• Tidak ada hasil yang ditemukan

AYAT DAN HADIST PRINT - Copy

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "AYAT DAN HADIST PRINT - Copy"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang.

Sistem ekonomi yang sedang berkuasa pada hari ini dalam kehidupan umat manusia adalah sitem ekonomi Kapitalisme. Mayoritas muamalah madiyah diantara kaum muslim baik berupa jual beli, hutang piutang, investasi, perseroan dan proyek-proyek diselesaikan dengan sistem ini. Kepentingan masyarakat telah diikat dengan sitem ini dengan sangat kuat sampai pada tingkat bahwa banyak dari kepentingan-kepentingan itu tidak bisa direalisasikan oleh masyarakat kecuali dengan sitem ini.

Pada umumnya, orang memerlukan benda yang ada pada orang lain (pemiliknya) dapat dimiliki dengan mudah, tetapi pemiliknya kadang-kadang tidak mau memberhentikannya. Adanya syariat jual beli menjadi washilah ( jalan)untuk mendapatkan kepemimpinan tersebut, tanpa berbuat salah. Jual beli menurut bahasa, artinya menukar kepemilikan barang dengan barang1 atau saling tukar menukar.2

Jual beli termasuk muamalah kuno. Tidak seorangpun bisa hidup di tengah masyarakat manapun, kecuali jual beli ditengah tasharruf-nya. Frasa jual beli dinyatakan beberapa kali dan beberapa tempat di dalam Al-quran; kadangkala dengan makna jual beli secara hakiki; kadangkala secara majazi. Jual beli mempunya banyak deskripsi. Sebagiannya banyak yang hilang dengan berlalunya waktu atau perubahan masyarakat dan perundang-undangan dan muncul dengan potert yang lain. Berdasarkan hal itu hukum-hukumnya berbeda sesuai dengan perbedaan potretnya. Potret-potret jual beli pada masa Jahiliyah menghilang kecuali yang di setujui oleh islam.

Islam mensyaratkan jual beli dan menetapkan hukumnya boleh. Rasulullah saw. Diutus dan masyarakat sama-sama memperjual belikan apa yang mereka butuhkan. Rasulullah saw. Pun menyetujui sebagian dari jual beli itu dan meralang sebgian yang lain.

Dari sejumlah potret jual beli yang disetujui oleh Rasulullah saw., para mujtahid merumuskan definisi jual beli yang meliputi semua jual beli yang disetujui oleh Rasulullah dan dan menghalangi apa yang Beliau larang. Itu dilakukan agar jual beli tetap digunakan dalam makna secara syar’i.

1 Moh tholib tuntunan jual beli menurut hadist nabi,(surabaya/:PT Bina Ilmu 1977)

hlm 7

(2)

Karena itu, jika terdapat potret jual beli yang tidak termasuk di bawah definisi jual beli yang telah dirumuskan maka potret tersebut tidak syar’i dan tidak boleh dilakuan jual beli dengan potret tersebut. Sebab definisi syar’i, ketika sudah bersifat jami’ [an] dan mani’[an] menjadi hukum syariah yang haram untuk dilanggar.

1.2

Rumusan Masalah

1. Mengetahui tafsir dan hadist jual beli.

(3)

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Tafsir Dan Hadist Jual Beli.

Surah Al-Baqarah ayat 275

a) Taks dan terjemahan ayat:





















(albaqarah: 275)

Artinya :

“Mereka berkata (berpendapat), bahwa sesungguhnya jual-beli itu sama saja dengan riba.”

b) Makna mufrad

1)  yaitu jual beli. Alquran menggunakan kata al-bai’ dan asyira’ untuk pengertian jual beli.

2)



dalam Al-quran disebut sebanyak delapan kali dalam empat surat dan enam ayat secara literal atau secara etimologi artinya tambahan. Dikatakan Rabaa asy-syai’u – yarbuu adalah sesuatu itu ditambah. Secara mutlak, baik dalam bentuk benda maupun dalam bentuk pemanfaatan sebagaimana dalam surah al-Hajj (22) : 5 yang didalamnya terdapat kata-kata (ayat). Dalam pandangan ahli-ahli tafsir ahkam dan fuqoha, riba umum diartikan dengan penambahan uang yang diambil oleh pemberi pinjaman yang meminjamkan atau kreditur / penagih (muqridh/dain) dari peminjaman/penerima pinjaman atau debitur ( muqtaridh/madin-madyun-mudan) sebagai imbalan atas penangguhan waktu pembayaran utang.3

Ijtima’ Komisi Fatwa Majelis Ulama Se-Indonesia, memformulasikan riba demikian: “Riba adalah tambahan (al-ziyadah) tanpa imbalan (bila ‘iwadh)

(4)

yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (ziyadah al-ajl)yang diperjnjikan sebelumnya (usyturith muqoddam).4

Riba pada umumnya dibedakan menjadi dua macam, meskipun ulama ada yang membedakan riba kedalam empat macam. Dua macam riba yang dimaksudkan adalah riba nasi’ah dan riba fadhl. Riba nasi’ah atau riba adh’afan mudha’afah yang juga umum dikenal dengan sebutan riba jahiliah, ialah tambahan pembayaran utang dalam jumlah tertentu oleh debitur kepada kreditu sebagai imbalan atas penngguhan pembayaran utang.

