KENDALA PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KELALAIAN
(CULPA) PADA PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS
YANG MENGAKIBATKAN MATINYA KORBAN
(STUDI PADA POLDASU)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
K
K
U
U
R
R
N
N
I
I
A
A
W
W
A
A
N
N
T
T
O
O
P
P
U
U
T
T
R
R
A
A
NIM. 070200171
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
KENDALA PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KELALAIAN
(CULPA) PADA PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS
YANG MENGAKIBATKAN MATINYA KORBAN
(STUDI PADA POLDASU)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
K
K
U
U
R
R
N
N
I
I
A
A
W
W
A
A
N
N
T
T
O
O
P
P
U
U
T
T
R
R
A
A
NIM. 070200171
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M Hamdan, SH, MH NIP. 195703261986011001
Pembimbing I
Liza Erwina, SH, M.Hum NIP. 196110241989032002
Pembimbing II
Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum NIP. 197407252002122002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan
mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Adapun skripsi ini berjudul : “Kendala Penyidikan Tindak Pidana Kelalaian
(Culpa) Pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya
Korban (Studi Pada Poldasu).”
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan
di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran
yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.
Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan
hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen
pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan
memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu
Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin,
Sumatera Utara dan Bapak Dr. O. K. Saidin, SH.M.Hum selaku Pembantu
Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Dr. M Hamdan, S.H., MH., selaku Ketua Departemen Huku m Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen
Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan
masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan
skripsi ini
4. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan,
serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini
5. Kepada Papa Mijer dan Mama Mindalina, atas segala perhatian, dukungan,
doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di
Fakultas Hukum USU dan yang telah memberikan dukungan kepada
penulis.
6. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
7. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2007, selama
menjalani perkuliahan..
8. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan
kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Medan, Juni 2014
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Keaslian Penulisan ... 6
E. Tinjauan Kepustakaan ... 7
F. Metode Penelitian ... 23
G. Sistematika Penulisan ... 25
BAB II PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP KELALAIAN (CULPA) PADA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN MATINYA KORBAN ... 28
A. Pengertian Tindak Pidana ... 28
B. Unsur-Unsur Tindak Pidana... 33
BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KECELAKAAN
LALU LINTAS ... 42
A. Fungsi dan Peranan Lalu Lintas ... 42
B. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas ... 45
C. Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas ... 48
D. Disiplin Lalu Lintas... 52
BAB IV KENDALA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA (CULPA) DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS ... 59
A. Gambaran Umum Pelaksanaan Penyidikan ... 59
B. Kendala Dalam Penyidikan Tindak Pidana Culpa Dalam Kecelakaan Lalu Lintas ... 63
C. Upaya Dalam Mengatasi Kendala Penyidikan Tindak Pidana Culpa Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban ... 67
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 72
ABSTRAK
Dari banyaknya kecelakaan yang terjadi dan faktor-faktor yang menyebabkan kecelakaan terdapat suatu kendala dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban. Kendala penyidikan ini dapat dilihat dari hasil pra survey pada tahun 2008 sampai dengan pertengahan 2010 jumlah kecelakaan yang mengakibatkan matinya korban sebanyak 856 perkara. Dari jumlah tersebut, perkara yang dapat diselesaikan dalam proses penyidikan sebanyak 700 perkara. Sedangkan yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas sebanyak 156 perkara. Dalam tiap tahunnya terdapat ±20% perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban tidak dapat terselesaikan atau dapat diselesaikan tetapi membutuhkan waktu yang sangat lama.
Permasalahan yang diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap kelalaian (culpa) pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban, apakah faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas serta apakah kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam kecelakaan lalu lintas.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan pertanggungjawaban pidana terhadap kelalaian (culpa) pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban maka kepada pelaku akan diancam dengan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas adalah Pengemudi kehilangan konsentrasi, Lelah dan mengantuk, Pengaruh alkohol dan obat, Kecepatan melebihi batas, cuaca serta Komponen tak beres. Kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam kecelakaan lalu lintas, yaitu : Tidak selesainya penyidikan pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban disebabkan oleh kurangnya alat bukti, selain itu, penghentian penyidikan pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan mati tidak ada atau kurangnya saksi di sekitar TKP dalam hal ini dalam lingkup Kabuapten Malang yang melihat langsung peristiwa kecelakaan tersebut, Dihentikannya penyidikan apabila tersangka dan korban kecelakaan lalu lintas sama-sama meninggal dunia. Penelitian ini juga menyarankan perlunya upaya-upaya konkret yang dapat membantu pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, koordinasi dengan instansi setempat harus lebih ditingkatkan karena adanya keterangan dari instansi tersebut sangat membantu penyidikan dan perlunya pengawasan jalan yang ketat oleh para polisi patroli terutama di daerah jarang penduduk agar apabila terjadi kecelakaan langsung dapat diketahui dan ditangani sehingga tidak menimbulkan kendala dalam pelaksanaan penyidikannya nanti.
ABSTRAK
Dari banyaknya kecelakaan yang terjadi dan faktor-faktor yang menyebabkan kecelakaan terdapat suatu kendala dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban. Kendala penyidikan ini dapat dilihat dari hasil pra survey pada tahun 2008 sampai dengan pertengahan 2010 jumlah kecelakaan yang mengakibatkan matinya korban sebanyak 856 perkara. Dari jumlah tersebut, perkara yang dapat diselesaikan dalam proses penyidikan sebanyak 700 perkara. Sedangkan yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas sebanyak 156 perkara. Dalam tiap tahunnya terdapat ±20% perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban tidak dapat terselesaikan atau dapat diselesaikan tetapi membutuhkan waktu yang sangat lama.
Permasalahan yang diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap kelalaian (culpa) pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban, apakah faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas serta apakah kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam kecelakaan lalu lintas.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan pertanggungjawaban pidana terhadap kelalaian (culpa) pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban maka kepada pelaku akan diancam dengan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas adalah Pengemudi kehilangan konsentrasi, Lelah dan mengantuk, Pengaruh alkohol dan obat, Kecepatan melebihi batas, cuaca serta Komponen tak beres. Kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam kecelakaan lalu lintas, yaitu : Tidak selesainya penyidikan pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban disebabkan oleh kurangnya alat bukti, selain itu, penghentian penyidikan pada perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan mati tidak ada atau kurangnya saksi di sekitar TKP dalam hal ini dalam lingkup Kabuapten Malang yang melihat langsung peristiwa kecelakaan tersebut, Dihentikannya penyidikan apabila tersangka dan korban kecelakaan lalu lintas sama-sama meninggal dunia. Penelitian ini juga menyarankan perlunya upaya-upaya konkret yang dapat membantu pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, koordinasi dengan instansi setempat harus lebih ditingkatkan karena adanya keterangan dari instansi tersebut sangat membantu penyidikan dan perlunya pengawasan jalan yang ketat oleh para polisi patroli terutama di daerah jarang penduduk agar apabila terjadi kecelakaan langsung dapat diketahui dan ditangani sehingga tidak menimbulkan kendala dalam pelaksanaan penyidikannya nanti.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa arus lalu lintas jalan di
kota-kota besar di Negara Republik Indonesia umumnya dan khususnya di Kota
Medan, semakin bertambah padat sejalan dengan perkembangan dan kemajuan
teknologi, perkembangan ekonomi, serta ditambah dengan jumlah penduduk
yang semakin meningkat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka secra
otomatis akan timbul problema yang kompleks dalam kaitannya dengan
kecelakaan lalu lintas yang sering menelan korban jiwa dan harta benda.
Jauh sebelum kendaraan bermotor ditemukan, kecelakaan di jalan hanya
melibatkan kereta, hewan, dan manusia. Kecelakaan lalu lintas menjadi
meningkat secara drastis ketika ditemukan berbagai jenis kendaraan bermotor.1
Kecelakaan lalu lintas merupakan peristiwa yang tidak diharapkan yang
melibatkan paling sedikit satu kendaraan bermotor pada satu ruas jalan dan
mengakibatkan kerugian material bahkan sampai menelan korban jiwa. Laju
pertambahan penduduk dan jumlah arus lalu lintas di Kota Medan meningkat
secara pesat, sehingga kebutuhan akan prasarana transportasi terus bertambah.
Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap tingkat pelayanan yang ada, sehingga
jika tidak diimbangi dengan peningkatan prasarana transportasi yang memadai,
1
maka dampak yang diakibatkan adalah timbulnya masalah-masalah pada lalu
lintas, seperti kemacetan dan kecelakaan.
Dari hasil pra survey di Poldasu telah diperoleh data mengenai
kecelakaan lalu lintas yang terjadi di kawasan Kota Medan. Karakteristik
kecelakaan di Kota Medan antara lain jumlah kejadian kecelakaan dengan
korban-korban luka ringan menempati urutan pertama, diikuti korban
meninggal dunia, jenis kecelakaan yang paling sering terjadi adalah melibatkan
dua kendaraan, jenis kendaraan yang paling sering terlibat adalah sepeda motor,
pelaku dan korban kecelakaan terbesar berjenis kelamin laki-laki, berusia antara
17-26 tahun, berpendidikan SMA, dan bekerja sebagai karyawan swasta.
Bertambahnya volume lalu lintas akan menyebabkan kenaikan
kecelakaan lalulintas yang terjadi secara cukup signifikan, dan bertambahnya
kecepatan lalu-lintas pada kondisi tertentu justru akan menurunkan jumlah
kecelakaan, namun lebih lanjut peningkatan kecepatan akan menaikkan jumlah
kecelakaan lalu lintas yang terjadi.
Dari data yang diperoleh, ternyata pada kecepatan sekitar 40-50 km/jam
terjadi kondisi jumlah kecelakaan minimal. Ada tiga faktor utama yang
menyebabkan terjadikanya kecelakaan, Pertama adalah faktor manusia, kedua
adalah faktor kendaraan dan yang terakhir adalah faktor jalan. Kombinasi dari
ketiga faktor itu bisa saja terjadi, antara manusia dengan kendaraan misalnya
berjalan melebihi batas kecepatan yang ditetapkan kemudian ban pecah yang
faktor lingkungan, cuaca yang juga bisa berkontribusi terhadap kecelakaan.2
Kekurang cermatan tidak dapat dicelakan jika pelaku tidak dapat berbuat
lain daripada apa yang telah ia lakukan. Dalam hal ini, penting bahwa
pelaksanaannya mengetahui sejauh mana sifat kekurang hati-hatian dapat Dari banyaknya kecelakaan yang terjadi dan faktor-faktor yang
menyebabkan kecelakaan terdapat suatu kendala dalam proses penyidikan
kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban. Kendala
penyidikan ini dapat dilihat dari hasil pra survey pada tahun 2008 sampai
dengan pertengahan 2010 jumlah kecelakaan yang mengakibatkan matinya
korban sebanyak 856 perkara. Dari jumlah tersebut, perkara yang dapat
diselesaikan dalam proses penyidikan sebanyak 700 perkara. Sedangkan yang
tidak dapat diselesaikan secara tuntas sebanyak 156 perkara. Dalam tiap
tahunnya terdapat ±20% perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan
matinya korban tidak dapat terselesaikan atau dapat diselesaikan tetapi
membutuhkan waktu yang sangat lama.
Perkara kecelakaan merupakan bagian dari tindak pidana kealpaan yang
disebutkan dalam pasal 359 KUHP. Dalam pasal 359 KUHP ditegaskan dengan
dua cara bahwa kematian orang lain adalah akibat dari kelalaian pembuat, yaitu
dengan tidak menyebutkan pembuat tetapi kesalahannya (kealpaannya). Dalam
situasi pengendara kendaraan bermotor, salah berbuat dan tidak berbuat
seakan-akan menjadi satu perbuatan.
2
dikenakan pada pelaku. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan
sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang obyektif
kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.3
1. Bilamana pembuat delik menyadari bahwa dari tindakannya dapat
mewujudkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, tetapi ia
beranggapan secara keliru bahwa akibat itu tidak akan terjadi atau ia mampu
untuk mencegahnya.
Menurut pasal 7 (3) Criminal Code of Yugoslavia yang dikutip dalam
buku A. Zainal Abidin, bahwa kealpaan terbagi atas dua bentuk, yaitu:
2. Bilamana pembuat delik tidak menyadari kemungkinan akan terwujudnya
akibat, sedangkan di dalam keadaan ia berbuat oleh karena kualitas
pribadinya ia seharusnya dan dapat menyadari kemungkinan itu.4
Pada dua kemungkinan tersebut maka terdapat hubungan batin antara pelaku dengan akibat perbuatannya tersebut. Hubungan batin ini diperlukan sebagai pedoman sejauh mana pelaku dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Dalam hal penyidikan dalam menentukan perbuatannya itu sebagai suatu kealpaan atau suatu kesengajaan sangatlah sulit, karena dalam hubungannya kealpaan dan kesengajaan merupakan perbuatan yang mirip.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, tingginya angka
kecelakaan dan tidak tuntasnya perkara kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan matinya korban disebabkan oleh banyaknya kendala dalam
proses penyidikan pada perkara kecelakaan lalu lintas ini.
Dari latar belakang penulisan tersebut, penulis mengangkat
permasalahan dalam skripsi ini dengan judul Kendala Penyidikan Tindak
3
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 199.
4
Pidana Kelalaian (Culpa) Pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang
Mengakibatkan Matinya Korban (Studi Pada Poldasu).
B. Permasalahan
Hal yang telah merupakan kebiasaan di dalam menulis skripsi, harus
ditentukan masalah yang menjadi titik tolak dari pembahasan selanjutnya.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam pembahasan skripsi ini
adalah :
1. Bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap kelalaian (culpa) pada
kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban?
2. Apakah faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas?
3. Apakah kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam kecelakaan
lalu lintas?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah untuk:
1. Untuk mengetahui pertanggung jawaban pidana terhadap kelalaian (culpa)
pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas.
3. Untuk mengetahui kendala dalam penyidikan tindak pidana (culpa) dalam
kecelakaan lalu lintas.
Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan dalam hal ini adalah:
sendiri khususnya dalam bidang hukum pidana tentang penyidikan tindak
pidana kelalaian (culpa) pada perkara kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan matinya korban.
b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil
manfaatnya terutama dalam hal mengetahui tentang hal-hal yang dapat
dilakukan masyarakat apabila terjadi tindak kelalaian (culpa) pada perkara
kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban.
D. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Kendala Penyidikan Tindak
Pidana Kelalaian (Culpa) Pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang
Mengakibatkan Matinya Korban (Studi Pada Poldasu)”, dan penulisan
skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan
skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan
akademik.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Penyidikan
Sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 1 dan 2
KUHAP, merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik
adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang. Sedang penyidikan berarti serangkaian tindakan
undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu
membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus
menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.
Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan
mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai
tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan
mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan
dapat menjadi terang, serta tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya
bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase
tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi
guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian,
ditinjau dari beberapa segi, terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut :
Menurut KUHAP yang dimaksud dengan penyidik adalah pasal 1 butir 1
menyebutkan: “ penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan “.
Kemudian, pasal 6 ayat (1) penyidik adalah :
1. Pejabat polisi negara Republik Indonesia,
2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
Pasal 6 ayat (2) menyebutkan “syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dalam
ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah“.
“Kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam peraturan pemerintah
diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut
umum dan hakim peradilan umum“.
Mengenai kepangkatan penyidik ini oleh Peraturan Pemerintah No. 27
Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, diterangkan :
Pasal 2 ayat (1) :
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat pembantu letnan dua polisi.
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat
pengatur muda tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu.
Mengenai kepangkatan ini masih ada pengecualiaan apabila tidak ada penyidik
yang berpangkat pembantu letnan dua, seperti yang ditegaskan oleh ayat (2)
dari pasal 2 di atas yaitu :
“dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang
berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya
adalah penyidik “.
Ayat (3) “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditunjuk
oleh Kepala Kepolisian republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku “.
Ayat (4) “ Wewenang penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai
Ayat (5) “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diangkat
oleh Menteri atas usul dari Departemen yang membawahkan pegawai negeri
tersebut, Menteri sebelum melaksanakan pengangkatannya terlebih dahulu
mendengarkan pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia “.
Setelah dikemukakan pengertian dan hal-hal yang berhubungan dengan
penyidik, maka berikut yang akan dibicarakan adalah pengertian dari
penyidikan itu. Yang dimaksud dengan penyidikan adalah : serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya
(pasal 1 butir 2 KUHAP).
Dari rumusan pengertian penyidikan tersebut, maka dapatlah
dimengerti bahwa tujuan daripada penyidikan itu demikian luasnya, yakni harus
mampu mengumpulkan bukti-bukti, menerangkan peristiwa pidana tentang apa
yang telah terjadi serta harus dapat menemukan tersangkanya.
Untuk dapat terlaksananya tugas dan tujuan dari penyidikan itu, maka
dibutuhkan adanya tenaga-tenaga penyidik yang telah terlatih dan terampil.
Di dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981, seperti yang telah
dinyatakan di atas, tidak semua polisi negara Republik Indonesia mempunyai
kedudukan sebagai penyidik. Artinya, hanya pejabat polisi yang telah
memenuhi syrat-syarat tertentu sajalah yang dapat diangkat menjadi seorang
negara ini, di samping adanya pembagian tugas tersendiri pada dinas
kepolisian, juga adalah atas dasar pemikiran bahwa penyidikan itu haruslah
dilakukan oleh yang telah mempunyai syarat-syarat kepangkatan tertentu pada
dinas kepolisian. Demikian juga penyidik, haruslah orang-orang yang telah
memiliki keterampilan khusus dalam bidang penyidikan, baik dalam segi teknik
maupun taktis, serta orang-orang yang mempunyai dedikasi dan disiplin yang
tinggi, karena di dalam pelaksanaan penyidikan ini adakalanya penyidik harus
menggunakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan dan lain-lain.
Dimana apabila hal ini tidak dilakukan oleh penyidik-penyidik yang telah
terlatih, maka kemungkinan besar hak-hak asasi seseorang yang hendak
diadakan penyidikan terhadap dirinya, walaupun prinsip undang-undang itu
sendiri menjunjung hak asasi manusia.
Namun demikian terlepas daripada kelayakan dan keharusan yang
harus dimiliki oleh setiap penyidik, maka di dalam situasi dan kondisi yang
tertentu, sesuai dengan letak geografis daripada Indonesia dan serta masih
kurangnya tenaga, terutama tenaga ahli khususnya di dalam penyidikan pada
dinas kepolisian negara Republik Indonesia, maka oleh undang-undang
diberikan kesempatan untuk mengangkat penyidik-penyidik pembantu baik dari
Polisi sendiri maupun dari pejabat-pejabat pegawai negeri sipil di dalam
lingkungan kepolisian negara.
2. Pertanggung Jawaban Pidana
jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah
ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu
tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggung jawabkan
atas tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan
tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau
alasan pembenar) untuk itu.5
1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair).
Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab
maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat
dipertanggung jawabkan (pidana) kan. Dikatakan seseorang mampu
bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) bilamana pada umumnya:
a. Keadaan jiwanya:
2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya) dan.
3) Tidak terganggu karena terkejut, hyponotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe beweging, melindur/slaapwandel, mengingau karena demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
b. Kemampuan jiwanya:
1) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya.
2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak dan,
3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut”.6
Kemampuan bertanggung jawab didasarkan pada keadaan dan
kemampuan jiwa dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berfikir dari
seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi dalam Pasal 44 KUHP adalah
5
EY Kanter dan SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Storia Grafika, Jakarta. 2002, hal. 249.
6
verstandelijke vermogens. Untuk terjemahan dari vertandelijke vermogens
sengaja digunakan istilah keadaan dan kemampuan jiwa seseorang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan
wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).7 Pidana adalah kejahatan (tentang
pembunuhan, perampokan, dan sebagainya).8
Alf Ross mengemukakan pendapatnya mengenai apa yang dimaksud
dengan seseorang yang bertanggungjawab atas perbuatannya. Pertanggung
jawaban pidana dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara
kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat akibat dan akibat hukum yang diisyaratkan.
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya suatu
perbuatan dengan pidana. Ini tergantung dari persoalan, apakah dalam
melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan, sebab asas dalam
pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum mens rea).9
7
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 1006.
8
Ibid, hal. 766.
9
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 64.
Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada
pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana
Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana
yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam
Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang,
seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut,
apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau
peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat
dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu
bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.
Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung
jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang
melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari
soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.10
1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si
pembuat.
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung jawaban pidana atau
kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu:
2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang
berhubungan dengan kelakuannya yaitu:
a. Disengaja
b. Sikap kurang hati-hati atau lalai
10
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan
pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat.
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk, adalah merupakan faktor akal (intelectual factor) yaitu dapat membedakan
perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan untuk menentukan
kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah
merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah
lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.
Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu
menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan,
dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu
tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Oleh karena kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan,
maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi.
Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup
lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada
karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung
jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin
jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang
khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak
bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak
dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.11
1. Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya
atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada
sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus
menerus.
Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam
Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak
dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.” Kalau tidak
dipertanggung jawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal
dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila
hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan
apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut :
2. Syarat Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku
melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul
sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab
terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.
Untuk menentukan adanya pertanggung jawaban, seseorang pembuat
dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada sifat melawan hukum dari
tindak pidana itu, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang
sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa)
11
pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa kesengajaan”
(opzet) atau karena kelalaian (culpa). Akan tetapi kebanyakan tindak pidana
mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Hal ini layak karena
biasanya, yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Dalam teori hukum pidana
Indonesia kesengajaan itu ada tiga macam, yaitu:12
1. Kesengajaan yang bersifat tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat
dipertanggung jawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai.
Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku
pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan
yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki
mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman
hukuman ini.
2. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan
untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar
bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan.
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu
kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan
hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari
12
kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggung
jawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya, seperti
yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan
sebagai berikut: “Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurangan paling lama satu
tahun.”
Kealpaan mengandung dua syarat, yaitu:
1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan hukum.
2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan hukum.13
Dari ketentuan diatas, dapat diikuti dua jalan, yaitu pertama
memperhatikan syarat tidak mengadakan penduga-duga menurut semestinya.
Yang kedua memperhatikan syarat tidak mengadakan penghati-hati guna
menentukan adanya kealpaan. Siapa saja yang melakukan perbuatan tidak
mengadakan penghati-hati yang semestinya, ia juga tidak mengadakan
menduga-duga akan terjadi akibat dari kelakuannya. Selanjutnya ada kealpaan
yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Dengan demikian tidak
mengadakan penduga-duga yang perlu menurut hukum terdiri atas dua
kemungkinan yaitu:
a. Terdakwa tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin
timbul karena perbuatannya.
b. Terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi ternyata tidak benar
13
Kemudian syarat yang ketiga dari pertanggung jawaban pidana yaitu
tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung
jawaban pidana bagi si pembuat. Dalam masalah dasar penghapusan pidana,
ada pembagian antara “dasar pembenar” (permisibilry) dan “dasar pemaaf”
(ilegal execuse). Dengan adanya salah satu dasar penghapusan pidana berupa
dasar pembenar maka suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya,
sehingga menjadi legal/boleh, pembuatanya tidak dapat disebut sebagai pelaku
tindak pidana. Namun jika yang ada adalah dasar penghapus berupa dasar
pemaaf maka suatu tindakan tetap melawan hukum, namun si pembuat
dimaafkan, jadi tidak dijatuhi pidana.
Dasar penghapus pidana atau juga bisa disebut alasan-alasan
menghilangkan sifat tindak pidana ini termuat di dalam Buku I KUHP, selain
itu ada pula dasar penghapus diluar KUHP yaitu:
1. Hak mendidik orang tua wali terhadap anaknya/guru terhadap muridnya.
2. Hak jabatan atau pekerjaan.
Yang termasuk dasar Pembenar Bela paksa Pasal 49 ayat 1 KUHP,
keadaan darurat, pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pasal 50,
pemerintah jabatan-jabatan Pasal 51 ayat 1 Dalam dasar pemaaf atau fait
d’excuse ini semua unsur tindak pidana, termasuk sifat melawan hukum dari
suatu tindak pidana tetap ada, tetapi hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku
tidak dapat dipertanggung jawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan
dalam daya berpikir, daya paksa (overmacht), bela paksa, lampau batas
(noodweerexes), perintah jabatan yang tidak sah.
Seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dihukum apabila si
pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Masalah
pertanggungjawaban tersebut sangat berkaitan erat dengan adanya kesalahan.
3. Kelalain/Culpa
Kealpaan terdapat pada pasal 359 KUHP, yaitu : “Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”
Selain kealpaan dapat menyebabkan matinya korban, kealpaan juga dapat
mengakibatkan luka berat yang diatur dalam pasal 360 KUHP,yaitu :
1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun.
2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halanagn menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam
bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.”
Luka berat yang dimaksud dalam pasal 360 KUHP disebutkan dan
- Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.
- Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencarian.
- Kehilangan salah satu panca indera.
- Mendapat cacat berat.
- Menderita penyakit lumpuh.
- Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
- Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.”
Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang kelalaian, maka untuk
memperjelas apa yang dimaksud dengan kelalaian tersebut akan dijelaskan
terlebih dahulu mengenai perbedaan dan persamaan kelalaian dengan
kesengajaan. Perbedaan kelalaian dengan kesengajaan adalah terletak pada
unsur subyektifnya. Kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh
undangundang.14
Kelakuan alpa” diartikan sebagai kelakuan yang tidak memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh situasi.15
14
J.E.Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995. hal. 87.
15
Ibid, hal. 115.
Moeljatno mengutip dari pendapat
Langemeyer bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat gecompliceerd.
Dia mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam perbuatan lahir, dan
keadaan batinnya itu sendiri.16
1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. Moeljatno mengutip pernyataan Van Hamel
bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu :
2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Sedangkan pendapat Simons yang dikutip oleh Moeljatno tentang
kealpaan mengatakan bahwa isi kealpaan adalah tidak adanya penghati-hati di
samping dapat diduga-duganya akan timbul akibat.17
1. Pembuat berbuat lain daripada seharusnya dia berbuat sesuai aturan hokum
tertulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum. Pengertian kealpaan terdiri dari tiga komponen, yaitu :
2. Selanjutnya pelaku berbuat sembrono, lalai, kurang berpikir, lengah.
3. Akhirnya pelaku dapat dicela, yang berarti bahwa dia dapat dipertanggung
jawabkan atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berpikir, dan
lengah.18
Menurut pasal 7 (3) Criminal Code of Yugoslavia yang dikutip oleh
Zainal Abidin, bahwa kealpaan terbagi atas dua bentuk, yaitu:
1. Bilamana pembuat delik menyadari bahwa dari tindakannya dapat
mewujudkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, tetapi ia
beranggapan secara keliru bahwa akibat itu tidak akan terjadi atau ia mampu
untuk mencegahnya.
2. Bilamana pembuat delik tidak menyadari kemungkinan akan terwujudnya
16
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Op.Cit., hal. 200.
17
Ibid, hal. 201.
18
akibat, sedangkan di dalam keadaan ia berbuat oleh karena kualitas
pribadinya ia seharusnya dan dapat menyadari kemungkinan itu.19
Kesimpulam Moeljatno yang dikutip oleh Zainal Abidin bahwa orang
yang mempunyai sikap batin culpa lata adalah :
1. Kurang memperhatikan benda-benda yang dilindungi oleh hokum, dan
2. Ditinjau dari segi masyarakat, ia kurang memperhatikan larangan-larangan
yang berlaku dalam masyarakat.20
Culpa dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Pelaku telah berbuat schuld yang mencolok atau culpa lata, dan
2. Dalam hal ini pelaku telah berbuat kesalahan ringan atau culpa levis.21
Perbedaan antara dolus dan culpa, yaitu :
Dolus :
1. Perbuatan dilakukan dengan sengaja
2. Perbuatan itu disebut doleuz delicten
3. Diancam dengan hukuman lebih berat daripada culpoze delicten.
Sedangkan culpa :
a. Perbuatan yang dilakukan karena kelalaian / kealpaan
b. Perbuatan itu disebut culpose delicten atau schuld delicten
c. Ancaman hukumannya adalah lebih ringan daripada doleuze delicten.
F. Metode Penelitian
19
H.A. Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 326.
20Ibid, hal. 332. 21
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Sifat/materi penelitian
Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi
ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif,
yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang
tertulis atau bahan hukum yang lain.22
2. Sumber data
Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data
sekunder didapatkan melalui:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia
No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009, Tentang Angkutan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan serta Undang-Undang Kepolisian Negara (Undang-Undang
Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002).
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum
dan sebagainya.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:
1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan
22
terhadap hukum primer dan sekunder.
2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang
hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan
sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.
3. Alat pengumpul data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.
4. Analisis data
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan,
studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan
analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan
tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat
ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi
ini.
G. Sistematika Penulisan
Bab I yang berjudul Pendahuluan adalah sebagai suatu pengantar dari
pembahasan-pembahasan selanjutnya, hal mana terdiri dari 7 (tujuh) sub bab,
yaitu Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian serta Sistematika
Bab II Dengan judul Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Kelalaian
(Culpa) Pada Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban,
adalah merupakan suatu pembahasan dari segi teori yang terdiri dari;
Pengertian Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Pertanggungjawaban
Pidana Terhadap Kelalaian (Culpa) Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Yang
Mengakibatkan Matinya Korban.
Bab III yang berjudul Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu
Lintas, dimana di dalamnya terdiri dari: Fungsi dan Peranan Lalu Lintas,
Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas, Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan
Lalu Lintas, Disiplin Lalu Lintas.
Bab IV yang berjudul Kendala Dalam Penyidikan Tindak Pidana
(Culpa) Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, dimana di dalam terdiri dari Gambaran
Umum Pelaksanaan Penyidikan, Kendala Dalam Penyidikan Tindak Pidana
Culpa Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Upaya Dalam Mengatasi Kendala
Penyidikan Tindak Pidana Culpa Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Yang
Mengakibatkan Matinya Korban.
Bab V yang berjudul Kesimpulan dan Saran dimana di dalamnya akan
BAB II
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP KELALAIAN (CULPA) PADA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG
MENGAKIBATKAN MATINYA KORBAN
A. Pengertian Tindak Pidana
Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana
banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama dengan
tindak pidana. Istilah-istilah lain dari tindak pidana tersebut adalah antara lain :
1. Perbuatan melawan hukum.
2. Pelanggaran pidana.
3. Perbuatan yang boleh dihukum.
4. Perbuatan yang dapat dihukum.23
Menurut R. Soesilo, tindak pidana yaitu suatu perbuatan yang dilarang
atau yang diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau
diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan diancam dengan
hukuman.24
Menurut Moeljatno “peristiwa pidana itu ialah suatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan undang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
23
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 32.
24
penghukuman Simons, peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum
yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung
jawab, kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan yang meliputi
dolus dan culpulate.25
1. Perbuatan yang dilarang.
Secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum
pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu :
Dimana dalam pasal-pasal ada dikemukakan masalah mengenai
perbuatan yang dilarang dan juga mengenai masalah pemidanaan seperti
yang termuat dalam Titel XXI Buku II KUH Pidana.
2. Orang yang melakukan perbuatan dilarang.
Tentang orang yang melakukan perbuatan yang dilarang (tindak pidana)
yaitu : setiap pelaku yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana atas
perbuatannya yang dilarang dalam suatu undang-undang.
3. Pidana yang diancamkan.
Tentang pidana yang diancamkan terhadap si pelaku yaitu hukuman
yang dapat dijatuhkan kepada setiap pelaku yang melanggar
undang-undang, baik hukuman yang berupa hukuman pokok maupun sebagai
hukuman tambahan.26
Pembentuk Undang-undang telah menggunakan perkataan
“Straafbaarfeit” yang dikenal dengan tindak pidana. Dalam Kitab
25
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, hal. 62.
26
undang hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan suatu penjelasan mengenai
apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “Straafbaarfeit”.27
Perkataan “feit” itu sendiri di dalam Bahasa Belanda berarti “sebagian
dari suatu kenyataan” atau “een gedeele van werkwlijkheid” sedang “straaf
baar” berarti “dapat di hukum” hingga cara harafia perkataan “straafbaarfeit”
itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat di
hukum” oleh karena kelak diketahui bahwa yang dapat di hukum itu sebenarnya
adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun
tindakan.28
Hazewinkel Suringa dalam Hilaman memberi defenisi tentang
“straafbaarfeit” adalah sebagai perilaku manusia yang pada saat tertentu
telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup dan dianggap sebagai perilaku
yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana
yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.
Oleh karena seperti yang telah diuraikan diatas, ternyata pembentuk
Undang-undang telah memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang
sebenar-nya telah dimaksud dengan perkataan “straafbaarfeit” sehingga
timbullah doktrin tentang apa yang dimaksud dengan “straafbaarfeit”
29
Selanjutnya Van Hamel memberi defenisi tentang “straafbaarfeit”
sebagai suatu serangan atas suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.30
Menurut Pompe straafbaarfeit dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran
27
Ibid., hal. 45.
28
norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak
sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman
terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminya kepentingan umum.31
Mengenai isi dari pengertian tindak pidana ada kesatuan pendapat di antara
para sarjana. Menurut ajaran Causalitas (hubungan sebab akibat) di sebutkan
pada dasarnya setiap orang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan yang
dilakukannya, namun harus ada hubungan kausa antara perbuatan dengan
akibat yang di larang dan di ancam dengan pidana. Hal ini tidak selalu mudah ,
peristiwa merupakan rangkaian peristiwa serta tiada akibat yang timbul tanpa Simons memberi defenisi “straafbaarfeit” adalah sebagai suatu
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas
tindakannya dan yang oleh Undang-undang telah dinyatakan suatu tindakan
yang dapat di hukum.
Hukum pidana Indonesia mengenal istilah tindak pidana. Istilah ini di pakai
sebagai pengganti perkataan straafbaarfeit, yang berasal dari Bahasa Belanda.
Tindak pidana merupakan suatu pengeritan dasar dalam hukum pidana. Tindak
pidana adalah suatu pengertian yuridis. Lain halnya dengan istilah perbuatan
jahat atau kejahatan yang dapat diartikan secara yuridis (hukum) atau secara
kriminologis.
29
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hal. 21.
30
sesuatu sebab.
Kemampuan bertanggung jawab, menurut Kitab Undang-Undang Pidana
Indonesia seseorang yang dapat dipidana tidak cukup apabila orang tersebut
telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat
melawan hukum, akan tetapi dalam penjatuhan pidana orang tersebut juga harus
memenuhi syarat “Bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau bersalah. Dengan perkataan lain orang tersebut dapat
dipertanggung jawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut
perbuatannya, perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan” , disini berlaku
asas tiada pidana tanpa kesalahan (Nulla poena sine culpa)32
1. Simons
.
Berdasarkan rumusan di atas disebutkan bahwa untuk adanya pertanggung
jawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab.
Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggung jawabkan apabila ia tidak
mampu untuk di pertanggung jawabkan.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan rumusan
tentang pertanggung jawaban pidana. Akan tetapi dalam literatur hukum pidana
Indonesia dijumpai beberapa pengertian untuk pertanggung jawaban pidana
yaitu :
33
Simons menyatakan kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai
suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan
31
Ibid., hal. 103.
32
sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya,
kemudian Simons menyatakan bahwa seseorang mampu bertanggung
jawab.
2. Van Hamel34
3. Van Bemmelen
Van Hamel menyatakan bahwa pertanggung jawaban pidana adalah suatu
keadaan normalitas psyhis dan kematangan yang membawa adanya
kemampuan pada diri perilaku.
35
B. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Van Bemmelen menyatakan bahwa seseorang dapat dipertanggung
jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara
yang patut.
Sudikno dalam hal ini mengatakan bahwa tindak pidana itu terdiri dari 2
(dua) unsur yaitu :36
a. Unsur bersifat objektif yang meliputi :
1) Perbuatan manusia, yaitu perbuatan yang positif ataupun negatif yang
menyebabkan pidana.
2) Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merusak atau
33
Ibid., hal. 103.
34
Ibid., hal. 104.
35
Ibid., hal. 105.
36
membahayakan kepentingan-kepentingan umum, yang menurut norma
hukum itu perlu adanya untuk dapat dihukum.
3) Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan ini dapat terjadi pada
waktu melakukan perbuatan.
4) Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan melawan
hukum tersebut jika bertentangan dengan undang-undang.
b. Unsur bersifat subjektif.
Yaitu kesalahan dari orang yang melanggar ataupun pidana, artinya
pelanggaran harus dapat dipertanggung jawabkan kepada pelanggar.
Sejalan dengan hal tersebut, menurut R. Tresna dalam Martiman
Prodjohamidjojo suatu perbuatan baru dapat disebut sebagai suatu peristiwa
pidana bila perbuatan tersebut sudah memenuhi beberapa unsur.
Unsur-unsur tersebut antara lain :37
1) Harus ada perbuatan manusia.
2) Perbuatan itu sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan
hukum.
3) Terbukti adanya doda pada orang yang berbuat.
4) Perbuatan untuk melawan hukum.
5) Perbuatan itu diancam hukuman dalam undang-undang.
Di samping itu Simon dalam Kanter dan Sianturi mengatakan bahwa tindak
37
pidana itu terdiri dari beberapa unsur yaitu :38
1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan).
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gestelde).
3) Melawan hukum (enrechalige).
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verbandstaand). Oleh orang
yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar person).
Simons menyebut adanya unsur objektif dari strafbaarfeit yaitu :39
1) Perbuatan orang.
2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
Unsur subjektif dari strafbaarfeit yaitu :
1) Orang yang mampu bertanggung jawab.
2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa), perbuatan harus dilakukan dengan
kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan keadaan-keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.
Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang
maka haruslah dipenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut antara lain :
1) Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan
hukum.
2) Mampu bertanggung jawab.
3) Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealfaan.
38
EY. Kanter dan SR. Sianturi, Op.Cit, hal. 121.
39
4) Tidak ada alasan pemaaf.40
Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang mengakibatkan
dihukumnya atau dipidananya seseorang itu, maka haruslah dipenuhi beberapa
syarat :
a. Melakukan perbuatan pidana, perbuatan bersifat melawan hukum;
b. Mampu bertanggung jawab;
c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan/kurang
hati-hati;
d. Tidak adanya alasan pemaaf.41
ad.a. Melakukan perbuatan pidana, perbuatan bersifat melawan hukum
Sebagaimana telah disebutkan di atas perbuatan pidana (delik) adalah
perbuatan seseorang yang telah memenuhi unsur-unsur suatu delik yang
diatur dalam hukum pidana. Apabila undang-undang telah melarang suatu
perbuatan dan perbuatan tersebut sesuai dengan larangan itu dengan
sendirinya dapatlah dikatakan bahwa perbuatan tersebut bersifat melawan
hukum.
ad.b. Mampu bertanggungjawab
Menurut KUHP seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan pidana yang dilakukannya dalam hal :
1) Karena kurang sempurna akal atau karena sakit berupa akal (Pasal 44
40
KUHP);
2) Karena belum dewasa (Pasal 45 KUHP).
Mampu bertanggungjawab dalam hal ini adalah mampu menginsyafi
sifat melawan hukumnya dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk
menentukan kehendaknya. Dalam hal kasus pelanggaran merek maka
kemampuan bertanggungjawab tersebut timbul disebabkan :
1) Seseorang memakai dan menggunakan merek yang sama dengan merek
pihak lain yang telah terdaftar.
2) Memperdagangkan barang atau jasa merek pihak lain yang dipalsukan.
3) Menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa.
4) Seseorang tanpa hak menggunakan tanda yang sama keseluruhan dengan
indikasi geografis milik pihak lain untuk barang atau jasa yang sama.
ad.c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena
kealpaan/kurang hati-hati
Dalam hukum pidana kesengajaan dan kealpaan itu dikenal sebagai
bentuk dari kesalahan. Si pelaku telah dianggap bersalah jika ia melakukan
perbuatan pidana yang sifatnya melawan hukum itu dengan sengaja atau karena
kealpaannya. Ini jelas diatur dalam Undang-Undang Merek Tahun 2001 pada
Pasal 90, 91, 92 dan 93.
ad. d. Tidak adanya alasan pemaaf
41
Tidak adanya alasan pemaaf berarti tidak adanya alasan yang
menghapus kesalahan dari terdakwa.
C. Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Kelalaian (Culpa) Perkara
Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Matinya Korban
Pasal 359 KUHP menjelaskan bahwa, “Barang siapa karena kealpaanya
menyebabkan matinya orang di hukum penjara selamalamanya 5 tahun atau
kurungan selama-lamanya 1 tahun”. Dalam pasal tersebut menerangkan
bahwa, undang-undang memberi penegasan tindak pidana kealpaan melalui
unsur-unsur yang terdapat dalam pasal ini, yaitu:
1. Barang siapa setiap orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus
bertanggungjawab atas perbutannya itu.
2. Karena kealpaan dimaksud, menerangkan bahwa seseorang tersebut
melakukan hal dengan kurang hati-hati padahal dia patut mengetahui bahwa
akan timbul sesuatu akibat yang merugikan orang lain.
3. Menyebabkan matinya orang disini, menjelaskan bahwa akibat dari
kealpaan atau kelalaian tersebut menyebabkan orang lain meninggal atau
mati.
4. Dihukum. Dihukum tersebut menjelaskan pertanggung jawaban pidana
terhadap tidalakan kelalaian yang dilakukan oleh seseorang yang
Kecelakaan Lalu Lintas dalam Pasal 229 UU No. 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan digolongkan menjadi 3, yakni:
a) Kecelakaan Lalu Lintas ringan, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan
kerusakan Kendaraan dan/atau barang,.
b) Kecelakaan Lalu Lintas sedang, merupakan kecelakaan yang
mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
c) Kecelakaan Lalu Lintas berat, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan
korban meninggal dunia atau luka berat.
Pasal 310 UU LLAJ.
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor
dengan yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas
dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat 2, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,- (satu juta rupiah).
Pasal 310 ayat 1 UU LLAJ memberikan gambaran umum dengan
menyatakan setiap orang yang dengan kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan,
kepadanya diwajibkan bertanggungjawab atas perbuatannya itu. Tapi dalam
ayat yang ke 4 menjelaskan bahwa:
(4) Dalam hal kecelakaan dimaksud pada ayat 3 yang mengakibatkan orang lain
meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,- (dua belas juta rupiah).
Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan
1. Setiap orang;
2. Mengemudikan kendaraan bermotor;
3. Karena lalai; dan
4. Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
5. Pasal 235 ayat (1)
“Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik,
dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli
waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak
menggugurkan tuntutan perkara pidana” Dalam pasal tersebut di atas
ditegaskkan khususnya pada perkataan “tidak menggugurkan tuntutan perkara
pidana”. Artinya adalah walaupun pengemudi kendaraan sebagai pihak
penabrak telah memberikan pembayaran sejumlah uang atau santunan oleh
pihak penabrak kepada korban sebagai penggantian biaya pengobatan di rumah
sakit atau memberikan biaya santunan bagi korban yang telah meninggal dunia
kepada pihak korban/keluarga korban tetapi tetaplah tidak menggugurkan
tuntutan perkara pidana tersebut, atau dengan kata lain proses hukum harus
tetap dilanjutkan. Hal inilah yang perlu disampaikan karena belum banyak
orang yang tahu atas aturan tersebut. Jika korban meninggal dunia akibat
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1)
Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan
bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya
BAB III
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KECELAKAAN LALU LINTAS
Fungsi dan Peranan Lalu Lintas
Transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk
mewujudkankan wawasan Nusantara, memperkukuh ketahanan nasional, dan
mempererat hubungan antar bangsa dalam usaha mencapai tujuan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Transportasi di jalan
sebagai salah satu moda (alat) transportasi tidak dapat dipisahkan dari
moda-moda transportasi lain yang didata dalam sistem transportasi nasional yang
dinamis dan mampu mengadaptasi kemajuan di masa depan, mempunyai
karekteristik yang mampu menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan dan
memadukan moda transportasi lainnya, perlu lebih dikembangkan potensinya
dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah, baik nasional
maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong dan penggerak
pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan
lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan
teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan moda transportasi lainnya,
menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan,
pertumbuhan dan stabilitas sebagai pendorong, penggerak dan penunjang
pembangunan nasional dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli
masyarakat.
Membicarakan permasalahan transportasi di atas maka sarana yang
sangat penting bagi terciptanya transportasi tersebut adalah jalan raya. Jalan
raya pada umumnya dikenal oleh masyarakat sebagai alat bagi berlalu lalu
lintas, dimana di dalamnya ditemukan kaedah-kaedah hukum, termasuk halnya
pengaturan agar pemakai sarana transportasi dapat tertib memakai sarana
transportasi tersebut.
Pengertian lalu lintas menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah “Lalu Lintas adalah
gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan”.
Sedangkan lalu lintas dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia “
(berjalan) bolak-balik, hilir mudik.42
Lalu lintas memberikan gambaran kepada kita tentang pemakaian
sarana jalan raya sebagai sebuah sarana bagi kebutuhan-kebutuhan berbagai
kepentingan di atasnya, termasuk hal tersebut perpindahan dari satu tempat ke
tempat lainnya, pelaksanaan pengangkutan. Dari keadaan yang sedemikian
maka pentingnya dalam berlalu lintas adalah hubungan yang tercipta antara Dari dua sumber di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya
pengertian lalu lintas adalah bergerak baik orang maupun kendaraan dengan
memakai jalan sebagai sarana utamanya serta pemakai jalan raya sebagai
objeknya.
42
pemakai jalan raya itu sendiri serta saling keterikatan antara pemakai sarana
jalan raya yang satu dengan yang lainnya. Keadaan inilah yang disebut dengan
berlalu lintas, dimana hubungan- hubungan yang terjadi di jalan raya dengan
berbagai sarana alat angkutan mencerminkan keharmonisan dan keteraturan.
Dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan :
(1)Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:
a. Rambu Lalu Lintas.
b. Marka Jalan.
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.
d. Alat penerangan Jalan.
e. Alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan.
f. Alat pengawasan dan pengamanan Jalan.
g. Fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan
h. Fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.
(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Dengan demikian maka rambu-rambu lalu lintas merupakan salah satu
alat bagi keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas serta
menciptakan kemudahan bagi pengguna jalan raya.
Di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tidak ada diatur tentang
pengertian rambu-rambu berlalu lintas, hanya fungsi dan kegunaannya saja
diatur. Pengaturan tentang rambu-rambu lalu lintas dapat dilihat di dalam
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas
Jalan tanpa menyebutkan pengertian rambu-rambu lalu lintas.
adalah “ salah satu dari perlengkapan jalan, berupa lambang, huruf, angka,
kalimat dan / atau perpaduan di antaranya sebagai peringatan, larangam
perintah dan petunjuk bagi pemakai jalan.43
Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas
Kata “kecelakaan” memiliki kata dasar “celaka”. Kata celaka dapat
diartikan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang berarti Menderita
sesuatu yang menyusahkan, malang, sial tidak beruntung, tidak berbahagia.40
Sehubungan dengan hal tersebut, maka “kecelakaan” adalah kejadian yang
tidak disengaja atau tidak disangka-sangka dengan akibat kematian, luka-luka
atau kerugian benda.44
Selain itu kecelakaan selalu mengandung unsur tidak disengaja atau
tidak disangka-sangka dan menimbulkan rasa heran atau (tercengang terlebih
dahulu) maka ini menimb