• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Nilai Adat dalam Modernisasi di Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Nilai Adat dalam Modernisasi di Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

MUHAMMAD MAHDI

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

NASDIAN

Modernisasi merupakan ciri dari perkembangan global pada saat ini, hampir di seluruh Negara berlomba untuk melakukan modernisasi yang diyakini dapat mendorong pembangunan sehingga terciptanya kesejahteraan dan mengurangi angka kemiskinan. Modernisasi sebagai suatu model pembangunan yang didukung dan didorong oleh pemerintah terkadang harus berbenturan dengan nilai-nilai adat yang telah dianut oleh masyarakat lokal. Karena itu menjadi penting untuk mengetahui peran nilai adat di dalam modernisasi guna mempercepat dan mengontrol prosesnya. Untuk mengetahui peran tersebut maka perlu diketahui bagaimana sikap masyarakat terhadap modernisasi dan bagaimana tingkat keterdedahan media di Kampung Ciptagelar. Metode yang digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif yang didukung dengan metode kuantitaif dengan pendekatan survei. Nilai adat terbukti mampu berakulturasi dengan proses modernisasi yang ada dikarenakan sifat dinamisme yang dimilikinya sehingga tidak hanya mampu berjalan beriringan dengan modernisasi, akan tetapi menjaga dan menuntun proses modernisasi yang ada. Oleh karena itu diharapkan kepada seluruh pihak terkait agar dapat memperhitungkan dan memanfaatkan nilai-nilai lokal yang dimiliki suatu masyarakat di dalam suatu program pembangunan.

Kata kunci: Modernisasi, Masyarakat, Nilai Adat, Pembangunan

ABSTRACT

MUHAMMAD MAHDI. The Role of Indegenious Value in Modernization at Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi by FREDIAN TONNY NASDIAN

Modernization is the hallmark of global development at the moment, almost all over the Country to compete to make the modernization which is believed to be pushing the construction so that the creation of prosperity and reduce poverty, modernization as a model of development that supported and impelled by the Government sometimes have to collide with the values of the custom which has been embraced by the local people. Because it becomes important to know the role of custom in the modernization in order to expedite and control the process. To find out the role, then I need to know how the attitude of society towards modernization and how the level of media exposure in Kampung Ciptagelar. An method that is used to answer this question is the qualitative method with a descriptive approach in nature which is to be supported with an quantitative method with a surveying approach.The value of customary proven able to berakulturasi with the process of modernization of existing because of the nature of dinamisme file so as not only capable of running in tandem with modernization but keeping and guide the process of modernization.Hence it is expected to all sides related to be able to reckon and take advantage of local values in have a society in a course of development.

(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Peranan Nilai Adat dalam Modernisasi di Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Muhammad Mahdi

(5)

NASDIAN

Modernisasi merupakan ciri dari perkembangan global pada saat ini, hampir di seluruh Negara berlomba untuk melakukan modernisasi yang diyakini dapat mendorong pembangunan sehingga terciptanya kesejahteraan dan mengurangi angka kemiskinan. Modernisasi sebagai suatu model pembangunan yang didukung dan didorong oleh pemerintah terkadang harus berbenturan dengan nilai-nilai adat yang telah dianut oleh masyarakat lokal. Karena itu menjadi penting untuk mengetahui peran nilai adat di dalam modernisasi guna mempercepat dan mengontrol prosesnya. Untuk mengetahui peran tersebut maka perlu diketahui bagaimana sikap masyarakat terhadap modernisasi dan bagaimana tingkat keterdedahan media di Kampung Ciptagelar. Metode yang digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif yang didukung dengan metode kuantitaif dengan pendekatan survei. Nilai adat terbukti mampu berakulturasi dengan proses modernisasi yang ada dikarenakan sifat dinamisme yang dimilikinya sehingga tidak hanya mampu berjalan beriringan dengan modernisasi, akan tetapi menjaga dan menuntun proses modernisasi yang ada. Oleh karena itu diharapkan kepada seluruh pihak terkait agar dapat memperhitungkan dan memanfaatkan nilai-nilai lokal yang dimiliki suatu masyarakat di dalam suatu program pembangunan.

Kata kunci: Modernisasi, Masyarakat, Nilai Adat, Pembangunan

ABSTRACT

MUHAMMAD MAHDI. The Role of Indegenious Value in Modernization at Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi by FREDIAN TONNY NASDIAN

Modernization is the hallmark of global development at the moment, almost all over the Country to compete to make the modernization which is believed to be pushing the construction so that the creation of prosperity and reduce poverty, modernization as a model of development that supported and impelled by the Government sometimes have to collide with the values of the custom which has been embraced by the local people. Because it becomes important to know the role of custom in the modernization in order to expedite and control the process. To find out the role, then I need to know how the attitude of society towards modernization and how the level of media exposure in Kampung Ciptagelar. An method that is used to answer this question is the qualitative method with a descriptive approach in nature which is to be supported with an quantitative method with a surveying approach.The value of customary proven able to berakulturasi with the process of modernization of existing because of the nature of dinamisme file so as not only capable of running in tandem with modernization but keeping and guide the process of modernization.Hence it is expected to all sides related to be able to reckon and take advantage of local values in have a society in a course of development.

(6)

MUHAMMAD MAHDI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(7)

Judul Skripsi : Peranan Nilai Adat dalam Modernisasi di Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi

Nama : Muhammad Mahdi

NIM : I34100082

Disetujui oleh

Ir Fredian Tonny Nasdian, MS Pembimbing

Diketahui

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya, shalawat dan salam kepada Rasul dan keluarganya yang disucikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan bantuan moril dan material dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Fredian Tonny selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga, bimbingan, arahan, saran, dan kritik yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Abdullah Assegaf dan Ibu Maemunah Al-Haddad, yang selalu melimpahkan kasih sayang, doa, serta motivasi kepada penulis. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Abah Ugi selaku ketua dari keluarga Kampung Adat Ciptagelar dan juga kepada masyarakat Ciptagelar yang telah menerima dengan baik serta memberikan banyak bantuan berharga hingga selesainya skripsi ini. Tidak lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman SKPM angkatan 47, teman-teman bimbingan, dan teman-teman lainnya yang selalu bersama saling memberi semangat dan masukan untuk penulis dalam seluruh proses perkuliahan dan penulisan skripsi ini.

Bogor, September 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan 4

Kegunaan Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

Kerangka Pemikiran 11

Hipotesis Penelitian 12

Definisi Konseptual 12

Definisi Operasional 13

PENDEKATAN LAPANGAN 15

Metode Penelitian 15

Lokasi dan Waktu Penelitian 15

Teknik Sampling 15

Teknik Pengumpulan Data 16

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 16

PROFIL DESA CIPTAGELAR 19

PERANAN NILAI ADAT DALAM MODERNISASI 27

MODERNISASI DALAM MASYARAKAT ADAT 35

HUBUNGAN SIKAP DENGAN KETERDEDAHAN MEDIA 41

PENUTUP 45

Simpulan 45

Saran 45

DAFTAR PUSTAKA 47

LAMPIRAN 49

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Panduan pengumpulan data 16 Tabel 2 Jumlah dan presentase responden menurut sikap terhadap

Modernisasi Tahun 2014 41

Tabel 3 Jumlah dan presentase responden menurut tingkat keterdedahan

media Tahun 2004 41

Tabel 4 Jumlah dan presentase responden menurut sikap terhadap modernisasi dan tingkat keterdedahan media di Desa Ciptagelar

tahun 2014 43

Tabel 5 Hasil uji statistik rank Spearman antara sikap terhadap modernisasi

dengan tingkat keterdedahan media 43

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka pemikiran peranan nilai adat dalam modernisasi 12

Gambar 2 Potensi alam Desa Ciptagelar 22

Gambar 3 Struktur Organisasi Desa Ciptagelar 25

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta Desa Ciptagelar 49

Lampiran 2 Kerangka sampling 50

Lampiran 3 Kuesioner penelitian 52

Lampiran 4 Panduan wawancara mendalam 55

Lampiran 5 Reduksi data: nilai adat dalam modernisasi 57 Lampiran 6.Reduksi data: modernisasi dalam nilai adat 61

(11)

Kampung Gede Kampung Ciptagelar adalah sebuah kampung adat yang masih bertahan dengan nilai-nilai lokalnya yang mempunyai ciri khas dalam lokasi dan bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang tinggal di Kampung Ciptagelar disebut masyarakat kasepuhan1. Meskipun desa tersebut termasuk desa adat yang memiliki kesan tertinggal dan terpencil, Akan tetapi tetap tidak terhindarkan dari arus modernisasi yang terus berkembang di negeri ini. Namun yang menarik justru arus modernisasi dibawa oleh ketua adat stempat, yang mana ia menginisiasikan sebuah tv lokal guna menciptakan kohesifitas dan melestarikan nilai mereka.