Misalnya:

X berhutang sejumlah uang pada Y, dengan syarat X akan memberikan tambahan pembayaran atas utangnya itu kepada Y. Disaat X membayar utangnya pada saat jatuh tempo. Manakala pada waktunya, X ternyata tidak mampu melunasi utangnya disaat jatuh tempo, maka Y memberikan perpanjangan waktu pembayaran hutang (pokok maupun tambahan) kepada X dengan syarat X harus menambah lagi pemberian tambahan bayaran kepada Y. Begitulah seterusnya, hingga X terus menerus membayar bunga uang itu, kian waktu semakin membengkak dan berlipat ganda, di dalam Al- quran diistilahkan dengan adh’afan mudha’afah.

Adapun riba fadh, sebagaimana dapat disimpulkan oleh para fuqoha, ialah riba (tambahan) yang diperoleh atas- jual beli barang yang sama (barter) terutama makanan, disamping uang atau yang lainnya dengan jenis yang sama dengan syarat ada penambahan.

Misalanya:

Seorang menjual atau mengutangkan 100 kg beras dengan syarat orang yang berhutang pada waktunya nanti harus membayar/ mengembalikan lebih banyak lagi, katakanlah umpamanya 110 kg beras yang sama (kualitasnya) sebagaimana dibahas dalam berbagai kitab fiqh.

Dalam konteks modern, riba nasi’a lazim diindentikkan dengan bunga uang, khususnya bunga bank (interest/faidah), yang oleh Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tanggal 22 Syawwal 1424 H/ 16 desember 2003 M, dirumuskan “bunga (interest/faidah) adalah tambahan yang dikenakan

(5)

untuk transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/ hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, dan deiprhitungkan secara pasti di muka berdasarkan presentase.”5 Sama halnya dengan bunga bank, bungan uang dalam transaksi ekonomi atau keuangan apapun dinyatakan haram oleh ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se- indonesia. “praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada masa Rasulullah, yaitu riba nasi’ah.

Dengan demikian, praktik pembungaan uang ini banyak dilakukan oleh bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan lembaga keuangan lainnya, termasuk juga oleh individu.”6

c) Makna Global

Ayat 275- 281 Surah Al- baqarah diatas, secara umum tetapi tegas memberikan gambaran tentang hukum kehalalan jual beli dan keharaman riba, dan gambaran karakter atau watak kehidupan pemakan riba (rentenir) yang mirip bahkan sama dengan orang yang kesurupan atau orang yang kemasukan setan. Penyebab kesetanan pemakan riba itu justru karena yang bersangkutan tidak lagi bisa membedakan antara jual beli yang dihalalkan dengan riba yang di haramkan, dan berpendapat bahwa jual beli itu sama saja dengan riba. Padahal jual beli itu sama saja dengan riba. Padahal jual beli yang dihalalkan jelas sangat berbeda dengan riba yang diharamkan.

d) Sabab al-Nuzul

Dalam suatu riwayat disebutkn bahwa yat-ayat diatas, terutama ayat 278-279, diturunkan terkait dengan pengaduan utang-piutang ribawi yang sangat dzalim antara kalangan Bani Al-mughirah dengan bani Amr bin Auf dari suku tsaqif di saat-saat hukum pengharaman riba belum diturunkan. Kisah singkatnya kaum bani al-Mughirah yang di tekan riba oleh bani Amr, mengadukan persoalannya kepada Gubenur Mekah, ‘Attab bin Asyad. Mereka bani Bani Al-Mughirah berkata kepada Attab bin Asyad : “ kami ini adalah orang-orang yang tetap saja menderita akibat penghapusan riba ini. Karena, kami masih tetap ditagih supaya tetap membayar riba oleh orang lain. Padahal kami tidak mau melakukan praktik riba itu

(6)

demi mentaati hukum penghapusan riba.” Kaum bani Amr memberikan alasan bahwa mereka tetap meminta penyelesaian tagihan riba lama yang sudah terjadi sebelum ayat penghraman riba di turunkan. Alasannya, dalam kasus ini hukum pengharaman riba tidak berlaku surut.

Menanggapi polemik antara Bani al-Mughirah dan Bani Amr dari suku bani Tsaqif, lalu Gubenur mekah, Attab bin Asyad menulis surat kepada rasulullah, dan rasulullah pun kemudian memberi jawaban aga memberlakukan hukum penghapusan riba itu sesuai ayat 278-279 Surah Al-Baqarah. Peristiwa ini terjadi setelah Fathu Mekkah (pembebasan kota mekkah) yang terjadi pada bulan Ramadhan, 8H/Januari 630M.7

e) Tafsir ayat.

سسملا نم نطيشلا هطبختييذلا موقي امكللانوموقيلاوبرلا نولك ءاي ني ذل ا

Yaitu orang-orang yang melakuakan muamalah dengan berbasiskan riba, kelak tidak akan bisa bangun ketika dibangkitkan di alam kubur pada hari kiama, kecuali bagaikan bangun dan jalannya orang yang mabuk dan gila (sempoyongan) karena tidak bisa menanggung keseimbangan anggota tubuhnya. Para pelaku dan pemakan riba itu sesungguhnya gelap mata, laksana orang yang kemasukan setan sehingga tidak lagi mengenal rasa keadilan dan rasa keseimbangan dalam berbagi keuntungan atau manfaat yang diperoleh dari dunia kerja dan usaha orang lain. Pemakan riba dalam istilah keseharian masyarakat indonesia lazim diistilahkan dengan “lintah darat”

كلذ

مهنأب

اق

ول

امننا

ععيبلا

لثم

اؤبرلا

لحاو

هللا

عيبلا

مرنحو

أوبرلا

Kondisi para pemakan riba yang berjalan tidak normal itu, disebabkan mereka tetap kukuh berpendirian bahwa jual beli (yang dikatakan) itu sama saja dengan riba. Padahal Allah tegas-tegas menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Meskipun keduanya (jual beli dan riba) sama mencari keuntungan ekonomi, namun terdapat perbedaan yang sangat mendasar dan signifikan terutama dari sudut pandang cara memperoleh keuntungan disamping tanggung jawab risiko yang kemungkinan timbul dari usaha ekonomi itu sendiri.

