• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit C3H Pasca Pemberian Capsaicin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit C3H Pasca Pemberian Capsaicin"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN TOKSIKOPATOLOGI ORGAN HATI DAN GINJAL

MENCIT C3H PASCA PEMBERIAN CAPSAICIN

FITRIAH IDRIS

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit C3H Pasca Pemberian Capsaicin adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

Fitriah Idris

(4)

ABSTRAK

FITRIAH IDRIS. Gambaran Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit C3H Pasca Pemberian Capsaicin. Dibimbing oleh MAWAR SUBANGKIT dan ANDRIYANTO.

Capsaicin adalah senyawa utama yang ditemukan dalam cabai genus

Capsicum. Capsaicin secara in vitro terbukti bersifat antiproliferatif terhadap sel kanker pada lambung, usus besar, hati, prostat, dan leukosit. Organ hati dan ginjal merupakan organ sasaran utama dari efek toksik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian capsaicin terhadap gambaran toksikopatologi organ hati dan ginjal mencit C3H. Sebanyak 12 ekor mencit galur C3H dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 sebagai kontrol negatif tidak diberi capsaicin. Kelompok 2 diberi capsaicin selama dua minggu. Kelompok 3 diberi capsaicin selama empat minggu. Pemberian capsaicin dilakukan dengan rute peroral dengan dosis 10 mg/kgBB. Pengamatan gejala klinis dilakukan sepanjang periode perlakuan. Setelah itu, mencit dieutanasi dan diambil organnya untuk diamati dan dibuat sediaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) dan imunohistokimia (IHK) menggunakan antibodi TNF-α. Hasil pengamatan patologi anatomi dan histopatologi menunjukkan bahwa mencit yang diberikan capsaicin selama 2 minggu menunjukkan kerusakan sedang pada hati dan ginjal sedangkan mencit yang diberikan capsaicin selama 4 minggu mengalami kerusakan berat pada hati dan ginjal. Hal ini menunjukkan tingkat keamanan capsaicin yang rendah terhadap organ hati dan ginjal.

(5)

ABSTRACT

FITRIAH IDRIS. Toxicopathology of liver and kidney of C3H Mice Post- Capsaicin Administration. Supervised by MAWAR SUBANGKIT and ANDRIYANTO.

Capsaicin is the mayor compound founds in chilli peppers of the Capsicum

genus. Capsaicin has been shown to have antiproliferative activity to intestine, liver, prostate, and leucocytes cancer cells in vitro. The liver and kidney are the main target of toxic effect. The research was conducted to know the effect of capsaicin to liver and kidney toxicopathology of C3H mice. Twelve mice strain C3H were divided into 3 groups. Groups 1 as a negative control were not administered capsaicin. Groups 2 were administered capsaicin for 2 weeks. Groups 3 were administered capsaicin for 4 weeks. The capsaicin was administered perorally with 10 mg/kgBW dose. Clinical observations made throughout the treatment period. Then, the mice euthanized and their organs were observed and preparated for histopathology stained hematoxylin-eosin (HE) and immunohistochemistry (CPI) using TNF-α antibody. The gross anatomy and histopathology showed that the mice treated capsaicin for 2 weeks showed average damage to the liver and kidney, while mice treated capsaicin for 4 weeks suffered severe damage to the liver and kidney. This shows the lack of security levels of capsaicin to the liver and kidneys.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

GAMBARAN TOKSIKOPATOLOGI ORGAN HATI DAN GINJAL

MENCIT C3H PASCA PEMBERIAN CAPSAICIN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 sampai Juli 2014 ini ialah Gambaran Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit C3H Pasca Pemberian Capsaicin.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drh Mawar Subangkit, MSi APVet dan Bapak Drh Andriyanto, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak pengarahan kepada penulis. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Ibu Dr Drh Anita Esfandiari, MSi selaku pembimbing akademik yang telah memberi bimbingan kepada penulis. Ungkapan terima kasih kepada Bapak Endang, Bapak Kasnadi dan Bapak Sholeh serta seluruh staf Bagian Patologi yang telah memberikan banyak bantuan selama penulis melakukan penelitian. Penulis juga berterima kasih kepada Metrizal Abdi Taufik selaku teman seperjuangan penulis selama penelitian. Terima pula penulis sampaikan kepada Bapak M Idris Nur, Ibu Nur Alam, Muhammad Juwaini, Pahimah, dan Muhammad Fuad yang telah melimpahkan kasih sayang dan bantuan materiil maupun moril kepada menulis. Terima kasih kepada Keluarga Besar Maddeppungeng, Keluarga Cendana 53, Keluarga Ikami SulSelBar, Acromion 47, Andalas 12, serta seluruh pihak yang telah memberikan banyak bantuan dan dukungan kepada penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Capsaicin 2

Organ Hati 2

Organ Ginjal 3

METODOLOGI 3

Waktu dan Tempat 3

Hewan Percobaan 3

Alat dan Bahan 3

Metode Penelitian 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Gejala Klinis 6

Patologi Anatomi Organ Hati dan Ginjal 6

Histopatologi Organ Hati dan Ginjal 7

Pengamatan Pewarnaan Imunohistokimia 11

SIMPULAN 11

DAFTAR PUSTAKA 12

(12)

