PROVINSI MALUKU UTARA
BAHAR KAIDATI
PEMBIMBING:
DR. IR. LUKY ADRIANTO, MSc.
DR. IR. ACHMAD FAHRUDIN, MS.
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK
DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI
MALUKU UTARA
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangProspek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari
kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi ikan semakin meningkat. Demand
perdagangan ikan cukup tinggi, diperkirakan dunia masih kekurangan stok ikan
hingga tahun 2010 sebesar 2 juta ton per tahun dan diperkirakan perdagangan ikan
dunia mencapai USD 100 milyar per tahun ( DPP Gapindo 2005). Wilayah Indonesia
yang terdiri dari 70 % wilayah laut merupakan suatu kekuatan potensi sebagai
supplier produk perikanan yang patut diperhitungkan di kawasan Asia dan dunia,
sebagaimana diketahui bahwa pasokan ekspor perikanan Indonesia yang terus
meningkat dengan market share yang dicapai dari total pasar dunia kurang lebih 5 %
dengan tujuan ekspor ke 90 negara di dunia dan tujuan pasar utama adalah Jepang
sebesar 50 %, Amerika Serikat sebesar 17 % dan Uni Eropa sebesar 13 % (DPP
Gapindo 2005).
Pasar domestik juga cukup kuat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang
terus meningkat dan kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi ikan semakin
tinggi. Dengan demikian nampak bahwa prospek pasar perikanan secara global
memiliki potensi yang sangat menjanjikan, hal ini memicu usaha untuk
memanfaatkan sumberdaya perikanan terus meningkat, yang didukung dengan
teknologi penangkapan yang semakin canggih. Salah satu kemajuan yang nampak
dalam bisnis perikanan dalam merespon pasar global adalah modernisasi armada
perikanan, pengenalan teknologi yang canggih untuk penangkapan ikan serta
pembangunan infrastrukur. Namun demikian, potensi yang besar dengan pasar yang
menjanjikan dan kemajuan teknologi terjadi pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
sehingga menimbulkan berbaga masalah antara lain adalah IUU (Illegal Unreported
Unregulation) fishing.
Telah terjadi praktek IUU fishing yang melibatkan nelayan dari sejumlah negara
asing yang marajalela di hampir seluruh wilayah yang memiliki potensi sumberdaya
perikanan yang sangat besar. Permasalahan IUU fishing di perairan Indonesia
mencakup pencurian ikan (illegal fishing), perikanan yang tidak dilaporkan
(unreported fishing) dan perikanan yang tidak diatur (unregulated fishing) yang
mengakibatkan negara dirugikan hingga jutaan US dolar dan besarnya kerugian
akibat dari praktek IUU fishing yang diderita oleh negara Indonesia mencapai USD
2.136 juta, yang terdiri dari (i) penangkapan ikan di ZEE Indonesia dan ekspor yang
tidak termonitor oleh kapal asing diperkirakan mencapai 4.000 kapal dengan jumlah
kerugian sebesar USD 1.200 juta, (ii) kapal-kapal ilegal yang melanggar daerah
penangkapan diperkirakan mencapai 1.275 kapal dengan jumlah kerugian sebesar
USD 574 juta, (iii) selisih harga BBM dengan jumlah kerugian USD 240 juta, (iv)
selisih iuran DPKK sebesar USD 22 juta dan (v) fee yang harus dibayar sebesar USD
100 juta (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Selain itu, Food and
Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa, jumlah ikan yang ditangkap
secara ilegal mencapai kurang lebih 1 juta ton setiap tahunnya dengan nilai kerugian
mencapai USD 1 sampai dengan 4 miliar.
Unreported fisheries merupakan bagian dari IUU fishing yang terjadi karena
dilakukan oleh nelayan asing maupun nelayan lokal. Nelayan asing yang beroperasi
secara ilegal (illegal fishing) sudah pasti melakukan unreported fisheries karena hasil
yang diperoleh dari fishing ground di wilayah ZEEI langsung diekspor ke luar negeri
dimana nelayan tersebut berasal atau ke negara lain tanpa dilaporkan (unreported)
sebagaimana mestinya, praktek ini mengakibatkan negara mengalami kerugian yang
sangat besar karena terjadinya kehilangan nilai ekonomi (economic loss) yang
nilainya mencapai jutaan US dolar dan kesalahan data tentang kondisi biologis atau
stok sumberdaya perikanan yang sebenarnya serta kerugian secara sosial maupun
Unrepoted fisheries juga dilakukan oleh nelayan lokal yang melakukan
penangkapan secara legal tetapi tidak dilaporkan (unreported), terdapat kesalahan
pelaporan (misreported) dan pelaporan yang tidak sebenarnya (undereported). Hal ini
terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang potensial
mempengaruhi terjadinya unreported fisheries antara lain adalah kondisi sosial dan
struktural yang berkembang dalam suatu wilayah, misalnya : keberadaan nelayan
yang jauh dari Pangkalan Pendaratarn Ikan (PPI) atau Pelabuhan Perikanan Nusantara
(PPN), sehingga sulit bagi mereka untuk melaporkan hasil tangkapannya.
Kebanyakan nelayan masih beroperasi secara tradisional dan menggunakan perahu
tanpa motor, nelayan langsung menjual hasil tangkapannya kepada masyarakat
disekitarnya dan disekitar wilayah nelayan berada terdapat tangkahan (tauke) yang
siap membeli hasil tangkapan nelayan untuk di jual kemudian dengan harga yang
lebih tinggi dan lain-lain.
Provinsi Maluku Utara dengan luas wilayah 145.891,1 km2 dimana 69,08 % merupakan wilayah laut, memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang
sangat menunjang pembangunan daerah. Wilayah perairan Maluku Utara berada
dalam wilayah pengelolaan Laut Seram dan Laut Maluku dengan jumlah potensi
sumberdaya ikan (standing stock) diperkirakan mencapai 1.035.230,00 ton dengan
jumlah potensi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) yang dapat dimanfaatkan
sebesar 828.180,00 ton per tahun terdiri dari, ikan pelagis 621.135,00 ton per tahun
dan ikan demersal 207.045,00 ton per tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Maluku Utara, 2005).
Kota Ternate merupakan bagian dari provinsi Maluku Utara yang luas
wilayahnya didominasi oleh perairan sebesar 97% (5.544,55 km2) dan luas daratan sebesar 4,3 % (250,85 km2). Dengan luas wilayah yang didominasi oleh perairan, Kota Ternate memiliki potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar. Menurut
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Ternate (2006), potensi lestari
sumberdaya perikanan di wilayah perairan Kota Ternate mencapai 47.838,25 ton per
tahun dari standing stock yang dimiliki sebesar 71.757,38 ton per tahun yang terdiri
layang dan tembang, serta ikan demersal seperti kakap merah, skuda, ekor kuning
serta berbagai jenis ikan kerapu. Sebagai wilayah yang memiliki potensi perikanan
yang begitu besar, maka sudah pasti menjadi target praktek IUU fishing, hal ini
ditandai dengan ditangkapnya sejumlah kapal dan nelayan asing oleh aparat
Angkatan Laut dan laporan nelayan lokal tentang keberadaan nelayan asing yang
sering beroperasi di wilayah perairan sekitar Maluku Utara dan khususnya wilayah
Kota Ternate yaitu di sekitar Pulau Batangdua dan Pulau Hiri. Selain terjadi illegal
fishing oleh nelayan asing yang sangat merugikan negara, juga terjadi unreported
fisheries yaitu hasil tangkapan yang tidak dilaporkan oleh nelayan lokal. Secara
ekonomi hal ini sangat merugikan pemerintah karena terjadinya economic loss dan
kehilangan rente sumberdaya (resource rent) perikanan yang ada serta tidak jelasnya
data tentang stok sumberdaya perikanan yang sebenarnya (misscalculation).