Banyak ahli yang telah menjelaskan dan memaparkan hasil penelitiannya sekaitan dengan proses dan dampak modernisasi. Beragam pandangan berusaha menjelaskan bahwa modernisasi yang diyakini mampu membawa perubahan kesejahteraan, justru akan berdampak pada rusaknya ketahanan nilai-niali lokal. Hal itu disebabkan modernisasi sendiri membawa nilai yang cendrung menghapuskan dan menggantikan nilai-nilai yang sebelumnya telah ada dan berjalan di tengah masyarakat. banyak perspektif dalam melihat persoalan tersebut salah satunya seperti yang diungkapkan Dove dalam bukunya peran kebudayaan dalam modernisasi. Dove menjelaskan bahwa nilai lokal yang sebelumnya telah ada seharusnya dapat menjadi suatu modal dalam memanfaatkan modernisasi yang ada. Nilai lokal merupakan nilai yang dianut dan diyakini oleh masyarakat lokal, sehingga apabila nilai lokal dapat diintegrasikan dengan modernisasi yang ada dapat menciptakan sebuah akulturasi yang saling menguntungkan.

Kehidupan masyarakat sangat erat kaitannya dengan perubahan sosial. Perubahan sosial di sini tidak hanya perubahan pada masyarakat yang bersangkutan melainkan juga orang luar. Maksudnya perubahan ini dapat dirasakan langsung karena adanya faktor tertentu yang masuk ke dalam kehidupannya atau pun secara tidak langsung melihat kebiasaan orang lain. Kedua hal ini sama-sama mengalami perubahan sosial. Perubahan sosial ada yang terjadi dalam waktu singkat maupun waktu lama. Biasanya, perubahan yang terjadi dalam waktu singkat bersifat sementara dan dapat dengan mudah kembali ke sifat semula. Perubahan dalam waktu lama, kemungkinan akan sulit untuk kembali ke semula.

Dilihat dari kehidupan sehari-hari, perubahan sosial ini memiliki kekurangan dan kelebihannya tergantung aspek yang berubahnya. Kelebihannya yaitu dapat merubah yang kurang baik menjadi baik jika memang aspek yang berubah mengacu pada hal yang baik misalnya menjadi masyarakat yang lebih saling menghargai satu sama lain, meningkatnya kerjasama antar sesama ataupun

1

(12)

dapat memajukan daerahnya. Sebaliknya, kekurangan dari perubahan sosial ini yaitu dapat merubah yang baik menjadi kurang baik jika mengacu pada hal buruk misalnya menjadi masyarakat yang individualis, kurang bersosialisasi dengan yang lain karena sibuk atau terlalu ketergantungan dengan alat teknologi.

Pada abad 21 para teoritis sosial mulai disibukkan dengan persoalan apakah masyarakat abad 21 telah mengalami perubahan-perubahan dramatis atau tidak. Apabila dikatakan telah mengalami perubahan, maka perubahan seperti apakah yang dilalui masyarakat abad 21 ini. Salah satu hal yang sangat mendasar dan mudah untuk dicermati adalah ketika terjadinya perubahan yang dialami masyarakat abad 21 akibat berkembang pesatnya teknologi dan komunikasi yang melahirkan masyarakat modern. Lahirnya masyarakat modern ini sesungguhnya merupakan objek perhatian pokok dalam sosiologi, sehingga berbagai teori mulai dari klasik sampai kontemporer berupaya untuk menjelaskan perubahan pada pola masyarakat ini.

Dalam teori sosiologi klasik masyarakat modern dijelaskan melalui analisis komparasi dengan masyarakat pra modern, atau sering disebut dengan masyarakat tradisionil. Marx melihat masyarakat modern dari perspektif ekonomi kapitalisnya, Weber melihat adanya perubahan rasionaliasi menjadi rasionalisasi formal, dan Durkheim melihat adanya peningkatan solidaritas organik dan menurunnya kesadaran kolektif. Namun selain dari pandangan masing-masing mengenai masyarakat modern tersebut, ketiga ahli ini ternyata mengkhawatirkan adanya arah dan sisi negatif oleh masyarakat modern. Marx melihat pada alienasi dan eksploitasi yang dialami kalangan buruh, Weber mengkhawatirkan penjara besi rasionalitas (iron cage rasionality), sementara Durkheim mengkhwatirkan anomi yang dialami masyarakat karena begitu cepatnya perubahan yang tidak selalu bisa diikuti oleh semua orang. Tetapi sedikit berbeda dengan ketiga sosiolog klasik yang mengkhawatirkan sisi masyarakat modern, George Simmel melalui bukunya Philosophy of Money, ia menolak kekhawatiran atas pengaruh lahirnya masyarakat modern. Justru Ia berpendapat, bahwa lahirnya masyarakat modern dapat melahirkan keuntungan secara materi menurut Ritzer (2003).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2007 tentang pedoman pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat Menimbang : a. Bahwa adat istiadat dan nilai social budaya masyarakat merupakan salah satu modal social yang dapat dimanfaatkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan sehingga perlu dilakukan upaya pelestarian dan pengembangan sesuai dengan karakteristik dari masyarakat adat; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan peraturan menteri dalam negeri tentang pedoman pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan nilai budaya masyarakat.

(13)

Dari regulasi di atas dapat terlihat pentingnya nilai dan norma adat masyarakat guna menjaga stabilitas dan juga menjaga berjalannya pembangunan yang ada, oleh karena itu nilai, yang memiliki kekuatan terbesar di dalam aspek pengendalian sosial disamping materi dan koersif seharusnya dapat menjaga masyarakat dari perubahan-perubahan yang ada. Menurut Witrianto (2007) modernisasi yang melanda kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia juga melanda kehidupan masyarakat pedesaan Minangkabau. Modernisasi telah menyebabkan terjadinya perubahan besar pada masyarakat, terutama yang bermatapencaharian sebagai petani. Perubahan-perubahan yang terjadi mencakup bidang sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan. Dalam bidang sosial, dengan adanya modernisasi, telah menyebabkan munculnya lapisan-lapisan sosial baru dalam masyarakat. Dalam bidang budaya, setelah adanya modernisasi, muncul budaya baru dalam masyarakat, yaitu budaya komersialisasi.

Seperti yang diungkakan oleh Dove (1985) bahwa seharusnya modernisasi dan nilai-nilai lokal harus mampu berakulturasi guna saling menunjang satu sama lain. Oleh karena itu menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut bagaimana peranan nilai adat dalam modernisasi di Desa Ciptagelar Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Provinsi Jawa Barat?

Rumusan masalah

Drs. Suparto dalam Moriaga (2006) mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat, diantaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bersikap. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk bersikap sesuai dengan peranannya. Melihat fungsi nilai di atas seharusnya nilai dapat digunakan dan dimanfaatkan guna mengatur perilaku masyarakat dalam membangun komunitasnya agar terciptanya kesejahteraan. Adat istiadat merupakan alat yang digunakan untuk menjaga masyarakat dari suatu perubahan yang mana hal tersebut dapat dilihat melalui sikap masyarakat adat tersebut. Oleh sebab itu perlu dianalisis bagaimana sikap masyarakat adat Desa Ciptagelar terhadap modernisasi?

(14)

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis peran nilai adat yang dianut oleh masyarakat dalam modernisasi. Tujuan tersebut dijawab melalui tujuan-tujuan khusus, yaitu :

1. Menganalisis sikap masyarakat adat Desa Ciptagelar terhadap modernisasi. 2. Menganalisis tingkat keterdedahan modernisasi yang ada pada masyarakat

adat Desa Ciptagelar.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pihak yang berminat maupun yang terkait dengan nilai adat dan modernisasi, khususnya kepada :

1. Peneliti untuk memaknai secara ilmiah fenomena nilai adat dan Modernisasi yang terlihat. Sedangkan untuk Civitas Akademika dapat memperkaya perkembagan pengetahuan mengenai nilai adat dan modernisasi.

