• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pengaruh Bahan Pelapis dan Teknik Pengemasan terhadap Perubahan Mutu Telur Ayam Buras selama Transportasi dan Penyimpanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Pengaruh Bahan Pelapis dan Teknik Pengemasan terhadap Perubahan Mutu Telur Ayam Buras selama Transportasi dan Penyimpanan"

Copied!
202
0
0

Teks penuh

(1)

TELUR AYAM BURAS SELAMA TRANSPORTASI

DAN PENYIMPANAN

ENNI USRA HARAHAP

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Bahan Pelapis dan Teknik Pengemasan terhadap Perubahan Mutu Telur Ayam Buras selama Transportasi dan Penyimpana’’ adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

(3)

ENNI USRA HARAHAP. Kajian Pengaruh Bahan Pelapis dan Teknik Pengemasan terhadap Perubahan Mutu Telur Ayam Buras selama Transportasi dan Penyimpanan. Dibimbing oleh LILIK PUJANTORO EKO NUGROHO dan PENI S HARDJOSWORO.

Telur merupakan produk yang mudah rusak, kerena memiliki sifat mudah pecah dan kualitasnya cepat merubah. Pelapisan telur yang dikombinasikan dengan pengemasan selama transportasi dan penyimpanan dapat menghambat proses penguapan air dan gas CO2 sehingga menghambat penurunan kualitas.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bahan pelapis dan teknik pengemasan terhadap perubahan mutu telur ayam buras selama trasnportasi dan penyimpanan. Penelitian secara khusus bertujuan untuk menentukan bahan pelapis dan teknik pengemasan yang baik untuk menghambat penurunan kualitas. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri dari perlakuan pelapis (kontrol, kitosan 1.5%, ekstrak daun jambu biji 1.5%, lilin lebah 6% dan distilat asap) dan pengemasan (peti kayu dan kardus karton) dilakukan selama transportasi dan penyimpanan dikeluarkan dari kemasan.

(4)

Technic the Quality Exchange of Native Chicken Egg during Transportation and Storage. Under the direction of LILIK PUJANTORO EKO NUGROHO and PENI S HARDJOSWORO.

The egg is a persihable product, because its has characteristic of easy broken and the quality exchange quickly. The waxing and packaging combined can slower down the process evaporate water and gas CO2 so that degradation of quality.

The objective of research is to study the influence of waxing and packaging technic to the quality exchange of native chicken egg during transportation and storage. The objective special of research is to choose waxing and technic packaging, its good for slower down degradation of quality. The experimental design used was Factorial Complately Randomized Design whit factor consisting of waxing treatment (control, chitosan 1.5%, ectract of guavana leaf 1.5%, bees wax 6% and smoke distilate) and packaging (wooden case and cardboard box) then had been tried during transport and during storage its out from in packaging.

(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor. Sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,

(6)

ENNI USRA HARAHAP

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Nama : Enni Usra Harahap NRP : F051040161

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lilik Pujantoro Eko Nugroho, M.Agr. Prof Emiritus. Dr. Peni S Hardjosworo.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pascapanen

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(8)

rakhmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini brjudul ’’Kajian Pengaruh Bahan Pelapis dan Teknik Pengemasan terhadap Perubahan Mutu Telur Ayam Buras selama Transportasi dan Penyimpanan’’ sebagai syarat akademik untuk kelulusan program Magister Sains dari program studi Teknologi Pasca Panen (TPP).

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada bapak Dr. Ir. Lilik Pujantoro Eko Nugroho, M.Agr sebagai pembimbing I dan Ibu Prof. Emiritus Dr. Peni S Hardjosworo sebagai komisi pembimbing II yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, arahan dan saran-saran sejak awal penelitian sehingga penelitian dan penulisan ini dapat diselesaikan. Juga kepada bapak Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si sebagai penguji luar yang telah banyak memberikan masukan dalam perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan juga kepada :

1. Dekan Pascasarjana dan Pengelola Program Studi Teknologi Pascapanen IPB atas kesempatan yang telah diberikan mengikuti pendidikan pascasarjanan.

2. Kepada ketua Bagian Laboratorium Produksi Unggas Fapet-IPB ( ibu Dr. Ir. Imam Rahayu HS, MS), Ibu Lely dan Mas Eka atas bantuan dan kerjasama yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.

3. Kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Amin Harahap dan Ibunda Hjh. Dumanggor Hasibuan serta kakak-kakak (Hawa, Sana, Qahar dan adinda tersayang Juhar bersama istri Rita) atas dukungan moril dan materill. 4. Terkhusus kepada Abdul Azis Kaimudin, SP yang dengan sepenuh hati

memberikan dukungan dan kasih sayang selama penulis melaksanakan penelitian sampai dengan selesai.

(9)

6. Juga kepada Mba. Sri Winarsih S.St. M.Si yang telah dengan sabar memberikan saran-saran dan masukan dalam penyelesaian penulisan, serta semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.

Semoga bimbingan, dorongan dan bantuan yang diberikan mendapat balasan dari Allah SWT.

Bogor, Mei 2007

(10)

Agustus 1980 dari ayah H. Amin Harahap dan Hjh. Dumanggor Hasibuan. Penulis merupakan putri ke empat dari lima bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negeri 10 Medan dan pada tahun 1999 itu juga lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat. Penulis memilih Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan. Pada tahun 2003 penulis lulus dari Universitas Andalas Padang dengan predikat memuaskan.

(11)

TELUR AYAM BURAS SELAMA TRANSPORTASI

DAN PENYIMPANAN

ENNI USRA HARAHAP

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Bahan Pelapis dan Teknik Pengemasan terhadap Perubahan Mutu Telur Ayam Buras selama Transportasi dan Penyimpana’’ adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

(13)

ENNI USRA HARAHAP. Kajian Pengaruh Bahan Pelapis dan Teknik Pengemasan terhadap Perubahan Mutu Telur Ayam Buras selama Transportasi dan Penyimpanan. Dibimbing oleh LILIK PUJANTORO EKO NUGROHO dan PENI S HARDJOSWORO.

Telur merupakan produk yang mudah rusak, kerena memiliki sifat mudah pecah dan kualitasnya cepat merubah. Pelapisan telur yang dikombinasikan dengan pengemasan selama transportasi dan penyimpanan dapat menghambat proses penguapan air dan gas CO2 sehingga menghambat penurunan kualitas.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bahan pelapis dan teknik pengemasan terhadap perubahan mutu telur ayam buras selama trasnportasi dan penyimpanan. Penelitian secara khusus bertujuan untuk menentukan bahan pelapis dan teknik pengemasan yang baik untuk menghambat penurunan kualitas. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri dari perlakuan pelapis (kontrol, kitosan 1.5%, ekstrak daun jambu biji 1.5%, lilin lebah 6% dan distilat asap) dan pengemasan (peti kayu dan kardus karton) dilakukan selama transportasi dan penyimpanan dikeluarkan dari kemasan.

(14)

Technic the Quality Exchange of Native Chicken Egg during Transportation and Storage. Under the direction of LILIK PUJANTORO EKO NUGROHO and PENI S HARDJOSWORO.

The egg is a persihable product, because its has characteristic of easy broken and the quality exchange quickly. The waxing and packaging combined can slower down the process evaporate water and gas CO2 so that degradation of quality.

The objective of research is to study the influence of waxing and packaging technic to the quality exchange of native chicken egg during transportation and storage. The objective special of research is to choose waxing and technic packaging, its good for slower down degradation of quality. The experimental design used was Factorial Complately Randomized Design whit factor consisting of waxing treatment (control, chitosan 1.5%, ectract of guavana leaf 1.5%, bees wax 6% and smoke distilate) and packaging (wooden case and cardboard box) then had been tried during transport and during storage its out from in packaging.

(15)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor. Sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,

(16)

ENNI USRA HARAHAP

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(17)

Nama : Enni Usra Harahap NRP : F051040161

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lilik Pujantoro Eko Nugroho, M.Agr. Prof Emiritus. Dr. Peni S Hardjosworo.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pascapanen

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(18)

rakhmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini brjudul ’’Kajian Pengaruh Bahan Pelapis dan Teknik Pengemasan terhadap Perubahan Mutu Telur Ayam Buras selama Transportasi dan Penyimpanan’’ sebagai syarat akademik untuk kelulusan program Magister Sains dari program studi Teknologi Pasca Panen (TPP).

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada bapak Dr. Ir. Lilik Pujantoro Eko Nugroho, M.Agr sebagai pembimbing I dan Ibu Prof. Emiritus Dr. Peni S Hardjosworo sebagai komisi pembimbing II yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, arahan dan saran-saran sejak awal penelitian sehingga penelitian dan penulisan ini dapat diselesaikan. Juga kepada bapak Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si sebagai penguji luar yang telah banyak memberikan masukan dalam perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan juga kepada :

1. Dekan Pascasarjana dan Pengelola Program Studi Teknologi Pascapanen IPB atas kesempatan yang telah diberikan mengikuti pendidikan pascasarjanan.

2. Kepada ketua Bagian Laboratorium Produksi Unggas Fapet-IPB ( ibu Dr. Ir. Imam Rahayu HS, MS), Ibu Lely dan Mas Eka atas bantuan dan kerjasama yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.

3. Kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Amin Harahap dan Ibunda Hjh. Dumanggor Hasibuan serta kakak-kakak (Hawa, Sana, Qahar dan adinda tersayang Juhar bersama istri Rita) atas dukungan moril dan materill. 4. Terkhusus kepada Abdul Azis Kaimudin, SP yang dengan sepenuh hati

memberikan dukungan dan kasih sayang selama penulis melaksanakan penelitian sampai dengan selesai.

(19)

6. Juga kepada Mba. Sri Winarsih S.St. M.Si yang telah dengan sabar memberikan saran-saran dan masukan dalam penyelesaian penulisan, serta semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.

Semoga bimbingan, dorongan dan bantuan yang diberikan mendapat balasan dari Allah SWT.

Bogor, Mei 2007

(20)

Agustus 1980 dari ayah H. Amin Harahap dan Hjh. Dumanggor Hasibuan. Penulis merupakan putri ke empat dari lima bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negeri 10 Medan dan pada tahun 1999 itu juga lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat. Penulis memilih Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan. Pada tahun 2003 penulis lulus dari Universitas Andalas Padang dengan predikat memuaskan.

(21)

PRAKATA ...iv

DAFTAR TABEL...v

DAFTAR GAMBAR...vi

PENDAHULUAN Latar Belakang...1

Tujuan ...3

Manfaat...3

TINJAUAN PUSTAKA Komposisi Fisik Telur Ayam...4

Kerabang telur...4

Putih dan kuning telur...……...…………...6

Bentuk dan berat telur...…………...8

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kualitas Telur...9

Faktor genetik dan umur ayam...9

Faktor pakan...9

Faktor tatalaksana...10

Perubahan Fisik...11

Pelapis Edibel...12

Kitosan…...………...………...13

Ekstrak daun jambu biji...14

Lilin lebah (Bees Wax)...………...……...16

Distilat asap...16

Pengemasan...18

Transportasi...20

Penyimpanan...20

METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu...22

Alat dan Bahan...22

Metode Penelitian...23

Pengamatan...29

Rancangan Percobaan...33

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap I...35

Penentuan bahan pelapis...35

Penelitian Tahap II...44

Pengemasan telur ayam buras...44

Tingkat kerusakan mekanis ...45

Kesetaraan simulasi pengangkutan...47

(22)

SIMPULAN DAN SARAN

(23)

v Halaman Tabel 1. Klasifikasi telur bedasarkan beratnya...9 Tabel 2. Contoh lembar pengujian kerusakan mekanis...29 Tabel 3. Pengaruh jenis bahan pelapis terhadap penurunan susut bobot telur...35 Tabel 4. Pengaruh jenis bahan pelapis terhadap jumlah total mikroba...38 Tabel 5. Pengaruh jenis bahan pelapis terhadap indeks putih telur...39 Tabel 6. Pengaruh jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan

terhadap jumlah total mikroba...49 Tabel 7. Pengaruh jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan

terhadap indeks putih telur...54 Tabel 8. Pengaruh jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan

(24)

vi Gambar 1. Struktur telur ...4 Gambar 2. Lapisan kerabang telur...5 Gambar 3. Sruktur putih telur………...6 Gambar 4. Struktur kuning telur………...7 Gambar 5. Perbandingan telur segar dan yang disimpan…………...8 Gambar 6. Diagram alir prosedur penelitian tahap I………...24 Gambar 7. Diagram alir prosedur penelitian tahap II……….…..…26 Gambar 8. Pengaruh jenis bahan pelapis terhadap penurunan

susut bobot telur ayam buras selama penyimpanan.. ...35 Gambar 9. Pengaruh jenis bahan pelapis terhadap jumlah total mikroba...38 Gambar 10. Pengaruh jenis bahan pelapis indeks putih telur ayam ...40 Gambar 11. Pengaruh jenis bahan pelapis terhadap indeks kuning telur...43 Gambar 12. Pengaruh jenis bahan pelapis terhadap kantung udara...42 Gambar 13. Penyusunan telur ayam buras dalam kemasan peti kayu...44 Gambar 13. Penyusunan telur ayam buras dalam kemasan kardus karton...44 Gambar 15.Pengaruh jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan

terhadap kerusakan mekanis ...44 Gambar 16. Susut Bobot telur ayam buras setelah penggetaran tiga jam...48 Gambar 17.Pengaruh jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan

terhadap susut bobot ...48 Gambar 18.Pengaruh jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan

terhadap jumlah total mikroba...50 Gambar 19.Pengaruh jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan

terhadap indeks putih telur ...52 Gambar 20. Penurunan indeks putih telur tanpa penggetaran selam

penyimpanan...53 Gambar 21.Pengaruh jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan

terhadap indeks kuning telur...55 Gambar 22. Penurunan indek kuning telur tanpa penggetaran selama

Penyimpanan...56 Gambar 23.Pengaruh jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan

(25)

1. Analisis sidik ragam jenis bahan pelapis terhadap

peurunan susut bobot telur ayam buras selama penyimpanan…...66 2. Analisis sidik ragam jenis bahan pelapis terhadap perkembangan

jumlah total mikroba ...…...…66 3. Analisis sidik ragam jenis bahan pelapis terhadap

peurunan indeks putih telur ayam buras selama penyimpanan...…67 4. Analisis sidik ragam jenis bahan pelapis terhadap

penurunan indeks kuning telur ayam buras selama penyimpanan...68 5. Analisis sidik ragam jenis bahan pelapis terhadap

perkembangan kantung udara telur ayam buras selama penyimpanan….69 6. Analisis ragam kerusakan mekanis telur ayam buras

setelah transportasi...70 7. Analisis ragam jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan

terhadap susut bobot ………...…71 8. Analisis ragam jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan

terhadapjumlah total mikroba ...………...….….72 9. Analisis ragam jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan

terhadap peurunan indeks putih telur..……….….72 10.Analisis ragam jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan

terhadap perubahan indeks kuning telur ...73 11.Analisis ragam jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan

terhadap perkembangan kantung udara... 74 12. Konversi angkutan truk berdasarkan data lembaga uji kontruksi

BPPT 1986 (Soedibyo, 1992)...75 13. Klasifikasi persyaratan kualitas telur ayam (USDA, 1964)...78 14. Grafik bahan pelapis terhadap indeks Haugh selama penyimpanan...79 15. Grafik jenis kemasan dan posisi lapisan dalam kemasan terhadap

(26)

Produksi telur ayam buras dari tahun 2001-2005 cenderung menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2001 secara nasional produksi telur mencapai 154.9 ribu ton. Kemudian pada tahun 2005 meningkat mencapai 181 ribu ton (Dirjen Peternakan, 2005).

Produksi telur ayam buras pada mulanya dilakukan oleh peternak yang hanya memelihara beberapa ekor. Rantai pemasaran telur ayam buras diawali dengan mengumpulkan telur dari peternak yang terpencar-pencar. Jalur distribusi telur ayam buras memiliki rantai pemasaran yang panjang sehingga akan sangat mempengaruhi perubahan mutu komoditas pada saat sampai ditujuan karena sifat yang mudah rusak dan kualitas cepat berubah. Ada empat tahap utama jalur transportasi produk ini, yaitu (1) produsen atau peternak, (2) pengumpul atau pemasuk, (3) pengecer atau supermarket, (4) konsumen atau eksportir.

Kerusakan telur ayam buras di dalam pengangkutan atau transportasi akan menimbulkan kerugian, antara lain : kerusakan fisiologis, kerusakan fisik akibat pengangkutan dan pembongkaran yang kurang hati-hati, penggunaan wadah pengangkutan yang kurang memadai dan terjadinya keterlambatan jalur pengangkutan. Kerusakan mekanis selama pengangkutan dapat disebabkan oleh getaran, gesekan serta goncangan karena tumpukan dalam kemasan. Telur akan mengalami perubahan setelah dikeluarkan dari tubuh induk dan saat pengangkutan.

(27)

Pengangkutan merupakan salah satu mata rantai yang penting dalam penanganan pascapanen. Kerusakan yang terjadi di Indonesia setelah pascapanen mencapai 15-20%. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya perlakuan teknologi, mata rantai pemasaran yang terlalu panjang serta kondisi lingkungan dan penyimpanan yang kurang baik (Data Statistik Bina Produksi Peternakan, 2003).

Telur ayam buras merupakan salah satu bahan makanan yang dikonsumsi segar oleh masyarakat Indonesia. Pada umumnya telur ini dikonsumsi dalam bentuk segar seperti campuran susu, madu, dan jamu. Selain digunakan sebagai bahan makanan, telur ayam buras juga banyak dimanfaatkan dalam industri obat dan kosmetik.

Nilai gizi telur merupakan sumber protein, lemak, vitamin dan mineral. Protein berfungsi sebagai zat pembangun, zat pengatur dalam tubuh dan membentuk jaringan baru. Lemak telur terdiri dari trigliserida (lemak netral) yang dipakai sebagai energi sehari-hari, fosfolifid (umumnya berupa lesitin baik untuk paru-paru) dan kolesterol dipakai untuk metabolisme lemak yang berasal dari makanan dan untuk membentuk hormon seksual serta adrenalin.

Kerusakan fisik yang diakibatkan benturan, gesekan dan goncangan akan menimbulkan perubahan terhadap penampakan dan susunan kimia. Pihak konsumen menginginkan telur yang dibeli masih dalam kondisi segar. Salah satu cara untuk memperlambat proses penurunan kualitas telur ayam buras tersebut setelah keluar dari tubuh induk dapat dilakukan dengan melapisi kulit telur dan penanganan kemasan pada saat transportasi. Pengemasan berfungsi untuk melindungi produk dari kerusakan mekanis selama distribusi, melindungi kehilangan uap air yang besar, serta mempermudah penanganan selama pengangkutan dan penyimpanan.

