PENGARUH JOB DEMANDS, PERSONAL RESOURCES, DAN
JENIS KELAMIN TERHADAP WORK ENGAGEMENT
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Disusun oleh :
Palupi Bimantari
1110070000011
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
PENGARUH
JOB DEMANDS
,
PERSONAL RESOURCES,
DAN
JENIS KELAMIN TERHADAP
WORK ENGAGEMENT
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Disusun oleh :
Palupi Bimantari
1110070000011
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
v
MOTTO
Nothing is impossible, the
word itself says 'I'm
possible'!
vi
Skripsi ini penulis persembahkan untuk
keluarga besar, kedua orang tua, kakak,
dan adik tercinta yang tiada henti
memberikan dukungan dan kasih
sayangnya serta untuk sahabat-sahabat
atas semangat dan kebaikannya selama
vii
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi B) April 2015
C) Palupi Bimantari
D) Pengaruh JOB DEMANDS, PERSONAL RESOURCES, DAN JENIS KELAMIN terhadap WORKENGAGEMENT
E) +64 halaman +19 lampiran
F) Work engagement hal yang sangat diperhatikan oleh semua institusi karena work engagement yang tinggi akan meningkatkan kemajuan dan produktivitas sebuah institusi atau organisasi. Melalui Model Job Demands-Resources (JD-R) yang banyak dikembangkan pada penelitian Psikologi Industri dan Organisasi maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh job demands, personal resources, dan jenis kelamin terhadap workengagement. Total populasi sebanyak 500 karyawan PT Pertamina Gas Area Jawa Bagian Barat dan yang dijadikan sampel sebanyak 330 karyawan yang diambil dengan menggunakan teknik total sampling. Uji alat ukur menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga komponen personal resources (self efficacy, organizational based self esteem, dan optimism) berpengaruh signifikan terhadap work engagement. Peneliti berharap implikasi dari penelitian ini dapat dikaji kembali dan dapat dikembangkan pada penelitian selanjutnya.
viii
ABSTRACT
A) Faculty of Psychology B) April 2015
C) Palupi Bimantari
D) Effect of Job Demands, Personal Resources, and Gender to Work Engagement E) +64 pages +19 appendix
F) Work engagement thing is considered by all institutions because of the high work engagement will increase the progress and productivity of an institution or organization. Through the Job Demands-Resources Model (JD-R) which has been developed in industrial and organizational psychology research, this study was conducted to determine the effect of job demands, personal resources, and gender to work engagement. The total population are 500 employees of PT Pertamina Gas Areas of West Java and is used as a sample of 330 employees taken using total sampling technique. Test measurement tool using Confirmatory Factor Analysis (CFA). The results showed that the three components of personal resources (self-efficacy, organizational based self esteem, and optimism) significant effect to work engagement. Researchers hope the implications of this research can be reviewed and may be developed in future studies.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
izin-Nya peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul “Pengaruh
Job Demands, Personal Resources, dan Jenis Kelamin terhadap Work Engagement”. Tak lupa shalawat serta salam peneliti selalu curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, berikut para keluarga dan sahabat.
Penelitian skripsi ini diajukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan jajarannya serta seluruh civitas akademik Fakultas
Psikologi. Terima kasih atas segala bantuan, bimbingan, dan arahannya selama
ini.
2. Dr. Abdul Rahman Saleh, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Miftahuddin,
M.Si selaku dosen pembimbing II. Terima kasih atas waktu, tenaga, pikiran, dan
ilmu yang diberikan kepada peneliti. Semoga Allah membalas budi baik bapak
berlipat ganda dan ilmu yang diberikan selalu membawa manfaat untuk peneliti.
3. Kedua orang tua peneliti, Lukman Muhammad dan Mulyanah atas segala yang
telah di berikan kepada peneliti sampai hari ini. Kakak dan adik, Rheza
Ariowibowo dan Muhammad Solihin. Terima kasih telah memberimotivasi untuk
terus bersemangat menyelesaikan skripsi ini.
4. Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi selaku dosen pembimbing akademik. Terima
kasih atas bimbingan, semangat, dan nasehat ibu di dalam ataupun luar
perkuliahan.
5. Seluruh Karyawan PT. Pertamina Gas Area JBB. Terima kasih atas kesediaannya
x
6. Nur Hikmarani Andestiarilis, S.Psi, Azka Firdausa, S.Psi, Nurani Ruhendi Putri,
S.Psi, Dewi Mayangsari, S.Psi, Amelia Paramitha, S.Psi, Sarah Eka Chairunnisa,
S.Psi, dan Laily Inayah, S.Psi. Terima kasih atas kisah suka duka, pengalaman,
dukungan, dan motivasi selama 4 tahun bersama. You guys are the best!
7. Teman-teman seperjuangan skripsi dan tanda tangan Denny Sekar Taji, Nabilah
Yasmin, Aksa Dewangga, Muhammad Hilmi Oksadela, Lailatul Ikromah, Devi
Irma, Adila Purwani, Bobby Suwandi, Rahmatya Iskandar, Vina Febian, dan
Laras Ts. Terima kasih atas bantuan, doa, dan semangatnya untuk menyelesaikan
skripsi bersama.
8. Tim penelitian payung “Model JD-R” Mitha, Tia, Kaifa, Furqon, Ditta, Fitri,
Sarah, Sabrina, Melina, dan Icha, teman-teman kelas A Dick, Shafhan, Mario,
Salman, Hafid dan angkatan 2010 lainnya, Nurul Aini, rekan-rekan BEMF
Psikologi UIN Jakarta 2013-2014, serta semua pihak yang belum sempat
dituliskan di sini.
9. And the last but not forgotten, Bayu Nandi Wardhana. Terima kasih atas waktu,
semangat, pengertian, dan kesabarannya menemani peneliti selama ini.
Akhirul kalam, tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, segala kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat diharapkan sebagai bahan penyempurnaan
penelitian ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi pada penelitian
selanjutnya.
Jakarta, 13 April 2015
xi
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
1.2.1 Pembatasan masalah ... 7
xii
3.3 Instrumen Pengumpulan Data ... 30
3.4 Uji Validitas Konstruk ... 32
3.4.2 Uji validitas konstruk skala personal resources ... 37
3.4.3.1 Self efficacy ... 37
3.4.3.2 Organizational based self esteem ... 38
3.4.3.3 Optimism ... 39
3.4.3 Uji validitas konstruk skala work engagement 40 3.5 Teknik Analisis Data ... 41
3.6 Prosedur Penelitian ... 43
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 45-56 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian... 45
4.2 Analisis Deskriptif dan Skor Variabel Penelitian ... 47
4.2.1 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ... 48
4.3 Hasil Uji Hipotesis Penelitian ... 50
4.3.1 Analisis regresi variabel penelitian ... 50
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blue print skala job demands ... 31
Tabel 3.2 Blue print skala personal resources ... 31
Tabel 3.3 Blue print skala work engagement ... 32
Tabel 3.4 Muatan faktor item emotional demands... 35
Tabel 3.5 Muatan faktor item work overload... 36
Tabel 3.6 Muatan faktor item cognitive demands ... 37
Tabel 3.7 Muatan faktor item selfefficacy ... 38
Tabel 3.8 Muatan faktor item OBSE ... 39
Tabel 3.9 Muatan faktor item optimism ... 40
Tabel 3.10 Muatan faktor item work engagement ... 41
Tabel 4.1 Deskripsi subjek berdasarkan data demografi ... 45
Tabel 4.2 Analisis deskriptif ... 47
Tabel 4.3 Norma skor variabel ... 49
Tabel 4.4 Kategorisasi skor variabel ... 49
Tabel 4.5 Tabel R-square ... 50
Tabel 4.6 Tabel anova ... 51
Tabel 4.7 Tabel koefisien regresi ... 51
Tabel 4.8 Proporsi varians... 54
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Path Diagram
1 BAB 1
PENDAHULUAN
Bab pendahuluan terdiri dari pembahasan latar belakang masalah yang mencakup
pemaparan fenomena yang terjadi dan beberapa hasil penelitian terdahulu yang
relevan dengan penelitian ini serta dibahas mengenai alasan ketertarikan topik
penelitian ini. Selain itu, bab ini berisi pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian.
