• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pematangan Dan Fertilisasi Oosit Domba Yang Dimaturasi Dalam Medium Dengan Serum Atau Komponen Pengganti Serum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Pematangan Dan Fertilisasi Oosit Domba Yang Dimaturasi Dalam Medium Dengan Serum Atau Komponen Pengganti Serum"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PEMATANGAN DAN FERTILISASI OOSIT

DOMBA YANG DIMATURASI DALAM MEDIUM DENGAN

SERUM ATAU KOMPONEN PENGGANTI SERUM

PRATIWI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tingkat Pematangan dan Fertilisasi Oosit Domba yang Dimaturasi dalam Medium dengan Serum atau Komponen Pengganti Serum adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

PRATIWI. Tingkat Pematangan dan Fertilisasi Oosit Domba yang Dimaturasi dalam Medium dengan Serum atau Komponen Pengganti Serum. Dibimbing oleh MOHAMAD AGUS SETIADI dan NI WAYAN KURNIANI KARJA

Medium maturasi oosit pada produksi embrio in vitro sering ditambahkan berbagai komponen yang dapat mendukung perkembangan oosit selanjutnya. Hal ini karena medium maturasi sangat penting tidak hanya untuk proses maturasi tetapi juga untuk fertilisasi dan perkembangan embrio. Salah satu komponen yang sering ditambahkan pada media maturasi yaitu serum. Contoh serum yang sering digunakan yaitu fetal bovine serum (FBS). Fetal bovine serum digunakan sebagai sumber protein pada proses pematangan oosit dan media kultur embrio. Fetal bovine serum banyak mengandung faktor pertumbuhan, hormon, asam amino dan protein. Penambahan serum juga memiliki resiko yaitu kontaminasi yang disebabkan virus, prion dan mycoplasma. Oleh karena itu dilakukan berbagai upaya untuk menggantikan sumber protein dalam media dengan sumber protein lainnya, seperti bovine serum albumin (BSA) dan polyvinyl alcohol (PVA). Bovine serum album berfungsi untuk meningkatkan kematangan oosit dan dapat mengikat ion-ion, radikal bebas, dan steroid. Polyvinyl alcohol terdapat kandungan glycosaminoglycans khususnya asam hyaluronat yang dapat menstimulasi perkembangan embrio secara in vitro.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi perkembangan kompetensi, maturasi, dan fertilisasi oosit domba dalam medium yang disuplementasi dengan serum atau komponen pengganti serum. Pada penelitian tahap 1, ovarium domba dikoleksi dan dimaturasi dalam tissue culture medium-199 (TCM-199) yang disuplementasi dalam empat kelompok yaitu FBS, BSA, makromolekul PVA dan tanpa penambahan serum sebagai kontrol. Maturasi dilakukan selama 24 jam. Tingkat maturasi oosit dievaluasi dengan cara melihat oosit yang mampu mencapai tahap metafase II (MII). Pada penelitian tahap MII oosit yang telah matang difertilisasi secara in vitro.Thawing semen beku dilakukan pada suhu 30-32°C selama 30 detik. Berikutnya semen disentrifugasi dengan kecepatan 1800 rpm selama 5 menit dalam media fertilisasi. Selanjutnya, dilakukan penghitungan konsentrasi serta dilakukan penambahan media fertilisasi untuk mendapatkan konsentrasi 5 x 106 spermatozoa/mL. Kemudian, oosit ditransfer ke dalam 100 μL drop media in vitro fertilization (IVF) yang mengandung spermatozoa dan diinkubasi selama 14 jam dalam inkubator CO2 5% temperatur 39°C. Setelah 14 jam spermatozoa dan oosit di fertilisasi, lalu oosit didenudasi, difiksasi, dan diwarnai untuk dievaluasi. Oosit dengan 2 atau lebih pronukleus (PN) diklasifikasikan sebagai oosit yang telah terfertilisasi.

(5)

mendukung perkembangan kompetensi oosit untuk dimaturasi dan difertilisasi dibandingkan dengan PVA dan tanpa serum.

Kata kunci: fertilisasi, makromolekul, maturasi, oosit, serum

SUMMARY

PRATIWI. Maturation and Fertilization Rate of Sheep Oocyte Matured in Medium Supplemented Serum or Replacement Serum Components. Supervised by MOHAMAD AGUS SETIADI and NI WAYAN KURNIANI KARJA

Supplemented maturation medium of oocytes for in vitro embryo production is often added with various components which able to support further development of oocytes. Hence the maturation medium is very important not only for the process of maturation, but also for fertilization and embryo development. One component which often added to maturation medium is serum. The examples of serum commonly used is fetal bovine serum (FBS). FBS is used as a source of protein in the process of oocyte maturation and embryo culture media. FBS contains many growth factors, hormones, amino acids and binding protein. The addition of serum also has the effect that the risk of contamination by viruses, prions and mycoplasm. Several attempts to substitute source of protein in medium with other protein sources, such as bovine serum albumin (BSA) and polyvinyl alcohol (PVA). BSA works to improve oocyte maturation and able to bind molecular compounds including ions, free radicals, and steroids. The compound are PVA is glycosaminoglycans, especially hyaluronic acid which able to stimulate the development embryos in vitro.

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biologi Reproduksi

TINGKAT MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT

DOMBA YANG DIMATURASI DALAM MEDIUM DENGAN

SERUM ATAU KOMPONEN PENGGANTI SERUM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 sampai Oktober 2015 ialah Tingkat Pematangan dan Fertilisasi Oosit Domba yang Dimaturasi dalam Medium dengan Serum atau Komponen Pengganti Serum.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Drh Mohamad Agus Setiadi dan Ibu Drh Ni Wayan Kurniani Karja MP,PhD selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, perhatian dan nasihatnya selama penulis melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Bapak Prof Dr Drh Iman Supriatna selaku penguji luar komisi atas saran dan arahannya. Terimakasih penulis sampaikan kepada pimpinan dan staf RPH (Rumah Potong Hewan Domba/Kambing) Kampung Cikanyong Desa Citaringgul Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor, yang telah banyak membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, ibu dan bapak mertua, serta semua keluarga besar, khususnya kepada suami tercinta Resandy Ekacandra Perdana Rohanda S.Pt, anakku tersayang Zahrayya Kamila Latisha terimakasih atas cinta, doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada teman-teman program studi Biologi Reproduksi atas segala doa dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

2

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 4

Latar Belakang 4

Kerangka Pemikiran 5

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 6

Hipotesis 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Perkembangan Folikel dan Pematangan Oosit 6

Fertilisasi Oosit 7

Komponen dalam Media Maturasi 8

3 BAHAN DAN METODE 12 Waktu dan Tempat Penelitian 12 Tahap I Kemampuan Pematangan Inti Oosit 12 Koleksi Oosit dan Maturasi Oosit 12

Evaluasi Tingkat Pematangan Inti Oosit 12

Tahap II Fertilisasi Oosit In Vitro (IVF) 13

Evaluasi Keberhasilan Fertilisasi 13

Analisis Data 13 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 Hasil 14 Pembahasan 16

5 SIMPULAN DAN SARAN 18

Simpulan 18

Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 19

LAMPIRAN 23

(14)

3

DAFTAR TABEL

1 Tingkat maturasi inti oosit domba 14

2 Tingkat fertilisasi in vitro oosit domba 15

DAFTAR GAMBAR

1 Status inti oosit selama proses pematangan 14

2 Pembentukan pronukleus (PN) pada oosit setelah fertilisasi 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Komposisi media transportasi ovarium 24

2 Komposis media koleksi 24

3 Komposisi media dasar TCM-199 untuk maturasi oosit 24

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Reproduksi sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu spesies karena setiap individu mempunyai jangka waktu kehidupan terbatas dan hanya dengan reproduksi kelangsungan spesies dapat terjaga. Pada beberapa spesies tertentu, khususnya hewan liar yang dilindungi, terdapat kendala berupa gangguan alam atau akibat campur tangan manusia yang menyebabkan terganggunya reproduksi hewan tersebut. Hal ini menyebabkan populasi hewan tersebut semakin berkurang bahkan dikhawatirkan suatu saat akan punah. Kematian hewan langka menyebabkan sumber material genetik berupa spermatozoa dan oosit tidak mudah untuk diselamatkan. Dalam upaya penyelamatan material genetik, teknologi fertilisasi in vitro merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan. Teknologi fertilisasi in vitro merupakan teknologi untuk memproduksi embrio.

