor. 50 hal.

Sediaoetama, A. D. 1996. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Dian Rakyat. Jakarta. 296 hal.

Sitompul, S. M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gajah Mada University Press. Yojyakarta. 409 hal.

Sudiarta, A. 1979. Penelitian Bahan Baku Kontraseptip: Pengenalan Jenis-jenis

Dioscorea spp. di Indonesia. BKKBN dan IPB. Bogor. 99 hal.

Sastrapradja, S. 1977. Ubi-ubian. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Bogor. 106 hal.

Tjondronegoro, P. D. 1991. Pembentukan Diosgenin pada Kultur Kalus

(48)

Waynesword. 1996. Tropical Yams Named After Dioscorides. http://waynesword. palomar.edu/plsept96.htm (Desember 2005)

WealthFood.2003.Yam Agronomy. www.whfoods.com/genpage.php?tname=food spice&dbid=113 (Desember 2005)

Weaver, R. J. 1972. Plant Growth Substances in Agriculture. W. H. Freeman & Company. San Fransisco. 575 p.

(49)
[image:49.612.128.525.124.672.2]

Tabel Lampiran 1. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Tinggi Lanjaran terhadap Tinggi Tanaman 8-23 MST

Umur

(MST) Sumber db JK KT Fhitung Pr>F

KK (%) 8 JB Ulangan 3 86.64 43.32 3 tn 0.7518 17.24

Perlakuan 4 14807.23 4935.74 34.11 ** 0.0004 Galat 6 868.29 44.71

Total 11 15762.16

9 JB Ulangan 3 378.98 189.49 1.41 tn 0.3158 15.00 Perlakuan 4 14558.96 4852.98 35.99 ** 0.0003

Galat 6 809.10 134.85 Total 11 15747.04

10 JB Ulangan 3 164.40 82.20 0.67 tn 0.5478 13.80 Perlakuan 4 16762.94 5587.64 46.31 ** 0.0002

Galat 6 739.99 123.33 Total 11 17667.33

11 JB Ulangan 3 32.10 16.05 0.10 tn 0.9022 14.57 Perlakuan 4 18282.69 6094.23 39.75 ** 0.0002

Galat 6 919.94 153.32 Total 11 19234.73

12 JB Ulangan 3 318.14 159.07 1.59 tn 0.2793 11.43 Perlakuan 4 22109.82 7369.94 73.65 ** 0.0001

Galat 6 600.36 100.06 Total 11 23028.32

13 JB Ulangan 3 25.62 12.81 0.71 tn 0.5274 4.63 Perlakuan 4 23583.42 7861.14 437.57 ** 0.0001

Galat 6 107.79 17.96 Total 11 23716.83

14 JB Ulangan 3 0.18 0.09 0.01 tn 0.9879 3.06 Perlakuan 4 24271.17 8090.39 1095.10 ** 0.0001

Galat 6 44.32 7.38 Total 11 24315.67

15 JB Ulangan 3 6.48 3.24 0.14 tn 0.8716 5.33 Perlakuan 4 24553.79 8184.59 354.84 ** 0.0001

Galat 6 138.39 23.06 Total 11 24698.65

16 JB Ulangan 3 20.88 10.44 0.41 tn 0.6819 5.65 Perlakuan 4 25490.14 8496.71 332.26 ** 0.0001

Galat 6 153.43 25.57 Total 11 25664.45

17 JB Ulangan 3 47.38 23.69 1.34 tn 0.3302 4.57 Perlakuan 4 26453.66 8817.88 498.87 ** 0.0001

Galat 6 106.05 17.67 Total 11 26607.09

18 JB Ulangan 3 123.08 5.41 1.34 * 0.0453 3.76 Perlakuan 4 24379.54 8817.88 715.01 ** 0.0001

Galat 6 68.19 17.67 Total 11 24570.82

19 JB Ulangan 3 33.40 16.70 5.82 * 0.0394 1.87 Perlakuan 4 25833.06 8611.02 2998.03 ** 0.0001

(50)
[image:50.612.127.525.398.666.2]

Tabel Lampiran 1. (Lanjutan)

20 JB Ulangan 3 8.48 4.24 0.36 tn 0.7105 3.80 Perlakuan 4 26796.57 8932.19 761.92 ** 0.0001

Galat 6 70.34 11.72 Total 11 26875.39

21 JB Ulangan 3 33.00 16.50 0.99 tn 0.4266 4.49 Perlakuan 4 26354.51 8784.83 524.40 ** 0.0001

Galat 6 100.51 16.75 Total 11 26488.02

22 JB Ulangan 3 252.18 126.09 1.83 tn 0.2392 9.53 Perlakuan 4 23402.20 7800.73 113.38 ** 0.0001

Galat 6 412.80 68.80 Total 11 24067.18

23 JB

Gambar

Gambar 3. Tinggi Tanaman pada Berbagai Taraf Tinggi Lanjaran
Gambar 4. Jumlah Daun pada Berbagai Taraf Tinggi Lanjaran
Gambar 5. Panjang Daun pada Berbagai Taraf Tinggi Lanjaran
Gambar 6. Lebar Daun pada Berbagai Taraf Tinggi Lanjaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian didapatkan bahwa klorheksidin 2% memiliki daya anti bakteri lebih baik terhadap Enterococcus faecalis.. dibandingkan dengan ekstrak daun sirih dan

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... Pembatasan dan Keterbatasan Masalah ... Rumusan Masalah ... Tujuan Penelitian ... Kegunaan Penelitian ... Spesifikasi Produk

Frekuensi inilah yang menjadi data input untuk dikomputasi pada mikrokontroller menjadi harga rupiah sebagai konversi dari pemakaian energi listrik kWh dengan mengacu pada

Pendidikan seharusnya mampu melayani beragam kecerdasan. Setiap kecerdasan menempati area yang berbeda di dalam otak. Kesembilan kecerdasan dapat beroperasi dalam

materi pembelajaran dirasa kurang optimal tanpa adanya timbal balik dari siswa terhadap proses pembelajaran yang berlangsung. Hal ini akan berakibat pada kurang

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh manajemen modal kerja yang meliputi teori kebijakan investasi agresif, teori kebijakan pembiayaan agresif, teori

Kepentingan kepada jurulatih : Jurulatih pasukan UTM juga boleh mengenalpasti tahap sebenar kelajuan dan ketangkasan setiap pemain seterusnya dapat merancang program latihan

Pegawai melihat data status pembayaran dan status pengiriman pada tabel penjualan, apabila pembayaran sudah lunas namun barang masih belum dikirim, maka pegawai