Terjadinya unreported fisheries oleh nelayan lokal dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yaitu faktor sosial budaya, ekonomi, geografis maupun struktural. Sebagaimana yang
terjadi di wilayah Perairan Maluku Utara pada umumnya dan khususnya di Kota
Ternate, sebagian hasil tangkapan nelayan tidak di daratkan di Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) atau Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) sebagaimana mestinya. Hal
ini mengindikasikan bahwa telah terjadi kerugian secara ekonomi (economic loss)
atas pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh para nelayan yang beroperasi di sekitar
wilayah perairan Kota Ternate.
1.2. Rumusan Masalah
Wilayah Kota Ternate yang terdiri dari empat kecamatan dan dua kecamatan
pembantu, yaitu Kecamatan Pulau Ternate, Kecamatan Kota Ternate Selatan,
Kecamatan Kota Ternate Utara, Kecamatan Pulau Moti, Kecamatan Pembantu
Batang dua dan Kecamatan Pembantu Pulau Hiri. Pengaruh dari berbagai kondisi,
baik kondisi ekonomi, geografis, sosial budaya, dan kebijakan menyebabkan hasil
tangkapan para nelayan tidak bisa didaratkan di PPN atau PPI sebagaimana mestinya
Kebiasaan para nelayan menjual hasil tangkapannya dilakukan langsung
kepada masyarakat konsumen di sekitarnya atau kepada tangkahan (tauke). Hal ini
mengakibatkan terjadinya unreported fisheries yang merupakan bagian dari IUU
Fishing yang telah mengakibatkan terjadinya kerugian ekonomi (economic loss) dan
hilangnya rente sumberdaya perikanan yang berpengaruh terhadap pendapatan
pemerintah yang di dalam hal ini dianggap sebagai pemilik tunggal (single owner)
dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan juga berpengaruh
terhadap keadaan data tentang jumlah stok sumberdaya perikanan yang sebenarnya
(faktual) khususnya di wilayah perairan Kota Ternate dan wilayah Perairan Maluku
Utara pada umumnya, untuk mengetahui hal tersebut, maka dalam penelitian ini dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :
1) Berapa nilai kerugian ekonomi (economic loss) akibat dari unreported fisheries
yang terjadi di Kota Ternate.
2) Berapa peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Ternate
atas terjadinya Unreported Fisheries.
3) Berapa rente sumberdaya (resources rent) yang dihasilkan Pemerintah Kota
Ternate dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.
4) Apa yang menyebabkan terjadinya unreported fisheries di Kota Ternate dan
bagaimana solusinya.
5) Bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanana yang ekonomis dan lestari di
Kota Ternate.
6) Bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap.
7) Bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan rezim pengelolaan
sumberdaya perikanan tangkap.
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan dari
1) Mengestimasi berapa besar kerugian ekonomi yang disebabkan oleh unreported
fisheries yang terjadidi wilayah Kota Ternate.
2) Mengestimasi berapa besar peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh
Pemerintah Kota Ternate atas terjadinya Unreported Fisheries
3) Mengestimasi berapa rente sumberdaya (resources rent) yang dihasilkan
Pemerintah Kota Ternate dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di
wilayah perairan Kota Ternate.
4) Mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unreported fisheries di Kota
Ternate dan bagaimana solusinya.
5) Mengkaji bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ekonomis dan
lestari di Kota Ternate.
6) Mengkaji bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap.
7) Mengkaji bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan rezim
pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang
bermanfaat bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan perbaikan kebijakan di
bidang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, yang mengarah
kepada peningkatan kesejahteraan nelayan, peningkatan Pendapatan Asli Daerah,
menciptakan lapangan kerja dan pembangunan sektor perikanan yang berkelanjutan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya PerikananOtonomi daerah telah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk
memanfaatkan berbagai potensi sumberdaya yang ada di daerah seoptimal mungkin
untuk kepentingan pembangunan daerah. Sebagaimana diatur dalam UU No. 25
Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU. No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pada pasal 10 ayat 2 mengatur tentang, kewenangan daerah
propinsi dalam pengelolaan wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis
pantai kearah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan, dan ayat 3 mengatur
tentang Pemerintah Kota/Kabupaten berhak mengelola sepertiganya atau 4 mil laut.
Sedangkan dalam UU. No. 25 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU. No.33
tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah pada pasal 6 ayat 5
mengatur tentang pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah
yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya pesisir dan
laut. Mengacu pada aturan perundangan tersebut, maka bagi daerah yang memiliki
potensi sumberdaya yang besar khususnya sumberdaya kelautan dan pesisir,
berkesempatan untuk memanfaatkannya seoptimal mungkin dan diperuntukan untuk
pembangunan ekonomi yang tertinggal sebagai akibat kebijakan pembangunan yang
sentralistik pada masa pemerintahan orde baru. Masalahnya adalah jika kebijakan
pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi konsekwensinya
akan menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi sumberdaya dan lingkungan itu
sendiri, baik kondisi ekologi maupun ekonomi yang akan berakibat pada gejolak
sosial. Kebijakan kelautan (ocean policy) adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat
oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana
untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(social well being) (Kusumastanto 2003). Dengan demikian maka kebijakan yang
ditempuh dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus
dipertimbangkan berbagai aspek antara lain aspek ekologi dan ekonomi, sehingga
ekonomi demi tercapai kesejahteaan dan disisi yang lain bisa dimanfaatkan secara
berkelanjutan (sustanaibility).
Menurut Adrianto (2005), perikanan sebagai sebuah sistem yang memiliki peran
penting dalam penyediaan bahan pangan, kesempatan kerja, rekreasi, perdagangan
dan kesejahteraan ekonomi bagi setiap penduduk Indonesia, membutuhkan
pengelolaan yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang (sustainable), tidak
hanya bagi generasi saat ini namun juga bagi generasi masa depan. Dalam konteks ini
pengelolaan yang bertanggungjawab (responsible management) menjadi salah satu
kunci jawaban untuk menjawab tantangan pembangunan perikanan berkelanjutan
(susstainable fisheries development). Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
pesisir merupakan hal yang cukup sulit dan menantang. Pemanfaatan tanpa disertai
dengan pengelolaan bukan saja dapat mengabaikan kemunduran kualitas sumberdaya
dan lingkungan tetapi juga berdampak dalam hal distribusi pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat. Tanpa pengaturan, sektor pembangunan yang tampaknya
kuat dapat menjadi dominan, sebaliknya sektor yang tampaknya lemah akan makin
berkurang dan akhirnya hilang (Nikijuluw 1995).
Mengingat kawasan pesisir dan lautan yang sedemikian luas dengan multi
fungsi dari berbagai kepentingan yang berbeda, hal ini telah menimbulkan dampak
terhadap lingkungan kawasan pesisir dan lautan. Dalam rangka pembangunan dan
mempertahankan kehidupan, sumberdaya alam perlu dimanfaatkan secara berkualitas.
Sumberdaya alam adalah tidak tak terbatas, baik jumlah maupun kualitasnya. Di lain
pihak, kebutuhun akan sumberdaya alam semakin meningkat sebagai akibat
pertambahan penduduk serta perubahan gaya hidup, sejalan dengan itu pemanfaatan
sumberdaya secara tidak terkontrol dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan
penurunan mutu lingkungan serta daya dukung lingkungan.