Teknologi ini terdiri atas serangkaian kegiatan yang meliputi pematangan oosit (IVM), fertilisasi oosit dengan spermatozoa (IVF) dan kultur embrio (IVC) (Gordon 2003). Produksi embrio melalui fertilisasi in vitro dapat menggunakan oosit yang berasal dari rumah potong hewan (RPH) maupun dari hewan hidup yang diperoleh melalui teknik ovum pick-up (OPU) dengan bantuan ultrasonografi (Ptak et al. 1999; Kochhar et al. 2002). Oosit yang berasal dari RPH dimatangkan pada medium maturasi untuk mencapai tahap metafase II (MII). Keberhasilan fertilisasi in vitro sangat tergantung pada beberapa faktor, yaitu komponen yang digunakan dalam media maturasi in vitro, kualitas oosit yang digunakan, serta resiko kontaminasi dan kondisi kultur (Hammam et al. 2010).

(16)

2

al. 1999; Gardner et al. 1994; Thompson et al. 1995). Kondisi tersebut disebut kelahiran fetus yang besar (large offspring syndrome) (Young et al. 1998).

Jumlah FBS diproduksi untuk pasar dunia diperkirakan sekitar 500.000 liter per tahun. Ini berarti, bahwa lebih dari 1.000.000 fetus sapi (anak sapi) harus dipanen, angka-angka ini akan terus meningkat setiap tahunnya (Jochems et al. 2002; Shah 1999). Kekhawatiran terfokus terutama pada metode pengumpulan FBS yang dapat menyebabkan penderitaan bagi hewan, khususnya untuk fetus. Secara singkat, darah fetus sapi diambil untuk produksi FBS, diperoleh dari sapi bunting yang dikirim ke rumah potong hewan. Darah janin dikumpulkan dalam kondisi aseptik. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara menusuk jarum suntik pada jantung fetus atau pada vena umbilikalis dan vena jugularis (Jochems et al. 2002).

Oleh karenanya berbagai upaya dilakukan untuk menggantikan sumber protein dalam media dengan sumber protein lainnya. Sumber protein pada media kultur selain FBS adalah makromolekul, baik yang alami maupun sintetis. Makromolekul alami dari komponen serum contohnya seperti bovine serum albumin (BSA). Sedangkan makromolekul sintetis contohnya seperti polyvinyl alcohol (PVA) dan polyvinyl pyrrolidone (PVP). Bovine serum albumin dilaporkan berfungsi untuk meningkatkan kematangan oosit (Lonergan et al. 1999). Menurut Bavister (1995), BSA dapat mengikat molekul termasuk ion-ion, radikal bebas, dan steroid. Hal ini dapat mencegah terjadinya reaksi oksidasi, menstabilkan pH dan tekanan osmolaritas. Sedangkan PVA memiliki aktivitas surfaktan yang sama dengan BSA. Polivynil alcohol memiliki pengaruh yang lebih besar dari PVP karena bahan aktif permukaannya yang sifatnya lebih besar (Ali dan Sirard 2002; Lee et al. 1998). Lebih lanjut dilaporkan bahwa di dalam PVA terdapat kandungan glycosaminoglycans khususnya asam hyaluronat yang dapat menstimulasi perkembangan embrio sapi secara in vitro (Mingoti et al. 2001; Shirazi et al. 2012). Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan pematangan dan fertilisasi oosit domba yang dimatangkan pada medium yang disuplementasi dengan serum dan bahan pengganti serum.

Kerangka Pemikiran

(17)

3

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan tingkat pematangan dan fertilisasi oosit domba yang dimatangkan pada medium yang disuplementasi dengan serum dan bahan pengganti serum.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar untuk penggunaan komponen pengganti serum dalam produksi embrio in vitro dan mendapatkan formulasi medium maturasi dengan bahan yang disuplementasi serum dan bahan pengganti serum terhadap kompetensi perkembangan oosit yang lebih baik.

Hipotesis

Media maturasi yang ditambahkan serum dan bahan pengganti serum mampu menghasilkan kualitas oosit yang sama dan mampu mendukung kemampuan perkembangan oosit.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Folikel dan Pematangan Oosit

Proses pertumbuhan folikel, ovulasi dan pembentukan corpus luteum (CL) sangat dipengaruhi oleh sirkulasi hormon reproduksi dalam tubuh. Gonadotrophin releasing hormone (GnRH) yang dihasilkan oleh hypothalamus berfungsi menstimulasi pengeluaran folicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) oleh hipofisa anterior sebagai respons terhadap estrogen atau progesteron. Ketika proses pertumbuhan folikel (recruitment) berlangsung, mRNA meningkat. Pada saat seleksi morfologis, folikel dominan mengandung estrogen dengan konsentrasi tinggi dalam cairan folikel dan segera setelah proses seleksi berakhir, maka folikel dominan banyak mengandung mRNA untuk reseptor gonadotrophin dan hormon steroid (Fortune et al. 2001).

Perkembangan folikel pada domba ditandai dengan adanya gelombang pertumbuhan folikel. Satu gelombang didefinisikan sebagai suatu proses pertumbuhan folikel yang sinkron dari beberapa folikel kecil. Dari kelompok folikel kecil tersebut, salah satu diantaranya akan terseleksi dan tumbuh menjadi folikel dominan, sedangkan folikel lainnya akan terhenti pertumbuhannya dan menuju atresia (Gordon 2003). Satu siklus estrus terdiri dari fase folikuler dan fase luteal. Fase folikuler ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium yang berlangsung selama 3-4 hari. Pada domba, sebanyak 1 atau 2 folikel besar menghasilkan estrogen yang dapat menekan pertumbuhan folikel kecil lainnya (Hafez dan Hafez, 2000).

(18)

4

estradiol mencapai level tertinggi dan menyebabkan kontrol umpan balik positif terhadap hipotalamus dan hipofisa sehingga level FSH dan LH mencapai puncaknya dan menyebabkan folikel preovulasi pecah dan terjadinya pelepasan oosit dari ovarium ke saluran alat reproduksi betina yang disebut ovulasi (Gordon 2003).

Selama pematangan oosit, terdapat perubahan konfigurasi struktur kromatin. Perubahan konfigurasi kromatin ini dihubungkan dengan tingginya level sintesis RNA dan diikuti oleh kondensasi kromatin yang menandakan aktifnya proses transkripsi RNA (Lodde et al. 2008). Selama maturasi oosit, struktur kromatin dalam oosit yang belum matang (immature) berupa membran nuklear utuh/germinal vesicle (GV) dan kemudian akan mengalami pelepasan membran inti membentuk germinal vesicle breakdown (GVBD). Setelah tahap GVBD, berikutnya oosit akan masuk ke dalam tahap MI. Pada oosit domba, tahapan ini dicapai 12 sampai 14 jam setelah inkubasi dan diikuti oleh tahapan anaphase (A) dan telophase (T) yang berlangsung singkat. Lebih lanjut oosit akan mencapai tahapan MII, yang ditandai dengan terbentuknya badan kutub I. Ekstruksi badan kutub I merupakan indikasi dari proses meiosis dan keberhasilan dalam tahapan MII (Gordon 2003). Sel kumulus sangat berperan dalam maturasi oosit mempengaruhi kelanjutan meiosis dan maturasi sitoplasma. Fungsi ini berkaitan dengan adanya gap junction dan kemampuan metabolisme. Gap junction berperan dalam transfer nutrien dan faktor penting dalam perkembangan oosit (Lv et al. 2010). Tanpa adanya gap junctions oosit tumbuh sangat kecil dan setelah beberapa hari dalam kultur akan mengalami nekrosis karena secara normal oosit tergantung pada sel-sel granulosa untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya (Gondolfi et al. 2005).

Tahap pematangan sitoplasma dicapai oleh perkembangan organel dan struktur di dalam sitoplasma. Pematangan sitoplasma ditandai dengan penambahan kompetensi biologis oosit yang meliputi berbagai perubahan struktur dan biokimia di dalam sel yang memungkinkan oosit untuk mengekspresikan potensi perkembangannya setelah fertilisasi dan mampu mendukung pembentukan dan perkembangan embrio preimplantasi (Gordon 2003). Beberapa perubahan akan terjadi selama proses pematangan sitoplasma diantaranya terjadi migrasi kortikal granula ke oolemma, peningkatan mitokondria dan lipid droplet yang akan menyebabkan perubahan susunan apparatus golgi dan keberadaan reticulum endoplasmic granular, aktivitas maturation promoting factor (MPF) dan metabolisme oosit (Rahman et al. 2008). Pematangan sitoplasma dapat diketahui secara tidak langsung antara lain dari terjadinya reaksi korteks, pembentukan pronukleus dan pembelahan sel (Ducibella et al. 2002).

Fertilisasi Oosit

(19)

5 membran plasma, dan penurunan rasio phosphorilasi protein (Yanagimachi et al. 1994). Oosit yang dapat terfertilisasi adalah oosit yang telah memasuki tahap MII, pada fase ini oosit telah mengalami pematangan inti maupun sitoplasma. Penetrasi spermatozoa ke dalam oosit akan menyebabkan oosit menyelesaikan pembelahan meiosis II yang ditandai dengan terbentuknya badan kutub II. Selanjutnya kromosom oosit akan membentuk pronukleus betina dan kromatin yang terdapat pada kepala spermatozoa akan mengalami dekondensasi dan kemudian membentuk pronukleus jantan (Cleine 1996).

Komponen dalam Media Maturasi Media Basal

Hampir setiap sel memiliki perbedaan terhadap media yang digunakan. Karena setiap jenis sel memiliki reseptor yang berbeda yang terlibat di dalam kelangsungan hidup sel, pertumbuhan sel dan diferensiasi sel. Mengembangkan dan menggunakan media basal dengan serum dinilai bekerja dengan baik, dan tingkat keberhasilan tinggi. Formulasi media ini menggabungkan kandungan asam amino yang tinggi. Selain itu, media basal harus mengandung insulin, transferin dan selenium. Transferin juga merupakan protein penting dalam medium kultur dimana tindakan utama adalah untuk mentransfer zat besi ke dalam sel (Bjare 1992). Selenium merupakan elemen penting di selenoproteins yang melindungi sel-sel dari proses oksidatif (Helmy et al. 2000). Meskipun beberapa jenis sel dapat dipertahankan dalam medium basal (Bettger dan McKeehan, 1986; Butler dan Jenkins, 1989), sebagian besar sel membutuhkan suplemen tambahan untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Komponen yang paling umum yang disediakan didalam media basal adalah sebagai berikut.

Hormon

Semua hormon adalah konstituen fisiologis dalam sirkulasi darah dan juga hadir dalam serum dalam jumlah yang bervariasi (Lindt dan Gstraunthaler, 2008; Price dan Gregory, 1982). Hormon insulin telah terbukti wajib dalam semua formulasi dalam media. Hormon lain yang paling banyak digunakan dalam kultur sel adalah glukokortikoid (Deksametason dan hidrokortison), tryodothyronine (T3), dan hormon yang khusus bertindak dengan meningkatkan intraseluler tingkat cAMP.

Faktor Pertumbuhan (Growth Factor)

(20)

6

Protease inhibitor

Protease inhibitor yang diberikan dalam penambahan FBS adalah α 1-antitrypsin dan α2-macroglobulin (Gstraunthaler, 2003). Protease inhibitor mengakhiri proses trypsinization dengan menghambat peptidases lisosom yang dilepaskan pada pergantian sel. Protease inhibitor memiliki efek perlindungan pada sel.

Protein

Protein adalah zat pembawa komponen dengan berat molekul rendah dan dapat memfasilitasi adhesi sel (Taub 1990). Bovine serum albumin (BSA) sering digunakan sebagai pembawa lipid. Namun, BSA berasal dari hewan (Taub, 1990). Saat ini, protein rekombinan termasuk albumin, yang tersedia untuk komponen sel (Keenan et al. 2006).

Vitamin

Vitamin yang disediakan oleh media basal sedikitnya tujuh vitamin yang ditemukan untuk pertumbuhan sel dan proliferasi: kolin, asam folat, nicotinamide, pantothenate, piridoksin, riboflavin, dan tiamin (Bjare, 1992 ; Taub, 1990). B-vitamin diperlukan untuk biokimia sel.

Asam amino

Terdapat 20 asam amino esensial yang terdapat pada FBS yang diperlukan untuk kultur sel yaitu alanin, arginin, asparagin (termasuk asam aspartic), citrullin, asam glutamat (termasuk glutamin), glycin, histidin, hydroxyprolin, isoleucin, leucin, lysin, methionin, ornithin, phenylalanin, prolin, serin, threonin, tryptophan, tyrosin, valin, dan berbagai rantai cabang asam amino aromatik (Fallon et al. 1988; Gordon 2003)

Glutamin

Glutamin merupakan prekursor penting untuk sintesis protein dan ribonukleotida. Hal ini juga berpengaruh terhadap penggunaan glukosa dalam sel. Namun, glutamin juga memiliki kekurangan yaitu tidak stabil dalam larutan dan hasil metabolisme dari glutamine adalah akumulasi amonia, yang merupakan racun bagi sel-sel, karena tidak diserap oleh protein serum di dalam media. Untuk mengatasi kelemahan glutamin, alternatif yang digunakan dalam media kultur diganti dengan glutamat yang dapat menggantikan glutamin dalam kultur sel (Schneider et al. 1996)

Lipid

(21)

7

Serum dan Komponen Pengganti Serum

Untuk mencapai eksperimental reproduktifitas yang baik, komposisi media di dalam kultur sel sangat penting. Kondisi media yang dibuat meniru kondisi secara in vivo yang berhubungan dengan suhu, pH, osmolaritas, dan supply oksigen (Davis 2002; Masters 2000). Media juga harus mengandung nutrisi yang bertujuan menjaga sel tetap hidup untuk waktu yang cukup lama. Media harus dilengkapi dengan beberapa faktor untuk mengevaluasi proliferasi sel, migrasi sel dan diferensiasi sel. Contohnya media yang dilengkapi dengan serum. Serum merupakan bagian plasma darah tanpa fibrinogen atau faktor-faktor penggumpalan lain. Serum digunakan sebagai suplementasi dalam medium maturasi in vitro karena mengandung faktor pertumbuhan, hormon, dan peptida yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan oosit (Wani 2002). Menurut Gordon (2003) serum yang digunakan dalam medium maturasi in vitro, yaitu bovine serum, fetal calf serum (FCS), steer serum (SS), dan estrus goat serum (EGS). Bovine serum dalam bentuk FBS dan BSA yang paling sering digunakan dalam medium maturasi sebagai sumber protein utama dalam maturasi in vitro (Gordon, 2003).

Efektivitas dari bovine serum pada maturasi in vitro sangat bervariasi, hal ini karena refleksi dari perbedaan dalam komposisi dari proses yang digunakan. Variabilitas yang sama mungkin terjadi dengan hormon, faktor pertumbuhan, sitokin, vitamin dan banyak konstituen lain pada bovine serum. Dalam menggunakan Oestrous Cow Serum (OCS) yang diperoleh dari siklus oestrous ternak diasumsikan bahwa konsentrasi hormon (steroid, gonadotropin) berbeda, tingkat estradiol dapat meningkatkan tiga kali lipat dari nilai basal dari 5 pg ml ke nilai puncak 15 pg ml pada hari berahi. Konsentrasi puncak LH juga terjadi ketika estradiol pada tingkat tertinggi. Perubahan konsentrasi hormon menjelaskan mengapa OCS berbeda komponen dan efektivitas dari serum lainnya (Gordon, 2003).

Perlakuan pemanasan pada bovine serum dilakukan sebelum digunakan dalam IVM. Pemanasan biasanya mengekspos serum pada suhu 56-60°C selama 30 menit, hal ini bertujuan menonaktifkan imunoglobulin yang terdapat dalam serum. Pada proses alami secara in vivo proses pematangan oosit dilakukan tanpa imunoglobulin dan komplemen yang sama berlaku pada sapi. Pada Oestrous Cow Serum (OCS) pengaruh perlakuan pemanasan berpengaruh pada kadar steroid dan gonadotropin yaitu kadar FSH dan LH menurun, sedangkan tingkat estradiol dan progesteron tidak menunjukkan penurunan yang signifikan dalam konsentrasi (Isachenko et al. 1994).

Fetal Bovine Serum (FBS)

(22)

8

Fetal bovine serum mengandung asam amino essential yang lengkap seperti alanin, arginin, asparagin (termasuk asam aspartic), citrullin, asam glutamat (termasuk glutamin), glycin, histidin, hydroxyprolin, isoleucin, leucin, lysin, methionin, ornithin, phenylalanin, prolin, serin, threonin, tryptophan, tyrosin, valin, dan berbagai rantai cabang asam amino aromatik (Fallon et al. 1988; Gordon 2003). Fetal bovine serum juga mengandung albumin, hemoglobin, kolesterol, fatty acid, phospholipids, glukosa, insulin, kortison, vitamin, dan mineral (Price dan Gregory, 1982).

Fetal bovine serum memiliki efek pada proses maturasi oosit dan memberikan nutrisi ke dalam sel-sel cumulus oocytes complexes (COC) dan mencegah pengerasan zona pellusida (Wani 2002). Pengaruh adanya FBS juga menyebabkan lepasnya chymotrypsin dari zona pelusida, dan terjadinya proses modifikasi ZP2 (reseptor sperma glycoprotein) menuju ZP2F (proses yang menghambat terjadinya polispermi) (Schroeder et al. 1990; Zhang et al. 1995). Disamping itu, FBS mempunyai manfaat lain yang berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menurunkan pembentukan radikal bebas dalam proses maturasi (Bavister 1995). Selanjutnya dikemukakan bahwa FBS memberikan hasil yang baik sebagai suplemen protein dalam medium maturasi in vitro dan mampu mendukung follicle stimulating hormone (FSH) yang ditunjukkan oleh viabilitas dan ekspansi sel-sel kumulus (Gordon, 2003).

Bovine Serum Albumin (BSA)

Albumin adalah protein utama dalam serum, dengan persentase sebesar (50 sampai 60%) dalam darah sapi. Bovine serum albumin memiliki peran fisiologis, berfungsi sebagai penstabil pH, mengatur regulasi tekanan osmotik, menstabilisasi membran, mengandung asam amino, vitamin,asam lemak, hormon, faktor pertumbuhan, dan bersifat surfaktan (Blake et al. 2002). Albumin merupakan makromolekul yang paling banyak terdapat saluran reproduksi betina (Leese 1988). Albumin berperan sebagai rantai polipeptida glikosilasi non tunggal. Albumin memiliki pemukaan sel yang luas dan bersifat mengikat. Berfungsi sebagai pengikat berbagai molekul seperti air, garam, asam lemak bebas, vitamin, dan hormon. Albumin berperan sebagai transportasi zat-zat nutrisi antar molekul-molekul (Blake et al. 2002). Albumin bersama dengan globulin berperan penting sebagai pembawa molekul lemak atau mineral dan secara luas digunakan dalam media tanpa serum (Ali dan Sirard 2002).

Bovine serum albumin umumnya ditambahkan ke dalam media kultur sebagai sumber energi dan protein untuk proses metabolik. Penambahan BSA tersebut mampu mencukupi komponen penting seperti steroid, vitamin, asam lemak dan kolesterol, tapi juga membantu dalam persediaan ion-ion dan molekul-molekul kecil (Wrenzycki et al. 2001). Lebih lanjut menurut Francis (2010) albumin berfungsi untuk mempertahankan pH, molekul pembawa dengan berikatan dengan ligand (lemak, ion logam, asam amino), dan sebagai antioksidan. Selain itu, molekul albumin mampu berinteraksi dengan sel dan meningkatkan pertumbuhan sel.

Polyvinyl Alcohol (PVA)

(23)

9 awal polyvinyl asetat. Polyvinyl alcohol adalah salah satu dari beberapa polimer sintetik yang biodegradable (Kroschwitz, 1998). Polyvinyl alcohol memiliki aktivitas surfaktan seperti albumin. Pada PVA terdapat kandungan glycosaminoglycans khususnya asam hialuronat yang dapat menstimulasi perkembangan embrio sapi secara in vitro (Mingoti et al. 2001; Shirazi et al. 2012). Glycosaminoglycans (GAG) termasuk heparin, heparan sulfat, kondroitin sulfat, dermatan sulfat, asam hialuronat dan keratan sulfat. Glycosaminoglycans (GAG) efektif pada proses kapasitasi di dalam proses fertilisasi in vitro, hal ini berhubungan dengan adesi sperma dari sel epitel (Gualtieri dan Talevi, 2000)

3 BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Fertilisasi In Vitro, Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari Agustus 2014 sampai Oktober 2015. ditambahkan 100 IU/mL penicillin (Sigma-Aldrich. Inc, St. Louis, MO,USA) dan 0.1 mg/mL streptomycin (Sigma-Aldrich). Setelah sampai di laboratorium, ovarium dicacah (slicing) untuk mengeluarkan oosit di dalam cawan petri yang berisi m-PBS ditambah dengan 10% Fetal Bovine Serum (Sigma-Aldrich.USA), 100 IU/mL, penicillin dan 0.1 mg/L streptomycin. Oosit yang digunakan dalam penelitian adalah oosit dengan sel kumulus yang kompak dikelilingi >3 lapis sel kumulus dan sitoplasma homogen kemudian dicuci sebanyak 2 kali pada medium maturasi untuk selanjutnya dimaturasi secara in vitro. Oosit hasil koleksi dimaturasi dalam media maturasi.

(24)

10

Evaluasi Tingkat Pematangan Inti Oosit

Oosit yang telah dimaturasi dicuci dan dihilangkan semua bagian sel cumulusnya dengan bantuan 0.25% enzim hyaluronidase dengan cara dipipet berulang-ulang. Kemudian oosit diletakkan pada drop 0.7% KCl diatas gelas objek, lalu difiksir dengan cara ditutup dengan cover glass yang memiliki bantalan paraffin dan vaselin (1:9) pada kedua sisinya. Preparat tersebut dimasukkan dalam larutan fiksasi yang mengandung asam asetat dan etanol (1:3) selama 48-72jam.

Oosit diwarnai dengan pewarna 2% aceto-orcein selama ±5 menit. Kemudian zat pewarna dibersihkan dengan 25% asam asetat dan keempat sisi cover glass diberi larutan kuteks bening untuk selanjutnya dilakukan pengamatan morfologi dengan mikroskop fase kontras (Olympus IX 70, Japan).

Status inti oosit dikelompokkan menjadi tahap germinal vesicle (GV), germinal vesicle break down (GVBD), metafase I (MI), anaphase I- telophase I (AI-TI) dan metafase II (MII). Oosit dikategorikan sebagai oosit yang telah matang jika telah berada pada tahap MII. Tingkat maturasi oosit adalah perbandingan antara jumlah oosit yang mencapai tahap MII dengan jumlah seluruh oosit yang dimaturasi.

Tahap II. Kemampuan Fertilisasi In vitro (FIV)

Pada tahap ini oosit dimaturasi seperti pada tahapan I. Oosit yang sudah melalui proses maturasi kemudian difertilisasi dengan semen beku domba yang berasal dari Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Lembang, Bandung. Proses thawing dilakukan dengan menempatkan straw dalam air bersuhu 30-32°C selama 30 detik. Selanjutnya semen disentrifugasi pada kecepatan 1800 rpm selama 5 menit dalam medium fertilisasi. Setelah sentrifugasi, bagian supernatan dibuang dan sisa spermatozoa sekitar 200 µL sebagai endapannya, dan dilakukan pengenceran menggunakan medium fertilisasi hingga mencapai konsentrasi akhir 5x106 spermatozoa/mL.

Spermatozoa yang telah disiapkan dibuat dalam bentuk drop pada petridish (Nunclon, Denmark) masing-masing sebanyak 100 µ L untuk 10-15 oosit dan ditutup dengan mineral oil (Sigma, USA). Masing-masing kelompok oosit (kontrol, FBS, BSA dan PVA) yang telah dimaturasi dicuci sebanyak 2 kali dalam medium fertilisasi dan kemudian dipindahkan ke dalam drop spermatozoa untuk proses fertilisasi. Inkubasi oosit dengan spermatozoa dilakukan selama 14 jam pada inkubator 5% CO2 temperatur 39°C.

Evaluasi Keberhasilan Fertilisasi

Oosit yang telah difertilisasi kemudian difiksasi dan diwarnai seperti pada metode evaluasi pematangan inti oosit. Tingkat fertilisasi diamati dengan melihat pembentukan pronukleus (PN). Oosit yang telah mengalami fertilisasi normal ditandai dengan terbentuknya 2 pronukleus (jantan dan betina) dalam sitoplasma oosit. Sedangkan oosit yang mempunyai lebih dari dua pronukleus dikategorikan sebagai polispermi. Total oosit yang terfertilisasi adalah oosit yang mempunyai dua pronukleus atau lebih.

Analisis Data

(25)

11 Data diuji secara statistik menggunakan analysis of variance (ANOVA) pada taraf nyata 95%. Terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Duncan.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Tingkat maturasi oosit domba setelah penambahan serum dan bahan komponen pengganti serum

Tahapan maturasi inti diamati mulai status inti oosit dikelompokkan menjadi tahap germinal vesicle (GV), metafase I (MI), anaphase I- telophase I (AI-TI) dan metafase II (MII). Oosit dikategorikan sebagai oosit yang telah matang jika telah berada pada tahap MII dan siap untuk difertilisasi. Perubahan status inti oosit domba yang telah di maturasi dengan penambahan serum dan bahan komponen pengganti serum dapat dilihat pada gambar 1.

B

D

A

C

20 µm

20 µm

(26)

12

Gambar 1. Status inti oosit selama proses pematangan in vitro (A) Oosit pada tahapan GV (Germinal Vesicle); (B) Oosit pada tahapan MI; (C) Oosit pada tahapan AI/TI; (D) Oosit pada tahapan metafase II (MII) ; Pembesaran 200 kali.

Hasil penelitian yang diperoleh pada tingkat maturasi inti oosit domba setelah dimaturasi dengan penambahan serum dan bahan komponen pengganti serum menunjukkan bahwa penambahan FBS dalam media maturasi mendukung perkembangan oosit mencapai tahap MII (85.5%), sedangkan kelompok BSA (78.6%), paling tinggi jika dibandingkan dengan oosit yang dimaturasi dalam media dengan atau PVA (61.1%) (P< 0.05). Sedangkan hanya 45.07% oosit yang mencapai tahap MII pada kelompok oosit yang dimaturasi tanpa penambahan serum pada kelompok kontrol (Tabel 1).

Tabel 1 Tingkat Maturasi inti oosit domba

Kelompok Jumlah oosit

n (% status inti oosit)

GV MI A/TI MII DEG

Kontrol 71 10 (15.0)a 29 (40.3)a 0 (0.0)a 32 (45.0)c 0.00

FBS 76 0 ( 0.0)b 9 (11.2)c 0 (0.0)a 65 (85.5)a 0.00

BSA 75 2 ( 2.8)b 14 (19.0)bc 0 (0.0)a 59 (78.6)a 0.00

PVA 72 5 (10.1)ab 20 (27.1)ab 2 (2.7)a 44 (61.1)b 0.00

a,b,c

Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05); FBS: fetal bovine serum;BSA: bovine serum slbumin;PVA: polyvinyl alcohol.GV: Germinal vesicle; M-I: Metafase I; A/T: Anafase/Telofase; M-II: Metafase II; DEG : Degenerasi.

Tingkat fertilisasi oosit domba setelah penambahan serum dan bahan komponen pengganti serum

Oosit domba yang terfertilisasi ditandai dengan terbentuknya dua atau lebih pronukleus (PN) seperti pada gambar 2.

(27)

13 Gambar 2. Pembentukan pronukleus (PN) pada oosit setelah fertilisasi. A. Oosit

dengan 2 pronukleus (2 PN), B. Oosit dengan lebih 2 pronukleus (>2 PN), tanda panah menunjukkan pronukleus. Perbesaran 200x

Hasil penelitian yang diperoleh pada tingkat fertilisasi oosit domba setelah dimaturasi dengan penambahan serum dan bahan komponen pengganti serum menunjukkan oosit yang terfertilisasi normal (membentuk 2 PN) pada kelompok FBS sebesar 72.5%, BSA sebesar 58.5%, PVA sebesar 30.0%, dan kontrol sebesar 21.2% (Tabel 2).

Tabel 2 Tingkat fertilisasi in vitro oosit domba

Kelompok

Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata P<0.05. FBS: Fetal bovine serum;BSA: Bovine serum albumin;PVA: Polyvinyl alcohol.2PN: 2 pronukleus; >2PN: lebih dari 2 Pronukleus: Tingkat fertilisasi : jumlah oosit yang dapat membentuk 2 atau lebih PN dari keseluruhan oosit yang difertilisasi.

PEMBAHASAN

Tingkat maturasi inti oosit

(28)

14

lengkap seperti alanin, arginin, asparagin (termasuk asam aspartic), citrullin, asam glutamat (termasuk glutamin), glycin, histidin, hydroxyprolin, isoleucin, leucin, lysin, methionin, ornithin, phenylalanin, prolin, serin, threonin, tryptophan, tyrosin, valin, dan berbagai rantai cabang asam amino aromatik (Fallon et al. 1988; Gordon 2003).

Data hasil penelitian lain yang dilakukan pada kerbau (Puri et al. 2015), kucing (Karja et al. 2002), babi (Kim et al. 2007) dan sapi (Landim Alvarenga et al. 2002), menunjukkan bahwa penggunaan FBS dapat meningkatkan perkembangan oosit hingga mencapai tahap MII. Kemampuan oosit berkembang hingga mencapai tahap MII merupakan salah satu faktor penting untuk kompetensi perkembangan oosit selanjutnya. Proses maturasi membutuhkan sintesis protein secara aktif (Tatemoto dan Horiuchi 1995; Tatemoto dan Terada, 1995), protein sangat diperlukan untuk mendorong terbentuknya proses GVBD yang disintesis di dalam oosit, dan proses sintesis protein secara terus menerus berlangsung hingga oosit mencapai tahap MII (Liu et al.1998).

Sementara itu hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan media dengan BSA memperlihatkan persentase tingkat pematangan oosit yang tidak berbeda nyata dengan penambahan serum meskipun memiliki angka yang sedikit lebih rendah (78.66%). Hal ini menunjukkan BSA mampu menggantikan fungsi FBS walau kandungan BSA tidak sekompleks FBS. Dilaporkan bahwa BSA mengandung berbagai macam protein seperti : leucin, lysin, glutamat, alanin, aspartat, valin, cystein, threonin, prolin, serin, phenylalanin, arginin, glutamin, tyrosin, histidin, glycin, asparagin, isoleucin, methionin, tryptophan (Hilger et al. 2001). Selain itu, BSA juga mempunyai fungsi yaitu sebagai penstabil pH, mengatur regulasi tekanan osmotik, menstabilisasi membran, mengandung asam amino, vitamin, asam lemak, hormon, faktor pertumbuhan, dan bersifat surfaktan (Blake et al. 2002).

Berbeda dengan kedua hasil tersebut diatas (penambahan FBS dan BSA), persentase oosit yang mencapai tahap MII pada media yang disuplementasi dengan PVA hanya mencapai 61% (P<0.05) yang secara statistik signifikan lebih rendah dibandingkan dengan penambahan kedua serum tersebut diatas, meskipun PVA memberikan hasil yang lebih baik dari kontrol. Rendahnya tingkat maturasi pada medium yang disuplementasi dengan PVA diduga terkait dengan perubahan metabolisme dan besarnya kebutuhan akan kandungan asam amino untuk proses sintesis protein pada oosit yang tidak dimiliki PVA secara kompleks sehingga kurang mendukung proses maturasi (Orsi dan Leese 2004).

Tingkat Fertilisasi Oosit

(29)

15 serta faktor pertumbuhan yang dibutuhkan untuk perkembangan embrio in vitro (Rizos et al. 2001; Choi et al. 2002; Gordon 2003), yang diduga berperanan penting untuk proses fertilisasi. Serum dan BSA umumnya ditambahkan ke dalam media kultur sebagai sumber energi dan protein untuk proses metabolik. Penambahan serum dan BSA tersebut mampu mencukupi komponen penting seperti steroid, vitamin, asam lemak dan kolesterol, tapi juga membantu dalam persediaan ion-ion dan molekul-molekul kecil (Wrenzycki et al. 2001).

Sementara itu rendahnya tingkat fertilisasi pada kelompok PVA dan kelompok yang tidak diberikan serum (kontrol), diduga berkaitan dengan rendahnya angka maturasi dari kedua kelompok tersebut karena kurang atau tidak memiliki unsur-unsur seperti yang dimiliki serum, sehingga tidak mampu mendukung kompetensi oosit baik untuk dimaturasi maupun untuk difertilisasi. Lebih lanjut juga diduga rendahnya tingkat fertilisasi pada medium yang di suplementasi dengan PVA atau tanpa penambahan serum mengakibatkan perbedaan metabolisme protein yang diperlukan untuk meningkatkan kompetensi oosit (Orsi dan Leese 2004).

Hal ini menunjukkan bahwa oosit memerlukan sumber protein dan asam amino untuk perkembangannya. Diketahui juga bahwa sintesis protein diperlukan untuk dekondensasi kepala sperma dan pembentukan pronukleus jantan (Liu et al. 1998). Secara in vivo, selama masa perkembangan oosit hingga mencapai embrio akan terpaparkan pada lingkungan dengan level asam amino yang tinggi dalam oviduk dan uterus (Elhassan et al. 2001). Asam amino tertentu pada membran oosit dan embrio, berperan sebagai molekul pembawa asam amino lain melalui membran untuk memenuhi kebutuhan asam amino yang diperlukan untuk sintesis protein (Van Winkle 2001). Secara spesifik, berbagai asam amino dibutuhkan sebagai substrat untuk sintesis nukleotida (glutamina, aspartat, glisina), GSH (asam glutamat, sisteina, glisina), glikoprotein, asam hyaluronic, dan molekul signal (arginina). Asam amino tersebut juga berperan penting dalam pengaturan pH dan osmolaritas, pengkelat logam berat (glisina) dan donor gugus metil (metionina) (Dumollarad et al. 2007; Sturmey et al. 2008).

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan FBS dan BSA mampu mendukung tingkat maturasi dan tingkat fertilisasi yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok PVA dan Kontrol.

Saran

(30)
(31)

17

DAFTAR PUSTAKA

Abe H, Yamashita S, Itoh T, Satoh T, Hoshi H. 1999. Ultrastructure of bovine embryos developed from in vitro matured and fertilized oocytes: comparative morphological evaluation of embryos cultured either in serum free medium or in serum supplemented medium. Mol Reprod Dev. 53:325-335. blastocysts in defined culture media. Theriogenology. 37:124-46.

Bavister BD. 1995. Culture of preimplantation embryos: facts and artifacts. Hum Reprod Update. 1:1481-1491.

Bjare U. 1992. Serum-free cell culture. Pharmacology and Therapeutics. 53:355– 374.

