• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengentasan Masyarakat Miskin Daerah Pesisir Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengentasan Masyarakat Miskin Daerah Pesisir Sumatera Utara"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PEN GEN T ASAN M ASY ARAK AT M I SK I N DAERAH

PESI SI R SU M AT ERA U T ARA

Di susun oleh

Usman Budi, SPt.MSi

DEPARTEMEN PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia Nya sehingga penulisan ilmiah Pengentasan Masyarakat Miskin Daerah Pesisir di Sumatera Utara dapat terselesaikan dengan baik. Penulisan ini bertujuan untuk memahami kondisi masyarakat miskin kita yang ternyata secara persentase sangat besar bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penduduk di Sumatera Utara. Sampai saat ini permasalahan masyarakat miskin ini belum mampu diselesaikan oleh pemerintah. Tulisan ilmiah ini bukan membuat solusi tentang masalah kemiskinan, namun kiranya dapat menjadi suatu wacana sehingga dapat menggugah hati masyarakat terutama masyarakat Sumatera Utara yang mempunyai kondisi ekonomi dan keadaan yang lebih baik agar lebih peduli dan bersama-sama pemerintah untuk berupaya mengentaskan kemiskinan yang ada.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini belumlah sempurna, namun penulis berharap kiranya tulisan ini dapat menjadi bahan masukan dan renungan kita. Semoga bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Medan, November 2009

Usman Budi, SPt. MSi

Mengetahui,

Ketua Departemen Peternakan Fakultas Pertanian

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

1. PENDAHULUAN……….. 1

2. PERMASALAHAN YANG TERJADI DI DAERAH PESISIR... 1

3. PEMECAHAN MASALAH KEMISKINAN………. 15

4. PENUTUP………... 16

(4)

PENDAHULUAN

Masyarakat pesisir pantai di Sumatera Utara merupakan golongan masyarakat yang jumlahnya tidak sedikit. Hal ini disebabkan karena Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai gugus pantai yang cukup luas. Dimulai dari pesisir timur Sumatera Utara yang meliputi : Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Batubara, Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Labuhan Batu. Selanjutnya pesisir barat Sumatera Utara yang terdiri atas : Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Nias dan Nias Selatan. Keadaan demikian, dengan jumlah masyarakat yang mendiami daerah pesisir tersebut yang cukup besar menjadi suatu hal yang ironi karena ternyata daerah tersebut menjadi kantung-kantung kemiskinan di Sumatera Utara.

Adalah Program pengentasan kemiskinan yang merupakan suatu program yang sudah teramat sering kita dengar, namun kenyataannya dengan berbagai upaya yang telah dilakukan dengan “ikhlas hati” ini ternyata belum menemui sasaran yaitu penurunan jumlah masyarakat miskin.

Dari berbagai upaya yang telah cukup banyak dilakukan selama ini ternyata jumlah masyarakat yang masuk dalam kategori miskin sejauh ini belum mengalami penurunan, bahkan dengan situasi ekonomi terkini diduga populasi masyarakat miskin cenderung mengalami peningkatan. Melihat kenyataan di lapangan, populasi masyarakat miskin terkonsentrasi pada daerah pesisir yang notabene berprofesi sebagai nelayan.

PERMASALAHAN YANG TERJADI DI DAERAH PESISIR

1. Isu Pengelolaan Wilayah Pesisir

(5)

Isu Pengelolaan Pesisir Timur Sumatera Utara

Kabupaten Langkat

1. Kerusakan mangrove di kawasan pesisir. 2. Penurunan produksi perikanan tangkap. 3. Penurunan produksi perikanan budidaya.

