SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
RINI SETIANI NIM.106011000156
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
v
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011 M/1432 H, hlm. xi+75.
Pendidikan Islam dewasa ini sangat mengalami kemajuan dan perkembangan yang signifikan, hal ini terlihat pendidikan saat ini banyak mengalami modifikasi, transformasi bahkan metamorphosis ke dalam model atau bentuk pendidikan Islam formal. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk manusia yang cerdas dan berakhlak mulia, memerlukan konsep yang matang. Ajaran Islam memiliki dua aspek yaitu aspek eksoteris (lahiriyah) dan aspek esoteris (batiniyah) yang seharusnya terintegrasi dalam pendidikan Islam. Hal yang bersifat esoteric dewasa masih relatif sering diabaikan dalam dunia pendidikan saat ini, oleh karena itu pembelajaran Islam hendaknya tidak hanya mementingkan aspek jasmaniyah semata, tetapi harus menyentuh ranah ruhani yang bisa membentuk peserta didik manjadi insan yang memahami hakikat kehidupan.
Tasawuf sebagai salah satu kajian dalam Islam sangat kaya akan nilai-nilai Islam yang bisa diaplikasikan dalam khazanah pendidikan Islam, terutama dalam bidang ruhani dan akhlak. Dengan nilai-nilai yang ada dalam tasawuf, pendidikan Islam akan lebih kaya makna, lebih dari itu peserta didik tidak hanya mengetahui pokok-pokok pendidikan Islam secara teoritis, tapi mereka juga dapat mengetahui ruh serta makna pendidikan Islam.
Hamka adalah salah satu tokoh ulama Indonesia yang concern dalam kajian keislaman salah satunya dalam bidang tasawuf. Dari beberapa karyanya ia menulis tentang tasawuf, yang salah satu karyanya adalah buku Tasawuf Modern. Pada masanya buku Tasawuf Modern adalah buku yang fenomenal dan mendapat animo yang luar biasa dari masyarakat. Dalam buku Tasawuf Modern banyak ditemukan nilai-nilai yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan tentunya juga dalam dunia pendidikan Islam.
Dari buku tersebut setidaknya terdapat tiga pokok pembahasan mengenai nilai-nilai pendidikan Islam, yaitu pendidikan keimanan, pendidikan akhlak dan pendidikan spiritual. Memperteguh keimanan dengan cara memahami dan memperbanyak
membaca Al Qur’an, memahami hadist Nabi, serta bertafakur kepada Allah adalah
contoh nilai pendidikan keimanan yang dibahas dalam buku Tasawuf Modern. Nilai pendidikan akhlak terlihat dengan penjelasan Hamka tentang macam-macam akhlak terpuji diantaranya adalah malu, sidiq, qona’ah, amanat, iklhlas dan tawakal. Sementara mencegah penyakit hati dan mengobatinya serta menjadikan iman sebagai terapi untuk menjaga kesehatan jiwa mendidik kita untuk memperkuat spiritualitas.
vi
rahmat dan karunia yang tidak terhingga, sehingga penyusunan skripsi dengan
judul “ Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Buku Tasawuf Modern Hamka” dapat terselesaikan dengan baik.
Shalawat teriring salam semoga tetap tercurah kepada nabi akhir zaman,
suri tauladan yang paling baik, da’i yang telah melakukan reformasi dari kejahiliyahan kepada peradaban Islami, dengan menegakan ajaran Al Qur’an yang
suci, melalui gerakan dakwah yang hakiki. Nabi Besar Muhammad SAW.
Penulisan skripsi ini merupakan proses yang panjang, diawali dengan niat
dan tekad, serta dukungan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini bisa selesai.
Penulis menyadari keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai
pihak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu sudah sepantasnya
penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Bapak Bahrissalim, M.Ag
3. Bapak Prof. Dr. H. M. Ardani dosen pembimbing yang telah tulus ikhlas
memberikan petunjuk dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
4. Bapak Dr. Zaimudin, MA dosen penasehat Akademik yang telah melayani
konsultasi dan memberikan arahan kepada penulis.
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta civitas akademika Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan yang dengan penuh kesabaran dan keihklasan
dalam mentransfer segala ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama
kuliah
6. Kedua orang tuaku Bapak Nurrahman dan Ibu Juju Jubaedah serta adiku
tercinta Rita hardianti dan Rian Hardiana yang telah memberikan
vii
8. Rekan rekan Mahasiswa PAI angkatan 2006 khususnya kelas D yang telah
menemani penulis belajar di kampus peradaban selama empat tahun, serta
kawan-kawan IMM Cabang Ciputat yang telah banyak memberikan
pembelajaran kepada penulis, terutama Irma Tazkiyya, Tsauroh Arrisalati,
Nursyakinah Nasution dan Mayang Maharani yang tinggal satu atap ,
terima kasih sudah bersedia menjadi tempat sharing dan berbagi cerita.
Akhirnya hanya kepada Allah jualah penulis memohon perlindungan.
Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya penulis, dan
umumnya pembaca. Amin.
Jakarta, Februari 2011
Penulis
viii
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Penegasan Istilah ... 9
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
E. Metodologi Penelitian ... 10
BAB II TINJAUAN UMUM PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Pendidikan Islam ... 13
B. Nilai-Nilai Pendidikan Islam ... 18
C. Sumber-Sumber Pendidikan Islam ... 19
ix
A. Sekilas Biografi Buya Hamka ... 25
B. Latar Belakang Penulisan Buku Tasawuf Modern ... 28
C. Tasawuf dalam Persfektif Pemikiran Hamka ... 29
D. Bahagia Menurut Hamka ... 35
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TASAWUF MODERN BUYA HAMKA A. Nilai Pendidikan Keimanan ... 43
B. Nilai Pendidikan Akhlak ... 49
C. Nilai Pendidikan Spiritual ... 58
D. Relevansi Buku Tasawuf Modern dengan Nilai-Nilai ... 66
E. Pendidikan Islam ... 65
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68
B. Saran ... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 72
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tasawuf merupakan kajian yang menarik, baik dalam kerangka ajaran
Islam maupun dalam konteks perkembangan peradaban Islam. Harun
Nasution, Barmawi Umarie dan para ahli ilmu tasawuf lainnya, umumnya
mengemukakan bahwa tasawuf berasal dari kata sufi, maknanya orang yang
suci atau diliputi kesucian, tasawuf merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari cara seseorang berada sedekat mungkin dengan Allah.1
Al-Junaid menyebutkan bahwa tasawuf ialah keluar dari budi, perangai
yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.2Dan seseorang
yang mengamalkan tasawuf disebut sufi, dalam bahasa Arab , kata sufi berasal dari kata sufah, siffah, sofie dan suffah. Masing-masing kata memiliki makna
yang berbeda, namun secara mendasar berarti “kesucian” dan “keikhlasan”
menerima segala ketentuan Allah yang di ekspresikan dengan berbagai cara.3
Dalam perkembanganya tasawuf dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa macam, Departemen Agama (Depag) dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) seperti dikutip oleh Muhammad Solikhin dalam
buku Tasawuf Aktual (2004), mengklasifikasikan tasawuf menjadi tiga
1
Harun Nasution, Falsafat dan mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973), h.