Blake D, Svalander P, Jin M, Silversand C, Hamberger L.2002. Protein supplementation of human IVF culture media. J Assist Repord Genet. 19:3-10.

Butler M, Jenkins H. 1989. Nutritional aspects of the growth of animal-cells in culture. Jour of Biotech. 12:97–110

Choi YH, Lee BC, Lim JM, Kang SK, Hwang WS. 2002. Optimization of culture medium for cloned bovine embryos and its influence on pregnancy and delivery outcome. Theriogenology. 58:1187-1197.

Cleine JH. 1996. Fertilization: Theory. In: Bras M, Lens JW, Piederiet MH, Rijnders PM, Verveld M, Zeilmaker GH. IVF Lab. NV Organon 127-145. Davis JM. 2002. Basic Cell Culture. A Practical Approach. 2nd Ed. Oxford

University Press.

Ducibella T. 2002. Egg-to-embryo transition is driven by differentian responses to Ca2+ oscillation number. Dev Biol. 250:280-291.

Dumollard R, Duchen R, Carrol J. 2007. The role of mitochondrial function in the oocyte and embryo. Dev Biol. 77:21-49.

Elhassan YM, Wu AC, Leanez RJ, Tasca AJ, Watson R, Westhusin ME. 2001. Amino acid concentrations in fluids from the bovine oviduct and uterus and in ksom-based culture media. Theriogenology.55:1907-1918.

Fallon MN, Rammell CG, Hoogenboom JL.1988. Amino acids in bovine sera. New Zea Vet Jour. 36:96-98.

Fortune JE, Rivera GM, Evans ACO, Turzillo AM. 2001. Differentiation of dominant versus subordinate follicles in cattle. Biol Reprod. 65:648-654. Francis GL. 2010. Albumin and mammalian cell culture: implications for

biotechnology applications. Cytotechnology.62:1-26.

Gandolfi F, Brevini T.A.L, Cillo F, Antonini, S. 2005. Cellular and molecular mechanisms regulating oocyte quality and the relevance for farm animal reproductive efficiency. Reprod Anim. 24 :413-423.

(32)

18

absence of serum and somatic cells: amino acids, vitamins, and culturing embryos in groups stimulate development. Biol Reprod. 50:390-400.

Gordon I. 2003. Laboratory Production of Cattle Embryos 2nd Edition. CABI

Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animal. Hafez B, Hafez ESE, editor. Ed-7. USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Hammam AM, Whisnant CS, Elias A, Zaabel SM, Hegab AO, Abu-El Naga EM. 2010. Effect of media, sera and hormones on in vitro maturation and fertilization of water buffallos (bubalus bubalis). J Anim Vet. 9:27-31. Helmy MH, Ismail SS, Fayed H, El-Bassiouni, EA. 2000. Effect of selenium

supplementation on the activities of glutathione metabolizing enzymes in human hepatoma Hep G2 cell line. Toxicology. 144 :57–61.

Hilger C, Grigioni F, De Beaufort C, Michel G, Freilinger J, Hentges F. 2001. Differential binding of IgG and IgA antibodies to antigenic determinants of bovine serum albumin. Clin Exp Immunol. 3:387-394

Jochems CEA, Van der Valk JBF , Stafleu FR, Baumans V. (2002). The use of fetal bovine serum: ethical or scientific problem. ATLA. 30: 219 227.

Karja NWK, Otoi T, Murakami,Fahrudin M, Suzuki T. 2002. In vitro maturation, fertilization, and development of domestic cat oocytes recovered from ovaries collected at three stage of reproductive cycle. Theriogenology. 57:2289-2298.

Keenan J, Pearson D, Clynes M. 2006. The role of recombinant proteins in the development of serum-free media. Cytotechnology 50:49–56.

Kim JY, Kim SB, Park MC, Park H, Park YS, Park HD, Lee JH, KimJM. 2007. Addition of macromolecules to PZM-3 culture medium on the development and hatching of in vitro porcine embryos. Asian-Aust J Anim Sci. 20 :1820-1826.

Kochhar HP, Morris LH, Buckrell BC, Pollard JW, Basrur PK, King WA. 2002. Maturation status, protein synthesis and developmental competence of oocytes derived from lambs and ewes. Reprod Domes Anim. 37:19-25. Kroschwitz JI. 1998. Concise Encyclopedia of polymer science and engineering.

New York: John Willey & Sons Inc

Landim-Alvarenga FC, Boyazoglu SEA, Carvalho LR, Choi YH, Squires EL, Seidel JR. 2002. Effects of fetuin on zona pellusida hardening, fertilization and embryo development in cattle. Anim Reprod Sci. 71:181-191.

Lane ME, Therien I, Moreau R, Manjunath P. 1999. Heparin and high density lipoprotein mediate bovine sperm capacitation by different mechanisms. Biol Reprod. 60:169–175.

Langendonckt AV, Donnay I, Schuurbiers N, Auquier P, CarolanC.1997. Effects of supplementation with fetal calf serum on development of bovine embryos in synthetic oviduct fluid medium. J Reprod Fertil. 109:87-93.

(33)

19 blastocysts cultured in PVA or BSA supplemented medium. Theriogenology. 49:233-241.

Leese HJ. 1988. Formation and function of oviduct fluid. J Reprod Fertil. 82:843-856.

Lindl, T., Gstraunthaler, G., 2008. Zell- und Gewebekultur. Von den Grundlagen zur Laborbank. Spektrum Akademischer Verlag, Heidelberg..

Liu L, Zhang HW, Qian JF, Fujihara N. 1998. Effect of cycloheximide on bovine oocyte nuclear progression and sperm head transformation after fertilization in vitro. Asian-Aust J Anim Sci. 12:22-27.

Lodde V, Modina S, Maddox-Hytell P, Franciosi F, Lauria A, Luciano AM. 2008. Oocyte morphology and trancriptional in relation to chromatin remodelling during final phase of bovine oocyte growth. Mol Reprod Dev.75:915-924. Lonergan P, O’Kearney-Flynn M, Boland MP. 1999. Effect of protein

supplementation and the presence of an antioxidant on the development of bovine zygotes in synthetic oviduct fluid medium under high or low oxygen concentration. Theriogenology. 51:1565-1576.

Lv L, Wenbin Y, Wenzhong L, Youshe R, Fuzhong L, Kyung-Bon L, Goerge W S. 2010. Effect of oocyte selection, estradiol and antioxidant treatment on in vitro maturation of oocyte collected from prepubertal boer goats. Italian J Anim Sci. 9:50-53.

Mandl EW, Jahr H, Koevoet JL, Van Leeuwen JP, Weinans H, Verhaar JA, Van Osch GJ. 2004. Fibroblast growth factor-2 in serum-free medium is a potent mitogen and reduces dedifferentiation of human ear chondrocytes inmonolayer culture. Matrix Biology. 23:231–241.

Mc Dowall, M L S, Gilchrist R B and Thompson J G. 2004. Cumullus expansion and glucose utilization by bovine cumulus-oocyte complexes during in vitro maturation, the influence of glucosamine and follicle stimulating hormone. J Reprod 128: 313-319.

Masters, JRW. 2000. Animal Cell Culture. A Practical Approach. 3rd Ed. Oxford University Press.

Mingoti GZ, Castro VS, Meo SC, Sa Barretto LS, Garcia JM. 2001. The effects of macromolecular and serum supplements and oxygen tension during bovine in vitro procedures on kinetics of oocyte maturation and embryo development. In Vitro Cell Dev Biol Anim. 47:361-367.