7 Qomaruddin Shaleh, dkk., Asbhabunnuzul Latar Belakang Historis Penurunan

(7)

Sejatinya dunia sudah mengenal baik sejumlah perbedaan di balik beberapa persamaan antara sistem ekonomi dan keungan konvesional di satu pihak dengan sistem ekonomi dan keuangan islam dipihak lain. Diantara persamaannya terutama terletak pada motif ekonomi (memperoleh keuntungan ekonomi), sementara perbedaanya terutama terletak pada tekhnik atau cara-cara, akad, dan objek akadnya sebagaimana telah seringkali dibahas oleh para pakar syariah.

Perbedaan mendasar ekonomi dan keuangan syariah dari ekonomi dan keuangan konvesional ialah terletak pada bentuk, objek,dan keberlangsungan disamping ada beberapa perbedaan lain diluar urusan akad. Bentuk akad, objek akad dan keberlangsungan akad ekonomi dan keuangan syariah serba mengutamakan asas-asas manfaat, saling menguntungkan dan saling melindungi keberlangsungan akad para pihak. Terutama dari kemungkinan gharar (penipuan) dan maisir (spekulatif) yang merugikan salah satu pihak pembahasan panjang lebar tentang ekonomidan keuangan syariah dengan ekonomi dan keuangan konvensional, dewasa ini sudah banyak dibahas oleh para ulama-ulama fiqh maupun oleh pakar-pakar ekonomi syariah.

Anehnya, meskipun lembaga keuangan syariah itu dalam banyak hal benar-benar berbeda dari lembaga keuangan –khususnya bank-bank konvensional yang sudah ada – namun masih tetap dan banyak orang menganggap sama saja (tidak ada bedanya) antara ekonomi dan keuangan syariah disatu sisi dengan ekonomi dengan keuangan konvensional disisi lain. Persepsi yang mengasumsikan sama antara ekonomi dan keuangan syariah dengan ekonomi dengan keuangan konvensional salah satunya adalah dunia perbankan ini, tetap bergeming ketengah-tengah masyarakat luas. Padahal, Allah telah menegaskan bahwa jual beli itu prinsipnya halal sedangkan riba itu pada dasarnya haram. Bunga uang dalam bentuk apapun oleh hampir bahkan semua ulama dunia dinyatakan haram karena diyakini dan terbukti memenuhi unsur-unsur riba yang diharamkan itu.

(8)

f) Istinbat Hukum

Dari ayat-ayat yang mengharamkan riba diatas dapatlah di istinbatkan hukumnya sebagai berikut:

1. Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

2. Riba itu hukumnya haram secara mutlak baik banyak maupun sedikit. 3. Riba yang diharamkan secara total itu, termasuk kedalam tindak pidana

sosial kemasyarakatan dan sekaligus kejahatan keagamman yang sangat berbahaya.

4. Riba tergolong kedalam perbuatan atau tindakan dosa besar yang semua pelakunya diancam dengan hukuman akhirat, berupa siksaan neraka yang sangat dahsyat.

2. Tafsiran Surah Al-Nisa’

a.

Teks Ayat Dan Terjemahnya

















































) an-Nisa: 29 (

Artinya :

“ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan cara perniagaan yang dilakukan dengan asa rela sama rela diantaranya kamu membunuh dirimu sendiri karena sesungguhnya Allah itu mha penyayang kepadamu.”

(9)

1. ل sinonimnya adalah (ayaat), yang secara literal artinya memanfaatkan, menggunakan dan mendayagunakan. Namun demikian, dalam praktik kebiasaan, kata al-akl selalu diartikan dengan makan. Pemaknaan al-akl dengan makanan ini, mudah dipahami mengingat makanan dan minuman adalah merupakan kebutuhan paling mendasar, dan paling besar pembiayaannya.

2.  al-bathil lawan dari al-haqq (yang benar) artinya al-bathil adalah (sesuatu) yang sia-sia (sesuatu) yang salah, (sesuatu) yang tidak berharga, yang tidak ada pengaruhnya bahkan bisa juga berarti setan dan tukang sihir.8 Sebab semua yang dilakukan itu dipastikan hanyalah sia-sia. Sementara yang dilakukan oleh penyihir pada dasarnya tidak sungguhan tetapi hanyalah tipu daya. Waaupun dikatakan ada gunanya tetapi itu hanyalah sesaat. Adapun yang dimaksud dengan al-bathil dalam terminologi syariah adalah pengambilan harta yang dilakukan dengan tidak memberikan imbalan konkret apapun, dan dilakukan tanpa kerelaan dari pihak lain yang terkait dengan harta itu sendiri. Termasuk kedalam makna al-bathil adalah membelanjakan harta diluar jalur yang memiliki manfaat secara nyata.

