• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTELASI Teori Dalam Ilmu Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONSTELASI Teori Dalam Ilmu Hukum"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

KONSTELASI

Teori Dalam

Ilmu Hukum

Diterbitkan Oleh R.A.De.Rozarie

(2)

Konstelasi Teori Dalam Ilmu Hukum © November 2015

Eklektikus: Tomy Michael

Editor: Wiwik Afifah, S.Pi., S.H., M.H.

Master Desain Tata Letak: Krisna Budi Restanto

Angka Buku Standar Internasional: 9786021176030 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Katalog Dalam Terbitan

Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang digunakan atau direproduksi dengan tujuan komersial dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis

dari R.A.De.Rozarie kecuali dalam hal penukilan untuk keperluan artikel atau karangan ilmiah dengan menyebutkan judul dan penerbit buku ini

secara lengkap sebagai sumber referensi. Terima kasih

(3)

i

PRAKATA

Setelah melalui perenungan panjang, akhir-nya saya meakhir-nyajikan suatu bacaan ilmiah ilmu hu-kum yang mengagungkan kebebasan dalam berpi-kir.

Karya ini menyajikan beberapa teori dalam ilmu hukum dengan bahasa yang mudah dipaha-mi. Didukung dengan sumber bacaan berupa terje-mahan langsung, saya berharap karya ini menjadi bacaan ilmiah yang menyenangkan dan memiliki nilai lebih dari bacaan sejenis.

Salam damai dalam kesatuan Tuhan dan kasih-Nya… Entah Anda menyebut-Nya apa. Res-pice post te! Hominem te esse memento! Memento mori!

(4)

ii

T

(5)

1

PENDAHULUAN

Sebelum memasuki penjabaran akan berba-gai teori dalam ilmu hukum. Alangkah baiknya ji-ka kita terlebih dahulu memahami makna hukum itu sendiri.

Jika muncul pertanyaan “apakah hukum?” maka akan muncul beribu-ribu jawaban karena hukum merupakan sesuatu yang abstrak dan ke-beradaannya tidak mampu menjangkau keberada-an mkeberada-anusia. Hukum dapat timbul melalui kekua-saan, hukum berada dalam masyarakat, hukum memiliki sifat luwes dan sering kali bersifat me-maksa, hukum mengatur hampir sebagian besar hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, bah-kan hukum memiliki konsekuensi bagi orang yang telah meninggal.

Satu hal yang pasti, hukum dibuat, diada-kan, dan direncanakan untuk mengatur tertib hi-dup umat manusia walaupun adakalanya hukum hanya berpihak pada suatu kelompok manusia se-hingga merugikan kelompok lainnya. Itulah keis-timewaan hukum, oleh karenanya dibutuhkan ba-nyak perbedaan makna dari kata “hukum” itu sen -diri agar tercipta keadaan hukum yang adil.

(6)

Jawa-2

bannya yaitu dengan wahyu Sang Pencipta. Bah-wa manusia diberi akal dan budi untuk mereali-sasikan terciptanya hubungan yang harmonis an-tara sesama, alam dan Sang Pencipta. Oleh karena-nya teori hukum merupakan suatu pemikiran mendalam dari para individu yang rela berfilsafat dalam hidupnya.

Pada waktu manusia bertindak sebagai pri-badi yang tidak teratur (dalam arti, hukum rim-balah yang menjadikan manusia bertahan), maka hukum dijadikan suatu sarana untuk bersaing. Melakukan persaingan dengan membenarkan se-gala cara, mereka tidak peduli terhadap sese-gala aki-batnya. Kekuatan menjadi faktor dominan bagi masing-masing individu. Di lain pihak beberapa teori hukum juga memiliki implikasi-implikasi ke-filsafatan hukum. Hal ini dapat dilihat pada teori hukum yang bersifat empirik.1

Di dalam kajian ilmu hukum selalu terdapat 4 (empat) hal penting yaitu ontologi, epistemologi, aksiologi, dan teleologi. Keempat hal tersebut wa-jib dipahami terlebih dahulu agar terciptanya sua-tu pemahaman komprehensif.

Menurut Lorens Bagus keempat hal tersebut diartikan sebagai:

Ontologi2

éStudi tentang ciri-ciri esensial dari Yang Ada dalam

dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang

1 B Arief Sidharta, hal 32.
(7)

3

hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari Yang Ada dalam bentuknya yang sangat abstrak studi terse-but melontarkan pertanyaan seperti: “apa itu Ada -dalam-dirinya-sendiri?” “Apa hakikat Ada sebagai

Ada?”

éCabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur

re-alitas dalam arti seluas mungkin, yang mengguna-kan kategori-kategori seperti: ada/menjadi, aktuali-tas/potensialitas, nyata/tampak, perubahan, waktu, ek-sistensi/noneksistensi, esensi, keniscayaan, hal mencu-kupi diri sendiri, hal-hal terakhir, dasar.

éCabang filsafat yang mencoba a) melukiskan hakikat

Ada yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna), b) menunjukkan bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya, c) menghu-bungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu.

éCabang filsafat a) yang melontarkan pertanyaan “Apa

arti ADA, BERADA?” (Pertanyaan yang sama dilon -tarkan tentang kategori-kategori atau konsep-konsep lain yang digunakan dalam (2) dan b) yang mengana-lisis bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan ADA, Berada.

éCabang filsafat yang a) menyelidiki status realitas

(8)

4

nyata?”, b) menyelidiki jenis realitas yang dimiliki

hal-hal (misalnya, “Apa jenis realitas yang dimiliki

bi-langan? Persepsi? Pikiran?”), dan c) yang menyeli -diki realitas yang menentukan apa yang kita sebut

realitas dan/atau ilusi (misalnya, “Apakah realitas –

atau ciri ilusif – suatu pikiran atau objek tergantung pada pikiran kita, atau pada suatu sumber eksternal

yang independen?”).

Epistemologi3

éPerbedaan pokok antara teori-teori pengetahuan

ada-lah perbedaan antara metode Rasionalisme dan teori Empirisme. Yang terdahulu ditekankan oleh pemikir-pemikir seperti Parmenides, Plato, Descartes, Spinoza, Leibniz. Sedangkan yang kedua ditegaskan oleh Fran-cis Bacon, Locke, Berkeley, Hume, dst. Contoh penge-tahuan yang paling menjanjikan adalah pengepenge-tahuan yang bersifat ilmiah. Dengan demikian dapat diuta-rakan bahwa metode yang paling cocok dengan ilmu pengetahuan harus diterima. Akan tetapi tentu saja beberapa bidang ilmu pengetahuan lebih empiris di-bandingkan yang lain. Mungkin sekali kontras antara Rasionalisme dan Empirisme merupakan kontras atau perbedaan palsu, dan menimbulkan problem palsu at-au semu pula.

éEmpirisme umumnya dapat diidentikkan dengan

Teo-ri Korespondensi (tentang kebenaran) dan

(9)

5

me dengan Teori Koherensi (tentang kebenaran). Teori Korespondensi sepertinya merupakan pandangan ya-ng lebih masuk akal bagi aprehensi biasa. Menurut te-ori ini, pernyataan-pernyataan adalah benar bila ber-korespondensi (sepadan) dengan dunia (kenyataan); dan ide-ide berkolerasi dengan kenyataan melalui persepsi-persepsi yang kita terima dari dunia.

éKaum rasionalis khususnya, diharapkan menanggapi

bahwa kenaifan ditemukan dalam perkiraan yang dapat dibangun oleh padanan-padanan (koresponden-si) ini. Tak pelak lagi orang memasuki situasi-penge-tahuan dengan sebuah ide atau sekumpulan ide yang ingin dihadapkan dengan kenyataan. Tetapi karena dalam hakikat kasus itu ia hanya bisa mengetahui ide-ide, paling-paling yang dapat dilakukannya ialah me-nghadapkan ide yang satu dengan yang lain; ide inga-tan, misalnya, dihadapkan dengan ide yang hanya di-terima dari pancaindera; dan justru bukan itu yang dimaksudkannya.

(10)

la-6

in, dan yang menyediakan evidensi supaya kita tidak membiarkan adanya kekosongan dalam teori kita.

éKritik balasan yang dilontarkan sang penganut Teori

Korespondensi ialah bahwa banyak contoh sistem ide-ide, yang mempunyai koherensi atau konsistensi in-ternal dan mempertahankan relasi-relasi dedusibilitas, namun tidak berhubungan dengan kenyataan. Sebagai contoh dapat kita sitir (kutip) beraneka macam sistem geometri, masing-masing dengan titik tolak asiomatik yang berbeda, yang dikembangkan dengan kesatuan dan koherensi luar biasa, namun tidak semuanya da-pat diterapkan pada dunia karena mereka konsisten sa-tu sama lain.

