BERPIKIR TINGKAT TINGGI FISIKA SISWA
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Fisika
KYKY SYAFREDI NIM: 8146176008
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
ii ABSTRAK
KYKY SYAFREDI (NIM: 8146176008). Efek Model Pembelajaran Discovery Dan Kreativitas Terhadap Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika Siswa. Tesis. Medan: Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan, 2016. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: Kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika siswa dengan model pembelajaran discovery lebih baik dibandingkan pembelajaran konvensional; kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika siswa dengan kreativitas di atas rata-rata lebih baik dibandingkan dengan kreativitas di bawah rata-rata; dan interaksi antara model pembelajaran dengan tingkat kreativitas dalam meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika siswa. Penelitian ini merupakan quasi eksperimen. Populasi adalah siswa SMA kelas XI IPA sebanyak sembilan kelas tahun pelajaran 2015/2016. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik cluster random class sebanyak dua kelas yaitu XI 1 dan XI 2, dimana kelas XI 1, sebagai kelas eksperimen, dibelajarkan dengan model pembelajaran discovery dan kelas XI 2, sebagai kelas kontrol, dengan pembelajaran konvensional. Instrumen yang digunakan terdiri dari tes kemampuan berpikir tingkat tinggi dan tes kreativitas berupa tes esai serta telah dinyatakan valid dan reliabel. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan anava dua jalur. Hasil penelitian melalui analisis uji hipotesis bahwa ada perbedaan signifikan antara efek model pembelajaran, kreativitas terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Kesimpulan menunjukkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika siswa menggunakan model pembelajaran discovery menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional; kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika siswa dengan kreativitas di atas rata-rata menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada siswa dengan kreativitas di bawah rata-rata; serta tidak ada interaksi antara efek model pembelajaran dan kreativitas dalam meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika siswa.
iii ABSTRACT
KYKY SYAFREDI (NIM: 8146176008). The Effect of Discovery Learning Model and Creativity on Student’s Higher Order Thinking in Physics. Thesis. Medan: Post Graduate Program, State University of Medan, 2016.
The aimed of this research to analyze : student’s high level thinking ability with discovery learning model compare to conventional learning ; Ability of high level thinking students above average better than below average category in creativity; and the interaction between the learning model with the level of creativity in increasing high level thinking skills of students. This research was a quasi-experimental research. The population were nine classes of high school class XI in 2015/2016 academic year. The sample selection was done by using random cluster of two classes of class XI 1 and XI 2, which the first class, as experiment class, which’s taught with discovery learning model and second class, as control class, with conventional learning. The research instrument consisted of higher order thinking essay test and creativity essay test and has been declared valid and reliable. Data was analyze by using two way anova. The results of research through analysis of test the hypothesis that there were significant difference between the effects of learning model, creativity in increasing high level thinking skills of students. The conclusions showed that the high level thinking skills physics students using discovery learning model have better results compared to conventional learning; the student’s higher order thinking levels in physics who had above average category in creativity was show better result than under average, and there aren’t interaction between learning model and the level of creativity in increasing student’s higher order thinking levels in physics.
Keyword: Discovery, Creativity, Higher Order Thinking
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Efek Model Pembelajaran Discovery Dan Kreativitas Terhadap Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika Siswa”. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh gelar magister pendidikan program studi pendidikan fisika pada program pascasarjana Universitas Negeri Medan.
Selama penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan tesis ini, yaitu kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Bornok Sinaga, M.Pd selaku Direktur Program Pascasarjana UNIMED.
2. Terkhusus pada Bapak Prof. Dr. H. Sahyar, M.S., MM dan Bapak Dr. H. Ridwan A. Sani, M.Si., selaku dosen pembimbing tesis yang telah mendampingi, membimbing, serta memotivasi penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini dengan baik sesuai yang diharapkan.
3. Bapak Prof. Dr. Nurdin Bukit, M.Si selaku narasumber I, Ibu Dr. Derlina, M.Si selaku narasumber II dan Bapak Dr. Karya Sinulingga, M.Si selaku narasumber III, dalam penyusunan tesis ini telah memberikan saran dan masukan yang membangun demi penyempurnaan tesis ini.
4. Bapak dan ibu dosen pendidikan fisika program pascasarjana Unimed yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan kepada penulis selama perkuliahan.
v
6. Teristimewa penulis ucapkan kepada ayahanda, ibunda dan istri, yang telah terus menerus memberikan motivasi, doa, serta kasih sayang yang tak pernah henti dalam menyelesaikan studi di program pascasarjana Unimed.
7. Teman-teman seperjuangan anggkatan 2014 Prodi Magister Pendidikan Fisika yang telah memberikan semangat, motivasi, serta waktu kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih belum sempurna, oleh karena itu masukan dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya serta bermanfaat dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan.
Medan, 2016
vi
1.6 Manfaat Penelitian………... 14
1.7 Definisi Operasional………... 15
vii
2.7.1 Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika Siswa dengan Model Pembelajaran Discovery Lebih Baik dari
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ………... 61
viii
3.6.1. Instrumen Tes Kreativitas Siswa ………. 67
3.6.2. Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika ………… 67
3.7. Teknik Analisis Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi ……. 68
3.7.1. Validitas ……… 68
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian
4.1.3. Deskripsi Proses dan Pelakuan dalam Penelitian ………… 87
4.1.4. Hasil Postes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi ……… 89
4.1.5. Uji Normalitas dan Uji homogenitas Data Postes ……….. 90
4.1.6. Deskripsi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Berdasarkan Tingkat Kreativitas ……… 91
4.1.7. Pengujian Hipotesis ………. 94
4.2. Pembahasan ………. 101
4.2.1. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika Siswa dengan Model Pembelajaran Discovery Lebih Baik dari Pembelajaran Konvensional ……… 101 4.2.2 Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika Siswa yang
ix
Siswa yang Memiliki Kreativitas Di Bawah Rata-Rata….... 104
4.2.3. Tidak ada Interaksi Antara Model Pembelajaran Discovery Dan Pembelajaran Konvensional dengan Tingkat Kreativitas Terhadap Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika Siswa ……… 106
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ……… 109
5.2 Saran ……….. 110
DAFTAR PUSTAKA ……….. 111
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran Discovery ……… 32
Tabel 2.2 Indikator Kreativitas ………... 43
Tabel 2.3 Kategori Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi ……… 46
Tabel 2.4 Hasil Penelitian Yang Relevan Sesuai Model Pembelajaran Discovery ... 48
Tabel 3.1 Two Group Pretets-Postest Design ……….. 62
Tabel 3.2 Desain Penelitian ANAVA ………... 63
Tabel 3.3 Indikator Tes Kreativitas Siswa ……… 67
Tabel 3.4 Spesifikasi Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi …………. 68
Tabel 3.5 Interpretasi Nilai Koefisien Korelasi (r)………..……. 70
Tabel 3.6 Interpretasi Derajat Reliabilitas .……… 70
Tabel 3.7 Analisis Varians (ANAVA) Dua Jalur Rumus Untuk Jumlah Sampel Yang Sama ……….. 78
Tabel 4.1. Data Pretes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ……… 81
Tabel 4.2. Uji Normalitas Data Pretes ……….. 82
Tabel 4.3. Uji Homogenitas Data Pretes ……….. 83
Tabel 4.4. Uji Kesamaan Pretes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ……… 84
Tabel 4.5. Data Hasil Tes Kreativitas ………... 85
Tabel 4.6. Pengelompokan Siswa Berdasarkan Tingkat Kreativitas ………... 86
Tabel 4.7. Data Postes Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ……….. 89
Tabel 4.8. Tabel Uji Normalitas Data Postes ……… 90
Tabel 4.9. Tabel Uji Homogenitas Data Postes ………. 90
Tabel 4.10. Data Postes Berdasarkan Tingkat Kreativitas ………. 91
Tabel 4.11. Data Postes Kelas Kontrol Berdasarkan Tingkat Kreativitas ……. 92
Tabel 4.12. Data Postes Kelas Eksperimen Berdasarkan Tingkat Kreativitas ... 93
Tabel 4.13. Desain Anava Dua Jalur ……….. 94
xi
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 3.1. Skema Prosedur Penelitian ………. 66 Gambar 4.1. Histogram Distribusi Normal Pretes Kelas Eksperimen …….... 82 Gambar 4.2. Histogram Distribusi Normal Pretes Kelas Kontrol …………... 83 Gambar 4.3. Tidak Ada Interaksi Antara Model Pembelajaran dan
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Silabus ………..………. 116
Lampiran 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pertemuan-1………. 118
Lampiran 3. Bahan Ajar Pertemuan-1 ……….. 129
Lampiran 4. Lembar Kerja Siswa (LKS) Pertemuan-1 ………... 140
Lampiran 5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pertemuan-2………. 145
Lampiran 6. Bahan Ajar Pertemuan-2 ……….. 155
Lampiran 7. Lembar Kerja Siswa (LKS) Pertemuan-2 ………... 173
Lampiran 8. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pertemuan-3……… 178
Lampiran 9. Bahan Ajar Pertemuan-3 ……….. 189
Lampiran 10. Lembar Kerja Siswa (LKS) Pertemuan-3 ………... 198
Lampiran 11. Kisi-kisi Instrumen Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika Pre-tes dan Pos-tes ……… 202
Lampiran 12. Lembar Validasi Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi….. 207
Lampiran 13. Analisis Validitas dan Reliabilitas Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Dan Tes Kreativitas……... 211
Lampiran 14. Analisis Tingkat Kesukaran Tes ………. 213
Lampiran 15. Analisis Daya Pembeda Tes ……… 214
Lampiran 16. Kisi-kisi Tes Kreativitas Fisika ……….. 215
Lampiran 17. Rubrik Penilaian Instrumen Kreativitas ………. 220
Lampiran 18. Lembar Validasi Tes Kreativitas ……… 222
Lampiran 19. Tabulasi Data Pretes ……… 228
Lampiran 20. Tabulasi Data Tes Kreativitas ………. 230
Lampiran 21. Tabulasi Data Postes ……… 232
Lampiran 22. Tabulasi Pengelompokan Data Postes Berdasarkan Data Kreativitas ………. 234
Lampiran 23. Analisis Statistik Data Pretes ………. 236
xiv
Lampiran 25. Uji Hipotesis dengan Anava Dua Jalur dan Uji Scheffe …... 240 Lampiran 26. Dokumentasi Penelitian ……….. 243 Lampiran 27. Contoh Lembar Jawaban Kemampuan Berpikir Tingkat
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa :
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari uraian tersebut jelas bahwa pendidikan tidak dapat lepas dari masalah
pembelajaran karena pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan.
Menurut Hamid (2014) bahwa “suatu sistem pendidikan disebut bermutu dari segi
proses dan hasil pembelajaran adalah jika proses belajar mengajar berlangsung
secara efektif dan siswa mengalami proses pembelajaran bermakna. Jadi jika
proses pembelajaran semakin efektif dan bermakna maka semakin baik hasil
belajar yang dicapai siswa”.
Guru memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan kualitas
pembelajaran dalam hal merancang berbagai peristiwa pembelajaran. Guru
diharapkan dapat mengembangkan berbagai alternatif pendekatan dalam
pengelolaan proses belajar mengajar untuk menghasilkan suatu proses belajar
mengajar yang inovatif. Hal ini sesuai dengan prinsip pengembangan yang
terdapat di dalam Permendikbud nomor 61 tahun 2014 tentang KTSP pada
Pendidikan Dasar dan Menengah, yaitu “berpusat pada potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya pada masa kini dan
yang akan datang”.
Dengan demikian proses pembelajaran akan lebih interaktif, menyenangkan
dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam mencari tahu dan
menyelesaikan masalah secara bekerjasama dan berkolaborasi. “Sehingga dapat
menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif melalui
penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi”
(Permendikbud nomor 59 tahun 2014 Tentang Kurikulun 2013 Sekolah
Menengah Atas/Madrasah Aliyah). Hal ini merupakan salah satu upaya perubahan
yang dilakukan oleh pemerintah dengan menyesuaikan tujuan pendidikan nasional
agar insan Indonesia dapat bersaing dan cakap dalam memecahkan masalah dalam
rangka memasuki abad ke 21 yang sarat akan persaingan global dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi yang kian pesat.