4. Adanya gangguan dengan beroperasinya pukat langge. 5. Keamanan di kawasan pesisir dan laut.

6. Pencemaran wilayah pesisir dan laut. 7. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia.

8. Kurangnya fungsi kelembagaan dalam pengelolaan wilayah pesisir. 9. Belum ada tata ruang wilayah pesisir

Kota Medan

1. Kerusakan mangrove yang cukup parah.

2. Alih fungsi hutan mangrove menjadi kawasan industri dan pemukiman. 3. Intrusi air laut ke daerah pemukiman penduduk.

4. Pencemaran wilayah pesisir dan laut oleh limbah industri dan rumah tangga. 5. Konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan trawl.

6. Keamanan yang cukup rawan bagi kapal-kapal penangkap ikan dan usaha pertambakan. 7. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia.

8. Kurangnya fungsi kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. 9. Penurunan produktivitas perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

10.Belum ada tata ruang kawasan pesisir. 11.Berdirinya tangkahan liar milik masyarakat

Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai

(6)

3. Belum adanya penataan ruang wilayah pesisir.

4. Pencemaran wilayah pesisir.kerusakan hutan mangrove.

5. Potensi dan objek wisata bahari belum dikembangkan secara optimal. 6. Belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya. 7. Ancaman intrusi air laut.

8. Rendahnya tingkat kehidupan masyarakat pesisir/nelayan

Kabupaten Asahan

1. Kerusakan hutan mangrove.

2. Kerusakan terumbu karang dan padang lamun.

3. Pencemaran wilayah pesisir oleh limbah industri dan limbah rumah tangga. 4. Ancaman intrusi air laut ke daerah pertanian dan pemukiman.rendahnya kualitas

sumberdaya manusia.

5. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. 6. Rendahnya ketaatan dan penegakan hukum.

7. Belum adanya penataan ruang wilayah pesisir.

8. Belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya. 9. Belum optimalnya pengembangan potensi dan objek wisata bahari

Kota Tanjung Balai

1. Sedimentasi yang cukup tinggi di dekat muara sungai. 2. Pencemaran oleh limbah industri dan limbah rumah tangga.

3. Ancaman intrusi air laut.konflik nelayan tradisional dan nelayan trawl. 4. Rendahnya ketaatan dan penegakan hukum.

5. Belum adanya penataan ruang wilayah pesisir. 6. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia.

7. Terjadinya penyimpangan dari pemberian izin kapal perikanan

Kabupaten Labuhan Batu

1. Kerusakan hutan mangrove.

2. Kelangkaan jenis ikan terubuk yang terancam punah.

(7)

4. Sedimentasi yang sangat tinggi.

5. Penurunan hasil tangkapan nelayan tradisional/budidaya.

6. Belum optimalnya pengelolaan perikanan budidaya dan perikanan tangkap. 7. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia.

8. Belum adanya penataan ruang wilayah pesisir. 9. Rendahnya ketaatan dan penegakan hukum

Isu-isu Pengelolaan Pesisir Barat Sumatera Utara

Kabupaten Tapanuli Tengah

1. Kerusakan mangrove. 2. Kerusakan terumbu karang.

3. Penangkapan ikan-ikan karang dengan alat tangkap yang merusak ( illegal fishing ). 4. Konflik nelayan tradisional dengan nelayan modern.

5. Pencurian ikan oleh kapal nelayan asing. 6. Rendahnya penaatan dan penegakan hukum. 7. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia.

8. Belum berkembangnya industri penanganan/pengolahan hasil perikanan. 9. Belum berkembangnya usaha perikanan budidaya.

10.Belum berkembangnya wisata bahari/pantai

Kota Sibolga

1. Kerusakan hutan mangrove.

2. Belum optimalnya pengelolaan budidaya laut. 3. Pencemaran oleh limbah industri dan rumah tangga. 4. Pencurian ikan oleh kapal nelayan asing.

5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia.

(8)

Kabupaten Tapanuli Selatan

1. Belum berkembangnya usaha perikanan tangkap. 2. Kerusakan hutan mangrove.

3. Belum berkembangya tempat pendaratan ikan yang memadai. 4. Belum adanya tata ruang pesisir dan laut.

5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia.