1.1Latar Belakang Masalah
Pada abad ke 21 ini, koneksi antara kondisi psikologis karyawan dengan
pekerjaannya memegang peranan yang sangat penting khususnya pada sektor
pekerjaan yang berhubungan dengan informasi dan pelayanan (Bakker, 2011).
Perusahaan tidak lagi hanya mencari calon karyawan yang memiliki kemampuan
diatas rata-rata, namun mereka juga mencari calon karyawan yang mampu
menginvestasikan diri mereka sendiri untuk terlibat dalam pekerjaan, proaktif, dan
memiliki komitmen tinggi terhadap standar kualitas kinerja (Bakker, 2007). Lebih
lanjut Bakker dan Leiter (2010) menambahkan bahwa perusahaan juga
membutuhkan karyawan yang engage dengan pekerjaannya.
Karyawan yang engage memiliki tingkat energi yang tinggi, antusias
terhadap pekerjaan mereka, dan mereka sering merasa tenggelam dalam
pekerjaannya sehingga waktu terasa cepat berlalu (Macey dan Schneider, 2008;
2
(1997) juga berpendapat bahwa karyawan yang engage tidak hanya melakukan
aktivitas yang merupakan bagian dari tugasnya, tetapi ia juga melakukan aktivitas
yang dapat memajukan organisasi. Oleh karena itu, work engagement ditandai
dengan tingkat energi yang tinggi dan identifikasi yang kuat dengan pekerjaan
seseorang (Demerouti dan Bakker, 2008).
Work engagement merupakan salah satu konstruk yang dimasukkan ke
dalam konteks psikologi positif. Dimasukkannya work engagement ke dalam
komponen psikologi positif karena konstruk tersebut menekankan pada
kesejahteraan seorang karyawan (Schaufeli et.al., 2001). Bakker, 2010 (dalam
Indrianti, 2012) menambahkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat work
engagement yang tinggi akan menunjukkan performa terbaik mereka, karena
karyawan tersebut menikmati pekerjaan yang mereka lakukan.
Bakker, Schaufeli, Leiter, dan Taris (2008) menyatakan bahwa work
engagement tidak sama dengan workaholic (pecandu kerja). Workaholic
menghabiskan banyak waktu dalam pekerjaannya, ketika diberi keleluasaan untuk
memilih apa yang akan dilakukannya; mereka akan bekerja lebih keras. Selain itu,
workaholic enggan melepaskan diri dari pekerjaan dan mereka terus-menerus
berpikir tentang pekerjaannya bahkan ketika mereka tidak sedang bekerja. Hal ini
menunjukkan bahwa workaholic terobsesi dengan pekerjaan mereka; mereka
termasuk pekerja kompulsif (Schaufeli, Taris, dan Bakker, 2006; Scott, Moore,
dan Miceli, 1997).
Fokus penelitian ini ingin melihat bagaimana work engagement mampu
3
karyawan Pertamina Gas. Melalui Model Job Demand-Resources (JD-R) Bakker
et al. (2001) bahwa setiap pekerjaan memiliki faktor risiko sendiri yang terkait
dengan pekerjaan. Faktor-faktor ini dapat diklasifikasikan dalam dua kategori
umum (yaitu job demands dan job resources), sehingga menjadikan model yang
menyeluruh yang dapat diterapkan untuk berbagai pengaturan kerja.
Bakker dan Demerouti (2006) menyimpulkan dari beberapa sumber bahwa
job demands merupakan sebuah tekanan kerja yang tinggi, tuntutan emosional,
dan ambiguitas peran yang dapat menyebabkan masalah tidur, kelelahan, dan
gangguan kesehatan, sedangkan job resources seperti dukungan sosial, umpan
balik kinerja, dan otonomi dapat memicu proses motivasi yang mengarah ke
pekerjaan yang berhubungan dengan pembelajaran, work engagement, dan
komitmen organisasi.
Dalam penelitian ini peneliti mengambil sampel pada PT Pertamina Gas
yang merupakan perusahaan yang bergerak dalam sektor midstream dan
downstream industri gas Indonesia. Perusahaan ini merupakan anak perusahaan
PT Pertamina (Persero) dalam peran usaha niaga gas, transportasi gas, pemrosesan
gas dan distribusi gas, serta bisnis lainnya yang terkait dengan gas alam dan
produk turunannya.
Tingkat work engagement di Pertamina Gas sangatlah baik dilihat dari
hasil kinerja secara global. PT. Pertamina Gas banyak mendapatkan penghargaan
dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam hal CIP (Continuous
4
Lingkungan Hidup (Annual Report PT. Pertamina Gas, 2013). Tetapi masih ada
karyawan yang kurang menaati peraturan perusahaan. Seperti hasil observasi
peneliti pada PT. Pertamina Gas dimana masih banyak karyawan yang datang
terlambat datang ke kantor. Terlihat ketika diadakannya apel setiap pagi masih
banyak karyawan yang datang terlambat. Kemudian banyak ditemukan kasus
seperti karyawan yang menggunakan jam kerjanya untuk melakukan hal-hal lain
diluar tugas dan pekerjaannya (hasil observasi Juni 2014). Hal ini tentu akan
berdampak terhadap kinerja organisasi yang dihasilkan.
Hasil wawancara kepada 6 karyawan PT. Pertamina Gas pada hari jumat
tanggal 14 maret 2014 yaitu mereka mengeluhkan masalah kurangnya gaji yang
diberikan, aspirasi mereka juga kurang ditanggapi, dan beberapa dari mereka
mengeluhkan masalah sistem kemitraan atau outsourcing yang mana mereka
berharap segera dihapuskan (Lia et.al, 2014). Masalah-masalah tersebut akan
menyebabkan mereka kurang semangat dalam melakukan pekerjaan, dengan kata
lain rendahnya work engagement. Rendahnya work engagement dapat merugikan
perusahaan karena dapat menurunkan mutu serta reputasi perusahaan. Lain halnya
dengan karyawan yang memiliki work engagement tinggi, mereka bekerja dengan
rajin dan semangat. Tingginya work engagement seperti inilah yang dapat
memajukan perusahaan di masa depan sehingga dapat bersaing dengan
perusahaan lain.
Dari model JD-R peneliti fokus pada job demands. Job demands merujuk
pada aspek-aspek fisik, psikologis, sosial, atau organisasi dari suatu pekerjaan
5
terus-menerus dan oleh karena itu diasosiasikan dengan biaya fisik dan/atau
psikologis tertentu (Bakker dan Demerouti, 2007). Contohnya adalah tekanan
tinggi pada pekerjaan, lingkungan fisik yang tidak menguntungkan, dan interaksi
secara emosional dengan klien yang menuntut. Meskipun job demands belum
tentu negatif, tetapi job demands dapat berubah menjadi stres pekerjaan saat
bertemu dengan tuntutan yang membutuhkan usaha yang tinggi dari karyawan
yang tidak memiliki kemampuan yang memadai (Meijman & Mulder, 1998,
dalam Bakker & Demerouti, 2006).
Sejalan dengan pemahaman tentang job demands, hubungan antara job
demands dengan work engagement diasumsikan memiliki hubungan yang negatif.
Tetapi bila hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai koefisien regresi positif
maka job demands memiliki dampak yang positif untuk work engagement
dikarenakan orang tersebut akan memberikan hasil pekerjaan yang lebih baik lagi,
sebaliknya jika nilai koefisien job demands memiliki arah yang negatif maka hal
tersebut akan berdampak negatif pula karena work engagement seseorang akan
mengalami penurunan karena kelelahan atau terlalu banyak tuntutan pekerjaan
yang ia hadapi.
Selain mengukur aspek job demands, penelitian ini juga mengukur
seberapa besar peranan personal resources dalam mempengaruhi work
engagement. Van den Heuvel et al. (2010) mengembangkan model personal
resources sebagai sarana pendukung bahwa hasil organisasi seperti kinerja,
komitmen dan work engagement dalam lingkungan organisasi tidak hanya
6
kerja dan job resources, berupa dukungan dan otonomi), tetapi juga oleh
karakteristik individu tertentu, yang disebut personal resources (misalnya self
efficacy dan harapan).
Di samping itu, keanekaragaman dalam organisasi juga penting bagi
tumbuh kembang bisnis perusahaan, sehingga dapat saling mengisi dalam
kekurangan, saling mendukung dalam kelebihan, dan mempercepat pencapaian
tujuan organisasi. Karyawan yang beragam pun ternyata dapat lebih produktif
dalam menyelesaian sebuah proyek. Keragaman disini berlaku untuk jenis
kelamin individu, antara laki-laki dan perempuan mempunyai kelebihan
masing-masing dalam bekerja (Anonim, 2014).
Penelitian juga menunjukkan bahwa tim yang berisikan gender diversity
yang lebih banyak akan melakukan kerja yang lebih tinggi daripada gender yang
homogen, hal itu disebabkan karena:
1. Pria dan wanita memiliki sudut pandang yang berbeda, yang
memungkinkan menghasilkan pemecahan masalah yang lebih baik, dan
pada akhirnya akan unggul di unit bisnisnya.
2. Keberagaman gender menyediakan kemudahan akses ke beberapa sumber
daya, seperti sumber informasi dan pengetahuan.
3. Keberagaman tenaga kerja memudahkan perusahaan melayani basis
pelanggan yang semakin beragam. Pelanggan adalah aset dalam tumbuh
kembang perusahaan.
4. Perusahaan yang memiliki keberagaman gender lebih menarik
7
perempuan lebih banyak di tempat kerja di seluruh dunia. Ada sekitar 50%
tenaga kerja wanita potensial yang kompetitif di ekonomi global saat ini.
(Anonim, 2014).
Mengenai perbedaan jenis kelamin pria dan wanita juga dijelaskan oleh
Robbins (1996), antara lain bahwa beberapa studi psikologis yang dilakukan
menunjukkan bahwa wanita lebih bersedia mematuhi otoritas sedangkan pria lebih
agresif dan lebih besar kemungkinannya memiliki kesuksesan.
Beranjak dari penjelasan dan keterangan yang telah dipaparkan, work
engagement dianggap penting untuk diteliti, maka disusunlah penelitian dengan
judul “Pengaruh Job demands, Personal resources, dan Jenis kelamin terhadap
Work engagement”
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah, penelitian ini dibatasi pada pengaruh variabel
bebas (job demands, personal resources, dan jenis kelamin) terhadap variabel
terikat (work engagement). Adapun batasan mengenai konstruk yang digunakan
adalah sebagai berikut:
a. Work engagement adalah konstruk motivasional yang berarti sebagai keadaan
positif yang berhubungan dengan kesejahteraan dalam bekerja, penuh
semangat dan kelekatan yang kuat dengan pekerjaannya. Hal ini dikemukakan
oleh Schaufeli et al. (2002). Work engagement memiliki 3 komponen, yaitu
vigor, dedication, dan absorption.
8
adalah keadaan karyawan yang ditinjau dari beban pekerjaan. Job demands
memiliki 3 komponen, yaitu emotional demands, workoverload, dan cognitive
demands.
c. Personal resources adalah aspek personal yang umumnya terkait dengan
ketahanan dan mengacu pada kemampuan individu untuk mengontrol serta
berhasil memberi dampak terhadap lingkungannya. Personal resources
memiliki 3 komponen, yaitu self-efficacy, organizational based self esteem,
dan optimism.
d. Faktor demografi yang diteliti adalah jenis kelamin.
1.2.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dirumuskan masalah sebagai
berikut:
a. Apakah ada pengaruh job demands, personal resources, dan jenis kelamin
terhadap work engagement?
b. Seberapa besar sumbangsih masing-masing variabel bebas (job demands,
personal resources, dan jenis kelamin) terhadap work engagement?
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui pengaruh job demands, personal resources, dan jenis kelamin
terhadap work engagement.
2. Mengetahui seberapa besar kontribusi job demands, personal resources, dan
9
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian terbagi 2, yaitu:
a. Manfaat teoritis
Secara teoritis penelitian mengenai work engagement ini diharapkan mampu
memberikan sumbangsih terhadap pengembangan ilmu psikologi terutama
untuk mengetahui gambaran mengenai pengaruh job demands, personal
resources, dan jenis kelamin terhadap work engagement.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan untuk institusi dan
menjadi bahan evaluasi mengenai work engagement terutama pada kalangan
10
BAB 2
LANDASAN TEORI
Bab ini memaparkan teori yang diuraikan dalam penelitian yang terdiri dari lima
subbab yaitu teori work engagement (definisi, komponen, pengukuran, dan
faktor-faktor yang mempegaruhi work engagement), job demands (definisi, komponen, dan
pengukuran job demands), personal resources (definisi, komponen, dan pengukuran
personal resources), kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.
2.1 Work engagement
2.1.1 Definisi Work engagement
Work engagement merupakan sebuah konsep manajemen bisnis yang menyatakan
bahwa karyawan yang memiliki engagement tinggi adalah karyawan yang memiliki
keterlibatan penuh dan memiliki semangat bekerja tinggi dalam pekerjaannya
maupun dalam hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan jangka panjang.
Dengan kata lain, definisi work engagement mengacu pada keterlibatan, kepuasan
dan antusiasme karyawan dalam bekerja. Work engagement telah berkembang dari
berbagai konsep melingkupi motivasi, kepuasan kerja dan komitmen organisasi
(Saks, 2006).
Brown (dalam Robbins, 2003) memberikan definisi work engagement yaitu
dimana seorang karyawan dikatakan memiliki work engagement dalam pekerjaannya
11
pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain untuk
organisasi. Karyawan dengan work engagement yang tinggi dengan kuat memihak
pada jenis pekerjaan yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu.
Kahn (1990) adalah salah satu yang berteori tentang work engagement. Ia
menggambarkan karyawan sepenuhnya terlibat secara fisik, kognitif, dan emosional
terhubung dengan pekerjaan mereka. Work engagement mengacu pada energi yang
terfokus diarahkan untuk tujuan organisasi (Macey, Schneider, Barbera, dan Young,
2009). Karyawan yang engage bekerja lebih keras untuk meningkatkan usahanya
daripada karyawan yang tidak engage.
Institute of Employee Studies (2004) mendefinisikan work engagement
sebagai suatu sikap positif dari karyawan terhadap sikap organisasi di tempat dirinya
bekerja. Karyawan yang terpacu akan peduli terhadap bisnis organisasi dan bekerja
dengan tim untuk meningkatkan performa organisasi. Pengertian yang dikemukan
Wellins dan Concelman (2004) mengenai work engagement adalah kekuatan ilusif
yang memotivasi karyawan untuk meningatkan kinerja pada level yang lebih tinggi,
energi ini berupa komitmen terhadap organisasi, rasa memiliki dan kebanggan
terhadap pekerjaan, usaha yang lebih (waktu dan energi), semangat dan ketertarikan,
serta komitmen dalam melaksanakan pekerjaan.
Work engagement menurut Bakker, Schaufeli, dan Taris (2002) adalah
konstruk motivasional yang berarti sebagai keadaan positif yang berhubungan dengan
kesejahteraan dalam bekerja, penuh semangat dan kelekatan yang kuat dengan
12
absorption.
Perrin (2003) memberikan pengertian mengenai work engagement sebagai
pusat kerja afektif diri yang merefleksikan kepuasan pribadi karyawan dan afirmasi
yang mereka dapatkan dari bekerja dan menjadi bagian dari suatu organisasi.
Menurut Federman (2009), work engagement adalah derajat dimana seorang
karyawan mampu berkomitman pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen
tersebut ditentukan pada bagaimana merekabekerja dan lamanya masa bekerja.
Berdasarkan beberapa definisi yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh tersebut,
teori Schaufeli et al. (2002) yang digunakan dalam penelitian ini, dimana work
engagement adalah konstruk motivasional yang berarti sebagai keadaan positif yang
berhubungan dengan kesejahteraan dalam bekerja, penuh semangat dan kelekatan
yang kuat dengan pekerjaannya. Work engagement memiliki 3 komponen, yaitu
vigor, dedication, dan absorption.
2.1.2 Komponen Work engagement
Menurut Macey, Schneider, Barbera dan Young (2009), work engagement mencakup
2 komponen penting, yaitu:
1. Work engagement sebagai energi psikis dimana karyawan merasakan pengalaman
puncak (peak experience) dengan berada di dalam pekerjaan dan arus yang
terdapat di dalam pekerjaan tersebut.
2. Work engagement sebagai energi tingkah laku: Bagaimana work engagement
13
Pendapat Lockwood (2007), work engagement mempunyai tiga komponen
yangmerupakan perilaku utama, yaitu:
a. Membicarakan hal-hal positif mengenai organisasi pada rekannya dan
mereferensikan organisasi tersebut pada karyawan dan konsumen yang potensial
b. Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi tersebut,
meskipun terdapat kesempatan untuk bekerja di tempat lain
c. Memberikan upaya dan menunjukkan perilaku untuk berkontribusi dalam
kesuksesan bisnis perusahaan
Menurut Development Dimensions International (DDI) dalam Bakker dan
Leiter (2010), terdapat 3 komponen dalam work engagement, yaitu:
a. Cognitive
Memiliki keyakinan atas tujuan dan nilai-nilai organisasi
b. Affective
Memiliki rasa kepemilikan, kebanggaan, dan kelekatan terhadap organisasi
dimana ia bekerja
c. Behavioral
Keinginan untuk melangkah jauh bersama organisasi dan memiliki niat yang kuat
untuk bertahan dengan organisasi
Secara ringkas Schaufeli et.al (2004) menjelaskan mengenai komponen yang
14
1) Vigor
Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian
untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun
dalam menghadapi kesulitan kerja. Juga kemauan untuk menginvestasikan segala
upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
2) Dedication
Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa
kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi, dan tantangan.
3) Absorption
Dalam bekerja individu selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu
pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan
kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan.
Dari beberapa komponen yang telah disebutkan, dalam penelitian ini digunakan
komponen work engagement dari Schaufeli et.al (2004) berupa vigor, dedication, dan
absorption.
2.1.3 Pengukuran Work engagement
Work engagement dapat diukur dengan 24 item yang dibangun sendiri dan
dirumuskan bersama dalam bahasa Spanyol dan Inggris oleh Salanova et al. (2001).
Pengukuran item-item tersebut sama seperti skala Maslach-Burnout
Inventory-General Survey (MBI-GS).
Untuk mengukur employee engagement yang relevan dengan pengembangan
15
dan Gatenby (2012) membangun dan mengembangkan teori work engagement dari
Kahn (1990). Model ini dioperasionalkan dalam ukuran baru: Intellectual, Social,
Affective Engagement Scale (ISA Engagement Scale) yang terdiri dari tiga aspek:
intellectual, social, dan affective engagement.
Sedangkan pengukuran work engagement yang penulis gunakan adalah skala
Utrecht Work Engagement Scale (UWES) yang dikembangkan oleh Schaufeli dan
Bakker (2003), yang terdiri dari tiga sub-skala vigor, dedication, dan absorption.
2.1.4 Faktor-Faktor Work engagement
Menurut Lockwood (2007) work engagement merupakan konsep yang kompleks dan
dipengaruhi banyak faktor, diantaranya adalah budaya di dalam tempat bekerja,
komunikasi organisasional, gaya manajerial yang memicu kepercayaan dan
penghargaan serta kepemimpinan yang dianut, dan reputasi perusahaan itu sendiri
Robinson et al, (dalam Smythe, 2007), faktor kunci pendorong dari work
engagement karyawan adalah dimana apabila karyawan dapat merasa dihargai dan
dilibatkan (feelingvalued and involved), yang mempengaruhi hal ini adalah:
1. Karyawan dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
2. Karyawan dapat menyalurkan ide/ suara sehingga mereka dapat merasa berharga.
3. Kesempatan untuk mengembangkan pekerjaan.
4. Organisasi memperhatikan keberadaan dan kesehatan karyawan.
Faktor pendorong work engagement yang dijabarkan oleh Perrins (2003)
16
1. Senior Management yang memperhatikan keberadaan karyawan
2. Pekerjaan yang memberikan tantangan
3. Wewenang dalam mengambil keputusan
4. Perusahaan/ organisasi yang fokus pada kepuasan pelanggan
5. Memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk berkarier
6. Reputasi perusahaan
7. Tim kerja yang solid dan saling mendukung
8. Kepemilikan sumber yang dibutuhkan untuk dapat menunjukkan performa kerja
yang prima
9. Memiliki kesempatan untuk memberikan pendapat pada saat pengambilan
keputusan.
10. Penyampaian visi organisasi yang jelas oleh senior management mengenai target
jangka panjang organisasi.
2.2 Job demands
2.2.1 Definisi Job demands
Menurut model JD-R (Demerouti et al., 2001), karakteristik lingkungan kerja dapat
diklasifikasikan dalam dua kategori umum, job demands dan job resources, yang
menggabungkan tuntutan spesifik dan sumber daya yang berbeda, tergantung pada
konteks yang diteliti. Job demands atau tuntutan pekerjaan adalah keadaan karyawan
yang ditinjau dari beban pekerjaan (Bakker, Demerouti, Taris, Schaufeli, & Schreurs,
2003). Job demands merujuk pada aspek-aspek fisik, psikologis, sosial, atau
17
fisik dan/atau psikologis yang terus-menerus dan oleh karena itu diasosiasikan
dengan biaya fisik dan/atau psikologis tertentu (Bakker dan Demerouti 2007).
Model JD-R mengasumsikan bahwa ketika job demands tinggi, upaya
tambahan harus diberikan untuk mencapai tujuan kerja dan untuk mencegah
penurunan work engagement. Hal ini sama dengan biaya fisik dan psikologis, seperti
kelelahan dan cepat marah. Karyawan dapat memulihkan diri dari memobilisasi
energi ekstra dengan mengambil istirahat, mengerjakan tugas yang lain, atau
melakukan kegiatan yang tidak terlalu menuntut. (Knardahl dan Ursin, 1985).
Mikkelsen, et al. (2005) mendefinisikan job demands sebagai aspek yang
berhubungan dengan pemicu terjadinya stress kerja dan sumber beban kerja di antara
para pekerja sosial.
Job demands merupakan tugas yang berhubungan dengan pekerjaan yang
membutuhkan usaha dan variasi dari pemecahan masalah yang kompleks untuk
berhubungan dengan klien (Tooren, Jonge, Vlerick, Daniels dan de Ven, 2011).
Walaupun job demands bukanlah hal negatif, ia bisa berubah menjadi job
stressors ketika bertemu tuntutan yang memerlukan usaha besar dan oleh karena itu
dikaitkan dengan besarnya biaya yang mendapatkan respon negatif seperti depresi,
kecemasan atau burnout (Schaufeli dan Bakker, 2004).
Berdasarkan beberapa definisi yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh tersebut,
peneliti menggunakan teori job demands atau tuntutan pekerjaan adalah keadaan
karyawan yang ditinjau dari beban pekerjaan (Bakker, Demerouti, Taris, Schaufeli, &
18
2.2.2 Komponen Job demands
Kristensen (2001) membagi job demands dalam beberapa tipe berdasarkan tugas yang
dilakukan, yaitu quantitative demands, cognitive demands, emotional demands,
demands for hiding emotions, dan sensory demands.
Dalam penelitian ini, digunakan tiga komponen job demands dari Bakker,
Demerouti, Taris, et al, (2003), yaitu:
1. Emotional demands
Merupakan job demands yang berhubungan dengan emosional individu terhadap
pekerjaan.
2. Work overload
Merupakan job demands yang berhubungan dengan banyaknya beban kerja yang
diterima.
3. Cognitive demands
Merupakan job demands berupa tugas yang memerlukan banyak konsentrasi.
2.2.3 Pengukuran Job demands
Salah satu alat ukur job demands adalah Job Content Questionnaire (JCQ) yang
dikembangkan oleh Theorell, Michélsen and Nordemar (1991) mengukur lima
dimensi job demands (work fast, work hard, excessive work, enough time, dan
conflicting demands).
Pengukuran job demands selanjutnya adalah Job Content Instrument (karasek,
19
burnout, yang berisikan lima item yang menunjuk pada aspek kuantitatif (Bakker,
Demerouti, dan Verbeke, 2004).
Alat ukur yang peneliti gunakan untuk mengukur job demands yaitu
Questionnaire on the Experience and Evaluation of Work (QEEW ). Skala yang
dikembangkan oleh Schaufeli, Bakker dan Rhenen (2009).
2.3 Personal resources
2.3.1 Definisi Personal resources
Personal resources adalah evaluasi diri positif yang terkait dengan ketahanan dan
mengacu pada individu yang memiliki kemampuan untuk sukses dan mempengauhi
lingkungannya (Hobfoll, Johnson, Ennis, dan Jackson, 2003). Hal ini secara
meyakinkan menunjukkan bahwa evaluasi diri positif tersebut memprediksi
penentuan tujuan, motivasi, kinerja, kerja dan kepuasan hidup, dan hasil yang
diinginkan lainnya (Hakim, Van Vianen, dan De Pater, 2004).
Menurut Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, dan Schaufeli (2007), personal
resources adalah aspek personal yang umumnya terkait dengan ketahanan dan
mengacu pada kemampuan individu untuk mengontrol serta berhasil memberi
dampak terhadap lingkungan mereka.
Personal resources menurut Heuvel, Demerouti, Bakker, dan Schaufeli
(2010) mengacu pada interaksi individu dan lingkungan yang dapat berhubungan
secara spesifik seperti self efficacy yang terkait terhadap pekerjaan. Selain itu, Pearlin
20
merupakan karakteristik kepribadian yang dimanfaatkan individu untuk membantu
bertahan dari ancaman yang ditimbulkan oleh lingkungan sekitar mereka.
Luthans, Youssef dan Avolio (2007) mendefinisikan personal resources
sebagai modal psikologis, atau Psychological Capital, yang terdiri dari sejumlah
sumber daya seperti kondisi personal. Psychological Capital saat ini terdiri dari
empat komponen, yaitu: self-efficacy, harapan, optimisme, dan ketahanan.
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dijelaskan, peneliti memilih
pengertian personal resources menurut Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, dan
Schaufeli (2007), yaitu aspek personal yang umumnya terkait dengan ketahanan dan
mengacu pada kemampuan individu untuk mengontrol serta berhasil memberi
dampak terhadap lingkungan mereka.
2.3.2 Komponen Personal resources
Beberapa komponen personal resources antara lain:
1. Self-Efficacy, merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya untuk
melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas/ tuntutan dalam berbagai konteks.
2. Organizational Based Self-Esteem (OBSE), didefinisikan sebagai tingkat
keyakinan individu bahwa mereka dapat memenuhi kebutuhannya dengan
berpartisipasi dalam organisasi dan membuat perubahan yang lebih baik di dalam
organisasi tersebut (Chen, Gully, dan Eden, 2001, dalam Xanthopoulou, Bakker,
21
3. Optimism, terkait dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa diriya
mempunyai potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam hidupnya (Scheier dan
Carver, 1985, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, dan Schaufeli, 2007).
2.3.3 Pengukuran Personal resources
Pada pengukuran personal resources biasanya dilakukan dengan menggabungkan
beberapa skala pengukuran dari masing-masing komponen, kemudian digabungkan
menjadi satu kesatuan instrument pengukuran. Pada penelitian sebelumya
Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, dan Schaufeli (2007) menggunakan skala
General Self-Efficacy Scale yang dikembangkan oleh Schwarzer dan Yerusalem
(1995) yang terdiri dari 10 item untuk mengukur self efficacy. Komponen
organizational based self esteem diukur dengan menggunakan skala yang
dikembangkan oleh Pierce, Gardner, Cummings, dan Dunham (1989) yang terdiri
dari 10 item dan pengukuran pada komponen optimisme dengan mengadaptasi skala
Life-Orientation Test-Revised (LOT-R) yang dikembangkan oleh Scheier, Carver,
dan Bridges (1994) yang terdiri dari 10 item.
Pada penelitian ini peneliti mengukur personal resources dengan
menggunakan skala organizational based self esteem scale yang dikembangkan oleh
Pierce et al (1989) dengan 10 item. Kemudian komponen self efficacy dan optimism
diukur dengan menggunakan PCQ (Psychological Capital Questionarre) milik
Luthans dan Avolio (2007). Skala ini terdiri dari 6 item mengukur optimism dan 6
item mengukur self efficacy. Dengan alasan, pada skala pengukuran Psychological
22
2.4 Kerangka Berpikir
Pada era sekarang ini, kinerja karyawan yang tinggi menjadi penting bagi
keberhasilan sebuah perusahaan. Steers (2003) mendefinisikan kinerja sebagai
“tingkat yang menunjukan seberapa jauh pelaksanaan tugas dapat dijalankan secara
aktual dan misi organisasi tercapai.” Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian seorang karyawan
terhadap pelaksanaan tugas dan memenuhi perannya yang sesuai dalam organisasi.
Untuk mencapai kinerja yang tinggi, karyawan perlu memiliki work engagement yang
tinggi pula. Karyawan yang memiliki work engagement tinggi akan memihak dengan
kuat pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu.
Dengan kata lain, karyawan yang sangat engage akan tetap termotivasi meskipun
dalam keadaan yang merugikan, seperti sumber daya yang terbatas, peralatan kurang
memadai, tekanan waktu, dan sebagainya. Sebaliknya, karyawan yang tidak engage
akan cenderung termotivasi hanya di bawah kondisi yang menguntungkan atau ketika
mencoba untuk mencapai tujuan, tujuan jangka pendek yang akan menghasilkan
imbalan pribadi. Work engagement meningkat ketika karyawan berhasil mengerjakan
pekerjaan inti maupun bukan pekerjaan inti mereka.
Work engagement adalah tingkatan komitmen dan keterlibatan karyawan
dalam meraih visi misi perusahaan. Seorang karyawan yang memiliki work
engagement akan mengetahui tentang bisnis perusahaan dan bekerja bersama
rekannya untuk selalu meningkatkan kinerja demi keunggulan perusahaan. Hal ini
23
Engagement di tempat kerja dikonsepkan oleh Kahn sebagai pemanfaatan anggota
internal organisasi ke dalam peran kerja mereka. Dalam engagement, seseorang
bekerja dan mengekspresikan diri mereka secara fisik, kognitif, dan emosional di
dalam kinerjanya.
Setiap perusahaan tentu sangat ingin mempertahankan karyawan terbaiknya
untuk tetap berada di dalam perusahaan. Karyawan tersebut sebisa mungkin
diperhatikan agar karyawan akan merasa betah dalam perusahaan. Untuk itu perilaku
karyawan dipelajari oleh perusahaan agar mampu memelihara mereka dengan baik.
Perusahaan akan lebih beruntung lagi jika karyawan mereka sudah terikat dengan
perusahaan. Work Engagement merupakan kontributor penting dalam upaya retensi
karyawan, menjaga kepuasan pelanggan, dan pencapaian kinerja optimal suatu
organisasi.
Idealnya Work Engagement itu tinggi, tetapi dalam kenyataanya setiap
karyawan memiliki work engagement berbeda-beda. Ada beberapa hal yang
mengakibatkan work engagement setiap karyawan berbeda-beda diantaranya adalah
penghargaan yang didapat di perusahaan. Penghargaan dapat berupa reward dan
penghargaan dalam bentuk lain. Work engagement erat kaitannya dengan kompensasi
yang diterima oleh karyawan di perusahaan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi work engagement adalah kesempatan yang
sama dan perlakuan yang adil, penilaian kinerja, gaji dan tunjangan, kesehatan dan
keselamatan, kepuasan kerja, komunikasi, keramahan keluarga, dan kerjasama
24
Schaufeli et al. (2002) menyatakan work engagement adalah keadaan positif yang
berhubungan dengan kesejahteraan dalam bekerja, penuh semangat dan kelekatan
yang kuat dengan pekerjaannya. Setidaknya ada empat alasan mengapa karyawan
yang engage melakukan pekerjaan lebih baik daripada karyawan yang tidak engage.
Pertama, karyawan yang engage sering mengalami emosi positif, termasuk rasa
syukur, sukacita, dan antusiasme. Kedua, karyawan yang engage mengalami
kesehatan yang lebih baik. Ini berarti bahwa mereka dapat fokus dan mendedikasikan
semua kemampuan dan energi untuk pekerjaan mereka. Ketiga, karyawan yang
engage menciptakan pekerjaan dan personal resources mereka sendiri. Akhirnya,
karyawan yang engage mentransfer work engagement mereka kepada orang lain di
lingkungan mereka. Karena sebagian besar kinerja organisasi merupakan hasil dari
usaha bersama, work engagement seseorang dapat mentransfer kepada orang lain dan
secara tidak langsung meningkatkan kinerja tim.
Dalam hal ini, work engagement dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam
diri individu seperti personal resources, sedangkan faktor eksternal adalah faktor
yang berasal dari luar individu (situasi/lingkungan) seperti job demands.
Job demands adalah keadaan karyawan yang ditinjau dari beban
pekerjaannya. Sejalan dengan pemahaman tentang job demands, hubungan antara job
demands dengan work engagement diasumsikan memiliki hubungan yang negatif.
25
job demands memiliki dampak yang positif untuk work engagement dikarenakan
orang tersebut akan memberikan hasil pekerjaan yang lebih baik lagi, sebaliknya jika
nilai koefisien job demands memiliki arah yang negatif maka hal tersebut akan
berdampak negatif pula karena work engagement seseorang akan mengalami
penurunan karena kelelahan atau terlalu banyak tuntutan pekerjaan yang ia hadapi.
Job demands dan personal resources penting dijadikan elemen wajib saat
bekerja. Keduanya akan mampu membuat karyawan berkontribusi secara maksimal,
mengerahkan seluruh daya upaya untuk meningkatkan hasil, dan sukses mencapai
tujuan. Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan faktor personal dan faktor
situasi akan meningkatkan work engagement.
Rothmann dan Badai (2003) menemukan pengaruh antara personal resources
dan work engagement.Personal resources tercermin apabila karyawan memiliki self
efficacy, organizational based self esteem, dan optimism.
Serupa dengan penelitian Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, dan Schaufeli
(2007) terhadap personal resources (self-efficacy, organizational based self esteem,
dan optimism) dalam memprediksi work engagement. Karyawan yang engage
memiliki kecenderungan untuk percaya bahwa mereka akan mendapatkan hasil yang
baik dalam hidup (optimism) dan percaya bahwa mereka dapat berpartisipasi dalam
organisasi (self-esteem).
Sejalan dengan penelitian yang juga dilakukan oleh Hakim, Van Vianen, dan
26
dapat menentukan tujuan, motivasi, kinerja, kerja dan kepuasan hidup terkait hasil
yang diinginkan.
Selain kedua faktor tersebut, menurut beberapa peneliti karyawan perempuan
lebih bertanggung jawab dan memiliki komitmen tinggi terhadap pekerjaan mereka
dibandingkan karyawan laki-laki yang selanjutnya akan meningkatkan work
engagement.
Gambar 2.1
Skema Kerangka Berpikir Job Demands
Emotional Demands
Work Overload
Cognitive Demands
Work Engagament
Personal Resources
Self Efficacy
OBSE
Optimism
27
2.5 Hipotesis Penelitian
Karena penelitian ini diuji dengan analisis statistik, maka hipotesis yang akan diuji
seperti berikut:
H1: Terdapat pengaruh variabel job demands (emotional demands, work overload,
dan cognitive demands), variabel personal resources (self-efficacy, organizational
based self esteem, dan optimism ) dan jenis kelamin terhadap work engagement.
H2: Terdapat pengaruh yang signifikan emotional demands terhadap work
engagement.
H3: Terdapat pengaruh yang signifikan work overload terhadap work engagement.
H4: Terdapat pengaruh yang signifikan cognitive demands terhadap work
engagement.
H5: Terdapat pengaruh yang signifikan self-efficacy terhadap work engagement.
H6: Terdapat pengaruh yang signifikan organizational based self esteem terhadap
work engagement.
H7: Terdapat pengaruh yang signifikan optimism terhadap work engagement.
28
BAB 3
METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai populasi, sampel, teknik sampling, variabel
penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk, teknik analisis data,
dan prosedur penelitian.
3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan PT. Pertamina Gas Area
Bagian Barat. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala bagian personalia PT
Pertamina Gas pada tanggal 16 juni 2014, jumlah keseluruhan karyawan tetap dan
karyawan outsource berjumlah 500 orang. Jumlah sampel yang digunakan dalam
penelitian ini sebesar 330 responden, disesuaikan berdasarkan pertimbangan waktu
dan kesediaan sampel dalam penelitian.
Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan teknik total
sampling. Penyebaran kuesioner dilakukan dengan memberikan langsung kepada
karyawan di semua distrik PT Pertamina Gas Jawa Bagian Barat. Dari 500 kuesioner
yang disebarkan, hanya 330 kuesioner yang dikembalikan karena ada beberapa
bagian unit kerja pada distrik yang memang tidak bisa diganggu atau high risk dan
semua kuesioner tersebut layak untuk diolah karena itu peneliti menggunakan semua
29
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat 2 variabel yaitu variabel bebas (IV) dan variabel terkait
(DV). Berikut akan diuraikan variabel bebas dan variabel terikat dalam penelitian ini:
Variabel terikat (Dependent Variable) dalam penelitian ini adalah work engagement,
yang didefinisikan sebagai konstruk motivasional yang berarti sebagai keadaan positif
yang berhubungan dengan kesejahteraan dalam bekerja, penuh semangat dan
kelekatan yang kuat dengan pekerjaannya. Menurut Schaufeli dan Bakker (2004).
Work engagement terdiri dari 3 komponen, yaitu vigor, dedication, dan absorption.
Variabel bebas (Independent Variable) pertama dalam penelitian ini yaitu job
demands yang keadaan karyawan yang ditinjau dari beban pekerjaan. Job demands
terdiri dari tiga komponen, yaitu:
a. emotional demands merupakan job demands yang berhubungan dengan
emosional individu terhadap pekerjaan.
b. work overload merupakan job demands yang berhubungan dengan banyaknya
beban kerja yang diterima.
c. cognitive demands merupakan job demands yang membutuhkan banyak
konsentrasi.
Variabel bebas (Independent Variable) kedua dalam penelitian ini yaitu
personal resources yang merupakan aspek personal yang umumnya terkait dengan
30
memberi dampak terhadap lingkungan mereka. Personal resources terdiri dari tiga
komponen, yaitu:
a. self efficacy merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya untuk
melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas/ tuntutan dalam berbagai konteks.
b. organizational based self esteem (OBSE) didefinisikan sebagai tingkat keyakinan
individu bahwa mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan berpartisipasi
dalam organisasi dan membuat perubahan yang lebih baik di dalam organisasi
tersebut.
c. optimism terkait dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa diriya mempunyai
potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam hidupnya.
3.3 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk
kuesioner dengan menggunakan skala Likert yang memiliki lima rentangan dari STS
(Sangat Tidak Sesuai), TS (Tidak Sesuai), AS (Agak Sesuai), S (Sesuai), dan SS
(Sangat Sesuai). Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari 3 alat
ukur.
1. Instrumen job demands
Untuk mengukur job demands terdapat alat ukur baku yang telah dikembangkan
oleh Schaufeli, Bakker dan Rhenen (2009), yaitu Questionnaire on the
Experience and Evaluation of Work (QEEW). Alat ukur ini mengukur 3
komponen job demands yaitu emotional demands, work overload, dan cognitive
31 Dalam pekerjaan, dihadapkan dengan hal-hal pribadi yang menyentuh secara personal.
1, 2, 3 -
Work Overload Memiliki terlalu banyak pekerjaan untuk dikerjakan. Memiliki perhatian dalam banyak hal di waktu
Pengukuran personal resources menggunakan skala organizational based self
esteem scale yang dikembangkan oleh Pierce et al (1989). Kemudian komponen
self efficacy dan optimism diukur dengan menggunakan PCQ (Psychological
Capital Questionarre) milik Luthans dan Avolio (2007). Adapun blue print skala
personal resources dijelaskan pada tabel 3.2.
32
3. Instrumen work engagement
Untuk mengukur work engagement terdapat alat ukur baku yang telah disusun
oleh Schaufeli (dalam Seppala et al., 2009) yaitu Utrecht Work Engagement Scale
(UWES). Alat ukur ini mengukur 3 aspek work engagement yaitu vigor,
dedication, dan absorption. UWES terdiri dari 17 item dengan 6 respon dengan
skala Likert dimulai dari tidak pernah sampai setiap hari. Adapun blueprint skala
work engagement dijelaskan pada tabel 3.3.
Tabel 3.3
Blue print skala work engagement
Komponen Indikator Item
Fav Unfav
Vigor Curahan energi dan mental yang kuat. Semangat dalam bekerja.
Untuk menguji validitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan CFA (Confirmatory Factor Analysis) dengan software Lisrel 8.70.
Umar (2011) menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan untuk mendapatkan
33
1. Dilakukan uji CFA dengan model satu faktor dan dilihat nilai Chi-Square yang
dihasilkan. Jika nilai Chi-Square tidak signifikan (p > 0,05) berarti semua item
hanya mengukur satu faktor saja. Namun, jika nilai Chi-Square signifikan
(p<0,05), maka perlu dilakukan modifikasi terhadap modelpengukuran yang diuji
sesuai langkah kedua berikut ini.
2. Jika nilai Chi-Square signifikan (p < 0,05), maka dilakukan modifikasi model
pengukuran dengan cara membebaskan parameter berupa korelasi kesalahan
pengukuran. Ini terjadi ketika suatu item selain mengukur konstruk yang ingin
diukur, item tersebut juga mengukur hal yang lain (mengukur lebih dari satu
konstruk atau multikomponenonal). Jika setelah beberapa kesalahan pengukuran
dibebaskan untuk saling berkorelasi dan akhirnya diperoleh model fit, maka
model terakhir inilah yang akan digunakan pada langkah selanjutnya.
3. Jika telah diperoleh model yang fit, maka dilakukan analisis item dengan melihat
apakah muatan faktor item tersebut signifikan dan mempunyai nilai koefisien
positif. Jika t-value untuk koefisien muatan faktor suatu item lebih besar dari 1,96
(absolut), maka item tersebut dinyatakan signifikan dalam mengukur faktor yang
hendak diukur (tidak di-drop).
4. Setelah itu dilihat apakah ada item yang muatannya negatif. Perlu dicatat bahwa
untuk alat ukur yang bukan mengukur kemampuan (misal: personalityinventory),
jika ada pernyataan negatif perlu dilakukan penyesuaian arah skoringnya yang
diubah menjadi positif. Jika sudah dibalik, maka berlaku perhitungan umum
34
5. Selanjutnya, melihat loading factor yang merupakan besar korelasi (kovarian)
antar indikator dengan konstruk latennya setelah diperoleh dari model yang fit.
Bobot yang diperlukan dalam loading factor sebesar 0,5 atau lebih yang dianggap
akan memiliki validasi yang cukup kuat untuk menjelaskan konstruk laten. Jika
sudah sesuai, maka item tersebut dinyatakan valid dalam mengukur faktor yang
hendak diukur (tidak di-drop).
Untuk kemudahan di dalam penafsiran hasil analisis maka penulis
mentransformasikan faktor skor yang diukur dalam skala baku (Z score) menjadi T
score yang memiliki mean = 50 dan standar deviasi (SD) = 10 sehingga tidak ada
responden yang mendapat skor negatif. Adapun rumus T score adalah:
T score = (10 x factor score) + 50
Adapun pengujian analisis CFA seperti ini dilakukan dengan menggunakan software
LISREL 8.7. Uji validitas tiap alat ukur akan dipaparkan pada sub bab berikut.
3.4.1 Uji Validitas Konstruk Job demands
3.4.1.1 emotional demands
Peneliti menguji apakah 3 item yang ada bersifat unidimensional, artinya item-item
tersebut benar- benar hanya mengukur emotional demands. Dari hasil awal analisis
CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit, dengan Chi square =
1,00000 df = 0, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,000. Karena diperoleh model fit
dengan nilai Chi square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan). Artinya
model satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya
35
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1,96 artinya item tersebut signifikan dan begitu
juga sebaliknya. Adapun koefisien muatan faktor untuk emotional demands pada
tabel 3.4.
Tabel 3.4
Muatan Faktor Itememotional demands
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0,71 0,06 12,87 V
2 0,76 0,06 13,80 V
3 0,75 0,06 13,58 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
3.4.1.2 work overload
Peneliti menguji apakah 3 item yang ada bersifat unidimensional, artinya item-item
tersebut benar-benar hanya mengukur work overload. Dari hasil awal analisis CFA
yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit, dengan Chi square = 1,00000
df = 0, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,000. Karena diperoleh model fit dengan nilai
Chi square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan). Artinya model satu faktor
(unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja
yaitu work overload.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
36
di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1,96 artinya item tersebut signifikan dan begitu
juga sebaliknya. Adapun koefisien muatan faktor untuk work overload pada tabel 3.5.
Tabel 3.5
Muatan Faktor Itemwork overload
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0,55 0,11 4,78 V
2 0,25 0,07 3,65 V
3 0,70 0,13 5,46 V
4 0,64 0,12 5,36 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
3.4.1.3cognitive demands
Peneliti menguji apakah 3 item yang ada bersifat unidimensional, artinya item-item
tersebut benar- benar hanya mengukur cognitive demands. Dari hasil awal analisis
CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit, dengan Chi square =
1,00000 df = 0, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,000. Karena diperoleh model fit
dengan nilai Chi square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan). Artinya
model satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya
mengukur satu faktor saja yaitu cognitive demands.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien
37
koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1,96 artinya item tersebut signifikan dan begitu
juga sebaliknya. Adapun koefisien muatan faktor untuk cognitive demands pada tabel
3.6.
Tabel 3.6
Muatan Faktor Itemcognitive demands
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0,82 0,05 16,28 V
2 0,88 0,05 17,83 V
3 0,70 0,05 13,64 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
3.4.2 Uji Validitas Konstruk Personal resources
3.4.2.1 Self Efficacy
Peneliti menguji apakah enam item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar
hanya mengukur self efficacy. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan
model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi – Square=109,44, df = 9, P-value =
0,00000, RMSEA = 0,184. Setelah dilakukan modifikasi terhadap model, kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka
diperoleh model fit dengan nilai Chi – Square = 8,55, df = 6, P-value = 0,20041,
RMSEA = 0,0036. Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan),
yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana
seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu self efficacy.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
38
muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1,96 artinya item tersebut signifikan dan begitu
juga sebaliknya. Adapun koefisien muatan faktor untuk item pengukuran self efficacy
disajikan pada tabel 3.7.
Tabel 3.7
Muatan Faktor Itemself efficacy
No Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0,46 0,05 8,53 V
2 0,66 0,05 13,23 V
3 0,89 0,05 19,71 V
4 0,81 0,05 17,26 V
5 0,80 0,05 17,23 V
6 0,77 0,05 15,54 V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
3.4.2.2 Organizational based self esteem
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur organizational based self esteem. Dari hasil awal analisis
CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi – Square
= 518,08, df = 35, P-value = 0,0000, RMSEA = 0,205. Setelah dilakukan modifikasi
terhadap model, kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi
satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi – Square = 26,36, df =
17, P-value = 0,06814, RMSEA = 0,041. Nilai Chi–Square menghasilkan P-value >
0,05 yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana
seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu organizational based self esteem.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
39
di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1,96 artinya item tersebut signifikan dan begitu
juga sebaliknya. Adapun koefisien muatan faktor untuk item pengukuran efikasi diri
disajikan pada tabel 3.8.
3.4.2.3Optimism
Peneliti menguji apakah enam item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar
hanya mengukur optimism. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan
model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi – Square = 185,34, df = 9, P-value =
0,00000, RMSEA = 0,244. Setelah dilakukan modifikasi terhadap model, kesalahan
pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka
diperoleh model fit dengan nilai Chi – Square = 1,39, df = 4, P-value = 0,84653,
RMSEA = 0,000. Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan),
yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana