• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan agama ditinjau adri undang-undang nomor 1 tahun 1974: studi kasus Desa Kadu Ti'is di Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan agama ditinjau adri undang-undang nomor 1 tahun 1974: studi kasus Desa Kadu Ti'is di Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk kehidupan yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Perkawinan dalan Bahasa Arab disebut dengan al-nikah atau al-wathi yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.2 Selanjutnya Tahir Mahmood mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan, masing-masing menjadi suami-isteri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi. Lebih jelasnya ia menyatakan “Marriage is a relationship of body and soul between a man and woman as husband and wife for the purpose of establishing a happy and lasting

family founded an belief in god almighty”.3

Dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan atau pernikahan yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati “perintah Allah dan melaksanakannya

1

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2

Imam Taqiyuddin, Kifayatul al-Akhyar fi Hal ghayat al-Ikhtiyar, (Bandung : Al-Ma’Arif, t.t), Juz II, h. 36

3

Tahir Mahmood, Personal law in Islamic Countries, (New Delhi : Academy of law and Religion, 1987), h. 209

(2)

merupakan ibadah.4 Dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.5

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbooek) putusnya perkawinan dipakai istilah “pembubaran perkawinan” (ont binding des

huweliks).6 Yang diatur dalam bab X dengan tiga bagian, yaitu tentang

pembubaran perkawinan pada umumnya (pasal 199), tentang pembubaran perkawinan setelah pisah meja dan ranjang (pasal 200-2006 b), tentang perceraian perkawinan (pasal 207-232 a), dan yang tidak dikenal dalam hukum adat atau hukum agama (Islam) walaupun kenyataannya juga terjadi, ialah bab XI tentang pisah meja dan ranjang (pasal 233-249).

Dengan ibadah dalam sebuah perkawinan menjadi perkawinan yang harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan tercapainya apa yang menjadi tujuan perkawinan yaitu : terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah. Namun seringkali apa yang menjadi tujuan perkawinan itu kandas diperjalanan harus bubar ditengah jalan karena beberapa sebab dan alasan perceraian.

Walaupun perkawinan itu ditujukan untuk selama-lamanya, tetapi ada kalanya terjadi hal-hal tertentu yang menyebabkan perkawinan tidak dapat

4

Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 “Perkawinan Menurut Hukum Islam Adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqal ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”

5

Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”, Lihat Juga Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Fokus Media, 2005), h. 7

6

(3)

diteruskan, misalnya salah satu pihak berbuat serong dengan orang lain, terjadi pertengkaran terus menerus antara suami isteri, suami atau isteri mendapat hukuman lima tahun penjara atau lebih berat, dan masih banyak lagi alasan-alasan yang menyebabkan perceraian.

Adanya perceraian membawa akibat hukum terputusnya ikatan suami isteri. Apabila dalam perkawinan telah dilahirkan anak, maka perceraian juga membawa akibat hukum terhadap anak, yaitu orang tua tidak dapat memelihara anak secara bersama-sama lagi, untuk itu pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu dari orang tua. Di lain pihak akibat perceraian terhadap harta kekayaan adalah harus dibaginya harta bersama antara suami isteri tersebut.7

Dalam pasal 199 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan perkawinan dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak ; (2) keadaan tidak hadirnya suami isteri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh perkawinan baru isteri atau suami, setelah mendapat izin dari hakim sesuai dengan pasal 199 ayat 3 dan 4 yang menyatakan bahwa keputusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang dan pembekuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan itu dalam registrasi catatan sipil karena kematian salah satu pihak.

Ada beberapa sebab yang menyatakan bahwa perkawinan dapat putus berdasarkan atas persetujuan antara suami-isteri.8 Lebih lanjut dinyatakan dalam pasal 209 ayat (1), (2), (3), dan (4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

7

Masyudin, ‘Akibat Perceraian’, Artikel Diakses Pada Tanggal 19 Juli 2010 dari http://www.Skripsi-Tesis.com,

8

(4)

alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah : zina baik yang dilakukan oleh suami atau isteri ; meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja ; suami atau isteri di hukum selama 5 tahun penjara atau lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan dilaksanakan ; salah satu pihak melakukan penganiayaan berat yang membahayakan jiwa pihak lain (suami atau isteri).9

Sebenarnya perpisahan suatau ikatan perkawinan merupakan hal yang wajar. Karena akad atau perikatan terjadi jika dua orang yang apabila mempunyai

kemauan dan kesanggupan yang dipadukan dalam suatu ketentuan dan dinyatakan denga kata-kata yang bisa dipahami. Dengan demikan terjadilah peristiwa hukum

yang disebut dengan perikatan.10 Apabila ikatan tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena berbagai pertimbangan maka konsekuensinya dapat terjadi talak. Pada dasarnya perkara talak itu diperbolehkan, namun merupakan

hal yang amat dibenci oleh Allah SWT.

Idealnya sebuah kehidupan rumah tangga adalah untuk hidup rukun

bahagia dan tenteram namun sebuah perjalanan hidup tidak selamanya mulus sesuai yang diharapkan, kadang terdapat perbedaan pandangan dalam memahami kehidupan dan pertengkaran diantara pasangan suami isteri yang merasa tidak

nyaman dan tenteram lagi dengan perkawinan mereka, karena pada kenyataannya membina hubungan keluarga tidak mudah bahkan sering terjadi perkawinan

9

R.. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2006), Cet. 37, h. 46-51

10

(5)

mereka kandas ditengah jalan.11 Perselisihan yang timbul dalam pernikahan kini banyak disebabkan permasalahan yang beragam bermula dari faktor ekonomi, perbedaan dalam menentukan sikap penyelesaian masalah yang mementingkan ego, dan lain sebagainya.12

Syarat untuk mendirikan rumah tangga bahagia dapat dikelompokkan menjadi empat faktor yaitu :13

1. Faktor yang berkenaan dengan ciri-ciri pribadi, keadaan bathin dan hubungan timbal balik antara anggota-anggota keluarga. Faktor inilah yang merupakan faktor terpenting.

2. Faktor yang berkaitan dengan masalah ekonomi keluarga, meliputi penghasilan yang memadai, pengaturan terhadap urusan rumah tangga termasuk ketertiban pembelanjaan rumah tangga.

3. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pikiran-pikiran umum yang mendominasi rumah, termasuk perilaku suami isteri dan pandangan mereka terhadap nilai-nilai moral dan agama.

4. Faktor-faktor sosial yang berkaitan dengan hubungan keluarga dan cara pengaturan waktu-waktu senggang, waktu untuk istirahat dan rekreasi. Banyak suami yang tidak mengetahui apa yang diinginkannya. Oleh karena itu, yang pertama harus dikerjakan seorang isteri adalah membantunya

11

Chuzaemah Tahido Yanggo dan A. Hafit Anshari. A. Z., Problematika Hukum Islam dan Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), h. 72

12

Budianto, ‘Perselisihan Dalam Rumah Tangga’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari http://docs.google.com.

13

(6)

memperjelas angan-angan dan keinginan yang ada dalam benaknya, atau membantunya mengetahui apa yang sebenarnya dicari dalam kehidupan ini. Setelah itu ia mengajukan diri agar diikut sertakan dalam merealisasikan tujuan-tujuan yang hendak dicapai suaminya dan juga tujuan mereka berdua. Sebenarnya, dua tujuan diatas tidak ada bedanya. Tujuan-tujuan suami haruslah satu dan sesuai dengan tujuan isterinya yang menjadi teman hidupnya. Sebab, keberadaan satu tujuan merupakan asas pernikahan yang bahagia.14

Seorang suami atau isteri yang baik tidak akan meninggalkan pasangannya disaat mengalami berbagai macam cobaan. Sebagaimana mereka telah bersama-sama merasakan kebahagiaan, maka mereka juga harus berbersama-sama-bersama-sama pula sewaktu berada dalam keadaan susah tanpa disertai keluh kesah dan perasaan marah.15

Pada saat didalam rumah tangga timbul masalah seperti suami ketahuan

berselingkuh dengan perempuan lain maka bicarakan berdua dengan baik-baik tanpa emosi dan pertengkaran. Selesaikan masalah rumah tangga dengan pikiran

dewasa dan kepala dingin. Apabila dalam rumah tangganya mengalami masalah, alangkah indahnya antara suami dan isteri mengingat kembali masa-masa indah dahulu agar rasa emosi itu bisa diredam oleh diri sendiri. Jika masalah tersebut

tidak dapat diselesaikan dan jalan terakhirnya yaitu perceraian maka bercerailah

14

Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, h. 80

15

(7)

secara resmi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada Pasal 39 UUP

dinyatakan :

1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tdak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.

Masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan yang membuat masyarakat tidak mempunyai kekuatan hukum di Indonesia. Kasus perceraian sering terjadi di

tengah-tengah kehidupan masyarakat, apakah dilakukan karena inisiatif suami untuk permohonan cerai talak atau inisiatif untuk menggungat cerai suami.

Dalam masalah perceraian sudah diatur sedemikian oleh aturan yang dijadikan pedoman oleh umat Islam di Negara Indonesia, tetapi masyarakat di Desa Kadu Ti’is hampir seluruhnya melakukan perceraian tanpa mengikuti

peraturan yang sudah ditetapkan tersebut. Bukannya masyarakat di Desa Kadu Ti’is tidak ingin mematuhi aturan yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang

(8)

perceraian yang mereka lakukan tidak mempunyai kekuatan hukum meskipun

keduanya sebelumnya melakukan pernikahan yang dicatat.16

Akan tetapi pada kenyataannya banyak sekali masyarakat yang melakukan sebuah perceraian sebagai jalan terakhir untuk mengakhiri sebuah pernikahan

tanpa melalui proses persidangan di pengadilan. Padahal sudah jelas sekali bahwa perceraian hanya dapat dilakukan melalui sebuah proses persidangan

dipengadilan dan telah melalui prosedur yang telah ditentukan serta telah melalui usaha untuk perdamaian untuk tidak terjadinya perceraian, jika semua jalan itu sudah dijalankan dan tetap menjadi keinginan antara suami isteri tetap bercerai

maka perceraianlah yang menjadi jalan terakhir bagi keduanya.

Akibat hukum dari perceraian yang dilakukan tanpa melalui proses

persidangan di pengadilan pada masyarakat merupakan akibat hukum berdasarkan hukum Islam. Akibat hukum tersebut meliputi akibat terhadap harta benda, sedangkan apabila dipandang dari perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 maka perceraian tersebut belumlah mempunyai akibat hukum yang diakui dan bersifat mengikat secara yuridis.

Seperti yang terjadi pada masyarakat Desa Kadu Ti’is Kecamatan Mekar Jaya Kabupaten Pandeglang ketika diantara mereka ada yang bercerai mereka hanya mendatangkan pihak keluarga dan beberapa orang saksi, bukan hanya itu

saja, ada beberapa masyarakat Desa Kadu Ti’is yang ingin bercerai hanya cukup mengucapkan kata cerai secara lisan di depan saksi-saksi, kemudian mereka

16

(9)

mendapatkan bukti cerai yaitu sebuah selembar kertas yang menyatakan mereka

sah bercerai. Dengan cara yang mereka lakukan tersebut dianggap perceraian yang sah, tapi jika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka perceraian mereka tidaklah sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.

Menurut Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan

rujuk, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan.17

Perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan bukan hanya di desa kadu ti’is saja tapi di semua desa yang ada di daerah terpencil. Karena bagi

mereka proses perceraian sangat membutuhkan biaya yang besar sedangkan mereka tidak cukup untuk membayar biaya perceraian di pengadilan maka dari itu

mereka melakukan perceraian tanpa melalui proses persidangan hanya lewat KUA lalu mereka mendapatkan surat cerai mereka.18 Ada sebagian masyarakatnya jika ingin bercerai maka hanya mendatangkan penghulu yang

waktu itu menikahkan mereka lalu mendatangkan kedua orang tua mereka masing-masing sebagai saksi bahwa suami dan isteri akan melakukan perceraian

setelah itu suami dan isteri mendatangani surat cerai diatas selembar kertas yang bermaterai, maka menurut mereka sudah sah perceraian mereka berdua dan mereka sudah tidak menjadi pasangan suami isteri.

17

Abdurahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Perkawinan, (Jakarta : Akademik Presindo, 1986), Cet Ke 1, h. 114

18

(10)

Selain karena faktor biaya yang sangat mahal melakukan proses perceraian di pengadilan, faktor lainnya, dikarenakan tempat pengadilan yang begitu jauh dari tempat tinggal mereka. Tempat tinggal mereka di pelosok-pelosok dan perdesaan yang jauh dari mana-mana termasuk pasar sekalipun sedangkan tempat pengadilan agama yang letaknya di perkotaan jauh dari pedesaan, makanya masyarakat tidak bisa melakukan perceraian melalui proses persidangan. Selain itu dikarenakan awamnya atau tidak tahunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikehidupan mereka. Dengan adanya perilaku perceraian masyarakat Desa Kadu Ti’is tersebut maka saya tertarik untuk melakukan penelitian yang akan saya tinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis merasa terdorong untuk melakukan penelitian dan membuat pembahasan skripsi ini dengan judul

“PERCERAIAN TANPA MELALUI PROSES PERSIDANGAN DI

PENGADILAN AGAMA DI TINJAU DARI UU NOMOR 1 TAHUN 1974

(Studi Kasus Di Desa Kadu Ti’is Kecamatan Mekar Jaya Kabupaten

Pandeglang)”

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH 1. Pembatasan Masalah

(11)

melalui proses persidangan di pengadilan agama. Karena di dalam Undang-Undang yang berkaitan dengan masalah perceraian sangat luas, maka penulis juga mempertegas batasan-batasan penyusunan skripsi ini mengenai perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan agama di tinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

2. Perumusan Masalah

Menurut Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 39 ayat 1 dan KHI Pasal 115 yang berbunyi : Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Meskipun peraturan perceraian telah jelas diatur seperti yang sudah dijelaskan diatas, akan tetapi pada kenyataannya sebagian masyarakat dari Desa Kadu Ti’is yang melakukan perceraian tidak melalui Pengadilan. Maka dalam permasalahan ini penulis akan menelusuri dan meneliti tinjauan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Faktor apa saja yang menyebabkan sebagian masyarakat di Desa Kadu Ti’is melakukan perceraian tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama?

2. Bagaimana tatacara perceraian diluar Pengadilan Agama yang dilakukan sebagian masyarakat Desa Kadu Ti’is?

(12)

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui proses perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

b. Untuk mengetahui faktor penyebab dari perceraian di Desa Kadu Ti’is tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama.

c. Untuk mengetahui dampak positif dan negaifnya akibat perceraian masyarakat di Desa Kadu Ti’is.

d. Untuk mengetahui tradisi perceraian di Desa Kadu Ti’is dengan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengetahui faktor yang menyebabkan masyarakat bercerai tanpa proses persidangan di pengadilan

b. Memberikan pemahaman kepada masyarakat pentingnya perceraian melalui proses persidangan di pengadilan Agama

(13)

d. Dapat mengetahui dampak positif dan negatif perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan

D. METODE PENELITIAN

Untuk memperoleh data yang akan di butuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka penulis menggunakan beberapa langkah antara lain :

1. Jenis Penelitian

a. Penulis kepustakaan (library research) yaitu penulis yang di lakukan dengan cara mengkaji buku-buku, literatur-literatur, dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

b. Penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang di lakukan dengan cara mengumpulkan data-data lapangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

2. Sumber Data

a. Data Primer : Data yang didapat dari hasil wawancara dengan masyarakat yang bercerai tanpa melalui proses persidangan. Dalam penelitian menggunakan tehnik wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pokok-pokok masalah sebagai pedoman wawancara. Pokok-pokok tersebut guna menghindari terjadinya penyimpangan dari pokok masalah penelitian dan kevakuman selama wawancara.

(14)

literatur-literatur yang mempunyai relevansi dalam penelitian ini dan data lapangan tempat penelitian, ataupun data lain yang berkumpul dan yang mempunyai hubungan dengan tema ini.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data-data akurat saat penelitian, penulis menggunakan beberapa tehnik, yaitu :

a. Interview (Wawancara), yaitu suatu alat pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi yang jelas dan akurat yang berkaitan dengan hal yang diteliti.19 Wawancara dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab langsung dengan masyarakat setempat, serta tanya jawab juga dilakukan dengan lembaga pemerintahan dibidang hukum yaitu pengadilan setempat.

b. Dokumentasi, yaitu dengan cara melihat dokumen dan arsip-arsip yang ada di lembaga pemerintah atau swasta setempat yang dijadikan objek penelitian serta data-data yang diperoleh dari literatur dan referensi yang berhubungan dan berkenaan dengan judul skripsi ini.

c. Observasi, adalah kegiatan yang diarahkan untuk memperhatikan sesuatu secara akurat, serta mencatat fenomena atau kejadian yang muncul saat pengamatan serta mempertimbangkan hubungan aspek dalam fenomena tersebut. Observasi dilakukan penelitian apabila dalam penelitian nanti sedang terjadi kegiatan yang menjadi objek utama bagi penelitian.

19

Badan Penelitian Dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah,

(15)

4. Jenis Data

Adapun jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif (deskriptif) yaitu data yang didapatkan dari buku, literatur-literatur yang mempunyai relevansi dalam penelitian ini dan data lapangan tempat penelitian.

5. Tehnik Analisa Data

Dalam menyusun skripsi ini menggunakan tehnik analisa dengan cara menganalisis dan mengambil kesimpulan dari data-data yang ada.

6. Tehnik Penulisan Skripsi

Adapun tehnik penulisan skripsi ini menggunakan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Cet 1 Tahun 2005. 7. Kerangka Teori

Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya, fiqh al-Sunnah menyatakan bahwa kata itlaq, yang berarti “melepaskan” atau “meninggalkan”. Selanjutnya dalam istilah agama, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan.20

Sedangkan Al-San’ani dalam kitabnya, subul al-salam memberikan pengertian talak menurut bahasa adalah “pelepasan ikatan yang kokoh”, sedangkan menurut istilah syara’, talak adalah pelepasan akad perkawinan.21

20

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah [terj.] Drs. Moh. Tholib, (Bandung : Al-Ma’ruf, 1994), hal. 9 21

(16)

Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian dalam istilah ahli fikih disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian dan furqah berarti bercerai, yaitu lawan kata dari berkumpul. Kemudian kedua kata ini dijadikan istlah oleh para ahli fikih yang berarti perceraian antara suami isteri.

Kemudian yang dimaksud dengan perceraian atau talak disini adalah sebagaimana yang dijelaskan didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38 menerangkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, percerian, dan atas keputusan pengadilan. Kemudian dalam pasal 39 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perUndang-Undangan tersendiri yang sudah jelas.

E. REVIEW STUDI TERDAHULU

Penulis melakukan review terdahulu sebelum menentukan judul skripsi, dalam review terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya dengan perceraian.

(17)

Pertama, skripsi yang berjudul, Penyelesaian Perkara Perceraian Bersama Dengan Gugatan Penguasa Anak (analisis putusan No. 816/pdt.G/2004/PPAJT) Oleh : Ariyanih (102044124992) Tahun 2006.

Skripsi menjelaskan bahwa cerai gugat diatur dalam pasal 86 ayat (1) yaitu: gugatan soal penguasa anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kedua, skripsi yang berjudul, Penyelesaian Perkara Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Karena Penganiayaan (Studi kasus di pengadilan agama jaktim)

Oleh : Desi Royalya (101044222186)Tahun 2005.

Skripsi ini menjelaskan bahwa sebab berakhirnya suatu ikatan perkawinan terbagi menjadi :

1. Berakhirnya perkawinan dalam keadaan suami isteri masih hidup dapat terjadi atas kehendak suami dan isteri.

2. Dapat juga terjadi di luar kehendak keduanya.

Ketiga, skripsi yang berjudul, Cerai Gugat Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif (Studi kasus cerai gugat karena cacat badan di pengadilan agama jaktim)

Oleh : Ahmad Madroji (101044222175) Tahun 2005.

Skripsi ini menjelaskan hukum cerai gugat karena cacat badan menurut

(18)

Jelas sekali bahwa skirpsi ini berbeda dengan skripsi terdahulu. Dalam skripsi ini

yang akan saya tulis mengenai tentang perilaku perceraian masyarakat kadu ti’is Mekar Jaya pandeglang.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka penulis mengklarifikasikan dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai

berikut :

Pada Bab Pertama, penulis menjelaskan mengenai pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Pada Bab Kedua, penulis menjelaskan mengenai pengertian perceraian, rukun dan syarat-syarat perceraian, perceraian dalam perspektif fiqh, perceraian dalam perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Pada Baba Ketiga, penulis menjelaskan mengenai sejarah singkat desa kadu ti’is, letak geografis, kondisi kebudayaan, dan kondisi perekonomian di desa kadu ti’is.

Pada Bab Keempat, penulis menjelaskan mengenai tradisi perceraian masyarakat di desa kadu ti’is, alasan dan faktor perceraian, akibat perceraian masyarakat di desa kdu ti’is yang membahas tentang dampak positif dan

(19)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan analisa penulis terhadap perilaku perceraian

yang terjadi pada masyarakat kadu ti’is.

Pada Bab Kelima, penulis menjelaskan mengenai inti kajian penelitian penulis mengenai kesimpulan dan saran-saran.

(20)

A. Pengertian Perceraian a. Pengertian

“Putusnya Perkawinan” adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU

Perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan

perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup

sebagai suami isteri. Untuk maksud perceraian itu fiqh menggunakan istilah

furqah.1

Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut “talak” atau “furqah”. “Talak”

berarti “membuka ikatan”, “membatalkan perjanjian”. “furqah” berarti “bercerai”,

lawan dari “berkumpul”. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh

ahli-ahli fiqih yang berarti : perceraian antara suami isteri.

Perceraian berasal dari bahasa Arab yaitu Thalaq yang berarti membuka

ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda atau tawanan ataupun ikatan ma’nawi

seperti ikatan pernikahan. Sedangkan thalaq menurut istilah adalah

menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan

menggunakan kata-kata tertentu. Secara spesifik menurut syara’ thalaq adalah

melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami isteri.2

1

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, ( Jakarta : Kencana, 2006), h. 189

2

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), Cet ke-1, h. 94

(21)

Perkataan “talak” dan “furqah” dalam istilah fiqih mempunyai arti yang

umum dan arti yang khusus. Arti yang umum, ialah segala macam bentuk

perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang telah ditetapkan oleh hakim dan

perceraian yang jatuh dengan sendirinya seperti perceraian yang disebabkan

meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Arti khusus ialah perceraian

yang diajtuhkan oleh suami saja.3

Talak merupakan kalimat bahasa Arab yang artinya “menceraikan” atau

melepaskan”. Mengikuti istilah syara ia bermaksud, “melepaskan ikatan

pernikahan atau perkawinan dengan kalimat atau lafaz yang menunjukkan talak

atau perceraian”.

Dalam Islam perceraian biasa disebut dengan talak. Dan dalam bab ini

penulis akan memaparkan beberapa pengertian dari talak. Kata talak berasal dari

bahasa arab “ithlaq” yang berarti “melepaskan” atau meninggalkan. Dalam istilah

fiqih berarti melepaskan ikatan perkawinan, yakni perceraian antara suami isteri,4

talak merupakan perceraian yang timbul karena sebab-sebab dari pihak suami.5

Jika suami melafazkan kalimat sindiran kepada isterinya, maka dengan

sendirinya mereka berdua telah terpisah dan istrinya berada dalam keadaan iddah.

Jika semasa isteri didalam iddah kedua pasangan ingin berdamai, mereka boleh

3

Ibid., h. 156

4

Muhammad Baghir Al Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al Qur’an, As Sunnah daPendapat Para Ulama, (Bandung : Mizan, 2002), Cet Ke 2, h. 81

5

(22)

)

ا

ق

/

:

(

Artinya: “Maka rujuklah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik pula”. (QS. At-Talaq : 2)

Talak merupakan perbuatan yang tidak disukai oleh Allah SWT., hal ini

pun disepakati oleh para ulama sebagaimana yang terdapat dalam hadits Nabi

SAW :

ا

ر

ﷲاا

لﺎ

:

لﺎ

ر

ل

ﷲا

ﷲا

ﻰ ﺻ

و

:

ا

ا

ل

ا

ﷲا

ﱠ ا

ق

)

ﺤﺤﺻو

م

اودوا

دﻮ ا

اور

آﺎﺤ ا

(

Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda : perbuatan yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq”. (HR. Abu Daud, Ibnu

Majah dan dinilai shahi oleh Hakim)6

Adapun pengertian perceraian menurut istilah ahli hukum adalah :

a. Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan

lafal talak atau yang semakna dengan lafal talak itu.

b. Mazhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang

menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami isteri.7

6

Abu Daud, Sunan Abu Daud (Beirut : Dar al-Fikr, 1994), Jilid 2, h. 500

7

(23)

c. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai pelepasan

ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan perkawinan dimasa yang

akan datang.

d. Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan melepas tali perkawinan dan

mengakhiri hubungan suami isteri.8

Menurut Prof. Subekti, S.H. perceraian adalah penghapusan perkawinan

dengan putusan hakim, atau tuntutan dari salah satu pihak dalam perkawinan

tersebut.9

b. Hukum Perceraian

Perceraian dalam Islam memang dibolehkan kalau rumah tangga yang

didirikan sulit dirajut kembali, tetapi menjatuhkan talak mempunyai muatan

hukum yang berbeda-beda. Hukum perceraian adalah10 :

a) Wajib

Sebuah rumah tangga yang selalu ribut dan terjadi pertengkaran (syiqaq) yang

sangat memuncak antara suami dan isteri, serta sudah diusahakan intervensi

pihak ketiga yang terdiri dari dua orang, satu orang dari pihak suami dan satu

orang lagi dari pihak isteri, yang berfungsi sebagai pendamaian. Namun usaha

ini tidak membawa hasil maka sudah seharusnya talak itu dijatuhkan.

8

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjemah, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1996), Cet ke-2, Jilid 9, h. 9

9

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2003), Cet ke-31, h. 42

10

(24)

b) Sunnah

Seorang isteri yang kurang menjaga kehormatannya seperti bermata

keranjang, mudah mengundang kecemburuan suaminya, bergaul terlalu dekat

dengan orang lain, dan sebagainya, dan setelah diberikan peringatan oleh

suaminya tentang perilaku dan sikapnya itu agar dihentikan tetapi dia tetap

tidak menghiraukan, maka sebaiknya (sunnah) talak itu dijatuhkan.

c) Mubah (boleh)

Hubungan rumah tangga antara suami dan isterinya cenderung tertutup,

pergaulan sehari-harinya kurang harmonis, ada ketidakcocokan, dan

sebagainya, maka suasana rumah tangga semacam ini dibolehkan terjadi

perceraian.

d) Haram

Seorang isteri dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci dan hari-hari

yang dilalui antara suami dan isterinya biasa mengadakan hubungan badan,

tahu-tahu suaminya mau menjatuhkan talak.

e) Makruh

Sebuah rumah tangga yang berjalan sebagaimana biasanya dan tidak terjadi

badai sedikitpun yang dianggap bisa meretakkan keharmonisan rumah

tangganya yang didirikan, maka menjatuhkan talak pada suasana semacam

imi hukumnya makruh menurut Syafi’i dan Hambali. Sedangkan pendapat

Hanafi adalah haram hukumnya, karena bisa menimbulkan kesengsaraan

(25)

“Tidak boleh mendatangkan mudarat (kepada isterinya) dan tidak juga

kepada orang lain.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Malik).

Talak adalah sesuatu yang halal yang dibenci oleh Allah SWT, tetapi ada

talak yang dijatuhkan oleh seorang suami yang tidak dibenci oleh Allah SWT

disebabkan oleh tindakan dan perilaku pasangannya11 diantaranya :

1. Isterinya diketahui berbuat zina;

2. Isterinya berbuat nusyuz dan sudah berkali-kali dikasih peringatan;

3. Isterinya suka mabuk, penjudi, bertindak tanduk yang bisa merugikan

lingkungan sekitarnya; dan

4. Isterinya susah diajak kerja sama dalam membina rumah tangga yang lebih

damai dan tentram, mau menang sendiri, kurang menghargai peran suami, dan

sebagainya.

Talak atau sebuah perceraian itu sah apabila dijatuhkan oleh seorang

laki-laki yang bertindak sebagai suami (atau bisa diwakilkan), dewasa (baligh), tidak

gila, dan tidak ada paksaan.

Seorang suami yang dipaksa oleh orang lain agar menceraikan isterinya

tanpa sebab-sebab yang dibenarkan oleh syariat Islam, menurut Syafi’i dan

Maliki, adalah tidak sah talaknya.

Hal ini berlandaskan pada Nabi Muhammad SAW :

“Diangkat (tidak diberikan beban hukum) kepada umatku tentang kesalahan,

kelupaan dan sesuatu yang dipaksa kepadanya.” (HR. Ibnu Majah).

11

(26)

Sedangkan pendapat Hanafi, talak yang dipaksakan kepada seorang

suami dan orang yang bersangkutan mau menerimanya adalah tetap sah,

karena ada tindakan menerima terhadap sesuatu yang dipaksakan itu.

Adapun seorang suami yang menjatuhkan talak kepada isterinya dan

dia dalam keadaan mabuk, menurut Syafi’i, Maliki dan Hanafi, adalah sah

jika orang yang bersangkutan itu mabuk mengikuti kemauannya sendiri,

bukan karena paksaan atau darurat lainnya. Istinbath hukum semacam ini

merupakan hukuman yang harus diterima oleh seorang pemabuk yang

bergelimang dengan kemaksiatan. Sedangkan pendapat Hanbali, seorang

suami yang sedang mabuk yang menjatuhkan talak kepada isterinya adalah

tidak sah, karena pada saat itu orang yang bersangkutan sudah hilang akal atau

bisa dikatagorikan orang hilang.

Seorang suami yang menjatuhkan talak kepada isterinya dengan

perkataan yang bolok-olok atau bersenda gurau, menurut Syafi’i dan Hanafi,

adalah sah. Ini berlandaskan kepada sabda Nabi Muhammad SAW :

“Ada tiga perkara: sesungguhnya memang benar-benar sungguh-sungguh

dan ungkapan olok-oloknya sama dengan ungkapan yang sungguh-sungguh:

yaitu nikah, talak dan rujuk.” (HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah).

Sedangkan pendapat Maliki dan Hanbali, suami yang menjatuhkan

talak dengan perkataan bernada senda gurau adalah tidak sah, karena ucapan

yang dilontarkan itu hanya sekedar guyonan belaka dan tidak bisa

(27)

c. Dasar Hukum Perceraian

Perceraian (thalak) dalam agama Islam diatur dalam Qur’an dan

Al-Hadits Nabi SAW. Dan adanya landasan tersebut menegaskan bahwa perceraian

dalam Islam dibolehkan atau halal dilakukan sebagaimana yang tercantum dalam

surat Al-Baqarah ayat 227 :

)

ﺮ ا

/

2

:

227

(

Artinya: “Dan kalau mereka tetap hendak menceraikan isterinya itu, maka Allah

Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Selanjutnya disebutkan sebagaiman firman Allah dalam Al-Qur’an suarat

Al-Baqarah ayat 228 :

) ﺮ / 2 : 228 (
(28)

mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kaum wanita satu tingkat. Tuhan Maha Tinggi dan Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah : 228)

Selanjutnya disebutkan sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an

Surat Al-Baqarah ayat 229 :

)

ﺮ ا

/

:

(

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) itu hanya dua kali, sesudah itu harus kembali rujuk lagi dengan cara yagn sebaik-baiknya, atau diceraikan lepas dengan cara yang sebaik-baiknya pula. Dan tidak dihalalkan bagi kamu mengambil kembali apa yagn sudah diberikan kepada isterimu sedikitpun juga, kecuali kalau kedua belah pihak merasa tidak akan dapat menepati batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah. (Dalam hal ini) kalau kamu pun (para hakim) berpendapat bahwa tidak mungkin bagi kedua belah pihak dapat menepati batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah itu, maka tidak ada dosa buat kedua belah pihak mengenai uang tebusan dari isteri-isterinya itu. Demikianlah batasan-batasan ketentuan dari Allah. Janganlah hendaknya kamu langgar batas-batas tersebut. Barang siapa yang melanggar batas-batas Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

(29)

)

ق

ا

/

:

(

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (izinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barang kali, Allah mengadakan sesudah itu sesuatu ketentuan yang baru”. (Q.S. At-Thalaq ayat 1).

Firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 231 :

(30)

)

ﺮ ا

/ : (

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya. Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula), janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan. Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan dan ingatlah nikmat Allah padamu. Dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkannya itu, dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasannya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah : 231)

B. Rukun Dan Syarat-Syarat Perceraian

Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan

terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun

talak ada empat, sebagai berikut12 :

a. Suami

Suami adalah yang emiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya,

selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat

menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali

setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah.

Abu Ya’la dan Al-Hakim meriwayatkan hadits dari Jabir bahwa

Rasulullah SAW bersabda :

12

(31)

ا

و

ﺢﻜ

ق

Artinya: “Tidak ada talak kecuali setelah akad perkawinan dan tidak ada

pemerdekaan kecuali setelah ada pemilikan.

Abu Daud dan Al-Tirmizi meriwayatkan hadits dari Amir Ibn Syu’aib

bahwa Rasulullah SAW bersabda :

ﺎ ﻓ

او

مدا

رﺬ

ﺎ ﻓ

ق

و

Artinya: “tidak ada nazar bagi anak Adam (manusia) tentang hal yang baik

dimiliki, tidak ada pemerdekaan budak dalam hal yang tidak dimiliki,

dan tidak ada talak dalam hal yang tidak dimiliki.

Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan13 :

1. Berakal

Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila

dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk

kedalamnya sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, atau sakit ingatan

karena rusak syaraf otaknya.

2. Baligh

Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa.

Dalam hal ini ulama Hanabilah mengatakan bahwa talak oleh anak yang

13

(32)

sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang dari 10 tahun asalkan ia telah

mengenal arti talak dan mengetahui akibatnya, talaknya dipandang jatuh.

3. Atas kemauan sendiri

Yang dimaksud atas kemauan sendiri disini ialah adanya kehendak pada diri

suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan

dipaksa orang lain.

Kehendak dan kesukarelaan melakukan perbuatan menjadi dasar taklif dan

pertanggung jawaban. Oleh karena itu, orang yang dipaksa melakukan sesuatu

(dalam hal ini menjatuhkan talak) tidak bertanggung jawab atas perbuatannya.

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :

ا

ﱠن

ﷲا

ر

ا

ا

ءﺎ

و

ﱢ ا

نﺎ

و

اﺎ

ه

ا

Artinya: “Sungguh Allah melepaskan dari umatku tanggung jawab dari dosa

silap, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.

b. Isteri

Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap isteri

sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap isteri orang lain.

Untuk sahnya talak, bagi isteri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut14 :

1)Isteri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Isteri yang

menjalani masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang

masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Karenaya bila dalam masa

itu suami menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga

14

(33)

menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang

dimiliki suami. Dalam hal talak ba’in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan

talak lagi terhadap bekas isterinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan

talak ba’in itu bekas isteri tidak lagi berada dalam perlindungan kekuasaan

bekas suami.

2)Kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan

yang sah. Jika ia menjadi isteri dengan akad nikah yang batil, seperti akad

nikah terhadap wanita dalam masa iddahnya, atau akad nikah dengan

perempuan saudara isterinya (memadu antara dua perempuan bersaudara), atau

akad nikah dengan anak tirinya padahal suami pernah menggauli ibu anak

tirinya itu dan anak tiri itu berada dalam pemeliharaannya, maka talak yang

demikian tidak dipandang ada.

c. Shighat Talak

Shighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap

isterinya yang menunjukkan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah

(sindiran), baik berupa ucapan atau lisan, isyarat bagi suami tuna wicara

ataupun dengan suruhan orang lain.

Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap isterinya

menunjukkan kemarahannya, semisal suami memarahi isteri, memukulnya,

mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya,

tanpa disertai pernyataan talak, maka yang demikian itu bukan talak.

(34)

tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak. Pembicaraan suami tentang

talak tetapi tidak ditujukan terhadap isterinya juga tidak dipandang sebagai

talak.

d. Qashdu (Sengaja),

Artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh

yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Oleh karena itu,

salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh talak,

seperti suami memberikan sebua salak kepada isterinya, semestinya ia

mengatakan kepada isterinya itu kata-kata : “Ini sebuah salak untukmu”,

tetapi keliru ucapan, berbunyi: “Ini sebuah talak untukmu”, maka talak tidak

dipandang jatuh.15

C. Perceraian Dalam Perspektif Fiqh

Menurut istilah, adalah : melepaskan ikatan (hal al-qoid) atau bisa juga

disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah

ditentukan.16

Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk

melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan

perkawinan itu sendiri. Definisi yang agak panjang dapat dilihat di dalam

kitab kifayat al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk

melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam

15

Ibid, h. 204

16

(35)

datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil

tentang talak itu berdasarkan al-Qur’an, hadist, ijma ahli agama dan ahli

sunnah.17

Dari definisi diatas, jelaslah bahwa talak merupakan sebuah institusi

yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Dengan

demikian ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus dan tata caranya telah

diatur baik di dalam fikih maupun di dalam UUP. Meskipun perkawinan

tersebut sebuah ikatan suci namun tidak boleh dipandang mutlak atau tidak

boleh dianggap tidak dapat diputuskan. Perkawinan Islam tidak boleh

dipandang sebagai sebuah sakramen seperti yang terdapat di dalam agama

Hindu dan Kristen, sehingga tidak dapat diputuskan. Ikatan perkawinan harus

dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, bisa bertahan dengan bahagia dan

bisa juga putus di tengah jalan.18

Para ulama klasik juga telah membahas masalah putusnya perkawinan

ini di dalam lembaran kitab-kitab fikih. Menurut Imam Malik srebab-sebab

putusnya perkawinan adalah talak, khulu, khiyar atau fasakh, syiqoq, nusyuz,

ila’ dan zihar. Imam safi’i menuliskan sebab-sebab putusnya perkawinan

adalah talak, khulu, khiyar atau fasakh, syiqoq, nusyuz, ila’, zihar dan li’an.

As-Sarakshi juga menuliskan sebab-sebab perceraian, talak, khulu, ila’ dan

zihar.19

17 Ibid 18

Ibid

19

(36)

Islam mendorong terwujudnya perkawinan yang bahagia dan kekal

dan menghindarkan terjadinya perceraian (talak). Dapatlah dikatakan, pada

prinsipnya Islam tidak memberi peluang untuk terjadinya perceraian kecuali

pada hal-hal yang darurat.

Ada empat kemungkinan yang dapt terjadi dalam kehidupan rumah

tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian20 yaitu :

1. Terjadinya nusyuz dari pihak isteri

Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri

terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran

perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu

keharmonisan rumah tangga.

Berdasarkan firman Allah memberikan opsi sebagai berikut :

a. Isteri diberi nasehat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar

terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.

b. Pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi

isteri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi

terhadap kekeliruannya.

c. Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah

memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk

20

(37)

dicatat, yang boleh dipukul adalah bagian yang tidak membahayakan

si isteri seperti betisnya.21

2. Nusyuz Suami Terhadap Isteri

Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari isteri tetapi

dapat juga datang dari suami. Selama ini sering disalah pahami bahwa

nusyuz hanya datang dari pihak isteri saja. Padahal al-Qur’an juga

menyebutkan adanya nusyuz dari suami sebagaimana yang tercantum

pada firman Allah SWT :

)

ءﺎ ا

/

:

(

Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli isterimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa : 4/128)

21

(38)

Adapun nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari

pihak suami untuk memenuhi kewajibannya terhadap isteri, baik nafkah lahir

ataupun nafkah batin.

3. Terjadinya siqoq

Jika kedua kemungkinan diatas telah disebutkan di muka

menggambarkan satu pihak yang melakukan nusyuz sedangkan pihak yang

lain dalam kondisi normal, maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena

kedua-duanya terlibat dalam syiqoq (percekcokan), misalnya disebabkna

kesulitan ekonomi, sehingga keduanya sering bertengkar.

Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh

alasan syiqoq. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

dinyatakan bahwa syiqoq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus

antara suami isteri.

Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami isteri tidak dapat lagi

didamaikan harus dilalui beberapa proses. Sebagaimana firman Allah SWT :

)

ءﺎ ا

/

:

(

(39)

kerukunan, Allah akan memberikan jalan kepada mereka, sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal”. (QS. An-Nisa : 4/35)

Berdasarkan ayat diatas, jelas sekali aturan Islam dalam menangani

problema kericuhan dalam rumah tangga. Dipilihnya hakam (arbitrator) dari

masing-masing pihak di karenakan para perantara itu akan lebih mengetahui

karakter, sifat keluarga mereka. Ini lebih mudah mendamaikan suami isteri

yang sedang bertengkar. An-Nawawi dalam syarah muhazzab menytakan

bahwa disunnahkan hakam itu dari pihak suami isteri, dan jika tidak boleh

dari pihak lain.22

4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah), yang menimbulkan saling tuduh-menuduh antar keduanya.

Cara menyelesaikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan

yang di dakwakan, dengan cara li’an seperti telah disinggung di muka. Li’an

sesungguhnya telah memasuki “gerbang putusnya” perkawinan, dan bahkan

untuk selama-lamanya. Karena akibat li’an adalah terjadinya talak ba’in

kubro.23

Jika diamati aturan-aturan fikih berkenaan dengan talak, terkesan

seolah-olah fikih memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkat

tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah

22

Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grouf, 2006), h. 214

23

(40)

talak menjadi hak frerogatif laki-laki sehingga bisa saja seorang suami

bertindak otoriter, misalnya, mencerai isteri (perempuan) secara sepihak.24

Jika fikih terkesan mempermudah terjadinya perceraian, maka UUP

dan aturan-aturan lainnya terkesan mempersulit terjadinya perceraian ini

untuk dapat terwujudnya sebuah perceraian harus ada alasan-alasan tertentu

yang dibenarkan Undang-Undang dan ajaran agama. Jadi tidak semata-mata

diserahkan kepada aturan-aturan agama.25

D. Perceraian Dalam Perspektif UU No.1 Tahun 1974

Pada pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa tujuan

perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan

ketuhanan Yang Maha Esa. Namun dalam realitanya sering kali perkawinan

tersebut kandas ditengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik

karena sebab kematian, perceraian ataupun karena putusan pengadilan

berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.26

Pasal 38 UUP menyatakan :

Perkawinan dapat putus karena, a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas

keputusan pengadilan.

Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah jika

salah satu pihak baik suami atau isteri meninggal dunia. Sedangkan untuk

24

Ibid, h. 215

25

Ibid, h. 216

26

(41)

sebab perceraian, UUP memberikan peraturan-peraturan yang telah baku,

terperinci, dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan dengan keputusan

pengadilan adalah jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk

waktu yang lama. Dan UUP tidak menyebutkan beberapa lama jangka waktu

untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu. Di

dalam UUP pasal 38 tersebut dipandang cukup jelas.27

Didalam PP No.9 Tahun 1975 pasal 16 dinyatakan hal-hal yang

menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan

sebagai berikut :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal yang lain

diluar kemampuannya ;

c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihka lain ;

d. Salah satu pihak mendapt cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menghilangkan kewajibannya sebagai suami atau isteri ;

e. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Selanjutnya pada pasal 39 UUP dinyatakan :

27

(42)

1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak.

2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri

tdak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan

perundangan sendiri.

Pasal 41 UUP juga membicarakan akibat yang ditimbulkan oleh

perceraian. Adapaun bunyi pasalnya sebagai berikut :

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :

a. Baik ibu atau bapak tertap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada

perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberikan

keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan

tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan

bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas

isteri.

Berbeda dengan putusnya perkawinan dengan sebab kematian yang

(43)

percerian pada dasarnya kesalahan yang bersumber dari manusia itu sendiri.

Terjadinya perceraian misalnya, lebih disebabkan ketidak mampuan pasangan

saumi isteri tersebut merealisasikan tujuan perkawinan itu sendiri.28

28

(44)

A. Sejarah Singkat Desa Kadu Ti’is

Nama “Ranca” adalah lahan yang dialiri air yang mengandung banyak lumpur hingga mencapai 1-2 meter sehingga lahan ini tidak di garap oleh masyarakat, nama “Bugel” adalah sebuah bukit/hutan tua, atau di sebut oleh masyarakat setempat adalah “Leuweung Kolot”, dan bukit ini mempunyai mata air yang terus mengalir ke ranca tersebut. Sehingga di satukanlah ranca dan bukit tersebut sehingga menjadi “Rancabugel”1

Sedangkan di lihat dari sudut pemerintahan, desa Rancabugel adalah salah satu pemekaran dari Desa Wirasinga Kecamatan Cimanuk, pada tahun 1980 Desa Wirasinga di mekarkan menjadi 3 (tiga desa) yaitu Desa Wirasinga, Rancabugel dan Pasirmae, pada awalnya Desa Rancabugel masuk kepada Kecamatan Cimanuk, pada tahun 2005 ada pemekaran Kecamatan antara Kecamatan Banjar dan Kecamatan Cimanuk, dan Desa Rancabugel masuk kepada Kecamatan baru yaitu Kecamatan Mekarjaya.