3.  yang di dalam Alquran disebut sebanyak 9 kali dalam 8 surah dan 9 ayat, yang artinya niaga. Kata tijarah diambil dari kata tajara,yatjuru,tajram, wa tijaratan, artinya berdagang /berniaga. Al-tijarah yang bisa juga disebut dengan al-matjar yang artinya sama saja perdagangan /perniagaan-al tijar-almatjari maksudnya sesuatu yang berkenaan dengan dunia perdagangan, bisnis, atau mengenai perniagaan. Sekarang, kata tijarah lebih tepat untuk diartikan dengan aktivitas yang bermotiv ekonomi.9 Di dalam Al-quran kata tijarah tidak selalu diartikan kedalam perniagaan atau konteks bisnis duniawi semata. Akan tetapi, Al-quran sering juga menggunakan kata tijarah justru dalam konteks keuntungan akhirat seperti dalam surah fathir dan al-shaff. 4.  berdasarkan dari kata radhiya yardha ridhan /rudhan waridwanan

rudhwanan wa mardhatan. Arti harfiahnya menerima,senang, suka, rela, puas membenarkan , memndang baik,dan menyetujuinya. Al-taradhi maksudnya persetujuan para pihak (tabadul al mardhat) dalam konteks ini misalnya antara penjual dan pembeli tau penyewa dan menyewakan antara yang memberi hutang maupun yang berhutang. Begitu urgent posisi ‘an taradhin dalam bertransaksi, hingga para ahli hukum menempatkan saling rela sebagai salah satu sah akad atau ijab kabul.

c. Tafsir ayat

(ayaat)

(10)

Kata perniagaan yang berasal dari kata niaga, yang kadang-kadang disebut pula dagang atau perdagangan amat luas maksudnya, segala jual beli, sewa menyewa, import dan eksport, upah mengupah, dan semua yang menimbulkan peredaran harta benda termasuklah itu dalam bidang niagaan.

Yang diperbolehkan dalam memakan harta orang lain adalah dengan jalan perniagaan yang saling “berkeridhaan” (suka sama suka) di antaramu (kedua belah pihak). Walaupun kerelaan adalah sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat. Ijab dan qabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjukkan kerelaan.

Bersandar pada ayat ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa jual beli tidak sah menurut syari’at melainkan jika ada disertai dengan kata-kata yang menandakan persetujuan, sedangkan menurut Imam Malik, Abu Hanifah,dan Imam Ahmad cukup dengan dilakukannya serah terima barang yang bersangkutan karena perbuatan yang demikian itu sudah dapat menunjukkan atau menandakan persetujuan dan suka sama suka

Ulama berbeda pendapat mengenai sampai dimana batas “berkeridhaan” itu. Satu golongan berkata, sempurnanya berlaku berkeridhaan pada kedua belah pihak adalah sesudah mereka berpisah setelah dilakukan akad. Menurut Syaukani,yang dihitung jual beli itu adalah adanya ridha hati, dengan senang, tapi tidak harus dengan ucapan, bahkan jika perbuatan dan gerak-gerik sudah menunjukkan yang demikian, maka itu sudah cukup dan memadai. Sedangkan Imam Sayafi’i dan Imam Hanafi mensyaratkan akad itu sebagai bukti keridhaanya. Ridha itu adalah suatu tindakan tersembunyi yang tidak dapat dilihat, sebab itu wajiblah menggantungkannya dengan satu syarat yang dapat menunjukkan ridha itu ialah dengan akad.

(11)

ﷲﺍرﻜذ ﻰلﺍ ﺍوﻌﺴاﻔ ﺔﻌمﺠلﺍ ﻢوي نم ﺓولﺼلل ﻱﺪوﻨ ﺍذﺍ ﺍوﻨمﺍ نيذلﺍ اﻬياي

نوملﻌﺗ ﻢﺗﻨﻜ نﺇ ﻢﻜل ﺭيخ ﻢﻜلذ ﻊيبلﺍ ﺍورذو

۝

ﻰﻔ ﺍورشتﻨاﻔ ﺓولﺼلﺍ ﺖيﺿقﺍذاﻔ

ﻥوﺤلﻔت ﻢﻜلﻌل ﺍريﺜﻜ ﷲﺍ ﺍورﻜذﺍو ﷲﺍﻞﻀﻔ نم ﺍوﻐﺗبﺍو ﺽرلﺍ

۝

“wahai orang-orang yang beriman, apabila telah diseru untuk melaksanakan sholat pada hari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tingalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (9). Apabila Shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung (10).”

Dalam ayat 9 ini dijelaskan jual beli dilarang untuk dikerjakan saat khotbah Jum’at. Tetapi pada ayat 10 setelah selesai sholat Allah memerintahkan untuk bertebaran dimuka bumi yaitu manusia bekerja mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhannya.

Hadits Tentang Jual Beli dan Penjelasannya

اذذإس لذاقذ ههنلذأذ ﻢذللذسذ وذ هسييلعذ ههللا ﻰلذلصذ هسللا لسويسهرذ نيعذ امذﻬهﻨيعذ ههللا يذﺿرذ رذمذعه نسبي هسللا ﺪسبيعذ نسعذ

امذههﺪهحذأذ رهيلسخذيه ويأذ اﻌعييمسجذ انذاكذ وذ اقذرلذﻔذتذيذ ﻢيلذامذ رسايذخسليابس امذﻬهﻨيمس ﺪدحساوذ ﻞلهﻜهفذ نسنلذجهرلذلا ﻊذيذابذﺗذ

ﻊذييبذليا امذﻬهﻨيمس ﺪدحساوذ كيرهتييذ ﻢيلذوذ اﻌذيذابذتذيذ نيأذ ﺪذﻌيبذ اقذرلذﻔذﺗذ نيإسوذ ﻊهييبذليا بذجذوذﺪيقذفذ كذلسذذ ﻰلذعذ اﻌذيذابذتذفذرذخذلا

ﻊهييبذليا بذجذوذﺪيقذفذ

“Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, jika dua orang saling berjual-beli, maka masing-masing di antara keduannya mempunyai hak pilih selagi keduanya belum berpisah, dan keduanya sama-sama mempunyai hak, atau salah seorang di antara keduanya membei pilihan kepada yang lain, lalu keduanya menetapkan jual-beli atas dasar pilihan itu, maka jual-beli menjadi wajib.”