6. Terbatasnya prasarana umum dan prasarana perikanan

Kabupaten Mandailing Natal

1. Belum berkembangnya usaha perikanan tangkap dan budidaya. 2. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia.

3. Belum berkembangnya tempat pendaratan/pelelangan ikan. 4. Belum berkembangnya industri pasca panen hasil perikanan. 5. Rusaknya hutan bakau.

6. Pencurian ikan oleh kapal nelayan asing.

7. Ancaman abrasi pantai oleh gelombang samudera hindia

Kabupaten Nias dan Nias Selatan

1. Kerusakan terumbu karang oleh penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. 2. Ikan-ikan hias terumbu karang terancam punah karena illegal fishing.

3. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia. 4. Kerusakan hutan mangrove.

5. Ancaman abrasi pantai dan intrusi air laut.

6. Belum berkembangnya usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya. 7. Terbatasnya prasarana transportasi darat, laut dan udara.

8. Pencurian ikan oleh kapal nelayan asing. 9. Investor enggan masuk ke kabupaten nias.

10.Rendahnya tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. 11.Belum berkembangnya wisata bahari/pantai.

(9)

Isu-isu prioritas dari setiap Kabupaten/Kota pesisir tersebut merupakan dasar dalam menentukan 10 (sepuluh) isu prioritas Propinsi Sumatera Utara. Penentuan isu prioritas provinsi menggunakan metoda ranking frekuensi (sering muncul) sebagai berikut:

o Rendahnya kualitas sumberdaya manusia. o Belum adanya tata ruang wilayah pesisir. o Rendahnya penaatan dan penegakan hukum.

o Degradasi habitat wilayah pesisir (mangrove, terumbu karang dan pantai berpasir). o Pencemaran wilayah pesisir dan laut oleh limbah industri dan limbah rumah tangga. o Belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya.

o Ancaman abrasi pantai dan intrusi air laut.potensi dan objek wisata bahari belum dikembangkan secara optimal.

o Sedimentasi yang cukup tinggi di wilayah pesisir timur sumatera utara.

o Terbatasnya prasarana umum dan prasarana perikanan di pesisir barat sumatera utara.

2. Musim Paceklik

Musim paceklik adalah permasalahan klasik, dikarenakan musim paceklik akan senantiasa datang setiap tahun. Dengan kata lain, setiap tahun itu juga masyarakat nelayan “harap-harap cemas” akan berhadapan dengan musim yang dapat membuatnya “sengsara”. Ironisnya, hingga saat ini nelayan tidak mendapatkan dana asuransi dan tabungan untuk jaminan keselamatan atau masa depan keluarganya dalam menghadapi musim paceklik itu. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa mereka tetap bertahan menjadi nelayan meskipun selalu terjebak dalam kubangan kemiskinan ? dan bagaimana caranya mereka keluar dari jebakan kemiskinan di musim paceklik ?

(10)

2003). Dengan demikian, banyak hal yang menyebabkan kenapa profesi nelayan menjadi pilihan terakhir. Namun yang pasti, profesi nelayan dari generasi ke generasi hanya mewariskan kemiskinan yang semakin akut karena kompleksnya permasalahan.

Selain itu, kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya. Kondisi inilah yang mengakibatkan nelayan dijauhi oleh institusi-institusi perbankan dan perusahaan asuransi, seperti sulitnya masyarakat nelayan mendapatkan akses pinjaman modal, baik untuk modal kerja maupun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.

Di tengah kesusahan itulah, masyarakat nelayan menggantungkan hidupnya pada institusi lain yang mampu menjamin keberlangsungan hidup keluarganya. Jaminan sosial dalam suatu masyarakat merupakan implementasi dari bentuk-bentuk perlindungan, baik yang diselenggarakan oleh negara, maupun institusi-institusi sosial yang ada pada masyarakat terhadap individu dari resiko-resiko tertentu dalam hidupnya (Benda-Beckmann, 2001).