2. Masyarakat, dapat memperoleh pengetahuan serta gambaran tentang fenomena nilai adat dan modernisasi.

(15)

Tinjauan Pustaka

Konsep Modernisasi

Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu perubahan ke arah yang lebih maju atau meningkat di berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa modernisasi adalah proses perubahan dari cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju dalam rangka untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sebagai suatu bentuk perubahan sosial, modernisasi biasanya merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terencana.

Modernisasi pada hakikatnya merupakan proses perubahan atau pembaharuan. Pembaharuan mencakup bidang-bidang yang sangat banyak. Bidang mana yang akan diutamakan oleh suatu masyarakat tergantung dari kebijaksanaan penguasa yang memimpin masyarakat tersebut Soekanto (1987). Modernisasi yang terstruktur dan terencana diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan di tengah masyarakat, oleh sebab itu pemerintah mengatur rencana dan langkah guna menerapkan modernisasi di tengah masyarakat. Asumsi modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam pembangunan menyebabkan beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi masalah krusial Bangsa Indonesia. Penelitian tentang modernisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Sajogyo (1982) dan Dove (1985). Kedua hasil penelitian mengupas dampak modernisasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil penelitian keduanya menunjukkan dampak negatif modernisasi di daerah pedesaan. Dove mengulas lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai akibat benturan dua budaya yang berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal dengan nilai budaya baru. Budaya baru yang masuk bersama dengan modernisasi.

Dove (1985) membagi dampak modernisasi menjadi empat aspek yaitu ideologi, ekonomi, ekologi dan hubungan sosial. Aspek ideologi sebagai kegagalan modernisasi mengambil contoh di daerah Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Penelitian Dove menunjukkan bahwa modernisasi yang terjadi pada Suku Wana telah mengakibatkan tergusurnya agama lokal yang telah mereka anut sejak lama dan digantikan oleh agama baru. Modernisasi seolah menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang mampu membelenggu kebebasan asasi manusia termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Pengetahuan lokal masyarakat juga menjadi sebuah komoditas jajahan bagi modernisasi. Pengetahuan lokal yang sebelumnya dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat harus serta merta digantikan oleh pengetahuan baru yang dianggap lebih superior.

Scott (2000) menunjukan bahwa penggunaan teknologi pertanian mempunyai dampak terhadap perubahan struktur masyarakat, dan akhirnya berpengaruh terhadap pola-pola institusional masyarakat. Kondisi ini akan memperluas struktur kemiskinan. Tujuan dari pembangunan pertanian itu sendiri pada dasarnya adalah untuk memperkecil struktur kemiskinan.

(16)

modern yang sangat teknis mekanistis, telah menimbulkan masalah-masalah dan perubahan-perubahan, baik pemerintah daerah yang mengimplementasikan kebijaksanaan pusat maupun masyarakat petani sebagai obyek dari pembangunan. Masalah masalah umum yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan pembangunan pertanian antara lain: 1) Menumbuhkan ketergantungan pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan sehingga sering tidak sesuai dengan kondisi wilayah dan sosial budaya masyarakat, 2) Menimbulkan ego sub sektoral dalam pelaksanaan progam-program pembangunan pertanian, karena lemahnya kordinasi dan integrasi antara sub sektor, 3) Merosotnya nilai-nilai tradisional dan norma-norma kekeluargaan yang saling membutuhkan dan ketergantungan yang hidup di pedesaan, 4) Melahirkan ketergantungan petani terhadap pemerintah dalam pembangunan, sebagai akibat pendekatan pelaksanaan program melalui bantuan subsidi.

Menurut Nugroho (1999) seperti dikutip oleh Arkanudin (2012) dalam proses pembangunan yang menjalani distorsi instrumen ruang publik telah diintervensi oleh kekuatan politis negara, sehingga opini publik yang muncul adalah bukan opini masyarakat tetapi justru opini elit politik. Akibat dari dominasi ruang publik oleh negara adalah adanya kecenderungan keputusan teknis bukan didasarkan atas diskusi dan opini publik tetapi didasarkan pada keputusan elit politik yang dipaksakan ke dalam masyarakat luas. Mengikuti persyaratan secara normatif, sebenarnya dalam pembangunan diskusi publik merupakan landasan untuk mengejar target-target yang telah disepakati, bukan sebaliknya dianggap tidak efisien demi mengejar target pertumbuhan ekonomi.

Menurut Pranadji (2000) mentalitas yang diuraikan oleh Kontjaraningrat (1985) tidak dapat begitu saja diterima sebagai sesuatu yang berlaku universal, melainkan sangat tergantung kepada setiap individu, kelompok komunitas dalam memahami diri terhadap orientasi masa depannya, serta tergantung pada kondisi wilayah dan sosial budaya setempat. Pranadji mempunyai pandangan bahwa desentralisasi akan lebih membuka peluang berperannya pranata sosial setempat untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan pertanian. Selain itu, desentralisasi akan lebih membuka peluang berperannya perantara keteraturan, kerjasama sosial dan kontrol sosial yang lebih baik terhadap proses transformasi pertanian secara berkelanjutan di wilayah setempat. Pemerintah tetap sebagai kontrol sehingga perencanaan pembangunan yang bottom-up tidak melenceng dari tujuan pembangunan. Pembangunan masyarakat yang direncanakan dari bawah harus menyentuh seluruh masyarakat, dan bukan untuk golongan tertentu.

Dalam beragam teori modernisasi di atas, hampir seluruh teori memandang bahwa tradisi dan nilai adat merupakan aspek yang akan tergerus oleh arus modernisasi dikarenakan, tradisi dianggap sebagai penghalang pembangunan, namun tradisi dipandang sebagai faktor positif pembangunan, seperti yang digambarkann teori Modernisasi Baru bahwa masyarakat tradisional

Indonesia pada dasarnya memiliki ciri yang dinamis, mengolah “resistensi”

(17)

Modernisasi dalam Konsepsi Ogburn

Secara sederhana, Ogburn melihat modernisasi sebagai salah satu arah dari perubahan sosial masyarakat. Perubahan sosial yang dikonsepsikan oleh Ogburn mencakup unsur-unsur kebudayaan baik yang bersifat materil maupun yang tidak bersifat materil (inmaterial) dengan menekankan pengaruh yang besar dari unsur unsur kebudayaan yang materil terhadap unsur-unsur inmateril. Ogburn cenderung melihat fenomena perubahan sosial dari sudut pandang teori struktural fungsional. Ada beberapa asumsi tentang perubahan sosial yang dikonsepsikan oleh William Ogburn:

1. Penyebab dari perubahan sosial adalah adanya ketidakpuasan masyarakat karena kondisi sosial yang berlaku pada masa tersebut mempengaruhi pribadi individu yang terlibat.

2. Meskipun dalam perubahan sosial beberapa unsur-unsur sosial mengalami perubahan dan dalam unsur-unsur tersebut mempunyai kesinambungan, namun beberapa unsur lainnya masih dalam keadaan tetap atau dapat dikatakan statis –dalam hal ini, kemudian Ogburn menyebutnya sebagai cultural lag–.

3. Setiap perubahan sosial tidak selalu berpengaruh pada semua unsur-unsur sosial, sebab masih ada sebagian yang tidak ikut berubah.

4. Ogburn melihat bahwa perubahan teknologi akan berjalan lebih cepat dibanding dengan perubahan pada substansi budaya, pemikiran, kepercayaan, nilai-nilai dan norma yang menjadi alat untuk mengatur kehidupan manusia.

Untuk itulah, dalam hal ini modernisasi dapat dipandang dari empat dimensi, yaitu; substansi budaya; pemikiran; kepercayaan; nilai dan norma pada masyarakat itu sendiri. Untuk mengukur dan mengidentifikasi modernisasi dalam masyarakat, Ogburn kemudian memberikan beberapa variabel yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat modernisasi suatu masyarakat dalam bentuk syarat terjadinya modernisasi yang berupa:

1. Cara berfikir yang ilmiah (scientific thinking) yang melembaga dalam masyarakat.

2. Sistem administrasi yang baik, yang benar-benar mewujudkan pelaksanaan birokrasi yang tertib dan teratur.

3. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur serta terpusat pada suatu badan atau lembaga tertentu.

4. Penciptaan iklim yang sesuai (favourable) dengan kehendak masyarakat terhadap modernisasi dengan cara alat-alat komunikasi massa.

5. Tingkat organisasi yang tinggi.

(18)

Nilai

Menurut Horton dan Hunt dalam Narwoko & Suyanto (2004) nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu salah atau benar. Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah artinya secara moral dapat diterima kalau harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di mana tindakan itu dilakukan.