(28)

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bahan pelapisan dan teknik pengemasan terhadap perubahan mutu telur ayam buras selama transportasi dan penyimpanan.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Menentukan jenis bahan pelapis (kitosan, ekstrak daun jambu biji, lilin lebah dan distilat asap) yang baik sehingga dapat memperlambat perubahan kualitas telur ayam buras.

2. Menentukan metoda teknik pengemasan yang paling sesuai dengan membandingkan jenis kemasan agar kerusakan fisik yang diakibatkannya dapat dihindari.

3. Mengamati perubahan kualitas telur (susut bobot, uji mikrobiologi, indeks putih telur, indeks kuning telur dan kantong udara) setelah transportasi selama penyimpanan.

Manfaat Penelitian

(29)

Komposisi Fisik Telur Ayam

Struktur telur terdiri atas sel hidup yang dikelilingi oleh kuning telur sebagai cadangan makanan terbesar. Kedua komponen tersebut dikelilingi oleh putih telur yang mempunyai kandungan air tinggi, bersifat elastis dan dapat mempertahankan goncangan yang mungkin terjadi pada telur. Komponen dalam tersebut dilindungi oleh kulit telur yang berfungsi untuk mengurangi kerusakan fisik maupun biologis. Adanya kulit ini memungkinkan dilakukan pernapasan dan pertukaran gas dari dalam dan luar kulit. Persentase berat putih telur adalah 57%, kuning telur 32% dan kulit 11% (Romanoff dan Romanoff, 1963). Struktur telur diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur telur (Romanoff dan Romanoff, 1963)

Kerabang telur

(30)
[image:30.612.177.468.229.428.2]

Santoso (1982) menyatakan bahwa pada kerabang telur utuh terdapat beberapa ribu pori-pori yang digunakan untuk pertukaran gas. Pori-pori tersebut sangat sempit, berukuran 0.01-0.07 mm dan tersebar diseluruh permukaan kerabang telur. Pada bagian yang tumpul jumlah pori-pori persatuan luas lebih besar dibandingkan dengan bagian lain. Oleh karena itu terjadi kantong udara di daerah ini. Sebagaimana terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Lapisan kerabang telur (Austic dan Nesheim, 1990)

Telur yang masih baru, pori-porinya masih dilapisi dengan lapisan tipis kutikula yang terdiri dari 90% protein dan sedikit lemak. Fungsi kutikula ini mencegah penetrasi mikroba melalui kerabang telur, mengurangi evaporasi air yang terlalu cepat dan mencegah masuknya cairan polar melalui kerabang telur sehingga hanya udara dan air saja yang dapat masuk melalui sistem difusi (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Kerabang sebagian besar terdiri dari kalsium kurang lebih 98% karbonat dan jumlah kecil phosphat dan magnesium. Rasio magnesium dengan kapur akan meningkat secara logaritmik kearah bagian luar dari kerabang telur (Arka dan Hartawan, 1977).

(31)

kerabang yakni perubahan musim, temperatur, makanan, umur dan kesehatan ayam. Bila makanan kekurangan mineral Ca, P, dan vitamin D maka kerabang yang dihasilkan akan kurang baik. Kerabang telur yang kurang baik adalah yang tidak rata, berbintik-bintik sering pecah, tipis, lembek dan kotor (Heuser et al, 1952). Menurut Romanoff dan Romanoff (1963) warna kerabang telur sebagian besar tergantung dari produksi pigmen dari bangsa ayam. Warna tidak berhubungan dengan nilai gizi telur dan tidak dipengaruhi oleh ransum yang dimakan induk ayam.

Putih telur dan kuning telur

Putih telur dan kuning telur merupakan komponen yang berbeda sifat fisik dan kimianya, namun kedua komponen tersebut dapat dipertahankan tidak bercampur satu dengan yang lain karena adanya ’’Chalaza’’ dan membran vitelin yang elastis. Lapisan tersebut terdiri dari lapisan encer luar, lapisan kental luar, lapisan kental dalam atau chalazaferous dan lapisan encer dalam. Struktur putih telur diperlihatkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur putih telur (Romanoff dan Romanoff, 1963)

(32)

telur akan bergeser bila telur mengalami penurunan kualitas. Struktur kuning telur diperlihatkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur kuning telur (Romanoff dan Romanoff, 1963)

Kuning telur merupakan bagian yang penting pada telur karena mengandung zat-zat bernilai gizi tinggi berfungsi menunjang kehidupan embrio (Syarief dan Irawati, 1989). Kuning telur berbatasan dengan putuh telur dan dibungkus oleh suatu lapisan tipis yang disebut dengan membran viteline (Belitz dan Grosch, 1999)

Menurut Orr dan Fletcher (1973) menyatakan bahwa makanan berpengaruh langsung terhadap warna kuning telur, terutama makanan yang mengandung pigmen kuning, Heuser et al. (1952) juga menyatakan bahwa jagung kuning dapat menyebabkan warna pekat pada kuning telur. Ditambahkan oleh Stadelman dan Cotterill (1977) menyatakan bahwa kuning telur mempunyai kandungan bahan padat sebesar 50%, tetapi persentasi ini akan turun selama penyimpanan karena migrasi air dari bagian putih telur. Bahan padat tersebut terdiri dari lemak dan protei. Protein kuning telur yang berikatan dengan lemak disebut lipoprotein dan yang berikatan dengan fosfor disebut dengan posfoprotein.

(33)

mengalami penyimpanan cairan putih telur hanya terdiri satu lapis saja. Perbedaan ini disebabkan oleh kandungan ovomucin yang berbeda pada telur yang utuh.

Gambar 5. Perbandingan antara (a) Telur segar dan (b) yang disimpan

Bentuk dan berat telur

Bentuk telur yang sempurna sering disebut lonjong dan bulat telur. Namun sering dijumpai pula kelainan bentuk telur yang disebabkan adanya kelainan dalam proses pembentukan kulit telur karena adanya kondisi abnormal pada bagian isthimus atau uterus (Card, 1972).

Sauter dan Petersen (1969) menyatakan bahwa berat jenis telur ayam tidak tetap selama penelitian. Berat telur dipengaruhi ukuran telur, ukuran telur yang ideal mempunyai poros panjang satu setengah kali poros pendek. Hasil penelitian Fuah (1995) menunjukkan bahwa telur ayam kampung di Timor Barat memiliki ukuran panjang lurus lebih dari 41 centimeter dan lebar 30 centimeter. Ukuran telur ini sangat bervariasi dan banyak dipengaruhi olah faktor antara lain : variasi individu, spesies, umur, suhu dan hereditas (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Menurut Leslie dan Card (1961), untuk telur yang lebih besar, perbandingan putih telur dan kuning telur lebih besar dibandingkan dengan telur yang lebih kecil. Ditambahkan oleh Romanoff dan Romanoff (1963), besar telur dipengaruhi oleh umur unggas. Semakin tua umur unggas maka semakin besar telur yang dihasilkan sampai umur tertentu, kemudian menurun dengan bertambahnya umur. Dikatakan juga bahwa kekurangan protein, Kalsium, vitamin D dan garam besi menyebabkan turunnya berat telur. Creswell dan Gunawan

(34)

(1982), melaporkan rataan berat telur ayam kampung sebesar 40.7 gram, hasil penelitian Mansjoer et al. (1989) 42.15 gram dan Fuah (1995) berkisar antara 36-40 gram.

Tabel 1. Klasifikasi telur bedasarkan beratnya

Klasifikasi Berat/Butir (g)

Jumbo 70.5

Sangat besar 63.7-70.5

Besar 52.3-63.6

Sedang 42.9-52.3

Kecil 34.4-42.8 Sangat kecil 43.2 Sumber : Suharsono, 2002

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kualitas Telur

Kualitas telur merupakan kumpulan ciri-ciri telur yang mempengaruhi selera konsumen (Stadelman dan Cotteril, 1973). Romanoff dan Romanoff (1963) mendefenisikan kualitas sebagai ciri atau sifat yang sama dari suatu produk yang menentukan derajat kesempurnaannya yang akan mempengaruhi penerimaan konsumen.

Faktor kualitas dibagi menjadi dua faktor yaitu eksterior yang meliputi warna, bentuk, tekstur, keutuhan, kebersihan kerabang telur dan faktor interior meluputi keadaan putih telur yaitu kekentalan, bentuk kuning telur yaitu tidak ada noda pada putih maupun pada kuning telur (USDA, 1964). Menurut Sirait (1986), faktor kualitas yang dapat memberikan petunjuk terhadap kesegaran telur adalah susut berat telur, keadaan diameter rongga udara, keadaan putih dan kuning telur, bentuk dan warna kuning telur serta tingkat kebersihan kerabang.

Faktor genetik dan umur induk ayam

(35)

dengan bertambahnya umur induk akan menurukan kualitas telur. Umur induk ayam menyebabkan menurunnya kemampuan fungsi fisiologi alat reproduksi.

Faktor pakan

North (1984) menyatakan bahwa pakan dalam ransum mempengaruhi kualitas telur yang dihasilkan oleh ayam petelur. Kandungan gizi pakan yang rendah dalam ransum menghasilkan kualitas telur yang rendah dengan komposisinya akan menghasilkan telur berkualitas. Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), pakan yang diberikan pada induk petelur merupakan faktor yang menentukan kualitas telur. Pemberian hijaun segar atau kering yang unggul akan membantu produksi warna kuning telur yang seragam. Sirait (1989) menyatakan beberapa bahan baku yang digunakan untuk menyusun ransum diketahui mempunyai pengaruh yang kurang baik terhadap telur yaitu minyak biji kapas karena mengandung gossypol (tanin). Gossypol menyebabkan warna albumen kemerah-merahan, kuning telur membesar dan berwarna kecoklat-coklatan. Ransum yang kurang sempurna karena adanya kandungan Ca yang menyebabkan kerabang tipis.

Faktor tatalaksana

Tatalaksana yaitu pengolahan dan penanganan telur agar produksi telur yang dicapai dengan segala usaha dapat sampai ke konsumen dengan kualitas yang masih baik dan segar. Tatalaksana antara lain meliputi suhu, transportasi, pengepakan dan penyimpanan.

Menurut Gunardi et al, (1989) menyatakan bahwa suhu yang ada di badan ayam adalah lebih tinggi dari suhu ruang. Pada waktu telur kelur dari badan ayam, telur tersebut mengalami perubahan suhu lingkungan yang besar, yaitu dari 410 C ke 250 C. Akibatnya terjadi pendinginan dan penyusutan isi telur sehingga terbentuk kantong udara diantara dua lapisan selaput kulit, biasanya pada ujung yang tumpul dari lapisan kulit telur.

(36)

Sunarlim (1988) kecepatan penurunan berat telur dapat diperbesar pada suhu tinggi disertai dengan kelembaban relatif yang rendah. Hal ini disebabkan oleh semakin tinggi suhu penyimpanan dan kelembaban relatif yang rendah, maka semakin besar penguapan air dan pelepasan gas CO2 melalui pori-pori kerabang telur.

Penyimpanan 16 hari pada suhu 160 C dan kelembaban relatif 71% mengakibatkan penurunan kualitas dari AA menjadi A. Pada penyimpanan suhu yang lebih tinggi 300 C dengan kelembaban 70% ternyata kualitas telur menjadi kelas B selama periode penyimpanan yang sama. Persentase kehilangan berat telur sebanyak 9.77% terjadi pada suhu 300 C dengan kelembaban relatif 72% selama 30 hari.

Perubahan Fisik

Perubahan selama penyimpanan dapat diperlambat dengan penanganan yang baik tetapi tidak dapat dicegah secara keseluruhan. Jenis perubahan yang secara langsung dengan mudah dapat diketahui dari luar adalah penurunan berat telur, pembesaran diameter kantong udara, penambahan ukuran kuning telur, penurunan tinggi putih telur, dan kenaikan pH sebagai akibat kehilangan gas CO2 (Buckle et al, 1985).

Penurunan berat akan lebih besar pada suhu lingkungan yang tinggi, pergerakan udara di sekeliling telur yang lebih cepat dan jumlah pori-pori kulit telur yang lebih banyak (Fardiaz, 1991). Perubahan selama penyimpanan dipengaruhi oleh suhu, suhu penyimpanan tinggi maka perubahan kualitas telur semakin tinggi. Semakin lama penyimpanan ukuran rongga udara meningkat, kuning telur encer dan membran menjadi lemah, putih telur menjadi lebih encer, telur banyak mengandung basa dan timbul bau busuk (Penfield dan Campbell, 1990).

(37)

menyebabkan peningkatan pH sehingga serabut ovomucin yang berfungsi sebagai pengikat cairan putih telur menjadi rusak. Perubahan warna isi telur dapat disebabkan adanya aktivitas bakteri tertentu dan perbedaan tekanan osmosis antara putih dan kuning telur (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Menurut Lowe (1963) perubahan fisik selama kerusakan telur adalah (1) putih telur kehilangan kekentalannya, (2) air bergerak dari putih telur ke kuning telur sehingga kuning telur menjadi encer, (3) telur tidak disimpan pada kelembaban yang lebih tinggi maka rongga udara semakin besar ukurannya.

Kondisi rongga udara yang terus membesar seiring terjadinya penguapan air dari telur selama penyimpanan. Rongga udara tergantung pada temperatur penyimpanan, kelembaban, dan pendinginan sampai 100 C serta perubahan internal dari telur (Yuwanta, 2004).

Pelapis Edibel

Pelapis edibel adalah lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang bisa dimakan, digunakan di atas atau di antara produk pangan, dan berfungsi sebagai barrier dalam perpindahan panas, uap air, gas CO2 atau sebagai pembawa bahan tambahan makanan seperti zat antimikrobial dan antioksidan (Krochta et al, 1992). Gennadios dan Weller (1990) mendefenisikan pelapis edibel merupakan lapisan tipis yang dapat dimakan yang digunakan pada makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan atau penyemprotan untuk memberikan penahanan yang selektif terhadap perpindahan gas, uap air dan bahan terlarut serta perlindungan terhadap kerusakan.

Wong et al. (1994) menyatakan bahwa secara teoritis, bahan pelapis sdibel harus memiliki sifat (1) menahan kehilangan kelembaban produk, (2) memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, (3) mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna pigmen alami dan gizi serta (4) menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu.

(38)

lemak (asam lemak dan wax) dan campuran (hidrokoloid dan lemak). Protein yang digunakan sebagai bahan dasar adalah jagung, kedele, wheat gluten, kasein, kolagen, gelatin, corn zein susu dan pritein ikan. Sedangkan polisakarida yang

digunakan dalam pembuatan edibel adalah selulosa dan turunannya (metilselulosa, karboksilmetilselulosa, hidroksipropiselulosa, hidroksilpropil laut (alginat, karagenan, agar) gum (gum arab, gum karaya), xanthan, khitosan dan lain-lain. Lemak yang umum digunakan adalah lilin alam (bees wax, carnauba wax, paraffin wax), asam lemak (asam oleat dan asam laurat) dan emulsifier

(acetylated monoglyceride, glyseryl monostearat) dan lain-lain.

Bahan dasar pembentuk pelapis edibel sangat mempengaruhi sifat-sifat pelapis edibel itu sendiri. Pelapis edibel yang berasal dari hidrokoloid memiliki ketahanan yang bagus terhadap gas O2 dan CO2 , meningkatkan kekuatan fisik, namun memuliki ketahanan terhadap uap air yang sangat rendah akibat hidrofiliknya. Oleh karena itu protein dan polisakarida tidak dapat digunakan sebagai barrier terhadap bahan yang mempunyai Aw permukaan tinggi (Wong et al, 1994).

Efektivitas pelapis edibel pada buah diartikan sebagai kemampuan pelapis edibel yang bersangkutan untuk memenuhi fungsinya sebagai artificial barrier dalam menciptakan atmosfir internal buah yang sesuai dan potensinya dalam memperlambat penurunan mutu. Oleh karena itu efektivitas pelapis edibel dapat ditinjau dari perubahan gas internal, laju respirasi atau perubahan parameter mutu buah (Wong et al, 1994).

Sudaryani (2000) menyatakan memperpanjang daya simpan telur segar pada prinsipnya memberikan perlakuan terhadap telur utuh sehingga pori-porinya tidak dimasuki oleh mikroba. Upaya untuk memperpanjang ketahanan simpan telur segar dapat dilakukan dengan cara melapisi kulit telur, menutupi pori-pori kulit telur bagian luar dan menyimpan telur pada ruang khusus.

Kitosan

(39)

kimia (1-4)-2-1 mino-2-deoksi-ß-D-glukosa, berbentuk spesifik. Dengan gugus amina yang dikandung dalam rantai karbonnya, kitosan bermuatan positif sehingga berlawanan dengan polisakarida lainnya (Ormam, 1992).

Perbedaan kitosan dengan selulosa terletak pada gugus hidroksil C-2 selulosa yang digantikan dengan gugus NH3. Berat molekul kitosan tergantung pada derajat destilasi yang dihasilkan saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer khitin, semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogennya (Ormam, 1992).

Kitosan dapat membentuk lapisan semipermeabel sehingga mampu memodifikasi atmosfir internal pada buah, dengan demikian pematangan tertunda dan laju transfirasi buah-buahan atau sayuran menurun (Nisperos-carriedo, 1994). Penggunaan pelapis kitosan dengan konsentrasi 1.5% pada buah strawbery yang disimpan pada suhu 130 C terbukti mampu menekan kerusakan buah selama penyimpanan (EI Grauth et al, 1991). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa strawbery yang diberi pelapis kitosan lebih tinggi tingkat kekerasannya, produksi antosianin dan total asam daripada strawbery tanpa pelapis kitosan maupun strawbery yang diberi fungisida.

Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl, HNO3, H3PO4 dan tidak larut dalam H2SO4. Kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrik (Hirano, 1986). Ditambahkan oleh Baldwin (1994) yang mengemukakan pelapis kitosan dengan konsentrasi 1-2% pada RH dibawah 70% bersifat impermeabel terhadap gas sedangkan RH 100% terjadi penetrasi gas O2 dan CO2 masing-masing 44 µl/cm2/jam dan 3 µl/cm2/jam. Selanjutnya dikemukakan bahwa kitosan dapat dilalui uap air dengan kecepatan 0.8 mg/cm2/jam.