Selama ini, tidak adanya alternatif institusi di wilayah pesisir dalam menjamin keberlangsungan hidup masyarakat nelayan menyebabkan mereka beberapa kali harus jatuh pada pola atau institusi patron-klien yang menurut para peneliti (perspektif etic) sering bersifat asimetris. Dalam hubungan ini, klien kerap dihadapkan pada sejumlah masalah seperti pelunasan kredit yang tidak pernah berakhir yang sebenarnya inilah jebakan patron demi melanggengkan usahanya. Namun berdasarkan pandangan nelayan (perspektif emic), kuatnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka selain bergantung pada pemilik modal (patron).

(11)

desa-desa nelayan tidak terlepas dari sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labour by sex) yang berlaku pada masyarakat setempat.

Kaum perempuan biasanya terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk, seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi, simpan pinjam, dan jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga. Hadirnya pranata-pranata tersebut merupakan strategi adaptasi masyarakat nelayan dalam menghadapi kesulitan hidup yang dihadapinya. Strategi adaptasi diartikan sebagai pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup.

Sedangkan strategi adaptasi yang dilakukan para nelayan (kaum suami) adalah diversifikasi pekerjaan untuk memperoleh sumber penghasilan baru. Bahkan, strategi adaptasi tersebut diselingi dengan menjual barang-barang berharga yang ada dan berhutang. Namun, kedua strategi ini pun tidak mudah didapat karena berbagai faktor telah membatasi akses mereka.

Oleh karena itu, dengan keterbatasan yang ada, masyarakat nelayan mengembangkan sistem “jaringan sosial“ yang merupakan pilihan strategi adaptasi yang sangat signifikan untuk dapat mengakses sumberdaya ikan yang semakin langka. Jaringan sosial diartikan oleh Mitchell sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara kelompok orang (Kusnadi, 2000).

Bagi masyarakat nelayan, jaringan sosial merupakan salah satu potensi budaya yang dapat dimanfaatkan secara kreatif untuk menyikapi tekanan ekonomi. Kendati pun demikian, harus diakui bahwa pemanfaatan fungsi jaringan sosial masih bersifat karitatif, bukan merupakan solusi substansial untuk mengatasi berbagai kesulitan sosial-ekonomi rumah tangga nelayan secara mendasar. Hal ini dikarenakan, faktor-faktor penyebab kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau kemiskinan di kalangan masyarakat nelayan sangat kompleks.

3.

Tidak adanya kegiatan yang bermanfaat yang dilakukan nelayan saat tidak

(12)

Disamping isu tentang pengelolaan pesisir yang telah diuraikan di atas pada berbagai lokasi di Sumatera Utara, terdapat pula beberapa keadaan yang berlaku umum terhadap nelayan di Sumatera Utara dan sudah menjadi rahasia umum tentang hal yang terjadi di masyarakat nelayan bahwasanya telah terjadi beberapa hal yang cukup menjadi alasan kenapa begitu susahnya melakukan program pengentasan kemiskinan bagi masyarakat pesisir yang sebagian besarnya berprofesi sebagai nelayan. Di antaranya adalah :

a. Kebiasaan para nelayan apabila kembali dari laut dan memperoleh hasil yang melimpah sehingga memperoleh uang yang relatif cukup besar, akan enggan untuk bersegera kembali melaut setelah masa istirahatnya berakhir. Mereka cenderung akan menghabiskan dahulu penghasilan yang mereka peroleh dengan bersantai-santai bersama teman dan bersama nelayan-nelayan lain yang tidak sedang melaut. Setelah akhirnya uang yang mereka miliki habis, bahkan ada yang sampai sanggup untuk berhutang dahulu untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya, barulah mereka kembali bekerja untuk mencari ikan dan benda-benda laut lainnya di lautan.

b. Faktor cuaca yang sering tidak berpihak kepada nelayan. Saat ini dengan kondisi alam yang katanya tidak menentu lagi (konon disebabkan “global warming” atau pemanasan global), keadaan cuaca menjadi musuh nelayan. Ketika nelayan hendak pergi ke laut tiba-tiba angin berhembus begitu kencangnya sehingga menyebabkan ketinggian ombak meningkat dan menyebabkan nelayan urung untuk pergi ke laut. Begitu juga jika memasuki musim hujan, bila hujan turun disertai petir dan angin maka sudah bisa dipastikan nelayan tidak akan berani pergi melaut. Saat pasang besar juga menjadi masalah tersendiri bagi nelayan, gelombang-gelombang tinggi akan mengancam nyawa nelayan sehingga menghambat niat nelayan untuk pergi mencari nafkah. Hal yang berhubungan dengan cuaca ini jika dihitung jumlahnya dalam setahun ternyata cukup banyak sehingga akhirnya mereka tidak pergi ke laut.

(13)

4.

Cenderung boros dan tidak adanya tradisi menabung.

Jika memasuki waktu panen raya, ketika jumlah ikan yang mereka dapatkan selalu melimpah setiap mereka melaut, ataupun jiak nelayan tersebut memelihara ikan, udang, dan lain-lain, mereka cenderung menghabiskan hasil yang mereka peroleh dengan membeli barang-barang yang terkadang tidak atau diperlukan untuk meningkatkan penghidupan. Apa saja yang ditawarkan para penjual yang selalu tahu kapan waktu panen raya tersebut tiba, akan mereka beli. Jika nantinya uang yang mereka miliki telah habis, maka untuk menutupi kebutuhan sehari-hari mereka akhirnya barang-barang yang dibeli dengan harga yang cukup mahal akan mereka jual dengan harga yang cukup murah. Bagaimana jika seandainya kelebihan uang yang mereka miliki mereka tabung, setiap hasil tangkapan melebihi hasil normal mereka tabung dan mereka secara rutin melaut, hasilnya pasti berbeda dan lambat laun kehidupan mereka niscaya akan beranjak baik dan terbebas dari kemiskinan.

5.

Masih Tingginya Aktivitas Tengkulak di Kehidupan Nelayan.

Tengkulak atau biasa disebut lintah darat, sudah umum kita ketahui merupakan faktor penting yang menyebabkan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi dan susah untuk dientaskan. Untuk mendukung program pengentasan kemiskinan, sebaiknya pemerintah dan pihak-pihak terkait mau turun langsung ke lapangan untuk lebih memahami hal-hal yang terkait dengan permasalahan tengkulak ini. Apabila permasalahan sudak dipahami dan oknum-oknum tengkulak telah terkuak, sudah dapat dipastikan masalah tengkulak akan terselesaikan.

6.

Seringnya Bantuan salah sasaran

(14)

penangkap ikan bantuan Dinas Sosial Sumatera Utara yang disalurkan melalui Kepala Kelurahan setempat dua pekan lalu. Kedatangan mereka ke DPRD Medan diterima H. Marthius Latuperissa, kepada nelayan tersebut Marthius berjanji akan menyelesaikan permasalahan tersebut ke pemerintahan Provinsi.

Rizal, selaku perwakilan nelayan pada pertemuan itu memaparkan permasalahan yang dihadapi kelompok nelayan ini menyangkut bantuan sampan sebanyak 42 unit yang diserahkan Dinas Sosial lewat Kepala Kelurahan Pekanlabuhan, Darmansyah Sofian. Tetapi, bantuan tersebut tidak sampai ke tangan kelompok nelayan di Lingkungan VIII a-b dan lingkungan IX-b di Pekanlabuhan. Menurut Rizal, ketika hal itu dipertanyakan kepada Darmansyah, Lurah Pekanlabuhan ini mengatakan, bantuan tersebut bukan dia yang menyerahkannya. Padahal menurut Rizal, warga nelayan di daerah ini mengetahui persis penyerahan sampan tersebut sudah diserahkan Darmansyah. Tetapi bukan kepada kelompok nelayan yang membutuhkan, melainkan kepada orang-perorang (individu) yang bukan sebagai nelayan. ''Bahkan, Lurah memperoleh satu unit sampan tersebut,'' ungkap Rizal.

Tindakan Kepala Kelurahan itu dinilai nelayan Pekanlabuhan sudah keterlaluan, untuk menuntaskan persoalan tersebut mereka meminta bantuan DPRD dengan tujuan agar sampan pemberian dari Dinas Sosial tersebut juga mereka peroleh. Padahal tambah Rizal, berdasarkan yang kami ketahui, bantuan sampan itu diserahkan Dinas Sosial kepada Lurah, kemudian melalui Lurah baru diberikan kepada nelayan yang telah didaftar sebelumnya, bukan kepada mereka yang bukan nelayan.

Wakil Rakyat di DPRD Medan, Marthius kepada utusan 40 orang nelayan Pekanlabuhan tersebut berjanji akan menyelesaikan permasalahan itu, Selasa besok ke pemerintahan Provinsi. Mendapat kepastian dari wakil rakkyat, kelompok nelayan ini kemudian dengan tertib meninggalkan gedung DPRD untuk kembali ke rumah masing-masing. Sumber Humasy Pemko

7. Permasalahan Pungli

(15)

200.000 untuk membayar pungutan itu. Para pemungut biasanya berpakaian seragam dan kapal berbendera merah putih.

"Kami belum dapat apa-apa, sudah harus membayar macam-macam yang tidak jelas. Di Sungai Asahan ini saja, mungkin ada 20 pungutan yang harus kami bayar," kata seorang nelayan pukat apung, Ong (44) saat ditemui akhir pekan lalu di Tanjung Balai. Pungutan liar itu banyak ditemui di hilir Sungai Asahan menuju laut lepas. Begitu kapal mendekati muara sungai, satu per satu kapal kecil berbentuk kapal patroli berbendera merah putih bergantian mendekat dan meminta uang. Hanya dalam waktu tidak lebih dari 20 menit, uang Rp50.000 sudah melayang dari kantong para nelayan. Oleh karena telah terbiasa sejak lama, banyak nelayan yang tidak lagi bertanya dan langsung menyerahkan uang untuk menghindari keributan. Mereka juga tidak ingin tertahan lebih lama di perairan Sungai Asahan dan tertunda waktunya untuk melaut.

Ada sekitar 10 kapal yang mendekati kapal nelayan dan meminta uang di perairan itu. Begitu mendekati lambung kapal, beberapa orang berpakaian seragam di atas kapal bertanya dari mana mereka. Orang berseragam itu pun mengulurkan jaring kecil yang diikat pada sebuah gagang untuk menampung uang. Tidak ada kuitansi atau tanda terima apa pun yang diberikan, kecuali retribusi penangkapan ikan senilai Rp 20.000 dari Dinas Perikanan. Kapal-kapal patroli itu membawa nama KPLP, Angkatan Laut, Polairud, Dinas Perikanan, dan Dinas Perhubungan. Bahkan ada kapal patroli yang mengatakan mereka dari Belawan. Untuk tiap kapal yang meminta pungutan itu, nelayan biasanya memberi minimal Rp 5.000 hingga Rp 10.000. Di perairan Panipahan, Provinsi Riau, nelayan bahkan harus membayar Rp 20.000 per kapal patroli yang meminta pungutan. "Kalau tidak diberi, mereka akan mencari alasan dan memeriksa kelengkapan kapal. Entah soal kotak obat, pelampung, atau apa pun pasti dikatakan tidak memenuhi syarat. Kalau sudah begitu bisa-bisa nelayan tidak boleh berlayar," tambah Ong. Daripada tidak bisa berlayar mencari ikan, para nelayan lebih rela mengeluarkan uang untuk membayar pungutan itu.

(16)

bahan bakar kapal mereka," katanya. Ia merasa geram karena pungutan itu dinilai merugikan pendapatan nelayan. Menurutnya, nelayan-nelayan itu bisa membayar uang retribusi atau pungutan apa pun lewat organisasi tempat mereka bernaung. Jumlahnya sesuai kesepakatan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan dibayar rutin setiap bulan. Manik menambahkan, setidaknya para nelayan bisa dimintai uang atau pungutan setelah mereka pulang menangkap ikan. "Hasil tangkapan pun belum pasti, pungutan sudah harus dibayar. Seringkali setelah pulang berlayar, kami masih dimintai lagi," ujarnya.

Kepala Dinas Perhubungan Kantor Regional Pelabuhan Teluk Nibung Rusli mengatakan, sejak menurunnya arus keluar masuk barang lewat Pelabuhan Teluk Nibung, Tanjung Balai, biaya operasional piket patroli menjadi jauh berkurang. "Pemasukan minim, sementara biaya operasional tetap harus dipenuhi. Akhirnya para petugas patroli yang piket itu memohon pengertian nelayan untuk sekadar membantu biaya operasional mereka," ujarnya.

PEMECAHAN MASALAH KEMISKINAN

Pemecahan masalah kemiskinan yang dimaksudkan dalam tulisan ini bukan merupakan suatu hal yang mutlak dan merupakan suatu solusi yang bila dilaksanakan akan mampu memecahkan masalah kemiskinan yang memang menjadi masalah nasional bahkan masalah dunia. Apa yang disampaikan pada tulisan ini merupakan sedikit sumbangan pemikiran dari penulis yang memang selalu berusaha untuk memperhatikan dan berusaha berempati terhadap masalah yang melanda suatu golongan yang ada pada masyarakat kita.

(17)

yang negatif diantaranya menjadi malas berusaha, tidak berkeinginan memanfaatkan waktu luang, dan tidak mau menabung. Gaya hidup seperti ini sepertinya berlaku umum pada kehidupan nelayan di Sumatera Utara (mungkin juga seluruh nelayan di Indonesia) dan celakanya pandangan hidup yang kurang tepat ini tertular pada generasi-generasi selanjutnya, yang mengakibatkan kehidupan masyarakat nelayan tidak mengalami perubahan yang berarti dari tahun ke tahun.

Faktor lainnya yang menyebabkan kondisi kemiskinan tersebut seolah mendapat dukungan untuk menjadi semakin terpuruk adalah faktor pengelola negara dalam hal ini yang dimaksud adalah pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah (gubernur, walikota/bupati), camat, lurah dan yang paling rendah kepala lingkungan (kepling) yang ternyata kurang berpihak kepada masyarakat bawah atau miskin. Di awal kepemimpinan mereka, menunjukkan perhatian yang cukup baik terhadap keadaan masyarakat, terutama golongan masyarakat rendahan (wong cilik) sehingga harapan besar tertuju kepada mereka untuk menangani permasalahan masyarakat miskin. Namun dengan berjalannya waktu, ternyata apa yang mereka kemukakan pada saat ”kampanye” dan yang mereka lakukan di awal-awal masa jabatannya hanya sebatas wacana yang pelaksanaannya sangat jauh dari harapan. Beberapa program dari Pemerintahan yang lebih tinggi yang kelihatannya bagus, ketika sampai ke tingkat masyarakat ternyata menjadi tidak berjalan baik. Misalnya pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) gratis, pembuatan akte kelahiran gratis, sekolah gratis, jaminan kesehatan gratis, dan banyak program-program gratis lainnya yang ternyata menjadi tidak gratis samapai ke masyarakat. Kemudian beberapa program subsidi yang dilakukan pemerintah ternyata tidak berjalan sesuai dengan “SOP” (standard operational prosedur) nya. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, beberapa bantuan-bantuan dari lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah (LSM) dalam rangka pengentasan kemiskinan mereka garap dalam rangka memenuhi kebutuhan individu dan kelompok mereka, na’udzubillahi min dzalik.

(18)

Faktor selanjutnya yang sebaiknya tidak diabaikan adalah faktor iklim, yaitu kondisi alam yang tidak kondusif bahkan membahayakan bagi nelayan untuk pergi melaut. Hal ini diperparah lagi dengan adanya “momok baru” yaitu global warming yang menyebabkan bertambahnya ketinggian permukaan laut. Bila datang angin kencang, gelombang laut yang seharusnya sudah tinggi akan menjadi semakin tinggi dengan bertambah tingginya permukaan laut. Namun sebenarnya masalah ini tidak menjadi begitu mengkhawatirkan jika para nelayan yang terhalang untuk menjalankan mata pencaharian pokok mereka tersebut mau memanfaatkan waktu tersebut untuk menjalankan usaha/kegiatan lain yang juga menghasilkan materi yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga mereka.

PENUTUP

Dari uraian yang telah disampaikan di atas, dapatlah kiranya diambil kesimpulan bahwasanya dalam rangka menangani masalah-masalah kemiskinan terutama dalam hal ini kemiskinan masyarakat pesisir, diperlukan upaya-upaya yang sungguh-sungguh baik oleh masyarakat miskin sendiri dengan perubahan pola pikir mereka, pemerintah dan lembaga-lembaga terkait, dan pengoptimalan pemanfaatan waktu senggang masyarakat agar masalah-masalah yang menjadi faktor penyebabkan terjadinya kemiskinan dapat dihilangkan atau paling tidak diminimalkan keberadaannya.

Akhirnya apapun yang disampaikan dalam tulisan ilmiah ini kiranya dapat menjadi bahan diskusi dan masukan bagi kita semua dalam rangka pengentasan masyarakat miskin di Sumatera Utara khususnya dan penduduk Indonesia pada umumnya.

BAHAN BACAAN

Benda-Beckman, FV. 2000. Properti dan Kesinambungan Sosial. Grasindo. Jakarta. Goudzwaard, B dan H.D. Lange. 1998. Di Balik Kemiskinan dan Kemakmuran.

Terjemahan, Kanisius. Jakarta.

(19)

Prasetyo, E. 2005. Orang Miskin Tanpa Subsidi. Resist Book. Yogyakarta

Ruwiyanto, W. 1994. Peranan Pendidikan dalam Pengentasan Masyarakat Miskin. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Hampir semua responden petani dan buruh panen yang menggunakan power thresher di Subang melaporkan bahwa perontokan dengan power thresher menghasilkan gabah sekitar

Berdasarkan proses-proses yang telah dilakukan dalam pengerjaan tugas akhir dengan judul “Rancang Bangun Perangkat Lunak Teenstagram untuk Mengelompokkan Topik Caption

Untuk mengubah daftar admin yang dapat mengakses halaman admin maka admin pertama dapat menambah admin baru dan dapat menonaktifkan admin yang lama menjadi user biasa dengan

Sistem Manajemen K3 akan berfungsi lebih baik jika perusahaan telah menumbuhkan budaya K3 yang diikuti dengan perilaku yang aman dari tenaga kerja agar dapat

Hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 4.2 diperoleh bahwa sebelum diberikan penyuluhan kesehatan, sikap seksual remaja kelas 2 di SMA N 1 Sedayu Bantul

sel ) ialah besarnya beda potensial atau besarnya potensial yang dihasilkan dari dua buah elektroda (katoda dan anoda) yang dihubungkan oleh suatu penghantar. Karena pada

Desa mencari penghasilan dengan mengelola lingkungan hidup untuk pemasukan desa yang dapat dimanfaatkan oleh pembangunan desa. Tanah kas desa, tanah sitisoro (tanah disewakan

[r]