• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut istilah, adalah : melepaskan ikatan (hal al-qoid) atau bisa juga disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.16

Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Definisi yang agak panjang dapat dilihat di dalam kitab kifayat al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam

15

Ibid, h. 204 16

Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grouf, 2006), h. 207

datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan al-Qur’an, hadist, ijma ahli agama dan ahli sunnah.17

Dari definisi diatas, jelaslah bahwa talak merupakan sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus dan tata caranya telah diatur baik di dalam fikih maupun di dalam UUP. Meskipun perkawinan tersebut sebuah ikatan suci namun tidak boleh dipandang mutlak atau tidak boleh dianggap tidak dapat diputuskan. Perkawinan Islam tidak boleh dipandang sebagai sebuah sakramen seperti yang terdapat di dalam agama Hindu dan Kristen, sehingga tidak dapat diputuskan. Ikatan perkawinan harus dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, bisa bertahan dengan bahagia dan bisa juga putus di tengah jalan.18

Para ulama klasik juga telah membahas masalah putusnya perkawinan ini di dalam lembaran kitab-kitab fikih. Menurut Imam Malik srebab-sebab putusnya perkawinan adalah talak, khulu, khiyar atau fasakh, syiqoq, nusyuz, ila’ dan zihar. Imam safi’i menuliskan sebab-sebab putusnya perkawinan adalah talak, khulu, khiyar atau fasakh, syiqoq, nusyuz, ila’, zihar dan li’an. As-Sarakshi juga menuliskan sebab-sebab perceraian, talak, khulu, ila’ dan zihar.19 17 Ibid 18 Ibid 19 Ibid, h. 208

Islam mendorong terwujudnya perkawinan yang bahagia dan kekal dan menghindarkan terjadinya perceraian (talak). Dapatlah dikatakan, pada prinsipnya Islam tidak memberi peluang untuk terjadinya perceraian kecuali pada hal-hal yang darurat.

Ada empat kemungkinan yang dapt terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian20 yaitu :

1. Terjadinya nusyuz dari pihak isteri

Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga.

Berdasarkan firman Allah memberikan opsi sebagai berikut : a. Isteri diberi nasehat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar

terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.

b. Pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi isteri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi terhadap kekeliruannya.

c. Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk

20

dicatat, yang boleh dipukul adalah bagian yang tidak membahayakan si isteri seperti betisnya.21

2. Nusyuz Suami Terhadap Isteri

Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari isteri tetapi dapat juga datang dari suami. Selama ini sering disalah pahami bahwa nusyuz hanya datang dari pihak isteri saja. Padahal al-Qur’an juga menyebutkan adanya nusyuz dari suami sebagaimana yang tercantum pada firman Allah SWT :

)

ءﺎ ا

/

:

(

Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli isterimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa : 4/128)

21

Adapun nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya terhadap isteri, baik nafkah lahir ataupun nafkah batin.

3. Terjadinya siqoq

Jika kedua kemungkinan diatas telah disebutkan di muka menggambarkan satu pihak yang melakukan nusyuz sedangkan pihak yang lain dalam kondisi normal, maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena kedua-duanya terlibat dalam syiqoq (percekcokan), misalnya disebabkna kesulitan ekonomi, sehingga keduanya sering bertengkar.

Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh alasan syiqoq. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dinyatakan bahwa syiqoq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami isteri.

Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami isteri tidak dapat lagi didamaikan harus dilalui beberapa proses. Sebagaimana firman Allah SWT :

)

ءﺎ ا

/

:

(

Artinya: “Bila kamu khawatir terjadinya perpecahan antara mereka berdua, putuslah seorang penengah masing-masing dari pihak keluarga suami dan pihak keluarga isteri. Jika keduanya menghendaki

kerukunan, Allah akan memberikan jalan kepada mereka, sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal”. (QS. An-Nisa : 4/35)

Berdasarkan ayat diatas, jelas sekali aturan Islam dalam menangani problema kericuhan dalam rumah tangga. Dipilihnya hakam (arbitrator) dari masing-masing pihak di karenakan para perantara itu akan lebih mengetahui karakter, sifat keluarga mereka. Ini lebih mudah mendamaikan suami isteri yang sedang bertengkar. An-Nawawi dalam syarah muhazzab menytakan bahwa disunnahkan hakam itu dari pihak suami isteri, dan jika tidak boleh dari pihak lain.22

4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah), yang menimbulkan saling tuduh-menuduh antar keduanya.

Cara menyelesaikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang di dakwakan, dengan cara li’an seperti telah disinggung di muka. Li’an sesungguhnya telah memasuki “gerbang putusnya” perkawinan, dan bahkan untuk selama-lamanya. Karena akibat li’an adalah terjadinya talak ba’in kubro.23

Jika diamati aturan-aturan fikih berkenaan dengan talak, terkesan seolah-olah fikih memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkat tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah

22

Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grouf, 2006), h. 214

23

talak menjadi hak frerogatif laki-laki sehingga bisa saja seorang suami bertindak otoriter, misalnya, mencerai isteri (perempuan) secara sepihak.24

Jika fikih terkesan mempermudah terjadinya perceraian, maka UUP dan aturan-aturan lainnya terkesan mempersulit terjadinya perceraian ini untuk dapat terwujudnya sebuah perceraian harus ada alasan-alasan tertentu yang dibenarkan Undang-Undang dan ajaran agama. Jadi tidak semata-mata diserahkan kepada aturan-aturan agama.25