Suparto seperti dikutip dalam Moriaga (2006) mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya.

Melihat fungsi nilai diatas seharusnya nilai dapat digunakan dan dimanfaatkan guna mengatur perilaku masyarakat dalam membangun komunitasnya agar terciptanya kesejahteraan. Nilai adat yang merupakan kekayaan bagi bangsa Indonesia seharusnya mampu dimanfaatkan dengan baik oleh pihak pemerintah dalam menata dan mengatur pembangunan yang ada.

Moriaga (2006) tentang pengaturan hukum adat sebagaimana disinggung dalam Pasal 5 UUPA, dalam penjelasan pasal tersebut yang kemudian merujuk pada penjelasan umum poin III butir (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

istilah “hukum adat” di sini adalah “hukum adat yang telah disempurnakan dan

disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara moderen dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme

Indonesia” yakni sekedar bermakna sebagai hukum yang mewujudkan kesadaran

masyarakat Indonesia yang berbeda dari hukum perdata barat (yang sudah tidak dipakai lagi). Istilah hukum adat menurut Soehardi (2004) seperti dikutip oleh Kurniawan (2008) ini bukanlah hukum yang berlaku dalam lingkungan-lingkungan masyarakat adat sebagaimana menjadi makna hukum adat secara

tradisional, tetapi merupakan “hukum adat yang sudah dihilangkan sifat

kedaerahannya dan diganti dengan sifat nasional.

Konsekuensi dari adanya konsep pengakuan sebagaimana demikian, sebagai turunan langsung dari konsep Negara Hukum, adalah bahwa jika ternyata terdapat eksistensi masyarakat adat berikut hak-hak dan kepentingannya yang bertentangan dengan kepentingan negara (kepentingan nasional), ataupun jika ada aturan hukum adat yang bertentangan dengan aturan hukum positif negara dalam perundang-undangan, maka keberadaan masyarakat adat beserta kepentingan-kepentingan dan hak-hak tradisioanalnya yang diatur dalam hukum adat tersebut bisa diabaikan. Hal inilah yang kemudian seringkali berujung pada konflik sosial yang pada umumnya melibatkan masyarakat adat di satu sisi dan negara beserta perusahaan di sisi yang lain yang berkepentingan hendak melakukan investasi dan

(19)

masyarakat adat) dan hukum positif (yang digunakan sebagai dasar berpikir dan bertindak negara dan perusahaan yang terlibat).

Aspek yang seharusnya diketahui dan disadari oleh pihak-pihak yang ingin memahami permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat adalah kenyataan tentang keragaman mereka. Keragaman ini dapat dilihat dari segi budaya, agama dan atau kepercayaan, serta organisasi ekonomi dan sosial. Dalam kaitannya dengan permasalahan lingkungan hidup, sebagian kelompok memposisikan mereka sebagai kelompok yang diidealkan dalam berhubungan dengan alam dengan menekankan pada realita akan adanya hubungan spiritualitas dari masyarakat-masyarakat adat dengan alam. Kelompok lain termasuk pemerintah orde baru, mereka dianggap sebagai penghambat utama dari perkembangan

“kemajuan” khususnya dari segi ekonomi.

Nilai Adat Dalam Konsepsi Koentjaraningrat

Koentjaraningrat (1985) membedah nilai adat yang dia sebut dengan unsur-unsur kebudayaan yang universal karena unsur-unsur tersebut pasti bisa di dapatkan di seluruh dunia dalam beragam kondisi, baik di pedesaan yang kecil dan terpencil maupun di masyarakat perkotaan yang komplex. Menurutnya unsur tersebut merupakan isi dari seluruh kebudayaan yang ada di dunia ini. Adapun

Susunan tersebut dibuat secara berurutan yang menggambarkan tingkat kesukaran berubah, atau hal yang mudah tergantikan oleh budaya lain. Namun hal tersebut bersifat umum sehingga terkadang pada kasus-kasus tertentu urutannya dapat berubah. Kemudian Koentjaraningrat mengklasifikasikan hal tersebut kedalam tiga bentuk yaitu:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu bentuk kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dsb. Sifatnya abstrak, tak dapat dilihat ataupun diraba. Lokasinya berada dalam kepala –kepala atau alam pikiran. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu aktivitas yang kompleks dari pola

kelakuan suatu masyarakat, atau sering diisebut juga dengan istilah sistem sosial, hal tersebut berisi rangkaian aturan yang memiliki pola-pola tertentu.

(20)

Sikap

Sarnoff dalam Sarwono (2000) mengidentifikasi sikap sebagai kesediaan untuk bereaksi (disposition to react) secara positif (favorably) atau secara negatif (unfavorably) terhadap obyek – obyek tertentu. Krech dan Crutchfield (1963) berpendapat bahwa sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai aspek dunia individu.

La Pierre (Azwar 2003) memberikan definisi sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Lebih lanjut Soetarno (1994) memberikan definisi sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek tertentu. Sikap senantiasa diarahkan kepada sesuatu artinya tidak ada sikap tanpa obyek. Sikap diarahkan kepada benda-benda, orang, peritiwa, pandangan, lembaga, norma dan lain-lain.

Meskipun ada beberapa perbedaan pengertian sikap, tetapi berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu sikap juga memberikan kesiapan untuk merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau situasi.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap

Proses belajar sosial terbentuk dari interaksi sosial. Dalam interaksi sosial, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah:

1. Pengalaman pribadi. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas.

2. Kebudayaan. B.F. Skinner (Azwar 2005) menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk kepribadian seseorang. Kepribadian tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran) yang dimiliki. Pola reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain.

(21)

4. Media massa. Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti televisi, radio, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam memsikapkan dan menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

5. Institusi Pendidikan dan Agama. Sebagai suatu sistem, institusi pendidikan dan agama mempunyai pengaruh kuat dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.

6. Faktor emosi dalam diri. Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian bersifat sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan lebih tahan lama. Contohnya bentuk sikap yang didasari oleh faktor emosional adalah prasangka.

Kerangka Pemikiran

(22)

Gambar 1 Kerangka pemikiran peranan nilai adat dalam modernisasi

Keterangan:

Saling mempengaruhi :

Mempengaruhi :

Penelitian secara deskriptif :

Hipotesis Pengarah

Nilai adat berperan positif di dalam akulturasinya dengan nilai modernisasi sehingga mampu mendorong dan mengontrol proses modernisasi.

Hipotesis Uji

Semakin positif sikap masyarakat terhadap modernisasi maka semakin tinggi tingkat keterdedahan media di masyarakat tersebut.

Definisi Konseptual

1. Tingkat Keilmiahan Berpikir. Tingkat keilmiahan berpikir dapat diukur dengan menggunakan indikator apakah keluarga menggunakan cara-cara yang terlembaga dalam kehidupan sehari-hari.

2. Tingkat Pemanfaatan Relasi Birokrasi. Tingkat pemanfaatan relasi birokrasi dapat dilihat dari seberapa sering keluarga berinteraksi dan menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga birokrasi/pemerintahan seperti bank, pegadaian, rumah sakit, dan lain-lain.

(23)

4. Tingkat Iklim Modernisasi Keluarga. Iklim modernisasi keluarga dapat diukur dari penggunaan tekonologi yang tepat untuk mendukung efektifitas kegiatan sehari-hari.

5. Tingkat Organisasi Keluarga. Tingkat organisasi keluarga dapat diukur dengan apakah dalam keluarga terdapat pembagian tugas pokok dan fungsi yang jelas dan terlaksana secara nyata.

6. Tingkat Perencanaan Sosial Keluarga Tingkat perencanaan sosial keluarga dapat dikur dengan melihat seberapa besar usaha-usaha yang dilakukan dan dipersiapkan oleh keluarga untuk menunjang kehidupan keluarganya di masa depan, misalnya dengan pendidikan, investasi, deposito, dan usaha-usaha lainnya.