Desa Rancabugel pernah dipimpin oleh beberapa kepala desa diantaranya :

a. Bapak Husein b. Bapak H. Dulsirad c. Bapak Nurdin

1

Wawancara Pribadi dengan Sumantri. Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari, 2010

[image:44.612.116.533.109.642.2]
(45)

d. Bapak Sukraya e. Bapak Sumantri

B. Letak Geografis

Desa Rancabugel dengan luas Wilayah seluruhnya 323 ha,

Penggunaan lahan di Desa Rancabugel terdiri Lahan Sawah 150 ha dan Lahan Darat 173 ha. Lahan Darat terbagi pada lahan Perkebunan, Hutan dan

Pertanian dan Pemukiman.2

a. Batas-Batas Desa Rancabugel sebagai berikut :

Sebelah Utara : Desa Gunung Cupu Kecamatan Cimanuk

Sebelah Timur : Desa Pareang, Desa Wirasinga

Sebelah Barat : Desa Pasirmae Kecamatan Cipeucang

Sebelah Selatan : Kabupaten Lebak

b. Sedangkan jarak tempuh ke desa rancabugel adalah : Jarak dari Kecamatan Mekarjaya 10 km

Jarak dari ibu kota Kabupaten 25 km Jarak dari ibu kota Provinsi 45 km

Jarak dari ibu kota Negara 155 km

c. Daftar Kampung atau dusun, dan jaraknya dari satu kampung ke kampung lain 500 m-1 km. Diantaranya :

a. Kampung Rancabugel

2

(46)

b. Kampung Karoya

c. Kampung Pasir Pogor Girang d. Kampung Pasir Pogor Kidul e. Kampung Kebon

f. Kampung Dukuh

g. Kampung Karya Jaya Barat

h. Kampung Karya Jaya Timur i. Kampung Panamun

j. Kampung Kadu Ti’is

k. Kampung Garunggang l. Kampung Rancanyenang

m. Kampung Dahu

C. Kondisi Kebudayaan

Sebelum kita membahas kebudayaan di Desa Kadu Ti’is, kita bahas

pengertian kebudayaan itu sendiri terlebih dahulu. Definisi kebudayaan yang di kemukakan oleh beberapa ahli yaitu3 :

1. Edward B. Taylor

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, adat istiadat, dan

3

(47)

kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai

anggota masyarakat. 2. M. Jacobs dan B. J. Stern

Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi

sosial, ideologi, realigi, dan kesenian serta benda yang kesemuanya merupakan warisan sosial.

3. Koentjaraningrat

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

diri manusia dengan relajar. 4. Dr. K. Kopper

Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.

5. William H. Haviland

Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki

bersama oleh para anggota masyarakat yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh semua masyarakat.

6. Kihajar Dewantara

(48)

bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

7. Francis Merill

• Pola-pola perilaku yang dihasilkan oleh interaksi sosial

• Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh seseorang

sebagai anggota suatu masyarakat yang ditemukan melalui interaksi simbolis.

8. Bounded et:al

Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan

transmisi diri kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya diantara para angggota suatu masyarakat.

Pesan-peasan tentang kebudayaan yang diharapkan dapat ditemukan di dalam media, pemerintah, institusi agama, sistem pendidikan, dan

semacam itu.

9. Mitchell (Dictionary of Soriblogy)

Kebudayaan adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau

(49)

memasyarakat secara sosial dan bukan sekedar dialihkan secara

genetikal.4 10. Robert H. Lowie

Kebudayaan adalah segala sesuatau yang diperolah individu dari

masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, nama-nama artis, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya

sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal.

11. Arkeologi R. Soekmono

Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan.

Secara etimologi (bahasa), kebudayaan berasal dari akar kata budaya (Budaya Sansekerta) “bodhya” yang diartikan pikiran dan akal budi. Berbudaya berarti mempunyai budaya, mempunyai pikiran dan akal budi untuk memajukan diri. Kebudayaan diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia sebagai hasil pemikiran dan akal budinya; peradaban sebagai hasil akal budinya; ilmu pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang dimanfaatkan untuk kehidupannya dan memberikan manfaat kepadanya.5

4

Kuntoro, ‘Pengertian Kebudayaan’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari http://docs.google.com.

5

(50)

Desa Kadu Ti’is mempunyai kebudayan tersendiri yang mungkin berbeda dari yang lainnya. Seperti dalam bidang pengetahuan : anak-anak di Desa ini pendidikannya bisa dihitung, lulusan SD jumlahnya 1.071 orang, lulusan SLTP jumlahnya 227 orang, lulusan SLTA jumlahnya 52 orang, lulusan perguruan D II jumlahnya 4 orang, SI jumlahnya 3 orang, dan yang tidak sekolah jumlahnya 412 orang, kebanyakan orang tua disini mengatakan bahwa buat apa anak saya sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya mereka di dapur-dapur juga kerjanya dan lagian saya tidak mampu untuk menyekolahkan anak saya ke tingkat yang lebih tinggi.6

Untuk masalah kepercayaan, masyarakat Desa Kau Ti’is masih

percaya kepada Allah SWT., tetapi ada juga yang masih percaya dengan guna-guna, pelet pokoknya hal-hal yang berbau mistis. Kepercayan seperti itu sudah menjadi kebudayaan bagi masyarakat Desa Kadu Ti’is serta kota

Pandeglang.

Kesenian di Desa Kadu Ti’is seperti alat musik yang sering mereka

gunakan adalah gendang, suling yang sering di gunakan oleh orang-orang sunda dan sering digunakan jika ada salah seorang masyarakat sedang mengadakan pernikahan maka sering memanggil dangdutan atau tarian-tarian

6

(51)

seperti jaipongan dan lain-lainnya. Bukan hanya dari segi alat musiknya saja

tapi kesenian yang masih digunakan si desa ini yaitu pencak silat.7

Adat istiadat di desa ini dalam masalah pernikahan, jika ada salah satu dari masyarakat ini ada yang melakukan pernikahan maka sesudah mereka

resmi menjadi pasangan suami isteri lalu mereka digiring atau diarak keliling desa gunanya untuk mengetahui kepada penduduk desa sekitar bahwa mereka

berdua telah resmi menjadi pasangan suami isteri. Pasangan suami isteri tersebut di temani oleh keluarga mereka masing-masing untuk keliling desa.

Selain itu ada juga yang sudah menjadi adat istiadat masyarakat disini,

seperti dalam setiap hari-hari besar contohnya maulid Nabi SAW., bulan Rajab, Roah, dan bulan Syafar. Di saat bulan-bulan tertentu itu mereka

mempunyai kebiasaan melakukan sedekahan (itu sebutan bagi masyarakat Desa Kadu Ti’is).

Setiap acara maulidan tanggal 12, 24, 25, dan 27 masyarakat

mengeluarkan sedekah buat masyarakat sekitar seperti memberikan makanan kesetiap rumah dan semua masyarakat di Desa itu melakukannya dengan

ikhlas dan senang. Pada setiap bulan Rajab pun mereka melakukan sedekahan seperti itu. Membawakan atau memberikan makanan kepada masyarakat sekitar, istilahnya mereka saling tukar-menukar makanan. Begitupun saat

7

(52)

menjelang datangnya bulan puasa (Roah), masyarakat sekitar memberikan

atau sedekahkan makanannya kepada masyarakat sekitar.8

Jika menjelang bulan syafar, sama seperti maulidan, Rajab dan Roah sama-sama memberikan sedekahan makanannya kepada masyarakat tetapi

disini yang bikin bedanya adalah setiap bulan syafar masyarakatnya diwajibkan memberikan sedekah makanannya berupa ketupat dan itu sudah

menjadi tradisi di Desa Kadu Ti’is. Hanya bukan syafar saja sedekahannya harus berupa ketupat itu yang jadi utamanya di bulan syafar.

Kalau kita lihat dari setiap acara hari-hari besar seperti yang diatas

bahwa menggambarkan di Desa ini masih kuat agamanya tetapi kenapa masih ada yang mempercayai dengan adanya dukun ataupun yang lainnya.

Dalam masalah perceraian di Desa Kadu Ti’is ini pun sudah menjadi tradisi mereka, setiap masyarakat yang melakukan perceraian tidak melalui proses persidangan di karena ada beberapa faktor penyebab yang menurut

mereka tidak bisa melakukan perceraiannya di depan persidangan. Salah satu faktor penyebabnya yaitu:

1. Letak persidangannya yang jauh dari perkampungan mereka 2. Faktor ekonomi

3. Repot dan sulitnya mengurus perceraian, mereka menginginkan perceraian

yagn simpel dan gampang.

8

(53)

4. Karena sudah adanya perceraian (tidak melalui proses persidangan) yang

seperti itu di Desa Kadu Ti’is sejak berdirinya Desa tersebut.

Angka perceraian di Kabupaten Pandeglang saat ini terbilang tinggi. Berdasarkan data di Pengadilan Agama (PA) dalam kurun waktu sebulan, ada

20 hingga 25 perkara. Bahkan, sampai akhir April ini, sudah 100 perkara yang selesai disidangkan.Walaupun begitu, bila dibandingkan kabupaten dan kota

lain di Banten, jumlahini terbilang rendah. Humas PA Pandeglang Sopyan Maulani mengatakan, perceraian di Pandeglang mayoritas didominasi oleh faktor ekonomi. Istri dengan terpaksa menuntut suami karena merasa tidak

dipenuhi kebutuhan hidupnya. “Penyebab lainnya karena ditinggal pergi dalam jangka waktu lama oleh suami,” katanya kepada Radar Banten di ruang

kerjanya, Jumat (30/4). Ia menilai, jika dibanding dengan daerah lain, kasus perceraian di Pandeglang relatif kecil. “Di sini yang menggugat cerai rata-rata istri. Kalau dirata-rata jumlahnya mencapai 75 persen,” tukasnya seraya

menambahkan ada empat alasan isteri menggugat cerai suami.9

Pertama si suami meninggalkan isteri selama dua tahun lebih, kedua suami tidak memberikan nafkah wajib selama tiga bulan, ketiga menyakiti badan seperti memukul dan keempat membiarkan atau tidak mempedulikan isteri selama enam bulan. Ia melanjutkan, tahun 2008 perkara perceraian mencapai 150 perkara dan tahun 2009 meningkat jadi 280 kasus. “Jenis

9

(54)

perceraian yang ditangani PA terbagi dua. Yakni gugat cerai (cerai yang diajukan isteri-red) dan permohonan ikrar talak yang disampaikan suami,”paparnya.

Dalam kesempatan ini bapak yang telah 13 tahun menjadi hakim di PA Pandeglang meminta masyarakat mematuhi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam aturan itu, semua persoalan dalam pernikahan harus diselesaikan melalui jalur ini. Rain Fachrudin meminta Pemkab memperbanyak lapangan kerja sebagai solusi menekan angka perceraian. “Saya yakin gugat cerai yang diajukan isteri akan berkurang jika suami memiliki pekerjaan alias tidak menganggur,”10

D. Kondisi Ekonomi

Secara umum mata pencaharian masyarakat di Desa Rancabugel masih mengandalkan sektor pertanian yang pada umumnya dikarenakan kondisi yang sangat mendukung untuk pertanian, namun demikian ada beberapa sektor lain yang menjadi andalan pendapatan masyarakat. Seperti Buruh Perkebunan, Budidaya Ikan Air Tawar, Beternak dan Berkebun ada juga beberapa masyarakat yang berdagang kecil-kecilan, melihat kondisi jalan yang dilalui desa Rancabugel sekarang banyak yang rusak sehingga sulit untuk memasarkan hasil pertanian.11

10

Kuntoro, ‘Pengertian Kebudayaan’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari http://docs.google.com.

11

(55)

A. Tradisi Perceraian Masyarakat Desa Kadu Ti’is a. Prosedur Perceraian

Semua masyarakat yang sudah berumah tangga sudah pasti menginginkan rumah tangganya yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Akan tetapi tidak sedikit pula masyarakat yang rumah tangganya mengalami

perselisihan yang pada ujungnya berakhir dengan sebuah perceraian.

Seperti halnya masyarakat di Desa Kadu Ti’is ternyata tidak semua

masyarakatnya dapat atau memiliki suasana sebagaimana yang mereka inginkan. Beberapa rumah tangga tidak harmonis lagi, yang kemudian bercerai. Mereka menganggap bahwa perceraian adalah suatu jalan yang

terbaik diantara mereka karena menurut mereka apabila tidak bercerai, salah satu diantara mereka merasa tersakiti dikarenakan tidak ada rasa

tanggungjawab antara mereka. Selain alasan yang diatas ada juga alasan dari terjadinya perceraian diantaranya faktor ekonomi dan karena tidak saling memahami antara keduanya yang mengakibatkan perselisihan terus-menerus

sehingga perceraian dipilih sebagai jalan terbaik.

Perceraian bukanlah suatu yang mustahil terjadi bagi setiap

masyarakat yang sudah menikah. Masyarakat yang berada di Desa Kadu Ti’is pun ada masyarakat yang bercerai akan tetapi mereka bercerai tidak mengikuti

(56)

prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Proses perceraian yang dilakukan masyarakat Kadu Ti’is yaitu perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan agama.

Prosedur perceraian yang dilakukan suami isteri di Desa Kadu Ti’is

langkah pertama yaitu melalui kelurahan, maupun para penghulu atau lebe dan juga tokoh masyarakat setempat. Masyarakat yang ingin melakukan

perceraian biasanya mereka mendatangi Bapak RT setempat dan mereka mengemukakan alasan-alasan kenapa mereka ingin bercerai, dalam hal ini Bapak RT berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang ingin bercerai

dengan segala cara, jika RT setempat tidak mampu lagi untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk hidup rukun, maka Bapak RT menghadirkan RW

setempat.1

Tugas RT dan RW dalam hal ini yaitu bermusyawarah untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang ingin melakukan perceraian, jika RT

dan RW tidak sanggup membujuk kedua belah pihak untuk rukun kembali dan tidak sanggup mendamaikan mereka maka dari pihak RT dan RW memanggil

atau menghadirkan Bapak lurah, penghulu dan tokoh masyarakat juga para saksi dari pihak keluarga masing-masing.

Pasangan suami isteri yang ingin melakukan perceraian setelah sudah

memberitahukan kepada RT

Gambar

GAMBARAN UMUM DESA KADU TI’IS

Referensi

Dokumen terkait