ويأذ اقذرلذﻔذتيذ ﻢيلامذ رسايذخسلابس نساﻌذيلسبذليا ﻢذللذسذوذ هسييلذعذ هللا لهويسهرذ لذاقذ ههﻨيعذ ههللا يذﺿسارذمدازذحس نسبي ﻢسييﻜسحذ نيعذ

(12)

belum berpisah, atau beliau bersabda, Hingga keduanya saling berpisah, jika keduannya saling jujur dan menjelaskan, maka keduanya saling menyembunyikan dan berdusta, maka barakah jual beli itu dihapuskan.10[4]

Sebab-sebab Turunnya Hadist

Hadist ini dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, dan hadist ini shahih. Hadist tersebut dari Ibnu Umar Ra. Dari Rasulullah Saw yang menjelaskan apabila ada dua orang melakukan jual beli maka masing-masing keduamya mempunyai hak khiyar, selama mereka belum berpisah. Dan hadist tersebut ditunjukkan dengan perbuatan Ibnu Umar yang terkenal. Bila kedua pihak semuanya berdiri dan pergi bersama-sama, maka hak khiyar tetap ada.

Kemudian Rasulullah SAW menyebutkan sebagian dari sebab-sebab keberkahan dan pertumbuhan, sebagian dari sebab-sebab kerugian dan kerusakan.

Sebab-sebab barakah, keuntungan dan pertumbuhan adalah kejujuran dalam muamalah, menjelaskan aib, cacat, dan kekurangan atau sejenisnya dalam barang yang dijual. Adapaun sebab-sebab kerugian dan ketiadaan barakah ialah yang menyembunyikan cacat, dusta dan memalsukan barang dagangan. Yang demikian itu merupakan sebab-sebab yang hakiki tentang keberkahan di dunia, yang memberikan nilai tambah dan ketenaran bagi dirinya, karena dia bermuamalah dengan cara yang baik, sedangkan di akhirat dia mendapatkan pahala dan balasan yang baik. Sementara sifat kedua merupakan hakikat hilangnya mata pencaharian, karena pelakunya bermuamalah dengan cara yang buruk, sehingga orang lain menghindar darinya dan mencari orang yang lebih dapat dipercaya, sedangkan di akhirat dia mendapatkan kerugian yang lebih besar, karena dia telah menipu manusia. Rasulullah SAW, “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan termasuk golongan kami.”

Penjelasan lafazh

(13)

1) Bil-Khiyar merupakan masdhar dari ikhtara, dari al-ikhtiyar, berarti meminta yang terbaik dari dua hal, entah berupa pengesahan atau penolakan.

2) Al-Bayyi’ani, artinya penjual dan pembeli. Makna ini diberikan kepada keduanya, yamg termasuk masalah kebiasaan. Seperti yang sudah dijelaskan, masing-masing dari dua lafazh ini dapat diartikan pula bagi yang lainnya. 3) Muhiqat merupakan mabny lil-majhul, yang artinya, tambahan mata

pencaharian dan laba keduanya dihilangkan.

4) Yukhayyiru ahadahuma al-akhara, seperti ucapan, “Pilihlah pengesahan jual-beli.”

Makna Global

Karena biasanya jual-beli terjadi tanpa berpikir lebih jauh, maka acapkali menimbulkan penyesalan bagi penjual maupun pembeli, karena itulah pembuat syariat yang bijaksana memberi tempo itu, yang memungkinkan terjadinya pembatalan akad selam tempo itu. Tempo ini ialah selama masih berada di tempat pelaksanaan akad.

Jika kedua belah pihak (penjual dan pembeli) masih berada di tempat pelaksanaan jula beli, maka masing-masing mempunyai hak pilih untuk mengesahkan atau membatalkan jual beli. Jika keduanya saling berpisah, sesuai dengan perpisahan yang dikenal manusia, atau jual beli disepakati tanpa ketetapan hak pilih di antara keduanya, maka akad jual beli dianggap sah, sehingga salah seorang diantara keduanya tidak boleh membatalkannya secara sepihak, kecuali dengan cara pembatalan perjanjian yang disepakati.

Kesimpulan Hadits:

1. Penetapan hak pilih di tempat bagi penjual dan pembeli, untuk dilakukan pengesahana jual-beli atau pembatalannya.

2. Temponya ialah semenjak jual beli dilaksanakan hingga keduanya saling berpisahdari tempat itu.

3. Jual-beli mengharuskan pisah badan dari tempat dilaksanakan akad jual-beli. 4. Jika penjual dan pembeli sepakat untuk membatalkan akad setelah

(14)

menetapkan hak pilih bagi keduanya, maka akad itu dianggap sah, karena hak itu menjadi milik mereka berdua, bagaimana keduanya membuat kesepakatan, terserah kepada keduanya.

5. Perbedaan antara hak Allah dan yang semata merupakan hak anak Adam, bahwa apa yang menjadi hak Allah, pembolehannya tidak cukup dengan keridhaan anak Adam, seperti akad riba. Sedangkan yang menjadi hak anak Adam diperbolehkan menurut keridhaannya yang diungkapkan, karena hak itu tidak melanggarnya.

6. Pembuat syariat tidak menetapkan batasan untuk perpisahan. Dasarnya adalah tradisi. Apa yang dikenal manusia sebagai perpisahan, maka itulah ketetapan jual-beli.