Orsi NM, Leese HJ. 2004. Amino acid metabolism of preimplantation bovine embryos cultured with bovine serum albumin or polyvinyl alcohol. Theriogenology. 61:561-572.

Price PJ, Gregory EA. 1982. Relationship between in vitro growth promotion and biophysical and biochemical properties of the serum supplement. In Vitro 18:576-584.

Ptak G, Loi P, Dattena M, Tischner M, Cappai P. 1999. Offspring from one-month-old lambs: studies on the developmental capability of prepubertal oocytes. Biol Reprod. 61:1568-1574

Puri G, Chaudhary SS, Singh VK, Sharma AK. 2015. Effects of fetal bovine serum and estrus buffalo serum on maturation of buffalo (Bubalus bubalis) oocytes in vitro. Vet World. 8:143-146.

(34)

20

Rizos D, Lonergan P, Ward F, Wade M, Boland MP. 2001. Implications of culturing bovine zygotes in vivo or in vitro for blastocyst development and quality. Reproduction.27:38-39.

Saeki K, Hoshi M, Leibfried-Rutledge ML, First NL. 1991. In vitro fertilization and development of bovine oocytes matured in serum-free medium. Biol Reprod. 44(2):256-60.

Shah G. 1999. Why do we still use serum in the production of biopharmaceuticals. Dev. Biol. Stand. 99:17-22.

Shirazi A, Soleimani M, Karimi M, Nazari H, Ahmadi E, Heidari B. 2010. Vitrification of in vitro produced ovine embryos at various developmental stages using two methods. Cryobiology. 60:204-10.

Shirazi A, Ardali MA, Ahmadi E, Nazari H, Mamuee M, Heidari B. 2012. The effect of macromolecule source and type of media during in vitro maturation of sheep oocytes on subsequent embryo development. J Reprod Infertil. 13:13-19.

Schneider M, Marison IW, Vonstockar U. 1996. The importance of ammonia in mammalian cell culture. Jour of Biotech. 46:161–185.

Schroeder AC, Schultz RM, Kopf GS,Taylor FR, Becker RB, Eppig JJ. 1990. Fetuin inhibits zona pellusida hardening and conversion of ZP2 to ZP2f during spontaneous mouse oocyte maturation in vitro in the absence of serum. Biol Reprod. 43:891-897.

Sturmey RG, Leese HJ. 2008. Role of glucose and fatty acid metabolism in porcine early embryo development. Reprod Fertil Dev. 20:149-152.

Tatemoto H, Horiuchi T.1995. Requirement for protein synthesis during the onset of meiosis in bovine oocytes and its involvement in the autocatalytic amplification of maturation-promoting factor. Mol Reprod Dev. 41:47-53. Tatemoto H, Terada T. 1995. Time dependent effects of cycloheximide and alpha

amanitin on meiotic resumption and progression in bovine follicular oocytes. Theriogenology. 43:1107-1113.

Taub M. 1990. The use of defined media in cell and tissue culture. Toxicology in Vitro. 4:213–225.

Tienthai P, Johannisson A,Rodriguez MH. 2004. Sperm capacitation in the porcine oviduct. Anim Reprod Sci. 80:131-146.

Thompson JG, GardnerDK, PughPA, McMillanWH, TervitHR. 1995. Lamb birth weight is affected by culture system utilized during in vitro pre-elongation development of ovine embryos. Biol Reprod. 53:1385-1391.

(35)

21 Yanagimachi R. 1994. Mammalian fertilization. In: The Physiology of Reproduction (Ed. E. Knobil and J. D. Neill). Eds New York: Raven Press. 189-131.

Young L, Sinclair, K, Wilmut I.1998. Large offspring syndrome in cattle and sheep. ReprodDev. 3:155-163.

(36)
(37)

23

(38)

24

Lampiran 1 Komposisi media transportasi ovarium

Komponen Jumlah

Sodium chloride (Sigma Aldrich, USA) 9.0 g

Milli Q water 1000 mL

Penicilin-streptomycin (100IU/mL) 1000 μL

Lampiran 2 Komposisi media koleksi

Komponen Jumlah

PBS 100 mL

Penicilin-streptomycin (100 IU/mL) 1000 μL Fetal Bovine Serum 10% (v/v) mL

Stok PBS : 9.6 g (Dulbecco’s Nissui, Japan) / 1000 mL milli - Q water Stok penicillin-streptomycin

Dosis penicillin: 0.06 g/L = 100.000 IU/L Dosis streptomycin :0.1 g/mL

Untuk membuat stok Penicillin 0.0006 g (Sigma-Aldrich. Inc, P-4687) dan streptomycin (Sigma-Aldrich. Inc, S-9137) 0.001 g dilarutkan dalam 10 mL milli-Q water.

Fetal Bovine Serum 10% (v/v) mL (untuk stok 50 mL PBS, 5 mL FBS yang digunakan)

Lampiran 3 Komposisi media dasar TCM-199 untuk maturasi oosit

Komponen Jumlah

Larutan TCM-199 5 mL

PMSG 50 μL

hCG 50 μL

Gentamycin 5 μL

Stok PMSG

Untuk membuat stok, maka 1000 IU PMSG dilarutkan dalam 1 mL TCM 199 Stok hCG

(39)

25 Lampiran 4 Komposisi media fertilisasi in vitro

Komponen mM mg/100 mL

NaCl 90 525.96

KCl 12 89.46

NaHCO3 25 210.03

NaH2PO4 anhydrous 0.5 6.00

MgSO4 7H2O 0.5 12.33

Sodium lactat 10 112.10

60% syrup 0.19 mL

Hepes 10 238.30

CaCl2 2H20 8 117.60

Sodium piruvat 2 22.00

Caffeine anhydrous 2 38.44

BSA (Fatty acid free) 5 mg/mL 500.00

(40)

26

RIWAYAT HIDUP

Referensi

Dokumen terkait

Sungai di Indonesia selama ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya sebagai sumber air domestik, industri, pertanian, maupun tempat pemhuangan limbah,

Berdasarkan Konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang Bandung, ada 10 prinsip pembinaan dan bimbingan bagi narapidana (dalam Harsono, 1995), yaitu: Orang yang tersesat

7 Selain melihat beberapa teori yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, peneliti juga membangun asumsi bahwa Modeling dapat berpengaruh terhadap sopan santun siswa Sekolah Alam

Berdasarkan hasil penelitian bahwa nilai tambah pada “Pipiltin Cocoa” memberikan nilai tambah yang cukup besar maka sangat disarankan kepada pemerintah dan stakeholder terkait

Data yang diperlukan dalam sistem persediaan adalah pemasok, bahan baku, bahan baku di gudang, bagian pembelian, nota pembelian yang didapat dari proses pembelian bahan baku,

data adalah informasi yang berupa angka tentang karakteristik (ciri-ciri khusus) suatu populasi. Sistem Statistik Nasional adalah suatu tatanan yang terdiri dari

Pada awal pembelajaran guru mengenalkan konteks angkot kepada siswa, guru juga menanyakan kepada siswa “Siapa diantara kalian yang pernah naik angkot?” tujuan

Tabel 5.4.10B Tingkat Kepuasaan Responden Terhadap Kemampuan Pihak Bengkel Cepat Tanggap Terhadap Keluhan Yang Disampaikan