Dalam memahami sumberdaya alam, terdapat dua pandangan yang umumnya
digunakan. Pertama adalah pandangan konservatif atau sering disebut juga
pandangan pesimis atau perspektif Malthusian. Dalam pandangan ini resiko akan
terkurasnya sumberdaya alam menjadi perhatian utama. Sumberdaya ini dianggap
terbatas sehingga eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut akan menghabiskan
cadangan sumberdaya. Dengan demikian dalam pandangan ini, sumberdaya alam
harus dimanfaatkan secara hati-hati karena adanya faktor ketidakpastian terhadap apa
yang akan terjadi untuk generasi mendatang. Pandangan kedua adalah pandangan
eksploitatif atau sering disebut sebagai perspektif Ricardian. Dalam pandangan ini
dikenal dengan “flow” atau sumberdaya yang dapat diperbaharui dimana sumberdaya
diasumsikan memiliki supply yang infinite atau tak terbatas. Dalam pandangan ini
sumberdaya ada yang tergantung pada proses biologi untuk regenerasinya dan ada
yang tidak. Meskipun demikian, untuk sumberdaya yang bisa melakukan proses
regenerasi jika telah melewati batas titik kritis kapasitas maksimum secara
diagramatik akan berubah menjadi sumberdaya yang tidak diperbaharui, secara
diagramatik klasifikasi sumberdaya alam dapat dilihat pada gambar berikut (Anwar
2002; Fauzi 2000c).
Gambar 2.1. Klasifikasi Sumberdaya Alam ( sumber : Fauzi 2000c )
Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memberikan
yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumberdaya ini
memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Mengingat sifat dari
sumberdaya perikanan yang dikenal dengan open access yang memberikan anggapan
bahwa setiap orang atau individu merasa memiliki sumberdaya tersebut secara
bersama (common property). Menurut Kula (1992), terdapat banyak kasus yang
terjadi pada sumberdaya milik bersama dimana terjadinya deplesi stok lebih
disebabkan karena masing-masing individu beranggapan bahwa ”ekstraklah secepat
dan sebanyak kamu bisa, jika kamu tidak bisa maka orang lain akan melakukannya”,
sehingga konsekuensinya sumberdaya akan mengalami depletion secara cepat. Hal ini
didukung juga oleh Anwar (2002), pada keadaan sumberdaya yang bersifat “open
access resource” akan terjadi pengurasan sumberdaya yang pada akhirnya akan
terjadi kerusakan sumberdaya. Hal ini terjadi karena semua individu baik nelayan
maupun pengusaha perikanan laut akan merasa mempunyai hak untuk
mengeksploitasi sumberdaya laut dan memperlakukannya sesuka hati dalam rangka
masing-masing memaksimumkan bagian (share) keuntungan, tetapi tidak seorangpun
mau memelihara kelestariannya. Oleh karena itu, sifat “open access resource”
tersebut dapat dikatakan tidak ada yang punya atau sama saja dengan tidak ada hak
yang jelas atas sumberdaya yang bersangkutan (res comune is res nullius).
Menurut Dahuri et al. (2001), dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan
yang bersifat milik bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam
usaha perikanan tidak dapat dipertahankan karena adanya peluang untuk
meningkatkan keuntungan (excess profit) bagi usaha penangkapan ikan sehingga
terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-besaran dibarengi masuknya pengusaha baru
yang tergiur dengan nilai rent yang cukup besar tersebut. Pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan lautan harus memperhatikan aspek sustainability agar dapat memberikan
manfaat yang sama dimasa yang akan datang yang tidak hanya terfokus pada masalah
ekonomi tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial dan budaya. Pada mulanya
pengelolaan sumberdaya ini banyak didasarkan pada faktor-faktor biologi semata
dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainability Yield (tangkapan yang
species memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi
(surplus), sehingga apabila surplus ini di panen (tidak lebih dan tidak kurang), maka
stok ikan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Kelemahannya
pendekatan MSY tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi pengelolaan
sumberdaya alam (Fauzi 2000b). Lebih jauh menurut Conrad dan Clark (1987),
menyatakan bahwa pendekatan MSY meliputi antara lain : (1) tidak stabil, karena
perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock
depletion); (2) tidak memperhitungkan imputed value yaitu nilai ekonomi apabila
stok ikan tidak dipanen); (3) sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki
ciri-ciri ragam jenis (multi species). Dengan adanya kelemahan tersebut, maka
pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan untuk mengetahui tingkat
pemanfaatan sumberdaya optimal digunakan pendekatan Maximum Economic Yield
(MEY). Pendekatan ini akan lebih baik karena selain memberikan keuntungan secara
ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi yang dapat mempertahankan
diversitas yang besar.
Dalam mengkaji kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dapat
dilakukan dengan bioekonomi model statik. Menurut Gordon di dalam Fauzi
(2000b), model perikanan statik adalah model ekonomi perikanan yang didasarkan
pada faktor input yaitu upaya. Dalam mengkaji bagaimana pengelolaan perikanan
yang optimal secara ekonomis, bisa dilakukan dengan pendekatan faktor output
(yield) yang pertama kali dikembangkan oleh Copes (1972), berdasarkan pada kriteria
optimasi kesejahteraan (Welfare optimization) dengan menggunakan analisis surplus
konsumen (consumer’s surplus), surplus produsen (producer’s surplus) dan rente
sumberdaya (resource rent).
Model Copes dengan model Gordon memiliki perbedaan dalam hal penggunaan
asumsi harga. Model Gordon mengasumsikan harga per unit output konstan,
sehingga tidak memungkinkan dilakukan pengukuran terhadap surplus konsumen.
Sebaliknya dalam Model Copes harga per unit output mengikuti kurva permintaan
yang memiliki kemiringan yang negatif, sehingga memungkinkan dilakukan
model Copes ini yaitu surplus produsen, surplus konsumen dan rente sumberdaya
diharapkan dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan dalam
pemanfataan sumberdaya perikanan laut (Fauzi 2004).
2.2. Konsep Penilaian Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Pengertian nilai atau value khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang
dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan sangatlah bervariasi, tetapi para
ekonom mengkonsentrasi pada nilai moneter yang dinyatakan melalui preference
konsumen. Pada dasarnya, nilai hanya terjadi karena adanya interaksi antara subjek
dan objek dalam bentuk penjelasan bukan dari kualitasnya (Peace dan Turner 1990).
Secara umum nilai ekonomi (economic value) menurut Fauzi (2004), didefinisikan
sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan
jasa lainnya. Secara formal konsep ini disebut sebagai keinginan membayar
(willingness to pay) sehingga nilai ekologis dari ekosistem bisa diterjemahkan
kedalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang dan jasa.
Prinsip dasar dari nilai ekonomi dapat ditetapkan untuk mengukur tingkat
kesejahteraan individu. Tingkat kesejahteraan dipengaruhi oleh perubahan dalam
harga dan kualitas barang dan jasa. Jika barang dan jasa yang subtitutif maka
trade-off dapat dicapai dan nilai mencapai keseimbangan (Kula 1997). Sependapat dengan
hal tersebut menurut Fauzi (2002), pengukuran nilai ekonomi sumberdaya adalah
seberapa besar keinginan kemampuan membayar (purchasing power) masyarakat
untuk memperoleh barang dan jasa atau bisa diukur dari sisi lain yaitu seberapa besar
masyarakat harus diberikan kompensasi untuk menerima pengorbanan atas hilangnya
barang dan jasa dari sumberdaya dan lingkungan. Salah satu konsep yang dapat
digunaka untuk mengukur nilai ekonomi sumberdaya adalah konsep suply-demand.
Konsep suply demand merupakan suatu konsep yang memiliki peran sangat
penting dalam ilmu ekonomi, karena dapat digunakan untuk menilai fungsi dari suatu
ekosistem (nilai sumberdaya), menilai tingkat kesejahteraan dan aktivitas ekonomi
lainnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa suatu ekosistem memiliki fungsi sebagai
pendekatan Willingness To Pay (WTP) maka barang dan jasa yang disuplai oleh
suatu ekosistem dapat dinilai manfaat ekonominya, baik manfaat langsung maupun
tidak langsung dan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat, yang didekati dengan
market value dan non market value. Agar lebih jelas penggunaan konsep
suply-demand dalam penilaian ekonomi sumberdaya dapat dilihat pada gambar berikut.
Price
a
p b
Net Rent Cost
c q Quantity
Gambar 2.2 Konsep supply-demand konvensional (Constanza et al.1997).
Gambar 2.2 menjelaskan tentang konsep suply demand konvensional, yaitu
suply = marginal cost dan Demand = marginal benefit yang menunjukkan ciri khas
pasar barang dan jasa. Ada beberapa hal yang dapat dibaca dari Gambar 2.2, antara
lain adalah area pbqc menunjukkan nilai GNP (gross National Product), area di bawah kurva suply (cbq) menunjukkan biaya produksi, area pbc menunjukkan produsen surplus atau net rent dan area pba menunjukkan nilai konsumen surplus atau tingkat kesejahteraan masyarakat sedangkan nilai total sumberdaya ditunjukkan
oleh jumlah antara produsen surplus dan konsumen surplus atau area abc.
Terkait dengan sumberdaya kelautan tropika, yang pada umumnya memiliki
sumberdaya yang bersifat renewable resource (dapat diperbaharui), seperti
sumberdaya perikanan. Namun perlu diketahui bahwa kurva suplai dalam kasus
sumberdaya perikanan tidak dapat diasumsikan bersifat linear tetapi horizontal atau Produsen
surplus Konsumen
surplus
Suply= Marginal Cost
tegak lurus yang menunjukkan keterbatasan daya dukung lingkungan (Carrying
Capasity) terhadap pertumbuhan sumberdaya perikanan, jadi eksploitasi sumberdaya
perikanan harus memperhatikan beberapa aspek yang sangat urgen antara lain aspek
ekologi, biologi maupun ekonomi demi kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya
tersebut. Berkaitan dengan fenomena carrying capacity dan pertumbuhan
sumberdaya perikanan maka konsep supply dan demand dalam kerangka fungsi
kelautan dan tropika dapat digambarkan sebagai berikut :
Price
a
P b
Quantity 0 q
Gambar 2.3. Konsep supply-demand dalam pendekatan sumberdaya perikanan (Constanza et al. 1997).
Kurva supply yang horizontal menggambarkan bahwa pertumbuhan
sumberdaya kelautan tropika dibatasi oleh daya dukung lingkungan yang terbatas,
surplus produsen yang ditunjukan dari gambar tersebut meliputi area pbqo sedangkan konsumen surplus meliputi area pba dan nilai total dari sumberdaya adalah jumlah dari produsen surplus dan konsumen surplus yang meliputi area abqo.
Dalam konsep valuasi ekonomi yang kovensional, nilai ekonomi diartikan
sebagai nilai ekonomi total yang merupakan penjumlahan dari nilai pemanfaatan (use
value) dan nilai non pemanfaatan (non-use value). Use value adalah nilai yang
dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa sementara non-use value
Demand = Marginal Benefit Net rent
Consumen Surplus
Suply= Marginal Cost
merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan aktual barang dan jasa
yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Secara umum memang sulit untuk mengukur
dengan pasti kedua konsep tersebut, sehingga valuasi ekonomi dengan menggunakan
pendekatan di atas sering menjadi perdebatan menyangkut akurasi dari pengukuran
nilai ekonomi sumberdaya alam (Fauzi 2002).
Berkaitan dengan uraian di atas, seyogyanya pemanfaatan sumberdaya alam
khususnya sumberdaya perikanan laut dengan menggunakan pendekatan biologi dan
ekonomi haruslah mempertahankan keberlanjutannya. Menurut Hicks yang dikutip
Anwar dan Rustiadi (2000), bahwa pemanfaatan sumberdaya alam yang
menghasilkan pendapatan dan kemudian dipergunakan menjadi barang-barang
konsumsi masa kini, jangan mengganggu potensi pendapatan (dari sumberdaya
modal) generasi mendatang, terutama yang menurunkan kapasitas sumberdaya
tersebut perlu dihindari.
2.3. Praktek IUU (Illegal Unreported Unregulated) Fishing
Praktek terbesar dalam IUU fishing seperti ditulis oleh Bray (diacu dalam
Adrianto 2004) pada dasarnya adalah poaching yaitu penangkapan ikan oleh negara
lain tanpa ijin dari negara yang bersangkutan. Praktek pencurian ikan oleh pihak
asing menurut Adrianto (2004) dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
Pertama, pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan dengan memanfaatkan SIUP legal yang dimiliki pengusaha lokal, namun tetap dikategorikan
pencurian karena langsung mengirim hasil tangkapan tanpa melalui proses pendaratan
ikan di wilayah Indonesia. Praktek ini sering disebut sebagai praktek “pinjam
bendera” (Flag of Convenience).
Kedua, adalah pencurian murni ilegal dihasilkan dari proses penangkapan ikan yang juga ilegal di mana kapal asing menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap
ikan di wilayah perairan Indonesia.
Praktek IUU fishing kini menjadi masalah global karena mengancam eksistensi
sumberdaya perikanan serta secara lokal telah mengakibatkan terjadinya gejolak
IUU fishing. IUU fishing merupakan suatu masalah yang sangat kompleks dan upaya
penanggulangannya pun sangat rumit sehingga kita harus benar-benar mengetahui
apa yang menyebabkan terjadinya praktek IUU fishing. Menurut Dahuri (2004), akar
permasalahan praktek IUU fishing di Indonesia diantaranya disebabkan oleh sejumlah
faktor sebagai berikut :
- Penyalahgunaan perizinan merupakan salah satu praktek IUU fishing yang banyak
terdapat di wilayah ZEE Indonesia. Pada saat belum dibentuknya Deprtemen
Kelautan dan Perikanan (DKP), dari sekitar 7000 kapal perikanan berbendera
Indonesia berbobot > 30 GT ternyata masih dimiliki oleh pihak asing (palsu). Hal
ini terjadi karena penyalah gunaan kebijakan pemerintah dalam deregulasi
perikanan yang antara lain tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian RI nomor
508/Kpts/PL.810/96 tentang pengadaan kapal perikanan dan penghapusan sistem
sewa kapal perikanan berbendera asing.
- Lemahnya sistem dan mekanisme perizinan perikanan ; Kapal-kapal penangkap
ikan, baik kapal ikan Indonesia maupun kapal ikan asing yang beroperasi di ZEE
Indonesia mendapatkan izin menangkap dari pusat (Menteri Kelautan dan
Perikanan atau Pejabat yang ditunjuknya). Khusus kapal asing terlebih dahulu perlu
perjanjian kerja sama dengan perusahaan Indonesia. Kapal-kapal yang beroperasi
kebanyakan tidak memiliki izin operasi yang sah, banyak terjadi pelanggaran
fishing ground maupun penyalah gunaan izin kapal ikan. Hal ini disebabkan masih
lemahnya sistim dan mekanisme perizinan di bidang penangkapan ikan. Penataan
penggunaan kapal-kapal asing melalui sistem lisensi, sebagaimana tertuang dalam
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No KEP.60/MEN/2001 tentang
penataan penggunaan kapal perikanan di ZEE Indonesia, ternyata belum dapat
mengendalikan kegiatan kapal-kapal asing tersebut.
- Lemahnya komitmen dan kemampuan pengawasan (penegakan hukum) di laut;
Penegakan hukum bagi pelanggaran perikanan yang terjadi di wilayah ZEE
Indonesia ditangani oleh banyak pihak seperti kejaksaan, Dinas PerikananTNI-AL
dan pihak-pihak lainnya. Kewenangan untuk pengawasan belum terkoordinasi
Aparat yang berwenang menggunakan landasan kerja dengan dasar hukum yang
berbeda, dampaknya adalah tidak terintegrasinya aturan dan lemahnya kemampuan
pengawasan secara keseluruhan.
- Lemahnya peradilan perikanan; sanksi terhadap pelanggaran masih lemah, sehingga
pelaku pelanggaran tidak jera dan akan tertarik untuk mengulanginya.
- Banyak wilayah perairan laut Indonesia, terutama di wilayah perbatasan dan ZEE
Indonesia tidak ada nelayan Indonesia; Secara umum kapasitas armada perikanan
Indonesia masih didominasi oleh kapal-kapal kecil yang dimiliki oleh nelayan skala
kecil. Dampaknya adalah, fungsi sabuk pengaman oleh nelayan yang diharapkan
dapat untuk melengkapi upaya pengawasan dan pengamanan yang dilakukan oleh
aparat keamanan diwilayah ZEE Indonesia, tidak dapat dipenuhi.
2.3.1. Kategori IUU fishing
Widodo (2003) menyajikan kategori IUU fishing berdasarkan kata kunci di
dalam istilah tersebut, yaitu illegal fishing, unreported fishing dan unregulated
fishing.
Illegal fishingmengacu kepada berbagai kegiatan yang :
Pertama, dilakukan oleh kapal-kapal nasional atau asing di dalam perairan di bawah yurisdiksi suatu negara, tanpa ijin dari suatu negara tersebut, atau dalam keadaan
melawan hukum dan regulasi negara
Kedua, dilakukan oleh kapal-kapal berbendera negara-negara anggota dari suatu organisasi pengelolaan sumberdaya yang diadopsi oleh organisasi tersebut dimana
negara-tersebut terikat, atau melawan hukum internasional yang sedang dilaksanakan
oleh negara-negara yang bekerja sama dengan suatu organisasi pengelolaan yang
relevan.
Unreported fishing mengacu kepada kegiatan penangkapan yang:
Kedua, Dilakukan dalam area dibawah kompetensi suatu organisasi pengelolaan perikanan regional yang tidak dilaporkan atau dilaporkan dengan tidak benar,
bertentangan dengan prosedur peraturan dari organisasi tersebut.
Unregulated fishing mengacu kepada kegiatan penangkapan yang terjadi:
Pertama, di area suatu organisasi pengelolaan perikanan regional yang dilakukan oleh kapal tanpa nasionalitas, atau oleh kapal dengan bendera suatu negara bukan
anggota dari organisasi tersebut atau oleh suau fishing entity dengan cara yang tidak
kensisten dengan atau melawan aturan konservasi dan pengellolaan dari organisasi
tersebut, atau
Kedua, di area dari berbagai stok ikan yang berkaitan dengan tidak adanya aturan (tindakan) konservasi dan pengelolaan yang diaplikasikan dan dimana aktivitas
penangkapan dilakukan dengan cara-cara yang tidak konsisten dengan tanggung
jawab negara bagi konservasi atas sumberdaya hayati marine dibawah hukum
internasional.
2.3.2. Dampak IUU Fishing
Maraknya IUU fishing di perairan Indonesia akan berdampak terhadap
keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan sosial. Menurut
Adrianto (2004), bagi Indonesia, tekanan internasional terhadap masalah IUU fishing
menimbulkan konsekuensi ke dalam dan ke luar sekaligus (double effects), yaitu:
Pertama, kosekuensi ke dalam berhubungan dengan fakta bahwa dari kacamata sebagai negara berdaulat, di perairana Indonesia praktek poaching (penangkapan ikan
oleh negara lain tanpa ijin dari negara yang bersangkutan) sangat marajalela baik
yang nekat menggunakan bendera asing maupun yang menggunakan bendera lokal
bekerja sama dengan pelaku lokal. Menurut Cunningham (diacu dalam Adrianto
2004) Dalam konteks ini Indonesia sangat dirugikan karena ada economic rent yang
hilang dari sebuah kepemilikan sumberdaya perikanan.
Kedua, konsekuensi ke luar lebih terkait dengan praktek unreported dan unregulated fishing dimana sebagai negara berkembang (developing country) dua hal ini
member fishing, yaitu penangkapan ikan yang dilakukan di wilayah suatu organisasi
perikanan regional tertentu di mana Indonesia bukan menjadi anggota dari organisasi
tersebut. Sebagai contoh, Indonesia memiliki areal penangkapan di Lautan Hindia
baik dalam tataran teritorial maupun ZEE. Tetapi saat ini Indonesia tidak termasuk
anggota IOTC (Indian Ocean Tuna Comission). Sehingga apabila Indonesia
menangkap tuna di wilayah Lautan Hindia walaupun masih dalam koridor
teritorialnya maka praktek tersebut dapat dikategorikan sebagai flag of conveniece
atau non member fishing. Kedua praktek ini mulai dilarang karena dianggap tidak ada
kemauan untuk turut mengelola kelestarian sumberdaya perikanan secara bersama.
Menurut Suhana (2005), permasalahan IUU fishing dapat dilihat dari beberapa
parameter, yaitu:
Pertama, kontribusi perikanan tangkap ke PDB (porduk domestik bruto). Dengan adanya aktivitas IUU fishing diperairan Indonesia akan mengurangi kontribusi
perikanan laut ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional dan mendorong kearah
hilangnya rent sumber daya perikanan. Menurut laporan FAO 2001, Indonesia setiap
tahunnya kecurian ikan sebanyak 1,5 juta ton atau setara dengan uang sekitar USD
2,3-4 milyar.
Kedua, ketenaga kerjaan. IUU fishing akan mengurangi potensi ketenagakerjaan nasional dalam sektor perikanan seperti perusahaan penangkapan ikan, pengolahan
ikan dan sektor lainnya yang berhubungan. Misalnya pertengahan Juni 2005, ketua
Umum Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APII) Hendri Sutandinata mendesak
kapada pemerintah untuk tidak lagi mengizinkan pembangunan industri pengalengan
ikan tuna yang baru di Pulau Jawa, Bali, Sumatera Utara dan Sulawsi Utara.
Alasannya, kehadiran industri di keempat daerah tersebut sudah terlalu banyak,
sedangkan suplai bahan baku sangat terbatas sehingga tidak sedikit industri
pengalengan ikan yang tutup. Menurut catatan APII empat tahun lalu tersebar tujuh
industri pengalenganikan tuna di jawa timur. Tetapi, kini empat unit di antaranya
tidak berproduksi lagi. Di Sulawesi utara, yang semula memiliki empat industri yang
sama, sekarang tinggal dua industri yang beroperasi. Itupun setelah diambil alih
sebelumnya ada dua industri pengalengan ikan tuna (Kompas, 18 juni 2005 diacu
dalam Suhana 2005). Kurangnya suplai bahan baku ikan tuna tersebut diduga kuat
disebabkan oleh maraknya illegal fishing di Indonesia. Karena kalau kita lihat dari
data potensi sumber daya ikan yang ada diwilayah perairan Indonesia khususnya
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sangat memungkinkan untuk
berkembangnya industri pengalengan ikan tuna di Indonesia. Misalnya menurut
catatan Departeman Kelautan dan Perikanan (2003) potensi sumber daya ikan pelagis
besar ekonomis di wilayah samudera Hindia yang dominan adalah Albakora yaitu
sebesar 3,9 juta ton per tahun. Setelah itu disusul oleh jenis ikan tuna sirip biru
(84.000 ton), Cakalang (21.000 ton), tuna mata besar (13.000 ton) dan madidihan
(10.000 ton). Besarnya potensi sumber daya ikan tersebut tersebar diseluruh wilayah
Samudera Hindia. Bahkan menurut data FAO dari 1990 sampai 2003 menunjukkan
adanya peningkatan produksi ikan pelagis besar jenis tuna diwilayah perairan
samudera Hindia, khususnya ZEEI. Produksi ikan pelagis besar di Samudera Hindia
setiap tahunnya rata-rata untuk masing-masing jenis adalah 1.408,64 ton (Albacore),
37.769 ton (Skipjak Tuna), 1.077 ton (Southern Bluefin Tuna), 24.613 ton (yellowfin
Tuna) dan 17.836 ton (Bigeye Tuna).
Ketiga, pendapatan ekspor. Maraknya IUU fishing akan mengurangi peran tempat pendaratan ikan na-sional dan pembayaran uang pandu pelabuhan. Hal ini akan
berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan ekspor nasional. Hal ini
akan berimplikasi serius terhadap aktivitas pengawasan, dimana jika aktivitas
pengawasan tersebut didukung secara keseluruhan atau sebagian oleh pendapatan
ekspor (atau pendapatan pelabuhan).
Keempat, pendapatan pelabuhan perikanan. IUU fishing akan mengurangi potensi untuk tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan nilai
tambah. Hal ini dikarenakan kapal-kapal penangkapan ikan illegal tersebut umumnya
tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional.
Kelima, pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. IUU fishing akan mengurangi sumber daya perikanan yang pada gilirannya akan mengurangi
Keenam, multiplier effects. Langsung ataupun tidak dampak multiplier IUU fishing
ini memiliki hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas
penangkapan ikan nasional akan terhurangi dengan hilangnya potensi akibat aktivitas
IUU fishing.
Ketujuh, pengeluaran untuk MCS (Monitoring Controlling and Surveillance). Keberdaan IUU fishing akan memaksa anggaran untuk manajemen MCS.
Kedelapan, kerusakan ekosistem. Hilangnya niali dari kawasan pantai dan dari area bakau yang boleh jadi dirusakkan oleh IUU fishing. Pengurangan pendapatan untuk
masyarakat yang melakukan penangkapan ika diwilayah pantai.
Kesembilan, konflik dengan armada nelayan tradisional. Maraknya illegal fishing mengganggu keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam
menangkap ikan diperairan Indonesia khususnya nelayan tradisional yang lagi
melakukan penangkapan secara illegal juga mereka tak jarang menembaki
nelayan-nelayan tradisional yang lagi melakukan penangkapan ikan di fishing ground yang
sama.
Kesepuluh, keamanan makanan. Pegurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan
meningkatkan resiko kekurangan gizi dalam masyarakat.
2.4. Pendekatan Surplus Produsen
Surplus produsen adalah suatu pendekatan tradisional untuk menentukan
kesejahteraan produsen yang dikembangkan oleh Marshall. Surplus produsen
meliputi area di atas kurva suply dan di bawah titik harga (Hanley dan L.Spash 1993).
Suatu prusahaan di dalam pasar persaingan sempurna baik pasar input maupun
output, Kurva suply untuk semua variabel input adalah sangat elastis, yaitu karena
kemampuan perusahan untuk membeli semua variabel input yang dibutuhkan dengan
harga yang telah ditetapkan dan biaya tetap diasumsikan semakin menurun pada
kondisi short-run.
Menurut Adrianto (2006), Surplus produsen terjadi ketika jumlah yang diterima
suatu barang atau jasa. Misalnya suatu perusahaan pengalengan ikan yang
memproduksi satu kaleng ikan dengan biaya produksi sebesar Rp.3.000.- dan harga
jual ikan kaleng tersebut per kaleng adalah Rp.5.000., maka surplus produsen dari
contoh tersebut adalah Rp.5.000.-Rp.3.000. = Rp.2.000.
Dalam praktek pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap unreported fishing
mengakibatkan nilai surplus produsen yang diperoleh produsen dalam hal ini
pemerintah sebagai single agent dalam pengelolaan sumberdaya perikanan semakin
menurun, jadi pengaruhnya berbanding negatif yaitu jika nilai unreported fishing
semakin besar maka surplus produsen yang diperoleh semakin menurun, hal ini dapat
digambarkan sebagai berikut.
P
Sa
Ss
CS
P0 B0
P1 B1
C0
D
C1 Q0 Q1 Q
Gambar 2.4. Perubahan Nilai Surplus Produsen akibat Pengaruh Kurva Suplai
Dari gambar tersebut menjelaskan bahwa surplus produsen berdasarkan
produksi aktual (Sa) adalah pada titik P0, B0, C0 kemudian setelah diketahui produksi sesungguhnya (Ss) yang diperoleh dari produksi aktual ditambah dengan produksi yang tidak dilaporkan/unreported, maka nilai surplus produsen bergeser pada titik P1, B1, C1 dengan perubahan sebesar P0B0P1B1, sehingga untuk mengoptimalkan rent
CS
resource dari sumberdaya perikanan, maka besar perubahan tersebut harus
diminimalkan, yaitu dengan meminimalisir praktek unreported fisheries agar nilai
produksi aktual sama dengan nilai produksi sesungguhnya.
2.5. Konsep Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang Ekonomis dan Lestari
Menurut Adrianto (2005), Kesadaran akan pentingnya membangun ekonomi
nasional berbasis sumberdaya alam (natural resources based economy) pasca
reformasi hingga saat ini perlu dipertahankan dan ditingkatkan akselarasinya
mengingat natural resources endowment yang dimiliki bangsa Indonesia masih dapat
dikatakan sebagai ”ciri khas” sekaligus menjadi advantage comparative bangsa.
Salah satu endowment yang kita miliki adalah sumberdaya perikanan dan kelautan
yang pada awal pemerintahan pasca reformasi disebut-sebut sebagai raksasa yang
sedang tidur bagi pemulihan ekonomi Indonesia.
Sumberdaya perikanan dan kelautan termasuk sumberdaya yang dapat pulih
(renewable resource), dan dalam kepemilikannya sumberdaya perikanan dan kelautan
di Indonesia memakai rezim kepemilikan yang bersifat common property yaitu
kepemilikan bersama, sedangkan dalam pemanfaatannya menganut rezim open acces
yaitu dimana dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa ijin dari siapapun.
Akan tetapi dalam pemanfaatan bukanlah open acces secara murni ini terlihat saat
nelayan (bukan nelayan kecil) yang akan berusaha paling tidak harus memperoleh ijin
(permit) dari pemerintah, baik daerah maupun pusat.
Didalam penggunaan kedua kebijakan tersebut masih belum adanya kebijakan
lain yang mendukung, sehingga dengan penggunaan kedua kebijakan tersebut tidak
mengakibatkan terjadinya eksploitasi secara berlebih, dalam hal ini perlu dipikirkan
secara bersama tentang penggunaan sumberdaya yang menunjang sustainability
development. Pada saat ini sudah ada gejala terjadinya tangkap lebih (over fishing)
seperti yang terjadi di perairan selat malaka, dimana dalam pemanfaatanya mencapai
112,38% dan laut jawa yang terindikasi akan terjadinya over fishing yaitu 88,98 %
sehingga di kedua perairan tersebut perlu adanya rehabilitasi sumberdaya dan
Agar tercapainya sustainability development dan sumberdaya tetap terjaga
kelestariannya dengan demikian kegiatan eksploitasi yang dilakukan perlu adanya
kebijakan lain seperti pengkenaan pajak (tax) yang nantinya sebagai pemasukan
negara yang diperuntukkan sebagai rehabilitasi lingkungan dan pembangunan sarana
seperti pelabuhan dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dll, sesuai dengan UU. No. 31
2004 pasal 50. Akan tetapi penerapan pajak harus dikaji secara mendalam jangan
sampai penerapan dari pada pajak akan mengakibatkan disinsentif sehingga
penerapan pajak malah akan menjadikan pengeksploitasian secara berlebihan untuk
mendapatkan keuntungan secara maksimal.