Definisi Operasional

Sikap Masyarakat

Nilai (value) adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, sikap adalah pandangan atau pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, nilai merupakan inti (core) yang terkandung di dalam sikap, oleh sebab itu maka sikap merupakan manifestasi kongkrit dari suatu nilai yang abstrak sehingga dapat diamati dan dapat diukur. Untuk dapat melihat apakah suatu nilai mampu berakulturasi dengan modernisasi maka nilai tersebut dapat diukur dengan mengukur sikap masyarakat terhadap modernisasi yang ada di tengah mereka, pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menggunakan Skala Likert yang mana setiap jawaban atas pertanyaan memiliki rentang nilai yang berbeda.sangat setuju(5) setuju: (4), ragu-ragu: (3), tidak setuju: (2), sangat tidak setuju (1). Hasil penjumlahan skor jawaban dibagi menjadi kategori ( skala ordinal):

a.Sikap positif, total skor 110-150 b.Sikap netral, total skor 70-109 c.Sikap negatif, total skor 30-69

Tingkat Keterdedahan Media

Tingkat keterdedahan media (media exposure) adalah frekuensi responden dalam menerima informasi melalui berbagai media, baik media cetak maupun elektronik (6 jenis media : televisi, radio, koran, majalah/tabloid, brosur/selebaran dan internet). Pengukuran tingkat keterdedahan media informasi ini menggunakan skor yaitu sangat sering (5), sering (4), jarang (3), Pernah (2) tidak pernah (1). penjumlahan skor jawaban dibagi menjadi kategori (skala ordinal) :

(24)
(25)

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif yang akan dilakukan merupakan penelitian survei. Metode kuantitatif dilakukan melalui pengisian kuesioner. Pendekatan kuantitatif ini diharapkan dapat menjawab bagaimana peranan nilai adat dalam modernisasi. Pendekatan kualitatif bersifat descriptive research dengan menggunakan teknik wawancara mendalam terhadap informan.

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini mengambil lokasi di Kampung Ciptagelar yang berada di wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa Kampung Ciptagelar adalah sebuah kampung adat yang mempunyai ciri khas dalam lokasi dan bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh masyarakat pendukungnya. Penelitian dilaksanakan dalam waktu enam bulan sejak bulan April 2014.

Teknik Sampling

Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari responden dan informan. Unit analisis yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan rumah tangga yang diwakili oleh individu yang ada di dalam keluarga tersebut. Pemilihan tersebut dibuat dikarenakan individu yang diambil merupakan perwakilan dari rumah tangga sehingga dapat diketahui gambaran dan kondisi di dalam rumah tangganya. Responden hanya memberikan informasi terkait dengan dirinya.

Berdasarkan data, jumlah KK di Desa Ciptagelar adalah 112 KK. Penentuan jumlah sampel minimal dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut:

Keterangan : n : Jumlah sampel N : Jumlah populasi


e : Nilai kritis (batas ketelitian

)

Nilai kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 persen sehingga diperoleh responden sebanyak 31 KK dari jumlah populasi sampling 112 KK. Sebagai cadangan apabila terjadi hal-hal yang diluar perkiraan terhadap responden (seperti sakit, tidak bersedia di wawancara, dan lain lain) peneliti menambah jumlah responden cadangan sebanyak 5 KK. Penentuan responden dipilih dengan menggunakan metode simple random sampling. Penetapan responden dalam

(26)

wawancara kualitatif akan menggunakan metode snowball yaitu berdasarkan informasi yang didapatkan di lokasi penelitian.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ialah data kuantitatif dan kualitatif. Sumber data terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Data primer merupakan data mentah yang diperoleh secara langsung dari pihak atau subyek yang berhubungan dengan penelitian, baik melalui wawancara maupun kuesioner. Data ini kemudian diolah dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian.

2. Data sekunder merupakan data hasil penelitian sebelumnya atau data yang telah dikumpulkan oleh suatu lembaga kemudian dipublikasikan demi kepentingan orang banyak.

Terdapat tiga teknik pengumpulan data yang akan dilakukan oleh penulis: 1. Teknik observasi yaitu dengan melakukan pengamatan secara langsung ke

lokasi penelitian (Desa Ciptagelar).

2. Teknik wawancara yaitu dengan cara melakukan tanya jawab dan memberikan kuesioner kepada para responden.

3. Teknik kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan data dari buku ataupun bahan bacaan lainnya yang berguna untuk tujuan penelitian. Tabel 1. Panduan pengumpulan data

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diolah menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2010 dan IBM SPSS Statistics 22. Ada beberapa tahap dalam pengolahan data kuantitatif. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan teknik tabulasi silang dan tabel frekuensi kemudian uji korelasi Rank Spearmen. Hal ini dilakukan untuk menguji hipotesa dan keabsahan guna memastikan tidak ada informasi yang tidak sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam tabulasi silang, akan menjelaskan hubungan antara sikap masyarakat

(27)
(28)
(29)

Geografis

Kampung Adat Ciptagelar merupakan salah satu kawasan yang dihuni oleh kelompok masyarakat adat yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) Salak. Secara administratif wilayah kerja Taman Nasional Gunung Halimun Salak meliputi tiga wilayah administratif pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak. Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan (9 kecamatan bagian dari kabupaten Bogor, 8 kecamatan bagian dari kabupaten Sukabumi dan 9 kecamatan merupakan bagian dari kabupaten Lebak) dan 101 desa yang berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS.

Sebelah utara : Kabupaten Lebak Propinsi Banten Sebelah selatan : Desa Cicadas

Sebelah timur : Kecamatan Kabandungan Sebelah barat : Desan Cicadas

Salah satu kampung yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, yaitu di Kampung Ciptagelar, yang secara geografis terletak pada 106º 27'-106º 33' BT dan 6º 52' - 6º 44' LS. Kampung Ciptagelar terletak pada ketinggian 1050 meter di atas permukaan laut dengan topografi yang berbukit, dimana terdapat hutan dan makam pada topografi teratas sedangkan pada topografi paling bawah terdapat sawah dan sungai. Kampung Ciptagelar dapat dicapai dengan menggunakan tiga jalur. Jalur pertama melalui wilayah Citepus Pelabuhan Ratu, kemudian jalur kedua melalui Gunung Bongkok Cisolok Sukabumi dan yang terakhir melalui jalur Lebak Banten. Jalur yang paling dekat untuk ditempuh adalah melalui jalur Citepus Pelabuhan Ratu, namun hanya mobil penggerak 4 roda saja yang dapat melaluinya, atau dengan menggunakan ojek di wilayah tersebut. Apabila melalui jalur Citepus maka kita akan melewati Kampung Ciptarasa, yaitu kampung yang digunakan sebelum masyarakat pindah ke Kampung Ciptagelar, dimana terdapat hutan dan makam pada topografi teratas sedangkan pada topografi paling bawah terdapat sawah dan sungai. Jalur yang mudah dilalui oleh mobil biasa namun jaraknya lebih jauh adalah melalui jalur Gunung Bongkok yang sepanjang perjalanan melalui bukit-bukit gunung dan pemandangan hutan dan sawah yang indah. Didalamnya terdapat 568 dusun yang tersebar di tiga kabupaten, yakni Kabupaten Lebak, Bogor dan Sukabumi. Kampung Ciptagelar berjarak sekitar 44 kilometer dari Pelabuhan Ratu ke arah Cisolok dan sekitar 200 km dari Jakarta. Jumlah kepala keluarga yang terdapat di kawasan kampung Ciptagelar sendiri sebagai pusat pemerintahan kasepuhan saat ini adalah 112 KK.

(30)

kerbau), leuweung sirah cai (hutan lindung khusus mata air), balong (kolam ikan) dan lembur (pemukiman). Menurut masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, hutan adalah kehidupan mereka yang harus terus dijaga dan dilestarikan Kondisi geografis yang berupa pengunungan harus dijaga dan dilestarikan demi keselamatan anak cucu. Oleh karena itu, leluhur mewariskan sistem tata kelola hutan kepada pemimpin di Kampung Ciptagelar.

Sejarah Desa Ciptagelar

Sejak tahun 1963 masyarakat Kampung Ciptagelar ini telah menghuni kawasan Gunung Halimun Salak. Desa Ciptagelar dalam berdirinya tidak terlepas dari mitos dan tradisi yang melekat pada penduduk tradisional sebagaimana mestinya. Penduduk di Kampung Ciptagelar dapat disebut sebagai penduduk yang masih hidup dengan menerapkan sistem nomaden (berpindah-pindah) yang dimana mereka akan berpindah atas perintah dari pemimpinnya. Dalam bahasa Sunda, kata kasepuhan mengacu pada golongan masyarakat yang masih hidup dan bertingkah-laku sesuai dengan aturan adat istiadat lama. Masyarakat Kampung Ciptagelar menyebut diri mereka sebagai kaum Kasepuhan Pancer Pangawinan, serta merasa kelompoknya sebagai keturunan Prabu Siliwangi. Perihal nama Pacer Pangawinan, berasal dari kata pancer yang berarti asal-usul atau sumber. Sementara kata pangawinan berasal dari kata ngawin, yang artinya “membawa

tombak saat upacara perkawinan”.