DAFTAR TABEL

1 Gambaran gejala klinis kelompok kontrol (K1), capsaicin 2 minggu

(K2), dan capsaicin 4 minggu (K3) 6

2 Lesio patologi anatomi pada organ hati dan ginjal mencit C3H kelompok kontrol (K1), capsaicin 2 minggu (K2), capsaicin 4 minggu

(K3) 6

3 Hasil rataan skoring pengamatan organ hati dan ginjal mencit C3H pada kelompok kontrol (K1), pemberian capsaicin 2 minggu (K2),

pemberian capsaicin 4 minggu (K3) 8

4 Hasil pengamatan IHK organ hati dan ginjal mencit C3H pada kelompok kontrol (K1), pemberian capsaicin 2 minggu (K2),

pemberian capsaicin 4 minggu (K3) 8

DAFTAR GAMBAR

1 Gambaran patologi anatomi organ hati mencit (K1) tanpa capsaicin, (K2) capsaicin 2 minggu, (K3) capsaicin 4 minggu. Organ hati pada K3 mengalami hemoragi ditandai dengan permukaan berwarna hitam

dan belang (tanda panah) 7

2 Gambaran patologi anatomi organ ginjal mencit (K1) tanpa capsaicin, (K2) capsaicin 2 minggu, (K3) capsaicin 4 minggu. Organ ginjal pada K3 mengalami kongesti ditandai dengan warna kehitaman yang

menyebar merata pada korteks dan medula 7

3 Lesio histopatologi (A) organ hati K3 (pemberian capsaicin 4 minggu). Adanya lesio kongesti (panah hitam), degenerasi lemak (panah hijau), sel radang (kepala panah), nekrosa (asterik), dan anisositosis (panah merah) (B) organ ginjal K3 (pemberian capsaicin 4 minggu). Terlihat lesio kongesti (panah) dan nekrosa (asterik).

Pewarnaan HE perbesaran 400x 10

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Capsaicin adalah senyawa utama yang ditemukan dalam tanaman cabai (Bode dan Dong 2011). Capsaicin dikonsumsi oleh hampir seluruh masyarakat di dunia. Rasa pedas yang ditimbulkan oleh capsaicin pada cabai dimanfaatkan sebagai penyedap makanan karena dapat menimbulkan nafsu makan.

Capsaicin berperan membantu pasien dengan beberapa kondisi seperti tukak lambung. Zat ini juga berperan sebagai obat gangguan pencernaan. Selain itu, capsaicin dapat meningkatkan sekresi saliva dan asam lambung serta meningkatkan aktivitas saluran pencernaan. Studi terakhir menemukan bahwa capsaicin berpotensi sebagai antikanker (Kautsar 2009). Capsaicin secara in vitro

terbukti memiliki efek antiproliferatif terhadap kanker prostat (Mori et al. 2006; Sa'nchez et al. 2006), kanker usus besar (Kim et al. 2004), kanker lambung (Lo et al. 2005), kanker hati (Jung et al. 2001) dan kanker leukemia (Ito et al. 2004) tanpa menimbulkan efek samping signifikan pada sel-sel normal. Anandakumar et al. (2009) telah membuktikan capsaicin yang diberikan peroral dengan dosis 10 mg/kgBB bersifat kemporeventif terhadap tumor paru-paru.

Hati dan ginjal merupakan organ penting dalam tubuh yang berfungsi sebagai organ detoksifikasi. Ginjal merupakan organ ekskresi utama yang berperan untuk mengeluarkan toksikan. Oleh karena itu, hati dan ginjal menjadi organ sasaran utama dari efek toksik. Berdasarkan hal tersebut, penelitian mengenai efek samping capsaicin terhadap organ hati dan ginjal menjadi penting untuk dilakukan.

Penelitian ini menggunakan mencit C3H sebagai hewan coba. Menurut Jaxmice (2014), mencit C3H digunakan sebagai strain dengan tujuan umum dalam berbagai bidang penelitian termasuk penelitian kanker, penyakit menular, sensorineural, dan biologi kardiovaskular. Sebuah mutasi spontan terjadi pada mencit C3H membuat mencit ini lebih tahan terhadap endotoksin.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran toksikopatologi organ hati dan ginjal mencit C3H pasca pemberian capsaicin dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) dan imunohistokimia (IHK).

Manfaat Penelitian

(14)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Capsaicin

Capsaicin (8-methyl-N-vanillyl1trans-6-nonenamide) termasuk dalam capsaicinoid (Sanatombik 2008). Capsaicinoid berasal dari tanaman famili Solanaceae dan diproduksi sebagai metabolit sekunder oleh cabai. Capsaicin merupakan komponen aktif cabai yang menghasilkan panas yang bersifat iritan terhadap mamalia termasuk manusia dan menimbulkan rasa terbakar dan panas pada jaringan manapun yang tersentuh.

Capsaicin murni bersifat hidrofobik, tidak berwarna, tidak berbau, dan bentuk kristal bahan digunakan sebagai bahan campuran lilin. Capsaicin disintesis pada septa interlokular buah cabai dengan penambahan cabang rantai asam lemak ke vanillyalamine. Biosintesis capsaicin tergantung pada gen AT3 (Stewart et al. 2005). Capsaicin termasuk senyawa Fenilpropanoid dengan rumus molekul C18H27NO3 yang memiliki berat molekul 305.41 g/mol dengan titik lebur 62-65°C

dan titik didih 210-220°C (Chhabra et al. 2012).

Capsaicin memiliki aktifitas biologis yang tinggi diantaranya sebagai antioksidan, iron-binding, dan efek hypolipidemic (Dairam et al. 2008; Manjunatha dan Srinivasan 2007; Srinivasan et al. 2004). Capsaicin dapat meredakan rasa nyeri dan peradangan (Sancho et al. 2002).

Kemampuan capsaicin menghambat pertumbuhan sel-sel kanker terletak pada kemampuannya menginduksi terjadinya apoptosis, penangkapan pertumbuhan siklus sel, regulasi faktor ekspresi transkripsi, dan penghambatan terhadap growth signal transduction pathways (Lin et al. 2013).

Organ Hati

Hati adalah organ terbesar kedua dalam tubuh manusia setelah kulit. Hati berbentuk segitiga yang memanjang melintasi rongga perut di kaudal diafragma. Sebagian besar massa hati terletak di sisi kanan tubuh. Hati terdiri dari jaringan merah muda kecokelatan yang sangat lunak yang dibalut oleh kapsul jaringan ikat yang diperkuat oleh peritoneum yang melindungi dan memfiksasi hati di dalam rongga perut. Organ hati berperan dalam banyak proses tubuh, diantaranya proses digesti, metabolisme, detoksifikasi, imunitas, dan penyimpanan nutrisi (Taylor 2014).

(15)

3 Organ Ginjal

Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks dan berkembang untuk beberapa fungsi, diantaranya ekskresi produk sisa metabolisme, pengendalian air dan garam, pemeliharaan keseimbangan asam dan basa, serta sekresi berbagai hormon dan autokoid (Cotran et al. 2007). Ginjal menjadi salah satu organ sasaran utama dari efek toksik karena merupakan organ ekskresi utama yang berperan untuk mengeluarkan toksikan.

Ginjal terdiri dari struktur internal berupa hilus, sinus, pelvis, parenkim, dan lobus. Unit fungsional ginjal yaitu nefron yang terdiri dari glomerulus, tubulus kontortus proksimal, ansa henle, tubulus kontortus distal, tubulus kolektivus, dan duktus kolektivus (Slonane 2004).

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada Maret 2013 sampai Juli 2014 di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Hewan Percobaan

Mencit dengan galur C3H berjenis kelamin betina, sebanyak 12 ekor dengan berat badan rata-rata 20 g dipelihara dalam kotak plastik berukuran 20 x 30 cm, dalam ruangan dengan suhu berkisar antara 25-27°C, kelembapan relatif antara 58-63%, dan pengondisian cahaya 12 jam terang dan 12 jam gelap. Mencit diberi pakan pelet dan minum ad libitum. Mencit dibagi dalam 3 kelompok sama rata sebagai berikut:

1. Kelompok 1 (K1), variabel kontrol negatif, tidak diberi capsaicin.

2. Kelompok 2 (K2), variabel kelompok perlakuan, diberi capsaicin selama dua minggu dengan dosis 10 mg/kgBB.

3. Kelompok 3 (K3), variabel kelompok perlakuan, diberi capsaicin selama empat minggu dengan dosis 10 mg/kgBB.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan adalah kandang, syringe, timbangan, sonde lambung, peralatan bedah minor, peralatan pembuatan sediaan histopatologi, dan mikroskop cahaya. Bahan yang digunakan adalah pakan mencit crude protein

(16)

4

absolut (Merck®), xylene, parafin, akuades, pewarna Mayer’s hematoksilin dan eosin, Permount®, poly-L-lysine, phosphate buffered saline (PBS), asam sitrat, antibodi primer anti TNF-α (Santa Cruz Biotechnology®), dan fetal bovine serum

1% (FBS 1%). Pewarnaan IHK menggunakan kit produksi Dako LSAB HRP K0679® yang berisi H2O2 0.3%, biotin, streptavidin, dan diaminobenzidin (DAB).

Metode Penelitian Aklimatisasi Mencit

Mencit diaklimatisasi selama 7 hari untuk menyamakan status kesehatan, adaptasi kandang, dan pemberian pakan. Selama masa aklimatisasi, tiap mencit diberi anthelmentik (albendazole 25 mg/kgBB), antibiotik (amoxicillin 25 mg/kgBB), dan antiprotozoa (metronidazole 25 mg/kgBB), yang dilarutkan dalam air minum mencit.

Persiapan dan Pemberian Capsaicin

Sebanyak 250 mg serbuk capsaicin murni dicampur dengan 1.25 mL etanol 100%. Setelah campuran homogen, ditambahkan 1.25 mL Tween 80 dan 22.5 mL saline 0.9% (Ohara Lab® 2013). Larutan stok kemudian diencerkan dengan aquades hingga mencapai 0.1%. Pemberian capsaicin dilakukan dengan pencekokan dengan dosis 10 mg/kgBB selama dua minggu (K2) dan empat minggu (K3) dengan interval pemberian dua hari sekali.

Pengamatan Gejala Klinis

Selama perlakuan, diamati gejala klinis dengan parameter berupa temperatur tubuh, nafsu makan, diare, tampilan klinis, dan bobot badan.

