• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Peranan Kejaksaan Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelaksanaan Peranan Kejaksaan Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi di Lingkungan Kejaksaan Negeri Medan) SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum

Oleh

MARIO F GULTOM Nim: 070200099

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PELAKSANAAN PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Guna Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

(Studi di Lingkungan Kejaksaan Negeri Medan)

Oleh :

MARIO F GULTOM NIM : 070200099

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. M. Hamdan, SH.MH Nip 195703261986011001

Telah diperiksa dan disetujui oleh :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

LIZA ERWINA, S.H.M.Hum BERLIN NAINGGOLAN,SH.M.Hum NIP : 19611024 198903 2 002 NIP :19581205 198601 1 002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah “PELAKSANAAN PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI”.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak M. Husni, S.H, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Dr. Hamdan, S.H, MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana.

(4)

7. Bapak Berlin Nainggolan, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Ibu Suria Ningsih, S.H,M.Hum selaku Dosen Wali penulis selama mengikuti masa perkuliahan.

9. Bapak dan Ibu dosen serta para pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi penulis selama mengikuti perkuliahan.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Orang Tua penulis yang tercinta : Ayahanda Jusren Gultom dan Ibunda ku tercinta Sinur Sijabat, yang telah memberikan segenap kasih sayang, perhatian dan bimbingan yang tulus kepada penulis.

2. Kakakku tercinta Mika Lidya Gultom, yang telah memberikan kasih sayang yang tulus dan dukungan moril kepada penulis.

3. Bapak Iqbal, SH, Kasubagbin Kejaksaan Negeri Medan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Bagian Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera.

4. Bapak Suheri Pernanda,SH, MH, Kasi Penyidikan Kejaksaan Negeri Medan yang telah memberikan waktu untuk menjadi responden dalam penelitian skripsi ini.

(5)

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini disebabkan oleh karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk semua pihak.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini bukanlah sesuatu yang dapat dibanggakan sebagai sebuah tulisan yang sempurna dikarenakan waktu yang singkat dan kesibukan-kesibukan penulis lainnya. Akan tetapi penulis tetap berharap kelak skripsi dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Terima kasih.

Medan , September 2011 Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI……….... iv

ABSTRAKSI……… vi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang... 1

B.Permasalahan... 6

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan... 7

D.Keaslian Penulis... 8

E.Tinjauan Pustaka... 8

1.Pengertian Peranan dan Penyelesaian... 8

2.Pengertian Penyidikan, Penuntutan dan Putusan Pengadilan.. 8

3.Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum... 9

4..Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi... 10

5.Ruang Lingkup Penyelesaian Penyidikan oleh Kejaksaan... E.Metode Penelitian... 20

F.Sistematika Penulisan... 22

BAB II KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI... 24

A. Kewenangan Kejaksaan dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi. 26 B. Kewenangan Kejaksaan dalam Penuntutan Tindak Pidana Korupsi..39

(7)

BAB III PELAKSANAAN PERANAN JAKSA DALAM PENYELESAIAN

KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI...63

A. Pelaksanaan Penyidikan dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi... 63

B. Pelaksanaan Penuntutan dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi... 82

C. Pelaksanaan Putusan Pengadilan dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi... 89

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 97

A. KESIMPULAN... 97

B. SARAN... 99

DAFTAR PUSTAKA... vii

(8)

*Mario F Gultom

**Liza Erwina, SH.M.Hum

**Berlin Nainggolan, SH.M.Hum

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan bertitik tolak dari tugas kejaksaan sebagai lembaga penuntutan yang dapat dipandang sebagai lembaga yang mengendalikan pola-pola kehidupan sosial serta menjamin nilai-nilai sosial yang dihayati oleh anggota masyarakat. Di dalam menjalankan tugas tersebut,kejaksaaan senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas yang diberikan kepadanya, salah satunya dalam penanganan perkara korupsi. Praktek korupsi yang cenderung meningkat, merupakan hal yang serius bagi upaya penanganan hukum di Indonesia, terutama pihak kejaksaan.

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kewenangan kejaksaan dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Medan, serta untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kewenangan tersebut di Kejaksaan Negeri Medan.

Untuk mengetahui bagaimana peranan dan tanggung jawab kejaksaan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Medan dilakukan pendekatan yuridis normatif melalui kajian KUHAP, UU No.116 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI beserta dengan peraturan pelaksanaannya.

(9)

*Mario F Gultom

**Liza Erwina, SH.M.Hum

**Berlin Nainggolan, SH.M.Hum

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan bertitik tolak dari tugas kejaksaan sebagai lembaga penuntutan yang dapat dipandang sebagai lembaga yang mengendalikan pola-pola kehidupan sosial serta menjamin nilai-nilai sosial yang dihayati oleh anggota masyarakat. Di dalam menjalankan tugas tersebut,kejaksaaan senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas yang diberikan kepadanya, salah satunya dalam penanganan perkara korupsi. Praktek korupsi yang cenderung meningkat, merupakan hal yang serius bagi upaya penanganan hukum di Indonesia, terutama pihak kejaksaan.

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kewenangan kejaksaan dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Medan, serta untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kewenangan tersebut di Kejaksaan Negeri Medan.

Untuk mengetahui bagaimana peranan dan tanggung jawab kejaksaan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Medan dilakukan pendekatan yuridis normatif melalui kajian KUHAP, UU No.116 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI beserta dengan peraturan pelaksanaannya.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Hal ini membuktikan bahwa Republik Indonesia adalah Negara hukum yang Demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak kecuali. (Undang-Undang Dasar 1945)

Untuk mewujudkan / merealisasikan keinginan tersebut, dalam Repelita nasional III dan dalam keterangan pemerintah tentang Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 1981 dicantumkan usaha mewujudkan pemerataan kesempatan memperoleh keadilan hukum yaitu dengan melakukan penertiban pada alat-alat penegak hukum dan keadilan.

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan, serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju tidak hanya orang melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi juga perbuatan hukum yang akan terjadi serta kepada alat perlengkapan negara diharapkan bertindak menurut hukum. Sistem kerja yang demikian adalah salah satu bentuk penegak hukum.

(11)

tindak pidana korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.

Di berbagai dunia, korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibanding dengan tindak pidana lainnya karena perbuatan korupsi dapat menimbulkan dampak negatif bagi negara. Dampak perbuatan korupsi juga menyentuh berbagai bidang kehidupan.

Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil makmur untuk tercapainya tahap lepas landas (take off) ekonomi menurut Rostow diperlukan pertumbuhan ekonomi (pertambahan GNP) lebih cepat dari pertambahan penduduk. Untuk itu diperlukan melakukan pengumpulan modal yaitu dengan melakukan sistem pajak progresif, yang artinya semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi pajak yang harus dibayar. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana korupsi ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan merusak moralitas. Korupsi juga merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat yang adil dan makmur.

(12)

Korupsi sudah terjadi pada semua bidang tata pemerintahan yakni di bidang eksekutif, di bidang legislatif dan bidang yudikatif. Daniel Kaufman dalam laporan mengenai bureaucratic and jidicial bribery menyatakan praktek penyuapan di peradilan di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara berkembang. Dikatakan bahwa tidak sedikit hakim di semua tingkatan peradilan yang melakukan korupsi. Akibat integritas yang rendah dan kemampuan terbatas dari ini, menyebabkan banyak putusan pengadilan dalam kasus korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.

Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena para pelakunya menggunakan peralatan yang canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam keadaaan yang terselubung dan terorganisir. Oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut sebagai white collar crime atau kejahatan kerah putih.

Di era reformasi selama lima tahun terakhir ini, tidak ada upaya pemberantasan korupsi yang efektif. Ini merupakan hal yang sangat ironis, karena mengingat tujuan reformasi adalah pemberantasan KKN. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah yang lebih demokratis tidak serius memberantas korupsi. Kegagalan elit politik Indonesia melakukan upaya serius dalam memberantas korupsi jelas akan membahayakan demokrasi. Rakyat akan menyalahgunakan demokrasi atas kesulitan yang sedang dihadapi yang disebabkan korupsi.

(13)

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

Perilaku koruptif sesuai dengan defenisi diatas dalam birokrasi pemerintahan Indonesia semakin merajalela. Bangsa Indonesia jelas akan memasuki gerbang masa kritis bahkan dapat menuju kepada gejala kelabilan dalam segala aspek kehidupan termasuk perekonomian sebagai aspek yang terpenting, apabila pemberantasan korupsi di Indonesia tidak segera dilaksanakan dengan efektif. Sudah banyak ancaman pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku korupsi, contohnya pengesahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, INPRES No. 5 Tahun 2004 tentang percepatan Pemberantasan korupsi dan Undang-Undang No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (konvensi perserikatan bangsa-bangsa anti korupsi, 2003). Namun, ternyata regulasi-regulasi tersebut tidak memberikan dampak. Sebagai bukti, menurut laporan The Political &

Economic Risk Consultancy (2006), birokrasi negeri kita menduduki peringkat pertama

sebagai birokrasi terkorup di Asia1

Selain pembenahan dari segi perundangan-udangan (substansi hukum), maka pembenahan guna mengatasi tindak pidana korupsi juga dilakukan pada struktur hukumnya. Struktur hukum yang dimaksud berkaitan dengan sistem peradilan pidana yang merupakan terjemahan dari “Criminal Justice System” sebagai suatu sistem yang mencakup perangkat atau komponen dalam upaya penegakan hukum yang tercermin dalam hukum acara pidana Indonesia yang berpatokan kepada KUHAP atau UU Nomor

.

1

(14)

8 Tahun 1981, yang dalam hal ini dibutuhkan peran dan kerjasama dari aparat penegak hukum untuk memberantas korupsi2

Kejaksaan dalam bidang penyidikan mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana khusus yang meliputi tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana ekonomi. Khusus berkaitan dengan kewenangan penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi, selain menjalankan tugas diatas Kejaksaan selalu berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-,salah satunya adalah Kejaksaan yang merupakan lembaga negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yang menjalankan tugas dan wakil pemerintahan dalam menegakkan hukum negara yang bersifat publik.

Praktek korupsi yang cenderung meningkat merupakan pekerjaan serius bagi upaya penegakan hukum di Indonesia, terutama pihak kejaksaan. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 2 UU Pokok Kejaksaan Nomor 15 Tahun 1961 jo. UU No 5 Tahun 1991 jo. UU No. 16 Tahun 2004 merumuskan tugas kejaksaan di bidang yustisial, yaitu melakukan pemeriksaan pendahuluan, yang meliputi : penyidikan, penyidikan lanjutan dan mengadakan pengawasan dan koordinasi alat-alat penyidikan lainnya. Hadirnya undang-undang ini telah memperkokoh landasan hukum bagi lembaga kejaksaan untuk terus menyidik tindak pidana korupsi. Bahkan, Kewenangan penuntutan dan penyidikan tersebut telah berada di tangan satu lembaga. Kondisi ini merupakan tantangan tersendiri bagi kejaksaan,sehingga hampir semua kasus korupsi yang disidangkan oleh Pengadilan adalah merupakan hasil dari penyidikan dan penuntutan lembaga Kejaksaan.

2

O.C.Kaligis, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusu dalam

(15)

undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.8 Tahun 1991 tentang Hukum Acara Pidana dan Yurisprudensi yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi.

Kenyataan masih banyak kasus korupsi yang belum terungkap, hal ini mengakibatkan masyarakat menjadi skeptis dengan kesungguhan Kejaksaan dalam mengungkap berbagai dugaan korupsi. Hal ini disebabkan karena banyak kasus korupsi yang diajukan ke Kejaksaan belum/tidak dapat diselesaikan dengan tuntas, bahkan justru dibebaskan. Anggapan merosotnya kinerja Kejaksaan ini sebenarnya tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan sistem politik yang berlaku.

Dengan gambaran berbagai hal mengenai korupsi, selanjutnya akan dicoba memberikan penjelasan mengenai Tindak Pidana Korupsi serta Kewenangan dan Peranan Jaksa dalam melakukan Penyelesaian Penyidikan kasus Korupsi. Terakhir sebagai lampiran, yaitu beberapa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

B.Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Kewenangan Kejaksaan dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi?

(16)

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

1.Tujuan Penulisan

Berdasarkan ruang lingkup permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan penulisan yang dilakukan adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana kewenangan Jaksa dalam Penyelesaian tindak pidana korupsi pada Kejaksaan Negeri Medan.

2. Untuk mengetahui bagaimana prosedur dan praktik Pelaksaan Peranan Jaksa dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi.

2.Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain:

a) Secara Teoritis

1. Penulisan skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi para akademis maupun sebagai bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan.

2. Menambah tulisan ilmiah di perpustakaan, khususnya di Jurusan Hukum Pidana, serta menambah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum yang berkaitan dengan kasus korupsi

b) Secara praktis

1. Penelitian ini dapat menjadi sumbangan untuk membantu penegak hukum terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.

(17)

3. Sebagai bahan kajian bagi akademis untuk menambah wawasan ilmu terutama dalam bidang tindak pidana korupsi.

D.Keaslian penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul (Studi di Kejaksaan Negeri Medan) adalah merupakan hasil pemikiran penulis sendiri, yang mana setelah penulis membaca dan melihat bahwa pada saat sekarang ini banyak terjadi kasus korupsi dan bagaimana peranan dan kedudukan Jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi, maka penulis merasa tertarik untuk membahasnya lebih lanjut menjadi sebuah skripsi. Kemudian setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di Fakultas Hukum, belum ada yang mengangkat tulisan dengan pembahasan seperti yang telah penulis kemukakan diatas,karena sudut pembahasan masing-masing tulisan pasti berbeda,dengan demikian penulis skripsi ini adalah asli.

E.Tinjauan Pustaka

1.Pengertian Peranan dan Penyelesaian

Peranan adalah aspek dinamisi kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Sedangkan, Penyelesaian adalah proses, cara, perbuatan, dan menyelesaikan berbagai-bagai arti seperti pemecahan.

2.Pengertian Penyidikan, Penuntutan dan Putusan Pengadilan Dalam Hukum Acara Pidana

(18)

dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya3

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana secara umum terdapat dua pejabat penyidik yang berhak melakukan penyidikan. Pejabat penyidik terdiri dari:

.

a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia;

b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimukakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik yang diatur oleh undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. Asal kata penyidikan adalah sidik yang berarti periksa; menyidik, menyelidik; mengamat-amati4

Penuntutan tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan

.

5

Putusan pengadilan adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

.

3.Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

3

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)

4

Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan II, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1989, halaman 837.

5

(19)

b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

4.Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi

Ruang lingkup Tindak Pidana Korupsi terdiri dari Tindak Pidana korupsi dan Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi. Tentang ruang lingkup tindak pidana korupsi diatur dalam Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seda ngkan ruang lingkup tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi diatur dalam Bab II Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Ruang lingkup tindak pidana korupsi terdiri dari :

1. Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan, bahwa :

“ 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara;

2. Dalam hal Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.”

Dengan bertitik tolak ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, dapat ditarik unsur-unsur sebagai berikut :

a. Setiap orang

(20)

identik dengan terminologi kata barang siapa menurut Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Buku II, Edisi Revisi Tahun 2005, Halaman 209 dari Mahkamah Agung RI dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1398 K/Pid/1994 tanggal 30 Januari 1995 kata setiap orang atau barang siapa sebagai siapa saja yang harus dijadikan terdakwa atau orang sebagai subyek hukum (pendukung hak dan kewajiban) yang dapat diminta pertanggungjawaban dalam segala tindakannya sehingga secara historis kronologis manusia sebagai subyek hukum telah dengan sendirinya ada kemampuan bertanggungjawab kecuali secara tegas undang-undang menentukan lain. Oleh karena itu, konsekuensi logisnya, kemampuan bertanggungjawab tidak perlu dibuktikan lagi karena setiap subyek hukum melekat erat dengan kemampuan bertanggungjawab sebagaimana ditegaskan dalam Memorie Van Toelichting (MvT). b. Perbuatan Memperkaya Diri Sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

(21)

keyaannya.6 Sedangkan pengertian memperkaya orang lain menurut Darwan Prints maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya.7

c. Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum

Dalam aspek ini, pembentuk undang-undang mempertegas elemen secara melawan hukum sebagai mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal maupun materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak teratur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, perbuatan tersebut dapat dipidana. Pada dasarnya perbuatan melawan hukum formal dan perbuatan melawan hukum materil telah lama dianut dalam praktik peradilan Indonesia. Kemudian, dalam praktik peradilan terhadap tindak pidana korupsi khusus terhadap perbuatan melawan hukum materil melalui yurisprudensi, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memberikan nuansa baru dan melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana, tetapi juga Mahkamah Agung dengan melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materil ke arah positif melalui kriteria limitatif dan kausistik berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik telah dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata

6

Lilik mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif Teoritis Praktik dan Masalahnya, Alumni, Bandung, 2007, hlm.81 (selanjutnya disebut Buku I)

7

Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,

(22)

menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut.8

2. Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan :

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”

Berdasarkan Pasal 3 tersebut di atas apabila ditarik unsur-unsurnya maka terdapat beberapa unsur-unsur yang sama dengan Pasal 3 yaitu :

a. Setiap orang;

b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain;

Menurut Andi Hamzah, pengertian menguntungkan diri sendiri suatu unsur yang biasa dalam hukum pidana, seperti tercantum juga dalam Pasal 378 dan Pasal 423 KUHP.9 Sedangkan menurut Sudarto, perkataan menguntungkan suatu badan (korporasi) disitu tidak hanya badan swasta, misalnya PT, yayasan dan sebagainya, tetapi juga badan pemerintahan, misalnya kantor, jawatan/dinas, dan sebagainya.10

c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

d. Perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 3. Pasal 5 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan :

1. Setiap orang yang :

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

8

Lilik Mulyadi (Buku I), Op.cit. Hlm. 83

9

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.106

10

(23)

b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Jadi berdasarkan ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) diketahui bahwa baik orang yang memberi janji pegawai negeri atau penyelenggara negara maupun pegawai negeri atau penyelenggara negara, dihukum dengan hukuman yang sama dan merupakan tindak pidana korupsi.

4. Pasal 6 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 : Setiap orang yang :

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Dalam ayat (2) dinyatakan :

“Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Sama halnya dengan Pasal 5, baik orang yang memberikan janji maupun hakim yang menerima pemberian, dihukum dengan hukuman yang sama.

5. Pasal 7 menyatakan :

1. Dihukum dengan tindak pidana korupsi :

(24)

perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

2. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

6. Pasal 8, lingkup tindak pidana korupsi meliputi :

“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut”.

7. Dalam Pasal 9 dinyatakan :

“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.”

8. Pasal 10 menyatakan :

“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau

(25)

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.”

9. Dalam Pasal 11 dinyatakan :

“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”.

10.Dalam Pasal 12 ruang lingkup tindak pidana korupsi meliputi :

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,

meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

(26)

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

11.Pasal 13 merumuskan tindak pidana korupsi dengan :

“Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.”

Selain tindak pidana korupsi, ruang lingkup tindak pidana korupsi juga melingkupi tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 21-24 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri dari:

1. Dalam Pasal 21 dinyatakan:

“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.”

2. Pasal 22 menyatakan;

“Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.”

Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 28 yaitu :

(27)

orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.

Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 29 yaitu:

Gubernur Bank Indonesia apabila tidak memenuhi permintaan Penyidik untuk kepentingan penyidikan, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan, dan hakim untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, tentang keterangan keuangan tersangka atau terdakwa.

Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 35 yaitu:

Saksi atau ahli yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.

Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 36 yaitu:

Mereka yang dengan sengaja tidak memberikan atau keterangan yang tidak benar pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia, mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau pekerjaannya diwajibkan menyimpan rahasia.

3. Pasal 23 menyatakan:

“Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana”

Yang dimaksud dalam Pasal ini adalah:

(28)

Namun jika pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan-ketentuan KUHP tersebut adalah pelaku tindak pidana dalam perkara tindak pidana korupsi, maka pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku adalah pidana yang dicantumkan dalam Pasal 23.

4. Pasal 24 menyatakan:

“Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31” Yang dimaksud dalam Pasal 31 yaitu:

saksi dalam tindak pidana korupsi dilarang: 1. Menyebut nama atau alamat pelapor;

2. Menyebut hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.

Orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana korupsi dilarang: 1. Menyebut nama atau alamat pelapor;

2. Menyebut hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.

5.Ruang Lingkup penyelesaian Penyidikan oleh Kejaksaan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, pada Pasal 17 disebutkan :

“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal284 ayat 1 KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

(29)

perkara-perkara tindak pidana umum. Namun, sesuai dengan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, jaksa berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Tertentu ( Tindak Pidana Khusus).

F.Metode penelitian

Secara umum metode dapat diartikan sebagai suatu cara untuk memperoleh sesuatu.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia metode diartikan sebagai cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan11

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian;

. Soerjono Soekanto berpendapat menurut kebiasaan, metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :

2. Suatu teknik yang uum bagi ilmu pengetahuan; 3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur12

1.Jenis penelitian

.

Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah secara yuridis normatif dan studi lapangan. Secara yuridis normatif yakni dengan melakukan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) yaitu dengan meneliti data sekunder yang mencakup bahan-bahan kepustakaan hukum dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan sebagai literature dan referensi dalam penyusunan materi yang antara lain berupa sejumlah buku, himpunan peraturan

11

Departemen Pendidikan Nasional

12

(30)

perundang-undangan yang berkaitan dengan objek pembahasan skripsi ini. Disamping itu, penulis juga memanfaatkan artikel, koran dan majalah serta media elektronik untuk mendukung keakuratan tulisan yang disampaikan. Studi lapangan yakni dengan melakukan pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara dari informan yang secara langsung ikut terlibat dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi, yaitu dengan pedoman wawancara dengan Jaksa yang menangani perkara secara langsung ataupun Jaksa-Jaksa yang menguasai dan mendalami bidang tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Medan yang menjadi lokasi penelitian dalam penulisan skripsi ini.

2.Sumber dan Pengumpulan Data

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang Hukum Pidana. undang Nomor 31 Tahun 1999, undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku bacaan yang relevan dengan judul ini, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan keputusan jaksa agung republik Indonesia;

c. Bahan hukum tertier

(31)

3.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: a. Library research (penelitian kepustakaan)

Yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, buku-buku, berbagai literatur peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan penyitaan barang bukti oleh jaksa terhadap kekayaan tersangka dalam tindak pidana korupsi.

b. Field research (penelitian lapangan)

Yaitu dengan meneliti langsung ke lapangan mengenai pelaksanaan penyelesaian kasus tindak pidana korupsi dengan melakukan wawancara.

4.Analisis Data

Data yang dikumpulkan berdasarkan sumber-sumber, bahan-bahan hukum primer dan sekunder untuk kemudian akan dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari data yang diperoleh. Semua data yang dikumpulkan, diseleksi serta dianalisis, serta data yang diperoleh dari penelitian lapangan akan diedit sesuai dengan kata yang diperlukan sehingga akan diperoleh gambaran dalam prakteknya terhadap permasalahan yang ingin dijawab.

G.Sistematika Penulisan

Agar mudah dalam penyusunan dan memahami isi serta pesan yang ingin disampaikan maka penulis menguraikan secara ringkas pembahasan dalam skripsi ini.Dalam penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi 4 (empat ) bab, yaitu :

(32)

yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan yang dipakai serta sistematika penulisan ini.

BAB II. Peranan Kejaksaan dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi ; Dalam Bab ini diuraikan tentang pelaksanaan hukum dan kedudukan jaksa dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi serta kewenangan dan peranan kejaksaan dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi.

BAB III. Pelaksanaan Peranan Jaksa dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi ; Dalam Bab ini membahas tentang Prosedur dan praktik melakukan penyelesaian kasus tindak pidana korupsi oleh pihak kejaksaan, Pemberkasan Berita acara dan penyerahan hasil penyidikan oleh jaksa serta berakhirnya penyidikan oleh jaksa dalam tindak pidana korupsi secara umum di Indonesia dan secara khusus di Medan, sehubungan dengan dilakukannya penelitian di Kejaksaan Negeri Medan.

(33)

BAB II

KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

Ruang lingkup tugas dan fungsi lembaga Kejaksaan diatur Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 dan KUHAP. Pada asasnya lembaga kejaksaan dipimpin oleh seorang Jaksa Agung Republik Indonesia dimana dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi diinstruksikan untuk mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara, mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum, dan meningkatkan kerja sama dengan Instansi atau lembaga lain.

Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari situs resmi Kejaksaan RI, lembaga Kejaksaan mempunyai fungsi, yaitu13

1. Perumusan kebijaksanaan teknis kegiatan yustisial pidana khusus berupa pemberian bimbingan dan pembinaan dalam bidang tugasnya.

:

2. Perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan tambahan penuntutan, eksekusi atau melaksanakan penetapan hukum, dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tidak hukum lain serta pengadministrasiannya.

3. Pembinaan kerja sama, pelaksanaan koordinasi dan pemberian bimbingan serta petunjuk teknis dalam penanganan perkara tindak pidana khusus dengan instansi 13

(34)

dan lembaga terkait mengenai penyelidikan dan penyidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh jaksa agung.

4. Pemberian saran, konsepsi tentang pendapat dan/atau pertimbangan hukum Jaksa Agung mengenai perkara tindak pidana khusus dan masalah hukum lainnya dalam kebijaksanaan penegakan hukum.

5. Pembinaan dan peningkatan kemampuan, keterampilan, dan integritas kepribadian aparat tindak pidana khusus di lingkungan kejaksaan.

6. Pengamanan teknis atau pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan dibidang tindak pidana khusus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

` Berdasarkan Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, kejaksaan memiliki 3 kewenangan dalam penyelesaian tindak pidana korupsi, yaitu :

(35)

A. Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Pada dasarnya, melalui KUHAP dibedakan secara limitatif antara istilah “Penyidik” atau “Opsporing/Interrogation” dan “Penyelidik”. Ketentua Umum Pasal 1 angka 1 jo Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Bab I Pasal 1 angka 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa “Penyidik” adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Konkretnya dapat dikatakan dengan tegas bahwa fungsi dan ruang lingkup “penyidik” adalah untuk melakukan “penyidikan”. Apabila kita bertitik tolak melalui istilah “penyidikan” itu sendiri, ternyata istilah tersebut telah dikenal sejak dahulu yakni ketika adanya undang-undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961). Sedangkan mengenai pengertian “penyidikan” menurut pandangan doktrina ilmu pengetahuan hukum pidana seperti de Pinto dikatakan bahwa menyidik (opsporing) diartikan sebagai “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditujukan oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.Sedangkan apabila kita mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan bahwa, “penyidikan” itu adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya14

14

Lilik Mulyadi,S.H,M.H, Hukum Acara Pidana Normatif,Teoritis,Praktik dan Permasalahnnya,Jakarta, 2006, halaman 54

(36)

Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konsekuensi penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat berdasarkan segala data dan fakta yang diperoleh dari hasil penyilidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai suatu tindak pidana adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang telah terjadi itu dapat dilakukan penyidikan. Dengan demikian penyidikan merupakan tindak lanjut dari suatu penyelidikan.

Pelaksanaan tugas-tugas penyidikan ditangani oleh pejabat penyidik atau penyidik pembantu, sesuai dengan kewenangannya masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 11 KUHAP.

Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat polisi negara atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Adapun beberapa dari tugas dan wewenang penyidik berdasarkan ketentuan Pasal 7 KUHAP, dapat berupa :

1. Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia karena kewajibannya mempunyai tugas dan wewenang :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

(37)

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

i. Mengadakan penghentian penyidikan;

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil/PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang mempunyai tugas dan wewenang, berupa:

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP, mempunyai tugas dan wewanang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP.

Pada Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikatakan bahwa Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

(38)

Bertitik tolak dari aspek “jabatan” atau “pejabat fungsional” tersebut, pada hakikatnya tugas dan wewenang jaksa dalam proses pidana dapat meliputi hal-hal sebagai berikut15

1. Melakukan permintaan pemeriksaan kembali perkara pidana karena surat catatan pemeriksaan perkara tersebut hilang.

:

2. Wajib mengundurkan diri apabila masih terikat dalam hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga.

3. Melaksanakan penetapan dan putusan hakim dalam perkara pidana.

4. Meminta kepada Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan kemudian menetapkan dapat atau tidaknya seseorang diekstradisikan dan Jaksa menghadiri sidang tersebut dan memberikan pendapatnya.

5. Menerima hasil dari Aparatur Imigrasi tentang keterangan-keterangan kedatangan tentang orang asing terutama tentang maksud dan tujuan serta tempat yang akan dikunjunginya.

6. Melakukan penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP atau melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004.

7. Melakukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas / vrisjpraak berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran.

8. Melakukan pemeriksaan apabila terdapat indikasi kuat telah terjadi penyelewengan dan penyimpangan atau penyalahgunaan yang dilakukan oleh 15

(39)

Pejabat / Pegawai / Kepala Desa dan perangkatnya dalam jajaran Departemen Dalam Negeri yang diduga sebagai tindak pidana khusus seperti korupsi.

9. Melakukan Penyelidikan dan / atau penyidikan atas hasil temuan BPKP dalam melaksanakan tugas pengawasannya menemukan kasus berindikasi korupsi.

Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian hukum acara pidana yang berkaitan dengan penyidikan adalah :

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan sementara.

6. Penggeledahan

7. Pemeriksaan atau interogasi.

8. Berita acara ( penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat ). 9. Penyitaan.

10.Penyampingan perkara.

11.Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.16

Pada tingkat Penyidik, kewenangan Kejaksaan pada awal pemeriksaan sebelum dilakukan penuntutan, yaitu :

1. Penangkapan

“Berdasarkan Pasal 1 KUHAP, Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa mengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

16

(40)

Alasan penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, dapatdilakukan untuk paling lama satu hari (Pasal 19 ayat (1) KUHAP).

2. Penahanan

“Berdasarkan Pasal 1 KUHAP, Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Tujuan penahanan berdasarkan pasal 20 KUHAP, penahanan yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umumn dan hakim bertujuan untuk kepentingan penyidikan, untuk kepentingan penuntutan, dan untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan. Dasar penahanan yang dilakukan penyidik adalah dasar keadaan atau keperluan dan dasar yuridis.Dasar keadaan tersebut yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 ayat (1) KUHAP).Sedangkan dasar yuridisnya berdasarkan salah satu contohnya pada tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

3. Penggeledahan

“Penggeledahan adalah adanya seseorang atau beberapa orang petugas mendatangi dan menyuruh berdiri seseorang. Dan kemudian memeriksa segala sudut rumah ataupun memeriksa sekujur tubuh orang yang digeledah”.

4. Penyitaan

(41)

Tujuan penyitaan adalah untuk kepentingan “pembuktian”, terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang pengadilan. Kemungkinan besar tanpa adanya barang bukti, perkaranya tidak dapat diajukan ke muka sidang pengadilan. Oleh karena itu, agar perkaranya tadi lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan tindakan penyitaan guna dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan, dalam tingkat penuntutan dan tingkat pemeriksaan persidangan pengadilan.

5. Pemeriksaan Surat.

Pasal-pasal dalam KUHAP yang mengatur tentang pemeriksaan surat adalah Pasal 41,47,48,49, serta Pasal 131 dan 132. Tata cara pemeriksaan surat berupa penyitaan surat yang tertangkap tangan harus diberikan tanda penerimaan, membuka, memeriksa, dan menyita surat dengan izin khusus ketua pengadilan negeri, serta pemeriksaan surat dicatat dalam berita acara.

(42)
(43)

kesewenang-wenangan dalam hal pemeriksaan tersangka. Apabila hal ini tidak dipenuhi, merupakan suatu kelalaian terhadap penerpan hukum acara sebagaimana ditentukan Pasal 240 ayat (1) KUHAP.

(44)

Apabila ditinjau dari makna leksikon, kata pemberkasan berasal dari kata dasar

berkas. Lalu, Laden Marpaung17

1. Sambul Berkas Perkara;

dengan bertitik tolak pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebut kata

berkas sebagai Kumpulan, Ikatan dan Bendel (Surat-surat). Dalam bahasa Inggris

disebut “sheal”, “bundle”, tetapi “bundle” diterjemahkan juga dengan bungkusan. Pemberkasan dimaksud dikumpulkan/diikat dalam satu kesatuan. Semua yang berkenaan dengan perkara tersebut dijadikan satu kesatuan. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) jo Pasal 75 KUHAP, segala tindakan yang dilakukan sehubungan dengan perkara yang dibuat Berita Acara dengan kekuatan sumpah Jabatan kemudian ditandatangani oleh Pejabat Pembuat serta oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Pada dasarnya, dalam perkara Tindak Pidana Korupsi dapat dilakukan penyidikannya oleh Kepolisian, Kejaksaan, Tim Tastipikor dan Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga pemberkasan Berita Acara hasil penyidikan itu sedikit berbeda selain karena bentuk formulir yang dipergunakan Kepolisian dan Kejaksaan berbeda juga dipengaruhi faktor teknik dan taktik penyidikan sera variatif modus operandi Tindak Pidana korupsi. Walaupun demikian, dalam praktik hal tersebut secara esensial tidak mempengaruhi penanganan pelaku Tindak Pidana Korupsi.

Apabila dijabarkan pemberkasan Berita Acara hasil penyidikan Kepolisian pada umumya berisikan hal-hal dengan urutan-urutan sebagai berikut :

2. Daftar Isi; 3. Resume; 4. Laporan Polisi;

5. Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan; 17

Laden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama, Penyelidikan dan

(45)

6. Berita Acara Pemeriksaan: a. Saksi-saksi

b. Saksi Ahli / Keterangan Ahli c. Tersangka

7. Berita Acara Terhadap: a. Penyitaan Barang Bukti b. Penyegelan Barang Bukti c. Pinjam Pakai Barang Bukti 8. Surat Panggilan;

9. Sprint Penyitaan;

10.Laporan dan Permohonan Persetujuan Barang Bukti; 11.Penetapan Penyitaan;

12.Daftar Isi ;

13.Daftar Tersangka; 14.Daftar Barang Bukti.

Sedangkan pemberkasan Berita Acara hasil penyidikan Kejaksaan pada dasarnya berisikan hal-hal dengan urutan-urutan sebagai berikut :

1. Sampul Berkas Pekara; 2. Foto Tersangka; 3. Maksud Perkara; 4. Daftar Isi Berkas; 5. Penerimaan Laporan; 6. Surat Perintah Penyidikan; 7. Berita Acara Pendapat;

8. Daftar Para Nama Saksi dan Tersangka;

9. Berita Acara Pemeriksaan Saksi dan Tersangka; 10.Surat Perintah Penangkapan;

11.Surat Perintah Penahanan, Perpanjangan Penahanan dan Berita Acara Pelaksanaan Perpanjangan Penahanan;

12.Surat Perintah Penggeledahan/Penyegelan/Penyitaan/Penitipan; 13.Berita Acara Penyitaan Surat-surat, Uang, Rumah, Mobil dan lainnya; 14.Berita Acara Pemeriksaan Keadaan Keuangan Tersangka;

15.Surat Permintaan Izin Penggeledahan/Penyitaan dan Surat Izin Penetapan Penggeledahan/Penyitaan;

16.Daftar Barang Bukti .

(46)

dapat dilakukan oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan, Tim Tastipikor dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk itu, Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum di sini dimaksudkan adalah hasil penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian, Penyidikan Kejaksaan dan Tim Tastipikor sedangkan terhadap penyelidikan, penyidikan, penuntutan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan korupsi diserah-serahkan kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2), ayat (3) butir a dan b jo Pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyerahan berkas perkara oleh Kepolisian, Penyidik Kejaksaan dan Tim Tispikor kepada Penuntut Umum dari Kejaksaan dilakukan dengan cara :

1. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;dan

2. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum.

Ketentuan KUHAP menentukan penyerahan berkas dalam 2 (dua) tahap merupakan perubahan besar dan berbeda dengan ketentuan dalam HIR (Stb. 1941-44) dan menurut Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dilakukan hal tersebut dengan dasar pertimbangan sebagai berikut :

1. Karena penyidikan hanya dipertanggungjawabkan kepada penyidik, dalam hal Penuntut Umum berpendapat hasil penyidikan itu belum lengkap, segera mengembalikannya kepada penyidik dengan disertai petunjuk-petunjuknya, yang wajib dilengkapi oleh penyidik. Sedangkan tersangka dan barang bukti tetap di tempat semula ditahan atau disimpan.

(47)

hilangnya barang bukti. Hal ini juga dipahami adanya rumah tahanan negara dan rumah penyimpanan benda sitaan negara, yang akan didirikan pada setiap kabupaten, yang pengelolaanya dipertanggungjawabkan hanya pada satu instansi, tetapi penggunaanya bersama.

3. Mencegah keluarga yang akan mengunjungi tersangka diombang- ambingkan kesana kemari.

4. Pertanggungjawaban lebih jelas sehingga akan ada kepastian hukum.

Di atas telah dimukakan bahwa penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti dilaksanakan oleh penyidik setelah penyidikan dianggap selesai. Penyidikan baru dianggap selesai apabila dalam batas waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara, atau sebelum berakhirnya batas waktu tersebut tidak ada pemberitahuan dari penuntut umum kepada penyidik bahwa hasil penyidikan sudah lengkap atau belum.

Jadi tegasnya penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti, baru akan dilaksanakan oleh penyidik setelah penyidikan selesai atau dianggap selesai.

Dalam hubungan dengan pengertian selesai penyidikan, kiranya agar dapat dibedakan dengan berakhirnya penyidikan perlu kita pahami pengertian-pengertian sebagai mana diuraikan dibawah ini.

Menurut sistem HIR penyidikan itu berakhir sejak perkara yang bersangkutan dilimpahkan oleh jaksa ke pengadilan, atau apabila menurut pendapat jaksa pengusutan perkara tersebut perlu dihentikan, sesuai dengan ketentuan Pasal 83 m HIR yaitu :

(48)

-apabila bukti-bukti cukup, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana.

KUHAP tidak menentukan secara tegas bilakah suatu penyidikan berakhir, tetapi meskipun demikian bila kita amati dengan seksama ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8, Pasal 110 dan Pasal 138 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa penyidikan berakhir dalam hal :

1. Apabila telah dilaksanakan serah terima tanggung jawab yuridis atas tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum. Penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti itu sendiri dilaksanakan oleh penyidik dalam hal penyidikan dianggap selesai (Pasal 110 ayat (4) jo Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP), atau setelah penyidik menerima pemberitahuan dari penuntut umum bahwa hasil penyidikan sudah lengkap.

2. Penyidikan perkara yang bersangkutan dihentikan karena : a. Tidak terdapat cukup bukti

b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana c. Penyidikan dihentikan demi hukum.

B. Kewenangan Kejaksaan Dalam Penuntutan Tindak Pidana Korupsi

(49)

Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP, menyatakan bahwa Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Dari perumusan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa, tetapi sebaliknya jaksa belum tentu berarti penuntut umum. Atau dengan kata lain tidak semua jaksa adalah penuntut umum, tetapi semua penuntut umum adalah Jaksa. Karena menurut ketentuan tersebut hanya jaksalah yang dapat bertindak sebagai penuntut umum. Seorang jaksa baru memperoleh kapasitasnya sebagai penuntut umum apabila ia menangani tugas penuntutan.

Pasal 1 angka 7 KUHAP merumuskan bahwa yang dimaksud dengan Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus ileh hakim di sidang pengadilan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP, Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Penuntut Umum mempunyai tugas dan kewenangan dalam proses pidana sebagai berikut :

1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

(50)

Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan :

a. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;

b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

Menurut Pasal 110 KUHAP, (1) dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum; (2) dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih belum lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi; (3) dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum; (4) penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.

(51)

harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.

Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan (Pasal 139 KUHAP).

3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan ke pengadilan;

Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 25 KUHAP, (1) perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

(52)

tingkat penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri (Pasal 29 KUHAP).

Berdasarkan Pasal 25 dan 29 KUHAP tersebut diatas, maka penuntut umum mempunyai batas waktu penahanan paling lama 110 (seratus sepuluh) hari.

4. Membuat surat dakwaan;

Surat Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan18

a. Penelitian Berkas Perkara

. Pasal 140 ayat (1) KUHAP berbunyi : dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Pasal 143 ayat (1) menentukan, penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.

Adapun persiapan pembuatan Surat Dakwaan yaitu :

Fokus penelitian diarahkan pada terpenuhinya kelengkapan formal dan materil guna mengetahui sejauh mana fakta-fakta hasil penyidikan dapat mendukung perumusan Surat Dakwaan beserta upaya pembuktiannya.

b. Teknis Redaksional

Hal ini berkenaan dengan cara merumuskan fakta-fakta dan perbuatan terdakwa yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sesuai perumusan ketentuan

18

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I,

(53)

pidana yang dilanggar, sehingga tampak dengan jelas bahwa fakta-fakta perbuatan terdakwa memenuhi segenap unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan yang bersangkutan.

c. Pemilihan Bentuk Surat Dakwaan

Setelah diidentifikasi jenis, sifat tindak pidana dan ketentuan pidana yang dilanggar lalu dilakukan pemilihan bentuk surat dakwaan yang paling tepat. d. Matrik Surat Dakwaan

Dalam perkara-perkara yang sulit pembuktiannya atau perkara-perkara penting, sebelum merumuskan konsep surat dakwaan hendaknya disusun matrik surat dakwaan yang menggambarkan suatu bagan mulai dari kualifikasi tindak pidana, fakta-fakta perbuatan terdakwa, alat-alat bukti pendukung dan barang bukti yang dapat mendukung upaya pembuktian.

e. Konsep Surat Dakwaan

Matrik surat dakwaan yang telah tersusun merupakan esensi dakwaan yang berfungsi sebagai kendali dalam merumuskan konsep surat dakwaan.

Syarat surat dakwaan pada Pasal 143 (2) KUHAP, penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka;

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan; c. Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

(54)

d. Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan.

Menurut pandangan para doktrina dan kelaziman dalam praktik peradilan, ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP menyebutkan adanya 2 (dua) syarat esensial yang harus diperhatikan dalam pembuatan surat dakwaan, yaitu :

1. Syarat Formal (Pasaal 143 ayat (2) huruf a KUHAP)

Pada dasarnya, surat dakwaan dibuat oleh penuntut umum kemudian diberi tanggal dan ditandangani serta berisikan identitas yang lengkap. Akan tetapi berdasarkan kelaziman dalam praktik sesuai Keputusan Jaksa Agung RI No. KEP-518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana disamping identitas terdakwa tersebut juga dilengkapi dengan pendidikan, yaitu untuk Acara Biasa dengan bentuk P-29 dan Acara singkat dengan P-30. Konkretnya, dicantumkannya tanggal dan tanda tangan diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai suatu akta untuk menghindari Error

in Persona. Tidak terpenuhinya syarat formal tidaklah menyebabkan surat

dakwaan batal demi hukum, tetapi surat dakwaan tersebut dapat dibatalkan atau dinyatakan batal sebagaimana Putusan Mahkamah Agung RI No. 41 K/Kr/1973 tanggal 25 januari 1975.

2. Syarat Materiel (Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP)

(55)

Tidak dipenuhinya syarat ini menyebabkan dakwan diancam batal demi hukum. Menurut Surat Edaran Jaksa Agung RI No. SE-004/J.A/11/1993 tanggal 16 November 1993 yang dijabarkan dengan Surat Edaran JAM Pidum No. B-607/E/11/1993 tanggal 22 November 1994 merumuskan bahwa surat dakwaan agar :

a. Cermat didasarkan kepada ketentuan pidana terkait, tanpa adanya kekurangan/kekeliruan yang menyebabkan ssurat dakwaan batal demi hukum atau dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak dapat diterima.

b. Jelas, didasarkan kepada uraian yang jelas dan mudah dimengerti dengan cara menyusun redaksi yang mempertumakan fakta-fakta perbuatan terdakwa dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, sehingga terdakwa yang mendengar atau membacanya akan mengerti dan mendapatkan gambaran tentang; siapa yangg melakukan tindak pidana, tindak pidana yang dilakukan, kapan dan di mana tindak pidana itu dilakukan, apa akibat yang ditimbulkan dan mengapa terdakwa melakukan tindak pidana itu. Uraian komponen-komponen tersebut disusun secara sistematik dan kronologis dengan bahasa yang sederhana.

c. Lengkap, didasarkan uraian yang bulat dan utuh yang mampu menggambarkan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Sedangkan Surat Dakwaan yang tidak memenuhi syarat, yaitu :

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan keberadaan konsorsium bakteri menghasilkan persentase degradasi sludge minyak yang lebih besar dibandingkan dengan sludge minyak bumi steril yang

Selanjutnya berdasarkan hasil pengujian sampel air dapat diketahui kondisi perairan Sungai Belawan sudah tercemar logam berat, terutama unsur Hg, Cd, dan Pb.Disarankan

Kebijakan pendanaan dalam menentukan struktur modal bertujuan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan, karena nilai perusahaan merupakan cerminan dari kinerja

Dengan demikian jika guru melakukan upaya-upaya (menanamkan pentingnya membaca Al-Qur'an, pengembangan belajar kreatif dengan pengoptimalan metode sugestopedia, drill dan

Oleh sebab itu, diwajibkan bagi orang yang beriman untuk membersihkan diri dari perilaku syirik dan tradisi khurafat (Ridha, VII, 1947, p. Alhasil dari beberapa

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara pemberian heparin

Variabel sosial juga berperan sebagai variabel moderator yang memperkuat pengaruh variabel produk dan kualitas pelayanan masing-masing terhadap keputusan nasabah BPR

Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Makassar Somba Opu. 2)Untuk mengetahui strategi Relationship Marketing mana yang memiliki pengaruh dominan terhadap