Berdirinya Kampung Ciptagelar tidak terlepas dari yang sifatnya mitos dan tradisi yang melekat pada penduduk tradisional sebagaimana mestinya. Penduduk Kampung Ciptagelar merupakan penduduk pindahan dari Kampung Ciptarasa. Perpindahan ini didahului oleh sebuah mimpi atau wangsit yang diterima oleh Abah Anom. Maka tepatnya bulan Juli 2001, Abah Anom bersama belasan baris kolot (pembantu sesepuh girang) menjalankan wangsit tersebut.

Beberapa rumah baris kolot beserta seluruh isinya dibawa pindah. Lokasi baru tempat tinggal Abah Anom beserta baris kolot-nya bukan daerah yang baru dibuka. Abah Anom pindah ke tempat yang telah ada penduduknya dan kampungnya bernama Sukamulya. Oleh Abah Anom kemudian diganti menjadi Ciptagelar.

Abah Anom atau yang bernama asli Bapak Encup Sucipta sebagai pucuk pimpinan kampung adat memberi nama Ciptagelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Arti dari kata Ciptagelar sendiri artinya terbuka atau pasrah. Kepindahan Kampung Ciptarasa ke kampung Ciptagelar lebih disebabkan karena

“perintah leluhur” yang disebut wangsit. Wangsit ini diperoleh atau diterima oleh

Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak, mesti dilakukan. Oleh karena itulah kepindahan kampung adat bagi warga Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya.

Bukti sejarah

(31)

Situs yang ditemukan di perkampungan tersebut, jika dilihat dari ilmu arkeologi diyakini tempat pemujaan animis. Di sana, terdapat situs megalitik, batu jolang (tempat pemandian), salak datar, tugu gede, cungkuk, batu kursi dan batu dakon (alat perhitungan tanggal/ilmu bintang).

Perkampungan tersebut, papar Djuanda, menurut cerita legenda merupakan salah satu tempat pelarian keturunan dan pengikut Kerajaan Pajajaran. Sekitar tahun 1300, saat Prabu Siliwangi dan pengikutnya dikejar-kejar pasukan dari Kerajaan Banten dan mencoba melarikan diri ke Pulau Christmas (Australia) lewat Pantai Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi. Tapi itu gagal dilakukan Prabu Siliwangi dan pengikutnya, karena ombak Samudra Hindia saat itu sedang pasang. Tanpa berpikir panjang, Prabu Siliwangi meminta pada keturunan dan pengikutnya untuk mencari jalan masing-masing, demi menyelamatkan diri.

Dari sekian banyak pengikut dan keturunan Prabu Siliwangi, mereka akhirnya berpencar. Sebagian diantaranya cerita Djuanda, melarikan diri ke Urug (Bogor), dan sebagian lagi lari ke Citorek (Banten), Sirna Rasa dan Ciganas (Sukabumi), sedangkan, Prabu Siliwangi ke arah utara pantai Tegal Buleud.

Potensi Alam

1. Leuweng Titipan (sekitar 60 %), merupakan hutan yang harus dijaga dan dilindungi. Wilayah hutan ini tidak boleh dimasuki dan tidak boleh dimanfaatkan apapun sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya tanpa ijin terlebih dahulu dari pemimpin adat (Abah). Leuweng Titipan harus terus dijaga dan dilindungi demi keberlanjutan hidup warga Kasepuhan. Selain digunakan untuk melindungi mata air yang digunakan untuk pertanian, daerah hutan ini biasanya juga di sakralkan.

2. Leuweng Tutupan (sekitar 20 %), merupakan hutan yang berfungsi sebagai sistem penyangga dan juga untuk melindungi perkampungan. Warga hanya boleh mengambil hasil hutan non-kayu di daerah ini.

3. Leuweng Bukaan atau Garapan (sekitar 20 %), merupakan hutan yang dibuka dan digunakan untuk pertanian (sawah ataupun ladang), Agroforestry (paduan tanaman pertanian dan kehutanan), perumahan, jalan, masjid, dan berbagai kebutuhan ekonomi lainnya untuk menunjang kehidupan masyarakat.

Huma atau ladang lebih dikenal dengan sebutan reuma oleh masyarakat adat Kampung Ciptagelar. Dalam pengelolaan secara adat, reuma dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Huma ngora merupakan lahan bekas garapan masyarakat yang kemudian ditinggalkan selama kurang lebih dua hingga tiga tahun kemudian lahan tersebut dapat dibuka kembali untuk dijadikan lahan garapan.

2. Huma kolot adalah lahan yang merupakan bekas garapan masyarakat yang kemudian ditinggalkan masyarakat lebih dari tiga tahun.

3. Huma sampalan yaitu lahan yang merupakan bekas garapan kemudian oleh masyarakat dimanfaatkan untuk mengembalakan kerbau.

(32)

keperluan sehari-hari. Namun masyarakat dilarang untuk menjual padi. Bagi masyarakat di Desa Ciptagelar, siapa yang menjual padi maka sama saja dengan menjual kehidupannya. Dalam setahun masyarakat hanya akan menanam padi sekali. Oleh karena itu, biasanya masyarakat di sana akan menanam komoditas lain yang bisa dijual guna menambah pendapatan. Luas hutan yang menjadi potensi alam dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Potensi alam Desa Ciptagelar

Penduduk Desa Ciptagelar

Berdasarkan data yang di dapat dari pemerintahan setempat, pada Tahun 2014 di Desa Ciptagelar terdapat 112 KK dengan jumlah penduduk sebanyak 493 orang dengan komposisi penduduk laki-laki sebanyak 252 orang dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 241 orang.

Bahasa

(33)

Dalam budaya masyarakat Ciptagelar, bahasa merupakan salah satu cara dalam memberikan penghormatan kepada seseorang yang dianggap lebih tua barik secara adat maupun usia, bahasa sunda memiliki tingkatan-tingkatan tertentu yang penggunaannya tergantung sejauh mana subjek pengguna bahasa menghargai dan menghormati lawan bicaranya, semakin dia menghormati maka pilihan kata yang digunakan dalam perbincangan tersebut semakin halus. Dalam melakukan beragam ritual yang mengharuskan komunikasi antar individu seperti meminta izin untuk menanam padi, izin kedatangan, izin kepergian dan lain lain, harus menggunakan bahasa sunda halus dan buhun yang biasanya digunakan dan dimengerti oleh para baris kolot. Apabila ada seseorang yang ingin melakukan suatu ritual yang mengharuskan mereka menggunakan bahasa sunda buhun namun mereka tidak bisa menggunakan bahasa tersebut maka mereka dapat diwakilkan oleh para baris kolot yang dapat menggunakan bahasa tersebut.

Mata pencaharian

Secara umum masyarakat di Ciptagelar bermatapencaharian sebagai petani. Demi keberlangsungan hidup, masyarakat diharuskan menanam padi sekali dalam setahun. Uniknya, bagi masyarakat Ciptagelar, padi merupakan sesuatu yang sakral yang tidak boleh diperjualbelikan. Masyarakat percaya, barang siapa yang berani memperjual belikan padi, beras ataupun sejenis olahannya yang berasal dari padi niscaya akan mendapatkan kabendon (kemalangan) dari leluhurnya. Oleh karena itu, pada umumnya masyarakat yang bekerja sebagai petani akan menanam tanaman lain seperti buah-buahan, sayur-sayuran dan juga beternak untuk diperjualbelikan demi keberlangsungan hidup mereka. Masyarakat di Ciptagelar juga banyak yang mulai bekerja di luar desa, seperti bekerja sebagai penambang emas, sedangkan urusan perswahan akan diserahkan kepada istri atau keluarganya. Namun, biasanya pada saat musim panen mereka yang bekerja di luar desa akan pulang untuk melaksanakan upacara ritual adat.

Bagi masyarkat Ciptagelar, bertani bukan hanya dipandang sebagai pekerjaan namun merupakan sebagai identitas mereka. Leluhur mereka telah mewariskan ilmu dan sistem pertanian, oleh karena itu incu putu atau pengikut harus terus menjaga dan melestarikan apa yang telah diwariskan oleh leluhur.