Pengambilan Organ Hati dan Ginjal

Pada akhir perlakuan, semua kelompok mencit dieuthanasia menggunakan ketamin HCl dengan dosis 15 mg/kgBB dengan rute intraperitoneal. Setelah tertidur, dilakukan laparotomi medianus untuk mengambil organ hati dan ginjal. Organ tersebut diamati keadaan patologi dan anatominya, kemudian difiksasi dalam larutan BNF 10% selama ± 48 jam.

Pembuatan Sediaan Histopatologi

Organ hati dan ginjal dipotong dengan ketebalan kurang lebih 3 mm, dimasukkan ke dalam tissue casette, kemudian dimasukkan ke dalam automatic tissue processor untuk proses dehidrasi, clearing, dan infiltrasi. Proses dehidrasi dimulai dengan merendam organ secara berturut-turut ke dalam etanol 70%, 80%, 90%, 96%, etanol absolut I, etanol absolut II, dan etanol absolut III. Proses

clearing dilakukan dengan merendam organ pada larutan xylene I dan xylene II, dan proses infiltrasi dilakukan dengan merendam organ pada parafin I dan parafin II yang bersuhu 58°C, dengan waktu masing-masing selama 2 jam.

(17)

5 di atas air pada waterbath bersuhu 45°C untuk menghilangkan lipatan-lipatan. Sediaan kemudian diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah diulas larutan albumin kemudian dikeringkan semalam dalam inkubator bersuhu 60°C.

Proses Deparafinisasi dan Rehidrasi

Sediaan direndam dalam xylene dua kali selama 2 menit, kemudian direhidrasi menggunakan etanol bertingkat (absolut III, absolut II, absolut I, 96%, 80%) masing-masing 2 menit. Kemudian dicuci dengan air mengalir selama 1 menit dan dikeringkan.

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)

Sediaan direndam dalam pewarna Mayer’s hematoksilin 8 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan Lithium Karbonat 15 sampai 30 detik, dan dibilas dengan air mengalir kembali. Selanjutnya sediaan dicelup ke dalam pewarna eosin 2 menit, dibilas dengan air selama 30 sampai 60 detik, dicelup ke dalam etanol 90% sebanyak 10 kali, etanol absolut I 10 kali, etanol absolut II selama 2 menit, xylene I selama 1 menit, dan xylene II selama 2 menit. Kemudian dikeringkan, diteteskan Permount® dan ditutup dengan gelas penutup.

Pembuatan Sediaan Imunohistokimia (IHK)

Sebelum digunakan, dilakukan proses coating slide menggunakan poly-L-lysine. Sediaan kemudian direndam dalam larutan PBS sitrat dan dimasukkan ke dalam microwave selama 5 menit. Selanjutnya sediaan didinginkan mencapai 25°C. Kemudian dilakukan proses rinsing (pencucian sediaan dengan larutan PBS I, II, dan III masing-masing selama 5 menit). Proses selanjutnya adalah blocking endogenous peroxidase dengan meneteskan H2O2 0.3% pada sediaan dan dibiarkan selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan rinsing, blocking normal serum

menggunakan FBS 1% selama 30 menit, rinsing, penetesan antibodi primer pada sediaan dan diinkubasi selama satu malam pada suhu 4°C.

Keesokan harinya, dilakukan rinsing, kemudian diinkubasi dengan antibodi sekunder yang telah dilabel dengan biotin selama 30 menit, dan dilakukan rinsing. Selanjutnya inkubasi streptavidin selama 30 menit yang diikuti dengan rinsing, kemudian sediaan diberi DAB selama 15 detik. Selanjutnya dilakukan

counterstain dengan pewarnaan Mayer’s hematoksilin sebanyak 5 kali celupan, dehidrasi (etanol 70%, 80%, 90%, 96%, absolut I, absolut II, dan absolut III),

clearing (xylene I, II, dan III) masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya sediaan ditetesi Permount® dan diamati dengan mikroskop cahaya. Hasil dinyatakan positif jika ditemukan warna cokelat tua pada jaringan.

Pengamatan dan Analisis Data

(18)

6

Peubah yang diamati pada pewarnaan IHK adalah reaksi positif terhadap antibodi primer TNF-α, yang ditunjukkan oleh warna cokelat tua pada sitoplasma sel. Hasil positif pewarnaan IHK menunjukkan kecenderungan sediaan menjadi nekrosa jaringan. Hasil dinyatakan negatif apabila sediaan tidak terwarnai cokelat. Hasil positif TNF-α dibagi menjadi positif ringan, sedang, dan berat. Positif ringan apabila warna cokelat berbentuk fokus, positif sedang apabila warna cokelat multifokus, dan positif berat apabila warna cokelat difusa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Klinis

Pemberian capsaicin tidak menimbulkan kelainan klinis pada kelompok kontrol maupun perlakuan. Kelainanan klinis berupa diare, penurunan bobot badan, penurunan nafsu makan, penurunan aktivitas, serta kenaikan temperatur tidak ditunjukkan oleh setiap kelompok. Hasil pengamatan gejala klinis disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Gambaran gejala klinis kelompok kontrol (K1), capsaicin 2 minggu (K2), dan capsaicin 4 minggu (K3)

Patologi Anatomi Organ Hati dan Ginjal

Lesio yang diamati pada organ hati dan ginjal adalah lesio akibat perlakuan pemberian capsaicin diantaranya kongesti dan hemoragi. Hasil pengamatan patologi anatomi (PA) hati dan ginjal disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Lesio patologi anatomi pada organ hati dan ginjal mencit C3H kelompok kontrol (K1), capsaicin 2 minggu (K2), capsaicin 4 minggu (K3)

(19)

7 Organ hati kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) menunjukkan terjadinya hemoragi yang ditunjukkan dengan warna kehitaman dan belang. Pada kelompok kontrol (K1) dan kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2) tidak teramati lesio kongesti maupun hemoragi. Hemoragi pada kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) menunjukkan pemberian capsaicin selama empat minggu kurang aman bagi organ hati.

Lesio kongesti maupun hemoragi tidak teramati pada ginjal kelompok kontrol (K1) dan kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2). Organ ginjal kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) mengalami kongesti, ditandai dengan warna kehitaman yang menyebar secara merata pada korteks dan medula. Hal tersebut menunjukkan rendahnya tingkat keamanan capsaicin terhadap organ ginjal pada pemberian empat minggu. Foto makrografi organ hati dan ginjal disajikan pada Gambar 1 dan 2.

K1 K2 K3

Gambar 1 Gambaran patologi anatomi organ hati mencit (K1) tanpa capsaicin, (K2) capsaicin 2 minggu, (K3) capsaicin 4 minggu. Organ hati pada K3 mengalami hemoragi ditandai dengan permukaan berwarna hitam dan belang (tanda panah)

K1 K2

K3

Gambar 2 Gambaran patologi anatomi organ ginjal mencit (K1) tanpa capsaicin, (K2) capsaicin 2 minggu, (K3) capsaicin 4 minggu. Organ ginjal pada K3 mengalami kongesti ditandai dengan warna kehitaman yang menyebar merata pada korteks dan medula

Histopatologi Organ Hati dan Ginjal

(20)

8

Pada penelitian ini, lesio histopatologi yang diamati adalah kongesti, degenerasi, keberadaan sel radang, dan nekrosa.

Pewarnaan penunjang yang dilakukan adalah pewarnaan immunohistokimia (IHK) yang bertujuan mendeteksi keberadaan antigen sitokin TNF-α pada sitoplasma sel hati maupun ginjal. Hasil rataan skoring dan pengamatan IHK organ hati dan ginjal disajikan pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3 Hasil rataan skoring pengamatan organ hati dan ginjal mencit C3H pada kelompok kontrol (K1), pemberian capsaicin 2 minggu (K2), pemberian capsaicin 4 minggu (K3) radang; rataan skor 2.5<x= berat, terjadi nekrosa

Tabel 4 Hasil pengamatan IHK organ hati dan ginjal mencit C3H pada kelompok kontrol (K1), pemberian capsaicin 2 minggu (K2), pemberian capsaicin 4 minggu (K3)

No Organ Kelompok

K1 K2 K3

1 Hati Negatif (0/4) Positif ringan (2/4)

Positif sedang (1/4) Positif sedang (4/4)

2 Ginjal Positif ringan (1/4) Positif ringan (3/4) Positif sedang (1/4)

Positif ringan (1/4) Positif sedang (3/4)

Organ hati kelompok kontrol (K1) mengalami kerusakan sedang yang ditunjukkan dengan lesio kongesti, degenerasi hidropis, dan nekrosa ringan. Pada kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2), lesio yang teramati adalah kongesti ringan sampai sedang, degenerasi hidropis ringan, degenerasi lemak ringan, sel radang, dan nekrosa ringan. Organ hati pada kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) mengalami kerusakan berat dengan lesio kongesti ringan, degenerasi hidropis sedang, degenerasi lemak ringan, proliferasi sel radang, dan nekrosa ringan.

Lesio kongesti ringan teramati pada semua kelompok perlakuan. Kongesti merupakan suatu keadaan ketika darah berakumulasi atau tertimbun di dalam pembuluh darah yang melebar. Lesio kongesti terbagi menjadi dua yaitu kongesti aktif dan kongesti pasif. Kongesti dapat disebabkan oleh vasodilatasi. Menurut Richardson dan Vasko (2002), capsaicin mampu menyebabkan vasodilatasi melalui aktivitas transient receptor potential vanilloid I (TRPV I).

(21)

9 Cheville (2006), degenerasi hidropis merupakan respon awal terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik dan merupakan kerusakan sel karena adanya toksin yang masuk melalui membran sel sehingga mengakibatkan menurunnya produksi ATP dan terganggunya pengaturan ion sodium-potasium.

Hati sering menjadi organ sasaran sebagian besar toksikan yang masuk ke tubuh melalui sistem gastrointestinal terkait fungsinya sebagai organ detoksikasi. Menurut Chada et al. (2008), pada organ hati terdapat mikrosom dan fraksi S9 yang memiliki kemampuan mendetoksifikasi capsaicin murni menjadi metabolitnya. Perlu ditekankan pula bahwa yang berbahaya bukanlah capsaicin, namun zat metabolitnya.

Degenerasi lemak teramati pada kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2) dan kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3). Degenerasi lemak merupakan akumulasi lemak atau trigliserida dalam sitoplasma hepatosit. Kehadiran lemak pada hepatosit tidak selalu mengindikasikan perubahan patologis. Menurut Suhita et al. (2013), etiologi dari degenerasi lemak adalah toksin, malnutrisi protein, diabetes melitus, obesitas dan anoksia.

Keberadaan sel radang limfosit, sel plasma, dan neutrofil teramati pada kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2) dan kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3). Sel radang secara normal dapat ditemukan di area vena hati karena merupakan folikel limfoid sebagai pertahanan di daerah portal hati. Namun dalam jumlah tertentu, banyaknya sel radang akan memberikan efek negatif terhadap fungsi hati. Menurut Vegad dan Swamy (2010), adanya nekrosa dan apoptosis sel hepatosit, serta hadirnya sel-sel radang seperti neutrofil, limfosit, dan sel plasma yang mengindikasikan terjadinya hepatitis akut.

Nekrosa ringan teramati pada seluruh mencit kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) dan sebagian mencit kelompok kontrol (K1) dan pemberian capsaicin 2 minggu (K2). Nekrosa atau kematian sel merupakan lanjutan dari degenerasi, dapat pula terjadi akibat lanjutan dari kongesti. Kongesti yang bertambah parah mengakibatkan penumpukan deoksihemoglobin. Statis darah yang tidak mengandung oksigen dalam waktu lama mengakibatkan hipoksia berat yang menyebabkan kematian sel (Mitchell 2006).

Pengamatan organ hati menghasilkan tingkat keparahan, dengan tingkat keparahan tertinggi pada kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) yang diikuti oleh kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2). Tingkat keparahan ini sebanding dengan waktu pemberian capsaicin, sehingga dapat disimpulkan lama pemberian capsaicin berbanding lurus dengan tingkat keparahan organ hati. Selain itu, pemberian capsaicin selama empat minggu tidak aman untuk organ hati pasca pemberian. Kelompok kontrol menunjukkan keparahan sedang akibat pengamatan lesio dengan derajat yang berbeda dari masing-masing preparat diberi skor yang sama. Gambaran lesio histopatologi organ hati ditunjukkan pada Gambar 3A.

(22)

10

ringan. Kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) menunjukkan adanya kongesti sedang, infiltrasi sel radang sedang dan nekrosa ringan.

Lesio kongesti teramati pada semua kelompok perlakuan. Kongesti merupakan pembendungan pada kapiler darah karena lambatnya aliran darah. Kongesti dapat disebabkan oleh adanya agen infeksius atau kelemahan jantung kanan. Menurut Reilly et al. (2003), inhalasi capsaicinoid dapat menyebabkan kongesti ringan dan sedang pada bronkus dan alveolus paru.

Peradangan ringan ditunjukkan oleh semua kelompok perlakuan. Peradangan pada ginjal akibat capsaicin sangat berkaitan dengan keterlibatan saluran TRPV 1 di neuron akar dorsal yang menginervasi ginjal. Menurut Richardson dan Vasko (2002), vaniloid termasuk capsaicin yang berikatan dengan reseptor TRPV I mengakibatkan melepaskan berbagai neuropeptida proinflamasi dari ujung saraf sensitif yang menyebabkan peradangan.

Nekrosa ringan terjadi pada sebagian kecil ginjal dari setiap kelompok perlakuan. Nekrosa adalah tingkat kerusakan tubulus yang lebih tinggi setelah terganggunya permeabilitas membran dengan adanya bengkak keruh kemudian diikuti oleh lisis (Marusin et al. 2001). Nekrosa teramati pada epitel tubulus proksimal karena tubulus bagian ini merupakan bagian yang paling mudah mengalami perlukaan akibat iskemia dan zat toksik. Pada tubulus proksimal terjadi proses absorbsi dan sekresi zat, sehingga kadar zat toksik lebih tinggi. Selain itu, sebagian besar sitokrom P450 memacu timbulnya nefrotoksisitas di ginjal berada di tubulus proksimal (Fang et al. 2008). Gambar 3B menujukkan lesio histopatologi pada organ ginjal.

Pengamatan pada kelompok yang diberi capsaicin selama 4 minggu (K2) menunjukkan tingkat keparahan yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (K1) maupun kelompok yang diberi capsaicin selama 2 minggu (K3). Secara keseluruhan, kelompok capsaicin 4 minggu (K3) paling parah dibandingkan kelompok capsaicin 2 minggu (K2) maupun kelompok kontrol (K1). Hal ini diakibatkan capsaicin yang bersifat nefrotoksik (Uzoh et al. 2009). Oleh karena itu, tingkat keamanan capsaicin terhadap organ ginjal rendah, sehingga perlu dilakukan pengamatan lanjutan dengan pewarnaan imunohistokimia.

Gambar 3 Lesio histopatologi (A) organ hati K3 (pemberian capsaicin 4 minggu). Adanya lesio kongesti (panah hitam), degenerasi lemak (panah hijau), sel radang (kepala panah), nekrosa (asterik), dan anisositosis (panah merah) (B) organ ginjal K3 (pemberian capsaicin 4 minggu). Terlihat lesio kongesti (panah) dan nekrosa (asterik). Pewarnaan HE perbesaran 400x

(23)

11 Pengamatan Pewarnaan Imunohistokimia

Organ hati menunjukkan hasil imunoreaktif positif pada seluruh mencit kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) dan 3 dari 4 mencit kelompok pemberian capsaicin 2 minggu (K2). Hasil ini berbanding lurus dengan pewarnaan HE pada kelompok pemberian capsaicin selama 2 dan 4 minggu (K2 dan K3) yang mengalami nekrosa. TNF-α merupakan sitokin inflamasi yang paling berperan pada proses inflamasi dan dipakai sebagai indikator untuk sel yang mengalami stres oksidatif, apoptosis atau nekrosis. Kadar TNF-α yang dikeluarkan oleh makrofag atau limfosit yang mengalami inflamasi akan meningkat (Heimdall et al. 2000).