éJawaban sang penganut Teori Koherensi kepada kritik

ini ialah bahwa kritik ini tidak menangkap maksud Te-ori Koherensi. Alasannya, koherensi ide-ide tidak ha-nya mencakup jajaran ide-ide sistematis, tetapi juga ide-ide yang kita terima dari seluruh pengalaman yang mengalir tak henti-hentinya. Maksudnya ialah koherensi semua ide yang bersangkutan itu.

éMungkin debat ini tak akan terpecahkan. Tetapi

da-lam term-term praktis kiranya jelas bahwa klaim ra-sionalitas maupun observasi harus dihargai.

(11)

7

ide-ide sebagai representasi kenyataan objektif. Reali-sme Kritis melihat ide-ide tidak sebagai representasi langsung kenyataan objektif. Realisme Baru berang-gapan bahwa kita memasuki kontak langsung dengan dunia melalui relasi pengetahuan. Kesemuanya ini merupakan contoh-contoh Realisme Epistemologis, se-bab dalam tiap alternatif data diidentifikasikan dengan objek. Dalam Idealisme Epistemologis, di pihak lain, objek kiranya diidentikkan dengan data.

éDapat pula ditarik garis perbedaan antara dualisme

dan monisme dalam epistemologi. Dualisme Episte-mologis beranggapan bahwa terdapat dualitas antara data-inderawi dan objek yang diketahui. Monisme Epistemologis memandang data identik dengan objek yang diketahui. Dalam pengertian ini pembedaan epistemologi paralel dengan pembedaan-pembedaan metafisika atau ontologi.

Aksiologi4

éAksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari

analisis ini ialah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistemologis dari nilai-nilai itu.

éAksiologi merupakan studi yang menyangkut teori

umum tentang nilai atau suatu studi yang menyang-kut segala yang bernilai.

éAksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat

nilai-nilai. Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat

(12)

8

jawab dengan tiga macam cara: orang dapat meng-atakan bahwa a) nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai meru-pakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia seba-gai pelaku. Pengikut teori idealisme subjektif (posi-tivisme logis, emo(posi-tivisme, analisis linguistik dalam etika) menganggap nilai sebagai sebuah fenomen kesa-daran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan psikologis, sikap subjektif manusia kepada objek yang dinilainya. Dapat pula orang mengatakan b) nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak ter-dapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Akhirnya orang dapat mengatakan bahwa c) nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyu-sun kenyataan.

Teleologi5

éStudi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan

ke-teraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecen-derungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. Studi ini mencapai doktrin bahwa tujuan, sebab final, atau maksud harus diketengahkan sebagai prinsip-prinsip penjelasan.

éTeleologi merupakan ajaran filosofis-religius tentang

eksistensi tujuan-tujuan dan “kebijaksanaan” objektif

(13)

9

di luar manusia. Ia terungkap dalam antrofomorfisme idealistik dari objek-objek dan proses-proses alamiah. Ia mengaitkan hal-hal itu dengan tindakan prinsip-prinsip penetapan-sasaran untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang ditentukan sebelumnya. Tesis ini mengandaikan adanya seorang pencipta yang adiinte-lijen dan mendasari bukti teleologis dari adanya Allah.

é Menurut teleologi transendental-antroposentrik,

pri-nsip penetapan-sasaran, atau Allah, yang berada di luar dunia, memperkenalkan tujuan-tujuan dalam al-am yang diciptakan bagi manusia. Menurut teleologi imanen, setiap objek dalam alam dalam dirinya sendiri mempunyai suatu tujuan vital yang intrinsik, suatu sebab yang mempunyai tujuan. Tujuan vital atau se-bab yang bertujuan itu merupakan sumber gerakan dari bentuk-bentuk yang lebih tinggi.

éDengan bermacam-macam bentuk, teleologi, terdapat

dalam stoisisme, Neoplatonisme, dalam konsepsi

har-moni yang ditetapkan sebelumnya, dalam teori “jiwa

-dunia” dari Schelling, dalam idealisme objektif Hegel,

neo-Kantianisme, neo-Thomisme, personalisme, dan sebagainya.

Setelah mengetahui arti dari ontologi, epis-temologi, aksiologi, dan teleologi menurut kamus maka apabila keempat hal tersebut dikorelasikan dengan ilmu hukum akan memiliki arti:

(14)

10

dari suatu dogma hukum6, dalil hukum7, norma

hu-kum8, asas hukum9, teori hukum10, prinsip hukum11

atau doktrin hukum12.

6 Tidak dapat dibantah keberlakuannya (isi dari suatu

peraturan perundang-undangan). Esensi tidak dapat di-bantah keberlakuannya tidak menjadikan suatu pera-turan perundang-undangan menjadi objek yang tidak tak terbantahkan namun dapat menjadikannya sebagai norma dasar dalam peraturan perundang-undangan se-belum dan sesudahnya. Dogma dalam pengertian um-um selalu dikaitkan dengan pokok ajaran yang bersifat kaku. Dogma adalah pokok ajaran (tt kepercayaan dsb) yang harus diterima sbg hal yg benar dan baik, tidak bo-leh dibantah dan diragukan, dalam Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, hal 361.

7 Suatu pendapat yang dapat diuji kebenarannya, jika ia

berdiri sendiri. Dalil adalah keterangan yg dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran, dalam Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, hal 309. Penulis sengaja tidak memasukkan secara lengkap pengertian dalil karena adanya unsur agama dalam arti tersebut.

(15)

11

hukuman. Alat-alat kekuasaan negara berdaya-upaya agar peraturan-peraturan hukum itu ditaati dan dilak-sanakan. Paksaan tidak berarti sewenang-wenang mela-inkan harus bersifat sebagai alat yang dapat memberi suatu tekanan agar norma-norma hukum itu dihormati dan ditaati, dalam C S T Kansil dan Christine S T Kansil, hal 53-58. Dengan kata lain, kaidah adalah pedoman berperilaku dalam hidup – mengatur secara pribadi saja dan norma adalah mengatur tata cara bertingkah laku seorang terhadap orang lain.

9 Hukum dasar; dasar sesuatu yang menjadi tumpuan

berpikir atau berpendapat, dalam B N Marbun, hal 18.

101. See general jurisprudence under JURISPRUDENCE. 2. The principle under which a litigant proceeds, or on which a litigant bases its claims or defenses in a case, dalam Bryan A Garner, hal 979. “The term „general jurisprudence‟ involves

(16)

12

y Epistemologi hukum terkait tentang pengetahuan, yang mana pengetahuan13 ini bersumber dari

Wolfgang Friedmann bahwa teori hukum bergumul de-ngan aneka antinomi misalnya alam semesta dan indi-vidu, kehendak dan pengetahuan, akal dan intuisi, sta-bilitas dan perubahan, positivisme dan idealisme, kolek-tivisme dan individualisme, demokrasi dan otokrasi, universalisme dan nasionalisme. Seluruh antinomi itu sesungguhnya memperlihatkan sosiologi teori hukum sepanjang sejarah sebagai jawaban terhadap tantangan lingkungan yang dari masa ke masa ditandai dialektika kosmologi zamannya, dalam Bernard L Tanya, hal 2. Satjipto Rahardjo berkata teori hukum merupakan ke-lanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita me-rekonstruksikan kehadiran teori hukum tersebut secara jelas. Pada saat orang mempelajari hukum positif maka ia sepanjang waktu dihadapkan pada peraturan-pera-turan hukum dengan segala cabang kegiatan dan per-masalahannya seperti kesalahannya maupun penafsi-rannya, dalam H Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, hal 36.

11 Pada intinya sama dengan asas.

12 Arti sebenarnya adalah pendapat sarjana hukum.

13 Bertrand Russell mengatakan bahwa pengetahuan

(17)

meru-13

alaman sehari-hari yang rasional dan tidak rasional. Epistemologi hukum mempertanyakan pengetahuan hakikat hukum yang dapat diberlakukan secara um-um.

y Aksiologi hukum merupakan ajaran tentang nilai. Ajaran ini terkait pertanyaan legitimasi hukum, ni-lai kepatutan, kesamaan, keadilan, kebebasan atau kebenaran.

y Teleologi hukum mencari tujuan akhir dari hukum itu sendiri. Tujuan yang ingin dicapai secara um-um.

pakan kepercayaan yang seluruhnya bersifat koheren. Yang ketiga dan paling drastis adalah untuk

mening-galkan sama sekali konsep tentang “pengetahuan” dan menggantikannya dengan “kepercayaan-kepercayaan

yang mendorong sukses”, dan di sini “sukses” mungkin

(18)

14

TEORI HUKUM MURNI

Teori hukum murni dikaitkan dengan Mah-zab Wina yang dipimpin oleh Hans Kelsen (1881-1973). Hans Kelsen dilahirkan dari pasangan kelas menengah Yahudi berbahasa Jerman di Prague dan pada saat usia tiga tahun, Hans Kelsen beserta keluarganya pindah ke Wina. Hans Kelsen meru-pakan seorang agnostis, namun pada tahun 1905 dia memeluk agama Katolik demi menghindari masalah integrasi dan kelancaran karier akademik-nya. Di tahun 1906, Hans Kelsen memperoleh ge-lar Doktor di bidang hukum, hal ini tidak meng-herankan karena semenjak kecil Hans Kelsen lebih tertarik pada ilmu-ilmu klasik dan humanisme.

Teori hukum murni ini adalah teori hukum positif. Ia merupakan teori tentang hukum positif umum, bukan tentang tatanan hukum khusus. Ia merupakan teori hukum umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau internasional tertentu; namun ia menyajikan teori penafsiran. Disebut sebagai teori hukum murni lantaran ia ha-nya menjelaskan hukum dan berupaya member-sihkan objek penjelasannya dari segala hal yang tidak bersangkut-paut dengan hukum. Yang men-jadi tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur asing.14

Di dalam hukum yang berkembang pada abad ke-19 dan ke-20 dapat diketahui dengan jelas

(19)

15

betapa hukum sudah jauh dari kesan murni. Hu-kum telah dicampuradukkan dengan unsur-unsur psikologi, sosiologi, etika dan teori politik. Per-paduan ini dapat dimengerti karena bidang yang terakhir itu membahas pokok persoalan yang ber-kaitan dengan hukum. Teori hukum murni beru-paya membatasi pengertian hukum pada bidang-bidang tersebut, bukan lantaran ia mengabaikan atau memungkiri kaitannya melainkan karena ia hendak menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi (sinkretis-me (sinkretis-metodologi) yang dapat (sinkretis-mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan batas-batas yang di-tetapkan oleh sifat pokok bahasannya.15

Dasar-dasar pokok teori hukum murni ini adalah:16

ڍ Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap il-mu adalah untuk mengurangi kekalutan dan me-ningkatkan kesatuan.

ڍ Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keing-inan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.

ڍ Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.

ڍ Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hu-kum tidak berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum.

ڍ Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu te-ori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik.

15 Hans Kelsen, hal 2.
(20)

16

ڍ Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Di dalam buku The Pure theory of Law17 ini le-bih menekankan pada pembedaan hukum empiris dan keadilan transendental dengan mengeluarkan-nya dari lingkup hukum. Buku ini juga menolah menjadi kajian metafisis tentang hukum. Teori ini mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan vali-ditas, tidak ada prinsip-prinsip metajuridis, tetapi melalui suatu hipotesis yuridis yaitu norma dasar yang dibangun dengan analisis logis berdasarkan cara berpikir yuridis aktual.18 Bagian lain dari teori hukum murni ini yaitu konsepsi mengenai grund-norm, suatu dalil akbar dan tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari seluruh jalan hukum.

Grundnorm adalah dasar mengapa hukum harus dipatuhi dan yang memberikan pertanggungjawa-ban mengapa hukum harus dilaksanakan. Oleh karena itu, grundnorm lebih mengarah pada dalil daripada peraturan biasa. Dalil tersebut akan tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Na-mun apabila orang sudah mulai menggugat kebe-naran dari dalil akbar tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh yang akan menjadikan suatu revolusi.

17 Penulis menggunakan 2 (dua) versi buku Hans

Kel-sen.

(21)

17

Seperti yang diungkapkan Hans Kelsen, bahwa sejak timbul grundnorm maka proses selan-jutnya adalah proses konkret setapak demi setapak mulai dari norma dasar itu dan penerapannya ter-hadap situasi tertentu. Proses ini melahirkan stu-fentheorie yaitu yang melihat tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma (mulai norma-norma umum hingga yang lebih spesifik) atau lapisan-lapisan aturan menurut eselon. Dapat disebut juga dengan mengkonstruk-sikan pemikiran tentang tertib yuridis. Artinya se-luruh sistem perundang-undangan memiliki suatu struktur piramida (mulai dari abstrak hingga ber-wujud nyata).

Teori hukum murni ini dapat dirumuskan sebagai suatu analisis tentang struktur hukum po-sitif yang dilakukan seeksak mungkin, suatu an-alisis yang bebas dari semua pendapat etik atau politik mengenai nilai. Kritik yang ditujukan ke-pada teori Hans Kelsen yang positivistis, realistis dan murni itu diantaranya didorong oleh pemi-kiran bahwa teori yang demikian itu akan terlalu menekankan pada hukum sebagai suatu sistem konsep-konsep dan mengutamakan studi terhadap hukum sebagai suatu deutungsschema yang kait mengait secara logis tanpa cacat dan melupakan nilai kemanusiaannya.19

19 Lebih lanjut dalam Allen, Law in The Making, 1964,

(22)

18

Di lain sisi, makna hukum suatu perbuatan (fakta eksternal) tidak langsung dapat dipahami secara inderawi. Manusia yang bertindak secara bernalar mengaitkan tindakannya dengan makna pasti yang mencuat dengan sendirinya dalam beberapa ungkapan dan dipahami oleh sesama-nya.

Contoh mudahnya, seseorang melakukan semacam kesaksian yang menyatakan secara ter-tulis apa yang akan terjadi terhadap harta milik-nya bila ia meninggal kelak. Makna subjektif dari tindakan ini adalah sebuah pembuatan surat wa-siat. Namun secara objektif tindakan ini tidak ber-makna demikian lantaran tidak terpenuhinya se-jumlah formalitas hukum.

(23)

19

TEORI ORGAN NEGARA

Di dalam konsep20 negara hukum, pemisa-han dan pembagian kekuasaan serta lembaga

20 Konseptualisasi sendiri mengandung kombinasi dari

proses-proses berikut:

1. Mengetahui makna sesuatu dari apa yang dipahami (ditangkap). Hal mengetahui itu ditunjukkan oleh hal-hal seperti memakai simbol, atau menjelaskan hal-hal secara tepat tanpa ketaksaan (ambiguitas) dan ambivalensi, ketidaktepatan, atau kekaburan; 2. Mempunyai suatu gambaran tentang hal yang

di-mengerti;

3. Mengenal (mengidentifikasi) hal yang dimengerti jika berhadapan dengannya;

4. Mampu membuat hal yang dimengerti disadari se-bagai suatu abstraksi dan/atau sese-bagai suatu gam-baran;

5. Mampu mengkombinasikan beberapa ciri pokoknya

kepada orang lain, dalam Lorens Bagus, hal 486-487. Sedangkan konseptualisme mengandung arti:

1. Teori bahwa hal universal (konsep-konsep abstrak umum atau gagasan abstrak umum) ada di dalam hal partikular sebagai esensi, hal partikular dan tidak pernah ada terpisah dari hal partikular. Tetapi pi-kiran menjadikan hal-hal universal itu abstrak dari hal partikular dan menghubungkan satu sama lain di dalam pengertian, sebagai abstraksi-abstraksi. 2. Teori bahwa hal universal adalah konsep (entitas

(24)

pikiran-20

gara merupakan akar dari paham kedaulatan hu-kum dan negara huhu-kum demokratis yang pada ha-kikatnya kekuasaan tertinggi di dalam suatu ne-gara yaitu tunduk dan patuh dalam bingkai hu-kum.

Secara sederhana, istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau organisasi non pemerintah. Maka lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga ne-gara.21 Lembaga negara tersebut dapat dalam ra-nah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Seperti yang dikatakan Charles-Louis de Se-condat de la Brede et de Montesquieu atau lazim dikenal Montesquieu, kekuasaan negara terbagi menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Mon-tesquieu berpendapat bahwa masing-masing ke-kuasaan tersebut dilaksanakan oleh suatu badan

pikiran tanpa peduli nama-nama atau bahasa yang digunakan.

3. Konseptualisme adalah pandangan filosofis yang menyatakan bahwa hal-hal universal bereksistensi hanya dalam konsep.

4. Pandangan menyangkut universalia (hal-hal uni-versal), bahwa universalia ada dalam pikiran tetapi tidak berada di luar pikiran. Pandangan ini berada di antara dua ekstrem nominalisme (definisi-deifinisi dan bahasa-bahasa pada umumnya) dan realisme (menerima fakta-fakta apa adanya, betatapun tidak menyenangkan), dalam Lorens Bagus, hal 487.

(25)

21

yang berdiri sendiri untuk mencegah timbulnya tindakan sewenang-wenang dari seorang pengua-sa.22 Ajaran ini mempersempit kemungkinan lahir-nya pemerintahan yang absolutistis. Montesquieu yang berlatar belakang hakim, fungsi yudisial di-pisahkan tersendiri sedangkan fungsi federatif merupakan bagian dari fungsi eksekutif. Menurut Montesquieu di setiap negara selalu terdapat tiga cabang kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam struktur pemerintahan yaitu kekuasaan legislatif, dan kekuasaan eksekutif yang berhubungan de-ngan pembentukan hukum atau undang-undang negara, dan cabang kekuasaan eksekutif yang ber-hubungan dengan penerapan hukum sipil.

Mengutip penjelasan Lee Cameron McDona-ld, cabang kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan penerapan hukum sipil yaitu judiciary. Ke-tiga fungsi kekuasaan tersebut adalah legislatif, ek-sekutif atau pemerintah, dan judiciary. Apabila ke-tiga fungsi kekuasaan itu terhimpun dalam satu ta-ngan atau satu badan, niscaya kebebasan akan be-rakhir.23

Sebelum Trias Politika milik Montesquieu muncul, John Locke ilmuwan hukum abad ke-18 mengatakan bahwa melalui lembaga legislatif rak-yat berhak menentukan warna dan isi aturan. Per-lu dijelaskan juga bahwa cara berpikir para

22 Lebih lanjut dalam Montesquieu, The Spirit of Laws Dasar-Dasar Ilmu Hukum Dan Ilmu Politik, 2011, Band-ung, Penerbit Nusa Media.

(26)

22

wan hukum abad ke-17 bersifat induktif yaitu ber-dasarkan realitas kenyataan dan dikembangkan secara eksplanasi (penjelasan) terhadap realitas. Sedangkan teori abad ke-18 mengambil posisi de-duksi bahwa mereka tidak menerima dan mene-rangkan begitu saja kenyataan yang diamati me-lainkan menggunakan rasio untuk menilai kebe-naran dari kenyataan tersebut. Dengan adanya rasio, para ilmuwan hukum abad ke-18 memba-ngun ideal-ideal tentang kenyataan yang sesuai dengan rasio yang dimaksud.

John Locke menempatkan kekuasaan legis-lasi sebagai inti dalam kehidupan politik. Kekua-saan pengadilan maupun hukum kebiaKekua-saan dalam tradisi Inggris menempati posisi sentral dan utama diletakkan di bawah kekuasaan legislasi. Bahkan semenjak abad ke-4 SM di Yunani, parlemen me-rupakan satu-satunya lembaga utama dalam negara. Seperti yang dikatakan oleh Jean Bodin “di mana tidak ada kekuasaan legislatif, di situ tidak ada republika, yang berarti tidak ada pemerin-tahan yang sah, dengan demikian tidak ada ne-gara”. Sehingga kekuasaan dan produk undang -undang yang dihasilkan parlemen tidak dapat di-ganggu gugat. Yudikatif hanya bertugas menjalan-kan apa yang termaktub dalam undang-undang.

Menurut Natabaya24 penyusun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) sebelum perubahan

(27)

23

rung konsisten menggunakan istilah badan nega-ra, bukan lembaga negara atau organ negara. Un-tuk maksud yang sama, Konstitusi Republik Indo-nesia Serikat (RIS) tahun 1949 tidak menggunakan istilah lain kecuali alat perlengkapan negara. Sedangkan dalam UUD NRI 1945 hasil perubahan keempat (tahun 2002) melanjutkan kebiasaan Ma-jelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum masa reformasi dengan tidak konsisten menggu-nakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan negara.

Hans Kelsen menjelaskan bahwa tindakan individu tertentu dianggap sebagai organ negara karena pentautan perilaku seorang individu kepa-da negara hanya mengungkapkan bahwa perilaku ini ditentukan oleh tatanan hukum nasional.25

Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerinta-han non departemen atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar (UUD), ada yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaan dari undang-undang dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presi-den.26 Hierarki atau kedudukannya tentu saja ter-gantung pada derajat pengaturannya menurut pe-raturan perundang-undangan yang berlaku.

25 Hans Kelsen, hal 321.
(28)

24

(29)

25

TEORI KEBAHAGIAAN

Tidak dipungkiri lagi jika seluruh manusia menginginkan kehidupan yang bahagia di muka bumi ini. Ada seseorang yang menghabiskan ba-nyak materi hanya demi kebahagiaan dan ada se-orang petani pun merasa bahagia jika kerbau mi-liknya tidak pernah terserang penyakit sehingga pekerjaan membajak sawah tetap berlangsung. Berikut ini para pencetus teori kebahagiaan dalam ilmu hukum:

a. Miriam Budiardjo

Pemikiran guru besar ilmu politik yang wafat tahun 2007 ini dapat dijumpai dalam buku birunya berjudul Dasar-Dasar Ilmu Politik yang mengatakan bahwa tujuan negara adalah bo-num publicum, common good, common weal (men-ciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya).27

b. Jeremy Bentham

The principle of utility is the foundation of the pre-sent work: it will be proper therefore at the outset to give an explicit and determinate account of what is meant by it. By the principle (principle is derived from the Latin principium) of utility is meant that principle which approves or disapproves of every action whatsoever, according to the tendency which it appears to have to augment or diminish the hap-piness of the party whose interest is in question: or,

(30)

26

what is the same thing in other words, to promote or to oppose that happiness.28

c. John Stuart Mill

Adalah murid dari Jeremy Bentham, merupa-kan penentang keegoisan cara berpikir sang gu-ru. John Stuart Mill lebih menekankan pada:29 GBidang kekuasaan batiniah kesadaran yang

menuntut kebebasan suara hati dalam arti yang paling luas, kebebasan berpikir dan merasakan, kebebasan mutlak berpendapat dan citarasa untuk segala hal yang praktis atau spekulatif, yang ilmiah, moral atau pun logis;

GKebebasan untuk melakukan apa yang kita sukai, menerima akibat-akibat yang akan terjadi tanpa halangan dari sesama, selama apa yang kita lakukan tidak merugikan me-reka, meskipun mereka menganggap ting-kah laku kita bodoh, jahat atau salah; GDari kebebasan setiap individu ini dalam

batas-batas yang sama, muncullah kebeba-san untuk bersekutu di antara individu; kebebasan untuk bersatu demi suatu tujuan yang tidak merugikan orang lain: orang-orang yang bersekutu itu diandaikan sudah melewati masa akil balig dan tidak dipaksa atau ditipu.

28 Jeremy Bentham, hal 2-3.
(31)

27

TEORI KONSTITUSI

Secara etimologi, konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (undang-undang dasar dsb); undang-undang da-sar suatu negara, sedangkan konstitusional adalah bersangkutan, sesuai, atau diatur oleh konstitusi suatu negara.30 Awalnya konstitusi bukanlah UUD karena bermula di Inggris, walaupun di Inggris ti-dak terdapat UUD maka konstitusi dapat diartikan sama dengan UUD atau tidak sama dengan UUD. UUD adalah bagian dari konstitusi dan konstitusi31 tidak selalu UUD.

Mengapa mengacu keapda Inggris? Karena secara substantif, ia adalah pelopor pelaksanaan negara konstitusional, pembatasan kekuasaan se-bagai makna dasar negara konstitusional.32

Konstitusi Sempit (UUD)

Konstitusi Luas (konvensi,putusan hakim) Konstitusi Tertulis

(UUD)

Konstitusi Tidak Tertulis (konvensi, putusan hakim) Konstitusi Tertulis

(UUD dan/atau UU)

Konstitusi Tidak Tertulis (konvensi, putusan hakim)

30 Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, hal 804. 31 Lebih lanjut dalam Aristotle, The Athenian Constitution,

England, Penguin Books.

(32)

28

Herman Heller membagi pengertian kons-titusi menjadi 3 (tiga) yaitu:33

Die Politische verfassung als gesellschaftlich wirkli-chkeit. Konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyata-an. Jadi mengandung pengertian politis dan sosio-logis.

Die Verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat (mengandung pengertian yuridis). Die geshereiben verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.

(33)

29

TEORI CAUSALITET

Di dalam ilmu hukum pidana, teori ini me-nentukan hubungan objektif antara perbuatan ma-nusia dengan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Teori ini memiliki arti penting dalam kaitannya dengan tindak pidana materiil dan tindak pidana yang dikualifikasikan oleh aki-batnya. Rumitnya memecahkan permasalahan ya-ng berkaitan deya-ngan teori causalitet ini, maka dibu-tuhkan teori pendamping yaitu:

a. Teori Ekivalensi

Teori yang dikemukakan oleh Von Buri menjelaskan musabab adalah tiap-tiap syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat karena tiap-tiap syarat sama nilainya. Pencetus lainnya yaitu Van Hamel, bahwa teori ini harus dilengkapi dengan teori kesalahan ya-ng diterapkan sebaik-baiknya. Titik utama teori ini yaitu hubungan kausal membentang ke be-lakang tanpa akhir, sebab tiap-tiap “sebab” se -benarnya merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi sebelumnya.

(34)

30

b. Teori Generalisasi

Teori ini berpijak pada fakta sebelum keja-dian dalam arti ditemukannya perbuatan ma-nusia yang dapat menimbulkan akibat sema-cam itu. Menurut Von Kries, musabab dari sua-tu kejadian adalah syarat yang pada umumnya, menurut jalannya kejadian yang normal, dapat atau mampu menimbulkan akibat atau keja-dian tersebut.

Contoh aplikasi teori ini, misalnya Argen-tum menderita sakit ginjal. Pada saat bermain dengan Populi, tanpa sengaja bagian tubuh Argentum tepatnya ginjalnya terkena tendang-an oleh Populi. Akhirnya Argentum tewas se-ketika. Populi dapat dipidana jika sebelumnya telah mengetahui bahwa Argentum menderita sakit ginjal.

c. Teori Individualisasi

Serentetan syarat yang tidak dapat dihila-ngkan untuk timbulnya suatu akibat, yang menjadi sebab adalah syarat yang dalam kea-daan tertentu paling dominan untuk menim-bulkan akibat.34 Musabab adalah kelakuan yang mengadakan faktor perubahan dalam su-asana keseimbangan yang menjadi pangkal pe-ninjauan dari kompleks kejadian yang harus diselidiki dan yang memberi arah dalam proses alam menuju akibat yang dilarang.

(35)

31

d. Teori Causalitet dalam Yurisprudensi

Dalam teori ini timbul persyaratan bahwa perbuatan dan akibat terdapat hubungan lang-sung dan seketika. Berikut contoh putusan yang terkait dengan teori ini (Sudarto IA): 1. Putusan Raad Van Justitie Batavia 23 Juli

1937.

Sebuah mobil menabrak sepeda motor ter-pental ke atas rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api. Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari penabrakan sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan pe-ngendara mobil.

2. Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933.

Seorang ayah yang membiarkan anaknya berusia 14 tahun mengendarai sepeda mo-tornya. Anak tersebut menabrak orang. Di sini perbuatan ayah dapat disebut syarat da-ri terjadinya tabrakan, akan tetapi tidak bo-leh disebut sebab dari tabrakan itu, obo-leh ka-rena tidak ada hubungan kausal yang lang-sung.

3. Putusan Politierechter Palembang 18 No-vember 1936.

(36)

pe-32

ngemudi tersebut terus mengendarai (tidak dianggap sebagai delict per omissionem com-missa karena dalam kedua jenis tindak pi-dana ini terjadi justru karena petindak tidak berbuat sesuatu).

4. Putusan Pengadilan Negeri Pontianak 7 Mei 1951.

Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Ne-geri Jakarta. Terdakwa berani bertanggung jawab atas tenggelamnya suatu kapal yang disebabkan oleh terlalu berat muatannya dan mengakibatkan 7 orang meninggal du-nia, oleh karena terdakawa sebagai orang yang mengatur pemasukan barang-barang angkutan dalam kapal in casu tidak mem-pedulikan peringatan-peringatan dari berba-gai pihak tentang terlalu beratnya muatan kapal akan berangkat. Maka perbuatan ter-dakwa memiliki hubungan erat dengan ke-celakaan tersebut.

e. Teori Causalitet dalam Hal Tidak Berbuat Teori ini terkait tidak berbuat memiliki arti penting dalam kaitannya dengan tindak pidana

(37)

33

TEORI BATAS ANTARA ADAT

DAN HUKUM ADAT

Sebelum mendalami judul teori di atas, ada baiknya kita memahami apa yang disebut dengan adat, kebudayaan, dan peradaban.

Menurut Koentjaraningrat, adat adalah wu-jud ideel dari kebudayaan. Contohnya yaitu atu-ran sopan santun untuk memberi selembaatu-ran uang kepada seseorang yang mengadakan pesat konda-ngan (perkawinan). Dalam tataran hukum, istilah yang tepat adalah perkawinan karena mengacu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Ta-hun 1974 tentang Perkawinan, sedangkan istilah pernikahan lebih merujuk pada hubungan biologis antara suami isteri.

P J Zoetmulder dalam bukunya Cultuur, Oo-st en WeOo-st menyebutkan bahwa kebudayaan ada-lah hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Kebudayaan berwujud menjadi:35

G Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan.

G Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyara-kat.

G Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

(38)

34

Istilah peradaban dapat disejajarkan dengan kata asing civilization. Kata ini biasanya dianalo-gikan sebagai bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah seperti kese-nian, ilmu pengetahuan, sopan santun dan sistem pergaulan yang komplek dalam suatu masyarakat dengan struktur yang komplek. Sering juga istilah peradaban dipakai untuk menyebut suatu kebu-dayaan yang memiliki sistem teknologi, seni ba-ngunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju.36

Teori batas antara adat dan hukum adat di-cetuskan oleh L Pospisil. Teori ini muncul setelah beliau meneliti keberadaan aturan adat di daerah suku bangsa Kapauku (lembah Kamu daerah Ena-rotali, Irian Jaya) pada tahun 1953-1955. Pada saat itu, Irian Jaya belum berubah nama menjadi Pa-pua. Inilah garis besar teori L Pospisil tersebut:37

N Hukum adalah suatu aktivet di dalam rangka su-atu kebudayaan yang mempunyai fungsi penga-wasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivet itu dari aktivet-aktivet kebudayaan lain yang mempu-nyai fungsi dalam suatu masyarakat, seorang pe-neliti harus mencari akan adanya empat ciri dalam hukum (attributes of law).

N Attribute of authority menentukan bahwa aktivitet kebudayaan yang dibuat hukum itu adalah keputusan-keputusan melalui suatu mekanisme

36 Koentjaraningrat, hal 20.
(39)

35

yang diberi kuasa dan pengaruh dalam masyara-kat. Keputusan-keputusan itu memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan kare-na ada misalnya serangan-serangan terhadap diri individu, serangan-serangan terhadap hak orang, serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa dan serangan-serangan terhadap keamanan um-um.

N Attribute of intention of universal application me-nentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan yang harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa da-lam masa yang akan datang.

N Attribute of obligation menentukan bahwa keputu-san dari pemegang kuasa harus mengandung pe-rumusan dari kewajibannya pihak ke satu terhadap pihak kedua, tetapi juga hak dari pihak kedua yang harus dipenuhi oleh pihak kesatu.

(40)

36

TEORI HUKUM KASIH

38

38 Khusus terkait teori hukum kasih, penulis memiliki

beberapa karya terkait yaitu:

a. Teori Love Thy Neighbour Terkait Pelaksanaan UU No. 13-2011 dimuat dalam Jurnal Ilmu Hukum Re-fleksi Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Sa-latiga (2011).

b. Tesis Love Thy Neighbour Dan Pelaksanaan UU No. 15-2012 dimuat dalam Jurnal Fenomena Universitas Abdurahman Saleh (2012).

c. Penerapan Hukum Kasih Untuk Mengoptimalkan

UU No. 11-2009 dimuat dalam [DIALEKTIK] Jurnal Ilmiah Indonesia CV. R.A.De.Rozarie (2013).

d. Korelasi Tuhan Dan Demokrasi Di Indonesia Setelah Pemerintahan Orde Baru dimuat dalam Lex Jurna-lica Universitas Esa Unggul (2013).

e. Pengaruh Tuhan Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial dimuat dalam Mimbar Keadilan Jur-nal Ilmu Hukum Laboratorium Ilmu Hukum – Fa-kultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (2014).

f. Korelasi Teori Love Thy Neighbour Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dimuat dalam DiH Jurnal Ilmu Hukum Program Doktor Ilmu Hu-kum Fakultas HuHu-kum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (2014).

g. Mencermati Tuhan Dalam Pasal 2 Huruf a

(41)

37

Teori hukum kasih atau love thy neighbour

pada dasarnya adalah suatu pemahaman betapa pentingnya untuk bertindak penuh kasih. Pemaha-man ini bersumber akan ajaran Tuhan Yesus se-perti yang tertulis pada Kitab Markus 12:30-31 bahwa Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap keku-atanmu. Dan hukum kedua ini ialah: Kasihilah se-samamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.39 Krisis nilai dan krisis moral sebagai akibat negatif dari pembangunan yang tidak seim-bang telah menimbulkan reaksi yang

Filsafat Hukum Fakultas Hukum Universitas 17 Ag-ustus 1945 Jakarta (2014).

h. Kritik Terhadap Kata “Agama” Pada “Kuesioner Ri

-wayat Kesehatan & Pernyataan Donor” Di Palang

Merah Indonesia Kota Surabaya Unit Donor Darah dimuat dalam DiH Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hu-kum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (2015)

39 Dalam teks Fasal XII:30-31 Indjil Markoes XII Wasiat

Jang Bĕharoe Ija-Itoe Sĕgala Kitab Pĕrdjandjian Bĕharoe, 1902, Amsterdam, hal 89 tertulis bahwa “Maka hĕ

ndak-lah kamoe mĕngasihi akan Toehan Allahmoe dĕngan

sa-gĕnap hatimoe dan dĕngan sasa-gĕnap djiwamoe dan dĕ

-ngan sĕgala boedimoe dan dĕngan sakoewat-koewasa-moe: bahwa inilah hoekoem jang pĕrtama itoe. Dan jang

kadoewa, jang sama dĕngan itoe djoega, ija-itoe: Hĕ

(42)

38

beda. Pada akhirnya juga hukum dibutuhkan un-tuk menyelesaikannya.

Tuhan Yesus mengenalkan prinsip cinta ka-sih “Mengaka-sihi Tuhan dengan segenap hati dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri”. Hal ini merupakan penerapan dari Hukum Taurat bangsa Yahudi dan bukan penghapusan dari hu-kum Taurat ini sendiri. Patut diakui bahwa me-maafkan merupakan sesuatu yang sulit untuk dila-kukan apalagi perbuatan tersebut terkait dengan perilaku jahat.

Merujuk wahyu dalam kitab Matius 5:1-12 dan Matius 5:43 “Ye have heard that it hath been faid, Thou fhalt love thy neighbour, and hate thine enemy :”40

St Thomas Aquinas mengatakan kebenaran-kebenaran iman tersebut hanya dapat dicapai me-lalui keyakinan dan wahyu sedangkan kebenaran alamiah dicapai melalui akal bawaan dari dalam diri kita sendiri. Selanjutnya dari pandangan ter-sebut lahirlah teori hukum alam. Kaitan teori hu-kum alam dengan teori huhu-kum kasih Yesus tam-pak dari pandangan bahwa prinsip-prinsip hukum

40 Penulis mengutip langsung dari The Holy Bible,

MD-CCVI, London, Charles Bill and the Executrixof Thomas Newcomb. Di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan

(43)

39

dalam semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui dengan akal sehat. Hukum ha-rus dicari dan bukan dibuat.

Hukum perang dan damai yang diilhami ol-eh Hugo Grotius menguraikan dasar-dasar baru yang mengatur hubungan antar negara satu de-ngan negara lain. Dari situlah populer ucapan

servia paceni para bellum (untuk menciptakan per-damaian bersiaplah untuk perang). Lantas apakah setiap perang selalu menghasilkan kedamaian? Ja-wabannya 70% sengsara dan sisanya barulah per-damaian. Timbul banyak korban di antara kedua pihak, berarti perdamaian tetap membutuhkan perjuangan.

Hugo Grotius berpendapat bahwa karena manusia diciptakan kesempurnaan oleh moral Tu-han, maka sudah seharusnya jika ukuran moral itu adalah sebagaimana diinginkan oleh Tuhan. Jadi bukan pengesahan Tuhan yang menjadikan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang benar, tetapi alasan di balik itu, alasan yang sesuai ajaran Tuhan (yang menjustifikasikan suatu tindakan).

Natural law adalah kehendak Tuhan, suatu kehendak yang secara nasional memang baik. Bah-kan ketika tidak ada Tuhan sekalipun, natural law

(44)

40

adanya kewajiban-kewajiban penting, ideal yang lebih tinggi, alasan moral yang lebih baik, dan keadilan yang sebenarnya. Ketika hukum ber-tindak tidak adil, maka hukum itu bukanlah hu-kum (lex injusta non est lex), seperti yang dikatakan St Thomas Aquinas.

Senada juga filsuf Aristoteles mengatakan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri (zoon politicon). Manusia adalah makhluk yang bermas-yarakat dan di dalam bermasbermas-yarakat itulah pen-tingnya taat kepada hukum yang dibuat oleh pe-nguasa. Hukum dalam pemikiran Aristoteles di-bagi dalam hukum alam dan hukum positif. Pe-mikiran ini berbeda dengan kaum sofis sebelum-nya yang menggabungkan antara kedua jenis hu-kum tersebut. Dari zoon politicon terhadap kontrak sosial dalam membentuk masyarakat dan peme-rintah, ideal hukum yang mengatur hubungan an-tara manusia dengan manusia dan manusia de-ngan pemerintah. Jika ajaran hukum kasih itu diterapkan secara ideal maka terciptalah masya-rakat ideal tanpa kejahatan.karena hukum kasih melahirkan juga kewajiban yang tertanam dalam jiwa manusia yang mengharuskan manusia ber-sikap dan berperilaku tertentu kepada manusia lain untuk mewujudkan ketertiban dan keteratu-ran dalam masyarakat. Perilaku itu harus sede-mikian rupa sehingga martabat dan kodrat manu-sia lain tidak tertindas.

(45)

-41

(46)

42

TEORI KLASIK

1. Socrates41 mengungkapkan 5 (lima) bentuk pe-merintahan sesuai dengan sifat manusia yaitu:

ΠAristokrasi dimana pemerintahan dipegang oleh ka-um bijaksana.

ΠTimokrasi dimana pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang ingin mencapai kemasyhuran dan kehormatan.

ΠOligarki dimana pemerintahan dipegang oleh kaum hartawan.

ΠDemokrasi dimana pemerintahan dipegang oleh rak-yat jelata.

ΠTirani dimana pemerintahan oleh seorang yang ber-tindak sewenang-wenang.

41 Lebih lanjut dalam Plato, Republik, 2002, Jogjakarta,

Bentang Budaya dan Plato, The Great Dialogues Of Plato, 1984, Canada, Penguin Books Canada Limited.

Aristokrasi

Timokrasi

Oligarki Demokrasi

(47)

43

2. Aristoteles42 mengungkapkan 6 (enam) bentuk pemerintahan berdasarkan jumlah orang yang memegang pucuk pemerintahan dan kualitas pemerintahannya yaitu:

O Monarki (satu orang pimpinan), demi kepentingan umum, sifatnya baik dan ideal.

O Tirani (satu orang pimpinan) demi kepentingan

pri-badi, sifatnya buruk dan kemerosotan.

O Aristokrasi (dipimpin sekelompok cendekiawan) de-mi kepentingan umum, sifatnya baik dan ideal.

O Oligarki (dipimpin sekelompok cendekiawan) demi

kepentingan kelompoknya, sifatnya buruk dan ke-merosotan.

O Politeia (pemerintahan konstitusional).

42 Lebih lanjut dalam Aristoteles, Politik (La Politica),

2008, Jakarta, Visimedia; Aristoteles, Politik, 2004, Jogja-karta, Bentang Budaya dan Aristotle, The World‟s Great

Classics, New York, Grolier.

Monarki

Tirani

Aristokrasi Oligarki

Demokrasi

(48)

44

O Demokrasi (dipimpin orang-orang tertentu demi

ke-pentingan sebagian orang) sifatnya buruk dan keme-rosotan.

3. Polybius43

Anacyclosis from Polybius:

N Monarki (masyarakat primitif).

N Kingship (ada kekuatan dalam moral dan keadilan).

N Tirani (satu orang pria terbaik).

N Aristokrasi (korupsi).

N Oligarki (masyarakat memberontak).

N Demokrasi(semua memimpin).

N Oklorasi (biadab/kekacauan).

N Monarki baru.

43 Lebih lanjut dalam Polybius, The Rise Of The Roman Empire, England, Penguin Books.

Tirani

Aristo krasi

Oligarki

Demo krasi Okhlokra

si - Mob Rule

Monarki

Kingship

(49)

45

4. Jean Jacques Rousseau44

Demokrasi (penguasa menjadikan rakyat sebagai hakim).

Aristokrasi (penguasa menjadikan rakyat berkelom-pok sebagai hakim).

Monarki (kehendak umum=kepentingan bersama hanya hanya satu).

Tirani (percaya pada diri sendiri, bertentangan de-ngan undang-undang). Tiran tidak dapat menjadi despotis.

44 Lebih lanjut dalam Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, England, Penguin Books; Jean-Jacques Rous-seau, Perihal Kontrak Sosial Atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik, 1989, Jakarta, Dian Rakyat; Jean-Jacques Rousse-au, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), 2009, Jakarta, Visimedia dan Jean-Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial Atau Prinsip Hukum Politik, 2010, Jakarta, Dian Rakyat.

Demokrasi

Aristokrasi

Monarki Tirani

(50)

46

Evil

Despotisme (sewenang-wenang). Despotis dapat menjadi tiran.

5. St Thomas Aquinas45

Kingship (King adalah pemimpinnya dan Father ad-alah panggilan dari masyarakat).

Tirani (seorang diri, segala sesuatu dari satu orang), setan berasal dari sini.

Oligarki (tidak terdapat perbedaan dengan tirani, hanya jumlah saja), polity.

Demokrasi (kontrol dari masyarakat), polity. Aristokrasi (noble man called optimates)

Langsung ke Tirani tetapi tanpa meninggalkan Ki-ngship namun tetap bersumber pada Tuhan.

45 Lebih lanjut dalam Dino Bigongiari, The Political Ideas Of St. Thomas Aquinas, 1981, New York, Hafner Press dan Thomas Aquinas, Selected Writings, England, Peng-uin Books.

TUHAN Kingship

Tirani

Oligarki Demo

krasi Aristo

krasi

King/Father

Optimates

(51)

47

(52)

48

TEORI PEMBANGUNAN HUKUM

Terdapat hubungan yang saling mempenga-ruhi antara teori hukum, teori pembangunan hukum, konsep pembangunan hukum, pelaksana-an pembpelaksana-angunpelaksana-an hukum, dpelaksana-an hasil pembpelaksana-angunpelaksana-an hukum. Suatu konsep pembangunan hukum yang didasari teori hukum positif akan terarah pada pembangunan hukum dalam bentuk kodifikasi hukum.

Seperti yang diungkapkan oleh Von Savigny menyatakan hukum sebagai suatu formulasi kai-dah yang bersumber pada jiwa rakyat yang ha-kikatnya merupakan suatu eksamaan pengertian dalam kesatuan jiwa yang organis. Hukum me-nurutnya bukanlah suatu aturan yang dibuat melainkan tumbuh dan berkembang sebagai ke-biasaan hukum yang secara berulang-ulang terjadi dan ditaati oleh masyarakat.

Teori ini menolak pembentukan hukum tertulis oleh sekelompok orang yang dalam argu-mentasinya dipandang sebagai sebab yang tidak hanya akan mengabaikan perasaan kejiwaan mas-yarakat atau mencabut hukum dari hakikat dan fungsinya.

Selain itu, akan menjadi sebab utama tim-bulnya ketegangan-ketegangan akibat pemaksaan penerapan hukum yang mengabaikan perasaan tersebut.

(53)

ka-49

pasitas untuk beradaptasi dan mengantisipasi per-kembangan aspek-aspek kehidupan masyarakat yang cenderung kompleks dan progresif. Namun tetap memperhatikan unsur kejiwaan sebagai per-timbangan pembentukan hukum, sebagaimana di-ajukan oleh teori ini.

Indonesia sendiri, Mochtar Kusumaatmadja telah mengintrodusir sebuah teori hukum pemba-ngunan yang menurutnya dibangun di atas teori kebudayaan dari Northrop, teori orientasi kebi-jaksanaan (dari Mc Dougal dan Laswell) dan teori hukum pragmatis dari Roscoe Pound. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum merupakan ke-seluruhan asas dan kaidah yang mengatur kehi-dupan manusia dalam masyarakat, juga mencakup lembaga dan proses yang mewujudkan berlakunya kaidah tersebut dalam kenyataan.46 Teori-teori hu-kum yang berpengaruh kuat terha-dap konsep-konsep pembangunan hukum adalah teori hukum positif, teori hukum sosiologis dan hukum prag-matis.

(54)

50

TEORI FEMINISME

47

Feminisme sebagai suatu isu publik di Ame-rika SeAme-rikat bermula dari proposal yang dibuat semasa Revolusi Amerika (1775) untuk memberi kaum perempuan hak penuh dalam berwargane-gara, meskipun proposal tersebut tidak pernah berhasil. Selanjutnya Frances Wright (1824) tiba ke Amerika Serikat dan ia berkamapanye untuk hak-hak perempuan serta abolisi bagi budak-budak penduduk kulit hitam.

Aktivitas hukum kaum feminis menemukan manifestasinya yang pertama pada pertengahan abad ke-19 yaitu Married Women‟s Separate Property

Act. Salah satu contoh kasus hukumnya aitu per-kara aborsi yang berujung pada keputusan Mah-kamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Roe vs Wade namun karya teoritikal ilmu hukum feminis tidak muncul lagi hingga tahun 1970 an.48

Berbagai macam aliran hukum feminis: a. Feminisme liberal atau persamaan

Dengan pendekatan ini, bertujuan menciptakan kesamaan bagi perempuan. Klaim dibuat bah-wa perempuan harus diperlakukan sama de-ngan kaum laki-laki. Pendekatan ini

47 Feminist legal theory has its roots in the women’s mo

-vement as it developed and flourished in the late 1960s

and 1970s, dalam Zhāng Wàn Hong, Jurisprudence – From The Greeks To Post Modernity, 1996, UK, Cavendish Publi-shing, hal 282-298.

(55)

51

dasarkan pemikirannya dalam konsep menge-nai inti teori politik liberal dan menyatakan bahwa perempuan sama rasionalnya dengan laki-laki. Mereka menentang asumsi mengenai inferioritas perempuan dan dengan demikian memberdayakan perempuan untuk berkompe-tisi di dunia nyata.

b. Feminisme asimilasi

Aliran ini menyatakan bahwa tidak ada pem-bedaan jenis kelamin baik secara hukum mau-pun individu. Ketidaksamaan fisik dikatakan tidak relevan bagi struktur sosial yang mendis-tribusikan masalah-masalah politik, institusi at-au interpersonal. Mereka menyatakan bahwa dengan memperlakukan peran seks sebagai pa-radigma akan menghasilkan perbedaan peran seks yang menyakitkan.

c. Feminisme dengan perlakuan khusus

Pendekatan ini meyakini bahwa idealnya kekuatan-kekuatan kesamaan perempuan pada norma laki-laki. Pendekatan tersebut mengha-silkan dua sistem tentang hak yaitu kesamaan dan perbedaan.

(56)

hubu-52

ngan yang dinilai perempuan seperti halnya hubungan khusus antara ibu dan anak. Per-spektif laki-laki terhadap hukum menurut pen-dekatan ini harus direkonstruksi dengan mem-perhitungkan nilai-niali feminis.

Feminisme kultural ini menegaskan ciri dan sifat yang hanya mengangkat kolaborasi pe-rempuan dengan para penindasnya. Dengan demikian perempuan tidak mengakui bahwa hubungan seksual heteroseksual secara suka-rela tidak berarti apa-apa kecuali sejenis gang-guan dari kaum laki-laki yang dilakukan secara terus-menerus.

d. Feminisme radikal

Pendekatan ini memandang perempuan se-bagai suatu kelas, bukan sese-bagai makhluk invidu seperti di dalam feminisme liberal dan di-klaim bahwa kelas tersebut didominasi oleh ka-um laki-laki. Peran gender tradisional telah me-nerima secara seksual dominasi hierarkigender sebagai alamiah atau intrinsik dalam peran ter-sebut.