Selain bertani, masyarakat di Ciptagelar juga memiliki pekerjaan lain guna memenuhi kebutuhan mereka seperti berniaga, membuka layanan jasa seperti bengkel dan servis elektronik. Berkembangnya teknologi di Ciptagelar telah mendorong motivasi mereka untuk menjadi sosok mandiri yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Teknologi seperti televisi, radio, internet dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh masyarakat sebagai sumber pengetahuan bagi mereka. Masyarakat juga saat ini banyak yang melakukan kegiatan bisnis jual beli online dengan memanfaatkan layanan internet dan teknologi ponsel blackberry. Selain itu ada juga masyarakat yang beternak kambing dan memelihara ikan yang nantinya hasil dari ternak tersebut akan dijual ke pasar yang terdapat di pelabuhan. Fasilitas

(34)

terjangkau, namun Abah berniat untuk terus memperbanyak turbin, sehingga kedepannya listrik akan menjangkau seluruh wilayah.

Internet juga menjadi fasilitas yang saat ini ramai dinikmati warga di Kampung Ciptagelar. Upaya yang dilakukan Abah adalah bekerjasama dengan beberapa pihak untuk membuat kabel jaringan dan memasang router wifi yang dapat diakses oleh warga. Fasilitas ini sangat diminati oleh warga.

Dalam bidang pendidikan, disana sudah memiliki bangunan sekolah sendiri. Bangunan sekolah berada di tengah pemukiman warga sehingga tidak sulit untuk mengakses ke sekolahan bagi warga. Bangunan sekolah dipergunakan untuk SD dan SMP, sedangkan bagi SMA harus berjalan sekitar 8 Km ke arah Lebak. Tempat beribadah di Kampung Ciptagelar juga terdapat cukup banyak.

Dalam bidang Agama, di sana sudah terdapat masjid dan juga langgar (mushola). Mayoritas masyarakat di sana memeluk agama islam, sedangkan bagi masyarakat yang memeluk agama selain islam harus berjalan ke arah pelabuhan ketika ingin beribadah.

Dalam bidang kesehatan, di sana juga sudah terdapat puskesmas yang jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan. Tenaga medis juga telah disiapkan. Namun tak dipungkiri, tenaga medis yang terdapat disana masih sedikit sehingga masih perlu ditambah. Belakangan ini juga abah menyediakan mobil ambulance yang diperuntukkan bagi warga.

Secara umum, fasilitas yang disediakan bagi masyarakat sudah tersedia dengan lengkap. Hal ini tidak terlepas dari peranan abah selaku pemimpin adat untuk terus melakukan upaya-upaya baru demi menciptakan fasilitas yang dapat dinikmati dan diurus secara kolektif bersama masyarakat.

Struktur Kelembagaan Desa Ciptagelar

Dari tingkat organisasi keluarga masyarakat ciptagelar memiliki pembagian tugas pokok yang jelas, pembagian tugas pokok tersebut diturunkan secara genetis sehingga setiap keluarga memiliki fungsi yang berbeda satu sama lain dan dapat saling menopang. Tujuan dari pembagian tugas secara genetis ini bertujuan agar spesialisasi dari tiap pemegang tugas tetap terjaga baik dari segi kualitas maupun rahasia-rahasia dari sisi magis di nkalangan mereka. Oleh karena itu terdapat pembagian tugas yang jelas di dalam keluarga masyarakat ciptagelar sehingga fungsi-fungsi masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik guna mencapai kesejahteraan. Garis koordinasi dalam organisasi kemasyarakatan pun jelas mulai dari kolot lembur yang ada di setiap desa sebagai perpanjangan tangan kasepuhan di setiap desa, kemudian untuk di pusat pemerintahannya abah dibantu oleh rorokan dan baris kolot.

Yang terdiri dari beberapa orang yang dianggap sebagai sesepuh masyarakat Ciptagelar. Pada Gambar di atas dapat dilihat bahwa di kampung Ciptagelar terdapat struktur kelembagaan. Abah Ugi selaku pemimpin adat dibantu oleh para baris kolot. Para baris kolot dibentuk dan dibagi sesuai dengan tugasnya masing-masing. Setiap baris kolot bertanggung jawab terhadap bidang yang telah dipegangnya masing-masing. Baris kolot tersebut ditentukan berdasarkan garis keturunan.

(35)

dusun lain yang berafiliasi secara adat pada Kampung Ciptagelar. Di dalam setiap dusun terdapat perwakilan adat yang disebut dengan kolot lembur. Selain kolot lembur tiap dusun memiliki pejabat-pejabat dusun yang memiliki tugas tertentu, diantaranya mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian secara gaib dari serangan hama), juru doa, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani dan juru sawer. Untuk lebih jelasnya dapat melihat struktur organisasi yang ada pada Gambar 3.

Baris kolot juga memiliki tanggung jawab yang besar terhadap permasalahan yang di hadapi oleh Desa. Jika terdapat permasalahan terkait Desa, maka Abah akan melaksanakan rapat bersama baris kolot. Seluruh saran yang bersifat konstruktif akan ditampung dan pada tahap akhir Abah selaku pemimpin yang akan membuat keputusan. Baris kolot umumnya hanya bekerja sebagai petani dikarenakan memiliki jabatan. Hampir tidak ditemui baris kolot yang bekerja di luar desa. Selain itu, jika ada tamu yang datang berkunjung ke Desa Ciptagelar, maka baris kolot yang akan pertama kali menuntun tamu tersebut. Tamu akan dijelaskan mengenai aturan-aturan adat secara umum oleh baris kolot sehingga tamu mengetahui aturan secara adat sebelum tamu bertemu dengan abah Ugi.

(36)
(37)

bersifat tidak tertulis. Hukum yang biasa disebut hukum adat tersebut telah diterapkan oleh leluhur di Kampung Ciptagelar yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Masyarakat adat di Kampung Ciptagelar sangat mematuhi hukum dan aturan adat yang berlaku. Mereka percaya bahwa hukum dan aturan adat yang ada bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan memfasilitasi keberlangsungan hidup masyarakat Kampung Ciptagelar sendiri. Sikap kepatuhan dan kesetiaan masyarakat Kampung Ciptagelar terhadap hukum dan aturan adat muncul dari keyakinan mereka terhadap adanya pamali, yaitu merupakan istilah adat untuk bentuk hukuman atau ganjaran yang merupakan sanksi yang akan didapat oleh anggota masyarakat adat jika melanggar hukum dan peraturan adat, sanksi tersebut dapat berupa sanksi sosial maupun sanksi fisik yang diberikan oleh pemimpin adat atau masyarakat adat.

Masyarakat Kampung Ciptagelar tidak mendapatkan paksaan atau desakan dari Ketua Adatnya dalam menjalankan aturan-aturan adat. Jika mereka melanggar aturan-aturan tersebut, mereka tidak akan mendapatkan teguran ataupun hukuman melainkan akan mendapatkan walatan atau kualat, yaitu suatu hukuman yang tidak bisa dilihat secara fisik, namun dapat dirasakan langsung oleh si pelanggar hukum tersebut, bisa berupa sakit atau bahkan kematian. Kepercayaan tersebut membuat masyarakat adat sangat percaya terhadap pamali dan kualat. Mereka terus menjaga dan melestarikan hukum adat yang telah diberlakukan sejak dahulu kala. Hukum adat yang berlaku di Kampung Ciptagelar memiliki nilai kearifan yang tinggi terutama yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Bagi masyarakat adat Kampung Ciptagelar alam merupakan warisan dari leluhur dan harus terus dijaga untuk kehidupan masyarakat. Nilai kearifan lingkungan dalam hukum adat di Ciptagelar terwujud dalam peraturan-peraturan adat mengenai pengelolaan dan penggunaan lahan di wilayah adat Kampung Ciptagelar. Masyarakat Kampung Ciptagelar sangat menjaga hutan dan lingkungan tempat mereka tinggal mereka meyakini bahwa jika hutan, sumber mata air, dan lahan pertanian yang ada di lingkungan mereka dijaga maka keberlangsungan dan kesejahteraan hidup mereka juga akan terjaga pula. Ada berbagai usaha yang dilakukan oleh masyarakat adat Kampung Ciptagelar dalam rangka menjaga kelestarian hutan. Beberapa diantaranya yaitu membentuk Pamswakarsa yang bertugas melakukan patroli hutan dan menjaga hutan dari kegiatan penebangan liar, Pamswakarsa beranggotakan masyarakat adat dari Kampung Ciptagelar yang bekerja secara sukarela.