Organ ginjal menunjukkan hasil imunoreaktif positif pada keempat mencit kelompok pemberian capsaicin 4 minggu (K3) dan 2 minggu (K2), dan 1 dari 4 mencit kelompok kontrol (K1). Hasil ini sesuai dengan hasil skor dengan tingkat kerusakan berat pada pewarnaan HE. Konsetrasi TNF-α yang tinggi menyebabkan kematian sel yang tinggi dan cepat (Schliemann et al. 2011) sedangkan dalam konsentrasi rendah TNF-α berperan dalam upaya regenerasi sel (Langen dan Schols 2007). Berdasarkan hal tersebut, terdapat kemungkinan regenerasi sel yang mengalami kerusakan ringan akibat pemberian capsaicin.

Timbulnya warna cokelat yang mengindikasikan hasil imunoreaktif positif (Gambar 4) disebabkan dalam proses pewarnaan imunohistokimia (IHK) antigen berupa sitokin TNF-α pada sitoplasma sel berikatan dengan antibodi primer (Rat Anti TNF-α) selanjutnya dilabeli oleh antibodi sekunder. Setelah semua berikatan dilakukan penambahan substrat Diaminobenzidine (DAB) yang bertujuan untuk menghasilkan warna cokelat pada sitokin (TNF-α) (Wulandari et al. 2013).

Gambar 4 Hasil pewarnaan IHK yang bersifat imunoreaktif positif (panah) terhadap antibodi anti TNF-α pada (A) hepatosit dan (B) sel tubulus proksimal ginjal. Pewarnaan IHK metode LSAB perbesaran 400x

SIMPULAN

(24)

12

DAFTAR PUSTAKA

Anandakumar P, Kamaraj S, Jagan S, Ramakrishnan G, Devaki T. 2009. Effect of capsaicin on glucose metabolism studied in experimental lung carcinogenesis. Nat Prod Res. 23(8):763-74.

Bode AM, Dong Z. 2011. The two faces of capsaicin. Cancer Res. 71(8):2809-2814.doi:10.1158/0008-5472.

Chada S, Bashir M, Babbar S, Koganti A, Bley K. 2008. In vitro hepatic and skin metabolism of capsaicin. Drug Metabo Dispos. 36(4):670-5.doi:10.1124/dmd.107.019240.

Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-3. Blackwell (US): Blackwell Publishing.

Chhabra N, Aseri ML, Goyal V, Sankhla S. 2012. Capsaicin : a promising therapy-a critical reapraisal. Int J of Nutr, Pharmac, Neur dis. 2(1):8-15. Dairam A, Fogel R, Daya S, and Limson JL . 2008. Antioxidant and iron-binding

properties of curcumin, capsaicin, and S-allylcysteine reduce oxidative stress in rat brain homogenate. Journal of Agricultural and Food Chemistry.

56(9):3350-3356.

Fang C, Behr M, Xie F, Lu S, Doret M, Luo H, Yang W, Aldous K, Ding X, Gu J. 2008. Mechanism of chloroform-induced renal toxicity: non-involvement of hepatic cytochrome P450-dependent metabolism. ToxicolAppl Pharmacol. 227(1):48-55.

Heimdall JH, Aarstad HJ, Olofsson J. 2000. Peripheral blood-lymphocyte and monocyte function and survival in patients with head and neck carcinoma.

Laryngoscope. 110(3):402-407.

Ito K, Nakazato T, Yamato K, Miyakawa Y, Yamada T, Hozumi N. 2004. Induction of apoptosis in leukemic cells by homovanillic acid derivative, capsaicin, through oxidative stress: implication of phosphorylation of p53 at Ser-15 residue by reactive oxygen species. Cancer Res. 64(3):1071-1078. [Jaxmice] The Jackson Laboratory. 2014. C3H/HeJ Mice [internet]. [diunduh

pada: 2014 Jul 10]. Tersedia pada: http://jaxmice.jax.org/strain/000659.html JAX 2014.

Jung MY, Kang HJ, Moon A. 2001. Capsaicin-induced apoptosis in SK-Hep-1 hepatocarcinoma cells involves Bcl-2 downregulation and capsase-3 activation. Cancer Lett. 165(2):139-145.

Kautsar A. 2009. Peran capsaicin pada proses penyembuhan ulkus lambung tikus yang diberi paparan piroksikam [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.

Kim CS, Park WH, Park JY, Kang JH, Kim MO, Kawada T. 2004. Capsaicin, a spicy component of hot pepper, induces apoptosis by activation of the peroxisome proliferator-activated receptor gamma in HT-29 human colon cancer cells. J Med Food. 7(3):267-273.

(25)

13 Lin CH, Lu WC, Wang CW, Chan YC, Chen MK. 2013. Capsaicin induces cell cycle arrest and apoptosis in human KB cancer cells. BMC Complementary and Alternative Medicine. 13:1472-6882.doi:10.1186/1472-6882-13-46. Lo YC, Yang YC, Wu IC, Kuo FC, Liu CM, Wang HW. 2005. Capsaicin-induced

cell death in a human gastric adenocarcinoma cell line. World J Gastroenterol. 11(40):6254-6257.

Lumongga F. 2008. Struktur Liver [internet]. [diunduh pada: 2014 Sep 28]. Tersedia pada: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2052/3/ 09E01467.pdf.txt.

Manjunatha H, Srinivasan K. 2007. Hypolipidemic and antioxidant effects of dietary curcumin and capsaicin in induced hypercholesterolemic rats. Lipids.

42(12):1133-1142.

[Merck]. 2004. H&E staining [internet]. [diunduh pada: 2014 Jul 22]. Tersedia pada: http://microscopy.merck.de.

Mitchell R. 2006. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Ed ke-7. New York (US): Elsevier inc.

Mori A, Lehmann S, O’Kelly J, Kumagai T, Desmond JC, Pervan M. 2006. Capsaicin, a component of red peppers, inhibits the growth of androgen independent, p53 mutant prostate cancer cells. Cancer Res. 66(6):3222– 3229.

[Ohara Lab]. 2013. Protocol ML003 000 capsaicin [internet]. [diunduh pada: 2014 Mar 13]. Tersedia pada: http://oharalab.ucsf.edu/common/Techniques/ capcaicin.pdf.

Reilly CA, Taylor JL, Lanza DL, Carr BA, Crouch DJ, Yost GS. 2003. Capsaicinoids Cause Inflammation and Epithelial Cell Death through Activation of Vanilloid Receptors. Toxicol Sci. 73(1):170-181.doi:10.1093/toxsci/kfg044.

Richardson JD1, Vasko MR. 2002. Cellular mechanisms of neurogenic inflammation. J Pharmacol Exp Ther. 302(3):839-845.

Sa'anchez AM, Sa´nchez MG, Malagarie-Cazenave S, Olea N, Di´az-Laviada I. 2006. Induction of apoptosis in prostate tumor PC-3 cells and inhibition of xenograft prostate tumor growth by the vanilloid capsaicin. Apoptosis. 11(1):89–99.

Sanatombik K, Sharma GJ. 2008. Capsaicin content and pungency of different Capsicum spp. cultivars. India (IN): Manipur University.

Schliemann M, Bullinger E, Borchers S, Allgower F, Findeisen R, Scheurich P. 2011. Heterogeneity Reduces Sensitivity of Cell Death for TNF-Stimuli.

BMC Syst Biol. 5(1):204.

Slonane E. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sancho R, Lucena C, Macho A, Calzado MA, Blanco-Molina M, Minassi A, Appendino G, Muñoz E. 2002. Immunosuppressive activity of capsaicinoids: capsiate derived from sweet peppers inhibits NF-kappaB activation and is a potent antiinflammatory compound in vivo. Eur J Immunol. 32:1753–1763.

(26)

14

Stewart C Jr1, Kang BC, Liu K, Mazourek M, Moore SL, Yoo EY, Kim BD. 2005. The Pun1 gene for pungency in pepper encodes a putative acyltransferase. Paran I, Jahn MM. Plant J. 42(5):675-88.

Suhita NLPR, Sudira IW, Winaya IBO. 2013. Histopatologi ginjal tikus putih akibat pemberian ekstrak pegagan (Centella asiatica) peroral [skripsi]. Denpasar (ID): Universitas Udayana.

Taylor T. 2014. Liver [internet]. [diunduh pada: 2014 Sep 28]. Tersedia pada: http://www.innerbody.com/image_digeov/card10-new2.html#fulldescription. Vegad JL, Swamy M. 2010. Veterinary Systemic Pathology. Ed ke-2. India (IN):

ibdc publishers.

Wulandari SH, Aulanni’am, Oktavianie DA. 2013. Ekspresi tumor necrosis factor (TNF-α) dan gambaran histopatologi ginjal pada tikus (Rattus norvegicus)

(27)

15

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1  Gambaran patologi anatomi organ hati mencit (K1) tanpa capsaicin,

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Table 9, 10 and 11 show that the compressive strength of the baggase ash-based geopolymer concrete, the metakaolin-based geopolymer concrete, and the baggase ash-metakaolin-based

Sumber : data olahan penulis 2019 Dari tabel V.10 diatas dijelaskan mengenai hasil Evaluasi Pelaksanaan Evaluasi Pelaksanaan Program Keluarga Berencana Pada Dinas Pengendalian

meningkatkan mutu pendidikan. Minat baca Siswa Dharma Pancasila Medan penting untuk ditekerjakan. Berdasarkan observasi awal yang di lakukan oleh peneliti diperpustakaan SMA.

Sama seperti pada paper yang ditulis oleh Uri Kartoun [2], fase Static Fuzzy Expert System Model akan mengolah input berupa citra yang dihasilkan pada fase sebelumnya, fase Image

Pertimbangan tertentu yang dilakukan dalam memilih dua kelas sebagai sampel dengan melihat hasil tes awal (pres tes) Akuntansi Biaya pada semester ganjil tahun pelajaran

Relatit besarnya nilai pengganda pendapatan tipe I dan tipe II dari sektor perikanan darat dibandingkan dengan sektor lain menunjukkan bahwa secara jangka panjang

(3) Pembelian tenaga listrik dari PLTSa oleh PT PLN (Persero). sebagaimana dimaksud pada ayat (1)