Ekstrak daun jambu biji

(40)

golongan dikotiledon mengandung tanin. Tanin terkondensasi banyak terdapat pada buah-buahan, biji-bijian dan tanam-tanaman lain yang dapat dimanfaatkan manusia sebagai makanan, sedangkan tanin yang dapat dihidrolisa banyak terdapat pada kelompok tanaman bukan makanan (non edible food).

Bahan penyamak nabati yang sering digunakan dalam pengawetan telur diantaranya adalah daun jambu biji, kulit kayu akasia, daun teh dan kulit bawang merah yang semuanya tergolong dalam tanin terkondensasi. Kadar tanin pada daun jambu biji ± 7,59 persen, kulit bawang merah ± 6,24 persen dan pada daun teh ± 5,85 persen. Karena mudah diperoleh dan memiliki kandungan tanin yang lebih tinggi dibanding bahan penyamak lainnya, maka daun jambu biji dianggap paling efektif digunakan untuk pengawetan telur. Telur hasil penyamakan dengan menggunakan daun jambu biji menunjukknan laju penurunan berat dan pertumbuhan bakteri paling kecil serta umur simpannya lebih lama dibandingkan dengan bahan penyamak lainnya (Jasin, 1990).

Menurut Sirait (1986), selain mengurangi permeabilitas, penggunaan bahan penyamak nabati juga memberikan variasi warna kulit telur menjadi kecoklat-coklatan, namun rasanya telur tidak berpengaruh dengan penggunaan bahan penyamak tersebut. Fardiaz dan Soekarto (1972) menambahkan bahwa semakin tinggi konsentrasi tanin yang digunakan maka semakin coklat warna kulit telur hasil penyamakan.

Penyamakan pada membran kulit telur sangat dipengaruhi oleh besar dan jumlah pori-pori kulit telur yang berhubungan langsung dengan membran kulit. Lapisan kulit telur yang dapat disamak oleh tanin larutan penyamak meliputi kutikula, sebagian matriks protein pada lapisan bagian kerabang dan membran kulit telur yang berhubungan dengan pori-pori (Fardiaz, 1972).

(41)

bahan penyamak yang cukup baik ialah 0,75% atau lebih rendah yaitu 0,50% (Budiman,1974). Fardiaz dan Soekarto (1972) menambahkan bahwa pengguanaan larutan penyamak sampai 3% belum menyebabkan adanya difusi zat penyamak ke dalam telur.

Lilin lebah (Bees Wax)

Lilin lebah C13H27CO2C26H53 adalah ester dari asam lemak berantai panjang dengan alkohol monohidrat dan hidrokarbon. Sifat fisik lilin lebah murni mempunyai titik didih berkisar antara 61-69 0C pada suhu kamar. Lilin lebah tidak larut dalam api tetapi sedikit larut dalam alkohol dingin, benzen, kloroform, karbon disulfida, eter dan beberapa minyak volatil dapat melarutkan lilin lebah dengan baik (Bennet, 1963).

Menurut Winarno (1981) lilin lebah merupakan hasil sekresi dari kelenjar lilin lebah madu Afis meliifera. Madu yang diekstrak dengan ekstraktor, sisir madunya dapat digunakan lagi, sedangkan yang diekstrak dengan pengepresan sarangnya hancur. Sarang yang hancur dapat dibuat lilin atau fondasi sarang baru. Hasil sisa pengepresan sarang dicuci dan dikeringkan, kemudian dipanaskan hingga menjadi lilin atau malam. Pemberian lilin pada kerabang telur dapat dilakukan dengan pembusaan, penyemprotan, pencelupan dan pengolesan. Pembuatan lilin lebah tidak boleh menggunakan air sadah karena garam-garam yang terkandung dalam air tersebut akan merusak emulsi lilin, tetapi harus menggunakan air suling. Bahan pembentuk emulsi (emulsifier) yang biasa digunakan adalah trietanolamin dan asam oleat. Emulsi lilin yang belum terpakai tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung dan cuaca dingin. Emulsi dalam air lebih aman digunakan daripada pelarut-pelarut lain yang mudah sekali terbakar.

Distilat asap

(42)

diasetil, fenol, tar dan air (Wijaya, 1980 di dalam Tampubolon, 1988). Distilat asap atau asap cair tempurung kelapa mengandung lebih dari 400 komponen dan memiliki fungsi sebagai penghambat perkembangan bakteri yang cukup aman sebagai pengawet alami (http://disperindag-jabar.go.id/).

Cara memproduksi distilat asap seperti yang diamati Pzezola (1995) adalah sebagai berikut : bahan pengasap dikeringkan agar kadar airnya konsisten, kemudian dibakar dalam perapian dengan pengontrolan oksigen, kadar air, waktu dan suhu. Asap kemudian dikondensasi da dicampur dengan air dingin. Produk kasar ini didiamkan dalam tangki stainless stell selama kurang lebih 10 hari untuk mengendapkan materi tak larut (seperti benzopirena yang merupakan pembentuk senyawa PAH/poisiklik aromati hidrokarbon) melalui filtrasi multitahap. Produk-produk adap sintetik misalnya distilat asap, konsentrat, minyak, bubuk distilat asap terlarut dan distilat asap cair buffer.

Asap memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan makanan karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil. Distilat asap mengandung senyawa fenol dengan titik didih tinggi yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri sehingga dapat digunakan sebagai pengawet. Sokolov et al. (1972) di acuh oleh Daun (1989) menyatakan bahwa mencelupkan pangan dalam distilat asap akan mencegah pembentukan agregat protein pada saat pengeringan sehingga meningkatkan nilai biologis dari produk yang dihasilkan. Disamping itu karena asap memiliki efek antioksidan maka vitamin-vitamin larut dalam lemak yang ada dalam bahan pangan juga dapat terhindar dari degradasi oksidasi (Haras, 2004).

(43)

oksidasi terhadap zat-zat yang dapat mengalami autooksidasi (http://blog.lipi.go.id/).

Asap cair mempunyai beberapa kelebihan yaitu mudah di terapkan/ praktis penggunaannya, flavor produk lebih seragam, dapat digunakan berulang-ulang, lebih efisien dalm penggunaan bahan pengasap, dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan, polusi lingkungan dapat diperkecil dan yang paling penting senyawa karsinogen yang terbentuk dapat dieliminasi (Simon et al, 2005). Asap memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan makanan karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil.

Tempurung kelapa merupakan bagian yang paling keras pada buah kelapa. Terletak di sebelah dalam sabut kelapa dengan ketebalan 3-5mm dan berfungsi sebagai pelindung daging buah kelapa akibat pengaruh eksternal (Awang, 1991). Tempurung kelapa seperti halnya kayu mempunyai sejumlah besar lignin dan sejumlah kecil selulosa. Kandungan methoxyl tempurung kelapa hampir sama dengan kayu, dan kandungan airnya bervariasi menurut lingkungan, varietas dan kematangan buah. Tempurung kelapa yang berasal dari buah yang matang pada keadaan kering udara berkadar air 6-9% (Djatmiko dan Ketaren, 1978). Seperti yang dilaporkan Darmadji dkk (1996) yang menyatakan bahwa pirolisis tempurung kelapa menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa fenol sebesar 4.13 %, karbonil 11.3 % dan asam10.2% (http://www.AsapCair.com). Asap cair dapat diaplikasikan dengan berbagai cara seperti penyemprotan, pencelupan atau dicampur langsung kedalam makanan (Pearson dan Tuber, 1984).

Pengemasan

(44)

Pengepakan akan berpengaruh terhadap kerusakan telur, karena telur pecah atau terjadi disintegrasi komponen fisik dalam telur akan mempercepat kerusakan komponen dan sifat fisik kimia lainnya (Romanoff dan Romanoff, 1963). Beberapa cara pengepakan telur selama proses pemasaran pernah dibahas oleh Orr dan Fletcher (1973) yang menunjukkan bahwa pengepakan telur dengan folding box, molded pulp, molded plastic dan hermeticaly scaled plastic packages akan dapat mengurangi evaporasi air dan absorpsi bau yang tidak diinginkan. Sifat pengepak telur yang berguna dalam pengemasan antara lain dapat menghindari kerusakan fisik, mengurangi evaporasi air, mengurangi kontaminasi kotoran dan penyerapan bau (Winarno, 1993).

Pengemasan telur yang baik mempunyai banyak kegunaan. Kegunaan yang paling penting adalah untuk mengurangi kerusakan selama pengangkutan dan penjualan. Selain itu, kemasan juga berperan untuk memudahkan konsumen dalam membawanya ( Sujionohadi et al, 2003).

Komodoti hasil pertanian seperti telur, buah-buahan segar, biskuit dan produk-produk kering sangat memerlukan perlindungan terhadap faktor mekanis. Tumpukan barang atau kemasan, jenis transportasi (darat, laut, udara) dan jenis barang sangat memerlukan macam perlindungan yang harus diberikan untuk mencegah hancurnya bahan. Selain itu, perlindungan terhadap debu, sengatan panas dan serangga (Syarief, 1990).

Di Indonesia, bahan pembantu yang sering dipakai untuk mengemas buah-buahan menggunakan keranjang dan peti. Daun-daun kering, pelapah batang pisang, tikar atau kertas karton, potongan-potongan kertas, serbuk gergaji dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut berfungsi sebagai bahan pengisi pada dinding kemasan untuk mencegah terjadinya gesekan antara produk dengan permuakaan kemasan dan pergeseran letak komoditi, dan mengisi sela-sela antara produk yang dikemas (Syarief et al, 1989).