56. 2
Hamka, Tasauf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987) h. 13.
3
macam, yaitu tasawuf akhlaqi, tasawuf amaly dan tasawuf falsafi.4 Tasawuf
akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas kesempurnaan dan kesucian
jiwa melalui proses pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku.
Taswauf amaly adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara
mendekatkan diri kepada Allah, yang konotasinya adalah thariqoh. Sedangkan
tasawuf falsafy adalah bentuk tasawuf yang memadukan antara visi mistis dan
visi rasional, baik dalam kerangka teoritis maupun praktis. Meskipun
demikian, dalam prakteknya ketiganya tidak dapat dipisahkan. Hal ini
sebagaimana kasyaf yang dialami oleh sufi falsafy tetap melakukan latihan rohani dengan mengendalikan kekuatan syahwat serta menggairahkan ruh
dengan jalan melakukan zikir.
Para ilmuwan sejarah umumnya menyimpulkan bahwa tasawuf adalah
sebagai dimensi mistik dalam Islam. Menurut mereka kemunculan tasawuf
berawal pada abad ke-9 masehi, atau sekitar dua ratus tahun sesudah kelahiran
Islam.5 Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman
tentang makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in,
kecenderungan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis sudah
muncul, pada saat itu ajaran Islam dipandang dari dua aspek, yaitu aspek
lahiriyah dan aspek batiniyah. Pengalaman dan pendalaman aspek dalamnya
mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, namun tanpa mengabaikan aspek
luarnya yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa.6
Sejarah mencatat adanya konflik tajam antara jenis penghayatan
keagamaan yang bersifat lahiriyah dan batiniyah. Di kalangan umat Islam
tidak sedikit yang menyebutkan bahwa tasawuf telah menyimpang dari ajaran
Islam, bahkan ada para pemikir dan peneliti yang menyebutkan bahwa salah
satu yang menjadi sebab mundurnya umat Islam adalah tasawuf.7 Hal ini
dikarenakan ajaran tasawuf ada yang bercampur dengan mistis budaya lokal
4
Muhammad Solikhin, Tasawuf Aktual,(Semarang: Pustaka Nuun, 2004), h. 10.
5
Khalil, Merengkuh…, h. 7.
6
Rosihon Anwar dan. Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h.
49. 7
SIMUH, Taswauf dan perkembanganya dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrapindo
tertentu, sehingga mereka meninggalkan kehidupan dunia dan banyak
menyimpang dari syari’at Islam.
Padahal Islam tidak mengharamkan kedudukan dan kenikmatan dunia,
bahkan memandang harta kekayaan dan pangkat atau kedudukan sebagai
sarana ibadah yang paling mulia. Selain itu ajaran-ajaran seperti
Manunggaling Kawula Gusti dan sejenisnya yang dipopulerkan oleh beberapa
ahli sufi adalah salah satu ajaran tasawuf yang dianggap sesat oleh sebagian
umat Islam. Namun demikian gerakan tasawuf juga mendapat sambutan luas
dari kalangan umat Islam bahkan penyebaran Islam menjadi lebih mudah
berkat dakwah yang dilakukan oleh para sufi.
Buya Hamka adalah seorang intelektual muslim Indonesia
kontemporer yang concern dalam berbagai pemikiran Islam, salah satunya
dalam bidang ilmu tasawuf. Salah satu karya Hamka dalam bidang ilmu
tasawuf termaktub dalam karyanya yang berjudul Tasawuf Modern (139).
Tasawuf Modern merupakan karya Buya Hamka yang sangat fenomenal,
sebelum dijadikan buku, “Tasawuf Modern” merupakan salah satu rubrik dalam majalah “Pedoman Masayarakat” (1937). Akan tetapi respon masayarakat sangat baik sehingga ada sebagian masyarakat yang menganggap
bahwa tasawuf modern merupakan obat yang bisa menentramkan jiwanya.
Hamka juga memberikan keterangan tentang mengapa rubrik yang dipakai di
dalam menuangkan tulisannya itu bernama Tasawuf Modern. Menurutnya,
meskipun tulisan yang ia tuangkan juga merujuk pada buku-buku tasawuf
(klasik), akan tetapi hal itu dimaksudkan untuk mengetengahkan ilmu tasawuf
yang telah dipermodern.
Luasnya pengaruh tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban
Islam menandakan tasawuf relevan dengan kebutuhan umat Islam. Tasawuf
Modern Hamka sangat penting artinya bagi dunia saat ini, karena masyarakat
telah terperangkap dalam pola pikir rasional dan mencampakkan dimensi
batin, hingga melahirkan gaya hidup yang materialis dan hedonis, dalam arti
masyarakat hanya berfikir kehidupan duniawi semata tanpa menghiraukan
Dari fenomena disorientasi paradigma kehidupan masyarakat tersebut,
telah mengakibatkan lahirnya berbagai penyimpangan kemanusian yang
terjadi di segala sektor kehidupan, seperti: korupsi, penindasan terhadap kaum
lemah, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang,
eksploitasi sumberdaya alam hingga menimbulkan kerusakan lingkungan,
dekadensi moral dan lain sebagainya.
Di sisi lain ada sebagian orang yang terlalu terlena dengan tradisi
sufisme mistik, mereka meyakini dengan meninggalkan kehidupan dunia akan
mendapatkan kebahagian batin yang akhirnya menghantarkan mereka pada
singgasana kemuliaan kelak di akhirat. Dengan pemahaman tersebut,
mengakibatkan mereka tidak mau tahu terhadap berbagai penyimpangan yang
terjadi di sekeliling mereka. Mereka acuh terhadap hiruk pikuk keramaian
zaman, karena mengurusi yang demikian dianggap sebagai kesiasiaan belaka.
Menurut Hamka, tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan
merupakan jantung dari ke-Islaman. Oleh karena itu, sangat tepat jika
pendekatan Tasawuf menjadi salah satu daya tarik diterimanya Islam di
Indonesia. Lebih jauh lagi tasawuf telah meniupkan spiritnya ke dalam hampir
seluruh kebudayaan Islam. Tarekat-tarekat sufi sebagai institusi terorganisasi,
memiliki peran signifikan dalam matriks masyarakat muslim yang lebih besar,
eksistensinya telah memainkan pengaruh besar atas seluruh struktur
masyarakat.
Dalam refleksinya Hamka sering memperkenalkan konsep neo zuhud,
yaitu ajaran yang menyatakan kecintaan terhadap dunia yang tidak
proposional merupakan kenistaan. Dalam buku Tasawuf Modern, Hamka
mengutip perkataan K.H Mas Mansur ”80 % didikan Islam kepada keakhiratan dan 20 % kepada keduniaan. Tetapi kita lupa memenangkan yang
tinggal 20 % lagi itu sehingga menjadi hina”.8
Zuhud sendiri pada dasarnya berarti Manahan diri dari sesuatu yang
mubah karena kekhawatiran kita terikat padanya. Dari definisi tersebut dapat
dipahami bahwa alasan bagi perlunya zuhud terletak pada ketidakbolehan kita
8
terikat pada sesuatu yang bersifat duniawi. Dengan kata lain tidak ada
salahnya bila terlibat terhadap hal-hal yang bersifat duniawi selama masih
bersifat proporsional.9
Hal ini dengan gamblang di dukung oleh firman Allah pada surat al
Qasash ayat 77
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnhya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Karunia Allah di dunia sangat banyak diantaranya, kesehatan,
kekuatan dan kesejahteraan. Manusia tidak dilarang untuk memiliki harta akan
tetapi yang tidak boleh adalah terlalu sibuk dan tenggelam mengurus harta
sehingga lupa kewajibannya sebagai makhluk kepada khaliknya. Jadi inti dari
zuhud kuncinya adalah kata proposionalitas.