(57)

argumen-53

argumen kesamaan liberal.isunya menjadi ma-salah kekuatan dan pendekatannya tidak ber-dasar sudut pandang kesamaan namun dari dominasi dan subordinasi seksual. Pendekatan ini menuntut perubahan dalam hukum yang akan mengakhiri ketidaksetaraan dalam kekua-saan.

e. Feminisme postmodernis

Teori yang berpengaruh pada abad ke-17 hing-ga abad ke-20 ini dicetuskan oleh WVO Quine. Ia menawarkan epistemologi holistis dalam mana keyakinan akan suatu proposisi bukan suatu fungsi hubungannya dengan dunia, na-mun bagaimana hal tersebut secara bersama-sama membentuk suatu kebenaran. Totalitas pengetahuan kita merupakan suatu medan ke-kuatan yang diikat oleh pengalaman sehingga suatu konflik dengan pengalaman di permu-kaan menyebabkan penyesuaian kembali pada bagian dalam bidang tersebut.

(58)

54

TEORI KEBIJAKAN PUBLIK

Banyak orang yang tidak paham mengenai kebijakan dan kebijaksanaan. Dua kata tersebut memiliki arti yang jauh berbeda namun tetap ber-kaitan.

Kebijakan menurut James E Anderson ada-lah serangkaian tindakan yang memiliki tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseo-rang pelaku atau sekelompok pelaku guna meme-cahkan suatu masalah.49 Sedangkan kebijaksanaan menurut R M Girindro Pringgodigdo yaitu tinda-kan seketika melihat urgensi serta situasi yang di-hadapi, berupa pengambilan keputusan di bidang hukum yang dapat bersifat pengaturan dan atau keputusan tertulis atau lisan yang berdasarkan ke-wenangan kekuasaan diskresi.

Contoh nyatanya kebijakan polisi lalu lintas bahwa jalan raya hanya berlaku satu arah dan ke-tika jalanan telah dipadati oleh kendaraan bermo-tor maka pihak polisi lalu lintas mengambil kebi-jaksanaan yaitu jalan satu arah tersebut diperbo-lehkan menjadi dua arah. Tujuan ini untuk mengu-rangi arus kemacetan.

Di dalam teori ini, pengambil kebijakan se-lalu disertai dengan semangat otoritarian dimana mereka mengganggap pendapat dan kebijakan-nyalah yang paling benar. Mereka tidak membuka dialog publik untuk menentukan suatu kebijakan.

(59)

55

Kebijakan diturunkan dari atas ke bawah dan ruang publik didominasi oleh siapa yang kuat dan menang. Hal ini juga didukung dengan belum terciptanya demokrasi yang yang mengedepankan dialog-dialog rasional dalam ruang publik untuk menemukan kesepakatan-kesepakatan publik ya-ng rasional guna menciptakan kebijakan publik yang berkeadilan bagi seluruh rakyat.50

Kebijakan publik juga tergantung pada makna keadilan yang mana dibentuk oleh suatu refleksi filosofis penerima kebijakan karena sebuah nilai keadilan akan ada dan diterima setelah se-seorang berpikir dan memahami arti keadilan. Arti keadilan sangat tergantung pada makna keadilan yang timbul dalam benak setiap individu.

Permasalahan analisis kebijakan publik ad-alah berhubungan dengan pertanyaan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dalam suatu kebijakan. Dengan adanya kerangka filosofis yang dibangun, permasalahan siapa yang diun-tungkan dan siapa yang dirugikan dalam suatu kebijakan akibat dari adanya konflik kepentingan di antara individu dalam masyarakat dapat dise-lesaikan. Apabila seluruh orang diuntungkan da-lam suatu kebijakan publik maka makna keadilan dapat diraih.

Kebijakan publik sendiri mengandung ang-gapan bahwa ada suatu ruang dalam kehidupan yang bukan privat namun milik bersama. Publik

(60)

56

itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipan-dang perlu untuk diatur oleh pemerintah, aturan sosial ataupun oleh tindakan bersama.

Akar kebijakan publik telah muncul pada masa Babilonia dalam Code Hammurabi (alat bagi Raja Hammurabi untuk mengatur dan mengenda-likan negara serta masyarakat yang dipimpinnya). Ini juga sebagai bukti bahwa Raja Hammurabi adalah pejabat tinggi institusi kerajaan yang me-miliki hak dan legitimasi untuk memerintah dan mengatur.

Di dalam negara agar suatu kebijakan da-pat terlaksana dengan baik maka dibutuhkan ke-kuatan untuk melaksanakannya. Benarlah panda-ngan hukum tanpa kekuasaan hanyalah khayalan belaka, sebaliknya kekuasaan tanpa hukum men-jurus ke arah suasana penekanan dan kelaliman, dan menyuburkan praktik pada penindasan dan kekerasan.51

Kebijakan publik sebagai konsep pengatu-ran masyarakat yang lebih menekankan proses tampaknya hari ini menjadi lebih populer dari hu-kum.52 Namun sesungguhnya hukum secara sadar ataupun tidak sadar keberadaannya tetap dibutuh-kan oleh masyarakat modern karena sebuah hasil persepakatan yang tidak memiliki kekuatan lega-litas yang mengikat maka akan menimbulkan ke-rawanan terhadap terjadinya pelanggaran

51 Bambang Sunggono, hal 2.
(61)

57

(62)

58

TEORI HUKUM RESPONSIF

Teori ini dimulai melalui pikiran Philippe Nonet dan Philip Selznick yang menempatkan hu-kum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai de-ngan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai kea-dilan dan emansipasi publik.53

Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa tran-sisi karena harus peka terhadap situasi trantran-sisi di sekitarnya maka hukum transisi tidak hanya di-tuntut menjadi sistem yang terbuka tetapi juga ha-rus mengandalkan keutamaan tujuan yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu. Teori ini bermula untuk mengkritik Neo-Marxis terhadap legalisme liberal. Karena legalisme liberal mengan-daikan hukum sebagai institusi mandiri dengan sistem peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak, dan benar-benar otonom.

Akibat kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma kritik maka tatanan hukum respo-nsif menekankan keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum, peraturan merupakan sub

53 Lebih lanjut dalam Philippe Nonet dan Philip

(63)

59

nasi dari prinsip dan kebijakan, pertimbangan hu-kum harus berorientasi pada tujuan dan akibat ba-gi kemaslahatan masyarakat, penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan, memupuk sistem kewajiban sebagai ganti sistem paksaan, moralitas kerjasama sebagai prinsip mo-ral dalam menjalankan hukum, kekuasaan didaya-gunakan untuk mendukung vitalitas hukum da-lam melayani masyarakat, penolakan legitimasi hukum dan akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum serta so-sial.

Dengan kata lain, hukum merupakan insti-tusi sosial. Hal ini berarti hukum terkait dengan proses dan kekuatan dalam masyarakat. Edwin M Schur mengatakan sekalipun hukum itu tampak sebagai perangkat norma-norma hukum tetapi hu-kum merupakan hasil dari suatu proses sosial se-bab hukum dibuat dan diubah oleh usaha manusia dan hukum itu senantiasa berada di dalam kea-daan yang berubah juga.54

(64)

60

Referensi

Dokumen terkait

Reply Yudho Setyo January 6, 2014 at 3:07 PM Halo Fasdheva, You’re welcome.. Semoga bermanfaat. Monggo gan, langsung aja  Reply 19. 

Beberapa kelebihan penggunaan SMS Center sebagai media komunikasi dalam penyelenggaraan sistem pembelajaran di UT adalah; (1) staf UPBJJ-UT dapat mengirimkan pesan, baik

Perubahan komposisi jumlah kelas jalan tidak berpengaruh terhadap total biaya dalam komposisi kendaraan yang tetap, tetapi berpengaruh terhadap proporsi

Dalam penelitian ini, hipotesis diuji dengan menggunakan model regresi linier berganda untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai pengaruh kinerja aparatur

Berdasarkan pada latar belakang maka yang menjadi rumusan masalah, adalah: (1) Bagaimana kondisi umum Pondok Waria Kotagede, Yogyakarta; (2) Bagaimana urgensi peran pemuda

Formulir Pengalihan Unit Penyertaan yang telah lengkap dan diterima secara baik ( in complete application ) sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam

Endofit umumnya mengacu pada mikroorganisme yang berada dalam jaringan pembuluh tanaman dan dapat bergerak bebas di dalam tanaman atau lebih luas lagi mikroorganisme yang

adalah sebesar 1,131 (positif) artinya jika kualitas produk meningkat sebesar 1 maka Kepuasan Konsumen Teh pucuk harum Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas