• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek eko-biologi ikan lalawak (Barbodes balleroides) pada berbagai ketinggian tempat di Kabupaten Sumedang, Jawa barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aspek eko-biologi ikan lalawak (Barbodes balleroides) pada berbagai ketinggian tempat di Kabupaten Sumedang, Jawa barat"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK EKO-BIOLOGI IKAN LALAWAK (

Barbodes balleroides

)

PADA BERBAGAI KETINGGIAN TEMPAT

DI KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT

ELLY NURMANINGTYAS FAJARWATI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

PERNYATAAN MENGENAI

SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

STUDI MENGENAI ASPEK EKO-BIOLOGI IKAN LALAWAK

(

Barbodes balleroides

) PADA BERBAGAI KETINGGIAN

TEMPAT DI KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT

Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini

Bogor, 31 Agustus 2006

(3)

RINGKASAN

ELLY NURMANINGTYAS FAJARWATI. Studi Mengenai Aspek Eko-Biologi Ikan Lalawak (Barbodes balleroides) Pada Berbagai Ketinggian Tempat di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Dibimbing oleh Dr. Ir. RIDWAN AFFANDI, DEA dan Dr. Ir. YUNIZAR ERNAWATI, MS.

Kebutuhan pangan, khususnya protein hewani sebagai konsekuensi meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan eksploitasi atau pemanfaatan sumberdaya ikan telah sampai pada batas yang mengancam kelestarian populasi. Salah satu upaya untuk mempertahankan keberadaan suatu populasi ikan di alam adalah dengan memacu kegiatan budidaya ikan tersebut sehingga pemenuhan kebutuhan ikan bagi masyarakat tidak lagi hanya mengandalkan hasil tangkapan dari parairan. Dengan berkurangnya tekanan penangkapan di perairan, maka kelestarian ikan dapat dipertahankan.

Ikan lalawak (Barbodes balleroides) merupakan salah satu jenis ikan yang terdapat di perairan kabupaten Sumedang. Ikan ini memiliki potensi ekonomis karena memiliki daging yang enak sehingga dikonsumsi oleh penduduk setempat, potensi reproduksi cukup tinggi dan dijual dengan harga Rp. 12.000,00/kg. Walaupun sudah mulai dibudidayakan di kolam-kolam budidaya sejak tahun 1970, tetapi budidaya ikan lalawak ini belum mengalami perkembangan yang cukup signifikan bahkan menurut informasi penduduk setempat ikan lalawak sudah semakin sulit ditemukan di perairan sungai. Untuk menunjang kegiatan budidaya ikan lalawak ini, maka diperlukan informasi tentang lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan ikan tersebut dalam usaha budidaya ikan lalawak di kolam-kolam pemeliharaan. kabupaten Sumedang Jawa Barat, tepatnya di kecamatan Buah Dua dan Conggeang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan antara kondisi lingkungan air pada berbagai ketinggian tempat dengan aspek ekologi dan aspek biologi.

Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober 2005 sampai Januari 2006 di tiga buah kolam penelitian yang berada pada ketinggian tempat berbeda, yaitu kolam I (400 m dpl) di desa Gendereh, kolam II (450 m dpl) di desa Sekarwangi dan kolam III (500 m dpl) di desa Narimbang. Kolam I dan II terletak di Kecamatan Buah Dua, sedangkan kolam III terletak di Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang Jawa Barat.

(4)

Pengukuran data di ketiga kolam tersebut menunjukkan adanya pengaruh atau hubungan yang nyata antara ketinggian tempat dengan aspek ekobiologi ikan lalawak. Kelimpahan fitoplankton semakin meningkat ketinggian tempat, yaitu kelimpahan fitoplankton dari kelas Baccillariophyceae yang diduga sebagai makanan utama ikan lalawak semakin menurun, bertambahnya ketinggian tempat menyebabkan laju pertumbuhan panjang dan berat ikan lalawak semakin menurun, pola pertumbuhan ikan lalawak sama pada setiap ketinggian tempat baik jantan maupun betina, yaitu allometrik negatif (pola pertumbuhan ini berarti pertumbuhan panjang lebih dominan daripada pertumbuhan berat ikan lalawak) dan ketinggian tempat tidak mempengaruhi nilai faktor kondisi di ketiga kolam penelitian.

(5)

©Hak cipta milik Elly Nurmaningtyas Fajarwati, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,

(6)

ASPEK EKO-BIOLOGI IKAN LALAWAK (

Barbodes balleroides

)

PADA BERBAGAI KETINGGIAN TEMPAT

DI KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT

ELLY NURMANINGTYAS FAJARWATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(7)

SKRIPSI

Judul : Aspek Eko-Biologi Ikan Lalawak (Barbodes balleroides) Pada Berbagai Ketinggian Tempat di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat

Nama Mahasiswa : ELLY NURMANINGTYAS FAJARWATI

NIM : C24101002

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS NIP. 130 871 921 NIP. 130 808 228

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah atas segala rahmat dan hidayahNya, akhirnya penulis

dapat menyelesaikan usulan penelitian ini dengan judul Studi Mengenai Aspek Eko-Biologi Ikan Lalawak (Barbodes balleroides) Pada Berbagai Ketinggian Tempat di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah SAW yang telah mewariskan teladan dalam bertindak dan menyelesaikan setiap permasalahan hidup.

Pada kesempatan ini, penulis sampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS sebagai pembimbing yang telah mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Bapak.Dr. Ir. Djadja Subardja Sjafei selaku dosen penguji tamu dan Bapak Dr.

Ir. Unggul Aktani, M. Sc dari program studi yang banyak memberikan masukan bagi kesempurnaan skripsi ini.

3. Pak Nanang, Pak Endang dan Pak Hulaemi di Sumedang yang telah mengizinkan penulis menggunakan kolam budidayanya untuk penelitian. 4. Keluarga penulis (Bapak, Ibu dan dek Adi) atas doa yang tak jua luntur oleh

waktu.

5. Keluarga kecil penuh cinta yang selalu memberi kedamaian di hati melalui untaian nasihatnya.

6. Sahabat penulis di MSP 38, 39, 40, 41, FKM C, FOSSUM, MATRIKS, JUSTIS 39, KARANG 40, FOR SMILE 41, Ave, Yani, Neni, terima kasih atas pengertiannya menerima segala kekurangan diri. Keep ukhuwah till jannah.

7. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Semoga skripsi dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan informasi dan literatur tambahan.

Bogor, 31 Agustus 2006

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 2

C. Tujuan ... 2

D. Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Ciri Morfologis... 3

B. Aspek Ekologi ... 4

1. Habitat Kolam ... 4

2. Kualitas Air ... 5

a. Suhu ... 5

b. Kecerahan ... 5

c. pH ... 6

d. Alkalinitas ... 7

e. DO ... 7

f. Plankton... 7

C. Aspek Biologi ... 8

1. Makanan Ikan Lalawak ... 8

2. Pertumbuhan ... 9

3. Faktor Kondisi ... 9

D. Keterkaitan Antara Ketinggian Tempat Dengan Aspek Biologis Ikan ... 10 III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Lokasi ... 11

B. Bahan dan Alat ... 11

C. Metode Kerja ... 11

1. Pengamatan Pertumbuhan Ikan ... 11

2. Pengambilan Contoh Lalawak (Barbodes spp) ... 12

3. Pengambilan Contoh Ikan Plankton ... 12

4. Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan ... 12

D. Analisa Data ... 13

1. Kelimpahan Fitoplankton ... 13

2. Pola Pertumbuhan ... 14

3. Laju Pertumbuhan Panjang dan Berat ... 15

a. Laju Pertumbuhan Panjang ... 15

(10)

4. Faktor Kondisi ... 15

5. Analisis Data ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Kabupaten Sumedang ... 17

B. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 18

1. Kecamatan Buah Dua ... 18

a. Desa Gendereh ... 18

b. Desa Sekar Wangi ... 19

2. Kecamatan Conggeang ... 19

a. Desa Narimbang ... 19

C. Parameter Lingkungan ... 20

1. Parameter Fisika Kimia ... 20

a. Suhu dan warna perairan... 20

b. DO ... 21

c. Alkalinitas ... 23

d. Derajat Keasaman (pH) ... 24

2. Parameter Biologi ... 25

a. Kelimpahan Fitoplankton ... 25

b. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi ... 26

D. Hubungan Panjang Berat . ... 27

1. Hubungan Panjang Berat Ikan Lalawak Jantan ... 27

2. Hubungan Panjang Berat Ikan Lalawak Betina ... 28

E. Laju Pertumbuhan Panjang dan Berat ... 29

F. Faktor Kondisi ... 31

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 35

B. Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

LAMPIRAN ... 37

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Klasifikasi kualitas perairan menurut kecerahannya ... 6

2. Klasifikasi kualitas perairan menurut nilai pH ... 6

3. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan ... 6

4. Klasifikasi kualitas perairan menurut alkalinitas ... 7

5. Klasifikasi kualitas perairan menurut DO ... 7

6. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ... 11

7. Nilai parameter suhu dan warna kolam penelitian ... 20

8. Nilai parameter DO kolam penelitian ... 22

9. Nilai parameter alkalinitas kolam penelitian ... 23

10. Nilai parameter pH kolam penelitian ... 24

11. Indeks Keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (D) ... 26

12. Nilai laju pertumbuhan panjang dan berat ikan Lalawak ... 30 13. Data rekapitulasi pengukuran aspek ekologis dan biologis ikan

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ikan lalawak (Barbodes spp) ... 3