7. Para ulama’ mengharakan penjual atau pembeli meninggalkan tempat (sebelum akad di tetapkan), karena dikhawatirkan akan terjadi pembatalan.

8. Jujur dalam muamalah dan menjelaskan keadaan barang dagangan merupakan sebab barakah di dunia dan akhirat, sebagaimana dusta, bohong dan menutup-nutupi cacat merupakan sebab hilangnya barakah.

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama:

Para ulama saling berbeda pendapat tentang penetapan hak pilih di tempat. Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in serta imam menetapkan hak pilih di tempat. Dia antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Ibnu Abas, Abu Hurairah, Abu Barzah, thawus, Sa’id bin Al-Musayyab, Atha’, Al-Hasan Al Bashry, Asy-Sya’by, Az-Zuhry, Al-Auza’y, Al-Laits, sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi’y, Ahmad bin hambal, Ishaq, Abu Tsaur, Al-Bukhary dan para muhaqqiq lainnya. Dalil mereka adalah hadist-hadist shahih dan jelas maknanya. Menurut Ibnu Abdil-Barr, hadist Abdullah bin Umar merupakan hadist yang paling kuat dari hadist-hadist ahad.

(15)

1. Hadist ini bertentangan dengan pengalaman penduduk Madinah, dan amal mereka dapat di jadikan hujjah.

2. Yang dimaksudkan al-mutabayi’any dalam hadist di atas ialah dua orang (penjual dan pembeli) yang saling tawar-menawar.

3. Yang dimaksudkan perpisahan itu ialah perpisahan perkataan antara penjual dan pembeli ketika dilakukan serah terima.

BAB III

TEORI

3.1 Pengertian

Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti bai’,tijarah dan al-mubadalah. Sebagaimana firman Allah. Swt.berfirman :

)

رط اف روبﺗ نل ةعراﺠﺗ نوجريذ

29

(

Artinya: mereka mengharap tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi (fathir:29).

Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut:

1. Menukar barang dengan barang, atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan 11

2.

ﻰدعرش ندذاب ﺔدﺿوﻌمب ﺔديلام نديع كيلمﺗ

“Pemilik harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan aturan syara’ ”.

هسيف نوذأملا ﻰلع لدوبقو بداﺠياب فرلهﺼتل نيلب اق ل ام ﺔل اب ابقم

3. “Saling tukar harta, saling menerima dapat di kelola (tasharruf) dengan ijab dan qobul dengan cara yang sesuai dengan ijab dan qobul, dengan cara yang sesuai dengan syara’.”

ندوﺼخم هدجو ﻰلع لدامب لام ﺔلب اقم

(16)

4. Tukar-menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan).

هسيف نسوذأهملا هجولا ﻰلع ضدوﻌب كلم ﻞقن وا ﻰﺿرتلالسيبس ﻰلع لدامب لام ﺔدلدابم

5. Penukaran harta benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau

memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang di perbolehkan.

ﻰلع تسايﻜلملا لهدابﺗ ﺪذيﻔيهل لاملاب لاملا ﺔسلﺪبم ساسا ﻰلع لوقي ﺪقع

ماوﺪلذلا

6. ‘aqad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah penukaran hak milik secara tetap.

Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa inti dari jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’dan disepakati.

Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada kaitanya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukunya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’.

Benda dapat mencakup pengertian barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai yakni benda yang berharga dan dapat dibenarkan penggunaannya menurut syara’. Benda itu adakalanya bergerak (dipindahkan) dan adakalanya tetap (tidak dapat di pindahkan), ada yang dapat di bagi-bagi ada kalanya tidak dapat di bagi-bagi, ada harta yang ada perumpamaannya (mitsli) dan tak ada yang menyerupainya (qimi) dan yang lain-lainnya. Penggunaan harta tersebut. Penggunaan harta tersebut diperbolehkan sepannjang tidak dilarang syara’.

Benda yang dilarang syara’ seperti: alkohol,babi,dan barang terlarang lainnya haram dijual belikan sehingga jual beli tersebut dianggap batal dan di jadikan harga penukaran ,maka jual beli tersebut dianggap fasid.

3.2

Landasan atau Dasar Hukum Jual Beli

Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :

1) Al Qur’an

(17)

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisa : 29).

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah : 275).

2) Sunnah

Nabi, yang mengatakan:” Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’). Maksud mabrur dalam hadist adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.

3) Ijma’

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itubisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.

Hukum asal jual beli adalah (ja’iz). Pada perkembanganya, dalam islam hukum jual beli memiliki beberapa kategori, yaitu:

a) Mubah (boleh). Jual beli diperbolehkan sesuai dengan hajat dan kebiasaan masyarakat. Contoh, menjual atau membeli beras di pasar, memnjual atau membeli makanan di kantin dan lain sebagainnya.

b) Wajib yaitu transaksi jual beli yang harus dikerjakan demi kepentingan umat. Contoh, menjual atau membeli kain untuk menutupi aurat.

c) Sunnah, apabila jual beli tersebut mendatangkan kesejahteraan bagi orang miskin. Contoh, menjual atau membeli hasil petani supahya mereka lebih sejahtera.

(18)

oleh orang lain, menjual atau membeli dengan menipu atau mengurangi timbangan.

3.3

Rukun Jual Beli

Rukun jual beli:

a) Ada penjual dan ada pembeli. b) Ada barang yang diperjual belikan.

c) Adanya ijab qobul/ akad jual beli. Contoh, saya jual barang ini kepada anda seharga Rp...: saya menerima barang dan menyrahkan uang sebesar... Rukun akad adalah: dua pihak yang berakad (al-aqidan); redaksi ( ash-shighat) dan obyek akad (al-mahal al-‘aqd). Jual beli terakadkan dengan ijab qabul. Dikecualikan dari ketentuan ini apa yang diseebut saat ini sebagai jual beli secara ‘praktis’ (al-bay bi at’atha), diantaranya jual beli munawalah (berdasarkan serah terima). Misal: seorang pembeli meminta barang, lalu penjual menyerahkan kepada pembeli dan pembeli itu menyerahkan uang sesuai dengan harga yang tertulis di barang itu atau yang tertera didaftar harga; atau ia bertanya kepada penjual, berapa harganya dan ia menyerahkan harganya itu kepada; atau orang mengutus anaknya yang masih kecil- mumayyiz atau belum mumayyiz- dengan diberi uang sesuai dengan harga barangnya, lalu pedagaang memberi kepada anak itu apa yang diinginkan oleh orang tersebut.

Dalam hal sesuatu yang kecil tidak disyaratkan shighat tertentu. Tradisilah yang menentukannya. Adapun dalam perkara-perkara yang penting disyaratkan adanya shighat, bersambungnya ijab dengan qobul tanpa ada pemisah (sela) diantara keduanya. Ijab dan qabul itu harus bersesuaian dalam hal yang wajib di ridhai keduanya berupa harga dan barang yang dijual. Hendaknya shighat itu menggunakan lafadz madhi (lampau). Akad itu bisa dilakukan dengan tulisan, melalui perantaraan utusan, atau dengan isyarat yang sudah dikenal; misalnya berupa anggukan kepala.

(19)

Jual beli merupakan wasilah yang harus dipakai untuk mempertukarkan barang dan jasa serta agar masing-masing pihak yang berakad dapat merealisasikan kebutuhannya.

a. Syarat-syarat ‘Aqid (Pihak yang Berakad)

Al-‘Aqid disyaratkan harus orang yang berakal dan mumayyiz (bisa membedakan). Tidak sah akad dilakukan oleh orang gila, orang mabuk dan anak yang mumayyiz. Orang yang gila akadnya tidak sah, kecuali dia dalam kondisi waras. Anak kecil yang mumayyiz akadnya sah, tetapi bergantung pada izin orang yang bertanggung jawab terhadap anak itu. Jika orang itu memperbolehkan akad tersebut bisa dilaksanakan.

b. Syarat-syarat obyek akad (Ma’qud ‘alayh) Obyek akad harus memenuhi enam syarat, yaitu: 1. Zatnya suci.

2. Dapat dimanfaatkan.

3. Kepemilikan aqid terhadap barang tersebut. 4. Kemampuan untuk menyerah terimakannya. 5. Pengetahuan tentang barang tersebut.

6. Keberadaan barang yang dibeli harus diserahterimakan barangnya. Para ulama berbeda pendapat dalam menyebut syarat-syarat diatas. Sebagian dari mereka menyebutnya dengan sebutan yang lain. Misal:

1.

Kepemilikan atas barang yang dibeli.

2.

Adanya barang yang dibeli dibawah kekuasaan penjual atau kebolehan obyek akad.

Semua sebutan itu tercakup di dalam syarat-syarat diatas kecuali satu syarat yaitu syarat persaksian terhadap jual beli.

3.

Syarat-syarat sah ijab kabul

Shighat atau ijab kabul hendaknya diucapkan oleh penjual dan pembeli secara langsung dalam suatu majelis dan juga

bersambungan, maksudnya tidak boleh disela oleh hal-hal yang mengganggu jalannya ijab kabul tersebut. Syarat sahnya yaitu: a. Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja

(20)

b. Jangan diselangi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul. c. Beragama islam, syarat ini khusus untuk pembeli benda-benda

tertentu.

3.5 Bentuk-Bentuk Jual Beli

a) Jual beli terlarang.

Jual beli terlarang adalah jual beli yang tidak terpenuhi syarat-syarat dan rukun jula beli misanya :

 Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing,babi,berhala khamar, bangkai, rasulullah bersabda :

ﺔستيملاو رمخلاﻌذييبذ مذرلذح هل وسرو هللا نا لاق م ص هللا لوسر نا ضر رباج نع (ﻢلﺴم و يراخبلا هور ماﻨصلذو ريزﻨخلاو )

Yang artinya “ dari jahir ra, rashulullah saw. Bersabda, sesungguhnya Allah dan rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak ,bangkai,babi,dan berhala.” Riwayat bukhari dan muslim.

Jual beli seperma hewan

Jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan induknya, jual beli seperti ini dilarang karena belum ada dan tidak tampak barangnya.

Menjual barang-barang yang baru dibeli, tetapi belum diterima barangnya.

Menjual buah-buahan yang belum pantas dipanen atau belum

masak

“Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi saw, bahwa beliau melarang menjual buah-buahan hingga nyata jadinya dan kurma hingga sempurna. Beliau ditanya, “Apa (tanda) sempurnanya?” Jawab Beliau “Berwarna merah atau kuning.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6928 dan Fathul Bari IV: 397 no: 2167).

(21)

merah.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Bagaimana pendapatmu apabila Allah menghalangi buah itu untuk menjadi sempurna, maka dengan alasan apakah seorang di antara kamu akan mengambil harta saudaranya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari: IV: 398 no: 2198 dan lafadz ini milik Imam Bukhari, Muslim III: 1190 no: 155 dan Nasa’i VII: 264).”

Biji-Bijian yang Belum Mengeras

“Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah kurma hingga nyata jadinya, dan (melarang) menjual gandum hingga berisi serta selamat dari hama; Beliau melarang penjualnya dan pembelinya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 917, Muslim III: 1165 no: 1535, ‘Aunul Ma’bud IX: 222 no: 3352, Tirmidzi II: 348 no: 1245 dan Nasa’i VII: 270).