(45)

pada jenis kemasan tertentu. Pilihan jenis kayu ditentukan berdasarkan jumlah yang tersedia dan harga, karakteristik kekuatan aktual dari jenis kayu, kualitas, ketebalan, desain peti dan keahlian tenaga kerja dalam mengkontruksi dan merakit kemasan. Kayu digunakan untuk membuat kerangka kemasan karena sifat kayu yang kokoh dan kaku, sehingga dapat digunakan untuk memberi yang permanen ( Syarief at al, 1993).

Transportasi

Transportasi merupakan faktor penunjang yang sangat penting dalam ditribusi telur dari produsen ke konsumen, oleh sebab itu penanganan selama pengankutan ini sangat penting. Getaran atau gerakan yang terjadi dapat menyebabkan telur retak atau pecah dan dapat juga menyebabkan disintegrasi komponen fisik (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Goncangan yang terjadi selama pengangkutan baik dijalan raya maupun di rel kreta api dapat mengakibatkan memar, susut bobot dan memperpendek umur simpan. Meskipun kemasan dapat meredam efek goncangan tetapi daya redamnya tergantung jenis kemasan serta tebal bahan kemasan, susunan komoditas dalam kemasan dan susunan kemasan di dalam alat pengangkutan (Purwadaria, 1992).

Menurut Soedibjo (1992), perlakuan yang kurang sempurna selama pengangkutan dapat mengakibatkan jumlah kerusakan yang dialami oleh komoditi pada waktu sampai di tempat tujuan mencapai 30-50%. Pada umumnya hambatan yang menyebabkan penurunan mutu tersebut adalah kegiatan penanganan pascapanen yang tidak sempurna walaupun mutu produk pada waktu panen sudah baik. Kegiatan penanganan pascapanen meliputi masalah tempat pengumpulan, grading atau sortasi, pengemasan, pengangkutan dan pemasaran.

Penyimpanan Telur

(46)

umumnya mempunyai kualitas baik. Hal ini berdasarkan keadaan kerabang telur, besar kantong udara, kondisi putih telur dan kuning telur. Produk dikatakan berada didalam kisaran umur simpannya, bila kualitas produk secara umum dapat diterima oleh konsumen.

Waktu penyimpanan yang semakin lama menyebabkan pori-pori semakin membesar dan lapisam mukosa jadi rusak. Air, gas dan bateri lebih mudah melewati kerabang sehingga penurunan kualitas dan kesegaran telur semakin cepat (Muchtadi, 1992). Telur segar yang disimpan pada suhu kamar akan bertahan 10-14 hari, setelah waktu tersebut telur mengalami kerusakan (Syarief, 1993).

Menurut Syarief et al. (1989) gangguan yang paling umum terhadi pada bahan pangan adalah kehilangan air atau perubahan kadar air serta pengaruh gas dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk maka akan timbul jamur dan bakteri, (pengerasan pada produk bubuk) dan pelunakan pada produk kering. Suhu yang rendah menghambat penurunan kualitas telur, sedangkan suhu yang tinggi tidak baik untuk penyimpanan karena penurunan kualitas telur akan lebih cepat terjadi. Penutupan kulit telur juga akan menghambat kelurnya CO2 dari dalam telur. Kombinasi penutupan kulit telur dan suhu rendah akam mempertahankan kualitas telur dalam waktu lama.

Menurut Lowe (1963), penurunan indek putih telur dapat diperlambat dengan penyimpanan pada suhu -1,1 0 C. Cara untuk pengendalian kerusakan yaitu dengan cara pelapisan lilin, penggunaan kantong dan karung plastik, penggunaan sistem pengaturan komposisi O2 dan CO2 dalam wadah tidak dapat dianjurkan terutama di negara-negara tropis, bila cara tersebut tidak dikombinasikan dengan pendinginan (Pantastico, 1986).

(47)

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan

dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Pertanian dan Laboratoriun

Ilmu Produksi Ternak IPB, Bogor. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan

Agustua-Oktober 2006.

Alat dan Bahan Alat

Peralatan yang digunakan antara lain meja getar, Candler 60 Watt,

timbangan dygital untuk mengukur bobot telur, mikrometer tripot untuk

mengukur indeks putih dan kuning telur, meja kaca sebagai wadah

pengukuran serta jangka sorong untuk mengukur diameter putih dan

kuning telur.

Bahan

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah telur ayam buras

umur 1 hari 268 butir. Bahan lain yang digunakan kemasan peti kayu

(dimensi = 42 cm x 30 cm x 20 cm) tebal = 1.8 cm jenis (Battened End Box) dengan bahan pengisi jerami padi dan kardus kotak (dimensi = 42 cm x 30 cm x 20 cm) tebal = 7.1 cm, Jenis RSC (Regular Sloted Container) dengan bahan pengisi kertas koran, egg try, kitosan dengan

konsentrasi 1.5%, ekstrak daun jambu biji dengan konsentrasi 1.5%, lilin

(48)

Metode Penelitian

Metode penelitian yang telah dilakukan terdiri dari dua tahap. Tahap satu

yaitu pemilihan bahan pelapis meliputi :

1. Telur yang telah diambil dari kandang terlebih dahulu dilakukan candling

dan penimbangan setelah itu dibersihkan dengan diterjen untuk

menghilangkan kotoran kemudian ditiriskan lalu lakukan uji mikrobiologi

untuk mengetahui jumlah total mikroba sebelum pencelupan.

2. Kemudian telur ayam buras decelupkan ke dalam jenis bahan pelapis

(kitosan, ekstrak daun jambu biji, lilin lebah dan distilat asap) selama 5

menit dan ditiriskan lalu disimpan pada suhu ruang selama dua minggu

dengan bagian yang tumpul menghadap ke atas supaya rongga udara yang

digunakan sebagai pertukaran gas tidak tertutupi.

3. Pengukuran perubahan mutu telur tersebut dilakukan satu kali dalam satu

minggu. Peubah yang diamati susut bobot, uji mikrobiologi, indeks putih

telur, indeks kuning telur dan kantong udara.

4. Setelah didapatkan bahan pelapis yang terbaik kemudian dilanjutkan

(49)
[image:49.612.84.540.94.505.2]

Gambar 6. Diagram alir prosedur penelitian tahap I Penyimpanan pada suhu ruang (27 0C) dan Kelembaban

relatif 65-70% Telur Ayam Buras

Dicelupkan selama 5 menit

Ditiriskan sampai kering

Disusun pada egg try Candling dan Timbang

Dibersihkan dengan diterjen

Uji Mikrobiologi

Khitosan (B2)

Ekstrak daun jambu biji (B3)

Lilin lebah (B4) Kontrol

(B1)

(50)

Tahap ke dua meliputi :

1. Telur yang diambil dari kandang terlebih dahulu dilakukan candling dan

penimbangan selanjutnya dibersihkan dengan diterjen untuk

menghilangkan kotoran kemudian ditiriskan lalu lakukan uji mikrobiologi

untuk mengetahui jumlah total mikroba sebelum pencelupan.

2. Kemudian telur ayam buras dicelupkan ke dalam jenis bahan pelapis yang

terpilih pada penelitian tahap satu selama 5 menit dan ditiriskan.

3. Setelah kering telur tersebut dikemas pada peti kayu dengan bahan pengisi

jermai padi dan kardus karton dengan bahan pengisi koran cacah. Setiap

kemasan di isi dua lapis telur yaitu lapis atas dan bawah.

4. Kemudian setiap kemasan ditampatkan diatas meja getar dan digetarkan

selama 3 jam.

5. Penggetaran dilakukan selama 3 jam pada arah vertikal dengan Frekuensi

3.32 Hz dan Amplitudo 4.11 cm. Hal ini didasarkan pada kesetaraan alat

angkutan simulasi truk jika menggunakan diameter reducer < 27 cm

(Soedibyo, 1992). Reducer adalah instrumen pada alat angkut simulasi,

bentuknya seperti roda dan fungsinya adalah untuk mengurangi atau

meningkatkan kecepatan.

6. Setelah perlakuan goncangan, selanjutnya dihitung jumlah telur yang rusak

dan utuh. Kemudian susunan telur dibuka dan disusun ulang pada egg try

dengan bagian yang tumpul menghadap keatas, lalu disimpan pada suhu

ruang selama dua minggu.

7. Pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali untuk mengetahui

perubahan kualitas telur ayam buras. Selama penyimpanan dilakukan

pengamatan terhadap susut bobot, uji mikrobiologi, indeks putih telur,

(51)
[image:51.612.118.522.72.628.2]

Gambar 7. Diagram alir prosedur penelitian tahap II

Telur dilapisi dengan pelapis yang terpilih pada penelitian tahap satu

Uji Mikrobiologi Dibersihkan dengan Diterjen

Ditimbang dan Candling Telur Ayam Buras

Pengamatan masa simpan :

Susut bobot, uji mikrobiologi, pengukuran indeks putih, indeks kuning telur dan kantung udara

Pengemasan :

kemasan peti kayu (PK) dan kemasan kardus karton (KK) (masing-masing dengan bahan pengisi)

Penyusunan di Meja Getar :

Kemasan Peti Kayu dan Kemasan kardus karton

Penggetaran Diatas Meja getar (3 Jam) dengan Frekuensi = 3.32 Hz dan Amplitudo 4.11 cm

Pengamatan perubahan Mutu Fisik :

Kerusakan mekanis (retak dan pecah) setelah penggetaran Hasil : Persen Kerusakan Mekanis

(52)

Kitosan

Kitosan diperoleh dari khitin yang dideatilasi dengan menambahkan

sodium hidroksida pekat sesuai perlakuan yang terpilih dari penelitian terdahulu

yaitu 50 dan 60%, sedangkan perbandingan antara pelarut dan khitin adalah 20 : 1

lalu dipanaskan pada suhu 120 dan 140 0C sesuai perlakuan, selama 60 menit.