Penerapan pajak yang tidak sesuai mengakibatkan penambahan jumlah
tangkapan nelayan sehingga tujuan pajak itu sendiri dalam pengurangan jumlah
tangkapan tidak terjadi. Dan untuk daerah yang telah terindikasi atau terjadi over
fishing dengan adanya pajak akan dapat mengurangi jumlah hasil tangkapan yang
bertujuan agar diperairan tersebut akan terjadi rehabilitasi secara alamiah. Penerapan
pajak selain dapat dikenakan pada input produksi juga dapat dilakukan terhadap
output produksi. Penerapan pada output dapat dilakukan dengan mengalikan besaran
pajak dengan volume hasil tangkapan (Rp/kg). Dalam penerapan pajak pada input
sangatlah sulit dalam menentukan tingkat pajak yang diterapkan, hal ini dikarenakan
banyaknya komponen input itu sendiri (tenaga kerja, mesin, gross tonage, jumlah
trip) dan bila pajak dikenakan terhadap salah satu input hal ini akan menjadi
substitusi terhadap komponen input yang lainnya, sehingga para nelayan akan
menambah komponen input yang lainnya, pajak seperti ini tidak akan berlaku efektif
terhadap pengurangan upaya pada perikanan. Selanjutnya pengaruh pajak input
Gambar 2.5. Pengaruh pajak input terhadap hasil tangkapan
Dari kurva diatas dapat diketahui bahwa pajak mengakibatkan biaya total (TC)
akan bergeser sebesar TC = (c+T)E sehingga pajak per satuan upaya dapat
mengurangi jumlah upaya dari E∞ ke tingkat upaya sebesar ET∞. Dan besarnya pajak yang diterima oleh pemerintah sebesar AB. Sehingga pajak yang dikenakan pada
input produksi akan mengakibatkan adanya sebagian pengalihan biaya produksi
kepada pajak sehingga hal tersebut mengakibatkan berkurangnya usaha untuk
produksi.
Dari kurva diatas didapatkan akibat penerapan pajak kepada output, kurva TR
akan bergerak turun menjadi TRT. titik pertemuan antara kurva TC dan kurva TRT menghasilkan keseimbangan upaya setelah pajak. Dalam hal ini upaya berkurang dari
E∞ menjadi ET∞ dan pemerintah memperoleh penerimaan pajak sebesar jarak AB. Disisi lain dalam pemanfaatan sumberdaya kita juga harus mengetahui titik
Maximum Sustainable Yield (MSY) yang pertama kali dikemukakan oleh
Gordon-Schaefer. Menurut Fauzi (2004) ada beberapa asumsi yang akan digunakan untuk
mempermudah pemahaman, asumsi-asumsi tersebut antara lain :
1. Harga persatuan output, (Rp/Kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan
diasumsikan elastis sempurna.
2. Biaya persatuan upaya ( c ) dianggap konstan.
3. Spesies sumber daya ikan bersifat tunggal (single species).
4. Struktur pasar bersifat kompetitif.
5. Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor
pascapanen dan lain sebagainya).
Gambar 2.7. Kurva produksi lestari-upaya (yield-effort curve)
Dari kurva diatas terlihat bahwa saat aktivitas perikanan (upaya = 0), produksi
juga akan nol. Ketika upaya tersebut ditingkatkan pada titik Emsy akan diperoleh produksi yang maksimum. Produksi pada titik tersebut disebut sebagai titik Maximum
h (E)
h
msy
Upaya (Effort) Emax
Emsy
P
roduksi
l
es
ta
Sustainable Yield (MSY) dan bila terus dilakukan penambahan aktivitas (upaya)
maka produksi akan turun kembali bahkan akan mencapai titik nol (Emax) atau dengan kata lain pada saat penambahan upaya mengakibatkan penurunan jumlah produksi
maka pada saat tersebut kita telah terjadi over fishing.
Gambar 2.8. Kurva Model Gordon-schaefer
Pada saat tingkat upaya lebih rendah dari E∞ (sebelah kiri dari E∞), penerimaan
total akan melebihi biaya total sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih
banyak tertarik untuk menangkap ikan. Dalam kondisi open acces maka akan
mengakibatkan adanya pertambahan pelaku perikanan baru masuk sehingga akan
terjadi tingkat upaya yang lebih tinggi dari (disebelah kanan E∞ ) sehingga total biaya
lebih besar dari total penerimaan dan hal ini akan mengakibatkan pelaku perikanan
keluar. Bila kita lihat maka keuntungan maksimum dan tidak menghilangkan dari
pada sumberdaya itu sendiri terjadi pada saat dimana jarak vertikal antara penerimaan
dan biaya merupakan jarak terbesar (garis BC). Rp
Upaya (Effort)
E∞ Emsy
B
ia
ya
Pe
ne
ri
m
aa
n
E0
TR TC
C B ∏
max
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia berupaya
mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Ketergantungan manusia
terhadap sumberdaya alam telah terjadi sejak manusia ada di bumi ini. Sumberdaya
alam dapat dibagi menjadi sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources)
seperti sumberdaya perikanan, hutan dan lain-lain dan sumberdaya yang tidak dapat
pulih (non-renewable resource) seperti minyak, mineral dan lain-lain. Sumberdaya
dapat pulih (renewable resources) baik terjadi secara alamiah maupun melalui upaya
manusia membutuhkan ruang dan waktu untuk melakukan hal tersebut. Artinya
kapasitas ruang dan waktu merupakan variabel yang berpengaruh terhadap tingkat
pertumbuhan sumberdaya alam yang dapat pulih. Pandangan ekonomi bahwa
kebutuhan dan keinginan manusia yang tidak terbatas menyebabkan manusia
mengeksploitasi sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan dimensi ruang dan
waktu sebagai faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhannya, maka kini
mulai terjadi krisis kelangkaan (scarcity) berbagai jenis sumberdaya yang nilainya
sangat stratgis untuk kebutuhan hidup manusia.
Sumberdaya perikanan pun tidak luput dari fenomena diatas, usaha untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan yang tidak terbatas, sehingga sumberdaya
perikanan dieksploitasi dengan berbagai cara untuk mengejar keuntungan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang menimbulkan sejumlah masalah yang
dikenal dengan berbagai istilahnya masing-masing, seperti IUU fishing, destructive
fishing, over fishing, depletion, colaps dan lain-lain. Istilah-istilah tersebut
menggambarkan masalah yang telah terjadi dan ancaman yang dihadapi oleh
keberadaan sumberdaya perikanan pada saat sekarang dan pada masa yag akan
Unreported fisheries atau perikanan yang “tidak terlaporkan”merupakan bagian
dari IUU (Illegal Unreported Unregulated) fishing. Istilah unreported dalam kajian
ini dimaknai dengan “tidak terlaporkan” (bukan tidak dilaporan), karena kajian ini
dibatasi pada unreported fisheries yang terjadi dari nelayan lokal (kebanyakan
nelayan tradisional) yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang sangat fenomenal
dan terjadi secara sistematis (tidak disengaja), antara lain faktor ekonomi, sosial
budaya, geografis dan kebijakan. Konsekuensi dari unreported fisheries adalah dapat
menimbulkan masalah dari berbagai bidang antara lain bidang hukum, politik dan
bidang ekonomi, yaitu kerugian ekonomi yang dialami oleh pemerintah dan terjadi
pendugaan stok yang keliru (misscalculation) dan akan berpengaruh terhadap kualitas
kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang optimal. Dewasa ini IUU fishing lebih banyak
dibicarakan dalam pendekatan hukum dan politik sedangkan pendekatan ekonomi
hanya sekedar wacana dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang sangat
kurang.
Kajian ini mencoba mendekati kerugian ekonomi yang dialami oleh pemerintah
akibat unreported fisheries. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa unreported
fisheries adalah hasil tangkapan nelayan yang tidak terlaporkan, hal ini terjadi ketika
nelayan terdesak dengan berbagai kondisi yang menghambat pemasaran hasil
tangkapan mereka, maka dibo-dibo (tauke/tangkahan) akan menjadi pasar alternatif
yang efisien dan efektif bagi para nelayan. Dibo-dibo (tauke) adalah rent seeker yang
membeli hasil tangkapan nelayan dengan harga yang lebih murah kemudian
menjualnya dengan harga pasar yang lebih mahal. Dapat dipastikan bahwa para
taukelah yang menikmati manfaat (benefit) dari hasil sumberdaya perikanan yang
lebih besar, jika hasil tangkapan tersebut didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan
(PPI) atau Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), maka disana pemerintah akan
mendapatkan retribusi yang menjadi income bagi pemerintah yang dapat digunakan
sebagai managament cost dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan. Selain itu di PPI atau PPN terjadi interaksi ekonomi yang melibatkan
semata-mata dinikmati oleh para tauke tetapi terdistribusi kepada masyarakat yang
lebih luas, inilah yang disebut dengan economic/social benefit dari reported fisheries.
Dari permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan evaluasi kebijakan terhadap
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Kota Ternate dengan
mengacu kepada beberapa indikator yang berhubungan dengan unreported fisheries
antara lain : profil dan system yang menyebabkan telah terjadinya unreported
fisheries, estimasi tentang besarnya jumlah economic loss yang dialami oleh
pemerintah akibat unreported fisheries, menilai perkembangan rente sumberdaya
yang telah dihasilkan oleh pemerintah, mengkaji hubungan antara unreported
fisheries dengan optimalisasi pemanfaatan dan rezim pengelolaan sumberdaya
perikanan tangkap serta mengidentifikasi kebijakan-kebijakan yang berhubungan
dengan terjadinya unreported fisheries, kemudian dianalisis untuk menghasilkan
suatu solusi yang dapat dijadikan sebagai indikator kebijakan dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan di wilayah Kota Ternate yang dapat menguntungkan semua
pihak yaitu para nelayan, masyarakat di sekitarnya dan pemerintah daerah.
Selanjutnya kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Kebijakan
pengelolaan perikanan
tangkap
Sumberdaya perikanan
Pemanfaatan sumberdaya
perikanan
IUU fishing
Unreported fisheries
- Economic loss
- Data tentang stok
Evaluasi kebijakan
-
Estimasi economic loss-
Resource rent-
Faktor-faktor penyebab unreported fisheries-
Perikanan yang optimalGambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
IV. METODOLOGI
4.1. Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara
(peta lokasi penelitian terlampir), dimulai pada bulan Januari-Maret 2007.
4.2. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey
dan observasi. Dalam penelitian survey, informasi dikumpulkan dari responden
dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Umumnya, pengertian survey
dibatasi pada penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk
mewakili seluruh populasi.
4.2.1. Alat Pengumpulan Data
Alat yang digunakan dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah
kuesioner yang telah dirancang sebelumnya. Data-data yang dibutuhkan antara lain
adalah jumlah produksi dan nilai produksi perikanan yang tidak dilaporkan
(unreported fisheries), jumlah produksi dan nilai produksi perikanan yang dilaporkan
(reported fisheries), faktor-faktor yang yang mempengaruhi terjadinya unreported
fisheries, perkembangan harga ikan dan biaya yang dikeluarkan oleh nelayan dalam
aktivitas penangkapan ikan.
4.2.2. Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data primer dan data
sekunder. Pengambilan data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di
lapangan, pengisian kuesioner oleh responden. Data primer dikumpulkan melalui Alternatif
pengambilan contoh responden nelayan sesuai dengan tujuan penelitian ini.
Penentuan responden dilakukan berdasarkan jenis armada dan alat tangkap yang
beroperasi di wilayah Kota Ternate. Kerangka pengambilan sampel responden dapat
dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini.
Sumber : Hasil survey (Januari – Maret 2007)
Data sekunder diperoleh dari penelusuran data dari Dinas Kelautan dan
Perikanan Kota Ternate, Kantor Statistik Kota Ternate, Kantor Unit Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN) Ternate, Unit Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI Ternate),
Bappeda Kota Ternate, serta data dari Kecamatan dan Kelurahan se Kota Tenrnate
dan hasil penelitian sebelumnya. Data sekunder yang diperlukan berkaitan erat
dengan kinerja ekonomi wilayah, keragaan perikanan wilayah, deskripsi wilayah
penelitian yang meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan
(formal/informal) yang mampu menjelaskan dinamika sosial ekonomi dan struktur
kelembagaan masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah
Kota Ternate.
4.3. Metode Analisis
1) Analisis Kerugian ekonomi (economic loss) untuk mengetahu jumlah kerugian
ekonomi akibat unreported fisheries, yang merupakan persentase jumlah retribusi
terhadap jumlah nilai produksi perikanan yang tidak dilaporkan.
EL = Pr x NUF ………(4.2)
Dimana :
EL = Economic loss, yaitu besarnya nilai kerugian ekonomi Pr = Persentase jumlah retribusi
NUF = Jumlah nilai Produksi yang tidak dilaporkan
2) Analisis perubahan nilai, digunakan untuk mengetahui besarnya peluang ekonomi
yang dimiliki pemerintah sebagai akibat dari perikanan yang tidak dilaporkan
(unreported fisheries).
( )
∑
∑
= =
− = n
i
n i
UF P
UF NP NP
EO
1 1
……….. ( 4.1 )
dimana :
EO(UF) = Besarnya peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah atas terjadinya unreported fisheries.
NPP = Nilai produksi pasar
NPUF = Nilai Produksi unreported fishing
3) Resource rent, untuk mengetahui jumlah rente yang seharusnya diperoleh dari
pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Rr = TVPS − TCPS ... (4. 3)
dimana :
Rr = Resourcerent
TVPS = Nilai produksi perikanan yang dilaporkan (reported fisheries)
TCPS = Total biaya yang diperoleh dari Pembiayaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate.
4). Analisis deskriptif yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya unreported fisheries serta bagaimana profile dan sistem
5) Korelasi Rank Spearman untuk mengetahui tingkat hubungan antara pasangan
penangkapan di wilayah penelitian, maka untuk mengukur dengan satuan yang
setara, perlu dilakukan standarisasi effort antar alat tangkap dengan teknik
Estimasi nilai tangkapan lestari dari stok ikan merupakan hal penting dalam
penilaian sumberdaya perikanan yang idealnya dilakukan per setiap stok ikan
(stock by stock basis). Estimasi nilai tangkapan lestari dapat diketahui dengan
diestimasi dengan model kuantitatif. Produktifitas stok ikan dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain faktor biologi, iklim, maupun aktifitas manusia yang
menyebabkan turunnya kualitas perairan pencemaran, perusakan ekosistem
pesisir serta pemutusan mata rantai makanan.
Dalam penelitian ini, untuk menganalisis stok ikan akan digunakan model surplus
produksi. Model ini mengasumsikan stok ikan sebagai penjumlahan biomass
dengan persamaan :
bentuk logistik dan bentuk Gompertz, namun yang digunakan dalam penelitian
ini adalah bentuk logistik, yaitu :
r = tingkat pertumbuhan intrinsik (intrinsic growth rate)
K = daya dukung lingkungan ( carrying capacity)
Jika stok sumber daya perikanan mulai dieksploitasi oleh nelayan, maka laju
eksploitasi sumber daya perikaan dalam satuan waktu tertentu diasumsikan
sebagai fungsi dari effort yang digunakan dalam menangkap ikan dan stok sumber
daya yang tersedia. Dalam bentuk fungsional hubungan itu dapat dituliskan
sebagai berikut :
H (t) = H (E(t),X(t) ………(4.8)
Selanjutnya diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomass dan
effort sebagaimana ditulis berikut :