Pada kenyataannya, setelah memasuki abad ke 21, Indonesia masih
menunjukkan kualitas sumber daya manusia yang masih rendah. Rendahnya
sumber daya manusia ini, salah satunya diakibatkan oleh rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai riset dan survey
internasional yang melibatkan Indonesia. Seperti yang dilaporkan UNESCO pada
tahun 2012 Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 120 negara berdasarkan
penilaian Education Development Index (EDI) atau Indeks Pembangunan
Pendidikan. Total nilai EDI itu diperoleh dari rangkuman perolehan empat
kategori penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf
pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan gender, angka
Development Programme ( UNDP ) tahun 2011 juga telah melaporkan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM ) atau Human Development Index (HDI) Indonesia
mengalami penurunan dari peringkat 108 pada 2010 menjadi peringkat 124 pada
tahun 2012 dari 180 negara. Menurut Qory (2013) bahwa “pada tanggal 14 Maret
2013 naik tiga peringkat menjadi urutan ke-121 dari 185 negara”. Data ini
meliputi aspek tenaga kerja, kesehatan, dan pendidikan. Dilihat dari kasaran
peringkatnya, memang menunjukkan kenaikan, tetapi jika dilihat dari jumlah
negara partisipan, hasilnya tetap saja Indonesia tidak naik peringkat.
Rendahnya sumber daya manusia ini, salah satunya diakibatkan oleh
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Rendahnya kualitas pendidikan dan
sumber daya manusia Indonesia juga ditunjukkan oleh berbagai riset dan survei
Internasional yang melibatkan Indonesia. Indonesia juga mengikuti survei
internasional mengenai kemampuan literasi sains dan kemampuan kognitif pada
mata pelajaran fisika yaitu PISA yang dikoordinasikan oleh OECD yang
berkedudukan di Paris, Perancis dan TIMSS yang dikoordinasikan oleh IEA yang
berkedudukan di Amsterdam, Belanda. “Skor mata pelajaran sains hasil PISA
yang diadakan pada tahun 2009 dan 2012 berturut-turut Indonesia menduduki
peringkat 60 dari 65 negara peserta (Tim PISA Indonesia) dan 64 dari 65 negera
peserta” (Mailizar, 2013). Sedangkan Hasil TIMSS tahun 2007 dan 2011
berturut-turut menunjukkan bahwa “rata-rata skor pada mata pelajaran fisika berberturut-turut-berturut-turut
426 dan 397 dengan skor rata-rata internasional yaitu 500” (Martin, et al., 2012).
Terlihat bahwa dari hasil TIMSS 2007 dan 2011 untuk mata pelajaran fisika
Berdasarkan data rata-rata skor untuk domain kognitif pada konten sains
khususnya mata pelajaran fisika pada survey TIMSS pada tahun 2007 dan 2011,
“rata-rata skor siswa Indonesia untuk proses kognitif knowing (mengetahui),
applying (menerapkan) dan reasoning (penalaran) mengalami penurunan rata-rata skor berturut turut sebesar 22, 23 dan 17” (Martin, et al., 2012). Dari data tersebut
tampak bahwa nilai siswa Indonesia pada mata pelajaran fisika dari tahun ke
tahun mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir
tingkat tinggi fisika siswa rendah.
Permendikbud nomor 59 tahun 2014 Tentang Kurikulun 2013 Sekolah
Menengah Atas/Madrasah Aliyah) menyatakan bahwa:
Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang merupakan usaha sistematis dalam rangka membangun dan mengorganisasikan pengetahuan dalam bentuk penjelasan-penjelasan yang dapat diuji dan mampu memprediksi gejala alam. Dalam memprediksi gejala alam diperlukan kemampuan pengamatan yang dilanjutkan dengan menyelidikan melalui kegiatan metode ilmiah. Ilmu Fisika merupakan (1) proses memperoleh informasi melalui
metode empiris (empirical method); (2) informasi yang diperoleh
melalui penyelidikan yang telah ditata secara logis dan sistematis; dan (3) suatu kombinasi proses berpikir kritis yang menghasilkan informasi yang dapat dipercaya dan valid.
Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa proses pembelajaran pada mata
pelajaran fisika membutuhkan proses penyelidikan yang meliputi cara berpikir,
sikap, dan langkah-langkah kegiatan saintis seperti : observasi, pengukuran,
merumuskan menguji hipotesis, mengumpulkan data, bereksperimen, dan prediksi
Mariati (2012) berpendapat bahwa:
Kenyataannya di lapangan proses pembelajaran fisika di kelas cenderung bersifat analitis, siswa cenderung menghafal rumus namun kurang memaknai untuk apa dan bagaimana rumus itu digunakan, metode ceramah dan tanya jawab merupakan metode yang biasa digunakan oleh guru dengan urutan menjelaskan, memberi contoh, bertanya, latihan dan memberikan tugas.
Hal yang sama juga masih peneliti lakukan di salah satu SMA di Kota
Langsa, Propinsi Aceh, dimana peneliti sendiri adalah guru di sekolah tersebut.
Selama ini proses pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti terutama pada materi
pokok dinamika rotasi, masih menggunakan metode ceramah dan tanya jawab dan
rata-rata dalam satu semester hanya sekali melakukan praktikum di laboratorium.
Hal ini disebabkan karena alat-alat praktikum fisika di sekolah tersebut tidak
memadai. Mengenai keadaan alat-alat praktikum bahwa “berdasarkan data
Balitbang Depdiknas pada 8.886 SMA Negeri/Swasta, memiliki laboratorium
IPA dengan keadaan alat/bahan lengkap 27%, dan bahan belum lengkap 73%,
penggunaan laboratorium IPA dengan frekuensi tinggi 36%, sedang 31%, rendah
33% serta yang memiliki laboran 17,72%” (Suprayitno, 2011).
Hal senada juga dinyatakan Burhan dalam Suprayitno (2011) berdasarkan
hasil pengamatan dan penelitian dilapangan bahwa “praktikum yang telah
direncanakan, sering tertunda pelaksanaannya karena beberapa bahan dan alat
yang tersedia jumlahnya kurang sesuai dengan kebutuhan kegiatannya”. Didukung
juga dengan hasil survey yang melaporkan bahwa alat dan bahan praktik IPA di
SMA/MA hanya diperagakan untuk beberapa topik saja, kondisi ini
mengakibatkan laboratorium IPA kurang efektif dan belum menunjang
peningkatan kualitas pendidikan di sekolah (Suprayitno, 2011; Kadarohman,
Sehingga pembelajaran di kelas cenderung bersifat teacher-centered yang
membuat siswa kurang memiliki peran aktif dalam proses dan pengkonstruksian
pengetahuan dalam dirinya. “Akibatnya siswa cenderung hanya menghafalkan
fakta-fakta dan konsep-konsep tanpa mengetahui bagaimana fakta dan konsep itu
terbentuk” (Irham, 2015). Dari hasil wawancara pada teman sejawat sebagai
sesama guru fisika diperoleh juga fakta bahwa guru cenderung melaksanakan
pembelajaran konvensional dengan metode ceramah dan tanya jawab dengan
sesekali melakukan demonstrasi di depan kelas.
Selanjutnya, penggunaan bahan ajar berbentuk modul yang lebih didominasi
oleh rumus – rumus praktis dan kumpulan soal-soal ditambah dengan buku teks
yang diperoleh dari penerbit dimana bahan ajar tersebut belum mengajak siswa
untuk menemukan penerapan yang sebenarnya. Hal ini membuat rendahnya hasil
belajar fisika siswa dibuktikan dengan ujian formatif yang dilakukan terhadap
siswa pada materi pokok dinamika rotasi tahun pelajaran 2012/2013 terdapat 75%
dan pada tahun pelajaran 2013/2014 mengalami penurunan menjadi 73% siswa
yang tidak tuntas KKM dan harus diremedial. Hasil tersebut, menunjukkan bahwa
kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika siswa masih rendah, karena tidak
diaktifkan selama kegiatan pembelajaran.
Sejalan dengan temuan di atas, maka ditemukan juga permasalahan
mengenai kreativitas siswa. Hasil tes kreativitas yang dilakukan pada awal
semester ganjil di kelas XI IPA – 1 tahun pelajaran 2015/2016 diperoleh bahwa
51% siswa memiliki nilai kreativitas di atas rata-rata dan 49% siswa memiliki
nilai kreativitas di bawah rata-rata. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kreativitas
bersumber dari pelaksanaan pembelajaran konvensional di sekolah yang bersifat
transfer pengetahuan dari guru ke siswa dan menyebabkan siswa kurang aktif
dalam proses dan pengkonstruksian pengetahuan. Hal ini didukung oleh
pernyataan bahwa “ pembelajaran konvensional melibatkan cakupan konteks dan
hafalan dari siswa; tidak melibatkan siswa dalam berpikir kreatif dan partisipasi
dalam kegiatan kreatif serta membuat siswa pasif di kelas” (Ahmad & Mahmood,
2010; Khalid & Azeem, 2012).
Berdasarkan fakta di atas, diperlukan perubahan serta inovasi dalam
kegiatan pembelajaran guna meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi
siswa. Peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi ini dalam proses
pembelajaran merupakan suatu upaya yang penting dilakukan. Hal ini sesuai
dengan tujuan dari pendidikan nasional menurut UU RI Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu “untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
“Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan proses berpikir yang
kompleks” (Resnick, 1987; Ramirez & Ganaden, 2008; Tan & Halili, 2015).
Menurut Ramirez & Ganaden (2008) dalam studinya bahwa “proses kognitif
yang melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi yaitu proses menganalisis,
mengevaluasi dan mencipta yang dideskripsikan oleh Anderson & Krathwohl
(2001)”. Adapun perbedaan berpikir tingkat tinggi dengan pengajaran rutin,
(1) Berpikir tingkat tinggi tidak rutin / tidak sepenuhnya diketahui sebelumnya, sedangkan pengajaran rutin bersifat rutin / hasil direncanakan terlebih dahulu; (2) Berpikir tingkat tinggi bersifat kompleks, sedangkan pengajaran rutin tujuannya jelas; (3) Berpikir tingkat tinggi menghasilkan beberapa solusi/sudut padang, sedangkan pengajaran rutin menghasilkan satu solusi; (4) Berpikir tingkat tinggi melibatkan ketidakpastian, sedangkan pengajaran rutin mencari kepastian; (5) Berpikir tingkat tinggi melibatkan proses belajar bermakna, sedangkan pengajaran rutin guru yang melakukan; (6) Berpikir tingkat tinggi menilai usaha dan hasil, sedangkan pengajaran rutin hanya menilai hasil (Fisher dalam Tan & Halili, 2015).
Untuk melakukan pembelajaran berpikir tingkat tinggi, dibutuhkan peran
aktif mengajar dengan penekanan pada pemantauan dan mempertahankan
keterlibatan nyata dari semua siswa (Tobin, at al., dalam Ramirez dan Ganaden,
2008). Keterlibatan siswa ini dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
berpikir tingkat tinggi setelah diterapkannya program pembelajaran berdasarkan
pengalaman dan pegamatan (experiential learning program) (Fisher, at al., 1998).
Dalam proses pembelajaran ini siswa melakukan penyelidikan mereka sendiri dan
guru mendorong siswa untuk menjadi anggota aktif dan kreatif dalam kelompok
belajar (Jackson, 2000).
Salah satu model pembelajaran yang melibatkan siswa aktif adalah model
pembelajaran discovery. Model pembelajaran ini melibatkan siswa aktif untuk
mengembangkan keterampilan tingkat tinggi guna membangun pemahaman yang
mendalam tentang konsep-konsep utama (Castronova, 2014). Hal senada juga
ditemukan bahwa discovery learning melibatkan siswa dalam proses berpikir
tingkat tinggi (King, et al., 2012; Joolingen, 1999; Holmes & Hoffman, 2000;
Selanjutnya, berpikir tingkat tinggi melibatkan berbagai proses berpikir
yang diterapkan pada situasi yang kompleks dan memiliki beberapa variabel
(King, et al., 2012). Hal ini didukung dengan temuan bahwa penerapan discovery
learning harus mempertimbangkan domain yang kompleks agar siswa terlibat dalam proses penemuan (Joolingen & De Jong, 1997; Bravo, et al., 2002; Swaak,
et al., 2004; Joolingen, et al., 2004).
Djiwandono (2002) menyatakan bahwa :
Discovery learning merupakan salah satu model pengajaran menurut teori kognitif yang berpengaruh dari Jerome Bruner. Bruner berpendapat bahwa “peranan guru harus menciptakan situasi, dimana siswa dapat belajar sendiri dari pada memberikan suatu paket yang berisi informasi atau pelajaran kepada siswa”. Selanjutya, Bruner menyarankan siswa harus belajar melalui kegiatan mereka sendiri dengan memasukkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dimana mereka harus didorong untuk mempunyai pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen dan membiarkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip bagi mereka sendiri.
Pernyataan tersebut didukung dengan temuan bahwa discovery learning
meningkatkan proses belajar mandiri dimana peserta didik membentuk ide-ide
baru atau konsep baru berdasarkan pengetahuan melalui proses sendiri (Joolingen
, 1999; Jew, 2008; Tran, et al., 2014).
Selain itu, ada beberapa keuntungan penting dari discovery learning
menurut Gelstrap dan Martin dalam Djiwandono (2002) yaitu :
Model pembelajaran discovery ini telah diteliti oleh beberapa peneliti
sebelumnya, dengan hasil sebagai berikut : (1) Alat kognitif berbasis discovery
learning sebagai instrumen yang mendukung pembelajaran yang berfungsi sebagai penghubung kecerdasan siswa, sehingga dapat mendukung keterlibatan
proses berpikir tingkat tinggi siswa (Joolingen, 1999); (2) Discovery Learning
dapat meningkatkan keterlibatan dan relevansi konten untuk siswa dalam
pembelajaran berbasis kasus; belajar insidental; belajar dengan menjelajahi;
belajar dengan refleksi; dan pembelajaran berbasis simulasi, yang dapat
melibatkan siswa dalam proses berpikir tingkat tinggi (Holmess & Hoffman,
2000); (3) Kolaborasi siswa dalam proses discovery learning berdampak positif
terhadap pengetahuan tingkat tinggi siswa (Gijlers & De Jong, 2004); (4)
Collaborative discovery learning of Model design dapat membantu siswa
memecahkan domain yang memiliki masalah kompleks selama siswa belajar
mendesain kegiatan sendiri dalam kelompok (Bravo, et al., 2002); (5) Sulastri, et
al., (2014) menemukan bahwa “hasil penelitian yang merujuk pada hasil uji t
diperoleh simpulan bahwa “terdapat perbedaan kemampuan berpikir tingkat tinggi
antara penerapan model discoverylearning dan pembelajaran konvensional”. Dari
beberapa hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
discovery berpengaruh terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Vahlia, et al., (2013) menyatakan bahwa “pembelajaran di kelas tidak hanya
dipengaruhi model pembelajaran saja, namun tingkat kreativitas juga diduga
mempengaruhi hasil belajar siswa”. Hal senada juga dikatakan oleh Hanggara, et
adalah kreativitas”. Hal ini disebabkan karena kreativitas itu diperlukan untuk
menghadapi perubahan-perubahan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan.
Menurut Abu Hamid dalam Vahlia, et al., (2013) berpendapat bahwa:
Dalam kegiatan belajar anak golongan kreatif lebih mampu menemukan masalah dan mampu memecahkan masalah”. Secara universal anak mempunyai tingkat kreativitas yang berbeda-beda, ada yang sudah mempunyai tingkat kreativitas yang tinggi namun ada juga yang masih rendah.
Kreativitas berhubungan dengan proses discovery dan pengalaman dengan
discovery meningkatkan kreativitas dengan mendorong siswa untuk memanipulasi lingkungan dan menghasilkan ide-ide baru (Treffinger dalam Fasko, 2010). Hal
senada juga dinyatakan bahwa discovery learning mendorong penciptaan
pengetahuan kreatif (Jew, 2008). Hal ini didukung dengan temuan bahwa
discovery learning dapat mengembangkan kreativitas siswa (Gholamian, 2013; Vahlia, et al., 2013; Tran, et al., 2014; Rudyanto, 2014).
Selanjutnya, menurut Vahlia et al. (2013) bahwa “kreativitas siswa
mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam mengoptimalkan proses berpikir
siswa”. Kreativitas melibatkan berpikir divergen dan konvergen untuk
menghasilkan ide-ide baru, mampu menghubungkan peristiwa yang tidak terkait,
mengenali makna secara kebetulan, dan menghasilkan solusi yang baik,
proses-proses ini berikaitan dengan berpikir tingkat tinggi (King, et al., 2012). Hasil
pengamatan ditemukan bahwa terdapat hubungan antara kegiatan keatif dengan
berpikir tingkat tinggi (Tan & Halili, 2015; Davis dalam Ramirez & Ganaden,
2008). Didukung juga oleh temuan bahwa kreativitas berhubungan secara
signifikan dengan prestasi akademik (Karnes dalam Fasco, 2000; Munandar,
Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan skor rata-rata tes kemampuan berpikir tingkat tinggi antara kelas
dengan pembelajaran melalui kegiatan kreatif dan kelas tanpa pembelajaran
kreatif (Ramirez & Ganaden, 2008). Hal ini sesuai dengan pernyataan Getzels &
Jackson dalam Slameto (2010) bahwa “siswa yang tinggi tingkat kecerdasannya
tidak selalu menunjukkan tingkat kreativitas yang tinggi, dan banyak siswa yang
tinggi tingkat kreativitasnya tidak selalu tinggi tingkat kecerdasanya”.
Memperhatikan pentingnya kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika siswa
serta kelebihan dari model pembelajaran discovery dan kreativitas siswa. Maka
pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Efek Model Pembelajaran Discovery Dan Kreativitas Terhadap
Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika Siswa”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latarbelakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa
masalah yaitu :
1. Rata-rata skor internasional pada matapelajaran fisika mengalami penurunan,
dari hasil TIMSS tahun 2007 dan 2011.
2. Pembelajaran fisika di kelas cenderung menggunakan metode ceramah dan
tanya jawab, sehingga pembelajaran lebih bersifat teacher-centered yang
membuat siswa kurang memiliki peran aktif dalam proses dan
pengkonstruksian pengetahuan dalam dirinya.
3. Penggunaan bahan ajar yang lebih didominasi oleh rumus – rumus praktis dan
soal-soal, sehingga tidak mengajak siswa untuk menemukan penerapan yang
4. Proses pembelajaran fisika di kelas cenderung bersifat analitis, siswa
cenderung menghafal rumus namun kurang memaknai untuk apa dan
bagaimana rumus itu digunakan.
5. Alat-alat praktikum di sekolah tidak memadai.
6. Proses pembelajaran fisika di sekolah belum menggunakan model
pembelajaran discovery untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat
tinggi siswa.
7. Adanya perbedaan kreativitas yang dimiliki oleh siswa.
8. Kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa pada mata pelajaran fisika masih
rendah.
1.3. Batasan Masalah
Dari identifikasi masalah yang diuraikan di atas dan disebabkan adanya
keterbatasan waktu, dana, tenaga, dan perlu dilakukan penelitian secara lebih
mendalam, maka penelitian ini dibatasi pada : (1) model pembelajaran discovery,
(2) kreativitas , dan (3) kemampuan berpikir tingkat tinggi.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah yang diuraikan di atas,
maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Apakah kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika siswa menggunakan model
pembelajaran discovery lebih baik dibandingkan pembelajaran konvensional ?
2. Apakah kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika siswa yang memiliki kategori
3. Apakah ada interaksi model pembelajaran discovery dan pembelajaran
konvensional dengan kreativitas terhadap kemampuan berpikir tingkat tinggi
fisika siswa ?
1.5.Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah dan
rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis yang mana lebih baik kemampuan berpikir tingkat tinggi
fisika siswa menggunakan model pembelajaran discovery dengan
pembelajaran konvensional.
2. Untuk menganalisis yang mana lebih baik kemampuan berpikir tingkat tinggi
fisika siswa yang memiliki kategori kreativitas di atas rata-rata dengan
kreativitas di bawah rata-rata.
3. Untuk menganalisis interaksi model pembelajaran discovery dan
pembelajaran konvensional dengan kreativitas terhadap kemampuan berpikir
tingkat tinggi fisika siswa.
1.6. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan agar
peneliti lebih terampil dalam menggunakan model pembelajaran
b. Bagi siswa, dapat membangun pengalamannya sendiri melalui
kegiatan penyelidikan atau proses ilmiah.
c. Bagi guru, dapat dijadikan alternatif pembelajaran sehinga
diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran fisika.
d. Bagi sekolah, sebagai kontribusi dalam meningkatkan kinerja guru
fisika yang ada disekolah tersebut.
2. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan acuan, perbandingan dan masukan untuk
mengembangkan penelitian sejenis dengan menggunakan model
pembelajaran discovery dan konsep yang berbeda.
b. Sebagai kontribusi dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
untuk mengembangkan variabel-variabel yang berperan dalam
meningkatkan peran model pembelajaran.
1.7. Defenisi Operasional
Untuk memperjelas istilah dalam penelitian ini maka dibuat suatu defenisi
operasonal sebagai berikut :
1. Model pembelajaran discovery menurut Veermans (2003) adalah sebuah
model pembelajaran konstruktivis yang berhubungan dengan hasil dan proses
penemuan pengetahuan melalui fase orientatiton, hypothesis generation,
hypothesis testing, dan conclusion.
2. Kreativitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kreativitas yang
dikemukakan Munandar (2012) bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk
memadukan informasi yang tampaknya tidak berhubungan dan mencetuskan
solusi-solusi baru atau gagasan-gagasan baru yang menunjukkan kelancaran
(fluency), kelenturan (flexibility), orisinalitas (originality) dan elaborasi dalam
berpikir.
3. Kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi berdasarkan proses-proses kognitif
yang dikemukakan oleh taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Anderson
dan Krathwohl (2001), yaitu kemampuan menganalisis, mengevaluasi dan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis penelitian dan pembahasan maka dapat
diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Ada perbedaan kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika siswa yang
dibelajarkan dengan model pembelajaran discovery dan pembelajaran
konvensional pada mata pelajaran fisika. Hal ini ditunjukkan dengan hasil uji
anava dua jalur dengan perolehan nilai F hitung sebesar 29.76 lebih besar dari
F tabel sebesar 4.001, dengan nilai signifikansi 0.000 < 0.05. Ini berarti bahwa
kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika siswa dengan model pembelajaran
discovery lebih baik dari pada pembelajaran konvensional.
2. Ada perbedaan kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika pada kelompok siswa
dengan kreativitas di atas rata-rata dan kelompok siswa dengan kreativitas di
bawah rata-rata. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji anava dua jalur dengan
perolehan nilai F hitung sebesar 5.123 lebih besar dari F tabel sebesar 4.001,
dengan nilai signifikansi 0.027 < 0.05. Ini berarti bahwa kemampuan berpikir
tingkat tinggi fisika siswa dengan kreativitas di atas rata-rata lebih baik dari
pada siswa dengan kreativitas di bawah rata-rata.
3. Tidak ada interaksi antara model pembelajaran discovery dan pembelajaran
konvensional dengan tingkat kreativitas dalam mempengaruhi kemampuan
berpikir tingkat tinggi fisika siswa. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji anava dua
jalur dengan perolehan nilai F hitung sebesar 0.189 lebih kecil dari F tabel
yaitu 4.001 dengan nilai signifikansi sebesar 0.665 > 0.05. Ini berarti bahwa
kreativitas tidak berperan baik pada penerapan model pembelajaran discovery
maupun pembelajaran konvensional terhadap kemampuan berpikir tingkat
tinggi fisika.
1.2. Saran
Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan penelitian ini, maka peneliti
memiliki beberapa saran untuk menerapkan model pembelajaran discovery
sebagai berikut :
1. Pendidik hendaknya dapat menerapkan model pembelajaran discovery dengan
memperhatikan bahan ajar, alat dan bahan yang diperlukan dalam
mengoptimalkan pelaksanaan model pembelajaran ini.
2. Model pembelajaran discovery efektif dan agar dijadikan sebagai alternatif
model pembelajaran yang diterapkan di sekolah untuk meningkatkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika.
3. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengalokasikan waktu lebih banyak
sehingga pelaksanaan penelitian dengan model pembelajaran discovery lebih
optimal.
4. Penerapan model pembelajaran discovery tidak harus dilihat kreativitas
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zaheer & Mahmood, Nasir. 2010. Effects of Cooperative Learning vs. Traditional Instruction on Prospective Teachers’ Learning Experience and
Achievement. Journal of Faculty of Educational Science, 43(1): 151-164.
Anderson, L.W. & Krathwohl, D. R. 2001. Kerangka Landasarn Untuk
Pembelajaran, Pengajaran, dan asesmen. Terjemahan oleh Agung
Prihanto. 2010. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Arikunto, S. 2013. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, S. 2015. Dasar – Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arinawati. E., Slamet. Y., & Chumdari. Tanpa tahun. Pengaruh Model
Pembelajaran Discovery Learning Terhadap Hasil Belajar Matematika
Ditinjau Dari Motivasi Belajar. Tidak diterbitkan. Surakarta: PGSD FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Arends, R. I. 2007. Learning To Teach. Terjemahan oleh Helly Prajitno & Sri
Mulyantini. 2008. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Balim, Ali Gunay. 2009. The Effects of Discovery Learning on Students’ Success
and Inquiry Learning Skills. Eurasian Journal of Educational Research,
35: 1-20.
Bolandifar, S & Noordin, N. 2013. Investigating The Relationship Between
Creativity and Academic of Malaysian Undergraduates. Jurnal Teknologi
(Social Sciences), 65(2): 101-107.
Bravo, Crescencio., Redondo, Miguel A., Ortega, Manuel., and Verdejo, M. Felisa. 2002. Collaborative Discovery Learning Of Model Design.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 2363: 671-680.
Bruner, J. 1997. On Knowing (Essays For The Left Hand). Cambridge & London:
The Belknap Press of Harvard University Press.
Brookhart, S. M. 2010. How To Assess Higher-Order Thinking Skills In Your
Classroom. Virginia USA: ASCD Alexandria.
Craft, A. 2005. Creativity in Schools: Tensions and dilemmas. New York:
Routledge, Taylor & Fracis Group.
Castronova, Joyce . A. 2014. Discovery Learning for the 21st Century: What is it
and how does it compare to traditional learning in effectiveness in the 21st
Century. Valdosta.edu, 1(1): 1-12.
Deta, U.A., Suparmi & Widha, S. 2013. Pengaruh Metode Inkuiri Terbimbing dan Proyek, Kreativitas, serta Keterampilan Proses Sains Terhadap Hasil
Belajar Siswa. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 9(2013): 28-34.
Fasco, Daniel. Jr. 2001. Education and Creativity. Creativity Research Journal,
3(4): 317-327.
Fisher, N., Gerdes, K., Logue, T., Smith, L. & Zimmerman, I. (1998). Improving
Students’Knowledge and Attitudes of Science Through The Use of
Hands-on Activities. Disertasi. Chicago: Saint Xavier University Sky Light
Training & Publishing Field-Based Masters Program.
Gholamian, Ali. 2013. Studying The Effect Of Guided Discovery Learning On Reinforcing The Creative Thinking Of Sixth Grade Girl Students In Qom
During 2012-2013 Academic Year. Journal Of Applied Science And
Agriculture, 8(5): 576-584.
Gijlers, Hannie., De Jong, Ton. 2005. The Relation Between Prior Knowledge and
Students’ Collaborative Discovery Learning Processes. Journal Of
Research In Science Teaching, 42(3): 264-282.
Gimin. 2009. Perbedaan Pengaruh Metode Pembelajaran Eksperimen Model SEQIP dan Konvensional Terhadap Hasil Belajar IPA Ditinjau Dari Kreativitas Siswa. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret.
Hamid, A. 2014. Teori Belajar dan Pembelajaran. Medan: Unimed.
Hanggara., Budiyono dan Suyono. 2013. Eksperimentasi Model Pembelajaran
Problem Based Instruction, Inkuri Terbimbing Dan Konvensional Pada Materi Pokok Bangun Ruang Sisi Datar Ditinjau Dari Kreativitas Siswa
SMP Negeri Se- Kabupaten Blora. Tidak diterbitkan. Surakarta: Program
Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret.
Holmes, Tracy Bicknell and Hoffman, Paul Seth. 2000. Elicit, Engagge,
experience, Explore: Discovery Learning In Library Instruction. University
of Nebraska - Lincoln, 5(1): 313-322.
Jainuri, M. (2012). Pembelajaran Konvensional. Academia.edu, hlm 1-3.
Jew, Shalin Hai. 2008. Scaffolding Discovery Learning Spaces. MERLOT
Journal of Online Learning and Teaching, 4(4): 533-548.
Joolingen, Wouter. V. 1999. Cognitive Tools For Discovery Learning.
International Journal Of Artificial Intelligence In Education, 10: 385-397.
Joolingen. V, Wouter . R & De Jong, Tan. 1997. An Extended Dual Search Space
Model Of Scientific Discovery. Instructional Science, 25: 307-346.
Online Learning Environment for Collaborative Scientific Discovery
Learning. Computer In Human Behavior, 21: 671-688.
Joyce, Bruce., Weil, Marsha., & Calhoun, Emily. 2009. Models of Teaching.
Terjemahan oleh Achmad Fawaid & Ateilla Mirza. 2011. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Kadarohman, Asep. 2007. Manajemen Laboratorium IPA. Makalah disajikan
pada Rapat Koordinasi Program STEP-2 di Bandung, Departemen Agama Republik Indonesia, Bandung, 8-10 Mei.
Khalid, Abida & Azeem, Muhammad. 2012. Constructivist Vs Traditional:
Effective Instructional Approach in Teacher Educationa. International
Journal of Humanities and Social Science, 2(5): 171-177.
King, FJ., Goodson, Ludwika., Rohai, Faranak. 2012. Higher Order Thinking
Skill. Florida: Center for Advancement of Learning and Assessment,
Florida State University.
Kresma, Eka Nella. 2014. Perbandingan Pembelajaran Konvensional Dan Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Titik Jenuh Siswa Maupun
Hasil Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Matematika. FKIP- Universitas
Katolik Widya Mandala Madiun, 1(1): 152-164.
Kemdikbud. 2013. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning).
Jakarta: Kemdikbud.
Kemdikbud. 2014. Permendikbud RI No. 59 Tahun 2014: Kurikulum 2013
SMA/MA. Jakarta: Kemdikbud.
Kluge, A. 2011. Interaction Design and Science Discovery Learning in The Future
Classroom. Universitetsforlaget, Nordic Journal of Digital Literacy, 6(03):
157-173.
Mailizar. 2013. PISA 2012: Pembelajaran Untuk Indonesia. Wordpress, hlm 1-2.
Mariati, P.S. 2012. Pengembangan Model Pembelajaran Fisika Berbasis Problem
Solving Untuk Meningkatkan Kemampuan Metakognisi Dan Pemahaman
Konsep Mahasiswa. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 8: 52-160.
Martin, M.O., Mullis I.V.S., Foy, Pierre., & Stanco, G. M. 2012. TIMSS 2011
International Results in Science. Boston Colledge: TIMSS & PIRLS
International Study Center.
Munandar, Utami. 2012. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Nami, Yaghoob., Marsooli, Hossein & Ashouri, Maral. 2014. The Relationship
Between Creativity And Academic Achievement. Procedia-Social and
Behavior sciences, 114(2014): 36-39.
Ramadhani, I. 2015. Efek Model Pembelajaran Berbasis Proyek Dengan Strategi Think Talk Write Dan Kreativitas Ilmiah Terhadap Kemampuan Berpikir
Tingkat Tinggi Fisika SMA Negeri 1 Babalan. Tesis tidak diterbitkan.
Medan : Program Pascasarjana UNIMED.
Ramirez, Rachel Patricia B. & Ganaden Mildred S. (2008). Creative Activities
and Students’ Higher Order Thinking Skills. Education quarterly, 66(1):
22-33.
Resnick, L. B. 1987. Education and Learning to Think. Washington, D.C:
National Academy Press.
Riaz, M.N. 1989. Creativity and Psychological Differentiation In High and Low
Achieving Science Students. Pakistan Journal Of Psychological Research,
4(3-4): 81-92.
Rudyanto, H. E. 2014. Model Discovery Learning Dengan Pendekatan Saintifik
Bermuatan Karakter Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif.
Tidak diterbitkan. Madiun: Program Studi PGSD IKIP PGRI Madiun.
Sani, R. A. 2013. Inovasi Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara.
Slameto. 2010. Belajar & Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sebayang, S.R. 2015. Efek Model Pembelajaran Discovery dan Pemahaman
Konsep Awal Terhadap Hasil Belajar fisika SMA. Tesis tidak diterbitkan.
Medan: Program Pascasarjana UNIMED.
Stave, K. A. 2011. Using Simulations for Discovery Lerning about Enviromental
Accumulations. Proceedings of the 29th International Conference of the
System Dynamics Society Washington DC, Washington, DC, July 24-28, 2011.
Sudjana, N. 2014. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sukiman. 2012. Pengembangan Sistem Evaluasi. Yogyakarta: Insan Madani.
Sulasti, Indrowati. M., & Nurmiyati. 2014. Perbandingan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Antara Penerapan Model Discovery Learning dengan Memanfaatkan Potensi Ekosistem Pesisir dan Pembelajaran Konvensional
pada Siswa Kelas X SMAN 1 Tanjungsar. FKIP UNS, 1(1): 1 - 9.
Suprayitno, Totok. 2011. Pedoman Pembuatan Alat Peraga Fisika Untuk SMA.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Svinicki, Marilla D. 1998. A Theoretical Foundation For Discovery Learning. The
Swaak, J., De Jong, Ton., & Joolingen van, Wouter R. 2004. The Effects of Discovery Learning and Expository Instruction on The Acquisition of
Definitional and Intuitive Knowledge. Journal of Computer Assisted
Learning, 20: 225-234.
Tan, Shin .Y., Halili, Siti. H. 2015. Effective Teaching Of Higher-Order Thinking
(HOT) In Education. The Online Journal Of Distance Education and
e-Learning, 3(2): 41-47.
Tim PISA Indonesia.2011. Survei Internasional PISA. Kemdikbud: Badan
Penelitian dan Pengembangan.
Thompson, Tony. 2008. Mathematics Teachers’ Interpretation Of Higher-Order
Thinking In Bloom’s Taxonomy. International Electronic Journal Of
Mathematics Education, 3(2): 1-14.
Tim TIMSS Indonesia.2011. Survei Internasional PISA. Kemdikbud: Badan
Penelitian dan Pengembangan.
Thomas, Glyn. 2007. Skill Intruction In Outdoor Leadership: A Comparison Of A
Direct Instruction Model And A Discovery-Learning Model. Australian
Journal Of Outdoor Education, 11(2): 10-18.
Tran, Trung., Nguyen, Ngoc-Giang., Bui, Minh-Duc., Phan, Anh-Hung. 2014. Discovery Learning With The Help of GeoGebra Dynamic Geometry
Software. International Journal of Learning, Teaching and Educational
Research, 7(1): 44-57.
Vahlia, I., Murdiyana & Sutrima. 2013. Eksperimen Model Pembelajaran
Discovery Dan Group Investigation Terhadap Prestasi Belajar
Matematika Ditinjau dari Kreativitas Siswa. Tidak diterbitkan. Surakarta:
Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret.
Veermans, Koen. (2003). Intelligent Support For Discovery Learning.
Netherlands: Twente University Press.
Veermans, Koen., Joolingen, Wouter Van., De Jong, Ton. (2006). Use Heuristics to Facilitate Scientific Discovery Learning in a Simulation Learning
Environment in a Physics Domain. International Journal of Science
Education, 28(4): 341-361.
Yee, M. H., Yunos, Jailani Md., Othman, Widad., Hassan, Razali., Tee, Tze
Kiong., Mohamad, Mimi Mohaffyza. (2012). The Needs Analysis of
Learning Higher Order Thinking Skilss for Generating Ideas.