Padatan yang diperolah dicuci dengan air sampai pH netral, kemudian dikeringkan

pada suhu 800 C selama 24 jam. Kitosan yang diperoleh ditimbang dan disimpan

dalam kantung plastik pada suhu kamar untuk selanjutnya dianlisis mutunya.

Digram alir proses pembuatan zat khitosan

Ekstrak Sumber Tanin

Proses pembuatan ekstrak ini pada prinsipnya yaitu sama dengan merebus

bahan sumber tanin (daun jambu biji) masing-masing 500 gram daun dalam

bentuk segar kemudian dicampur dengan 500 ml air bersih. Bahan tersebut

direbus sampai mendidih (1000 C) selama 1 jam. Setelah itu dibiarkan semalam

agar dingin kemudian disaring.

Bubuk khitin

NaOH 50 dan 60 % (20:1) →Deatilasi (pemanasan suhu 120 dan 1200 C, 60 menit)

Pencucian hingga pH netral

Pengeringan

(suhu 800 C, selama 24 jam)

(53)

Diagram alir proses pembuatan ekstrak daun jambu biji

Emulsi Lilin

Pembuatan emulsi lilin dengan konsentrasi 12 % adalah dengan cara

mencampurkan dan mencairkan lilin dengan air. Air yang digunakan untuk

membuat emulsi lilin adalah air suling.

Diagram alir proses pembuatan emulsi lilin lebah 500 g daun jambu biji segar + 500 ml air bersih

Direbus sampai mendidih (1000C) selama 1 jam

Didiamkan selama satu malam

Disaring

Ekstrak tanin

120 g lilin ( Bees wax ) dan 100 cc air

Dipanaskan (70-100 0C)

Ditambahkan asam oleat 20

ml dan trietanolamin 60 ml Diaduk

(bahan yang telah diaduk) dengan air sampai volume campuran mencapai 1 liter

(54)

Pengamatan

1. Tingkat Kerusakan Mekanik

Uji tingkat kerusakan mekanis dilakukan setelah telur ayam kampung

digoncang atau digetarkan. Kriteria rusak didasarkan pada terdapatnya luka gores

pada kulit. Uji ini dilakukan secara visual. Lembar pengujian yang digunakan

[image:54.612.126.523.253.518.2]

adalah seperti pada tabel 2.

Tabel 3. Contoh lembar pengujian kerusakan mekanis

UJI TINGKAT KERUSAKAN MEKANIS

Penggetaran Jenis Kemasan dan bahan

pengisi

Jumlah Rusak (butir)

Jumlah Tidak Rusak (butir)

Total sampel didalam kemasan (butir)

PKLA

PKLB

KKLA

3 Jam

KKLB

Keterangan :

PKLA = peti kayu dengan bahan pelapis jerami padi

PKLB = peti kayu dengan bahan pelapis jerami padi

KKLA = kotak kardus dengan bahan pelapis koran cacah

KKLB = kotak kardus dengan bahan pelapis koran cacah

Persamaan yang digunakan untuk menghitung persentase kerusakan

mekanis pada telur tersebut adalah :

% Rusak =

l JumlahTota

k JumlahRusa

(55)

2. Susut Bobot

Penyusutan berat telur dilakukan dengan timbangan model kasar (Ohaus)

yang dapat dibaca sampai ketelitian 0,1 gram. Penyusutan berat telur diperoleh

dari selisih berat awal dengan berat sesuai dengan umur penyimpanan atau susut

berat.

Dimana :

W0 = Bobot awal bahan (gram)

Wt = Bobot akhir bahan (gram)

3. Uji Mikrobiologi

Pengamatan mikrobiologi ini dilakukan untuk mendeteksi apakah telur

yang diawetkan masih dapat dan layak konsumsi. Pengamatan dilakukan sebelum

pencelupan terhadap bahan atau zat pengawet. Selama masa penyimpanan telur

tersebut dilakukan pengamatan untuk melihat pertumbuhan mirobiologi apa yang

terjadi pada setiap perlakuan.

Cara :

1. Timbang bahan yang akan diperiksa (sampel kulit telur) berat antara 2 -3.5

gram

2. Masukkan dalam kantong plastik steril dan pecahkan kerabang hingga

lembut.

3. Kalikan berat bahan 9 kali sehingga diperoleh jumlah pelarut yang

dibutuhkan. Untuk standart 1: 10, atau 25 gram kulit telur dengan 225 ml

pelarut Buffered Depton Water (BPW). % Susut Bobot = W0 – Wt

W0

(56)

4. Setelah ditambahkan pelarut kemudian dilakukan homogenisasi. Siapkan

agar PCA yang sudah disterilkan, tunggu hingga aman dicampur lalu

dituangkan pada cawan petri dengan temperatur 50-55 0 C.

5. Siapkan tabung steril secara serial 1 atau 4 sesuai perkiraan total populasi

mikroba. Isi dengan 9 ml buffer depton water dan tambahkan 1 ml sampel kemudian diaduk sampai rata.

6. Untuk kantong pelarut dan kerabang yang sudah dihomogenisasi dengan

baik sudah termasuk (101 ) siap dituangkan pada cawan.

7. Setelah dilakukan pengenceran 101, 102, 103. Ambil masing-masing

enceran dan tuang pada cawan 1 ml.

8. Biarkan cawan agar dan sampel mengeras, kemudian diinkubasi.

9. Baca atau hitung koloni yang muncul pada agar.

Perhitungan jumlah koloni, misalnya pengenceran awal 1:10 (101) dibuat

dengan cara mengencerkan 1 ml bahan kedalam 9 ml larutan pengencer,

dilanjutlkan dengan pengenceran lebih tinggi sampai 105 atau 106 . Semakin

tinggi jumlah mikroba yang terdapat dalam sel semakin tinggi pengenceran yang

harus dilakukan. Jika setelah inkubasi misalnya diperoleh 60 dan 64 koloni pada

masing-masing cawan duplo yang mengandung pengenceran 10-4 , maka jumlah

koloni dapat dihitung sebagai berikut (1 ml larutan pengencer dianggap

mempunyai berat 1 gram) : Perhitungannya ;

Faktor Pengenceran = Pengenceran X jumlah yang dibutuhkan

= 10 -4 X 1.0 ml

= 10 -4

Jumlah koloni = jumlah koloni per cawan X 1/ faktor pengenceran

= (60 + 64) X 1/10-4

(57)

4. Indeks Putih Telur

Telur di pecah kemudian isinya dituangkan di atas meja kaca, selanjutnnya

tinggi putih telur diukur dengan menggunakan mikrometer sedangkan

diameternya diukur dengan jangka sorong. Kemudian indeks putih telur

ditentukan berdasarkan rumus berikut :

5. Indeks Kuning Telur

Telur di pecah kemudian isinya dituangkan di atas meja kaca, selanjutnnya

tinggi kuning telur diukur dengan menggunakan mikrometer sedangkan

diameternya diukur dengan jangka sorong. Kemudian indeks kuning telur

ditentukan berdasarkan rumus berikut :

6. Kantung Udara

Penentuan kualitas telur berdasarkan kantung udara dapat dilihat dengan

cara peneropongan yang dilakukan secara sederhana yaitu menyinari telur dengan

lampu 60 Watt melalui tabung slinder pada ruangan yang agak gelap. Indeks Putih Telur =

Tinggi Putih Telur

Diameter Putih Telur (terpanjang + terpendek) / 2

Indeks Putih Telur =

Tinggi Kuning Telur

(58)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan model linier sebagai

berikut :

Y

ij

= µ +

ά

i

+

β

j

+ (

άβ

)

ij

+

ε

ijk

Dimana : i = 1,2,....t dan 1,2,...r

Yij = Pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j

dan ulangan ke-k

µ = Rataan umum

άi = Pengaruh utama faktor A

βj = Pengaruh utama faktor B

(άβ)ij = komponen interaksi dari faktor A dan B

εijk = Pengaruh acak dari interaksi AB yang menyebar normal (0, τ2)

Data yang diperoleh dianalisa dengan analisis sidik ragam menggunakan

SAS 9 pada tingkat kepercayaan 95%, jika terdapat pengaruh perlakuan dilakukan

uji lanjut Duncan.

(59)

Penelitian Tahap I

Penentuan Bahan Pelapis Susut bobot

Susut bobot telur segar yang disimpan pada suhu ruang merupakan evaporasi air dan CO2 sebagai kegiatan respirasi yang berlangsung selama penyimpanan. Penyimpanan telur segar pada suhu ruang yang dilapisi dengan bahan pelapis edibel diduga mempengaruhi aktivitas penguapan air, sehingga berlangsung lebih lambat.

Hasil pengukuran susut bobot disajikan pada Tabel 3, hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1) memperlihatkan bahwa jenis bahan pelapis dan lama penyimpanan masing-masing berpengaruh nyata dan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap susut bobot.

Hasil uji lanjut Duncan (Tabel 3), menunjukkan bahwa pada satu minggu penyimpanan susut terendah terjadi pada kitosan tidak berbeda nyata terhadap kontrol, ekstrak daun jambu biji, lilin lebah dan distilat asap. Hal ini disebabkan oleh adanya variasi berat antara individu telur ayam buras. Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), variasi berat telur dipengaruhi oleh faktor ras unggas, umur unggas, umur telur dan kondisi penyimpanan. Pada dua minggu penyimpanan susut bobot terendah terjadi pada kitosan berbeda nyata terhadap kontrol dan ekstrak daun jambu biji, tetapi tidak berbeda nyata terhadap lilin lebah dan distilat asap.

Tabel 3. Pengaruh jenis bahan pelapis terhadap penurunan bobot telur ayam buras selama penyimpanan (Dalam persen).

Perlakuan Lama Penyimpanan ( Minggu)

1 2

Kontrol 1.87d 5.86a

Kitosan 1.62d 3.12c

Ekstrak daun jambu biji 1.93d 3.73b Lilin lebah 1.65d 3.16c Distilat asap 1.99d 3.49bc

(60)

bobot yang semakin meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh proses penguapan air dari dalam telur melalui pori-pori kerabang, sehingga menyebabkan penyusutan bobot. Jenis bahan pelapis yang memiliki bahan dasar protein dan polisakarida memiliki sifat yang impermeabel terhadap gas tetapi masih dapat dilalui oleh uap air. Sesuai dengan Baldwin (1994) mengemukakan pelapis kitosan konsentrasi 1-2% pada RH dibawah 70% bersifat impermeabel terhadap gas sedangkan RH 100% terjadi penentrasi gas O2 dan CO2 masing-masing 44 µl/cm2/jam dan 3 µl/cm2/jam serta dapat dilalui oleh uap air dengan kecepatan 0.8 mg/cm2/jam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan bobot telur pada semua perlakuan selama penyimpanan (Gambar 8).

0 1 2 3 4 5 6 7

Minggu 1 Minggu 2

S

u

s

u

t B

o

b

o

t (%

)

Kontrol Kitosan

Ekstrak daun jambu biji Lilin lebah

Distilat asap

Gambar 8. Pengaruh jenis bahan pelapis terhadap penurunan bobot telur ayam buras selama penyimpanan.

(61)

perlakuan pelapisan untuk menutupi pori-pori kerabang sehingga luasan permukaan tempat udara bergerak dapat dihambat.

Berdasarkan analisis dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa penyimpanan telur dengan perlakuan kitosan menghasilkan susut bobot terendah selama penyimpanan dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Jumlah total mikroba

Pada awal penyimpanan jumlah mikroba pada kulit telur sudah ada. Hal ini disebabkan oleh kontaminasi pada saat telur berada di dalam kandang. Awal peneluran kulit telur dilapisi oleh lapisan tipis yang disebut kutikula yang terdiri dari 90% protein. Fungsinya untuk mencegah penetrasi mikroba melalui kerabang, mengurangi penguapan air yang terlalu cepat dan mencegah masuknya cairan polar sehingga hanya udara dan air yang dapat masuk melalui sistim difusi (Romanoff dan Romanoff, 1963). Fardiaz (1987), mikroba banyak meyerang bahan makanan yang mengandung protein.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) memperlihatkan bahwa jenis bahan pelapis dan lama penyimpanan masing-masing berpengaruh nyata dan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap perkembangan jumlah total mikroba.

Hasil uji lanjut Duncan (Tabel 4), menunjukkan bahwa pada satu minggu penyimpanan jumlah mikroba tertinggi terjadi pada lilin lebah berbeda nyata terhadap kontrol, kitosan, ekstrak daun jambu biji dan distilat asap. Hal ini karena lilin lebah mengandung senyawa asam lemak yang memiliki sifat hidrofil (menyerap air), maka akan memacu pertumbuhan mikroba. Jumlah total mikroba yang dilapisi dengan distilat asap jumlahnya cenderung lebih sedikit, karena komponen distilat asap mengandung senyawa utama yaitu fenol dan asam asetat yang memiliki peranan sebagai antimikroba dan antioksidan.

(62)

asetat 9,60%, dimana keduanya merupakan senyawa antimikroba.

Pada dua minggu penyimpanan jumlah total mikroba tertinggi terjadi pada distilat asap berbeda nyata terhadap kontrol, kitosan, ekstrak daun jambu biji dan lilin lebah. Hal ini karena terjadi kontaminasi dari mikroba lain pada lingkungan selama penyimpanan di suhu ruang. Pemecahan atau dekomposisi dari hidrogen yang dibemtuk mikroorganisme katalase negatif, oksidasi dari asam asetat dapat memberikan kesempatan bagi mikroorganisme lain yang sebelumya terhambat pertumbuhan menjadi lebih cepat.

Menurut Buckle et al, (1987) beberapa mikrorganisme tertentu (khamir dan kapang) dapat memecah senyawa asam, fenolat dan karbonil secara alamiah yang ditambahkan akan mengakibatkan kenaikan pH yang cukup memungkinkan tumbuhnya spesies bakteri yang sebelummya terhambat pertumbuhannya. Selain itu diduga terjadi kontaminasi pada lingkungan penyimpanan, karena kondisi suhu optimum dilingkungan penyimpanan yang menyebabkan pertumbuhan menjadi cepat.

Perlakuan kitosan setelah disimpan selama dua minggu terjadi penurunan jumlah total mikroba, artinya relatif menghambat pertumbuhan. Hal ini disebabkan kitosan merupakan gula unik yang memiliki polimer muatan positif yang mampu mengikat muatan negatif dari sel membran mikroba, sehingga akan mempengaruhi permeabilitas membran sel dan mengakibatkan kebocoran dari bahan-bahan intraseluler mikroba seperti genetik. Terganggunya fungsi membran sel meikroba akan mengakibatkan terhambatnya transfor aktif dari nutrien (Hugo, 1983).

(63)

Tabel 4. Pengaruh jenis bahan pelapis terhadap perkembangan jumlah total mikroba pada kulit telur ayam buras selama penyimpanan.

Perlakuan Lama Penyimpanan (Minggu) 0 1 2 Kontrol 5100ef 8167cd 11333c Kitosan 7200cde 3867ef 3233f Ekstrak daun jambu biji 8966cd 1267g 23667b Lilin lebah 5233def 39667b 10667c Distilat asap 6866cde 317h 70334a

Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan nyata pada taraf 5%

Pada Gambar 9, memperlihatkan bahwa pada perlakuan setelah disimpan selama dua minggu terjadi perkembangan jumlah total mikroba. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pH, dimana mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6-8. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi perkembangan jumlah total mikroba pada semua perlakuan selama penyimpanan (Gambar 9).

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 80000

Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2

J

um

la

h Tot

a

l M

ik

roba

(

C

FU

/g)

kontrol kitosan

ekstrak daun jambu biji lilin lebah

distilat asap

Gambar 9. Pengaruh jenis bahan pelapis terhadap perkembangan jumlah total mikroba pada kulit telur ayam buras selama penyimpanan.

(64)

Indeks putih telur yang disimpan suhu ruang merupakan proses kental menjadi encer selama penyimpanan. Penyimpanan telur segar pada suhu ruang yang dilapisi dengan bahan pelapis edibel diduga mempengaruhi aktivitas penguapan air, gas CO2 sehingga berlangsung lebih lambat.

Hasil pengukuran indeks putih telur disajikan pada Tabel 5. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3) memperlihatkan bahwa bahan pelapis dan lama penyimpanan masing-masing berpengaruh nyata dan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap indeks putih telur.

Hasil uji lanjut Duncan (Tabel 5), memperlihatkan bahwa pada satu minggu penyimpanan indeks putih telur tertinggi terjadi pada kitosan tidak berbeda nyata terhadap kontrol, ekstrak daun jambu biji, lilin leba

Gambar

Gambar 2. Lapisan kerabang telur (Austic dan Nesheim, 1990)
Gambar 6. Diagram alir prosedur penelitian tahap I
Gambar 7. Diagram alir prosedur penelitian tahap II
Tabel 3. Contoh lembar pengujian kerusakan mekanis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas serta panas bumi mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu

On August 15, the Indo- nesian government and the Free Aceh Movement (known as GAM) signed a historic peace agreement in Helsinki, Finland.. The Memorandum of Under- standing

The authors present empirical data about the high school years to help assess the rela- tive importance of such factors as academic ability, level of parental income and

Although Economics of Education Review does not cover economic education (teaching economics), an exception may be made for this book, because someday a controlled study of

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kadar Natrium Benzoat pada jahe dan lengkuas giling yang beredar di beberapa pasar tradisional di Kota Padang.. BAHAN

tertutupi dengan kebahagian merawat tanaman dan saat panen raya tiba akan menjadi bonus karena dari hasil kerja keras subjek dapat membahagiakan serta memenuhi kebutuhan

Dalam hal ini kemoterapi dengan beberapa karateristik pasien seperti usia pada pasien kemoterapi, jenis kelamin pada pasien kemoterapi, jenis kanker, stadium, siklus

Karena banyaknya suatu permasalahan yang timbul dalam sebuah sistem berjalan, maka dibuatlah suatu sistem usulan untuk mengurangi permasalahan yang terjadi dengan