Dalam memaknai pengertian tasawuf, Hamka sepakat dengan definisi
tasawuf menurut Al Junaid yaitu keluar dari budi pekerti yang tercela dan
masuk pada budi pekerti yang terpuji. Menurut Hamka tasawuf yang suci dan
murni bukanlah lari dari gelombang hidup, tasawuf yang sejati adalah paduan
dalam menempuh hidup. Tasawuf yang sejati bukanlah lari ke hutan,
melainkan lebur ke dalam masyarakat, sebab masyarakat perlu akan
bimbingan rohani. Tasawuf yang sejati bukanlah “khilafayah dan ikhtilafiyah” (ilmu berselisih).
9
Hamka berpendapat, bertasawuf bisa dilakukan sambil melakukan
aktifitas duniawi, bahkan sambil berdagang sekalipun kita dapat bertasawuf
pada saat yang sama. Junaid Al Bagdadi yang bergelar “Syaikh at Thaifah”
membuka kedai kain di tengah kota Bagdad, ia telah mempraktekan
bertasawuf sambil berladang atau sambil bekerja.10
Hamka melihat bahwa tasawuf beroleh sumbernya yang otentik dari
ajaran-ajaran islam sendiri, seperti telah dijelaskan di atas. Tapi aliran-aliran
tasawuf yang ada sering menyimpang dari paham ortodoksinya. Sebagaimana
diketahui bahwa Hamka memang berusaha membersihkan tasawuf dari unsur
yang bertentangan dengan tauhid, namun demikian ia memang memilki
apresiasi terhadap tasawuf dan berpandangan bahwa taswauf diperlukan oleh
masyar akat.
Terhadap taswauf yang telah menyimpang dan mengalami
deviasi,-yang mengajarkan sikap-sikap deviasi,-yang mengharamkan pada diri sendiri dan
terhadap barang yang dihalalkan Tuhan, Hamka mengatakan bahwa tasawuf
yang demikian tidaklah berasal dari islam. Selanjutnya ia berkata bahwa
zuhud yang melemahkan itu bukanlah bawaan islam. Semangat Islam adalah
semangat bekerja, berjuang bukan semangat malas, rapuh dan melempem.
Menurut Hamka maksud dari tasawuf yang sebenarnya adalah membersihkan
jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi serta memerangi syahwat.
Muhammad Solihin dalam bukunya Tasawuf Aktual mengutip
pendapat Hasan Hanafi seorang pemikir Islam kontemporer tentang istilah
tasawuf progresif yang mengarahkan orang untuk bersikap progresif, aktif dan
produktif. Sebagai akibat dari pencerahan spiritualnya melalui aplikasi
tasawuf setiap harinya. Sehingga tidak ada istilah tasawuf sebagai anti
kemoderenan, penghambat krativitas dan penghalang kemajuan. Bahkan
menurut Hasan Hanafi tasawuf aplikatif, jika operasionalnya dilaksanakan
secara benar, akan mampu membangkitkan semangat revolusioner, dalam
produk pemikiran maupun aksi seorang muslim.11
10
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h. 49-50.
11
Apabila tasawuf dimaknai dengan pemahaman yang lebih konstuktif,
edukatif dan progresif sebagaimana telah diutarakan para pemikir muslim
kontemporer di atas, maka tasawuf akan lebih memiliki peran signifikan
dalam khazanah pendidikan Islam, yang bertujuan mencetak generasi muda
yang cerdas, soleh dan berakhlak mulia.
Sejak awal budaya manusia, pendidikan pada hakikatnya merupakan
proses sosialisasi yang menyebarkan nilai-nilai dan pengetahuan yang
terakumulasi dalam masyarakat. Dr. al A’la Afifi dalam studinya tentang
tasawuf klasik memaparkan bahwa tasawuf berperan besar dalam
mewujudkan sebuah revolusi moral spiritual dalam masyarakat. Bertasawuf
yang benar berarti sebuah pendidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual.
Dan bukankah aspek moral –spiritual ini merupakan ethical basic atau al
asasiatul akhlakiyah bagi suatu formulasi sosial seperti dunia pendidikan.12
Hal tersebut senada dengan definisi pendidikan Islam, seperti yang
diungkapkan oleh Mohamad Kanal Hasan sebagaimana dikutip Taufiq
Abdullah Dan Sharon mendefinisikan pendidikan Islam sebagai suatu proses
yang komprehensif dari pengembangan kepribadian manusia secara
keseluruhan, yang meliputi intelektual, spiritual, emosi dan fisik. Sehingga
seorang muslim disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tujuan
kehadirannya disisi Tuhan sebagai hamba dan wakilnya di muka bumi.
Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia seutuhnya.
Seutuhnya dalam arti keutuhan antara jasmani dan rohani. Pendidikan yang
merupakan derivasi (turunan dari) Education (inggris) , tarbiyah- ta’dib dan ta’lim (Arab) menunjuk adanya proses yang berkesinambungan bagi manusia. Proses meliputi keseluruhan unsur baik kognitif, afektif dan psikomotorik.
Bila proses tidak berjalan secara simultan maka yang terjadi adalah split
personality (diri yang terpisah) pada setiap orang.13
12
Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai kritik Sosial, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006), h.
53. 13
Pembelajaran bervisi spiritual diharapkan bisa mengantisipasi adanya
split personality dan mereposisi pendidikan pada tempatnya sebagai jalan
mencari hakikat esensial diri manusia.
Ajaran Islam dapat di bagi dua aspek yaitu aspek eksoteris (lahiriyah) dan aspek esoteric (batiniyaniah). Dan seharusnya pendidikan Islam mementingkan kedua-duanya. Hal yang bersifat esoteric masih sering di
abaikan dalam dunia pendidikan saat ini. Dalam mengajarkan ibdah misalnya,
seperti shalat yang lebih ditekankan masih dalam tataran pengetahuan tentang
syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkanya. Sementara aspek esoteric
salat yaitu makna shalat untuk membentuk pribadi muslim yang baik masih
kurang diperhatikan.
Aspek esoteric dalam Islam di sebut tasawuf . Dengan lemahnya
pengajaran aspek esoteris dalam Islam berarti juga bahwa pengajaran tasawuf
dalam pendidikan Islam masih kurang. Padahal seharusnya pengajaran
taswauf dilakukan secara seimbang dengan aspek eksoteris Islam. Karena
tanpa ada pengajaran tasawuf yang seimbang, maka anak didik kurang
menghayati makna ajaran Islam.14
Tasawuf modern Hamka adalah sebuah karya yang tidak hanya berisi
pelajaran tentang kesucian batin, tetapi juga berisi tentang kekuatan iman dan
jiwa yang merupakan pondasi dari pendidikan Islam. Buku Tasawuf Modern
sangat kaya dengan nilai-nilai pendidikan islam yang bisa di aplikasikan
dalam dunia pendidikan.