2. Peta wilayah kabupaten Sumedang ... 17

3. Kolam penelitian I ... 18

4. Kolam penelitian II ... 19

5. Kolam penelitian III ... 20

6. Grafik Kelimpahan fitoplankton di tiga kolam penelitian ... 25

7. Grafik hubungan panjang dan berat ikan Lalawak jantan di tiga kolam penelitian ... 27 8. Grafik hubungan panjang dan berat ikan Lalawak betina di tiga kolam penelitian ... 28 9. Grafik pertumbuhan panjang ikan Lalawak di tiga kolam penelitian selama sampling ... 29 10. Grafik pertumbuhan panjang ikan Lalawak di tiga kolam penelitian selama sampling ... 29 11. Grafik faktor kondisi ikan lalawak jantan pada tiga kolam penelitian .. 31

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Tabel pengamatan ikan lalawak jantan di tiga kolam penelitian ... 39 2. Tabel pengamatan ikan lalawak betina di tiga kolam penelitian ... 43 3. Tabel pengamatan kelimpahan fitoplankton di ketiga kolam penelitian 46 4. Gambar fitoplankton yang ditemukan pada tiga kolam penelitian ... 48 5. Cara pengambilan contoh ikan lalawak di kolam penelitian dengan

(14)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan pangan, khususnya protein hewani sebagai konsekuensi meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan eksploitasi atau pemanfaatan sumberdaya ikan telah sampai pada batas yang mengancam kelestarian populasi. Salah satu upaya untuk mempertahankan keberadaan suatu populasi ikan di alam adalah dengan memacu kegiatan budidaya ikan tersebut sehingga pemenuhan kebutuhan ikan bagi masyarakat tidak lagi hanya mengandalkan hasil tangkapan dari parairan. Dengan berkurangnya tekanan penangkapan di perairan, maka kelestarian ikan dapat dipertahankan. Budidaya memiliki berbagai keunggulan, yaitu: tidak membutuhkan lahan yang sangat luas, produksi dapat dikontrol dan menyediakan lapangan kerja bagi tenaga kerja baik yang memilki keterampilan khusus ataupun tidak (Nash and Shehadeh, 1972).

Ikan lalawak (Barbodes spp) merupakan salah satu jenis ikan yang terdapat di perairan kabupaten Sumedang. Ikan ini memiliki potensi ekonomis karena memiliki daging yang enak sehingga dikonsumsi oleh penduduk setempat, potensi reproduksi cukup tinggi dan dijual dengan harga Rp. 12.000,00/kg. Walaupun sudah mulai dibudidayakan di kolam-kolam budidaya sejak tahun 1970, tetapi budidaya ikan lalawak ini belum mengalami perkembangan yang cukup signifikan bahkan menurut informasi penduduk setempat ikan lalawak sudah semakin sulit ditemukan di perairan sungai. Untuk menunjang kegiatan budidaya ikan lalawak ini, maka diperlukan informasi tentang lingkungan yang ideal untuk menunjang pertumbuhan ikan tersebut dalam usaha budidaya ikan lalawak di kolam-kolam pemeliharaan. Sehubungan dengan masih terbatasnya informasi tentang hal tersebut, maka dilakukanlah penelitian mengenai aspek ekobiologi ikan lalawak yang dikaitkan dengan ketinggian tempat.

(15)

berbeda. walaupun saat ini ada indikasi bahwa ikan lalawak hidup di daerah hulu sungai yang relatif tidak tercemar oleh bahan organik. Untuk mengetahui ketinggian tempat yang dapat memberikan pengaruh positif pada budidaya ikan lalawak di kolam-kolam pemeliharaan, maka diperlukan suatu penelitian yang mampu mendeteksi pengaruh ketinggian tempat terhadap kondisi ekologis dan biologis ikan lalawak.

B. Rumusan Masalah

Ketinggian tempat akan mempengaruhi kondisi ekologi perairan kolam baik secara fisika, kimia dan biologi. Perbedaan kondisi tersebut akan mempengaruhi pula kondisi biologi ikan lalawak, termasuk laju pertumbuhannya. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan penebaran benih ikan lalawak di kolam-kolam pemeliharaan pada ketinggian tempat yang berbeda. Pada masing-masing ketinggian tempat akan didapatkan gambaran tentang pengaruhnya terhadap kondisi ekologis perairan dan biologis ikan lalawak.

C. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan antara ketinggian tempat dengan aspek ekologi dan aspek biologi ikan lalawak. Aspek ekologi meliputi: kualitas air secara fisika, kimia dan biologi, sedangkan aspek biologi ikan lalawak meliputi: hubungan panjang berat, laju pertumbuhan ikan dan faktor kondisi.

D. Manfaat

(16)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Morfologi

Klasifikasi ikan lalawak menurut Kottelat et al., 1993 adalah : Kelas : Pisces

Sub Kelas : Teleostei

Ordo : Cypriniformes

Sub Ordo : Cyprinoidea

Famili : Cyprinidae

Genus : Barbodes balleroides

Ikan lalawak (Barbodes balleroides) memiliki nama sinonim, yaitu Barbus wadon (Bleeker, 1850), Barbus bramoides (C. V., 1842), Systomus (Barbodes)

amblycephalus (Bleeker, 1860).

Gambar 1. Ikan lalawak (Barbodes balleroides)

http://www.fishbase.org/Photos/ThumbnailsSummary.cfm?ID=17363

(17)

sirippunggung. Jari-jari terakhir sirip punggung lemah atau keras, tapi tidak bergerigi. Jari-jari terakhir sirip punggung halus atau bergerigi di belakangnya, 7- 101/2 jari-jari bercabang pada sirip punggung. Gurat sisi tidak sempurna, tidak ada atau berakhir di pertengahan pangkal sirip ekor. Tidak ada pori tambahan pada sisik sepanjang gurat sisi. Pori-pori pada kepala terisolasi, tidak membentuk barisan sejajar yang padat. Mulut terminal atau subterminal. Mempunyai bibir halus berpapila atau tidak, tetapi tanpa lipatan. Mulut kecil, celahnya tidak memanjang melebihi garis vertical yang melalui pinggiran depan mata. Jari-jari sirip dubur tidak mengeras (Kottelat et al. 1993).

Masyarakat Kecamatan Buah Dua mengenal tiga jenis ikan lalawak, yaitu lalawak sungai, lalawak jengkol dan lalawak kolam. Dalam penelitian ini akan lebih banyak dibahas tentang ikan lalawak kolam. Ikan lalawak kolam memiliki bentuk tubuh dan kepala pipih, berwarna perak kehijauan dengan bagian punggung berwarna agak gelap. Gurat sisi sempurna. Ikan lalawak mempunyai nama lokal lainnya, yaitu bader abang, lokas, Lukas, wader, waderbang (Jawa), lawak, lelawak, wader merah, balar, Regis, dan turup hawu (Jawa Barat), halap (Kalimantan Barat), salap (Kalimantan Selatan), dan di Kalimantan Timur disebut iblab (Schuster dan Djajadiredja, 1952 dalam Luvi, 2000).

B. Aspek Ekologi 1. Habitat Kolam

Ikan lalawak adalah ikan yang memiliki habitat asli di sungai dan dewasa ini telah dibudidayakan di kolam-kolam peliharaan. Kolam merupakan ekosistem perairan yang relatif sempit dimana proses oksigenasi dapat berlangsung secara alami maupun buatan. Suryadiputra (1956) dalam Surawijaya (2004) membagi kolam menjadi 3:

1. Kolam dangkal

Kolam dangkal memiliki oksigen terlarut yang terdapat pada seluruh kedalaman yang berasal dari fotosintesa jasad nabati perairan (phytoplankton dan tanaman air yang tenggelam).

(18)

Kolam dalam memiliki kandungan oksigen terlarut relatif sedikit dan hanya terdapat pada lapisan permukaan saja. Sedangkan pada lapisan bawah kondisinya anaerobik.

3. Kolam fakultatif

Kolam fakultatif memiliki kondisi aerobik dan anerobik dalam satu sistem kolam. Pada kolam ini terdapat lapisan peralihan dari aerobik dan aerobik.

2. Kualitas Air

Untuk mengukur kualitas suatu perairan, maka dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu secara fisika (warna, kekeruhan, suhu), kimia (kandungan Oksigen, Karbondioksida, pH, amoniak, alkalinitas) dan biologi (binatang di perairan tersebut).

Unsur kualitas air yang berpengaruh terhadap ikan antara lain: suhu, pH, alkalinitas dan DO.

a. Suhu

Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam melakukan kegiatan budidaya adalah tentang ketinggian tempat. Ketinggian tempat merupakan letak suatu tempat atau daerah yang diukur dari permukaan laut sebagai titik nolnya. Ketinggian suatu tempat erat hubungannya dengan suhu karena semakin tinggi letak suatu daerah, maka suhunya semakin rendah. Suhu sangat berpengaruh terhadap makhluk hidup, terutama dalam proses metabolisme.

Suhu merupakan pengatur utama dalam lingkungan perairan. Suhu dapat mempengaruhi aktifitas ikan seperti bernafas, tumbuh dan bereproduksi. Suhu mempengaruhi pertumbuhan dan nafsu makan ikan (Effendi, 2003).

b. Kecerahan

Cahaya merupakan faktor yang penting karena berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap distribusi dan jumlah organisme, khusunya plankton pada badan air (Brown, 1987). Effendi (2000) menyatakan bahwa kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang nilainya sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, kepadatan tersuspensi dan ketelitian pengukuran.