Jual beli Hashat.

Yang termasuk jual-beli Hashat ini adalah jika seseorang membeli dengan menggunakan undian atau dengan adu ketangkasan, agar mendapatkan barang yang dibeli sesuai dengan undian yang didapat. Sebagai contoh: Seseorang berkata: “ Lemparkanlah bola ini, dan barang yang terkena lemparan bola ini kamu beli dengan harga sekian”. Jual beli yang sering kita temui dipasar-pasar ini tidak sah. Karena mengandung ketidakjelasan dan penipuan.

Jual beli Mulamasah.

Mulamasah artinya adalah sentuhan. Maksudnya jika seseorang berkata: “Pakaian yang sudah kamu sentuh, berarti sudah menjadi milikmu dengan harga sekian”. Atau “Barang yang kamu buka, berarti telah menjadi milikmu dengan harga sekian”.

(22)

Jual Beli Najasy

Bentuk praktek najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan.

Dan Rasullulah S.A.W. telah melarang perbuatan najasy ini seperti yang terdapat di dalam hadist :

"Janganlah kamu melakukan praktek najasy, janganlah seseorang menjual di atas penjualan saudaranya, janganlah ia meminang di atas pinangan saudaranya dan janganlah seorang wanita meminta (suaminya) agar menceraikan madunya supaya apa yang ada dalam bejana (madunya) beralih kepadanya," (HR Bukhari [2140] dan Muslim [1413]).

Tentunya masih banyak sekali contoh-contoh atau model jual beli yang dilarang dalam agama, seperti jual-beli yang menghalangi orang untuk melakukan sholat, khususnya diwaktu jumat setelah adzan kedua sholat jumat, juga menjual barang sebelum diterima, kemudian makelar atau calo yang menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga sekarang. Itu semua merupakan jual-beli yang dilarang dalam Islam.

b) Jual beli yang sah tapi terlarang.

Jual beli yang sah tapi terlarang di sebabkan oleh bebepara hal yaitu:

 Menyakiti salah satu pihak

 Menyempitkan pasar orang lain

 Menganggu atau merusak ketentraman umum

 Membeli barang yang sudah dibeli orang lain tetapi masih dalam khiyar majelis

 Menjual alat maksiat

(23)

 Jusl beli yang mengecoh dengan cara menyembunyikan bagian barang yang rusak agar cepat dijual.

 Menimbun barang.

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hukum jual beli pada dasarnya diperbolehkan oleh ajaran islam. Kebolehan ini didasarkan kepada kepada firman Allah yang terjemahannya sebagai berikut :‘’ janganlah kamu memakan harta diantara kamu dengan jalan batal melainkan dengan jalan jual beli, suka sama suka...”(Q.S An-Nisa’ : 29). Dan juga sangat jelas sekali di terangkan dalam surah Al-baqarah ayat 275 yang menjelaskan dihalalkannya jual-beli dan diharamkan riba.

Dari beberap apenjelasan diatas dapat dipahami bahwa inti dari jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan

syara’dan disepakati.

Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada kaitanya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukunya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’.

Benda dapat mencakup pengertian barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai yakni benda yang berharga dan dapat dibenarkan penggunaannya menurut syara’. Benda itu adakalanya bergerak (dipindahkan) dan adakalanya tetap (tidak dapat di pindahkan), ada yang dapat di bagi-bagi ada kalanya tidak dapat di bagi-bagi, ada harta yang ada perumpamaannya (mitsli) dan tak ada yang menyerupainya (qimi) dan yang lain-lainnya. Penggunaan harta tersebut. Penggunaan harta tersebut diperbolehkan sepannjang tidak dilarang syara’.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Ismail Yahya, Edisi Indonesia:Asbab Wurud Al-Hadist, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2009)

Suhardi Kathur, Edisi Indonesia: Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002)

Amin suma muhammad : Tafsir Ayat Ekonomi,(Jakarta;amzah,2013)

Yusuf ahmad muhammad:Bisnis Islami Dan Kritik Atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis, (Jakarta Al Azhar Press;2011)

Suhendi hendi; Fikih Muamalah;(Bandung;PT.Raja Grafindo1997 )

Referensi

Dokumen terkait

Kelengkapan koleksi yang ada di Pepustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dari hasil penelitian adalah 73,08% artinya bahwa koleksi jurnal yang

Pasal 364 KUHP menambahkan bahwa perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 butir

Seperti kawin usia dini ini memang betul banyak sudah yang terjadi di Desa Kekayap ini, melihat dari tanggapan masyarakat kami ada juga yang peduli dengan adanya perkawinan

Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ada hubungan antara higiene dan sanitasi dengan nilai Angka Lempeng Total (ALT), hal tersebut menunjukkan higiene dan

• Kebaikan dan Kemurahan Ilahi : Allah telah belas kasihan yang lebih besar kepada orang-orang tidak percaya yang ada dalam perjanjian eksklusif dengan Dia daripada kepada

Sedangkan perbedaan pokok antara jaringan syaraf dengan model regresi adalah kemampuan jaringan syaraf tiruan untuk menghitung bobot setiap data dalam layar yang

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komoditas tanaman obat basis dan non basis di Kabupaten Pacitan berdasarkan analisis LQ ( Location Quotient )

Derajat keeratan hubungan variabel usia dengan persalinan lama dilihat dari nilai OR = 3.159, yang artinya ibu yang usia berisiko mempunyai risiko 3.159 kali