Dalam karya yang monumental ini ia memaparkan secara singkat
tentang tasawuf. Kemudian secara berurutan ia paparkan pula tentang makna
kebahagiaan disertai pendapat para ilmuan, bahagia dan agama, bahagia dan
utama, kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan bahagia, sifat qana’ah,
kebahagiaan yang dirasakan Rasulullah, hubungan ridha dengan keindahan
alam, tangga bahagia, celaka, dan munajat kepada Allah.
14
Sudirman Tebba, Tasawuf Positif; Manfaat Tasawuf dalam Kehidupan Sehari-hari,
Dari pembahasan sekilas di atas, penulis melihat bahwa begitu banyak
nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf Modern
karya Hamka yang perlu dikaji lebih dalam. Maka dari itu dalam penulisan
skripsi ini penulis mengambil judul “ NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM BUKU TASAWUF MODEREN BUYA HAMKA .”
B. Penegasan Istilah
Agar mempermudah dan tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam
memahami penelitian kami yang berjudul: Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam
buku Tasawuf Modern Buya Hamka, penulis menyertakan penegasan istilah
dalam judul tersebut.
1. Nilai Pendidikan Islam
Nilai, Inggris (value); Latin (valere) berarti: berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal
itu dapat disukai, diinginkan, berguna atau dapat menjadi objek
kepentingan Pendidikan diartikan pengubahan cara berfikir atau tingkah
laku dengan cara pengajaran, penyuluhan dan latihan. Sedangkan Islam
dalam pendidikan Islam menunjukkan hasil pendidikan tertentu yang
sesuai dengan ajaran Islam.
2. Tasawuf Modern
Buku Tasawuf Modern adalah buku karya Buya Hamka tahun 1939 sebagai karangan bersambung dalam majalah pedoman masyarakat yang
terbit di Medan. Atas permintaan pembaca tasawuf Modern diterbitkan
sebagai sebuah buku pada tahun 1939.
Dari penegasan istilah di atas maksud dari penilitian yang berjudul
nilai-nilai pendidikan Islam dalam buku Tasawuf Modern Buya Hamka
yaitu nilai pendidikan Islam adalah kualitas suatu hal yang menjadikan
berguna, untuk mengubah cara berfikir atau tingkah laku dengan cara
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah.
Adapun batasan masalahnya adalah:
1. Tasauf dalam pandangan Buya Hamka
2. Makna nilai-nilai pendidikan Islam, landasan serta tujuan pendidikan Islam
3. Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf
Modern, yaitu nilai pendidikan keimanan, akhlak dan spiritual
Adapun perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran tasawuf dalam persfektif Hamka
2. Nilai-nilai pendidikan Islam apa yang terkandung dalam buku Tasawuf
Modern Buya Hamka.
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
nilai-nilai pendidikan Islam dalam buku tasawuf modern Buya Hamka
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
a. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi tentang penentuan
sikap-sikap yang seharusnya dimiliki manusia dan dapat memberikan
manfaat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam
pendidikan Islam.
b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat mengajarkan bahwa terdapat banyak
pelajaran yang didapatkan dari buku Tasawuf Modern yang bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Teknik atau metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan melakukan penelitian pada buku, artikel dan dokumen yang
berhubungan dengan tema skripsi. Penelitian kepustakaan dimaksudkan
untuk menelaah, mengkaji dan mempelajari berbagai literature yang erat
kaitanya dengan masalah yang dibahas.
Sebagai sumber data penulis menggunakan sumber data primer dan
sekunder sumber data primer diperoleh dari buku Tasawuf Modern karya Hamka, sedangkan sumber data sekundernya yaitu buku-buku yang relevan
dengan pembahasan baik karya Hamka seperti, Renungan Tasawuf,
Pandangan Hidup Muslim, Tasawuf perkembangan dan pemurnianya,
maupun karya orang lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
2. Metode Analisis Data
Penelitian yang penulis lakukan tergolong pada penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan cara berfikir
secara induktif, artinya penelitian kualitatif bergerak dari bawah, peneliti
mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang persoalan penelitian,
kemudian data-data tersebut dicari pola, hukum dan prinsip-prinsip.15
Proses menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif
analisis yang terdiri dari tiga kegiatan, diantaranya adalah reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Pertama, setelah pengumpulan data selesai, maka tahap selanjutnya adalah mereduksi data
yang telah diperoleh, yaitu dengan menggolongkan, mengarahkan,
membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data, dengan demikian
maka dapat ditarik kesimpulan.
Tahap kedua, data akan disajikan dalam bentuk narasi, kemudian tahap ketiga akan dilakukan penarikan kesimpulan dari data yang diperoleh.
Kemudian penelitian ini menggunakan teknik analisis isi (Content
analysis). Content analysis adalah teknik analisis terhadap berbagai sumber
informasi termasuk bahan cetak dan bahan non cetak.
15
Prasetya Irawan, Penelitian kulaitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta:
3. Teknik Penulisan
Teknik atau metode penulisan skripsi ini berpedoman pada buku
13
BAB II
TINJAUAN UMUM PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan education.
Menurut Frederick J. MC. Donald pendidikan adalah : “Education in the sense used here, is a process or an activity which is directed at producing desirable
changes in the behavior of human being”1 (pendidikan adalah proses yang
berlangsung untuk menghasilkan perubahan yang diperlukan dalam tingkah
laku manusia).
Istilah pendidikan sesungguhnya berasal dari bahasa Yunani yaitu
paedagogy yang dimaknai dengan seseorang yang tugasnya membimbing
anak pada masa pertumbuhanya sehingga menjadi anak yang mandiri dan
bertanggung jawab.2
Dalam kamus besar bahasa indonesia disebutkan bahwa pendidikan
adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan.3
1
Frederick J. MC. Donald, Educational Psychology, (Tokyo: Overseas Publication
LTD,1959), h. 4. 2
Dr. Zurinal Z dan Wahdi Sayuti S. Ag, Ilmu Pendidikan Pengantar dan Dasar-Dasar
Pelaksanaan Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press), h. 2. 3
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II (Jakarta:Balai Pustaka,
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati dalam bukunya “ilmu Pendidikan” (2001) telah mengemukakan beberapa pengertian pendidikan, diantaranya; 1).
John Dewey, mangartikan pendidikan sebagai proses pembentukan
kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah
alam dan sesama manusia. 2). SA. Bratanata dkk, mengartikan pendidikan sebagai usaha yang sengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara yang
tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembanganya menuju
kedewasaan. 3). Kihajar Dewantara, mengartikan pendidikan adalah menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia
dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang setinggi-tingginya.4
Sedangkan dalam Undang-undang RI No. 20 tentang sisdiknas pada
pasal satu menyebutkan bahwa :
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.5
Menurut H. M. Arifin, pendidikan adalah usaha orang dewasa secara
sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan
dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal.6
Dan menurut Prof Dr. Moh Ardani pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.7
Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas dapat
disimpulkan bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia
untuk dapat membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi
4
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, cet.2, (Jakarta:Rineka Cipta, 2001),
h.69. 5
Undang-undang RI No.20 tentang Sisdiknas, cet,II, (bandung: Fokusmedia, 2003), h. 3. 6
H.M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang,
1976) h. 12. 7
Moh. Ardani, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT mitra
pengetahuan, pengalaman, intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik)
dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna
dengan terbentuknya kepribadian yang utama.
Di dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, terutama karya-karya
ilmiah berbahasa Arab, terdapat berbagai istilah yang dipergunakan oleh
ulama dalam memberikan pengertian tentang pendidikan Islam dan sekaligus
diterapkan dalam konteks yang berbeda-beda.8
Pendidikan Islam menurut Langgulung setidaknya tercakup dalam
delapan pengertian, yaitu al tarbiyah al diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al ta’lim al diny (pengajaran keagamaan), al ta’lim al islamy (pengajaran keislaman), tarbiyah almuslimin (pendidikan orang-orang Islam), al tarbiyah fi al islam (pendidikan dalam Islam), al
tarbiyah inda almuslimin (pendidikan dikalangan orang-orang Islam), dan al
tarbiyah al islamiyah (pendidikan Islami).9
Dalam bahasa arab ada beberapa istilah yang biasa dipergunakan
dalam pengertian pendidikan, seperti kata ta’lim (ميلعت), tarbiyah (هيبرت), dan kata ta’dib (بيدات).
Ta’lim (مىلعت), berarti pengajaran, seperti dalam firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang berbunyi:
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar." (QS. Al- Baqarah: 31).
8
Muhaimin. et. Al, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004), h. 36.
Tarbiyah (هيبرت) berarti pendidikan, dengan kata kerja rabba (ىبر)
berarti mendidik.10 Sebagaimana firman Allah SWT :
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil". (al-Isra:24).
Ta’dib (بيدات) berarti pendidikan yang berhubungan dengan prilaku atau akhlak dalam kehidupan yang lebih mengacu pada peningkatan martabat
manusia.11 Seperti sabda Rasul yang berbunyi :
Dari abu Burdah Abu Musa al-Asy’ari ra Nabi saw bersabda: „’laki-laki
manapun yang memiliki perempuan hendaknya ia mendidiknya….(HR. Bukhari).
Apabila uraian di atas kita perhatikan, terdapat perbedaan pemaknaan
di antara istilah-istilah tersebut. Ta’lim lebih bersifat informatif, yaitu usaha pemberian ilmu pengetahuan sehingga seseorang menjadi berilmu (tahu).
Istilah ta’dib mengesankan proses pembinaan terhadap sikap moral dan etika dalam kehidupan yang lebih mengacu kepada peningkatan martabat manusia.
Sedangkan tarbiyah mengandung makna lebih luas, tercakup didalamnya
pengertian ta’lim dan ta’dib.
HAMKA memposisikan pendidikan sebagai proses ta’lim dan
menyampaikan sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah kelihatanya mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan Islam,
baik vertical maupun horizontal. Prosesnya merujuk kepada pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi fitrah peserta didik, baik jasmaniyah maupun
rohaniyah.
Misi pendidikan Islam menitikberatkan pada tujuan penghambaan dan
kekhalifahan manusia, yaitu hubungan pemeliharaan manusia terhadap
makhluk Allah lainnya, sebagai perwujudan tanggung jawabnya sebagai
10
Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen
Lembaga Islam Depag RI, 1992), h. 25. 11
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
khalifah dimuka bumi, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan
alam sekitarnya secara harmonis. Bila kata tarbiyah ditarik pada pengertian interaksi edukatif, pandangan Hamka tentang tarbiyah mengandung makna: 1). Menjaga dan memelihara pertumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk mencapai kedewasaan. 2). Mengembangkan seluruh potensi yang dimilkinya,
dengan berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal dan budinya). 3).
Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan
dan kesempurnaan seoptimal mungkin. 4). Kesemua proses tersebut kemudian
dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan peserta
didik.12
Hamka membedakan pengertian pendidikan dan pengajaran.
Menurutnya pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan
pendidik. Untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian
peserta didik, sehingga ia dapat membedakan mana yang buruk dan mana
yang baik. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi
intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.13
Secara Terminologi pendidikan Islam menurut Ahmad D Marimba adalah
bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam
menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.14
Achmadi dalam bukunya Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (1992), mendefinisikan pendidikan Islam adalah segala usaha untuk
memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan
kamil) sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya
kepribadian muslim.15
Athiyah al-Abrasyi menyatakan bahwa pendidikan Islam ialah untuk
mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia,
12
Samsul Nizar, Memperbincangkan dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang
Pendidikan Iislam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 109-110.
13 Nizar, Memperbincangkan …,h. 111.
14 Marimba, Pengantar Filsafat …., h. 21.
15
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya
mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur
pikiranya, halus perasaanya, mahir dalam pekerjaanya, manis tutur katanya
baik dengan lisan atau tulisan.16
Dari beberapa pengertian pendidikan Islam di atas, pendapat yang
lebih terperinci adalah hasil rumusan seminar Pendidikan Islam se-Indonesia
tanggal 7 sampai dengan 11 Mei 1960, di Cipayung Bogor, menyatakan
bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan
rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan,
melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.17
Masih banyak lagi pengertian pendidikan Islam menurut para ahli,
namun dari sekian banyak pengertian pandidikan Islam yang dapat kita petik,
pada dasarnya pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani
pada tingkat kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah manusia berdasarkan hukum-hukum Islam menuju terbentuknya manusia
ideal (insan kamil) yang berkepribadian muslim dan berakhlak terpuji serta taat pada Islam sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
B. Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Nilai adalah substansi, esensi atau sifat-sifat yang melekat pada sebuah
hakikat atau objek. Dalam kajian filsafat, nilai adalah salah satu kajian dari
aksiologi yang membahas tentang ada (being) dengan nilai (value), kalau dirumuskan ada = sesuatu + nilai. Tidak ada sebuah nilai apabila tidak ada
sesuatu yang menyemat nilai tersebut, jadi sebuah nilai akan sangat tergantung
pada penegembannya, yaitu sesuatu.
Sidi Gazalba sebagaimana dikutip oleh Chabib Thoha dalam Kapita
Selekta Pendidikan (1996), Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia
ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan
salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang
16
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : kalam Mulia, 2002), h. 3.
17
dikehendaki dan tidak dikehendaki.18 Sedang menurut Chabib Thoha nilai
merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah
berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini).19
Jadi nilai adalah sesuatu yang besifat objektif dan tetap, sesuatu yang
menerangkan tentang baik, buruk, indah atau buruknya sesuatu yang terlebih
dahulu telah diketahui. Nilai-nilai pendidikan Islam berarti sifat-sifat objektif
Islam yang melekat pada sebuah system, model, metode ataupun aktifitas
pendidikan yang bersumber dari ajaran Islam .
Lebih dari itu fungsi pendidikan Islam adalah pewarisan dan
pengembangan nilai-nilai dienul Islam serta memenuhi aspirasi masyarakat
dan kebutuhan tenaga disemua tingkat dan bidang pembangunan bagi
terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam seperti
nilai keimanan, akhlak dan spiritual yang mendukung dalam pelaksanaan
pendidikan bahkan menjadi suatu rangkaian atau sistem di dalamnya. Nilai
tersebut menjadi dasar pengembangan jiwa peserta didik sehingga bisa
memberi out put bagi pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat luas.
C. Sumber-Sumber Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sangat memperhatikan penataan individual dan
social yang membawa penganutnya pada pemelukan dan pengaplikasian Islam
secara komprehensif. Agar penganutnya mampu memikul amanat yang
dikehendaki Allah, pendidikan Islam harus kita maknai secara rinci. Landasan
Pendidikan Islam adalah fundamen atau asas agar pendidikan Islam dapat
berdiri tegak dan tidak mudah roboh. Dasar Pendidikan Islam secara garis
besar ada dua yaitu Al Qur’an dan sunnah.
18
HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 61.
1. Al Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah (perkataan Allah) yang diturunkan sebagai wahyu dan merupakan mukjizat agung kepada Nabi Muhammad
SAW melalui malaikat Jibril. Al-Qur’an ini juga dipandang sebagai keagungan (majid) dan penjelasan (mubin). Kemudian seringkali di sebut petunjuk (hidayah) dan buku (kitab).20
Kedudukan Al Qur’an sebagai sumber dapat dilihat dari kandungan
surat Al Baqarah ayat 2 :
Ialah Kitab (al-Quran) yang tidak ada keraguan di dalamnya,
petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-baqoroh : 2).
Selanjutnya firman Allah SWT dalam surat Asy Syura ayat 17 :
Allah SWT yang telah menurunkan kitab dengan membawa
kebenaran dan menurunkan neraca keadilan (QS. Asy Syura: 17).
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam sudah barang tentu harus dijadikan dasar pijakan atau asas bagi pendidikan Islam. Banyak sekali
terma-terma tentang pendidikan yang dapat kita temukan di dalam
Al-Qur`an baik secara eksplisit maupun implisit. Abul A’la al-Maududi menjelaskan bahwa mendidik dan memelihara merupakan salah satu dari
sekian banyak makna implisit yang terkandung di dalam kata rabb. Allah adalah rabbul alamin yang universal dan tiada batas. Karena manusia berkomunikasi dan menitikberatkan pendidikan bagi manusia yang ada di
muka bumi ini, maka akan sangat relevan jika Allah diyakini yang telah
mengajar manusia di muka bumi ini dengan nama-nama dari segala
sesuatu yang ada.21
20
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Qur’an,
(Jakarta:Rieneka Cipta, 2007), h. 17. 21
Al-Qur’an memberikan pandangan yang mengacu kepada kehidupan di dunia ini, maka asas-asas dasarnya harus memberi petunjuk
kepada pendidikan Islam. Seseorang tidak mungkin dapat berbicara
tentang pendidikan Islam apabila tanpa mengambil Al-Qur’an sebagai salah satu rujukan. Salah satu contohnya di dalam Al-Qur’an terdapat ajaran yang berisi prinsip-prinsip yang berkenaan dengan kegiatan atau
usaha pendidikan itu. Sebagai contoh dapat dibaca dalam kisah Luqman
yang mengajari anaknya dalam surat Luqman.22
Al-Qur’an adalah petunjuk-Nya yang apabila dipelajari akan membantu menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman berbagai
problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan menjadi pikiran rasa dan
karsa mengarah pada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan
ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.23
2. Al-Sunnah
Selain Al-Qur’an yang berfungsi sebagai dasar pijakan dan prinsip pendidikan Islam, Al-Sunnah sebagai tuntunan hidup rasulullah Saw
adalah sumber ke dua yang sama-sama memiliki peranan vital dalam
membangun dasar-dasar dan prinsif pendidikan Islam. Secara harfiah
sunnah berarti jalan, metode dan program. Secara istilah sunnah adalah
perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih baik itu berupa
perkataan, perbuatan atau sifat Nabi Muhammad Saw.
Sebagaimana Al-Qur’an, al-sunnah berisi petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan manusia dalam segala aspeknya yang membina manusia
menjadi muslim yang bertaqwa. Dalam dunia pendidikan, al-sunnah
memiliki dua faedah yang sangat besar, yaitu :
1). Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an atau menerangkan hal-hal yang tidak terdapat didalamnya.
22 Daradjat, ,Ilmu Pendidikan…,
h. 20. 23
2). Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan rasulullah Saw
bersama anak-anaknya dan penanaman keimanan kedalam jiwa yang
dilakukannya. 24
D. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah kegiatan
selesai dan memerlukan usaha dalam meraih tujuan tersebut. Pengertian tujuan
pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah
mengalami proses pendidikan baik pada tingkah laku individu dan kehidupan
pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana
individu hidup.25
Adapun tujuan pendidikan Islam ini tidak jauh berbeda dengan yang
dikemukakan para ahli, menurut Ahmadi, tujuan pendidikan Islam adalah
sejalan dengan pendidikan hidup manusia dan peranannya sebagai makhluk
Allah SWT yaitu semata-mata hanya beribadah kepada-Nya.26 Firman Allah
SWT dalam Al Qur’an:
Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supayamereka
menyembahku (QS. Adz-Dzariyat : 56).27
Al-Gazali sebagaimana dikutip oleh Fatiyah Hasan Sulaiman
menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan kepada:
a. Membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri
kepada Allah SWT
b. Membentuk insan purna yang untuk mendapat kebahagiaan hidup baik
dunia dan akhirat.28
24
Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung:
Diponegoro, 1992), h. 47. 25
Zuhairini, et. al. Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1995) h. 159.
26
Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya
media,1992), h. 63.
27
RHA Soenardjo, et. al, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Al Wa’ah, 1993), h.
862. 28
Fatiyah Hasan Sulaeman, Sistem Pendidikan Versi Al Ghazali, cet ke 11, terj.
Dari dua tujuan pendidikan Islam menurut Al Gahazali di atas dapat
dipahami bahwa dalam merumuskan tujuan pendidikan Al-Ghazali tidak
hanya mementingkan kehidupan ukhrowi semata akan tetapi juga kebahagiaan dunia.
Sedangkan tujuan pendidikan islam menurut Ibnu Khaldun terbagi
menjadi dua yaitu:
1. Tujuan keagamaan, maksudnya adalah beramal untuk akhirat, sehingga ia
menemui tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah yang di wajibkan
keatasannya.
2. Tujuan ilmiah yang bersifat keduniaan, yaitu apa yang di ungkapkan oleh
pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk
hidup.29
Secara filosofis, pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk al insan
kamil atau manusia paripurna. Beranjak dari konsep di atas, maka setidaknya
pendidikan Islam seyogyanya diarahkan pada dua dimensi yaitu: pertama,
dimensi dialektika horizontal terhadap sesamanya. Kedua, dimensi ketundukan
vertical kepada Allah.30
Pada dimensi pertama pendidikan hendaknya mengembangkan
pemahaman tentang kehidupan konkret dalam konteks dirinya, sesama
manusia, dan alam semesta. Akumulasi berbagai pengetahuan, keterampilan
dan sikap mental merupakan bekal utama pemahaman terhadap kehidupan.
Sementara pada dimensi kedua memberikan arti bahwa pendidikan sains dan
teknologi selain menjadi alat untuk memanfaatkan, memelihara dan
melestarikan sumber daya alami, juga menjadi jembatan dalam mencapai
hubungan yang abadi dengan sang pencipta. Untuk itu pelaksanaan ibbadah
dalam arti seluas luasnya adalah merupakan sarana yang dapat menghantarkan
manusia ke arah ketundukan vertical kepada khaliknya.
Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan Islam adalah mengenal
dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia,
29 Ramayulis, Ilmu …, h. 71.
30
A.M. Saepudin, Desekularisasi Pemikiran Landasan Islami, (Bandung: Mizan,1991), h.
serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di
tengah-tengah komunitas sosialnya.
Armai Arif dalam bukunya “Pengantar Ilmu dan metodologi Pendidikan Islam” secara rinci menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam terbagi kepada: tujuan umum, tujuan sementara, tujuan akhir, dan tujuan
operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua
kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan
sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah peserta didik diberi
sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum.
Tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi
manusia-manusia sempurna (insan kamil) setelah ia mengahabisi sisa umurnya. Sementara tujuan operasinal adalah tujuan praktis yang akan di capai
dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.31
Dari beberapa pemaparan dari para ahli tentang tujuan pendidikan
Islam diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam Islam adalah bagian
dari perjalanan hidup dan tujuan diciptakannya manusia yaitu semata-mata
untuk beribadah (menghamba) kepada Allah Swt. Selain itu pendidikan Islam
juga bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia paripurna
(insan kamil), sesuai ajaran dan pribadi rasulullah Saw guna mendekatkan diri
kepada Allah SWT demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
31
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
25
BAB III
KAJIAN TERHADAP BUKU TASAWUF MODERN BUYA HAMKA
A. Sekilas Biografi Buya Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) adalah “anak Minang” yang lahir di sungai Batang Maninjau (sumatera Barat) pada hari ahad, tanggal
16 februari 1908 M/13 Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang terkenal
sangat taat beragama.1Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau sering
disebut Haji Rasul bin syekh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin
Tuanku Abdullah Saleh. Haji Rasul merupakan salah seorang ulama yang
pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor kebangkitan kaum mudo. Dan
tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti
Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w. 1934). Dari data di atas dapat
diketahui bahwa Hamka berasal dari keturunan yang taat beragama dan
memilki hubungan dari generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir
abad XVIII dan awal abad XIX.
Sejak kecil ia menerima dasar-dasar agama dan memebaca Al-Qur’an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padang
Panjang. Pada usia 7 tahun , ia kemudian dimasukan ke sekolah desa --yang
hanya sempat dienyam sekitar tiga tahun-- dan malamnya Hamka belajar
mengaji dengan ayahnya sampai khatam.
Ketika berusia 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Perceraian kedua
orang tuanya ini merupakan pengalaman pahit yang dialaminya. Tak heran jika
1
pada fatwa-fatwanya, ia sangat menentang tradisi kaum laki-laki minangkabau
yang menikah lebih dari satu perempuan (poligami), sebab menurut Hamka
hal tersebut sangat berpotensi untuk merusak ikatan dan keharmonisan rumah
tangga.2
Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916
sampai 1923 ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniah School Padang
panjang, serta Sumatera Thawalib padang Panjang dan di Parabek.3 Walaupun
pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak punya ijazah. Guru-gurunya
waktu itu antara lain4 Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul
Hamid Hakim, Sutan Marajo, dan Syekh Zainuddin Labay El yunusi.
Di tahun 1924 ia berangkat ke Yogya, dan mulai mempelajari
pergerakan pergerakan Islam yang mulai bergelora. Ia mendapat kursus
pergerakan Islam dari H.O.S TJokroaminoto, H. Fakhrudin, RM suryo pranoto
dan iparnya sendiri A.R. St. Mansur yang pada waktu itu ada di Pekalongan.5
Di tahun 1935 dia pulang ke Padang Panjang. Waktu itulah mulai
tumbuh bakatnya sebagai pengarang. Buku yang mula-mula dikarangnya
adalah bernama “Khatibul Ummah”. Di awal tahun 1927 dia berangkat pula
dengan kemauanya ke Mekkah, sambil menjadi koresponden dari harian
Islam” Tanjung Pura Langkat”, dan pembantu dari “Bintang Islam” dan
“Suara Muhammadiyah” Yogyakarta.
Atas desakan iparnya, A.R. St. Mansur ia kemudian di ajak pulang ke
Padang panjang untuk menemui ayahnya yang demikian merindukanya.
Sesampainya di Padang Panjang, ia kemudian di nikahkan dengan Siti Raham
binti Endah Sutan, yang merupakan anak mamaknya (anak paman) pada
tanggal 5 april 1929. Pernikahan Hamka dengan Siti Raham berjalan harmonis
dan bahagia. Dari perkawinanya dengan Siti Raham, Hamka memiliki
beberapa putera dan peteri, yaitu: Zaki, Rusdy, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah,
Fathiyah, Hilmi, Afif dan Syakib. Stelah istrinya meninggal dunia, satu
2
HAMKA, Kenang-kenangan Hidup, h. 63-74
3
HAMKA, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987) h. xv.
4 HAMKA, Tasawuf…, h. 2.
setengah tahun kemudian, tepatnya tahun 1973, ia menikah lagi dengan
perempuan asal Cirebon yaitu Hj. Siti Khadijah.6
Pada tahun 1928 keluarlah buku romanya yang pertama dalam bahasa
Minangkabau berjudul Si Sabarariyah. Waktu itu pula ia memimpin majalah
“Kemajuan Zaman” yang terbit hanya beberapa nomor. Di tahun 1929 keluarlah buku-bukunya antara lain, Agama dan perempuan, Pembela Islam,
Adat Minangkabau dan Agama Islam, Kepentingan Tabligh, Ayat-Ayat Mi’raj
dan lain-lain.
Di tahun 1930 Hamka mulai menjadi penulis mengarang pada surat
kabar “Pembela Islam” Bandung, dan pada saat itu pula mulai berkenalan dengan M. Natsir, A Hasan dan tokoh Islam lainnya. Ketika beliau pindah ke
Makassar diterbitkanya majalah Al Mahdi.7
Pada tahun 1934 ia meninggalkan Makasar dan kembali ke padang
panjang untuk meneruskan cita-citanya dan mengelola kuliyatul mubalighin
antara tahun 1934-1935. Tujuan lembaga ini adalah untuk mencetak para
mubaligh. Pada beberapa mata pelajaran penting seperti ilmu usul fiqh dan
mantiq, ilmu ikhtilaful mazahib, ilmu tafsir dan ilmu arudh. Akan tetapi
karena honorarium tak cukup untuk menghidupi keluarganya, maka bulan
januari 1936, ia memutuskan untuk berangkat ke Medan. Di Medan bersama
M Yunan Nasution ia mendapat tawaran dari H Asbiran Ya’kub dan Muhamad
Rosami (bekas sekertaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin
majalah mingguan Pedoman Masyarakat.