(19)

Kecerahan Klasifikasi

> 6 meter Oligotrofik (tidak subur)

3 – 6 meter Mesotrofik (kurang subur)

< 3 meter Eutrofik (subur)

c. pH

Derajat keasaman (pH) adalah ukuran atau kandungan ion idrogen (H+) di dalam air dan diukur pada skala 1 – 14.

Tabel 2. Klasifikasi kualitas perairan menurut nilai pH

Skala pH Keterangan

0 – 7 Asam

7 Netral

7 – 14 Basa

Sumber: (USAID, 1976) dalam Effendi (2000)

Batas toleransi organisme air terhadap pH bervariasi tergantung pada suhu, kandungan Oksigen terlarut, alkalinitas, adanya ion dan kation dan siklus hidup organisme tersebut (Pescod, 1973).

Tabel 3. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan

Nilai pH Pengaruh Umum

6,0 – 6,5 1. Keanekaragaman plankton dan benthos sedikit menurun. 2. Kelimpahan total, biomassa dan produktivitas tidak mengalami

perubahan.

5,5 – 6,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan benthos semakin tampak.

2. Kelimpahan total, biomassa dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti.

3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral.

5,0 – 5,5 1. Penurunan nilai keanekaragaman dan komposisi jenis plankton dan benthos semakin besar.

2. Terjadi penurunan kelimpahan total, biomassa zooplankton dan benthos.

3. Algae hijau berfilamen semakin banyak. 4. Proses nitrifikasi terhambat.

4,5 – 5,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton dan benthos semakin besar.

2. Terjadi penurunan kelimpahan total, biomassa zooplankton dan benthos.

3. Algae hijau berfilamen semakin banyak. 4. Proses nitrifikasi terhambat.

Sumber: Effendi (2003)

(20)

Alkalinitas suatu perairan menggambarkan kandungan basa yang dapat dititrasi yang umumnya berupa garam karbonat dan bikarbonat. Alkalinitas perairan menunjukkan daya penyangga dan sebagai penduga kesuburan (Swingle, 1968 in Sumawidjaja dan Sumantadinata, 1986).

Tabel 4. Klasifikasi kualitas perairan menurut alkalinitas

Nilai Alkalinitas Keterangan

0 – 10 Sangat asam, tidak dapat dimanfaatkan

10 – 50 Alkalinitas rendah, kematian ikan dapat bervariasi, produktifitas kurang

50 – 100 Alkalinitas sedang, produktifitas sedang, pH bervariasi, penyediaan CO2 sedang

…> 200 Jarang ditemukan, pH stabil, produktifitas rendah, kehidupan ikan diduga terancam

Sumber : Swingle (1968) dalam Effendi (2000)

e. DO

Oksigen terlarut (DO) adalah kandungan gas oksigen yang terlarut dalam air. Sumber utama O2 terlarut adalah proses fotosintesa autotrof dan difusi dari udara. Kelarutan oksigen di perairan dipengaruhi faktor-faktor kimia dan fisika. Temperatur, kandungan garam dan gas juga berpengaruh pada kelarutan oksigen. Sedangkan perombakan organik dan respirasi organisme akan menrunkan kadar O2 terlarut dalam air (Boyd, 1979).

Tabel 5. Klasifikasi kualitas perairan menurut DO

Kadar Oksigen terlarut

(mg/l) Pengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan

< 0,3 Hanya sedikit jenis ikan yang dapat bertahan pada pemaparan singkat (short exposure).

0,3 – 1,0 Pemaparan lama (prolonged exposure) dapat mengakibatkan kematian ikan.

1,0 – 5,0 Ikan dapat bertahan hidup, tetapi pertumbuhannya tergganggu.

> 5,0 Hampir semua organisme akustik menyukai kondisi ini. Sumber : Swingle (1969) dalam Hefni Effendi, 2000

f. Plankton

(21)

Plankton merupakan mikroorganisme yang menghuni hampir seluruh tipe perairan mulai dari sungai, kolam, danau dan laut. Plankton terdiri dari organisme nabati (phytoplankton) dan hewani (zooplankton) dengan status yang sangat kompleks (Cole, 1988). Fitoplankton adalah tumbuhan mikroskopis yang melayang-layang dalam air dan mempunyai klorofil sehingga mampu melakukan fotosintetis. Zooplankton adalah hewan herbovora atau karnivora yang bersifat planktonik (Nybakken, 1992).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kelimpahan adalah penyebaran arus, up welling, kandungan unsur hara, kedalaman perairan dan aktifitas di sektor perairan.

C. Aspek Biologi

1. Makanan Ikan lalawak

Untuk merangsang pertumbuhan yang optimal diperlukan jumlah dan mutu makanan yang cukup serta sesuai dengan kondisi perairan.menurut Nikolsky (1963), urutan kebiasaan makanan terdiri dari makanan utama (makanan yang biasa dimakan dalam jumlah banyak), makanan pelengkap (makanan yang ditemukan dalam saluran pencernaan dalam jumlah sedikit), makanan tambahan (makanan yang ditemukan dalam saluran pencernaan dalam jumlah sangat sedikit), makanan pengganti (makanan yang dikonsumsi jika makanan utama tidak tersedia).

Faktor yang mempengaruhi kebiasaan makanan ikan adalah penyebaran organisme sebagai makanan, ketersediaan makanan, variasi pilihan ikan itu sendiri, faktor-faktor fisik yang mempengaruhi perairan (Effendi, 1997).

(22)

2. Pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks dimana banyak faktor yang mempengaruhinya. Pertumbuhan dipengaruhi faktor dalam dan luar. Faktor dalam diantaranya adalah keturunan, jenis kelamin dan umur. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi antara lain: makanan dan suhu. Akan tetapi, di daerah tropis, makanan adalah faktor yang lebih penting. Pola pertumbuhan ikan ada dua macam, yaitu: pertumbuhan isometrik dan allometrik. pertumbuhan ikan membentuk pola isometrik apabila pertumbuhan panjang seimbang dengan pertumbuhan berat. Pola allometrik apabila pertumbuhan berat tidak seimbang dengan pertumbuhan panjang (Effendi, 1997).

Apabila terlalu banyak individu yang ada di perairan yang tidak sebanding dengan ketersediaan makanan di perairan, maka akan terjadi kompetisi terhadap makanan tersebut. Adanya keberhasilan dalam mendapatkan makanan akan menentukan pertumbuhan sehingga dalam satu keturunan akan terdapat perbedaan ukuran.

3. Faktor kondisi

Salah satu derivate penting dari pertumbuhan ialah faktor kondisi. Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dilihat dari kapasitas fisiknya untuk survival dan reproduksi. Dalam penggunaan komersial, faktor kondisi ini menggambarkan kualitas dan kuantitas daging yang tersedia untuk dapat dimakan. Jadi kondisi ini mempunyai arti dapat memberi keterangan secara biologis atau secara komersial (Effendi, 1997).

Menurut Effendi (1997), faktor kondisi berfluktuasi dengan ukuran ikan. Ikan yang berukuran kecil, faktor kondisinya relatif tinggi, kemudian menurun ketika ikan bertambah besar. Hal ini sehubungan dengan perubahan jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan tersebut, dari pemakan plankton menjadi pemakan ikan atau karnivor. Peningkatan faktor kondisi ini dapat pula diakibatkan adanya perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum terjadi pemijahan.

(23)

kematangan gonad yang sama, faktor kondisi ikan lalawak jantan jauh lebih kecil daripada ikan lalawak betina. Meningkatnya faktor kondisi disebabkan bertambahnya gonad.

D. Keterkaitan Antara Ketinggian Tempat Dengan Aspek Biologi Ikan

Ketinggian tempat akan mempengaruhi aspek fisika kimia perairan, seperti suhu, alkalinitas, pH, oksigen terlarut sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi aspek biologi perairan seperti kelimpahan plankton.

Hasil penelitian Wahyudi (2001) terhadap aspek ekobiologi ikan belut (Monopterus albus) menunjukkan bahwa pada ketinggian tempat yang berbeda menyebabkan perbedaan kelimpahan plankton, dimana larva dari kelas Insecta dan Brachionus pada ketinggian lebih dari 400 m dpl memiliki kelimpahan yang lebih besar dibandingkan pada ketinggian 17 – 400 m dpl. Demikian pula dengan kelimpahan makrozoobenthos pada akhirnya, kondisi tersebut mempengaruhi kondisi biologis ikan belut sawah (Monopterus albus), yaitu :

1. Kelimpahan ikan akan menurun seiring dengan meningkatnya ketinggian tempat.

2. Fekunditas ikan belut sawah (Monopterus albus) memiliki nilai yang lebih besar pada ketinggian 17 – 400 m dpl.

(24)

III.

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2005 sampai Maret 2006 di tiga kolam budidaya di tiga desa (desa Gendereh, Sekar Wangi dan Narimbang) dengan ketinggian tempat yang berbeda (400 m, 450 m dan 500 m dpl) di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Analisa Eko-Biologi dilakukan di Laboratorium Produktifitas Lingkungan Perairan dan BIMI Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK IPB.

B. Bahan dan Alat

Di bawah ini adalah bahan dan alat yang digunakan selama penelitian.

Tabel 6. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

No Obyek Pengamatan Bahan Alat

1. Pengambilan contoh ikan lalawak

- Jala ikan

2. Identifikasi dan klasifikasi ikan

Ikan, Formalin 10% Buku identifikasi

3. Panjang dan berat ikan

Ikan, Formalin Mistar ketelitian 1 mm dan timbangan O’haus

4. Rasio kelamin Ikan, Formalin 10% Alat bedah

5. Parameter fisika dan kimia perairan

Air sample, indicator Phenolpthalein,

Bromcresol Green, Methyl red, HCl, larutan

Asetokarmin, sulfamic acid, MnSO4, NaOH+KI, H2SO4, Na-tiosulfat, indikator amylum

Termometer, kertas Ph, botol sample,

Erlenmeyer 100 ml, gelas ukur, pipet

6. Plankton Air sample, lugol 5 tetes Ember, plankton net, botol film, mikroskop

C. Metode Kerja

1. Pengamatan Pertumbuhan Ikan

(25)

diberikan pakan buatan agar dapat diketahui laju pertumbuhan alami ikan lalawak.

