• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan di provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan di provinsi Jawa Barat"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI SEKTOR

PETERNAKAN DI PROVINSI JAWA BARAT

SKRIPSI

ELISA QURIMANASARI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

i RINGKASAN

ELISA QURIMANASARI. D24070130. 2011. Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Peternakan di Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Suryahadi, DEA.

Indonesia diperkirakan menduduki peringkat ketiga sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca di dunia, setelah negara China dan Amerika Serikat (Hoorier,

et al. 2006). Selain itu, sektor peternakan dunia juga menyumbang gas metan sebesar 37% dan dinitrogen oksida sebesar 65% (IPCC, 2007). Sumber terbesar emisi dari ternak berasal dari fermentasi enterik dan manajemen manur. Provinsi Jawa Barat merupakan sentra peternakan terbesar kedua di Indonesia. Untuk mengatasi dampak pemanasan global perlu dilakukan perhitungan emisi gas rumah kaca dan mitigasi di mana perhitungan dilakukan untuk menentukan sumber emisi gas rumah kaca dan tingkat emisi gas rumah kaca di suatu daerah. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Komputer Institut Pertanian Bogor dan wawancara dengan beberapa peternak di Jawa Barat yaitu di daerah Bogor, Serang dan Pengalengan-Bandung. Variabel yang diamati pada penelitian ini antara lain emisi metan dan dinitrogen oksida yang dihasilkan tiap jenis ternak, faktor emisi metan, emisi yang diperoleh kemudian dianalisis dengan Program ALU Tools kemudian dibandingkan dengan verifikasi lapang. Hasil pengolahan data dengan program dapat memberikan informasi mengenai besarnya metan dan dinitrogen oksida yang dihasilkan di Provinsi Jawa Barat dan tindakan mitigasi yang telah dilakukan peternak. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa perhitungan menggunakan model II (enhanced) yaitu sebesar 3.481,8 Gg CO2 menghasilkan emisi lebih tinggi dari pada menggunakan model I (default IPCC) sebesar 2.835,8 Gg CO2. Emisi metan (50,1% pada model I dan 59,6% pada model II) memiliki persentase lebih tinggi daripada emisi dinitrogen oksida (49,9% pada model I dan 40,4% pada model II). Jenis ternak di Provinsi Jawa Barat yang menghasilkan emisi tertinggi adalah ternak domba (1.211,5 Gg CO2 baik menggunakan model I maupun model II) dan pengahasil emisi terendah adalah ternak babi (3,7 Gg CO2 pada model I dan model II). Kabupaten tertinggi penghasil emisi adalah Kabupaten Karawang yaitu sebesar 502,59 Gg CO2 (pada model I) dan 525,56 Gg CO2 (pada model II) sedangkan emisi terendah dimiliki oleh Kota Cirebon yaitu sebesar 1,91 Gg CO2 (pada model I) dan 2,41 Gg CO2 (pada model II). Tindakan mitigasi yang telah dilakukan peternak mayoritas dilakukan dengan memperbaiki kualitas pakan antara lain dengan penambahan leguminosa salah satu contohnya Kaliandra dan suplemen berupa UMB (Urea Molasses Block).

(3)

ii ABSTRACT

Prediction Greenhouse Gas Emisssions of Livestock Sector in West Java Province

Elisa Qurimanasari, Idat Galih Permana and Suryahadi

The source of emissions from livestock are enteric fermentation and from manur management. To emphasize the impact of global warming need to do inventory greenhouse gas emissions and mitigation in which the calculations performed to determine the source of greenhouse gas emissions and greenhouse gas emissions levels. This research has been conducted in the Computer Laboratory, Departement of Nutrition Science and Feed Technology and the primary data was collected from farmers in West Java, etc. Bogor, Serang and Pengalengan-Bandung. The observed variables such as methane and nitrous oxide emissions generated every type of livestock, methane emission factor, direct and indirect nitrous oxide nitrous oxide emissions by manur manajement and than have been calculated using ALU Tools Software. It was found that in West Java Province the calculation using Model II (3.481,8 Gg CO2) higher than using Model I (2.835,8 Gg CO2). Methane emissions (50,1% (Model I) and 59,6% (Model II)) have a higher percentage than nitous oxide (49,9% (Model I) and 40,4% (Model II)). In West Java Province that produces the highest emissions is sheep (1.211,5 Gg CO2 (Model I and Model II). Karawang regency is produce the highgest of GHG’s emission (502,59 Gg CO2 (Model I) and 525,56 Gg CO2 (Model II)) in the West Java Province, whereas the lowest is Cirebon (1,91 Gg CO2 (Model I) and 2,41 Gg CO2(Model II)). In order to mitigation GHG’s emissions, the farmers in West Java improving the quality of animal feed and manajement manur.

(4)

iii

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI SEKTOR

PETERNAKAN DI PROVINSI JAWA BARAT

ELISA QURIMANASARI

D24070130

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

iv

Judul : Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Peternakan di Provinsi Jawa Barat

Nama : Elisa Qurimanasari

NIM : D24070130

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr.) (Dr.Ir. Suryahadi, DEA.) NIP. 19670506 199103 1 001 NIP. 19561124 198103 1 002

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc. Agr) NIP: 19670506 199103 1 001

(6)

v RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jember, Jawa Timur pada tanggal 23 September 1989. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Mardi Santoso dan Ibu Endang Sulistyowati.

Pendidikan yang pernah ditempuh diawali dari Taman Kanak-Kanak (TK) Bhayangkari Jember tahun 1994-1996 kemudian dilanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sumbersari 1 Jember pada tahun 1996-2001 kemudian dilanjutkan ke Sekolah Menengah Tingkat Pertama Negeri (SMPN) 1 Jember pada tahun 2001-2004 kemudian dilanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Jember pada tahun 2004-2007. Penulis melanjutkan pendidikan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa sebagai anggota Biro Pengembangan Sumber Daya Manusia (2008-2009). Kemudian penulis aktif di Himpunan Profesi Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (Himasiter) sebagai sekretaris Biro Promosi, Wisuda dan Informasi (2009-2010) dan anggota Kelompok Pecinta Alam (KEPAL-D) Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis juga pernah melaksanakan magang di Perusahaan Susu Milkku di Jember, Jawa Timur pada tahun 2010.

(7)

vi KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil’alamin

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan studi, penelitian, seminar dan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta sahabat, keluarga dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Skripsi dengan judul Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Peternakan di Provinsi Jawa Barat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penyusunan skripsi ini merupakan wujud peran aktif dan konstribusi dalam dunia peternakan. Skripsi ini disusun dengan harapan dapat memberikan informasi dan kemudahan dalam perhitungan emisi gas rumah kaca dan tindakan mitigasi yang telah dilakukan peternak khususnya peternak sapi di Provinsi Jawa Barat.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Selain itu penulis sangat berharap agar dilakukan penelitian lebih lanjut misalnya penelitian di provinsi lainnya di Indonesia sehingga dapat dilakukan perbandingan emisi yang dihasilkan. Semoga skripsi ini bermanfaat dalam dunia peternakan serta menjadi catatan amal saleh. Amin.

Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan pada semua pihak yang turut membantu penyusunan skripsi ini, hanya Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang akan membalasnya.

Bogor, Juni 2011

(8)

vii DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

Penyebaran Ternak di Indonesia ... 3

Penyebaran Ternak di Provinsi Jawa Barat ... 3

Komposisi Gas dan Pembentukan Metan di dalam Rumen ... 4

Sistem Produksi Ternak dan Pemberian Pakan Ternak di Indonesia 5 Emisi Metan ... 6

Emisi Dinitrogen Oksida 6 Emisi Total 8 Manajemen Manur Memanfaatkan Kotoran Ternak menjadi Pupuk Kandang ... 9

Manajemen Manur Memanfaatkan Kotoran Ternak sebagai Bahan Baku Gasbio (Biogas) ... 9

Agriculture and Land Use (ALU) Software 10 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 11 Pakan Tambahan yang Dapat Mereduksi Emisi GRK 11 Kaliandra 12 Suplemen Urea Molasses Multinutrient Block (UMMB) 12 MATERI DAN METODE ... 13

Lokasi danWaktu ... 13

Materi ... 13

Software dan Data Pendukung ... 13

(9)

viii

Metode ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

Kesimpulan ... 57

Saran ... 57

UCAPAN TERIMA KASIH ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(10)

ix DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Nilai Default untuk Rataan Nitrogen yang Dieskresikan (kg N/

1000 kg Bobot Badan Ternak)/hari) di Asia ……… 7 2. Sumber Informasi dan Kebutuhan dalam Pembuatan Program ……... 18 3. Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 …………. 21 4. Data Populasi Sapi Potong dan Kerbau Berdasarkan Bangsa

dan Klasifikasi Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat ……… 23 5. Data Bobot Badan Ternak Sapi dan Kerbau Berdasarkan Bangsa,

Umur Ternak, dan Jenis Kelamin ……… 26

6. Data Pertumbuhan Bobot Badan Harian Sapi dan Kerbau

Berdasarkan Bangsa dan Klasifikasi Populasi Ternak ……… 27 7. Data Tipe Bobot Badan Dewasa Ternak Sapi dan Kerbau

Berdasarkan Bangsa Ternak ……… 27

8. Data Sistem Pemeliharaan Sapi dan Kerbau Berdasarkan Bangsa,

Umur Ternak dan Jenis Kelamin ………. 28

9. Data Pakan yang Dicerna (Digestable Energy) Ternak Sapi dan

Kerbau Berdasarkan Bangsa dan Klasifikasi Populasi Ternak …...… 31 10. Faktor Emisi Metan dari Fermentasi Enterik dan Manajemen

Manur Berdasarkan Jenis Ternak ……….. 35

11. Faktor Emisi Dinitrogen Oksida dari Manajemen Manur

(Direct/Langsung) ……… 37

12. Koefisien untuk Menghitung Faktor Emisi N2O Tidak Langsung

/Indirect dari Manajemen Manur Menggunakan Model I ………….. 40 13. Koefisien untuk Menghitung Faktor Emisi N2O Tidak Langsung

/Indirect dari Manajemen Manur Menggunakan Model II …………. 42 14. Emisi Metan dari Fermentasi Enterik dan Manajemen Manur

untuk Tiap Jenis Ternak Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 ……… 44 15. Emisi Dinitrogen Oksida untuk Tiap Jenis Ternak di Provinsi

Jawa Barat Tahun 2008 ……… 47

16. Emisi Total Berdasarkan Jenis Ternak di Provinsi Jawa Barat

Tahun 2008 ………. 50

17. Emisi Total Berdasarkan Sumber Emisi di Provinsi Jawa Barat

Tahun 2008 ………. 51

(11)

x DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Struktur Populasi Sapi Potong Berdasarkan Bangsa Sapi Potong

di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2004 ……… 22 2. Struktur Populasi Sapi Potong Berdasarkan Klasifikasi Populasi

di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007……… 22

3. Struktur Populasi Kerbau Berdasarkan Klasifikasi Populasi

Ternak di Kabupaten Bogor Tahun 2007 ……….. 23 4. Grafik Emisi Metan dari Fermentasi Enterik Tahun 2004-2008

Menggunakan Model I dan Model II ……….. 45

5. Grafik Emisi Metan dari Manajemen Manur Tahun 2004-2008

Menggunakan Model I dan Model II ……..………. 46 6. Grafik Emisi N2O dari Manajemen Manur Tahun 2004-2008

Menggunakan Model I dan Model II ..………. 49

7. Persentase Emisi Total Tahun 2008 Menggunakan Model I

(12)

xi DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Pohon Keputusan untuk Karakterisasi Populasi Ternak …………. 65 2. Pohon Keputusan Emisi CH4 dari Fermentasi Enterik ……… 66 3. Pohon Keputusan untuk Emisi CH4 dari Manajemen Manur …… 67 4. Pohon Keputusan untuk Emisi N2O dari Manajemen Manur ……. 68 5. Definisi Sistem Manajemen Kotoran Ternak ……….. 69 6. Nilai Faktor Konversi Sistem Manajemen Manur (MCFs)

Berdasarkan Jenis Ternak ……….. 71

7. Nilai Volatile Solid (VS) dan Jumlah Maksimum Metan yang Dihasilkan Manur (Bo) Berdasarkan Jenis Ternak ……….. 72 8. Data Populasi Sapi Potong di Provinsi Jawa Barat Tahun

2004-2008 ………. 73

9. Data Populasi Sapi Perah di Provinsi Jawa Barat Tahun

2004-2008 ………. 74

10. Data Populasi Kerbau di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 … 75 11. Data Populasi Kuda di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 …... 76 12. Data Populasi Kambing di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008... 77 13. Data Populasi Domba di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 … 78 14. Data Populasi Babi di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 …… 79 15. Data Populasi Ayam Buras di Provinsi Jawa Barat Tahun

2004-2008 ……….. 80

16. Data Populasi Ayam Ras Petelur di Provinsi Jawa Barat Tahun

2004-2008 ……….. 81

17. Data Populasi Ayam Ras Pedaging di Provinsi Jawa Barat Tahun

2004-2008 ……….. 82

18. Data Populasi Itik di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 ……. 83 19. Populasi Ternak (ribu ekor) di Indonesia Tahun 2004-2008 ……... 84 20. Emisi Metan dari Fermentasi Enterik di Provinsi Jawa Barat

Tahun 2008 ………. 85

21. Emisi Metan dari Manajemen Manur di Provinsi Jawa Barat

Tahun 2008 ………. 86

22. Emisi N2O Langsung dari Manajemen Manur di Provinsi Jawa

(13)

xii 23. Emisi N2O Tidak Langsung dari Manajemen Manur di Provinsi

(14)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanasan global yang mulai terlihat dampaknya belakangan ini membuat seluruh dunia menjadi sadar bahwa diperlukan adanya tindakan untuk mengurangi kegiatan yang dapat menghasilkan gas rumah kaca (GRK). Hal ini dikarenakan pemanasan global memberikan berbagai dampak negatif bagi kehidupan antara lain perubahan iklim dan gangguan kesehatan. Gas rumah kaca merupakan gas yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. Kontribusi gas rumah kaca terhadap pemanasan global tergantung dari jenis gasnya. Gas rumah kaca yang penting kontribusinya terhadap pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metan (CH4), dinitrogen oksida (N2O), perfluorocarbon (PFC), hydrofluorocarbon (HFC) dan sulphur hexafluoride (SF6).

Diperkirakan Indonesia menduduki urutan ketiga sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca di dunia, setelah Negara Cina dan Amerika Serikat. Pada tahun 2006, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengeluarkan laporan “Livestock’s Long Shadow” dengan kesimpulan bahwa sektor peternakan merupakan salah satu penyebab utama pemanasan global. Sumbangan sektor peternakan terhadap pemanasan global sekitar 18%, lebih besar dari sumbangan sektor transportasi di dunia yang menyumbang sekitar 13,1% (FAO, 2006). Selain itu, sektor peternakan dunia juga menyumbang 37% metan dan 65% dinitrogen oksida (IPCC, 2001).

(15)

2 Dalam rangka menanggulangi dampak pemanasan global, diperlukan adanya

inventory dan mitigasi. Inventory (perhitungan) dilakukan untuk mengetahui sumber emisi gas rumah kaca serta besar emisi yang dihasilkan. Mitigasi dilakukan untuk memperoleh level emisi tertentu dengan mengganti teknologi yang sudah ada dengan teknologi yang baru. Perhitungan atau inventory gas rumah kaca (GRK) dari sektor peternakan di Indonesia yang sudah dilakukan mengacu pada standar Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang tidak selalu sesuai dengan kondisi peternakan di Indonesia. Hal ini menyebabkan perlu dilakukan perhitungan emisi GRK dari subsektor peternakan Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Barat karena Provinsi Jawa Barat merupakan sentra peternakan terbesar kedua di Indonesia setelah Provinsi Jawa Timur. Perhitungan gas metan maupun gas dinitrogen oksida menggunakan program ALU Tools yang membutuhkan data populasi dari tiap kategori ternak di Provinsi Jawa Barat mulai dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 dan untuk menentukan faktor emisi diperlukan data mengenai manajemen manur dan data-data lainnya untuk tiap kategori jenis ternak di Provinsi Jawa Barat.

Tujuan

1. Inventory terhadap emisi metan (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O).

2. Validasi data sesuai dengan subkategori yang lebih spesifik berdasarkan jenis ternak, bangsa ternak, maupun studi populasi.

3. Proyeksi kenaikan/penurunan emisi gas rumah kaca di Provinsi Jawa Barat tahun 2004-2008.

4. Penentuan model dalam inventory gas rumah kaca di Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Barat.

(16)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Penyebaran Ternak di Indonesia

Data statistik peternakan Indonesia menyebutkan bahwa semua jenis ternak mulai ruminansia sampai unggas tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Namun demikian, sapi perah hanya ada di provinsi tertentu karena sapi perah membutuhkan lingkungan dan suhu tertentu yang sangat berpengaruh terhadap produksi susunya (Susilorini et al., 2008). Berdasarkan data badan pusat statistik tahun 2008 populasi ternak tertinggi adalah ternak ayam ras pedaging yaitu sebanyak 991.281.000 ekor dan untuk ternak ruminansia populasi tertinggi adalah ternak kambing yaitu sebanyak 15.815.000 ekor kemudian ternak sapi potong yaitu sebanyak 12.257.000 ekor. Populasi ternak terendah pertama adalah ternak kuda yaitu sebesar 393.000 ekor. Data ternak di Indonesia tahun 2004-2008 untuk tiap jenis ternak pada umumnya mengalami kenaikan. Data populasi ternak di Indonesia selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 19.

Penyebaran Ternak di Provinsi Jawa Barat

(17)

4 2004-2008 untuk tiap jenis ternak pada umumnya mengalami kenaikan. Untuk data populasi ternak di Indonesia selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Komposisi Gas dan Pembentukan Metan di Dalam Rumen

Komposisi gas di dalam rumen kurang lebih terdiri dari 63%-63,35 % CO2; 26,76%-27 % CH4; 7% N2 dan sedikit H2S; H2 dan O2. Karena kondisi anaerob di dalam rumen merupakan faktor yang sangat penting maka produksi CO2 pada proses fermentasi sangat menentukan terciptanya kondisi anaerob (Wilkie, 2000).

Menurut Wilkie (2000) peranan hidrogen dalam proses produksi metan adalah sebagai sumber elektron, sehingga rendahnya kadar H2 di dalam rumen merupakan petunjuk adanya aktivitas menggunakan H2 untuk mengurangi CO2 menjadi CH. Di samping itu, untuk membentuk satu mol CH4 diperlukan empat mol H2, maka laju penggunaan H2 adalah empat kali laju produksi metan, sehingga H2 di dalam rumen tidak pernah terakumulir. Meskipun kadar nitrogen di dalam rumen sangat rendah, beberapa jenis bakteri memerlukan unsur N untuk pertumbuhannya. Sumber utama nitrogen untuk bakteri adalah amonia (NH3), peptida dan asam amino dari makanan.

Pembentukan gas bio berlangsung melalui suatu proses fermentasi anaerobik atau tidak berhubungan dengan udara bebas. Proses fermentasinya merupakan suatu reaksi oksidasi-reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan energi. Di mana sebagai donor dan akseptor elektronnya digunakan senyawa organik. Fermentasi anaerobik hanya dapat dilakukan oleh mikroba yang dapat menggunakan molekul lain selain oksigen sebagai akseptor elektronnya (Wilkie, 2000). Fermentasi anaerobik menghasilkan gas bio yang terdiri dari metana sebanyak 30%-50%, karbon dioksida 25%-45%, sedikit hidrogen, nitrogen dan hidrogen sulfide (Soejono et al., 1990). Keseluruhan reaksi pembentukan gas bio dinyatakan dalam reaksi sebagai berikut :

Bahan Organik Mikroorganisme CH4 + CO2 + H2S + H2 + N2 anaerobik

(18)

5 hidrolitik ini bekerja pada suhu antara 30-40˚C untuk kelompok mesophilik dan 50-60˚C untuk kelompok thermofilik. Tahap pertama proses ini berlangsung dengan pH optimum antara 6-7 (Soejono et al., 1990). Pada tahap kedua organisme pembentuk asam merubah senyawa sederhana dari tahap pertama di atas menjadi asam organik mudah menguap seperti asam asetat, asam butirat, asam propionat dan lain-lain. Dengan terbentuknya asam organik maka pH akan terus menurun. Namun pada waktu yang bersamaan terbentuk pula buffer alkali (larutan penghambat alkali) yang dapat menetralisir pH (Soejono et al., 1990). Tahap ketiga adalah konversi asam organik menjadi metan, CO2, dan gas lain dalam jumlah sedikit oleh bakteri metan. Bakteri metan yang aktif pada tahap ini antara lain : Methanobacterium omelianskii, M. sobngenii, M. suboxydans, M. propionicum, M. formicium, M. ruminantum, M. bakeril, M. vannielii, M. mazei (Soejono et al., 1990).

Sistem Produksi Ternak dan Pemberian Pakan Ternak di Indonesia

(19)

6 Emisi Metan

Manur yang terdiri dari feses dan urin merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manur dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses (Sihombing, 2000). Selain menghasilkan feses dan urin, dari proses pencernaan ternak ruminansia menghasilkan gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1% per tahun dan terus meningkat (Suryahadi et al., 2002). Sedangkan menurut Crutzen (1986), kontribusi emisi metan dari peternakan mencapai 20%-35% dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfer. Di Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan (Suryahadi et al., 2002).

Emisi Dinitrogen Oksida

Emisi dinitrogen oksida dilihat dari manajemen manur dimana terdapat emisi dinitrogen oksida secara langsung dan tidak langsung. Tingkat ekskresi nitrogen tahunan harus ditentukan untuk setiap kategori jenis ternak yang ditentukan berdasarkan populasi tiap jenis ternak. Data-data yang dibutuhkan untuk perhitungan emisi dinitrogen oksida dapat diambil langsung dari dokumen atau laporan dari industri peternakan ataupun peternak rakyat dan literatur ilmiah atau berasal dari penelitian. Jika data tidak tersedia maka menggunakan model I yaitu standar IPCC. Nilai disajikan dalam satuan nitrogen yang diekskresikan per 1000 kg/ekor/hari.

Nilai ini dapat diterapkan untuk setiap jenis ternak dengan berbagai usia dan tahap pertumbuhan dengan rataan bobot badan tiap jenis ternak (TAM) yang ditunjukkan dengan persamaan :

(20)

7 Ket. : Nex (T) : N yang diekskresikan tiap jenis ternak T (kg N/ekor/tahun)

Nrate(T) : default rataan N yang diekskresikan (kg N/(1000kg Bobot Badan ternak)/hari)

TAM(T) : tipe bobot badan ternak untuk tiap jenis ternak T (kg/ekor)

Emisi N2O secara langsung terjadi melalui gabungan proses nitrifikasi dan denitrifikasi nitrogen yang terkandung dalam kotoran ternak. Emisi dari N2O dari kotoran ternak selama penyimpanan dan perlakuan tergantung pada kandungan karbon nitrogen dan jumlah kotoran ternak, dan pada jangka waktu penyimpanan dan jenis perlakuan. Nitrifikasi (oksidasi amonia nitrogen menjadi nitrat nitrogen) merupakan prasyarat yang diperlukan untuk menghitung emisi N2O dari penyimpanan kotoran ternak.

Tabel 1. Nilai Default untuk Rataan Nitrogen yang Diekskresikan (kg N/(1000kg Bobot Badan Ternak)/hari) di Asia

No. Jenis Ternak Nrate(T)

1. Sapi Perah 0,47

2. Sapi Potong 0,34

3. Kerbau 0,32

4. Babi 0,5

5. Domba 1,17

6. Kambing 1,37

7. Kuda 0,46

8. Unggas 0,82

Sumber: European Environmental Agency (2002)

(21)

8 yang didahului oleh nitrifikasi dengan kondisi aerobik yang diperlukan untuk pembentukan nitrogen teroksidasi. Selain itu, terdapat kondisi yang mencegah penurunan N2O untuk menghasilkan N2, seperti pH rendah atau uap air yang terbatas harus ada.

Emisi N2O tidak langsung dari manajemen manur merupakan hasil dampak negatif dari nitrogen volatile (Nitrogen yang mudah menguap) yang terjadi terutama dalam bentuk amonia dan NOx. Perkiraan jumlah nitrogen dari kotoran ternak yang sebagian besar digunakan untuk pupuk kandang, atau digunakan dalam pakan, bahan bakar, ataupun keperluan konstruksi maka diperlukan untuk mengurangi jumlah total nitrogen yang dikeluarkan oleh ternak yang dikelola oleh sistem kehilangan N melalui volatilisasi, konversi ke N2O dan kehilangan N melalui pencucian (Run off/leached) dan limpasan. Bentuk-bentuk organik dari bahan tempat tidur (jerami, serbuk gergaji, dll.) yang digunakan menghasilkan nitrogen tambahan sehingga bahan alas ternak juga harus dipertimbangkan sebagai bagian N dari kotoran ternak yang dijadikan pupuk kandang. Alas tidur ternak biasanya dikumpulkan dengan kotoran ternak yang tersisa dan ditumpuk di tanah. Mineralisasi senyawa nitrogen dalam beddings terjadi lebih lambat dibandingkan dengan kotoran ternak saja dan konsentrasi fraksi amoniak dalam beddings organik dapat diabaikan, baik N yang hilang karena penguapan dan pencucian selama penyimpanan beddings

diasumsikan nol (European Environmental Agency, 2002).

Adanya kehilangan N secara langsung dan tidak langsung yang signifikan dari nitrogen yang dihasilkan kotoran ternak di dalam sistem manajemen manur sehingga sangat diperlukan untuk memperkirakan jumlah sisa nitrogen dari manur yang tersedia untuk dijadikan pupuk atau digunakan dalam pakan, bahan bakar, ataupun tujuan konstruksi.

Emisi Total

(22)

9 potensi pemanasan global (Global Warming Potential - GWP) yang diukur secara relatif berdasarkan emisi CO2 dengan nilai satu. Indeks GWP mencerminkan potensi setiap komponen GRK untuk menyebabkan pemanasan global, yang nilainya dipengaruhi oleh masa tinggal di atmosfer dan kemampuannya dalam penyerapan sinar infra merah. Makin besar nilai GWP makin bersifat merusak. Berdasarkan perhitungan untuk beberapa tahun belakangan ini dapat disimpulkan bahwa kontribusi CO2 terhadap pemanasan global mencapai lebih dari 60% (Mimuroto dan Koizumi, 2003). Menurut IPCC (2001) indeks GWP untuk CH4 dan N2O masing-masing sebesar 23 dan 296. Nilai tersebut merupakan reaksi terhadap nilai GWP oleh IPCC 1996 yaitu masing-masing sebesar 21 dan 310 untuk CH4 dan N2O (EEA, 2004). Nilai GWP yang dikeluarkan oleh IPCC berdasarkan lamanya gas CH4 maupun N2O selama 100 tahun di atmosfer. Sebagai dasar penilaian fluks CH4 dan N2O pada peternakan digunakan potensi pemanasan global sebagai penjumlahan dari hasil kali total fluks masing-masing gas terhadap indeks GWPnya.

Manajemen Manur dengan Memanfaatkan Kotoran Ternak menjadi Pupuk Kandang

Cara mengubah manur menjadi pupuk kandang cukup mudah. Sebenarnya dengan membiarkan begitu saja di kandang, dalam waktu tertentu manur akan berubah menjadi pupuk kandang. Namun jika tidak ditangani dengan baik, hal ini akan menyebabkan pencemaran lingkungan dan penyusutan unsur hara dalam kotoran tersebut (Setiawan, 1996). Manajemen manur menjadi pupuk kandang menghasilkan emisi metan dan dinitrogen oksida.

Manajemen Manur dengan Memanfaatkan Manur sebagai Bahan Baku Gasbio (Biogas)

(23)

10 untuk pembuatan gasbio adalah ketersediaan kotoran ternak sebagai bahan baku pembuatan biogas dan suhu udara yang sesuai. Ketersediaan dalam hal ini tidak hanya berarti jumlahnya yang mencukupi, tetapi juga kelangsungannya (kontinuitas). Suhu yang paling baik untuk berlangsungnya proses pembentukan gasbio adalah sekitar 32-37° C . Suhu udara yang terlalu rendah (< 15° C) atau terlalu tinggi kurang baik untuk pembentukan gasbio (Setiawan, 1996).

Agriculture and Land Use (ALU) Software

Awalnya ALU dikembangkan melalui proyek pembangunan sektor pertanian di Amerika Tengah. Program ini awalnya disebut CAALU - Central America Agriculture and Land Use Software. ALU dikembangkan untuk digunakan sebagai bagian dari proyek di negara-negara Asia Tenggara. Hal ini memerlukan beberapa perbaikan antara lain: lebih mudah digunakan, grafis antarmuka, lingkungan operasi lebih stabil, dan ditambahkan pilihan bagi pengguna untuk memasukkan data dan menetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi (IPCC, 2001).

(24)

11 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) adalah organisasi yang bisa memberikan kebijakan berkaitan dengan perubahan iklim dengan tujuan memberikan sumber informasi objektif mengenai perubahan iklim. IPCC tidak mempunyai tugas melakukan penelitian mengenai perubahan iklim atau memonitor data-data iklim ataupun parameter-parameter terkait dengan perubahan iklim (Risnandar, 2008).

IPCC merupakan lembaga ilmiah yang dibentuk oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan Lembaga PBB dalam program lingkungan (UNEP /united nation environment program).Perubahan iklim secara global merupakan suatu hal yang sangat kompleks dan memerlukan penanganan serius. Perubahan iklim global memerlukan kebijakan menyeluruh dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial ekonomi masyarakat. Perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan membutuhkan organisasi yang netral yang bisa memberikan pencerahan mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Terkait dengan keputusan mengenai suatu kebijakan IPCC berada dalam posisi netral sehingga diharapkan segala hal yang diputuskan oleh IPCC dapat diterima dan diakui oleh semua negara (Risnandar, 2008).

Pakan Tambahan yang Dapat Mereduksi Emisi GRK

Pakan tambahan yang dapat mereduksi emisi GRK dari jenis tumbuhan sebagian besar merupakan tanaman leguminosa. Hal ini dikarenakan tanaman leguminosa dapat mengikat Nitrogen di udara sehingga dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup di dalam tanah. Tanaman legum yang dapat mereduksi GRK antara lain kembang sepatu, gamal, kaliandra, dll. Selain itu perbaikan kualitas pakan dengan adanya pakan tambahan yang salah satunya berupa Urea Molasses Block

(25)

12 Kaliandra

Salah satu bahan pakan hijauan yang dapat dijadikan pakan alternatif pengganti konsentrat adalah Kaliandra (Calliandra calothyrsus). Kaliandra termasuk tanaman leguminosa yang biasanya tumbuh liar namun bisa dimanfaatkan sebagai pengendali erosi dan tanaman naungan (Djaja et al., 2007). Kandungan nutrisi daun Kaliandra cukup potensial sebagai sumber pakan alternatif pengganti konsentrat karena mengandung 26,4% bahan kering; 24% protein kasar; 21,7% serat kasar; 8% abu; 1,6% Ca; 0,2% P; dan 12,6% energi (Simbaya, 2002). Faktor pembatas pemanfaatannya adalah tanin, namun tidak berpengaruh bila pemberiannya sekitar 30%-40% dalam ransum (Djaja et al., 2007).

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Djaja et al. (2007) bahwa ada dua manfaat dari kombinasi rumput, konsentrat 80% + daun kaliandra 20% yaitu produksi susu dengan kadar lemak sebesar 4% meningkat dan mampu menghemat anggaran untuk pembelian konsentrat. Dengan demikian, pemberian Daun Kaliandra dapat memberikan manfaat yang cukup signifikan terhadap biaya pakan.

Suplemen Urea Molasses Multinutrient Block (UMMB)

(26)
(27)

14 MATERI DAN METODE

Lokasi dan waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Komputer, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada Bulan September 2010 sampai Bulan Februari 2011.

Materi Software dan Data Pendukung

Software yang digunakan dalam penyusunan aplikasi ini adalah Sistem Operasi ALU Tools dan Microsoft Excel 2007. Sumber informasi yang digunakan berupa data sekunder dan data sekunder. Data sekunder terdiri dari data digestable energi, data populasi ternak berdasarkan bangsa ternak, data kandungan lemak susu, data produksi susu, data bobot badan ternak melalui studi pustaka. Data primer berupa data kondisi peternakan sapi perah hasil survei di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah Cibungbulang-Bogor yang dilakukan mahasiswa Departemen INTP tahun 2009 dan di Kawasan Pengalengan-Bandung yang telah dilakukan serta hasil wawancara dengan PT Lembu Jantan Perkasa Breeding-Serang. Bahan-bahan yang digunakan adalah tabel-tabel data populasi ternak di Provinsi Jawa Barat tahun 2004-2008, data populasi sapi potong berdasarkan bangsa ternak di Kabupaten Tasik, rumus-rumus yang digunakan ALU Tools, dan data mengenai manajemen manur di Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Barat.

Peralatan Pendukung

(28)

15 Metode

a. Koleksi data populasi ternak di Jawa Barat dalam lima tahun terakhir (tahun 2004-2008) berdasarkan bangsa sapi, umur sapi, jenis kelamin, sistem manajemen manur.

b. Penentuan standar-standar produktifitas berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya (studi pustaka) yang terdiri dari data digestable energi (%DE), data populasi ternak berdasarkan bangsa ternak, data kandungan lemak susu, data produksi susu, dan data bobot badan ternak.

c. Penentuan model (menentukan sistem produksi yang tepat sesuai dengan ALU Software). Model ditentukan sesuai dengan data yang tersedia. Model untuk perhitungan emisi metan maupun dinitrogen oksida digambarkan dengan pohon keputusan yang terdapat pada lampiran 1-4.

Pengujian model pendugaan emisi GRK berdasarkan dua model: i. Model I menggunakan IPCC 2006 Nasional (Default-IPCC).

ii. Model II menggunakan IPCC 2006 enhanced dilengkapi struktur populasi ternak dan bangsa ternak.

Pendugaan Gas Rumah Kaca dari Ternak (CH4 dan N2O) terdiri dari:

i. Emisi metan dari fermentasi enterik menggunakan model I dan model II.

(29)

16 d. Perhitungan emisi GRK dari sektor peternakan di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan Program ALU Tools. Rumus-rumus yang digunakan antara lain:

i. Emisi metan dari fermentasi enterik yang terjadi dalam tubuh ternak. Lent = (Populasi x EFb)/1.000.000 di mana Lent adalah emisi metan dalam Gg CH4 dan EFb adalah faktor emisi metan dalam satuan kg CH4/ekor/tahun.

ii. Emisi metan dari manajemen manur.

Lmm = (Populasi x EFb)/1.000.000 di mana Lmm adalah emisi metan dalam Gg CH4 dan EFb adalah faktor emisi metan dalam satuan kg CH4/ekor/tahun.

iii. Emisi dinitrogen oksida dari manajemen manur secara langsung. Nm = (Populasi x (Nex x Nadj) x (%MMS/100)) di mana Nm adalah emisi dinitrogen oksida dalam kg N, Nex adalah rataan N yang diekskresikan dengan satuan kg N/ekor/tahun, Nadj adalah nilai perkiraan N dengan satuan unit dan %MMS adalah persentase manajemen manur yang digunakan dengan satuan persen. Kemudian dilakukan perhitungan menggunakan rumus L(N2O)dir = (Nm*EF*(44/28))/1.000.000 di mana L(N2O)dir adalah emisi dinitrogen oksida secara langsung (direct) dan EF adalah faktor emisi. iv. Emisi dinitrogen oksida dari secara tidak langsung dari manajemen manur dilakukan dengan menjumlahkan perhitungan emisi N2O secara tidak langsung melalui leached (pencucian) / run off

(L(N2O)Ir), perhitungan emisi N2O secara tidak langsung dari N terdeposisi yang terdapat di atmosfer (L(N2O)Ndep), dan pehitungan emisi N2O dari kotoran ternak dalam PRP (L(N2O)dir).

(30)

17 %PRP adalah persentase kotoran ternak dalam PRP yang digunakan dengan satuan persen.

L(N2O)Ndep = (Nm x FNv x Efv x (44/28))/1.000.000 di mana Nm

adalah emisi dinitrogen oksida dalam kg N, FNv adalah N yang menguap (volatilized) dalam satuan kg N volatilized/kg N, Efv adalah faktor emisi N yang menguap dengan satuan kg N2O-N/kg N volatilized.

L(N2O)Ir = (Nm x FN Ir x EF Ir x (44.28))/1.000.000 di mana Nm

adalah emisi dinitrogen oksida dalam kg N, FN Ir adalah N yang hilang karena pencucian (leached/run off) dengan satuan kg N leached & run off/ kg N leached, EF Ir adalah faktor emisi N yang hilang karena pencucian dengan satuan kg N2O-N / kg N leached & runoff.

L(N2O)dir = (Nm x Ef x (44/28))/1.000.000 di mana Nm adalah

emisi dinitrogen oksida dalam satuan kg N, Ef adalah faktor emisi dinitrogen oksida dalam satuan kg N2O-N/kg.

L(N2O) = L(N2O)Ir + L(N2O)Ndep + L(N2O)dir di mana L(N2O) merupakan emisi dinitrogen oksida total dari manajemen manur secara tidak langsung/indirect.

v. Konversi emisi metan dan dinitrogen oksida ke dalam bentuk karbon menggunakan ketetapan dari IPCC (2001) yaitu indeks GWP karbon sama dengan satu sehingga untuk menghitung emisi metan total setara karbon dengan dikalikan 23 dan dinitrogen oksida total setara karbon dengan dikalikan 296. Hal ini berdasarkan IPCC (2001) bahwa indeks GWP metan 23 dan indeks GWP dinitrogen oksida 296. Nilai GWP yang dikeluarkan oleh IPCC berdasarkan lamanya gas CH4 maupun N2O selama 100 tahun di atmosfer.

e. Analisis data hasil perhitungan emisi GRK.

(31)

18 penetapan faktor-faktor emisi dan Modul III yaitu hasil perhitungan emisi lengkap (Deborah et al., 2006).

f. Melakukan wawancara dengan 10 orang peternak sapi di Provinsi Jawa Barat yaitu di Peternakan Sapi Perah Kunak-Kabupaten Bogor, Peternakan Sapi Perah KPBS-Pengalengan, Kabupaten Bandung dan Peternakan Sapi Potong PT. Lembu Jantan Perkasa-Serang untuk mengetahui manajemen kotoran ternak, kandungan lemak susu sapi dan tindakan mitigasi yang telah dilakukan peternak selama ini. Pemilihan narasumber dilakukan dengan metode trial and error. Hal ini digunakan untuk melengkapi data primer dan data sekunder yang diperlukan dalam program ALU Tools dan mengetahui tindakan mitigasi yang telah dilakukan peternak.

Tabel 2. Sumber Informasi dan Kebutuhan dalam Pembuatan Program

No Jenis Data Input Data

1. Identitas peternak Nama, umur, pendidikan, mulai beternak.

2. Data Ternak

Kode Ternak Data individu ternak.

Status fisiologis Induk laktasi, sapi kering kandang, sapi dara, sapi jantan, sapi

pedet betina, sapi pedet jantan. Ternak selain sapi menggunakan data anak (jantan dan betina), muda (jantan dan betina), dan dewasa (jantan dan betina).

Body Score Body Score ternak.

Umur Ternak Data sebenarnya atau diperkirakan oleh peternak.

Bobot badan Bobot badan terbaru yang dapat diperkirakan berdasarkan

lingkar dada atau berdasarkan data perhitungan menggunakan timbangan dari peternak.

Status kehamilan Status kehamilan ternak.

3. Evaluasi Nutrisi

(32)

19

No Jenis Data Input Data

4. Reproduksi

Periode laktasi Periode laktasi.

Produksi susu harian (khusus untuk sapi perah)

Produksi susu dalam L/ekor/hari.

5. Pemberian Pakan

tambahan

Pemberian pakan tambahan yang diberikan peternak seperti urea molasses block, feed supplement, mineral mix dan legume.

6. Kandungan Lemak Susu Rataan kandungan lemak susu yang dihasilkan sapi dan

kerbau.

7. Penanganan Kotoran dan

Biogas

Penanganan kotoran ternak yang biasa dilakukan peternak dan penggunaan biogas yang telah dilakukan peternak.

8. Kandungan Abu pada

Kotoran Ternak

Kandungan abu yang terdapat pada kotoran ternak.

9. Rataan pertumbuhan

bobot badan

Pertumbuhan bobot badan ternak per hari.

10. Digestable Energy Data digestable energy (energi yang telah dicerna) tiap jenis ternak.

11. Sistem Pemeliharaan Data sistem pemeliharaan berdasarkan jenis dan klasifikasi

(33)

20 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008

Sebagian besar peternakan di Indonesia merupakan peternakan rakyat. Berdasarkan data statistik peternakan menyebutkan bahwa semua jenis ternak mulai ruminansia sampai unggas tersebar di seluruh provinsi di Indonesia (Susilorini et al., 2008). Populasi ternak tertinggi di Indonesia adalah ternak ayam ras pedaging yaitu sebanyak 991.281.000 ekor dan untuk ternak ruminansia populasi tertinggi adalah ternak kambing yaitu sebanyak 15.815.000 ekor kemudian ternak sapi potong yaitu sebanyak 12.257.000 ekor. Populasi ternak terendah pertama adalah ternak kuda yaitu sebesar 393.000 ekor. Data ternak di Indonesia tahun 2004-2008 untuk tiap jenis ternak pada umumnya mengalami kenaikan. Untuk data populasi ternak di Indonesia selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 19.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 populasi ayam buras dan ayam ras pedaging dihitung berdasarkan lama pemeliharaan. Populasi ternak tertinggi di Jawa Barat adalah ternak ayam ras pedaging yaitu sebanyak 40.022.126 ekor sedangkan ternak ruminansia terdiri dari ternak domba 5.311.836 ekor kemudian ternak kambing 1.431.012 ekor dan ternak sapi potong 295.554 ekor. Populasi ternak terendah ternak babi 4.773 ekor dan diikuti oleh ternak kuda 13.717 ekor. Tabel 3 menunjukkan bahwa ternak yang memiliki pertumbuhan populasi rata-rata tertinggi adalah ternak itik sebesar 13,44 % / tahun diikuti ternak domba sebesar 10,82 % / tahun dan ternak ayam ras pedaging sebesar 6,34 % / tahun sedangkan ternak yang paling rendah pertumbuhannya adalah ternak babi sebesar -6,51 % / tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan sentra peternakan domba.

(34)

21 Tabel 3. Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008

No. Jenis

Sumber : Buku Saku Statistik Tahun 2005-2009

(35)

22 dewasa. Data populasi ternak sapi potong berdasarkan bangsa ternak yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan estimasi dari persentase yang terdapat pada Gambar 1 sampai Gambar 3 dan estimasi populasi disajikan dalam Tabel 4.

Gambar 1. Struktur Populasi Sapi Potong Berdasarkan Bangsa Sapi Potong di Kab. Tasikmalaya Tahun 2004

Sumber: Dinas Peternakan Tasikmalaya (2004)

Gambar 1 menunjukkan estimasi sapi potong berdasarkan bangsa di Provinsi Jawa Barat. Populasi tertinggi adalah Sapi Peranakan Ongole (PO) sebesar 29,5% diikuti Sapi Limosin sebesar 23,97% dan populasi ternak terendah adalah Sapi Brangus sebesar 2,82%.

(36)

23 Gambar 2 mengestimasikan bahwa sapi potong di Jawa Barat memiliki presentase tertinggi adalah populasi ternak jantan dewasa yaitu sebesar 74,50% diikuti oleh ternak betina dewasa yaitu sebesar 17,11% dan persentase terendah adalah ternak pedet jantan maupun betina yaitu 0,05% .

Gambar 3. Struktur Populasi Kerbau Berdasarkan Klasifikasi PopulasiTernak di Kab. Bogor Tahun 2007

Sumber : Dinas Peternakan Bogor (2007)

Gambar 3 mengestimasikan bahwa populasi kerbau di Jawa Barat memiliki persentase tertinggi berdasarkan umur kerbau adalah dewasa betina yaitu sebsar 39,36% diikuti ternak dewasa jantan yaitu sebesar 16,11% sedangkan persentase terendah adalah ternak anak jantan yaitu sebesar 7,67%.

Berdasarkan Gambar 1 sampai Gambar 3 didapatkan estimasi populasi Sapi Potong Berdasarkan Bangsa dan Umur Ternak yang disajikan oleh Tabel 4.

Tabel 4. Data Populasi Sapi Potong dan Kerbau Berdasarkan Bangsa dan Klasifikasi Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat

No. Bangsa Ternak

Klasifikasi Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (ekor)

(37)

24 Lanjutan Tabel 4.

No. Bangsa Ternak

Klasifikasi Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (ekor)

Dewasa

Total Sapi Potong 295.554

7. Kerbau Kerja 2.350 5.741 1.575 2.199 1.601 1.119

8. Kerbau Potong 21.246 51.665 14.176 19.794 14.413 10.068

Total Kerbau 145.847

Penentuan Faktor Emisi

Faktor emisi didapatkan dengan cara memasukkan data-data yang dibutuhkan ke dalam software ALU Tools. Data-data yang dimasukkan sesuai dengan kebutuhan, apabila dibutuhkan data yang rinci maka menggunakan model II sedangkan model I digunakan ketika data yang tersedia kurang rinci. Langkah pertama yang harus dilakukan baik ketika menggunakan Model I maupun Model II adalah dengan melengkapi data populasi ternak. Populasi yang diisi pada model I maupun model II untuk ternak sapi perah, sapi potong, kerbau, kuda, domba, kambing, babi, itik dan ayam petelur dianggap dipelihara lebih dari setahun sedangkan untuk ternak ayam ras pedaging (broiler) selama 35 hari dan ayam buras (ayam kampung) selama 90 hari. Populasi rata-rata diperoleh menggunakan rumus : Populasi rata-rata = Lama Pemeliharaan (Populasi dalam satu tahun / 365 hari)

(38)

25 Model I (Default-IPCC)

Model I pada penelitian ini menggunakan faktor emisi yang diperoleh dari koefisien yang sudah ditetapkan IPCC (defaut-IPCC). Apabila menggunakan model I maka semua data populasi ternak diisi pada kolom basic (dasar). Default-IPCC yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data Asia yaitu Negara China.

Model II (enhanced- bangsa ternak dan klasifikasi populasi ternak)

Model II pada penelitian ini dilengkapi dengan bangsa ternak dan estimasi pakan yang diberikan pada tipe ternak di setiap bangsa ternak. Apabila menggunakan model II maka data populasi ternak sapi dan kerbau diisi pada kolom enhanced (dikembangkan) sedangkan ternak lainnya diisi pada kolom basic (dasar). Metode dalam Model II meminta penjelasan yang rinci di setiap ternak, produktivitas ternak, kualitas pakan dan data-data detail lainnya untuk mendukung estimasi yang lebih akurat yang digunakan di dalam perhitungan produksi metan dari fermentasi enterik. Maka dapat dihasilkan hasil perhitungan yang tepat dari kotoran ternak dan rata-rata nitrogen yang dieksresikan untuk menjelaskan emisi CH4 dan N2O dari manajemen kotoran ternak, fermentasi enterik maupun N yang melayang ke atmosfer.

Ternak sapi dan kerbau biasanya diklasifikasikan berdasarkan: pertumbuhan bobot badan harian, bobot ternak muda, pedet dan bobot badan dewasa. Setiap subkategori diisi dengan pakan yang diberikan. Pada umumnya data yang dibutuhkan untuk mengestimasi konsumsi pakan antara lain: bobot badan (kg), rataan pertambahan bobot badan harian (kg), sistem pemeliharaan (dikandangkan, digembalakan, dilepas pada ladang pastura), produksi susu per hari (Liter/hari), persentase kandungan lemak susu, rataan kerja yang dilakukan per hari (jam/hari), persentase betina laktasi, persentase betina bunting, dan persentase pakan yang dicerna (%DE).

(39)

26 bobot badan maka kebutuhan pakan semakin tinggi sehingga menghasilkan emisi yang semakin tinggi.

Tabel 5. Data Bobot Badan Ternak Sapi dan Kerbau Berdasarkan Bangsa, Umur Ternak dan Jenis Kelamin

No. Bangsa Ternak

Bobot Badan Ternak Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (kg)

Pedet Muda Dewasa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

1. Sapi PO** 100 100 200 200 400 360

2. Sapi Brahman* 100 100 201 201 401 361

3. Sapi Limosin** 101 101 201 201 402 362

4. Sapi Simental** 101 101 202 202 403 363

5. Sapi Brangus** 101 101 202 202 404 364

6. Sapi Simbra** 101 101 203 203 405 365

7. Sapi Perah**** 100 100 200 200 400 360

8. Kerbau*** 102 102 203 203 406 365

Sumber : *:PT.Lembu Jantan Perkasa , **: Ridwan (2010),*** : Robbani (2009), **** : KPBS (2011)

Berdasarkan Tabel 5 bobot badan tertinggi untuk sapi potong dicapai oleh Sapi Simbra dan bobot badan terendah dicapai oleh Sapi PO. Semakin tinggi nilai bobot badan semakin besar emisi yang dihasilkan (IPCC, 2007).

(40)

27 Tabel 6. Data Pertumbuhan Bobot Badan Harian Sapi dan Kerbau Berdasarkan

Bangsa dan Klasifikasi Populasi Ternak

No. Bangsa Ternak

PBBH Ternak Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (kg)

Pedet Muda Dewasa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

1. Sapi PO** 0,2 0,2 0,4 0,4 0,6 0,5

2. Sapi Brahman* 0,4 0,4 0,7 0,7 1,0 0,8

3. Sapi Limosin** 0,5 0,5 0,8 0,8 1,2 1,0

4. Sapi Simental** 0,5 0,5 0,8 0,8 1,2 1,0

5. Sapi Brangus** 0,4 0,4 0,7 0,7 1,0 0,8

6. Sapi Simbra** 0,4 0,4 0,7 0,7 1,0 0,8

7. Sapi Perah**** 0,4 0,4 0,7 0,7 1,0 0,8

8. Kerbau*** 0,1 0,1 0,2 0,2 0,3 0,2

Sumber : *:PT.Lembu Jantan Perkasa , **: Ridwan (2010),*** : Robbani (2009), **** : KPBS (2011)

Bobot Badan Dewasa. Bobot badan dewasa dari ternak dewasa merupakan syarat untuk menjelaskan pola pertumbuhan, termasuk pakan dan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Bobot badan dewasa melukiskan kondisi tubuh ternak.

Tabel 7. Data Tipe Bobot Badan Dewasa Ternak Sapi dan Kerbau Berdasarkan Bangsa Ternak

No. Bangsa Ternak Bobot Badan Dewasa (kg) Sumber Data

1. Sapi PO 250 Ridwan (2010)

2. Sapi Brahman 300 PT.Lembu Jantan Perkasa (2011)

3. Sapi Limosin 300 Ridwan (2010)

4. Sapi Simental 300 Ridwan (2010)

5. Sapi Brangus 275 Ridwan (2010)

6. Sapi Simbra 275 Ridwan (2010)

7. Sapi Perah 300 KPBS (2011)

8. Kerbau 250 Robbani (2009)

(41)

28 Jawa Barat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Robbani (2009) dalam skripsinya dituliskan bahwa kerbau dipelihara semi intensif yaitu kerbau pada pagi sampai menjelang siang hari dipekerjakan untuk membajak sawah kemudian kerbau siang hari dikandangkan sampai menjelang sore. Kerbau digembalakan sampai menjelang malam kemudian dikandangkan serta diberikan pakan pada malam hari. Jadi, waktu yang dibutuhkan ternak kerbau untuk dipekerjakan sekitar 5 jam. Hal ini diestimasikan kepada ternak kerbau kerja dewasa dan sapi potong dewasa. Pengolahan tanah sawah baik menggunakan sapi maupun kerbau dilakukan selama dua bulan dalam setahun sehingga dalam sehari dalam setahun waktu kerjanya adalah (60hari/365hari) x 5 jam = 0,822 jam/hari/tahun.

Sistem Pemeliharaan. Informasi detail tentang sistem pemeliharaan pada setiap jenis ternak sangat dibutuhkan untuk menghitung emisi dari fermentasi enterik karena interpolasi antara sistem pemeliharaan merupakan hal yang penting untuk menentukan koefisien faktor emisi. Sistem pemeliharaan intensif kandang (dry lot) menghasilkan emisi yang lebih tinggi daripada sistem pemeliharaan pasture (digembalakan). Hal ini dapat dilihat di bab selanjutnya yaitu faktor emisi yang dihasilkan. Pengukuran sistem pemeliharaan dilakukan berdasarkan wawancara dengan peternak dan diestimasikan bahwa peternak di Provinsi Jawa Barat mayoritas melakukan sistem pemeliharaan tersebut.

Sistem Pemeliharaan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (%)

Pedet Muda Dewasa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

(42)

29

Sistem Pemeliharaan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (%)

Pedet Muda Dewasa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

7. Sapi Perah**** K 100 100 100 100 100 100

Keterangan : K = dikandangkan; G = digembalakan

Sumber : *:PT.Lembu Jantan Perkasa , **: Ridwan (2010),*** : Robbani (2009), **** : KPBS (2011)

Rataan Produksi Susu Per Hari. Data produksi susu per hari pada umumnya didapatkan dari data sapi perah dan kerbau. Data ini didapatkan dari rataan produksi susu per hari dalam setahun (365 hari) atau laporan berdasarkan produksi susu harian sepanjang laktasi dalam setahun atau estimasi menggunakan produksi susu dalam semusim dibagi hari dalam semusim. Data produksi susu sapi dan kerbau menggunakan estimasi bahwa di Indonesia pada umumnya sapi perah memproduksi susu 10 liter per hari sedangkan untuk sapi potong dan kerbau diestimasikan memiliki produksi susu yang rendah yaitu 3 liter karena susunya hanya digunakan untuk menyusui anak. Rataan produksi susu per hari menggambarkan tingkat kebutuhan konsumsi ternak. Semakin tinggi produksi susu maka semakin tinggi kebutuhan konsumsinya sehingga meningkatkan emisi yang dihasilkan.

(43)

30 Persentase Betina Bunting dan Persentase Betina Laktasi. Pada umumnya untuk ternak sapi maupun ternak kerbau persentase betina bunting lebih besar daripada betina laktasi. Hal ini dikarenakan ternak mengalami kebuntingan terlebih dahulu kemudian mengalami masa laktasi. Selain itu untuk ternak sapi potong dan kerbau masa laktasinya lebih singkat daripada ternak sapi perah. Persentase betina bunting dan laktasi untuk ternak sapi potong berdasarkan penelitian Setiawan (2005) pada skripsinya yang menyebutkan bahwa sapi potong di daerah Jawa Barat memiliki persentase betina bunting sebesar 45% dan betina laktasi sebesar 40% sedangkan persentase betina bunting untuk ternak kerbau berdasarkan penelitian Robbani (2009) menyatakan bahwa kerbau di Prov. Jawa Barat memiliki persentase betina bunting sebesar 40% dan persentase betina laktasi sebesar 30%.

Persentase Pakan yang Dicerna. Nilai energi bruto (Gross Energy) dalam pakan yang tidak diekskresikan menjadi feses merupakan pakan yang dicerna. Pakan yang dicerna pada umumnya dinyatakan dalam persentase GE atau TDN (Total Digestable Nutrient). Ternak ruminansia di Indonesia pada umumnya memiliki nilai pakan yang dicerna antara 55%-75% untuk pastura yang baik, pengawetan hijauan yang baik, dan pakan berbasis hijauan dengan suplemen konsentrat. Variasi dalam pakan yang dicerna dilaporkan dengan variasi pada umumnya dalam estimasi pakan yang dibutuhkan ternak dan saling berhubungan dengan emisi metan dan jumlah kotoran ternak yang diekskresikan. Estimasi yang akurat dari %DE sangat penting dalam menghitung konsumsi pakan dan emisi yang akan ditekankan. Dengan kesalahan 10% dari rataan persentase konsumsi pakan (%DE) atau %TDN akan menghasilkan emisi CH4 yang dihasilkan dari tiap ternak yaitu antara 12%-20% (Deborah et al., 2006).

(44)

31 Tabel 9. Data Pakan yang Dicerna (Digestible Energy) Ternak Sapi dan Kerbau

Berdasarkan Bangsa dan Klasifikasi Populasi Ternak

No. Bangsa Ternak

Klasifikasi Ternak Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (%)

Pedet Muda Dewasa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

1. Sapi PO 60 60 60 60 60 60

2. Sapi Brahman 67 67 67 67 67 67

3. Sapi Limosin 66 66 66 66 66 66

4. Sapi Simental 66 66 66 66 66 66

5. Sapi Brangus 65 65 65 65 65 65

6. Sapi Simbra 65 65 65 65 65 65

7. Sapi Perah 60 60 60 60 60 60

8. Kerbau 55 55 55 55 55 55

Sumber : Susilorini et al. (2008)

Hasil Faktor Emisi menggunakan ALU Tools

Emisi Metan dari Fermentasi Enterik

(45)

32 (Gross Energy) dan faktor konversi metan untuk setiap kategori. Beberapa faktor konversi emisi dalam penelitian ini masih menggunakan default-IPCC karena belum ada penelitian di Indonesia yang berkaitan dengan faktor emisi berdasarkan jenis ternak. Di Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Barat pemberian pakan ternak sapi dan kerbau mendapatkan kualitas pakan yang rendah dan limbah pertanian (by-product) serta ada pula yang digembalakan di mana memiliki faktor konversi metan (Ym) yang sama yaitu 6,5% ± 1% (IPCC, 2009).

Faktor konversi metan (Ym) dipengaruhi oleh efek kecernaan (%DE), pakan berdasarkan konsumsi bahan kering yang berhubungan dengan bobot badan, komposisi kimia ransum, kandungan mikroba dan partikel yang bertahan di dalam saluran pencernaan, dan variasi dari populasi mikroba di dalam sistem saluran pencernaan. Populasi mikroba paling tinggi terdapat di dalam rumen. Komposisi gas didalam rumen kurang lebih terdiri dari 63%-63,35% CO2, 26,76%-27% CH4, 7% N2 dan sedikit H2S, H2 dan O2. Karena kondisi anaerob di dalam rumen merupakan faktor yang sangat penting maka produksi CO2 pada proses fermentasi sangat menentukan terciptanya kondisi anaerob (Wilkie, 2000).

Emisi Metan dari Kotoran Ternak

(46)

33 Model II digunakan jika bobot badan yang sudah ditetapkan IPCC kurang sesuai dengan ternak di Indonesia karena sapi, kerbau dan babi di negara Indonesia memiliki bobot yang bervariasi dari pada ketetapan dari IPCC. Model I maupun Model II tergantung dari karakteristik manur dan karakteristik manajemen manur. Karakteristik manur ditentukan oleh padatan yang mudah melayang/volatile solid

(VS) yang diproduksi manur dan jumlah maksimal metan yang dihasilkan oleh manur (Bo). Produksi VS dari manur dapat diperkirakan berdasarkan konsumsi pakan dan kecernaan yang merupakan variabel yang digunakan dalam fermentasi enterik. Nilai VS tertinggi dihasilkan oleh ternak kerbau yaitu sebesar 3,9 kg/ekor/hari sedangkan terendah dihasilkan oleh ternak unggas yaitu sebsar 0,01 kg/ekor/hari. Bo bervariasi menurut spesies hewan dan pakan yang diberikan dan merupakan hasil metan berdasarkan jumlah VS dari manur. Manur yang bercampur dengan bedding (jerami, serbuk gergaji, litter) tidak dihitung dalam VS karena

bedding tidak akan menambah produksi metan secara signifikan. Nilai jumlah maksimal metan yang dihasilkan oleh manur (Bo) tertinggi dimiliki oleh ternak unggas yaitu sebesar 0,36 m3 CH4/kgVS dan teredah dimiliki oleh ternak sapi potong dan kerbau yaitu sebesar 0,1 m3 CH4/kgVS untuk data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.

(47)

34 atau aspal terbuka tanpa adanya tutupan vegetasi yang signifikan. Kotoran kandang dibiarkan menumpuk selama periode tertentu di satu tempat pembuangan dan terkena sinar matahari sehingga menghasilkan emisi. Manajemen manur kompos ekstensif merupakan oksidasi biologis dari limbah padat termasuk kotoran dengan suhu termofilik yang disebabkan oleh produksi panas yang dihasilkan mikroba. Kompos ekstensif dilakukan dengan proses pembalikan manur secara periodik (jarang) untuk proses pencampuran dan aerasi. Kompos ekstensif merupakan pengomposan yang jarang dilakukan, tidak sesering kompos intensif. Data selengkapnya mengenai manajemen manur, nilai VS dan Bo untuk tiap jenis ternak di Provinsi Jawa Barat disajikan dalam Lampiran 6-7. Data faktor emisi metan dari fermentasi enterik dan manajemen manur disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10 menunjukkan bahwa faktor emisi metan dari fermentasi enterik baik menggunakan model I maupun model II sama yaitu faktor emisi tertinggi dimiliki oleh sapi perah yaitu 56 kg CH4 pada model I dan 165,94 kg CH4 pada model II dan faktor emisi terendah dimiliki oleh unggas yaitu 0 kg CH4 baik pada model I maupun model II. Faktor emisi metan dari fermentasi enterik tertinggi berdasarkan umur ternak baik pada sapi maupun pada kerbau adalah pada ternak dewasa (jantan dan betina) dan terendah adalah ternak pedet (jantan dan betina). Faktor emisi metan dari fermentasi enterik tertinggi pada sapi potong berdasarkan bangsa sapi potong adalah Sapi Limosin dan Sapi Simental dan terendah terdapat pada Sapi Peranakan Ongole (PO). Ternak Kerbau Kerja memiliki faktor emisi dari fermentasi enterik lebih tinggi daripada ternak kerbau potong.

(48)

35 Tabel 10. Faktor Emisi Metan dari Fermentasi Enterik dan Manajemen Manur

Berdasarkan Jenis Ternak

No. Jenis Ternak

Faktor Emisi Metan (kg CH4/ekor/tahun)

Fermentasi Enterik Manajemen Manur

(49)

36 berdasarkan bangsa sapi potong adalah Sapi Limosin dan Sapi Simental dan terendah terdapat pada Sapi Peranakan Ongole (PO). Ternak kerbau potong memiliki faktor emisi dari fermentasi enterik lebih tinggi daripada ternak kerbau kerja.

Emisi Dinitrogen Oksida Langsung dari Manajemen Manur

Pada perhitungan emisi dinitrogen oksida perhitungan paling tepat diperoleh dengan menggunakan faktor emisi yang mencerminkan lama penyimpanan dan jenis perlakuan pada kotoran ternak dalam setiap manajemen yang digunakan. Jika data yang lebih detail tidak tersedia maka digunakan model I (default-IPCC). Dinitrogen Oksida yang dihasilkan oleh kotoran ternak dihitung berdasarkan nilai rata-rata Nitrogen yang diekskresikan dari manajemen manur, faktor perkiraan dari rata-rata

No. Jenis Ternak

Faktor Emisi Metan (kg CH4/ekor/tahun)

Fermentasi Enterik Manajemen Manur

Model I Model II Model I Model II

(50)

37 Nitrogen yang diekskresikan dan persentase sistem manajemen kotoran ternak. Faktor emisi dinitrogen oksida dari manajemen manur disajikan pada Tabel 11. Definisi sistem manajemen manur secara lengkap disajikan pada Lampiran 5.

Nilai %MMS tertinggi terdapat pada ternak babi dan kerbau potong sama (pada model I dan model II) yaitu sebesar 100% karena sistem manajemen manur babi dan kerbau potong di Indonesia pada umumnya sama yaitu babi menggunakan laguna anaerob dan kerbau potong menggunakan manajemen manur dry lot yang menghasilkan emisi dinitrogen oksida yang cukup tinggi. Nilai Nex tertinggi terdapat pada ternak sapi perah yang menghasilkan feces dengan kandungan N yang tinggi yaitu sebesar 60 (pada model I dan model II). Nadj tertinggi dimiliki oleh ternak dewasa yaitu sebesar 1 sedangkan untuk ternak muda adalah 0,6 dan untuk pedet adalah 0,3. Nilai Nex dan Nadj untuk tiap bangsa ternak pada sapi potong sama. Tabel 11. Faktor Emisi Dinitrogen Oksida dari Manajemen Manur (Direct/Langsung)

(51)
(52)

39 dengan Litter, MTL : Manur Tanpa Litter.

Berdasarkan faktor emisi di atas dihitung emisi dinitrogen oksida secara langsung dari manajemen manur dengan menggunakan rumus Nm = (Populasi x

(Nex x Nadj) x (%MMS/100)) kemudian L(N2O)dir =

(Nm*EF*(44/28))/1.000.000 di mana EF adalah faktor emisi. Nilai EF baik pada model I maupun model II sama yaitu untuk sapi potong, sapi perah, kerbau, kuda, kambing, domba dan unggas dengan manajemen manur dengan litter memiliki EF senilai 0,02 sedangkan untuk babi EF senilai 0,001 dan unggas dengan manur tanpa litter memiliki nilai EF senilai 0,005.

(53)

40 Emisi Dinitrogen Oksida Tidak Langsung dari Manajemen Manur

Emisi tidak langsung merupakan hasil dampak negatif dari nitrogen volatile (Nitrogen yang mudah menguap) yang terjadi terutama dalam bentuk amonia dan NOx. Fraksi nitrogen organik diekskresikan yang termineralisasi untuk nitrogen amonia selama pengumpulan kotoran ternak dan penyimpanan tergantung terutama pada waktu, dan dengan peningkatan suhu yang lebih rendah. Bentuk nitrogen organik sederhana seperti urea (pada mamalia) dan asam urat (pada unggas) dengan cepat termineralisasi untuk nitrogen amonia, yang sangat volatile dan mudah menyebar ke udara sekitarnya (Asman et al., 1998; Monteny dan Erisman, 1998). Dalam memperkirakan jumlah nitrogen dari kotoran ternak yang sebagian besar untuk pupuk kandang, atau untuk digunakan dalam pakan, bahan bakar, atau keperluan konstruksi maka diperlukan untuk mengurangi jumlah total nitrogen yang dikeluarkan oleh ternak yang dikelola oleh sistem kehilangan N melalui volatilisasi (yaitu, NH3, N2 dan NOx), konversi ke N2O dan kehilangan N melalui pencucian (Run off/leached) dan limpasan. Faktor emisi dinitrogen oksida secara tidak langsung dari manajemen manur disajikan pada Tabel 12 dan Tabel 13.

Tabel 12. Koefisien untuk Menghitung Faktor Emisi N2O Tidak Langsung/Indirect dari Manajemen Manur Menggunakan Model I

No. Jenis

Ternak %PRP Nex Nadj EF FNv EFv FNIr EFIr

1. Sapi Potong 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075

2. Sapi Perah 10 60 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075

3. Kerbau 90 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075

4. Kuda 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075

5. Kambing 50 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075

6. Domba 50 12 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075

7. Babi 0 16 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075

8. Unggas 0 0,6 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075

(54)

41 menggunakan model I maupun model II adalah ternak kerbau yaitu 100. Persentase PRP merupakan manajemen manur yang biasa dilakukan dengan menggembalakan ternak di ladang pastura. Pada penelitian ini diestimasikan bahwa seluruh ternak kerbau di Provinsi Jawa Barat menggunakan sistem semi intensif. Hal ini berdasarkan skripsi Robbani (2009) yang dalam skripsinya menyatakan bahwa ternak Kerbau di Bogor mayoritas menggunakan sistem semi intensif. Pada perhitungan model II nilai PRP untuk sapi potong pada setiap jenis bangsa dan usia, unggas, kuda dan babi bernilai sama yaitu 0. Kerbau potong untuk semua jenis umur memiliki PRP yang bernilai sama yaitu 0 sedangkan untuk kerbau kerja pada umur dewasa (jantan dan betina) memiliki PRP yang bernilai sama yaitu 90 sedangkan ternak muda dan pedet memiliki PRP bernilai 0. Hal ini dikarenakan untuk setiap ternak potong baik sapi, unggas, babi maupun kerbau dan ternak kuda tidak dikandangkan di pastura, ternak-ternak tersebut dikandangkan secara intensif. Sedangkan untuk ternak kerja dengan usia dewasa, sebagian besar pemeliharaannya digembalakan di ladang pastura.

Nilai Nex tertinggi baik pada model I maupun model II terdapat pada sapi perah yaitu bernilai 60. Sedangkan Nex terendah baik pada model I maupun model II terdapat pada ternak unggas yaitu bernilai 0,6. Nilai EF, FNv, EFv, FNIr dan EFIr untuk semua jenis ternak bernilai sama yaitu berturut-turut 0,02; 0,2; 0,01; 0,3. 0,0075. Hal ini dikarenakan nilai EF, FNv, EFv, FNIr dan EFIr merupakan nilai default-IPCC.

(55)

42 Tabel 13. Koefisien untuk Menghitung Faktor Emisi N2O Tidak Langsung/Indirect

dari Manajemen Manur Menggunakan Model II

(56)

43

Emisi Gas Rumah Kaca di Provinsi Jawa Barat

Setelah melalui perhitungan populasi dikalikan dengan faktor emisi di atas maka diperoleh nilai emisi gas rumah kaca di Provinsi Jawa Barat. Pada penelitian ini digunakan populasi Jawa Barat Tahun 2004-2008 dengan rumus yang ada di metode. Hasil perhitungan emisi metan dari fermentasi enterik dan manajemen manur berdasarkan tiap jenis ternak disajikan oleh Tabel 14.

Gambar

Tabel 1. Nilai Default untuk Rataan Nitrogen yang Diekskresikan (kg N/(1000kg Bobot Badan Ternak)/hari) di Asia
Tabel 2. Sumber Informasi dan Kebutuhan dalam Pembuatan Program
Tabel 3. Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008
Gambar 1. Struktur Populasi Sapi Potong Berdasarkan Bangsa Sapi Potong di Kab. Tasikmalaya Tahun 2004         Sumber: Dinas Peternakan Tasikmalaya (2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa jumlah individu di stasiun Bahowo jauh lebih banyak dibanding- kan dengan jumlah individu di stasiun Batu meja dan Rap-Rap,

Lengo kuu la utafiti huu lilikuwa ni kufanya tathmini ya mwingilianomatini katika utunzi wa Emmanuel Mbogo kwa kulinganisha tamthiliya ya Ngoma ya Ng’wanamalundi (1988)

Rasio ROA terendah terjadi padatahun 2003 Karenatingkat kecukupan modal yang rendah dan biaya operasional yang tinggi, selain itu juga dari hasil penelitian dilihat dari

Peran perpustakaan sebagai penyedia ruang (space ) yang nyaman, dengan berbagai fasilitas yang diperlukan, seperti akses internet, layar LCD, printer dan scanner

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif, analisis regresi berganda dengan terlebih dahulu melakukan uji asumsi klasik yang terdiri

Salah satu upaya yang sering dilakukan orang tua untuk menurunkan demam anak adalah antipiretik seperti parasetamol, ibuprofen, dan aspirin. 32 Menurut

Proses perlakuan termal 1200 o C (7 jam) dengan aliran gas inert Nitrogen 500 Psi, terbukti bahwa telah terjadi perubahan fasa dari ferit menjadi ɣ-austenit, dan jumlah fasa