Meskipun banyak rintangan dan kritikan, sampai tahun 1938 peredaran
majalah ini berkembang cukup pesat. Perkembangan majalah “Pedoman Masyarakat” yang cukup menggembirakan ini telah ikut meningkatkan ekonomi keluarganya. Melalui rubrik “Tasawuf Modern”, tulisanya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum
intelektual, untuk menantikan dan membaca setiap terbitan pedoman
masyarakat.
6
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. HAMKA, (Jakarta Pustaka
Panjimas: 1983) h. ix, 34 dan 107. 7
Pemikiran-pemikiranya yang cerdas yang dituangkan dalam majalah
“Pedoman Masyarakat” merupakan alat yang menjadi penghubung anatara dirinya dengan kaum intelektual lainya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan
Muhammad Isa Ansari.
Ketika zaman pendudukan Jepang banyak terjadi kejadian yang
mengecewakan rakyat. Salah satu kekecewaannya yaitu diberangusnya
majalah pedoman masyarakat. Namun kebijakan Jepang yang merugikan
tersebut tidak membuat semangat HAMKA menjadi luntur, ia masih sempat
menerbitkan majalah “Semangat Islam”. Namun demikian kehadiran majalah ini tidak dapat menggantikan majalah pedoman masyarakat yang telah
demikian melekat di hati pembacanya.
Hamka juga dipercaya menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
pada tahun 1975. Namun dua bulan sebelum wafatnya, Hamka mengundurkan
diri dari kepemimpinan MUI. Pengunduranya ini disebabkan adanya persepsi
yang berbeda antara pemerintah dengan MUI tentang perayaan natal bersama
antara umat Kristen dan umat Islam.
Setelah pengunduran dirinya dari MUI, Hamka masuk rumah sakit
karea serangan jantung yang cukup parah. Setelah kurang lebih satu minggu di
rawat di rumah sakit pusat Pertamina, tepatnya pada tanggal 24 Juli 1981,
Hamka menghembuskan nafas terakhirnya dengan di kelilingi oleh
orang-orang tercintanya, istrinya khadijah, putranya Afif Amrullah dan
sahabat-sahabat terdekatnya. Hamka berpulang ke rahmatullah pada usia 73 tahun.8
B. Sekilas Latar Belakang Penulisan Buku Tasawuf Modern
Pada tahun 1936 ketika Hamka hijrah ke Medan, ia beserta M Yunan
Nasution mendapat tawaran dari H Asbiran Ya’kub dan Muhamad Rosami (bekas sekertaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah
mingguan “Pedoman Masyarakat”. Pada majalah ini Hamka juga dipercaya menulis pada sebuah rubrik yang bertajuk “Tasawuf Modern”.
8
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka
Pada rubrik tersebut Hamka mulai menulis sebuah tulisan berseri sejak
tahun 1937 dengan mengambil judul “Bahagia”.9
Tulisan Hamka yang berjudul
“Bahagia” ini menerangkan tentang bentuk-bentuk dan cara-cara menggapai kebahagiaan menurut ajaran Islam dan diperkaya dengan mengutip dari para
pemikir dan filosof barat dan kontemporer.
Bagi Hamka, tulisannya tersebut selain sebagai kekayaan ilmu
pengetahuan, tapi juga diharapkan dapat membantu setiap pembacanya yang
mengalami kegundahan dan keresahan untuk menemukan ketentraman jiwa.
Bahkan Hamka sendiri mengakui bahwa tulisannya tersebut kerap dibacanya
sendiri guna menasihati dan menentramkan jiwanya. Jadi tulisan Hamka ini
sesungguhnya lebih banyak bersifat tuntunan aplikatif dan mengambil
permasalahan kehidupan sehari-hari sebagai objek kajiannya.
Seiring berjalannya waktu, banyak dari pembaca majalah “Pedoman Masyarakat” yang sangat menaruh perhatian apresiatif kepada artikel berseri tersebut, bahkan setiap majalah “Pedoman Masyarakat” mengeluarkan edisi
baru, maka hampir semua mata pembaca tertuju pada rubric “Tasawuf modern”.
Dengan animo yang cukup tinggi dari para pembaca, maka setelah seri
tulisan “Bahagia” ini berakhir pada tahun 1938 dengan edisi 43, banyak yang meminta supaya Hamka membukukan tulisannya tersebut. Berkat dukungan
dari majalah “Pedoman Masyarakat” dan penerbit “As-Syura”, kumpulan tulisan tersebut terbit untuk pertama kalinya pada bulan Agustus 1939 dalam
bentuk buku yang berjudul Tasawuf Modern yang diambil dari nama rubrik
majalah “Pedoman Masyarakat” yang telah membesarkan dan mempopulerkan tulisan tersebut.
C. Tasawuf Dalam Persfektif Pemikiran HAMKA
Secara etimologi pengertian tasawuf dapat dilihat dari beberapa
pengertian, pertama, tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan
ahlu suffah, yang berarti sekelompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya
9
banyak berdiam diserambi –serambi masjid, dan mereka mengabdikan
hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
Kedua, ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata shafa, kata
shafa ini berbentuk fi’il mabni majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan
huruf ya nisbah , yang berarti sebagai nama bagi orang-orang yang bersih atau suci. Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya dihadapan
Tuhanya.
Ketiga, ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata
shaf yang bermakna harfiah barisan. Makna shaf ini dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika salat selalu berada di shaf (barisan) yang paling depan.
Keempat, ada yang mengatakan istilah tasawuf dinisbahkan kepada
orang-orang bani shufah.10
Kelima , tasawuf ada yang menisbahkannya dengan kata dari bahasa
Grik atau Yunani, yakni saufi. Istilah ini disamakan maknanya dengan kata hikmah.
Keenam, ada juga yang mengatakan tasawuf berasal dari kata “shuf”
yang berarti bulu domba atau wol.11
Pengertian tasawuf secara terminologi telah dikemukakan oleh
beberapa ahli. Al-Junaid mengungkapkan pengertian tasawuf adalah
membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk,
berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (insthink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa
nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu
hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat
kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal
hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syari’at.12
Tasawuf menurut Hamka adalah seperti apa yang dikatakan oleh Al
Junaid yaitu keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk pada budi
10
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, ( Bandung: Pustaka Setia, 2006 )
h. 9.
11Anwar dan Solihin, Ilmu…, h. 10.
perangai yang terpuji.13 Lebih lanjut Hamka mendefinisikan tasawuf dengan
istilah membersihkan, yaitu membersihkan hati dari sifat khizit, khianat, loba.
tamak, takabbur dan sifat tercela lainnya dan mengisi jiwa dengan sifat-sifat
mulia.14
Sebagaimana diketahui bahwa Hamka bukanlah orang yang pertama
kali memperkenalkan tasawuf di Indonesia, tatapi beliau memperkenalkan
kembali tasawuf dalam bentuk yang berbeda, pemikiran tentang tasawuf