2. Pengambilan Contoh ikan lalawak (Barbodes balleroides)

Ikan lalawak ditangkap dari kolam budidaya di tiga desa (desa Gendereh, Sekar Wangi dan Narimbang) dengan ketinggian tempat yang berbeda (400 m, 450 m dan 500 m) berturut-turut selama empat kali dengan selang waktu satu bulan. Sampling pertama dilakukan pada bulan Oktober sebanyak 10 ekor untuk mengetahui panjang dan berat awal ikan lalawak. Kemudian pada bulan November, Desember dan Januari dilakukan sampling sebanyak masing-masing 30 ekor. Alat tangkap yang digunakan berupa jala.

3. Pengambilan Contoh Plankton

Air sampel diambil dari kolam budidaya sebanyak tiga kali dalam selang waktu satu bulan. Air sampel diambil sebanyak 10 liter dengan menggunakan ember dan disaring menggunakan plankton net. Air contoh tersebut dimasukkan ke dalam botol film dan diawetkan dengan lugol.

4. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Suhu diukur secara insitu dengan menggunakan termometer air raksa.

Termometer dapat diikat dengan tali atau dipegang dengan tangan kemudian di masukkan ke dalam air kolam skala termometer diusahakan untuk dibaca di

dalam air agar tidak terpengaruh oleh udara luar.

Derajat keasaman diukur secara insitu dengan mencelupkan kertas pH universal ke dalam air, selanjutnya warna kertas pH dibandingkan dengan indikator warna pH berskala satu sampai empat belas.

(26)

Alkalinitas total dihitung dengan menggunakan rumus: Alkalinitas total (ppm CaCO3) = B x N titran x 50 x 1000

ml sampel Keterangan : B = volume titran yang digunakan

N titran = 0.02 N ml sampel = 50 ml

DO diukur secara insitu yaitu dengan memasukkan air sampel ke dalam botol BOD sampai meluap sebanyak 125 ml. Sampel air tersebut kemudian ditambahkan Sulfamic acid (1 ml) dan ditambahkan reagen-reagen seperti MnSO4 (Mangan sulfat) dan NaOH+KI (1 ml). Botol BOD kemudian dibolak-balik sebanyak 20 kali dan dibiarkan beberapa saat sampai terbentuk endapan coklat. Kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4 (Asam sulfat) dan dibolak-balik sampai endapan larut. Air tersebut dimasukkan ke dalam erlenmeyer dengan menggunakan pipet Mohr dan dititrasi dengan Na-thiosulfat hingga terjadi perubahan warna dari kuning tua menjadi kuning muda. Teteskan 4 tetes indikator amylum sulfat berwarna hitam kebiruan dan titrasi kembali dengan Na-thiosulfat hingga bening kemudian dicatat volume titrannya.

DO dihitung dengan menggunakan rumus:

BOD botol ml terpakai reagen ml botolBOD ml sampel ml thiosulfat Na normalitas titran ml l mgO . . ) . . . ( ) . ( 1000 8 . . 2 − × × − × =

D. Analisa Data

1. Kelimpahan Plankton

Perhitungan kelimpahan fitoplankton menggunakan rumus sebagai berikut (Basmi, 1994) :

n E D C B A

N= 1× × ×

Keterangan ;

N = Individu plankton per liter (Ind/liter) A = Volume air yang disaring (l)

B = Volume air tersaring (ml)

C = Volume air contoh di bawah gelas penutup (1 tetes = 0,05ml) D = Luas gelas penutup (400 mm2)

(27)

Keanekaragaman fitoplankton dengan indeks Shannon – Wiener (Odum, 1971) :

H’ = -∑ pi ln pi , pi =

N ni

,

Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman ni = jumlah individu jenis ke-i

N = jumlah total individu dari seluruh jenis

Dengan ketentuan :

H’ < 1 = Keanekaragaman rendah 1 ≤ H’ ≤ 3 = Keanekaragaman sedang H’ > 3 = Keanekaragaman tinggi

Keseragaman fitoplankton dapat dihitung dengan menggunakan formulasi (Brower and Zar, 1977) :

Hmaks H E= ' ,

Keterangan :

E = Indeks keseragaman H’ = Indeks keanekaragaman H maks = Ln S

Dengan ketentuan :

E ~ 0 = Dominansi jenis tertentu

E ~ 1 = Jumlah individu tiap jenis sama

Indeks dominansi berkisar antara 0 – 1, jika nilai ini mendekati nol, maka hampir tidak ada individu yang mendominasi dan biasanya diikuti oleh keanekaragaman yang tinggi (Odum, 1971).

2. Pola Pertumbuhan

Penentuan hubungan panjang berat dilakukan dengan menggunakan rumus (Effendi, 1979) :

W = aLb

Log W = Log a + b Log L

Keterangan : W = Berat ikan (gram) L = Panjang total ikan (cm)

(28)

Untuk mengetahui apakah b = 3, maka dilakukan uji t. Kemudian hasil thitung dibandingkan dengan ttotal. Apabila b = 3, maka pola pertumbuhan bersifat isometrik, jika b # 3, maka pola pertumbuhan bersifat allometrik.

3. Laju Pertumbuhan Panjang dan Berat a. Laju pertumbuhan panjang

( )

%

1

x

100

Lo

Lt

t

=

α

Keterangan : α(%) = Laju pertumbuhan panjang (mm) Lt = Panjang akhir (mm)

Lo = Panjang akhir (mm)

t = Waktu

b. Laju pertumbuhan berat

( )

% 1 x100

Wo Wt t ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ − = − α

Keterangan : α(%) = Laju pertumbuhan panjang (mm) Wt = Panjang akhir (mm)

Wo = Panjang akhir (mm) t = Waktu

4. Faktor Kondisi

Menurut Effendi, 1979, pengukuran faktor kondisi ikan dapat dilakukan berdasarkan data berat dan panjang ikan.

Apabila b = 3, maka rumus yang digunakan adalah ; Kn = 100 W

L3

Keterangan : Kn = Faktor kondisi W = Berat ikan (g)

(29)

Apabila b # 3, maka rumus yang digunakan :

* W

W

Kn=

Keterangan : Kn = Faktor kondisi W = Berat ikan (g) W* = aLb

5. Analisis data

Analisis data yang digunakan adalah model Regresi Linear Sederhana : Y = Ax – B

... (1) ... (2) 2 2 2 ) ( ) )( ( ) )( ( Xi Xi n XiYi Xi Xi Yi a ∑ − ∑ ∑ ∑ − ∑ ∑ = 2

2 ( )

(30)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Kabupaten Sumedang

Kabupaten Sumedang, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Sumedang, sekitar 45 km timur laut Kota Bandung. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di utara, Kabupaten Majalengka di timur, Kabupaten Garut di selatan, Kabupaten Bandung di barat daya, serta Kabupaten Subang di barat. Luas kabupaten Sumedang adalah 1,522 km2 atau sekitar 152.219.950 ha.Kabupaten Sumedang terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan

Kota ini meliputi kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Sumedang dilintasi jalur utama Bandung-Cirebon. Secara fisik kondisi topografi kabupaten Sumedang adalah pegunungan, berbukit-bukit pada bagian Selatan, sebagian kecil wilayah Utara berupa dataran rendah. Bagian Timur berupa dataran rendah dengan agak miring pada bagian Utara dan Barat. Dari seluruh dataran, 11,47% mempunyai ketinggian lebih dari 1001 m di atas permukaan laut (dpl). Gunung Tampomas (1.684 m), berada di utara kota Sumedang.

U

[image:30.612.216.457.426.672.2]

http://www.sumedang.go.id

(31)

B. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tiga desa di dua kecamatan yang berbeda, yaitu kecamatan Buah Dua dan kecamatan Conggeang. Dua kolam pada kecamatan Buah Dua terletak di desa Gendereh dan desa Sekar Wangi. Satu kolam terletak di desa Narimbang kecamatan Conggeang.

1. Kecamatan Buah Dua

Kecamatan Buah Dua terletak pada ketinggian 200 – 700 m dpl dengan luas wilayah 955.220 km2. Kecamatan ini terbagi menjadi menjadi 13 desa, yaitu desa Sekar Wangi, Cilangkap, Nagrak, Cibitung, Penyindangan, Buah Dua, Gendereh, Bojonglea, Cikurubuk, Hariang, Mekarmukti, Citaleus dan Karang Bungur. Kecamatan ini dibatasi oleh kecamatan Haurgeulis di sebelah Utara, kecamatan Conggeang di sebelah Timur, kecamatan Tanjung Kerta di sebelah Selatan dan kecamatan Suriang di sebelah Barat.

a. Desa Gendereh

[image:31.612.209.452.434.580.2]

Desa Gendereh terletak pada ketinggian 400 m dpl dengan luas 296.298 km2. Topografi desa ini adalah berbukit dengan suhu rata-rata 32° C dengan curah hujan rata-rata 2500 mm.

Gambar 3. Kolam penelitian I

(32)

b. Desa Sekar Wangi

[image:32.612.207.440.174.308.2]

Desa Sekar Wangi terletak pada ketinggian 450 m dpl dengan luas 28.733 km2. Topografi desa ini adalah datar berbukit dengan suhu rata-rata 28° C dengan curah hujan rata-rata 2000 mm.

Gambar 4. Kolam penelitian II

Kolam 2 yang terletak di desa Sekar Wangi ini memiliki luas kolam ± 3x2 m dengan kedalaman ± 50 cm. Substrat kolam berupa lumpur dan air kolam berasal dari sungai dan berwarna coklat. Kolam ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemiliknya untuk budidaya ikan. Kolam ini berada di antara dan diantara kebun pisang dan perumahan penduduk.

2. Kecamatan Conggeang

Kecamatan Conggeang terletak pada ketinggian 280 - 500 m dpl dengan luas wilayah 969.754,796 km2. Kecamatan ini terbagi menjadi menjadi 12 desa, yaitu desa Conggeang Wetan, Conggeang Kulon, Ungkal, Cacaban, Cibereyeuh, Cibubuan, Karanglayung, Babakanasem, Padaasih, Cipamekar, Narimbang dan Jambu. Kecamatan ini dibatasi oleh kecamatan Ujung Jaya, Cikedung dan Kabupaten Indramayu di sebelah Utara, kecamatan Tomo di sebelah Timur, kecamatan paseh dan Cimalaka di sebelah Selatan dan kecamatan Buah Dua di sebelah Barat.

a. Desa Narimbang

(33)
[image:33.612.218.430.79.200.2]

Gambar 5. Kolam penelitian III

Kolam 3 yang terletak di desa Narimbang ini memiliki luas kolam ± 4x2 m dengan kedalaman ± 50 cm. Substrat kolam berupa lumpur dan air kolam berasal dari mata air gunung Tampomas dan berwarna bening. Kolam ini biasanya digunakan untuk budidaya ikan lalawak, mas dan mujair. Kolam ini berada di antara kebun pisang, melinjo, salak dan perumahan penduduk.

C. Parameter Lingkungan 1. Parameter Fisika Kimia a. Suhu dan warna perairan

Dari hasil pengukuran parameter fisika diperoleh hasil berupa data suhu dan warna perairan di masing-masing kolam pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai parameter suhu dan warna kolam penelitian

Kolam ke- Bulan

sampling

Suhu

Suhu Rata-rata

Warna Air kolam

05.30 WIB 13.30 WIB

U1 U2 U1 U2

KOLAM I (400 m dpl)

Okt 26°C 26°C 31°C 31°C

28°C Coklat

Nov 26°C 26°C 29°C 29°C

Des 25°C 26°C 31°C 30°C

Jan 25°C 25°C 30°C 30°C

KOLAM II (450 m dpl)

Okt 24°C 24°C 26°C 26°C

25°C Coklat

Nov 24°C 24°C 27°C 27°C

Des 22°C 22°C 27°C 27°C

Jan 23°C 23°C 28°C 27°C

KOLAM III (500 m dpl)

Okt 20°C 20°C 25°C 25°C

21,5°C Jernih

Nov 21°C 21°C 23°C 24°C

Des 19°C 19°C 21°C 22°C

Jan 20°C 20°C 23°C 23°C

[image:33.612.109.507.463.658.2]
(34)

25-31°C, di kolam II 22-28°C dan di kolam III 19-25°C. Hal dapat disebabkan semakin meningkat ketinggian tempat, maka kerapatan (udara) gas semakin meningkat pula. hal ini menyebabkan energi yang dihasilkan semakin rendah sehingga kemampuan untuk mengikat kalor dari lingkungan semakin berkurang atau kecil sehingga suhu udara semakin rendah. Dengan menurunnya udara lingkungan, maka akan menyebabkan menurunnya suhu perairan kolam.

Menurut Poernomo dalam Raharja (2004), suhu dalam budidaya perikanan merupakan faktor yang sangat penting. Suhu perairan yang sesuai akan mengakibatkan pertumbuhan ikan yang optimal. Suhu yang optimal akan mempercepat pertumbuhan biota sehingga mengakibatkan kelancaran dan kemudahan dalam proses metabolisme. Suhu yang aman dalam budidaya perairan adalah pada kisaran 25 – 320C dan optimum pada suhu 29 – 310C. Secara umum, suhu perairan yang aman dan baik bagi budidaya ikan lalawak adalah pada kolam I atau pada ketinggian tempat 400 m dpl. Kisaran suhu pada kolam I masih dalam kondisi yang mampu ditolerir oleh ikan lalawak sehingga dapat mendukung proses pertumbuhan ikan lalawak itu sendiri.

Warna perairan juga merupakan faktor yang berpengaruh bagi pertumbuhan ikan. Warna perairan dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengganggu proses fotosintesis. Menurut WHO dalam Effendi (2000), untuk kebutuhan air minum, warna perairan tidak boleh lebih dari 15 Pt Co. Akan tetapi, untuk kebutuhan budidaya perikanan warna tidak dipersyaratkan.

b. DO (oksigen terlarut)

(35)
[image:35.612.131.468.93.288.2]

Tabel 8. Nilai parameter DO kolam penelitian

Kolam ke- Bulan

sampling

DO (mg/l)

DO Rata-rata (mg/l)

05.30 WIB 13.30 WIB

U1 U2 U1 U2

KOLAM I

Okt 5,51 5,51 6,42 6,69

5,94

Nov 5,23 5,23 6,56 6,60

Des 5,24 5,24 6,76 6,76

Jan 5,39 5,39 6,38 6,45

KOLAM II

Okt 6,36 6,36 7,11 7,11

7,07

Nov 6,54 6,35 8,24 8,24

Des 6,43 6,43 8,23 8,21

Jan 5,98 5,98 7,68 7,68

KOLAM III

Okt 7,12 7,12 8,78 8,78

8,02

Nov 7,24 7.24 8,11 8,11

Des 7,24 7,24 9,27 9,27

Jan 7,16 7,16 9,25 9,25

Pada tabel 8, terlihat bahwa nilai DO semakin meningkat dengan meningkatnya ketinggian tempat. DO di kolam I berkisar antara 5,23-6,76 mg/l, di kolam II 5,98-8,24 mg/l dan di kolam III 7,12-9,27mg/l. perbedaan nilai DO tersebut dipengaruhi oleh suhu di masing-masing kolam. Meningkatnya suhu menyebabkan menurunnya kelarutan gas dalam air sehingga nilai DO juga menurun dengan meningkatnya ketinggian tempat. Rendahnya suhu menyebabkan difusi udara lebih mudah terjadi.

Rendahnya kadar oksigen terlarut di kolam 1 dapat disebabkan letak kolam yang berada di antara area persawahan yang memiliki potensi untuk menghasilkan limbah pertanian. Adanya limbah pertanian menyebabkan upaya untuk mengdegradasi bahan organik oleh organisme penguarai semakin besar. Hal tersebut menyebabkan pemanfaatan oksigen terlarut yang semakin besar oleh organisme pengurai.

(36)

penurunan kadar oksigen sehingga seringkali menyebabkan tidak terpenuhinya konsumsi oksigen organisme akuatik untuk metabolisme.

Kandungan DO di kolam III yang tinggi disebabkan karena sumber air yang berasal dari mata air pegunungan Tampomas yang diperkirakan masih baik baku mutunya dan belum terkontaminasi oleh kegiatan manusia, baik pertanian maupun rumah tangga.

c. Alkalinitas

[image:36.612.128.475.305.483.2]

Dari hasil pengukuran parameter kimia diperoleh hasil berupa data alkalinitas di masing-masing kolam pada Tabel 10.

Tabel 10. Nilai parameter alkalinitas kolam penelitian

Kolam ke- Bulan

sampling

Alkalinitas (mg/l) Alkalinitas rata-rata

(mg/l)

U1 U2

KOLAM I

Okt 80 80

72,50

Nov 66 62

Des 80 80

Jan 64 68

KOLAM II

Okt 60 60

61,75

Nov 60 60

Des 62 62

Jan 64 66

KOLAM III

Okt 30 30

37,5

Nov 40 28

Des 40 40

Jan 46 46

(37)

(1968) dalam Effendi (2000), alkalinitas perairan yang baik untuk ikan berada dalam kisaran 50 – 100 mg/l.

Perairan dengan alkalinitas tinggi lebih produktif daripada perairan dengan alkalinitas rendah. Tingkat produktivitas perairan ini sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan nilai alkalinitas, tetapi berkaitan dengan keberadaan fosfor dan elemen esensial lain yang kadarnya meningkat seiring dengan meningkatnya alkalinitas.

d. Derajat Keasaman (pH)

[image:37.612.130.457.323.503.2]

Dari hasil pengukuran parameter kimia diperoleh hasil berupa data pH di masing-masing kolam pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai parameter pH kolam penelitian

Kolam ke- Bulan sampling pH pH rata-rata

KOLAM I

Okt 7,5

7

Nov 6,5

Des 7

Jan 7

KOLAM II

Okt 7

6,5

Nov 6

Des 6,5

Jan 6,5

KOLAM III

Okt 6,5

6,25

Nov 6

Des 6

Jan 6,5

(38)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

1 2 3

Kolam

K

e

lim

pa

ha

n (

ind/

l)

Bacillariophyceae Euglenophyceae Cyanophyceae Chlorophyceae

Derajat keasaman (pH) pada kolam I berkisar antara 6,5-7,5, kolam II 6-7 dan kolam III 6-6,5. Secara keseluruhan, kondisi pH di ketiga kolam relatif baik untuk budidaya ikan

2. Parameter Biologi

Dari analisa fitoplankton didapatkan nilai kelimpahan fitoplankton di ketiga kolam penelitian seperti yang tercantum pada Gambar 6 di bawah ini.

a. Kelimpahan Fitoplankton

[image:38.612.179.456.400.511.2]

Fitoplankton di ketiga kolam penelitian terdiri dari 4 kelas (gambar 6), yaitu kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae. Dari gambar 6 dapat terlihat bahwa kelas Bacillariophyceae terdapat dalam jumlah yang paling banyak. Menurut penelitian Luvi (2000), makanan ikan lalawak terdiri dari Baccillariophyceae sebagai makanan utama ikan lalawak, Chlorophyceae sebagai makanan pelengkap, Cyanophyceae dan Mollusca sebagai makanan tambahan.

Gambar 6. Grafik Kelimpahan fitoplankton di tiga kolam penelitian

(39)

Berdasarkan kondisi lingkungan dari masing-masing kolam, maka dapat disimpulkan bahwa ketiga kolam percobaan memiliki kondisi yang baik untuk pertumbuhan fitoplankton, khususnya dari kelas Bacillariophyceae sebagai makanan utama ikan lalawak.

b. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) Fitoplankton

[image:39.612.135.441.307.359.2]

Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi fitoplankton di ketiga kolam penelitian dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini .

Tabel 11. Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (D) fitoplankton

Indeks Kolam I Kolam II Kolam III

Keanekaragaman 1.69 1.64 1.58

Keseragaman 0,77 0.78 0.87

Dominansi 0,26 0.24 0.25

Berdasarkan tabel 11 (hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 3), Indeks Keanekaragaman (H’) fitoplankton pada tiga kolam penelitian berkisar pada nilai 1-3. Nilai tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman di ketiga kolam penelitian termasuk keanekaragaman sedang. Keanekaragaman spesies dapat dikatakan sebagai keheterogenan spesies dan merupakan ciri khas struktur komunitas yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan dimana biota itu hidup.

Indeks keseragaman dapat dikatakan sebagai keseimbangan komposisi setiap spesies dalam suatu komunitas (Kreb, 1972 dalam Surawijaya, 2004). Nilai indeks keseragaman pada ketiga kolam penelitian mendekati satu. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah fitoplankton dari setiap kelas hampir sama pada masing-masing kolam penelitian.

(40)

D. Hubungan Panjang Berat

1. Hubungan panjang dan berat ikan Lalawak jantan

[image:40.612.157.472.173.512.2]

Dari pengukuran aspek biologi ikan lalawak jantan di kolam penelitian, maka diperoleh grafik hubungan panjang berat di ketiga kolam pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik hubungan panjang dan berat ikan Lalawak jantan di tiga kolam penelitian

Hubungan panjang dan berat ikan lalawak jantan di tiga kolam penelitian dapat dilihat pada gambar 7. Hubungan panjang berat dari masing-masing kolam memberikan nilai r yang cukup tinggi. Pertumbuhan di masing-masing kolam bersifat allometrik negatif karena nilai b < 3, artinya pertumbuhan panjang lebih dominan daripada pertumbuhan berat.

W = 6E-05x2,6702

R2 = 0,8855

0 5 10 15 20 25 30 35 40

0 50 100 150

Panjang (L) B er a t ( W ) Series1 Power (Series1)

W = 0,002x1,8902

R2 = 0,6643

0 5 10 15 20 25

0 50 100 150

Panjang (L) B er a t ( W ) Series1 Power (Series1) W = 0,001x2,0376

R2 = 0,7297

0 5 10 15 20 25 30

0 50 100 150

(41)

2. Hubungan panjang dan berat ikan Lalawak betina

[image:41.612.211.437.153.485.2]

Dari pengukuran aspek biologi ikan lalawak betina di kolam penelitian, maka diperoleh grafik hubungan panjang berat di ketiga kolam pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik hubungan panjang dan berat ikan Lalawak betina di tiga kolam penelitian

Hubungan panjang dan berat ikan lalawak betina di tiga kolam penelitian dapat dilihat pada gambar 8. Hubungan panjang berat dari masing-masing kolam memberikan nilai r yang cukup tinggi. Pertumbuhan di masing-masing kolam bersifat allometrik negatif karena nilai b < 3, artinya pertumbuhan panjang lebih dominan daripada pertumbuhan berat.

Nilai r (korelasi) ikan lalawak betina di ketiga kolam penelitian lebih besar daripada nilai r (korelasi ikan lalawak jantan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan lalawak betina mengalami pertumbuhan lebih cepat daripada ikan lalawak jantan.

W = 0,0002x2,4399

R2 = 0,9053

0 5 10 15 20 25 30

0 50 100 150

Panjang (L) B e ra t (W ) Series1 Power (Series1)

W = 0,0002x2,4425

R2 = 0,8507

0 5 10 15 20 25

0 50 100 150

Panjang (L) B e ra t (W ) Series1 Power (Series1) W = 0,0006x2,1345

R2 = 0,7348

0 5 10 15 20 25

0 50 100 150

(42)

0 20 40 60 80 100 120 140

Oktober November Desember Januari

Waktu Sampling P a n jan g I kan ( m m ) KOLAM I KOLAM II KOLAM III 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Oktober November Desember Januari

Waktu Sampling B e ra t I k a n (g ) KOLAM I KOLAM II KOLAM III E. Laju Pertumbuhan Panjang dan Berat

[image:42.612.196.430.152.279.2]

Di bawah ini adalah grafik pertumbuhan panjang dan berat ikan lalawak di ketiga kolam pada setiap sampling.

Gambar 9. Grafik pertumbuhan panjang ikan Lalawak di tiga kolam penelitian pada setiap sampling

Gambar 10. Grafik pertumbuhan berat ikan Lalawak di tiga kolam penelitian pada setiap sampling

Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa ikan lalawak di setiap kolam cenderung mengalami pertumbuhan panjang dan berat. Pertumbuhan panjang dan berat yang cukup pesat terjadi pada ikan di kolam I di ketinggian tempat 400 m dpl, sementara pertumbuhan panjang dan berat di kolam II dan III relatif sama, yaitu tidak terlalu pesat.

[image:42.612.197.429.333.460.2]
(43)

Dari hasil pengukuran panjang dan berat ikan lalawak di ketiga kolam

diperoleh data laju pertumbuhan panjang dan berat ikan lalawak pada Tabel 12.

Tabel 12. Nilai laju pertumbuhan panjang ikan Lalawak

Kolam

Berat awal rata-rata

(g)

Berat akhir

rata-rata (g)

α

(%)

Panjang awal rata-rata

(mm)

Panjang akhir

rata-rata (mm)

α

(%)

I 7,39 18.12 0.73 85 115.6 0.17

II 7,62 11.21 0.31 83.33 94.21 0.09

III 7.67 11.04 0.29 82.86 93.16 0.08

Dari tabel di atas dapat diketahui laju pertumbuhan panjang ikan lalawak di tiga kolam percobaan. Dari ketiga kolam tersebut, kolam I yang terletak di desa Gendereh memiliki laju pertumbuhan panjang dan berat tertinggi sebesar 0,17% dan 0,73%.

Tingginya laju pertumbuhan panjang dan berat di kolam I berkaitan dengan kondisi ekologis, baik suhu, alkalinitas, pH dan DO yang relatif aman dan optimal bagi proses pertumbuhan ikan. Suhu yang optimum di kolam I memberikan kemudahan bagi ikan lalawak dalam proses metabolismenya sehingga pertumbuhan mampu berlangsung optimal. Nilai alkalinitas yang sedang menyebabkan kondisi perairan menjadi subur sehingga fitoplankton khususnya dari kelas Bacillariophyceae sebagai makanan utama ikan lalawak dapat hidup dengan baik.

(44)

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 60 -69 70 -79 80 -89 90 -99 100 -109 110 -119 120 - 129 130 -139 140 -149

Selang Kelas Panjang

Fa k tor K o nd is i Kolam I Kolam II Kolam III 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 60 -69 70 -79 80 -89 90 -99 100 -109 110 -119 120 -129 130 -139

Selang Kelas Panjamg

Fa k tor K ondi s i Kolam I Kolam II Kolam III

F. Faktor Kondisi

Di bawah ini adalah perbandingan nilai faktor kondisi ikan lalawak jantan dan betina di ketiga kolam penelitian.

[image:44.612.151.494.155.343.2]

Gambar 11. Grafik faktor kondisi ikan lalawak jantan pada tiga kolam penelitian

Gambar 12. Grafik faktor kondisi ikan lalawak betina pada tiga kolam penelitian

[image:44.612.148.495.400.606.2]
(45)

atas dapat disimpulkan bahwa faktor kondisi tidak berpengaruh nyata terhadap kelompok ukuran ikan lalawak jantan dan betina pada tiap-tiap kolam penelitian atau dapat diartikan bahwa ketinggian tempat tidak mempengaruhi nilai faktor kondisi ikan lalawak. Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan lalawak jantan dan betina mampu memanfaatkan sumberdaya makanan yang tersedia di dalam lingkungannya sehingga mampu mempertahankan hidupnya.

Dari tabel 11 dan 12, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata faktor kondisi ikan lalawak jantan lebih kecil daripada ikan lalawak betina. Data ini sesuai dengan hasil penelitian Sriati (1987) dan Sanusi (1977) yang menyatakan bahwa faktor kondisi ikan lalawak jantan lebih kecil daripada faktor kondisi ikan lalawak betina. Hal tersebut dikarenakan pertumbuhan panjang ikan jantan lebih cepat daripada ikan betina. Faktor kondisi yang lebih besar menunjukkan bahwa ikan betina memiliki kondisi lebih baik untuk bertahan hidup dan proses produksinya dibandingkan ikan jantan.

Dari hasil pengamatan kondisi ikan dengan rata-rata panjang dan berat bahwa setiap pertambahan panjang dan berat ikan akan disertai dengan meningkatnya kondisi fisik untuk reproduksi. makanan adalah salah satu faktor yang dapat menunjang pertumbuhan. Ketika masih ikan masih muda, makanan yang dimakan lebih banyak untuk proses pertumbuhan panjang, sehingga tubuh ikan di ketiga kolam terlihat pipih atau kurus. Faktor kondisi ikan betina di kolam II yang memiliki nilai paling tinggi dapat disebabkan oleh Tingkat Kematangan Gonad (TKG) mulai mencapai kematangan.

(46)
[image:46.612.130.508.137.519.2]

Di bawah ini adalah rekapitulasi data hasil pengukuran aspek ekologis dan biologis ikan lalawak.

Tabel 13. Data rekapitulasi pengukuran aspek ekologis dan biologis ikan lalawak

Parameter Kolam I (400 m dpl) Kolam II (450 m dpl) Kolam III (500 m dpl)

Suhu (0C)

· Min 25 22 19

· Maks 31 28 25

Warna Coklat Coklat Jernih

pH 7 6.5 6.25

DO (mg/L) 5,23 - 6,76 5,98 - 8,24 7,12 - 9,27 Alkalinitas 64 - 80 mg/L 60 - 66 mg/L 28 - 46 mg/L Kelimpahan

fitoplankton

(ind/l)

Bacillariophyceae 1400 600 450

Euglenophyceae 250 50 0

Cyanophyceae 250 150 50

Chlorophyceae 50 500 200

Laju pertumbuhan 0.73 0.17 0.31 0.09 0.29 0.08 Berat Panjang

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

Jumlah ikan 58 42 46 54 44 56

Hubungan panjang berat

W= W= W= W= W= W=

6E-05x2.6702 0.0002x2.439 0.001x2.0376 0.0006x2.134 0.002x1.8902 0.0002x2.4425 r (korelasi) 0.941 0.9515 0.8542 0.8572 0.815 0.9223

Tipe pertumbuhan Allometrik negatif Allometrik negatif Allometrik negatif Allometrik negatif Allometrik negatif Allometrik negatif

Rata-rata FK 0.9496 0.9754 0.9921 1.1371 0.9265 0.9521

(47)

Menurut Pescod (1973), suhu mempengaruhi sifat fisika, kimia dan biologi perairan. Perubahan suhu dapat mempengaruhi kehadiran spesies akuatik, pemijahan, penetasan dan aktivasi pertumbuhan.

(48)

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan data ekobiologi yang diperoleh dari hasil penelitian ini terlihat adanya hubungan yang erat antara ketinggian tempat dengan beberapa parameter fisika, kimia dan biologi lingkungan perairan serta aspek biologi ikan lalawak. 1. Aspek ekologi

a. Semakin meningkatnya ketinggian tempat menyebabkab penurunan nilai suhu, pH dan alkalinitas dan peningkatan kadar O2.

b. Semakin meningkatnya ketinggian tempat, maka kelimpahan fitoplankton, terutama dari kelas Baccillariophyceae yang diduga sebagai makanan utama ikan lalawak semakin menurun

2. Aspek biologi ikan lalawak

Bertambahnya ketinggian tempat menyebabkan laju pertumbuhan panjang dan berat ikan lalawak semakin menurun, tetapi tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap nilai faktor kondisi di ketiga kolam penelitian.

B. Saran

1. Kegiatan budidaya ikan lalawak sebaiknya dilakukan pada ketinggian tempat 400 m dpl.

(49)

VI.

DAFTAR PUSTAKA

APHA (American Public Health Association). 1989. Standard Methods For The Examination of Water And Waste Water. APHA. AWWA and WPCP. 17th Ed. Washington DC. 1527 p.

Barus, T.A. 2001. Pengantar Limnologi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Basmi, J.1994. Tekhnik Menghitung Plankton. Jurusan MSP. Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 26 hal.

Brower, J. E. And J. H Zar. 1977. Field and Laboratory Methods For General Ecology. Brown Company Publishing. Dubuqe. Iowa. 194 p.

Brown, C.E. 1987. Freshwater Ecology. Heinamann Educational Books. Great Britain.

Cole, G.A 1988. Textbook of Limnology. Third Edition. Waveland Press, Inc. prospect Heights. Illinois. 401 p.

Effendi, M.I. 1979. Metodologi Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. 17 hal.

Effendi, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor

Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Perairan. FPIK. IPB. Indonesia.

Fitrinawati, H. 2004. Kebiasaan Makanan Ikan Rejung Sillago sihama di Perairan Pantai Mayangan, Subang, Jawa Barat. Skripsi MSP. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 5 hal.

Fogg, G. E. 1965. Alga Cultures and Phytoplankton Ecology. The University of Winconsin Press. Medison. Milmauke and London. 125 p.

http://www.fishbase.org/Photos/ThumbnailsSummary.cfm?ID=17363. Senin, 10 Juli 2005, pukul 13.25 WIB.

http://www.sumedang.go.id. Senin, 10 Juli 2005, pukul 13.45 WIB.

Kusnanto, Hery. 2003. Distribusi Spasial dan Temporal Unsur Hara N dan P Serta Struktur Komunitas Fitoplankton di Perairan Situ Tegal Abidin, Kabupaten Bekasi. Skripsi MSP. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 21 -224 hal.

(50)

Luvi, D.M. 2000. Aspek Reproduksi dan Kebiasaan Makanan Ikan Lalawak (Barbodes balleroides) di Sungai Cimanuk, Sumedang, Jawa Barat. Skripsi MSP. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 8 hal. (tidak dipublikasikan).

Nash, C.E and Shehadeh. 1972. Aquaculture. Oceanic Institut Waimanalo. Hawaii. 24 p.

Nikolsky, G.V. 1963. The Ecology Of Fishes. Academic Press. New York. 325 p.

Nybakken, N.T 1991. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekosistem. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Penerjemah M. Eidman, Koesoebiono, Dietrich. G.B, Malikusworo. H, Sukristijono. 495 hal.

Odum, E. P. 1971. Fundamentals Ecology. Third Edition. W. B. Saunders Company. Philadelphia. 574 p.

Pescod, M. B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Steam Standard for Tropical Countries. AIT. Bangkok. 59 p

Raharja, G. 2003. Kualitas Air di Lingkungan Sekitar Kolam-kolam Budidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Skripsi MSP. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Reynolds, C. S. 1984. The Ecology of Freshwater Phytoplankton. Cambridge. London New York New Rochelle. Melbourne Sydney. 1 – 9 p.

Sumanwidjaja, K and Sumantadinata K. 1986. Studi Tentang Proses Fisika, Kimia dan Biologi Yang Mengatur Produktifitas Sistem Budidaya Perairan. Bogor.

Surawijaya, A. A. 2004. Studi Morfologi Beberapa Jenis Ikan Lalawak (Barbodes

spp) di Sungai Cikandung dan Kolam Budidaya Kecamatan Buah Dua Kabupaten Sumedang. Skripsi MSP. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan).

Wahyudi, E. S. 2001. Studi Mengenei Aspek Eko-Biologi Ikan Belut (Monopterus albus) di Kabupaten sumedang Jawa Barat. Skripsi MSP. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan).

Yulianda, F, Ario Damar, R. Widodo. 1993. Produktifitas Primer dan Distribusi Bulanan Biomassa Fitoplankton di Teluk pelabuhan Ratu Jawa Barat. Laporan Penelitian. 28 hal.

(51)
(52)

Lampiran 1. Tabel pengamatan ikan lalawak jantan di tiga kolam penelitian,

Data pertumbuhan dan faktor kondisi ikan lalawak jantan di kolam I

(53)

43 110 17,4 282440,35 16,946421 1,0267655 44 114 16,4 310704,35 18,642261 0,8797216 45 115 15,6 318035,33 19,08212 0,8175192 46 116 17,6 325473,57 19,528414 0,9012509 47 120 19,3 356311,44 21,378686 0,9027683 48 120 20,5 356311,44 21,378686 0,958899 49 120 20,7 356311,44 21,378686 0,9682541 50 120 22,7 356311,44 21,378686 1,0618052 51 120 20,4 356311,44 21,378686 0,9542214 52 122 20,4 372390,01 22,343401 0,9130213 53 125 21,1 397346,25 23,840775 0,8850383 54 125 19,7 397346,25 23,840775 0,8263154 55 128 18,7 423323,19 25,399391 0,7362381 56 130 19,4 441216,29 26,472977 0,7328227 57 130 19,3 441216,29 26,472977 0,7290453 58 140 24 537763,2 32,265792 0,7438218 Rata-rata 106,96154 16,467308 0,9495864

Data pertumbuhan dan faktor kondisi ikan lalawak jantan di kolam II

(54)

29 92 9,7 10032,613 10,032613 0,9668468 30 92 9,6 10032,613 10,032613 0,9568793 31 93 9,2 10256,067 10,256067 0,89703 32 93 11,9 10256,067 10,256067 1,1602888 33 93 9,2 10256,067 10,256067 0,89703 34 94 8,7 10482,028 10,482028 0,8299921 35 94 8,4 10482,028 10,482028 0,8013716 36 94 8,9 10482,028 10,482028 0,8490723 37 95 12,5 10710,497 10,710497 1,1670794 38 96 9,5 10941,475 10,941475 0,8682559 39 96 9,4 10941,475 10,941475 0,8591164 40 97 10,5 11174,963 11,174963 0,9396004 41 97 15,9 11174,963 11,174963 1,4228235 42 98 8,9 11410,962 11,410962 0,7799518 43 98 9,5 11410,962 11,410962 0,8325328 44 100 15,5 11890,497 11,890497 1,303562 45 101 10,1 12134,035 12,134035 0,8323695 46 102 12,3 12380,087 12,380087 0,993531 47 102 12,3 12380,087 12,380087 0,993531 48 105 13 13133,344 13,133344 0,9898469 49 106 14,4 13389,465 13,389465 1,0754724 50 109 13 14172,949 14,172949 0,9172403 51 112 15,7 14979,132 14,979132 1,0481248 52 113 17,7 15252,907 15,252907 1,1604345 53 116 11,9 16089,391 16,089391 0,7396178 54 121 24,2 17534,1 17,5341 1,3801678

Rata-rata 89,62 9,804 0,9922975

Data pertumbuhan dan faktor kondisi ikan lalawak jantan di kolam III

Ikan ke- L (mm) W (g) L^b aL^b FK

(55)
(56)

Lampiran 2. Tabel pengamatan ikan lalawak betina di tiga kolam penelitian, Data pertumbuhan dan faktor kondisi ikan lalawak betina di kolam I

Ikan L (mm) W (g) L^b aL^b FK

(57)

Data pertumbuhan dan faktor kondisi ikan lalawak betina di kolam II

Ikan L (mm) W (g) L^b aL^b FK 1 60 4,8 6244,013652 3,746408191 1,281227179 2 60 4,8 6244,013652 3,746408191 1,281227179 3 75 6,3 10053,52279 6,032113673 1,044410026 4 75 5,5 10053,52279 6,032113673 0,911786531 5 75 5 10053,52279 6,032113673 0,828896846 6 75 7,5 10053,52279 6,032113673 1,243345269 7 80 10,4 11538,39965 6,923039788 1,50223028 8 80 6,2 11538,39965 6,923039788 0,895560359 9 80 5,9 11538,39965 6,923039788 0,852226793 10 80 9,7 11538,39965 6,923039788 1,401118627 11 84 8,1 12804,83941 7,682903644 1,054288896 12 85 8,5 13132,41798 7,879450786 1,078755389 13 85 6,1 13132,41798 7,879450786 0,774165632 14 85 7,9 13132,41798 7,879450786 1,00260795 15 85 7,2 13132,41798 7,879450786 0,913769271 16 85 8,9 13132,41798 7,879450786 1,129520349 17 88 7,3 14141,59071 8,484954428 0,8603464 18 89 8,3 14486,81684 8,692090102 0,95489116 19 90 10 14836,47183 8,9018831 1,123357821 20 90 9,5 14836,47183 8,9018831 1,06718993 21 90 9,2 14836,47183 8,9018831 1,033489195 22 90 9,5 14836,47183 8,9018831 1,06718993 23 90 8,6 14836,47183 8,9018831 0,966087726 24 90 9 14836,47183 8,9018831 1,011022039 25 90 16,8 14836,47183 8,9018831 1,887241139 26 90 11,6 14836,47183 8,9018831 1,303095072 27 91 13,8 15190,56236 9,114337416 1,514097994 28 93 10,3 15912,07634 9,547245804 1,078845168 29 93 9,4 15912,07634 9,547245804 0,984577143 30 94 9,9 16279,5128 9,767707679 1,013543845 31 95 10,1 16651,41081 9,990846486 1,010925352 32 95 11,8 16651,41081 9,990846486 1,181081104 33 95 10,6 16651,41081 9,990846486 1,060971161 34 95 11,8 16651,41081 9,990846486 1,181081104 35 95 12,6 16651,41081 9,990846486 1,261154399 36 95 9,6 16651,41081 9,990846486 0,960879542 37 97 10,8 17408,61685 10,44517011 1,033970715 38 100 12,4 18578,04455 11,14682673 1,112424217 39 102 9,3 19380,14699 11,62808819 0,799787536 40 105 17,6 20617,14659 12,37028796 1,42276397 41 105 16,4 20617,14659 12,37028796 1,325757336 42 109 17,2 22329,9042 13,39794252 1,283779205 43 114 19,8 24573,29561 14,74397737 1,342921215 44 115 22,4 25035,68855 15,02141313 1,491204576 45 118 21,5 26450,39394 15,87023636 1,354737227 46 120 23,4 27416,52259 16,44991356 1,422499876

Rata 91,8 10,72391304 1,137088036

Data pertumbuhan dan faktor kondisi ikan lalawak betina di kolam III

Ikan ke- L (mm) W (g) L^b aL^b FK

(58)
(59)

Lampiran 3. Tabel pengamatan kelimpahan fitoplankton di ketiga kolam penelitian

No Organisme

Kolam I

Ulangan

ni pi (ni/N) ln pi pi ln pi pi^2

1 2 3

1 Bacillariophyceae

Navicula 1 2 1 4 200 0,1052632 -2 -0,2369781 0,0110803

Tabellaria 0 1 0 1 50 0,0263158 -4 -0,095726 0,0006925

Synedra 6 5 7 18 900 0,4736842 -1 -0,3539437 0,2243767

Nitzschia 1 0 2 3 150 0,0789474 -3 -0,2004453 0,0062327

Cyclotella 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Skletonema 0 0 1 1 50 0,0263158 -4 -0,095726 0,0006925

2 Euglenophyceae

Euglena 1 4 0 5 250 0,1315789 -2 -0,2668616 0,017313

3 Cyanophyceae

Polycystis 0 0 1 1 50 0,0263158 -4 -0,095726 0,0006925

Microcystis 2 1 1 4 200 0,1052632 -2 -0,2369781 0,0110803

4 Chlorophyceae

Gloeocystis 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Ulothrix 0 1 0 1 50 0,0263158 -4 -0,095726 0,0006925

Spyrogyra 0 0 0 0 0 0 0 0 0

38 1900 -1,6922842 0,2728532

No Organisme

Kolam II

Ulangan

ni pi (ni/N) ln pi pi ln pi pi^2

1 2 3

1 Bacillariophyceae

Navicula 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Tabellaria 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Synedra 0 2 0 2 100 0,1176471

-2,1400662 -0,2517725 0,0138408

Nitzschia 0 2 0 2 100 0,1176471

-2,1400662 -0,2517725 0,0138408

Cyclotella 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Skletonema 0 0 0 1 50 0,0588235

-2,8332133 -0,1666596 0,0034602

2 Euglenophyceae

Euglena 0 1 0 1 50 0,0588235

-2,8332133 -0,1666596 0,0034602

3 Cyanophyceae

Polycystis 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Microcystis 1 0 0 1 50 0,0588235

-2,8332133 -0,1666596 0,0034602

4 Chlorophyceae

Gloeocystis 0 1 0 1 50 0,0588235

-2,8332133 -0,1666596 0,0034602

Ulothrix 0 2 0 2 100 0,1176471

-2,1400662 -0,2517725 0,0138408

Spyrogyra 1 1 0 2 100 0,1176471

-2,1400662 -0,2517725 0,0138408

(60)

No Organisme

Kolam III

Ulangan

ni pi (ni/N) ln pi pi ln pi pi^2

1 2 3

1 Bacillariophyceae

Navicula 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Tabellaria 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Synedra 2 1 4 7 350 0,3043478

-1,1895841

-0,3620473 0,0926276

Nitzschia 1 1 1 3 150 0,1304348

-2,0368819

-0,2656803 0,0170132

Cyclotella 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Skletonema 1 0 1 2 100 0,0869565 -2,442347 -0,212378 0,0075614

2 Euglenophyceae

Euglena 0 0 0 0 0 0 0 0 0

3 Cyanophyceae

Polycystis 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Microcystis 1 1 0 2 100 0,0869565 -2,442347 -0,212378 0,0075614

4 Chlorophyceae

Gloeocystis 1 0 0 1 50 0,0434783

-3,1354942

-0,1363258 0,0018904

Ulothrix 4 2 3 9 450 0,3913

Gambar

Gambar 1. Ikan  lalawak (Barbodes balleroideshttp://www.fishbase.org/Photos/ThumbnailsSummary.cfm?ID=17363 )
Tabel 3. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan
Tabel 4. Klasifikasi kualitas perairan menurut alkalinitas
Tabel 6. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis keragarnan dipeluleh bahwa hubungan antara faktor lingkungan fisik (ketinggian tempat, tekstur dan pH tanah) dengan kerapatan jenis

Dari hasil pengamatan tentang jenis kela~nin ikan belut, diklasifikasikan menjadi 3 golongan, yaitu : golongan jantan yaitu ikan belut yang gonadnya 100 % berisi

betina lebih berat pada ukuran panjang total yang sama dibandingltan ikan jantan... Judul Skripsi : Aspek Biologi Reproduksi, Makanan, dan Pola Pertumbuhan Ikan Biji Nangka

[r]

Berdasarkan IP bahwa makanan utama ikan nila di Rawa Biru baik jantan maupun betina yaitu kelompok fitoplankton terdiri atas kelas Chlorophyta (Closterium

Tingginya nilai TSS dan Kekeruhan di saluran air sekitar UPI kerupuk udang dan ikan dapat diduga karena produksi kerupuk udang dan ikan pada bulan Mei 2014 sedang meningkat,

Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi ketinggian tempat kelembaban tanah semakin rendah sehingga gulma daun lebar lebih mampu bertahan hidup dari pada gulma

Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi ketinggian tempat kelembaban tanah semakin rendah sehingga gulma daun lebar lebih mampu bertahan hidup dari pada gulma