Sikap Masyarakat Adat Terhadap Modernisasi

Ideal

(38)

Kabendon. Nilai tersebut sarat akan pengetahuan-pengetahuan lokal yang menjadi pedoman tata kelakuan mereka, yang bersifat mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada perbuatan individu yang memegang nilai tersebut.

Melihat definisi tersebut maka nilai adat merupakan hal yang mengatur pola pikir hingga pola berprilaku seseorang, penganut nilai adat tersebut adalah masyarakat adat yang mayoritas berada di beragam daerah terpencil dan tertinggal. Oleh karena itu di Indonesia, sebagaimana di banyak negara sedang berkembang lainnya, pembangunan diartikan sebagai perubahan yang dikehendaki dan dibutuhkan, apa saja yang dilihat tertinggal ataupun terbelakang dan tidak mengalami perubahan dengan sendirinya dianggap sebagai penghalang pembangunan bahkan nilai adat yang tak berwujud pun dianggap sebagai penghalang, dikarenakan nilai tersebut mendorong seseorang untuk berkehidupan yang tidak sesuai dengan pembangunan sosio-ekonomi, oleh karena itu banyak program pembangunan yang bertujuan menghilangkan nilai adat agar tidak mengganggu jalannya pembangunan.

Pandangan dan sikap seperti itu terhadap nilai adat masyarakat Kampung Ciptagelar sangat keliru karena kebudayaan ideal atau kabendon merupakan tata kelakuan yang telah terbukti mengantarkan masyarakat adat ciptagelar menuju kesejahteraan semenjak ratusan tahun dahulu dan masih bertahan hingga saat ini. Oleh karena itu apabila dikatakan nilai adat menghambat pembangunan sosio-ekonomi, lantas bagaimana dengan kabendon yang telah terbukti berhasil membangun sosio-ekonomi mereka selama ratusan tahun. Hal itu menunjukan bahwa nilai adat mereka justru memiliki bukti empiris yang kuat dalam menunjang proses sosial, ekonomi, dan ekologi masyarakat secara mendasar. Lebih dari penelitian yang saya lakukan menunjukan bahwa kebudayaan tradisional bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan, dan disitulah peranan nyata nilai adat yang seharusnya hal tersebut dapat dimanfaatkan oleh para perencana pembangunan untuk mendorong proses modernisasi bagi mereka. Oleh karena itu apabila perencanaan pembangunan di dasari dengan evaluasi empiris yang mampu melibatkan seluruh pihak terkait, Maka dapat terlahir akulturasi yang baik antara pembangunan yang membawa modernisasi dengan nilai adat masyarakat.

Pada masyarakat adat Ciptagelar terlihat peranan nilai adat tidak hanya berperan dalam membangun ketahanan pangan dan kesejahteraan hidup, namun terlihat peranan nilai adat tersebut di dalam membawa kemajuan pembangunan khususnya teknologi yang terjadi di Kampung tersebut, nilai adat menjadi motor penggerak bagi jalannya masyarakat menuju kepada kemajuan pembangunan, sehingga masyarakat dengan diketuai oleh pemimpin adat bersama-sama bahu membahu untuk belajar dan memanfaatkan teknologi guna membawa kesejahteraan bagi kehidupan masyarakat dan tidak tertinggal dengan perkembangan zaman sesuai dengan ajaran Kabendon mereka yang melarang dan mendorong mereka agar tidak tertinggal dengan perkembangan zaman yang ada.

(39)

dengan penanganan ilmu medis, namun apabila masih belum sembuh maka mereka akan mencari penyebab sakit mereka secara kaidah tradisional kepada

“dukun” setempat sekaitan hal magis apa yang meyebabkan dan memicu penyakit tersebut dan setelah diketahui penyebabnya biasanya sang dukun memberikan ritual-ritual yang perlu dilakukan untuk menghapuskan penyakit dari sisi magis baru kemudian setelah menyelesaikan ritual maka mereka pun kembali lagi ke puskesmas untuk kembali di tangani secara medis, karena menurut mereka ketika faktor magis dari suatu penyakit belum dihilangkan maka faktor medis tidak akan dapat berpengaruh terhadap kesembuhan mereka. Jadi masyarakat cipta gelar tidak menganggap kedua cara pengobatan baik medis maupun tradisional sebagai sistem pengobatan yang saling menafikan, melainkan setiap sistem pengobatan memiliki ranahnya masing-masing sehingga bila dikaitkan dengan cara berpikir mereka maka sistem pengetahuan mereka dan pengetahuan ilmiah umum merupakan dua hal yang tidak saling menghilangkan satu sama lain.

Hal tersebut menunjukan kemampuan nilai adat dalam berakulturasi secara terbuka dengan kemajuan zaman, sehingga nilai adat selalu menjadi bagian dan tetap tidak terpisahkan dengan beragam kemajuan yang ada, tidak hanya pada sektor kesehatan namun terjadi secara bersamaan di berbagai sektor mulai dari teknologi, energi, informasi, birokrasi, administrasi dan beragam sektor lainnya. Hal itu menunjukan sifat dinamisme dan keterbukaan dari nilai adat dalam membawa dan mengawal perubahan masyarakat menuju kesejahteraan yang lebih baik.

Aktivitas

Setelah mengamati ketujuh unsur di dalam kebudayaan masyarakat Ciptagelar maka saya melihat nilai adat sebagai perangkat nilai yang dimiliki masyarakat dalam memandang dan memanfaatkan lingkungan banyak dipengaruhi oleh lingkungan dimana mereka tinggal, adat tersebut terbangun dari akumulasi hasil interaksi manusia dan alam, yang dimana di dalam setiap interaksi tersebut membuahkan sebuah pemgalaman, yang pengalaman tersebut menjadi sitem pengetahuan yang mereka miliki dan merupakan hasil warisan turun temurun. Pengetahuan mereka berakar dari alam sehingga aturan mereka lebih mengatur keseimbangan kehidupan antara alam dengan manusia. Akumulasi pengetahuan tersebut yang sarat akan nilai keharmonisan hidup dengan alam terimplementasikan di dalam norma kehidupan mereka yang memperlihatkan bahwa sistem pengetahuan mereka merupakan dasar dari keyakinan mereka dalam melakukan ritual keagamaan sehingga antara pengetahuan dan keyakinan mereka yang berasal dari alam merupakan satu kesatuan. Contoh pengetahuan yang juga merupakan keyakinan masyarakat dapat dilihat dari sistem pertanian yang menyelaraskan dengan alam dan tidak mau menanam padi jenis unggul pemerintah, karena akar dari nilai adat mereka berasal dari pertanian sehingga sebisa mungkin keaslian dari akar adat mereka terus menerus dijaga sehingga teknologi yang digunakan di dalam proses pertanian baik dari segi makro maupun mikro tidak ada yang berubah dari zaman leluhur mereka, hal tersebut terus dijaga

dan dibiarkan “tertinggal” dari perkembangan zaman yang ada dikarenakan akar

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran peranan nilai adat dalam modernisasi
Tabel 1. Panduan pengumpulan data
Gambar 2 Potensi alam Desa Ciptagelar
Gambar 3  Struktur Organisasi
+3

Referensi

Dokumen terkait

telah tertulis dalam Matius 5:9 “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan. disebut anak-

telah tertulis dalam Matius 5:9 “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan.. disebut anak-

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, kemajemukan itu dapat dilihat dari keanekaragaman budaya, suku, ras, adat, bahasa dan agama. Keragaman budaya dapat ditemukan pada

Namun nyatanya mereka tidak dapat menghindar dari perubahan itu sendiri, baik itu yang berasal dari dalam masyarakatnya sendiri yang mulai ingin melepaskan

Perdebatan masih berlanjut di dalam mobil, Eva yang ingin membantu Silvia dalam menjaga Sansan namun Silvia menolaknya karena takut hal buruk akan terjadi.. Malam itu, ketiganya

Dewasa ini memang sedang terjadi proses perubahan dalam tubuh Pondok Pesantren baik pengaruh dari luar maupun dari dalam pesantren itu sendiri. Yang patut dipertanyakan

Oleh karena itu kegiatan pengabdian yang dilakukan ini bertujuan untuk memberikan pelatihan dan kepada siswa/siswi Sekolah Dasar dan Menengah untuk memanfaatkan teknologi

Transportasi ojek sudah lama ada di indonesia. Namun demikian, saat ini ojek mengalami perubahan dengan memanfaatkan teknologi internet.Oleh karena itu,