• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendapatan masyarakat dan perekonomian wilayah di Kabupaten Garut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendapatan masyarakat dan perekonomian wilayah di Kabupaten Garut"

Copied!
306
0
0

Teks penuh

(1)

PEREKONOMIAN WILAYAH DI KABUPATEN GARUT

ASEP SUWARNA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

DAMPAK BANTUAN DANA REHABILITASI LAHAN MILIK TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT DAN PEREKONOMIAN

WILAYAH DI KABUPATEN GARUT

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri, dengan bimbingan Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, April 2007

ASEP SUWARNA

(3)

ASEP SUWARNA. Dampak Bantuan Dana Rehabilitasi Lahan Milik Terhadap Pendapatan Masyarakat dan Perekonomian Wilayah di Kabupaten Garut.

KUNTJORO sebagai Ketua, D.S. PRIYARSONO dan DUDUNG DARUSMAN sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Pada tahun 2006, lahan milik masyarakat yang kritis dan tidak produktif di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, adalah 69 115 hektar. Kegiatan rehabilitasi lahan milik tersebut dilaksanakan pada setiap tahun walaupun kurang sebanding dengan laju pembentukan lahan kritisnya. Dalam periode 1995 sampai dengan 2004, laju pembentukan lahan kritis rata-rata sekitar 4 200 hektar per tahun. Di lain pihak upaya rehabilitasi lahan dengan bantuan dana pemerintah sekitar rata-rata 2 500 sampai 3 500 hektar.

Penyempurnaan dalam proses penyediaan dan penyaluran bantuan dana pemerintah terus dilaksanakan agar rehabilitasi lahan milik berjalan efektif sesuai dengan tujuannya. Perbaikan dalam produktivitas petani, perolehan manfaat ekonomi bagi para pemilik lahan, serta dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan tujuan dari rehabilitasi lahan milik. Studi ini memberikan jawaban: Bagaimana meningkatkan pemahaman dan pengetahuan program rehabilitasi lahan milik yang menggunakan bantuan dana pemerintah, agar terjadi perbaikan dalam produktifitas lahan serta memberikan manfaat ekonomi yang optimal bagi masyarakat pemilik lahan. Alat bantu analisa adalah sistem neraca sosial ekonomi, model persamaan struktural, dan analisis biaya manfaat.

Hasil analisis sistem neraca sosial ekonomi menunjukan bahwa dana rehabilitasi lahan milik di Kabupaten Garut belum dapat secara nyata memperbaiki pendapatan masyarakat yang melaksanakan kegiatan rehabilitasi. Namun demikian dana rehabilitasi tersebut berperan untuk meningkatkan perekonomian wilayah. Komponen biaya tanam dari bantuan dana rehabilitasi hanya dapat menunjang pendapatan untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. Bantuan pemerintah berupa sarana produksi dapat menggerakkan sektor perdagangan, industri bahan baku pengolahan untuk memproduksi input tanaman, serta menunjang sektor angkutan. Berdasarkan analisa model persamaan struktural, kelembagaan kelompok tani memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap produktivitas kelompok. Mengingat sebagian besar petani berada di dalam kelompok pemula maka perlu diberikan materi penyuluhan dan pelatihan untuk memperkuat kelembagaan kelompok tani tersebut.

Kegiatan rehabilitasi lahan milik dengan komoditi utama tanaman kayu secara finansial memberikan manfaat lebih kepada petani pemilik apabila dilakukan pemanfaatan lahan diantara tanaman kayu dengan mengusahakan komoditi tanaman sela. Hasil hutan milik berupa kayu memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perolehan manfaat. Oleh sebab itu, para petani disyaratkan harus memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan silvikultur terhadap tanaman kayu agar manfaat yang diperoleh petani akan lebih besar.

(4)

ASEP SUWARNA. Impact of Private Land Rehabilitation Fund on Income and Regional Economy in Garut District. KUNTJORO as Chairman, D.S. PRIYARSONO and DUDUNG DARUSMAN, as Members of Advisory Committee.

The District of Garut, West Java Province, had 69 115 hectares of unproductive and critical private lands in the year of 2006. The private land rehabilitation activitiy has been implemented every year eventhough its rehabilitation rate is even lower compared to the rate of such critical land formation. During the period of 1995-2004, about 4 200 hectares of critical lands had been formed every year. On the other side, the average of land rehabilitation financed by the government were only 2 500 to 3 500 hectares.

Improvements on the process of provision and chanelling of government funds have been done in order to have an effective private land rehabilitation in accordance with the objectives.The farmer productivity improvements, provision of economic benefit to the owner of lands, and regional economy support are the private land rehabilitation objectives. This study was intended to answer the question: How to improve knowledge and perception on private land rehabilitation program assisted by the government funds in order to have a change towards land productivity improvement and provide an optimal economic benefit to the owner of lands. The analysis tools for this study were Social Accounting Matrix, Structural Equation Model, and Benefit Cost Analysis.

The social accounting matrix analysis has revealed that the private land rehabilitation assisted funds in Garut district has not been able to support a better income to the farmers involved in physical land rehabilitation. However, this funds has played a suitable role to support a regional economy. Plantation cost as cash portion of the funds can generate an income to meet only their consumption needs. The inkind portion of the funds as production inputs could stimulate the sectors of trade, small and home industries for plant production inputs, and transportation. Based on the analysis of structural equation model, farmer group institution, has a significant effect to their productivity. Due to the facts that most of farmers is a member of preliminary farmer group, they need some technical assistance on training and extensions in order to strenghten the institution of such farmer group.

Based on financial analysis, land rehabilitation with the wood trees as main commodities and other crops planted in beetween such trees could provide more benefit to the farmer who own the lands. Woods as a private forest product contribute more portion to the benefits. Therefore, farmers should have a condition on the skills of silviculture techniques in order to have a better wood production.

(5)

PEREKONOMIAN WILAYAH DI KABUPATEN GARUT

Oleh:

ASEP SUWARNA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

(6)

Nama : Asep Suwarna

NRP : A.546010211

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian Bidang Konsentrasi : Ekonomi Regional

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kuntjoro Ketua

Dr. Ir. D. S. Priyarsono Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(7)

© Hak Cipta milik Asep Suwarna

tahun 2007

Hak Cipta dilindungi

(8)

Penulis dilahirkan di Sukabumi Jawa Barat, pada tanggal 18 Juli 1953 dan merupakan anak dari orang tua tercinta Bapak Moch. Syarif alias Udjang Aip (almarhum) dan Ibu Hj. Siti Atikah.

Pada tahun 1965, penulis menamatkan Sekolah Dasar Negeri di Lembur Situ Sukabumi. Pada tahun 1968 menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di Bandung dan pada tahun 1971 menyelesaikan SMA Negeri di Sukabumi. Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 1976 di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1984, penulis mendapatkan kesempatan belajar di Department of Agricultural Economic, Texas A & I University, USA dan selesai pada tahun 1986. Pada tahun 2001, penulis mendapat ijin belajar di Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.

(9)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Besar atas karunia dan limpahan-Nya, sehingga disertasi yang berjudul: “DAMPAK BANTUAN DANA REHABILITASI HUTAN LAHAN MILIK TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT DAN

PEREKONOMIAN WILAYAH DI KABUPATEN GARUT” dapat terselesaikan tanpa hambatan yang berarti. Disertasi ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Keberadaan Komisi Pembimbing dan para pihak, sangat menentukan dalam penyelesaian penyusunan disertasi ini. Komisi Pembimbing selalu memberikan dorongan, arahan, dan saran penyelesaian selama proses penyusunan berlangsung. Demikian juga para pihak yang telah membantu meringankan beban penulis dalam perbaikan disertasi. Dengan ketulusan hati, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Kuntjoro selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dalam kesibukannya telah mampu banyak memberikan bimbingan, arahan, serta saran perbaikan penulisan disertasi.

(10)

Komisi Pembimbing, selain telah banyak memberi saran dan masukan dalam perbaikan disertasi.

4. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A sebagai Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah mengijinkan penulis untuk menyelesaikan disertasi, serta telah banyak memberi ilmu ekonomi yang lebih mendasar selama penulis mengikuti kegiatan perkuliahan.

5. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memperoleh ilmu dan menyelesaikan studinya pada program S3 Sekolah Pascasarjana IPB.

6. Dr. Ir. Harry Santoso, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Departemen Kehutanan, yang telah berkenan meluangkan waktu di dalam kesibukannya untuk dapat menguji dan sekaligus menyampaikan komentar dan saran perbaikan kepada penulis.

7. Dr. Ir. Arif Daryanto, M.Ec, sebagai Dosen Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, penulis menyampaikan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya atas kehadiran dan kesediaannya dalam menguji penulis serta memberikan saran penyempurnaan dalam penulisan disertasi. 8. Semua rekan Program Studi EPN IPB terutama angkatan 2001 yang telah

(11)

yang telah membantu melancarkan jalannya proses penyelesaian ujian prelim, penelitian di lapangan, pengolahan data, penyelesaian penulisan, sampai dengan ujian akhir di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kepada Ibunda Hj. Siti Atikah yang termulia, ingin penulis persembahkan rasa hormat dan penghargaan yang sangat mendalam karena beliau selalu memberikan dukungan moril dan do’a dalam menjalankan kehidupan penulis. Demikian juga kepada Ayahanda Alm. Moch. Syarif alias Udjang Aip, ingin rasanya penulis selalu bersamanya dalam menyelesaikan disertasi ini. Namun Allah SWT menghendaki lain, beliau telah lebih dahulu meninggalkan penulis sewaktu belajar di SMA Sukabumi. Penulis berkeyakinan Ayahanda akan merasa bangga dan berbahagia.

Untuk istriku yang tercinta yang selalu mendampingi penulis dalam suasana hangat walaupun sedang menempuh program doktor bidang Ekonomi di Universitas Padjadjaran Bandung, disampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Untuk itu, penulis persembahkan hasil penulisan ini. Kepada ananda Viki Viktory, Asti Raniasari dan Yari Mayaseti, ayahanda menyampaikan kegembiraannya, karena selama sekolah di Institut Pertanian Bogor, ayahanda selalu mendapat rasa nyaman bila bertemu dengan ananda.

(12)

mungkin sesuai dengan kemampuan. Namun demikian, dengan keterbatasan yang penulis miliki, kemungkinan masih tidak terhindari adanya kesalahan dalam penulisan. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharapkan saran perbaikan serta kritik yang berguna dalam menambah wawasan tulisan ini dan karya ilmiah secara umum.

Semoga penelitian ini dapat berguna bagi semua pihak yang memerlukannnya.

Bogor, April 2007

Penulis

(13)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Penyaluran Bantuan ... 14

2.2. Teori Subsidi ... 17

2.3. Pengelolaan Hutan Milik ... 25

2.4. Tinjauan Studi Peranan Sektoral dalam Perekonomian ... 30

2.5. Tinjauan Studi Perilaku Petani ... 43

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... ... 49

3.1. Kerangka Teoretis ... 49

3.2. Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 53

3.2.1. Kerangka Dasar ... 53

3.2.2. Analisis Pengganda ... 59

3.2.3 Analisis Jalur Struktural ... 65

3.3. Konsep Model Persamaan Struktural ... 68

3.3.1. Spesifikasi Model ... 69

3.3.2. Identifikasi ... 71

3.3.3. Matrik Input... 72

3.3.4. Estimasi Model ... 73

(14)

ii

3.4. Analisa Biaya Manfaat ... 76

3.4.1. Perhitungan Present Value dari Arus Biaya dan Benefit ... 79

3.4.2. Net Present Value dari Arus Benefit dan Biaya (NPV) ... 80

3.4.3. Net Benefit –Cost Ratio (Net B/C) ... 81

3.4.4. Gross Benefit-Cost Ratio (Gross B/C ... 81

3.5. Hipotesis ... 82

IV. METODE PENELITIAN... 84

4.1. Lokasi Penelitian ... 84

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 84

4.3. Kerangka Analisis ... 85

4.4. Penyusunan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Kabupaten Garut ... 88

4.4.1. Pendefinisian Klasifikasi ... 88

4.4.2. Sumber Data dan Tahun Dasar . ... 91

4.4.3. Rencana Tabulasi dan Keseimbangan Neraca ... 92

4.4.4. Koreksi Kesalahan ... 94

4.4.5. Metode Analisis ... 95

4.5. Model Persamaan Struktural ... 98

4.5.1. Operasionalisasi Variabel ... 98

4.5.2. Jenis, Pengukuran, dan Sumber Data ... 104

4.5.3. Prosedur Pengumpulan Data ... 105

4.5.4. Analisis Data ... 105

4.5.5. Pengujian Statistik ... 107

4.6. Analisis Kelayakan Finansial Rehabilitasi Lahan Milik ... 108

4.6.1. Net Present Value ... 109

4.6.2. Benefit Cost Ratio ... 110

V. HASIL ANALISIS ... 111

5.1. Analisis SNSE ... 111

5.2. Analisis Model Persamaan Struktural ... 123

(15)

iii

5.2.1.1. Variabel Laten Profil Petani (ξ1) ... 124

5.2.1.2. Variabel Laten Kelembagaan Petani (ξ2) 126 5.2.1.3. Variabel Laten Ekonomi (ξ3) ... 127

5.2.1.4. Variabel Laten Kebijakan (ξ4) ... 128

5.2.2. Deskripsi Variabel Endogen ... 129

5.2.2.1. Variabel Laten Produktivitas (η1) ... 130

5.2.2.2. Variabel Laten Manfaat (η2) ... 131

5.2.3. Perhitungan Structural Equation Model (SEM) .... 133

5.2.3.1. Pengukuran Variabel Laten Profil Petani (ξ1) ... 138

5.2.3.2. Pengukuran Variabel Laten Institusi (ξ2) 139 5.2.3.3. Pengukuran Variabel Laten Ekonomi (ξ3) ... 140

5.2.3.4. Pengukuran Variabel Laten Kebijakan (ξ4) ... 141

5.2.3.5. Pengukuran Variabel Laten Produktivitas (η1) ... 142

5.2.3.6. Pengukuran Variabel Laten Manfaat (η2) ... 143

5.2.4. Pengujian Hipotesis ... 144

5.2.4.1. Pengujian Pengaruh Profil Petani (ξ1), Institusi (ξ2), Ekonomi (ξ3), dan Kebijakan (ξ4) Terhadap Produktivitas Petani Lahan Milik (η1) ... 144

5.2.4.2. Pengaruh Profil Petani (ξ1) Terhadap Produktivitas Petani Lahan Milik (η1) .... 146

5.2.4.3. Pengaruh Institusi (ξ2) Terhadap Produktivitas Petani Lahan Milik (η1).... 147

5.2.4.4. Pengaruh Ekonomi (ξ3) Terhadap Produktivitas Petani Lahan Milik (η1) .... 148

5.2.4.5. Pengaruh Kebijakan (ξ4) Terhadap Produktivitas Petani Lahan Milik (η1) ... 150

(16)

iv

5.3. Analisis Ekonomi Usahatani ... 152

5.3.1. Perhitungan Manfaat ... 152

5.3.2. Perhitungan Biaya ... 154

5.3.3. Perhitungan Net Benefit dan Kelayakan Usahatani 155 VI. PEMBAHASAN HASIL ANALISIS ... 159

6.1. Produktivitas Lahan Milik ... 159

6.2. Peningkatan Kemampuan Institusi Petani ... 161

6.2.1. Kelas Kelompok Tani ... 162

6.2.2. Partisipasi dalam Bimbingan Teknis ... 165

6.2.3. Persepsi Terhadap Bimbingan Teknis ... 168

6.3. Pemanfaatan Bantuan Dana Rehabilitasi Lahan ... 171

6.4. Restrukturisasi Kebijakan Bantuan Dana Rehabilitasi ... 176

VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 183

7.1. Simpulan ... ... 183

7.2. Implikasi Kebijakan ... 184

7.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 185

DAFTAR PUSTAKA ... 186

(17)

v

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Struktur Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 56

2. Simplifikasi Kerangka Dasar SNSE ... 60

3. Goodness of Fit Cretion Index . ... 75

4. Klasifikasi Aktivitas SNSE Kabupaten Garut Tahun 2003 ... 89

5. Operasionalisasi Variabel ... 103

6. Analisis Angka Pengganda Nilai Tambah ... 112

7. Analisis Angka Pengganda Pendapatan Rumah Tangga ... 113

8. Analisis Angka Pengganda Produksi ... 114

9. Pengaruh Bantuan Dana Rehabiliasti Lahan Milik Terhadap Kenaikan Pendapatan Sektor Produksi ... 115

10. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 123

11. Komposisi Responden Berdasarkan Usia Petani ... 124

12. Tanggapan Variabel Laten Profil Petani ... 125

13. Tanggapan Variabel Laten Kelembagaan Petani ... 126

14. Tanggapan Variabel Laten Ekonomi ... 127

15. Tanggapan Variabel Laten Kebijakan ... 129

16. Tanggapan Variabel Laten Produktivitas ... 130

17. Tanggapan Variabel Laten Manfaat ... 132

18. Arah Hubungan Variabel Serta Hasil Estimasi Parameternya ... 134

19. Loading Factor (λ) Pengukuran Variabel Laten Profil Petani ... 138

20. Loading Factor (λ) Pengukuran Variabel Laten Institusi ... 139

(18)

vi

22. Loading Factor (λ) Pengukuran Variabel Laten Kebijakan ... 141

23. Loading Factor (λ) Pengukuran Variabel Laten Produktivitas ... 142

24. Loading Factor (λ) Pengukuran Variabel Laten Manfaat ... 143

25. Net Benefit Usahatani Mulai Tanam Tahun 1996 ... ... 155

26. Net Benefit Usahatani Mulai Tanam Tahun 1997... 156

27. Net Benefit Usahatani Mulai Tanam Tahun 1998... 156

(19)

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pengaruh Inkind Transfer ... 15 2. Efektivitas Bantuan Uang Tunai ... 16 3. Pengaruh Pajak atau Subsidi ... 18 4. Pengaruh Subsidi dengan Kurva Permintaan Inelastis Sempurna ... 19 5. Pengaruh Subsidi dengan Kurva Penawaran Elastis Sempurna ... 20 6. Pengaruh Subsidi dengan Kurva Permintaan Elastis Sempurna ... 20 7. Pengaruh Subsidi dengan Kurva Penawaran Inelastis Sempurna .. .. 21 8. Equivalent Variation ... 22 9. Excess Burden Akibat Pengenaan Pajak ... 23 10. Excess Burden Akibat Pemberian Subsidi ... 23 11. Kerangka Pemikiran Dampak Bantuan Rehabilitasi Lahan Milik

Terhadap Pendapatan Masyarakat dan Perekonomian Wilayah di Kabupaten Garut ... 52 12. Proses Pengganda antara Neraca Endogen SAM ... 62 13. Kerangka Analisis Dampak Bantuan Dana Rehabilitasi Lahan

Milik ... ... 86 14. Model Struktur Penelitian ... 99 15. Analisis Jalur Bantuan Dana Rehabilitasi Lahan Milik Terhadap

Tenaga Kerja Pertanian dan Non Pertanian ... 117 16. Analisis Jalur Bantuan Dana Rehabilitasi Lahan Milik Terhadap

Institusi Rumah Tangga ... 119 17. Analisis Jalur Bantuan Dana Rehabilitasi Lahan Milik Terhadap

(20)

viii

20. Pengaruh Profil Petani, Institusi, Ekonomi dan Kebijakan

Terhadap Produktivitas Petani Lahan Milik... 146 21. Pengaruh Profil Petani Terhadap Produktivitas Petani Lahan

Milik .... ... . 146 22. Pengaruh Institusi Terhadap Produktivitas Petani Lahan Milik ... 148 23. Pengaruh Ekonomi Terhadap Produktivitas Petani Lahan Milik... 149 24. Pengaruh Kebijakan Terhadap Produktivitas Petani Lahan Milik ... 150 25. Pengaruh Produktivitas Petani Terhadap Manfaat yang Diterima

(21)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Struktur SNSE Kabupaten Garut Tahun 2003 ... 193 2. Matrik Koefisien Neraca Endogen SNSE Kabupaten Garut Tahun

2003 ... 194 3. Matrik Multiplier SNSE Kabupaten Garut Tahun 2003 ... 199 4. Analisis Jalur Bantuan Dana Rehabilitasi Lahan Milik ... 203 5. Data Ordinal Variabel Penelitian Berdasarkan Hasil Input

Jawaban Responden ... 205 6. Pengujian Validitas Menggunakan Korelasi Kar’l Person ... 211 7. Koefisien Validitas Pernyataan Variabel Eksogen dan Endogen ... 214 8. Hasil Uji Cunstruct Reliability dan Variance Extracted ... 215 9. Hasil Pengolahan Skala Ordinal ke Interval Menggunakan

Method Succesive Interval (MSI) ... 216 10. Data Interval Variabel Penelitian Berdasarkan Perhitungan MSI .. 218 11. Perhitungan SEM (Structural Equation Model) ... 233 12. Benefit In Flow Usahatani Rehabilitasi Lahan Milik .. ... 246 13. Cost Outflow Usahatani Tanaman Kayu Per Hektar Rehabilitasi

Lahan Milik ... 247 14. Cost Outflow Per Hektar Usahatani Tanaman Sela Rehabilitasi

Lahan Milik ... 249 15. Analisis Kelayakan Usahatani Penerima Bantuan Dana

Rehabilitasi Lahan Milik Mulai Tahun Tanam 1996 ... 251 16. Analisis Kelayakan Usahatani Penerima Bantuan Dana

Rehabilitasi Lahan Milik Mulai Tahun Tanam 1997 ... 252 17. Analisis Kelayakan Usahatani Penerima Bantuan Dana

(22)

1.1. Latar Belakang

Hutan dapat berfungsi sebagai tempat wisata baik bagi perorangan maupun untuk masyarakat luas, habitat bagi kehidupan binatang, penyedia kayu dan hasil hutan non kayu serta tumbuhan lain, penyedia air dan sistem perlindungan sumber mata air, memberikan iklim yang sehat, dan lingkungan yang baik. Dalam menyediakan jasanya, hutan dapat memberikan salah satu atau berbagai bentuk kombinasi fungsi hutan. Perolehan manfaat hutan yang dirasakan oleh individu dan masyarakat tersebut sangat dipengaruhi oleh perlakuan pemilik dalam pengelolaannya (SAF, 2004).

Kerusakan hutan dan lahan di Indonesia saat ini telah menjadikan keprihatinan banyak pihak. Secara nasional, kerusakan hutan dan lahan adalah 100.7 juta hektar, yang terdiri dari 52.9 juta hektar di dalam kawasan hutan negara dan 41.5 juta hektar di luar kawasan hutan negara atau hutan milik. Laju kerusakan hutan dan lahan di Indonesia diperkirakan mencapai angka 2.83 juta hektar/tahun (Departemen Kehutanan, 2005). Untuk menanggulangi kerusakan hutan dan lahan, perlu diupayakan pemulihan dan peningkatan produktivitas lahan dan hutan tersebut. Kebijakan rehabilitasi ini bertujuan untuk memberikan nilai tambah dari pemanfaatan lahan kritis yang tidak produktif dipandang dari sisi ekonomi, ekologi, dan sosial (Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, 2004).

(23)

di wilayahnya maupun sebagai barang publik. Rehabilitasi lahan secara vegetatif pada lahan milik merupakan salah satu urusan kehutanan yang pengelolaannya telah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten (Menteri Dalam Negeri, 2002). Desentralisasi urusan rehabilitasi lahan milik dimaksudkan untuk mempercepat pemulihan lahan kritis dan lahan tidak produktif lainnya sehingga pada akhirnya diharapkan terjadi peningkatan pendapatan masyarakat dan perbaikan lingkungan.

Rehabilitasi lahan milik telah dimulai sejak tahun 1960-an melalui program Rencana Kesejahteraan Indonesia, walaupun pada saat itu, pemerintah tidak memberikan bantuan dana kepada pemilik dan pengelola lahan. Pengeluaran dana pemerintah untuk kegiatan rehabilitasi lahan milik dimulai pada tahun 1967, bertepatan dengan awal Pembangunan Lima Tahun I. Kegiatan rehabilitasi lahan milik pada waktu itu dikelola langsung oleh pemerintah pusat, sedangkan pemilik lahan dibayar sebagai buruh sesuai dengan standar upah harian yang berlaku. Bantuan dana pemerintah dipergunakan terbatas untuk membuat tanaman jenis kayu-kayuan, jenis tanaman serba guna, seperti buah-buahan, dan bimbingan teknis pelaksanaan (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2004). Dalam periode 2003-2007, sasaran rehabilitasi hutan dan lahan adalah 3 juta hektar dengan target pada tahun 2003 seluas 300 000 hektar, tahun 2004 seluas 500 000 hektar, tahun 2005 seluas 600 000 hektar, tahun 2006 seluas 700 000 hektar, dan tahun 2007 seluas 900 000 hektar (Departemen Kehutanan, 2005).

(24)

menyalurkan dana rehabilitasi lahan tersebut kepada pemilik lahan (Menteri Kehutanan, 2004). Pada tahun 2005, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, tersebar pada 184 Daerah Aliran Sungai (DAS) di 33 provinsi yang meliputi 420 kabupaten/kota. Luas hutan negara dan hutan milik yang akan direhabilitasi masing-masing 284 920 hektar dan 315 080 hektar.

(25)

kelompok tani yang mempunyai kemitraan usaha dengan pelaku usaha baik skala kecil maupun skala menengah.

Pembuatan hutan rakyat merupakan salah satu bentuk kegiatan rehabilitasi lahan milik. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik atau hak lainnya di luar kawasan hutan negara dengan ketentuan luas minimum 0.25 hektar, serta mempunyai penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50% (Departemen Kehutanan, 2005).

Berdasarkan Laporan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat bahwa dalam periode 10 tahun, 1995 sampai 2004, luas lahan kritis di luar hutan negara di Jawa Barat, meningkat dengan angka yang tinggi dibandingkan dengan luas lahan yang direhabilitasi. Pada tahun 1995, luas lahan kritis dimaksud di Jawa Barat adalah 274 365 hektar dan pada tahun 2004 menjadi 395 943 hektar. Sedangkan kegiatan rehabilitasi lahan pada tahun 1995 seluas 41 242 hektar dan pada tahun 2004, seluas 63 318 hektar (Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2005). Memperhatikan data tersebut, dapat diduga bahwa luas kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan oleh pemilik lahan tidak sebanding dan lebih kecil dari luas pembentukan terjadinya lahan kritis.

(26)

perimbangan retribusi dari keberadaan hutan milik (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 2005).

Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, merupakan salah satu kabupaten yang mendapatkan bantuan dana pemerintah pusat untuk rehabilitasi lahan milik.

Kabupaten Garut mempunyai luas wilayah 3 065 km2 terbagi ke dalam 42 kecamatan dan 440 desa yang sebagian besar berada pada wilayah hulu Daerah

Aliran Sungai (DAS) Cimanuk. Penduduk Kabupaten Garut pada tahun 2004 adalah 2 204 175 jiwa. Sebagian dari penduduk, sebanyak 338 300 jiwa atau 15.37% digolongkan ke dalam masyarakat miskin yang pada umumnya tinggal di desa yang berdekatan dengan kawasan hutan negara. Sebaran lahan milik yang berbatasan dengan kawasan hutan negara berada pada 187 desa (Biro Pusat Statistik Kabupaten Garut, 2005).

Sebagian besar lahan milik di Kabupaten Garut digunakan untuk pertanian dengan sistem pengelolaan yang masih sederhana, tidak banyak tergantung pada bahan baku impor, menggunakan teknologi sederhana, serta usaha padat karya. Luas potensial lahan milik yang dapat ditanami dengan komoditi kayu dan buah-buahan adalah 69 115 hektar. Masyarakat yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi lahan kritis, mendapatkan dana bantuan pemerintah pusat untuk membayar sebagian upah dan bahan dalam mengusahakan komoditi tanaman kayu-kayuan dan sebagian kecil komoditi buah-buahan.

(27)

waktu minimal 5 (lima) tahun tergantung pada jenis kayu yang ditanam. Waktu yang cukup panjang untuk memperoleh hasil kayu, investasi yang tidak mungkin dihindari pada masa pertumbuhan tanaman hutan, serta kurangnya informasi tingkat harga input, harga output dan pemasaran kayu pada waktu mendatang, maka kegiatan penanaman hutan dianggap sebagai investasi yang mempunyai risiko tinggi serta dapat memperbesar biaya untuk peningkatan modal usaha.

Penyaluran dana bantuan rehabilitasi lahan kritis dari pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan antara lain diarahkan untuk membangun hutan rakyat. Bantuan tersebut diberikan langsung kepada pemerintah kabupaten dan selanjutnya disalurkan kepada kelompok tani yang melaksanakan pembangunan hutan rakyat. Dana bantuan pemerintah digunakan untuk pengadaan bibit, pembuatan tanaman, pemeliharaan tanaman, serta penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat penerima bantuan. Tujuan utama dari pelaksanaan aktivitas tersebut adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, dan nilai tambah lahan (Menteri Kehutanan, 2005 a).

(28)

Menteri Kehutanan (2005 b) menjelaskan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan diarahkan sebagai gerakan rehabilitasi hutan negara dan lahan milik masyarakat yang melibatkan pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat luas melalui suatu perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi kegiatan yang kesemuanya harus berjalan secara efektif dan efisien. Dalam hal rehabilitasi lahan milik, salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani pemilik lahan. Sementara ini, pemerintah pusat menyalurkan sebagian dana rehabilitasi lahan kepada institusi Departemen Kehutanan yang ada di daerah untuk pengadaan bibit tanaman hutan, sebagian kecil tanaman buah buahan, serta untuk memfasilitasi perencanaan makro, dan pembinaan umum. Selanjutnya, bibit tanaman yang diadakan oleh institusi dimaksud disalurkan kepada petani peserta rehabilitasi lahan milik melalui pemerintah kabupaten. Sedangkan bantuan dana untuk pelaksanaan fisik rehabilitasi lahan milik disalurkan oleh pemerintah pusat melalui pemerintah kabupaten untuk selanjutnya disampaikan kepada petani perserta kegiatan rehabilitasi.

(29)

kepemilikan lahannya kurang dari 5 000 meter persegi. Dengan demikian, setiap kelompok tani mempunyai anggota sekitar 50 sampai 150 petani. Bantuan dana rehabilitasi lahan milik digunakan petani untuk: pengadaan bahan tanaman seperti ajir atau tanda tanaman, gubuk kerja, pupuk, obat-obatan, dan peralatan sederhana; biaya persiapan penanaman; biaya pelaksanaan penanaman hutan milik; dan biaya pemeliharaan tanaman. Di samping itu, pemerintah kabupaten, juga menyelenggarakan bantuan teknis dan bantuan kelembagaan kepada kelompok tani berupa pelatihan, penyuluhan, pendampingan, dan penyusunan rincian rencana yang akan dilaksanakan oleh kelompok tani.

1.2. Perumusan Masalah

(30)

Dalam rangka mempersiapkan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan milik biasanya didahului oleh suatu survei calon lokasi dan sosial ekonomi masyarakat calon penerima bantuan dana rehabilitasi dengan harapan dapat diperoleh gambaran umum tentang kondisi fisik, sosial ekonomi masyarakat, serta karakteristik petani beserta kelembagaannya untuk memudahkan para pihak dalam merancang dan mengembangkan kegiatan rehabilitasi lahan milik. Bentuk bantuan dana pemerintah yang dianggap penting dan perlu dilaksanakan sebelum kegiatan lainnya adalah pelatihan serta penyuluhan kepada para petani. Materi yang diberikan mencakup beberapa topik bahasan yang berkaitan dengan kebijakan bantuan, teknis pelaksanaan fisik pembuatan hutan rakyat, administrasi kegiatan, serta dinamika kelompok dan pengembangan kelembagaan kelompok tani.

(31)

Sebelum kelompok tani menerima bantuan dana rehabilitasi lahan milik, jenis serta komponen bantuan dana rehabilitasi lahan milik disusun oleh kelompok tani bersama petugas pemerintah dalam suatu bentuk dokumen rancangan yang menjelaskan kebutuhan bahan input produksi serta pembiayaan upah kerja untuk membangun tanaman hutan milik dengan berpedoman pada standar kegiatan serta biaya kebutuhan lokal. Selanjutnya secara administrasi, kelompok tani dipersyaratkan untuk membuat Surat Perjanjian Kerjasama dengan pihak pemerintah daerah sebagai dasar penyaluran dana yang telah tercantum pada rancangan kegiatan.

(32)

1.18%, dan sub sektor kehutanan sebesar 0.18% (Biro Pusat Statistik Kabupaten Garut, 2005).

Evaluasi rehabilitasi lahan selama ini hanya didasarkan pada aspek perencanaan, kelembagaan, keberhasilan tanaman, dan pengendalian kegiatan yang didasarkan pada perbaikan fisik tanaman. Oleh sebab itu, evaluasi tentang kegiatan rehabilitasi lahan milik yang terkait dengan perolehan pendapatan dan perbaikan ekonomi masyarakat, serta dampak terhadap pertumbuhan sektor lainnya belum pernah dilakukan sehingga sering mengalami kesulitan dalam penyempurnaan kebijakan rehabilitasi lahan yang tepat. Selanjutnya, Enters (2003) menjelaskan bahwa hasil penelitian tentang pengaruh dan efektifitas bantuan dalam pembuatan tanaman hutan masih jarang didapatkan. Walaupun hasil penelitian dapat diperoleh, sering ditemui kesulitan untuk mengidentifikasi hubungan antara bantuan dengan respon masyarakat dan para investor. Di wilayah Asia-Pacific belum ada studi menyeluruh tentang bantuan pembuatan hutan tanaman walaupun Asia-Pacific termasuk wilayah yang memiliki hutan tanaman terbesar di dunia. Demikian juga halnya, bantuan rehabilitasi lahan di Kabupaten Garut, sampai dengan saat ini belum pernah dilakukan evaluasi melalui suatu kajian empiris tentang keberhasilan kebijakan yang telah diterapkan. Oleh karenanya dalam studi ini perlu dipertanyakan:

1. Bagaimana tingkat keberhasilan bantuan rehabilitasi lahan milik masyarakat? 2. Bagaimana tingkat kontribusi kebijakan bantuan dana rehabilitasi lahan milik

(33)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak kebijakan bantuan kegiatan rehabilitasi lahan milik terhadap pendapatan petani dan kinerja ekonomi wilayah Kabupaten Garut.

Secara spesifik, tujuan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Menganalisis faktor-faktor dominan yang berhubungan dengan profil petani, kelembagaan petani, ekonomi petani, dan kebijakan pemerintah terhadap kinerja keberhasilan rehabilitasi lahan milik masyarakat.

2. Menganalisis dampak kebijakan bantuan rehabilitasi lahan milik masyarakat terhadap produktivitas lahan, tenaga kerja, dan modal.

3. Mengevaluasi manfaat bantuan dana rehabilitasi lahan milik dalam kelayakan usahatani hutan milik masyarakat.

4. Merumuskan kebijakan pemerintah yang tepat dalam pelaksanaan sistem rehabilitasi lahan milik.

Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan masukan baik dalam segi ilmu pengetahuan maupun bagi kepentingan pengambil kebijakan, khususnya dalam hal memperkaya kajian-kajian di sektor kehutanan yang berkaitan dengan upaya rehabilitasi lahan kritis dan lahan tidak produktif lainnya. Di samping itu studi ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam merumuskan alternatif kebijakan ekonomi untuk mendorong kinerja rehabilitasi lahan milik masyarakat.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

(34)

regional Kabupaten Garut. Studi ini hanya difokuskan untuk melihat dampak bantuan rehabilitasi lahan milik terhadap pendapatan masyarakat dan perekonomian wilayah, sedangkan manfaat dari aspek lingkungan tidak dianalisis.

(35)

Tinjauan Pustaka menguraikan secara ringkas berbagai teori dan hasil penelitian yang relevan dengan penyaluran dana bantuan rehabilitasi lahan milik masyarakat. Uraian dimaksud terdiri dari: (1) penyaluran bantuan, (2) subsidi, (3) pengelolaan hutan milik, (4) tinjauan studi peranan sektoral dalam perekonomian, dan (5) tinjauan studi perilaku petani. Tinjauan pustaka yang akan diuraikan berupa penjelasan dari buku teks serta sajian dari beberapa studi yang telah dilakukan para peneliti terdahulu, baik berupa studi parsial maupun komprehensif.

2.1. Penyaluran Bantuan

Rosen (2005) menjelaskan bahwa pada setiap tingkatan pemerintahan terdapat berbagai program yang pada dasarnya memberikan bantuan transfer untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama diperuntukkan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Salah satu jenis program adalah pembiayaan transfer yang dilakukan dengan jalan mengurangi daya beli pembayar pajak untuk disalurkan kepada penerima bantuan yang umumnya mempunyai penghasilan rendah. Transfer dapat dilakukan dalam bentuk uang tunai atau bentuk terkait dengan pemberian bahan (in kind transfer) seperti kupon makanan, bantuan kesehatan dan bantuan perumahan.

(36)

penerima bantuan. Walaupun tidak berlaku secara umum, transfer dalam bentuk in kind biasanya kurang efektif apabila dibandingkan dengan transfer dalam bentuk tunai. Preferensi seseorang akan mempengaruhi efektivitas in kind transfer sehingga untuk menilai in kind transfer diperlukan suatu analisa empiris. Selain itu, masalah yang timbul dalam in kind transfer adalah biaya administrasi yang cukup tinggi. Pendapat yang menyatakan kurang efisiennya bentuk in kind transfer adalah:

1. Bantuan dalam bentuk uang tunai akan menaikkan tingkat utilitas penerima bantuan.

[image:36.612.133.434.411.641.2]

2. Untuk mencapai tingkat utilitas yang lebih tinggi maka pembayaran pajak yang diperlukan akan lebih sedikit apabila menggunakan bentuk penyaluran uang tunai.

Gambar 1. Pengaruh Inkind transfer 400

340 280

120

0 400 800

Barang lain (Rp.)

A

D

E

B C

Pilihan konsumsi inkind transfer

Kendala biaya awal

Kendala biaya dengan bantuan

UF

(37)

I

[image:37.612.137.412.398.630.2]

Gambar 1 memperlihatkan bentuk in kind transfer yang kurang efisien. Sumbu x dan y masing-masing menggambarkan nilai makanan dan barang lainnya yang dikonsumsi seseorang dengan kurva kendala biaya AB senilai Rp 400. Apabila harga makanan dan barang lainnya, masing-masing diasumsikan Rp 1, maka OA=OB=Rp 400. Selanjutnya apabila harga makanan diturunkan 50% melalui program pemerintah misalnya melalui program kupon makanan, maka kemiringan kurva kendala biaya menjadi lebih datar seperti AC. Titik C menggambarkan nilai makanan sebesar Rp 800. Dalam memaksimalkan utilitas, dimisalkan penerima bantuan akan mengkonsumsi makanan senilai Rp 120 walaupun yang bersangkutan hanya membayar Rp 60 serta mengkonsumsi barang lainnya senilai Rp 340. Selisih biaya antara Rp 340 - Rp 280 yaitu Rp 60 akan diambil dari hasil pembayaran pajak.

Gambar 2. Efektivitas Bantuan Uang Tunai. 400

340 280

120

0 400 800

Barang lain (Rp.)

A

D

E

B C

Income level to reach UF

UF

Makanan 449 F

G

(38)

Gambar 2 menjelaskan tentang bentuk transfer uang tunai yang lebih efisien. Apabila bantuan pemerintah merupakan uang tunai, tentunya penerima bantuan tidak melihat adanya perubahan harga satuan. Untuk mencapai utilitas UF, kemiringan kurva kendala biaya tidak berubah, tetapi kurva tersebut bergeser ke atas menjadi FG sehingga menyinggung UF. Nilai FA mempunyai nilai lebih kecil dari Rp 60, karena IE = FA dan IE lebih kecil dari DE yang mempunyai nilai Rp 60. Kendala biaya FG yang kemiringannya ditentukan oleh harga pasar, lebih curam dari AC yaitu kendala biaya dengan program in kind. Semua titik pada UF dengan kemiringan yang lebih curam dari AC akan berada di sebelah kiri titik D, sehingga persentuhan dengan FG akan berada di sebelah kiri titik D. Karena FG harus melewati garis DE, bantuan dalam bentuk uang tunai akan menurunkan biaya program dibandingkan dengan bantuan dalam bentuk in kind.

2.2. Teori Subsidi

(39)

yang berasal dari suatu perekonomian pasar tidak terdistribusi dengan baik. Kedua, kurang sempurnanya kriteria penilaian kesejahteraan di dalam persepsi seseorang terhadap kesejahteraannya. Intervensi pemerintah dapat dilakukan dalam tiga bentuk yaitu kebijaksanaan untuk produksi publik, kebijakan produksi swasta dengan perlakuan pajak dan subsidi, serta kebijakan produksi swasta dengan adanya pengaturan dari pemerintah. Bentuk subsidi dapat berupa pengenaan suatu sistem perpajakan ataupun pemberian bantuan hibah secara langsung. Apabila subsidi berupa hibah langsung, maka persyaratan subsidi tersebut perlu ditetapkan sesuai dengan tujuan subsidi. Penilaian suatu subsidi harus dilihat dalam kurun waktu jangka panjang, dimana produsen dan konsumen telah menyesuaikan perilakunya, dan penilaian output dalam kurun waktu jangka pendek.

Fogiel (1992) menjelaskan apabila subsidi dianggap sebagai kebalikan dari pajak, maka kebijakan subsidi pada suatu kegiatan dapat mempengaruhi keseimbangan pasar yang berhubungan dengan kegiatan tersebut.

[image:39.612.129.397.478.674.2]

Sumber: Fogiel (1992)

Gambar 3. Pengaruh Pajak atau Subsidi

QS

QF QT PT

PS

S D

D

S SS ST

(40)

Pengaruh pajak atau subsidi terhadap suatu barang pada pasar persaingan sempurna, dapat dijelaskan seperti pada Gambar 3. Penerapan pajak pada suatu barang akan menggeser kurva penawaran S ke kiri, yaitu ST. Sebaliknya kebijakan

subsidi akan menggeser kurva penawaran S ke kanan SS. Dengan adanya pajak,

kuantitas barang akan menurun dan harga barang akan mengalami kenaikan. Sedangkan subsidi akan menyebabkan penurunan harga serta meningkatkan jumlah persediaan barang. Elastisitas penawaran dan permintaan akan berhubungan dengan kebijakan subsidi. Pada Gambar 4, kurva permintaan adalah inelastis sempurna. Oleh sebab itu, jumlah barang yang diminta akan tetap serta tidak dipengaruhi oleh kebijakan subsidi.

[image:40.612.130.362.343.544.2]

Sumber: Fogiel (1992)

Gambar 4. Pengaruh Subsidi dengan Kurva Permintaan Inelastis Sempurna Namun demikian, harga barang akan turun sebesar nilai subsidi. Dalam hal ini, konsumen akan mendapat manfaat secara menyeluruh dari kebijakan subsidi tersebut. Sama halnya dengan kurva penawaran yang elastis sempurna pada Gambar 5, kebijakan subsidi akan dimanfaatkan sepenuhnya oleh konsumen sejalan dengan turunnya harga keseimbangan dari PF ke PS.

D

Q PF

PS

SF

(41)
[image:41.612.130.356.441.606.2]

Sumber: Fogiel (1992)

Gambar 5. Pengaruh Subsidi dengan Kurva Penawaran Elastis Sempurna Sebaliknya, apabila kurva permintaan bersifat elastis sempurna, ataupun kurva penawaran yang bersifat inelastis sempurna, maka produsen akan menikmati semua keuntungan dari kebijakan subsidi. Di dalam Gambar 6, dimana kurva permintaan bersifat elastis sempurna, kebijakan subsidi tidak merubah harga kecuali ada perubahan dari sisi permintaan.

Sumber: Fogiel (1992)

Gambar 6. Pengaruh Subsidi dengan Kurva Permintaan Elastis Sempurna

PS PF

QF QS

D

SS SF

QF QS

P D

(42)

Di dalam Gambar 7, volume barang yang ditawarkan tidak dipengaruhi oleh kebijakan subsidi, karena bentuk kurva penawaran yang bersifat inelastis sempurna. Mengingat subsidi tidak mempengaruhi kurva permintaan, maka keseimbangan akan tetap di tingkat harga P dan kuantitas barang sebanyak Q.

Sumber: Fogiel (1992)

Gambar 7. Pengaruh Subsidi dengan Kurva Penawaran Inelastis Sempurna Ketika kurva penawaran bersifat inelastis sempurna dimana pihak produsen menerima subsidi dari pemerintah serta tidak mempengaruhi situasi pasar, maka produsen tersebut mendapatkan keuntungan menyeluruh dari subsidi. Secara ringkas, apabila kurva penawaran bertambah inelastis atau kurva permintaan bertambah elastis, maka produsen akan menerima lebih banyak manfaat dengan adanya subsidi. Sebaliknya, kurva penawaran yang lebih elastis atau kurva permintaan yang lebih inelastis, maka kebijakan subsidi akan menyebabkan bertambahnya keuntungan bagi pihak konsumen.

Pengenaan pajak, menurut Rosen (2005) akan mengakibatkan hilangnya kesejahteraan yang nilainya lebih besar dari perolehan pajak tersebut. Beban tersebut dikenal dengan excess burden yang kadang-kadang disebut welfare cost atau deadweight loss. Besarnya excess burden dapat diketahui dengan mencari

D S

P

(43)

besaran equivalent variation yaitu besaran pendapatan yang akan dikorbankan untuk memindahkan kurva indifference seperti terlihat pada Gambar 8.

Nilai yang diperlukan untuk menggeser garis biaya AD ke HI adalah equivalent variation. HI sejajar dengan AD serta menyentuh kurva indifference ii. Jarak vertikal AD dan HI, yaitu ME3 yang nilainya lebih besar dari GE2 dengan perbedaan sebesar E2N. Pengenaan pajak konsumsi menyebabkan keadaan tidak menguntungkan yang nilainya lebih besar dari pungutan pajak sebesar E2N dan sering dikenal dengan excess burden.

[image:43.612.137.381.293.497.2]

Sumber: Rosen (2005)

Gambar 8. Equivalent Variation

Selanjutnya Rosen (2005) berpendapat bahwa excess burden dapat dijelaskan dengan konsep surplus konsumen, yaitu perbedaan antara kemauan seseorang untuk membayar suatu komoditi dengan nilai yang sesungguhnya dibayarkan seperti terlihat dalam Gambar 9. Apabila diasumsikan biaya marginal sosial tetap, sehingga kurva penawaran Sb horizontal. Pajak yang terkumpulkan sebesar gfdh.Penjumlahan nilaipajak dan surplus konsumen setelah pajak lebih

Pounds of corn per year

ii i

E1

D M

G A

H

N

I E3 E2

F B3 B2

C3 C2

Pounds of barley per year Tax revenues

(44)

kecil dari surplus konsumen awal. Perbedaannya sebesar fid yaitu nilai excess burden.

[image:44.612.133.387.134.351.2]

Sumber: Rosen (2005)

Gambar 9. Excess Burden Akibat Pengenaan Pajak

Seperti halnya pajak, kebijakan subsidi menyebabkan beban atau excess burden seperti terlihat pada Gambar 10 berikut:

Sumber: Rosen (2005)

Gambar 10. Excess Burden Akibat Pemberian Subsidi (1- s) Ph Ph Sh Sh Dh

h1 h2

q n o r m Excess burden P ri c e p e r u n it of housi ng s e rv ices u v

Housing services per year

(1+tb) Pb

Pb

Sb

Sb

Db

q2 q1

a

Tax revenues Excess burden of the tax

P ric e p e r p oun d of barle y i

Pounds of barley per year

g f

[image:44.612.138.386.450.657.2]
(45)

Kurva permintaan diasumsikan garis lurus Dh. Sedangkan kurva penawaran

merupakan garis horizontal pada tingkat harga Ph yang menunjukkan biaya

marjinal. Volume keseimbangan awal sebesar h1. Pemerintah memberikan subsidi

sebesar s, sehingga harga setelah subsidi menjadi (1 – s)Ph. Apabila tujuan subsidi

untuk meningkatkan jumlah barang yang disediakan, maka kebijakan tersebut dikatakan berhasil. Lain halnya apabila tujuan subsidi untuk meningkatkan kesejahteraan. Sebelum adanya subsidi, surplus konsumen sebesar mno, dan setelah dilaksanakan kebijakan subsidi, surplus konsumen menjadi mqu, yang berarti terdapat peningkatan sebesar nouq. Mengingat biaya subsidi senilai nvuq, yang berarti melebihi keuntungan nouq, maka terjadi excess burden senilai ovu. Hal ini memberikan gambaran yang tidak efisien karena kebijakan subsidi mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi suatu komoditi yang nilainya lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan.

(46)

bawah, sehingga pada keseimbangan yang baru, terdapat kuantitas barang yang lebih banyak tetapi harga yang diterima oleh petani tidak banyak berubah. Dalam jangka panjang, keuntungan akan lebih banyak diterima oleh pihak konsumen dibandingkan dengan manfaat yang dirasakan oleh pihak produsen.

2.3. Pengelolaan Hutan Milik

Menurut Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang diubah dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2004, hutan berdasarkan pemilikannya dibagi menjadi hutan negara dan hutan milik. Hutan negara merupakan kawasan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik, sedangkan hutan milik adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik dan lazim disebut hutan rakyat ataupun hutan kemasyarakatan.

Dalam membangun hutan rakyat terdapat eksternalitas. Beberapa hasil produksi berupa barang dan jasa dari hutan rakyat secara ekonomis dan lingkungan sering dimanfaatkan oleh masyarakat konsumen, bahkan pemilik tegakan hutan hanya menikmati keuntungan yang relatif kecil. Ketidakpastian dalam pertumbuhan tegakan hutan dan hasil yang diharapkan karena adanya faktor iklim, penyakit, kebakaran, dan teknologi, akan mempengaruhi minat investor dan kreditor untuk membangun suatu hutan rakyat.

(47)
(48)

Klemperer (1996) menjelaskan solusi pertentangan pendapat dalam pengelolaan hutan dengan konsep teori kegagalan pemerintah (government failure) dan kegagalan pasar (market failure). Menurut Klemperer, apapun bentuk pengelolaan hutan yang diterapkan, tujuan akhirnya adalah untuk memaksimumkan kesejahteraan sosial (maximize social welfare). Secara teoretis, kesejahteraan maksimum tidak selalu terjadi dalam sistem pasar bebas dan berbagai bentuk tindakan pemerintah dapat membuat keadaan tersebut menjadi lebih baik (better off).

Cummine (2000) menjelaskan bahwa pada tahun 1990-an terdapat banyak usulan untuk merekomendasikan berbagai ketentuan yang meminta dipercepatnya pembentukan hutan milik pada areal bekas pertanian dan lahan tidak produktif lainnya. Rumusan strategi yang diluncurkan pada tahun 1997 berjudul “Tanaman untuk Australia: Visi 2020” bukan merupakan gagasan pemerintah semata, tetapi hasil kesepakatan bersama antara pihak pemerintah dengan Asosiasi Industri Kehutanan, Tanaman, dan Pengembang Tanaman di Australia. Tujuan kesepakatan tersebut adalah terbentuknya hutan milik seluas 3 juta hektar pada tahun 2020 untuk kelangsungan bahan baku industri kehutanan dan hasil kayu pada suatu wilayah tertentu.

(49)

relatif lama tersebut menyebabkan masyarakat berpenghasilan rendah tidak responsif untuk mengembangkan hutan rakyat secara murni swadaya. Masalah yang mungkin dihadapi dalam membangun hutan rakyat adalah resiko dalam pertumbuhan dan resiko dalam pemasaran hasil (Joshi, 1988). Rotasi pertumbuhan yang panjang menimbulkan ketidakpastian dalam melakukan investasi karena adanya resiko pasar dan resiko fisiologi tegakan hutan yang mempengaruhi pengembalian dana investasi tersebut. Hal ini memperkaya karakteristik dalam usaha pembangunan hutan yaitu putaran dana yang terlambat dan tidak dapat berubah. Ketidakpastian dalam pertumbuhan sering menimbulkan masalah dalam mendapatkan kredit perbankan serta persyaratannya.

(50)

hutan milik, maka para pemilik hutan yang relatif kecil luasnya, berkeinginan untuk bergabung dalam suatu wadah koperasi. Pada masa yang akan datang, hutan milik masyarakat dalam skala kecil cenderung semakin berkurang. Fragmentasi hutan milik ini terlihat semakin menyusut karena dikendalikan oleh kekuatan sosial dan demografi, yaitu adanya penerapan pajak yang tinggi, serta penetapan wilayah penyangga dengan perlindungan penggunaan lahan secara tradisional oleh masyarakat yang mempunyai komitmen terhadap kelestarian lingkungan (Sampson, N et al. 2000).

Di Indonesia, penanganan masalah sektor kehutanan pada tahun 2005-2009 dilakukan melalui 5 kebijakan prioritas, antara lain rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemulihan hutan dan lahan milik yang kritis terus dilakukan agar hutan dan lahan tersebut dapat berfungsi secara ekonomis dan ekologis. Rehabilitasi lahan milik merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dirancang pemerintah dengan cara pemberian dana subsidi kepada pemilik dan pengelola lahan yang kondisinya perlu segera direhabilitasi (Departemen Kehutanan, 2004).

(51)

rakyat adalah tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan secara langsung ikut berpartisipasi dalam pengelolaan hutan sesuai dengan kemampuannya yang dapat dikelola tersendiri ataupun sebagai bagian dari kelompok usaha besar (Departemen Kehutanan, 2003).

Uyang (1997) menjelaskan bahwa melalui proses sosialisasi, dialog, negosiasi, dan partisipasi masyarakat adalah kontribusi nyata dalam kegiatan rehabilitasi lahan yang dilaksanakan secara sadar. Bentuk kontribusi tersebut dapat berupa tenaga, bahan, dan juga pemikiran sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki dan disepakati bersama pada waktu itu. Dalam mengintensifkan rehabilitasi lahan milik, sejak tahun 1994/1995, Pemerintah Indonesia melalui Instruksi Presiden tentang Penghijauan telah menerapkan model penanganan lahan kritis. Di wilayah hulu DAS Cimanuk, penanganan rehabilitasi lahan secara partisipatif dan terpadu mendapat bantuan investasi dari Bank Dunia (Loan IBRD no. 3658 IND) dengan sasaran uji coba pada luasan 15 750 hektar, mencakup 31 500 rumah tangga petani lahan kering pada 13 kecamatan di Kabupaten Garut dan 5 kecamatan di Kabupaten Sumedang.

2.4. Tinjauan Studi Peranan Sektoral dalam Perekonomian

(52)

keterkaitan antar sektor dengan fokus utama pada peranan sektor pertanian. Data MOZAM terdiri dari 40 aktivitas produksi, 40 komoditi dan 3 faktor produksi: pertanian dan non pertanian, tenaga kerja, dan kapital. Rumah tangga dibedakan menjadi 2 tipe yaitu rumah tangga perkotaan dan perdesaan. Demikian juga dengan pengeluaran pemerintah(government expenditure) dibedakan menjadi dua bagian, yaitu pengeluaran rutin(recurrent expenditure) dan investasi pemerintah (government invesment). Pembagian pengeluaran pemerintah ini dimaksudkan untuk menangkap peran aliran dana yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rekonstruksi. Selain itu, hal ini juga dimaksudkan untuk memfasilitasi pengamatan pengeluaran rutin relatif terhadap pajak penghasilan. Analisis yang dilakukan meliputi analisis multiplier untuk mengukur dampak kumulatif baik secara langsung maupun tidak langsung dari suatu shock. Setelah itu Structural Path Analysis (SPA) digunakan untuk mendekomposisi nilai multiplier yang dihasilkan menjadi pilahan-pilahan.

Hasil studi Arndt et al. (1998) ini menyimpulkan bahwa: Pertama, pengembangan pertanian sangat sesuai dalam membangun keseluruhan kegiatan produksi, nilai tambah dan pendapatan rumah tangga. Kedua, pengembangan pertanian dapat membantu mengurangi kesenjangan pendapatan antara perkotaan dan perdesaan. Ketiga, strategi pertumbuhan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan harus memfokuskan diri pada sektor pertanian, hal ini diperlihatkan oleh dampak multiplier yang besar pada saat peubah-peubah ini melalui aliran perekonomian masyarakat perdesaan.

(53)

pertanian dan membangun jaringan pemasaran yang lebih baik. Analisis yang dilakukan didasarkan pada analisis computable general equilibrium (CGE), model untuk menangkap keunggulan struktural yang penting dari perekonomian Mozambique. Model ini secara eksplisit mengikursertakan pemilahan biaya pemasaran untuk kegiatan ekspor, impor dan juga penjualan domestik. Pertanian diaggregasi ke dalam 8 sub sektor. Permintaan rumah tangga dibedakan menjadi permintaan atas barang-barang yang dipasarkan dan barang-barang konsumsi produk rumah tangga dengan penilaian harga didasarkan pada biaya produksi dan bukan didasarkan pada harga pasar.

Hasil dari studi ini Arndt et al. (1998) mengindikasikan bahwa peningkatan produktivitas pertanian adalah hal yang sangat penting untuk perekonomian Mozambique, karena akan memberikan keuntungan potensial yang cukup besar bagi perekonomian. Namun, peningkatan output pertanian ini berada dalam lingkungan yang tidak kondusif, yaitu terdapatnya biaya pemasaran yang cukup tinggi di sektor pertanian. Hal ini mengakibatkan jatuhnya harga cukup signifikan. Penurunan ini akan mentransmisikan keuntungan dari faktor pendapatan ke sektor pertanian dan faktor produksi. Namun, kondisi ini ternyata membawa keuntungan bagi rumah tangga perdesaan karena tersedianya pangan yang lebih banyak dan rendahnya harga produsen yang akan menurunkan biaya konsumsi rumah tangga.

(54)

sepenuhnya pada pertanian non komersial, dan (4) setengah dari pengeluaran investasi pada pertanian komersial dan setengahnya lagi pada pertanian non komersial. Kerangka SAM yang dibangun terdiri dari tiga neraca endogen dan tiga neraca eksogen. Tiga neraca endogen tersebut adalah neraca produksi, faktor produksi dan institusi, sedangkan neraca eksogen terdiri dari neraca pemerintah, kapital dan rest of the world (ROW). Di samping itu, studi ini mendekomposisi matrik multiplier ke dalam empat komponen, yaitu: (1) initial injection (injeksi awal), (2) kontribusi bersih dari transfer efek multiplier sebagai hasil dari transfer langsung neraca endogen, (3) kontribusi bersih dari open-loop effect yang menyerap interaksi antara tiga neraca endogen, dan (4) kontribusi bersih dari sirkulasi closed-loop effect yang menjamin bahwa arus pendapatan antara neraca endogen saling berhubungan.

Hasil analisis empat skenario kebijakan investasi oleh Nokkala (2002) menyatakan bahwa peran skenario shocks pengeluaran aktual Agricultural Sector Investment Program (ASIP) mendorong produksi pertanian komersial tumbuh lebih besar daripada pertanian non komersial. Dari aspek pendapatan, program ASIP meningkatkan pendapatan rumah tangga perdesaan tidak berkeahlian lebih besar daripada rumah tangga perkotaan tidak berkeahlian dan berkeahlian. Hal ini mendukung pandangan bahwa investasi di sektor pertanian menguntungkan penduduk perdesaan, dalam hal ini kelompok berpendapatan rendah. Hasil analisis skenario 2, 3, dan 4 memperlihatkan hal yang senada dengan skenario 1, namun dengan komposisi besaran yang berbeda.

(55)

Bautista et al. (1999), dan Bautista (2000) yang semuanya menggunakan pendekatan SAM. Sedangkan Suwandee (1996) dalam analisisnya menggunakan pendekatan ekonometrika, yaitu dengan analisis cointegration dan error correction.

(56)

perdesaan. Hal ini akan meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan pendapatan rumah tangga di perdesaan, selanjutnya akan menciptakan kekuatan permintaan terhadap barang-barang produksi non pertanian dalam pasar lokal.

Studi tentang pembangunan industri berbasis pertanian juga dilakukan oleh Vogel (1991). Studi ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan strategi ADLI dengan membangun kerangka SAM 27 sektor. Pengukuran matrik multiplier SAM dengan mentransformasikan data ini dalam tiga tahap. Pertama, neraca luar negeri dimasukkan dalam blok endogen dalam rangka untuk mengeksplorasi open-economy linkages. Kedua, mereduksi SAM ke suatu disaggregasi umum untuk menghilangkan urban bias dari matrik multiplier, dengan memodifikasi metode agar aliran pendapatan sektor pertanian ke rumah tangga perdesaan dapat dipertahankan. Ketiga, path analysis memperhitungkan dekomposisi institusi dari multiplier SAM. Ukuran agregasi kuantitatif dari expenditure paths dengan mendekomposisi multiplier SAM ke dalam empat kontribusi: input-output, pengeluaran rumah tangga perdesaan dan perkotaan, dan efek perdagangan luar negeri. Regresi cross-section dilakukan terhadap 10 multiplier pertanian dan dekomposisinya untuk menggambarkan perubahan struktural sektor pertanian dan industri.

(57)

pendapatan sektor pertanian rumah tangga perdesaan lebih mendominasi daripada rumah tangga perkotaan pada negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, sebaliknya untuk negara-negara berpendapatan tinggi. Dekomposisi multiplier pendapatan rumah tangga perkotaan memberikan imbas terhadap konsumen rumah tangga perdesaan dan permintaan input antara sektor pertanian. Ketiga, multiplier pengeluaran rumah tangga pada sektor pertanian dan dekomposisinya menggambarkan efek Engel dan efek substitusi dari produksi pertanian terhadap permintaan akhir untuk penggunaan input antara. Multiplier pengeluaran rumah tangga perdesaan pada sektor non pertanian ditemukan menjadi kunci keterkaitan sektor pertanian terhadap sektor industri. Keempat, path dari perubahan struktural multiplier impor sektor pertanian memperlihatkan suatu hambatan struktural dalam mengimplementasi strategi ADLI untuk negara-negara berpendapatan rendah.

Studi tentang strategi pembangunan industri yang lebih kompleks dilakukan Bautista et al. (1999), yang mengukur pengaruh dari tiga alternatif pembangunan industri terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan analisis multiplier SAM dan CGE. Tiga alternatif industri yang dimaksudkan adalah agricultural demand-led industry (ADLI) atau industri berbasis permintaan sektor pertanian, food processing-based industry (FPB) atau industri berbasis pengolahan pangan, dan light manufacturing-based industry (LMB) atau industri berbasis manufaktur ringan.

(58)

dan 1 neraca masing-masing untuk perusahaan, modal, serta rest of the world (ROW). Analisis yang dilakukan meliputi: Pertama, analisis multiplier yang menghitung pengaruh multiplier langsung dan tidak langsung akibat adanya injeksi dari penerimaan eksogen terhadap sektor-sektor yang mendorong strategi pembangunan ketiga alternatif industri tersebut. Dalam hal ini, multiplier pendapatan yang diperoleh akan menunjukkan dampak keterkaitan ekonomi pada sektor-sektor produksi, dengan asumsi bahwa tidak ada kendala dalam penawaran. Multiplier pendapatan yang dihitung juga selalu dihubungkan dengan kelompok-kelompok rumah tangga yang berbeda, dengan maksud untuk menggambarkan adanya hubungan antara pertumbuhan dan pemerataan. Kedua, mengukur tingkat pemerataan pendapatan dengan membandingkan perubahan pendapatan pada berbagai kelompok rumahtangga menurut strategi ADLI, FPB dan LMB, dengan pusat perhatian pada kelompok farm worker (tenaga kerja pertanian), small farm (usahatani kecil), nonfarm low-income (rumah tangga di luar pertanian yang berpendapatan rendah), dan urban low-income (rumah tangga perkotaan berpendapatan rendah).

(59)

Suwandee (1996) melakukan studi dengan tujuan untuk menganalisis hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara pertumbuhan sektor pertanian dan industri. Perhatian studi ini adalah untuk memperoleh bukti bahwa kemajuan sektor pertanian dan pertumbuhan industri memberikan kontribusi satu sama lain dalam proses pembangunan. Studi ini menggunakan data Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan yang cenderung memberlakukan derajat proteksi yang tinggi terhadap sektor pertanian, di sisi lain digunakan data Indonesia, Malaysia, dan Thailand yang cenderung tidak berpihak terhadap sektor pertanian.

Analisis yang dilakukan Suwandee (1996) terdiri dari dua tahap menggunakan teknik time series. Tahap pertama, menyelidiki keberadaan hubungan jangka panjang antara output pertanian dan industri menggunakan analisis cointegration. Tahap kedua, menyelidiki hubungan jangka pendek antara pertumbuhan output pertanian dan industri dengan menggunakan metode error correction. Hasil analisis cointegration dari model bivariate menunjukkan bahwa ada hubungan jangka panjang antara output pertanian dan industri pada kasus Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Taiwan, dan Thailand, sedangkan pada kasus Indonesia tidak ada hubungan. Dari analisis dengan metode error correction ditemukan bahwa ada hubungan bi-directional (dua arah) antara sektor pertanian dan pertumbuhan industri pada semua negara, kecuali pada kasus Malaysia.

(60)

teknologi ini dianalisis dengan menggunakan kerangka SAM Indonesia yang terdiri dari 78 neraca. Dalam studi ini pilihan teknologi pada tingkat sektoral disajikan dengan melakukan agregasi beberapa sektor secara dualistik-pilihan teknologi yang digunakan terdiri dari dua teknik, yaitu tradisional dan modern. Dalam studi ini diambil sebanyak 12 sektor yang dianggap mewakili kriteria teknologi yang didasarkan pada asumsi peneliti dengan menggolongkan ke-12 sektor tersebut ke dalam 6 sektor tertentu, dampak dari adanya substitusi secara menyeluruh dari teknologi tradisional ke dalam teknologi modern, teramati dengan menggunakan agregasi SAM. Dalam studi ini peneliti menggunakan alat analisis fixed price multiplier (multiplier harga tetap) yang membantu memperlihatkan dampak awal dari pemilihan teknik teknologi yang digunakan.

Dari analisis yang dilakukan Halder dan Thorbecke (1989) dapat disimpulkan bahwa: Pertama, pola distribusi pendapatan dan tenaga kerja sangat sensitif terhadap pengadopsian teknik baru. Kedua, teknik tradisional menghasilkan efek output, tenaga kerja, dan pendapatan yang lebih besar dibandingkan teknik modern jika pilihan teknologi difokuskan pada penggunaan teknologi modern. Namun jika pilihan ditujukan pada penggunaan teknologi modern maka rumah tangga perkotaan akan lebih menikmati dampaknya, meskipun secara umum teknologi dengan teknik modern akan memberikan pendapatan yang lebih besar bagi perusahaan sebagai institusi lain di dalam kerangka SAM dibandingkan dengan yang diberikan oleh teknologi dengan teknik tradisional.

(61)

dalam kerangka perekonomian India, dengan fokus analisis adalah sektor formal dan informal pada faktor produksi dan rumah tangga. Model SAM yang dibangun terdiri atas 24 sektor produksi dan nilai tambahnya, masing-masing dipisahkan menjadi sektor formal dan informal. Faktor produksi dari 24 sektor tersebut kemudian dibedakan atas empat kelompok, yaitu informal labor, formal labor, informal capital dan formal capital. Keempat faktor produksi tersebut dianalisis menurut wilayah urban (perkotaan) dan rural (perdesaan). Lebih lanjut, analisis terhadap rumah tangga di perkotaan dan perdesaan, dipisahkan tipe-tipe rumah tangga sebagai berikut: (1) untuk sektor formal terdiri atas: rural poor, rural middle, rural rich, urban poor, urban middle dan urban rich; (2) untuk kelompok sektor informal terdiri atas: rural poor-agriculture, rural middle-agriculture, rural rich-agriculture, urban poor, urban middle dan urban rich. Dari hasil simulasi dapat disimpulkan bahwa simulasi kenaikan ekspor tekstil pada sektor formal dan informal sebesar 20% merupakan skenario yang paling baik, karena dapat meningkatkan pendapatan faktor produksi dan rumah tangga yang paling tinggi, baik pada sektor formal maupun informal. Nilai rata-rata yang dihasilkan menunjukkan bahwa faktor produksi pada sektor formal tampaknya lebih banyak merasakan dampak dari naiknya ekspor tekstil tersebut. Sedangkan dari aspek distribusi pendapatan dapat diungkapkan bahwa pendapatan rumah tangga di sektor informal meningkat lebih besar dibandingkan sektor formal.

(62)

kenyataannya, distribusi manfaat dari keberadaan hutan rakyat, tidak merata diantara pelaku yang terlibat. Hal ini menunjukkan masih diperlukannya upaya pengembangan usaha hutan rakyat. Pembangunan hutan rakyat perlu difokuskan pada penciptaan efisiensi dan informasi pasar, perluasan usaha kayu rakyat, dan menciptakan iklim kondusif untuk usaha. Prioritas penanganan diarahkan kepada pihak yang selama ini dalam posisi paling lemah atau paling kecil menerima manfaat dari sistem pembangunan hutan rakyat. Output yang dikehendaki dalam sistem pengembangan usaha yang menggunakan bahan baku kayu rakyat adalah pendapatan petani, dan kelestarian usaha serta sumberdaya. Usaha pengembangan hutan rakyat diharapkan akan mampu memberikan dampak ekonomi yang optimal, dalam arti dapat menciptakan dan meningkatkan keseimbangan antara manfaat yang berupa perbaikan pendapatan terhadap petani kayu rakyat, para pekerja yang terlibat dalam usaha kayu rakyat, para pedagang dan industri, serta dapat dijadikan sumber pendapatan daerah.

Lebih lanjut Darusman et al. (2003) menyatakan bahwa setiap tahapan kegiatan dalam pembangunan hutan rakyat mempunyai dampak ekonomi seperti halnya pembibitan, penanaman, pemeliharaan tegakan, penebangan, dan pengolahan. Keberadaan tegakan hutan rakyat, bahkan bisa menarik para

wisatawan untuk membelanjakan uangnya di wilayah tegakan tersebut. Di samping itu, dalam setiap pembangunan hutan rakyat mempunyai manfaat

(63)

sektor publik lainnya, seperti sekolah, kepadatan di jalan raya, serta jasa lainnya. Manfaat-manfaat dimaksud merupakan efek pengganda (multiplier effect) dari keberadaan hutan rakyat.

Hasil penelitian Haeruman et al. (1990) menyatakan bahwa unit produksi usaha kayu rakyat umumnya berskala kecil dan bersifat individual/perorangan. Pola usahatani kayu rakyat ini masih dilakukan secara tradisional dan belum sepenuhnya memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi, yakni usaha yang lebih menguntungkan. Petani hutan milik umumnya belum menggantungkan kehidupannya pada hasil hutan kayu yang akan termanfaatkan pada waktunya. Usahatani kayu rakyat ini merupakan sumber pendapatan sampingan, selain hasil pertanian di luar hutan milik, dan penghasilan dari sektor lainnya. Usahatani hutan ini merupakan tabungan yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan bila diperlukan. Di beberapa daerah, usahatani kayu rakyat merupakan tradisi turun-temurun sebagai warisan dari orang tua mereka.

(64)

Secara umum, dampak ekonomi dari keberadaan tegakan hutan milik adalah penyerapan tenaga kerja yang akan memberikan pendapatan petani, distribusi pendapatan, perolehan pajak pemerintah dan pendapatan asli daerah, pembentukan tempat pariwisata, dan bahkan mempengaruhi nilai lahan.

2.5. Tinjauan Studi Perilaku Petani

Berbagai studi tentang analisis perilaku petani dalam mengelola usahataninya telah banyak dilakukan. Dari berbagai studi tersebut dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya petani sebagai produsen melakukan aktivitas usahatani untuk memperoleh penghasilan yang layak bagi memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Banyak faktor yang mempengaruhi petani untuk meraih kesuksesan dalam melakukan aktivitas usahatani, secara umum dapat dikelompokkan menjadi faktor-faktor internal yaitu faktor dalam diri petani dan rumah tangganya, seperti umur, tingkat pendidikan, pengalaman usahatani, jumlah anggota rumah tangga dan lainnya, dan faktor-faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol oleh rumah tangga petani, meliputi: faktor kebijakan, iklim dan cuaca, serta faktor-faktor eksternal lainnya. Berikut ini diuraikan berbagai studi yang melakukan analisis perilaku petani dalam mengelola usahataninya.

(65)

Gambar

Gambar 1. Pengaruh Inkind transfer
Gambar 2. Efektivitas Bantuan Uang Tunai.
Gambar 3. Pengaruh Pajak atau Subsidi
Gambar  4.  Pengaruh Subsidi dengan Kurva Permintaan Inelastis Sempurna
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada variabel lingkungan kerja non fisik, faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja non fisik adalah hubungan yang harmonis, untuk itu di harapkan kepada PT Tandem

Seperti pada penelitian kali ini yang mengambil manajemen klub Trio Muda, hal tersebut bermaksud untuk mengetahui peran manajemen dalam menunjang prestasi olahraga

Hasil uji kadar air bakso ayam petelur afkir yang tersaji pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa perlakuan perbedaan metode thawing pada daging yang digunakan sebagai

Dokumen berupa: (1) foto kegiatan pembelajaran menulis teks berita dengan metode CIRCyang terjadi di kelas VIII B SMP Negeri 1 Banyudono (2) hasil tes siswa untuk mengetahui

Dalam hal ini penulis tertarik untuk mengkaji aspek moral dalam kumpulan dongeng Histoires ou Contes du Temps Passé karya Charles Perrault karena kumpulan dongeng ini

(2011a) melaporkan, bahwa marinasi daging sapi dengan menggunakan jus bawang putih ternyata dapat menurunkan total bakteri, total bakteri coliform dan daya ikat

H 1a yaitu variabel keputusan pendanaan jangka pendek yang diukur dengan indikator Quick Ratio (QR), Net Working Capital (NWC) dan Leverage Short Term (LST) dapat

Operation is subject to the following 2 conditions: 1) this device may not cause harmful interference and, 2) this device must accept any inter ference received, including inter