• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Degumming dengan Enzim Selulase dan Xilanase pada Pembuatan Serat Bambu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proses Degumming dengan Enzim Selulase dan Xilanase pada Pembuatan Serat Bambu"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES

DEGUMMING

DENGAN ENZIM SELULASE DAN

XILANASE PADA PEMBUATAN SERAT BAMBU

ROBERTO DANIELI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Proses degumming dengan enzim selulase dan xilanase pada pembuatan serat bambu” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ROBERTO DANIELI. Proses degumming dengan enzim selulase dan xilanase pada pembuatan serat bambu. Dibimbing oleh ONO SUPARNO.

Proses degumming serat bambu dengan menggunakan selulase dan xilanase sudah dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis bambu yang paling cocok digunakan dalam proses enzimatik. Bambu yang digunakan antara lain bambu kuning, bambu tali, dan bambu hitam. Penelitian dilakukan dengan menguji kadar selulosa, kadar hemiselulosa, kadar lignin, hidrolisis serat, dan analisis hasil. Hidrolisis serat menggunakan pH optimum dan suhu optimum enzim yang diketahui berdasarkan uji aktivitas enzim. Konsentrasi selulase yang digunakan adalah 25 U/g, sedangkan konsentrasi xilanase yang digunakan adalah 50 U/g sampai 500 U/g. Dari pengujian diperoleh bahwa bambu kuning mempunyai kandungan selulosa dan hemiselulosa yang paling mudah terhidrolisis dengan 393.6 ppm gula pereduksi yang terbentuk dengan perubahan selulosa sebesar 6.40 % dan 298 ppm gula pereduksi yang terbentuk dengan perubahan hemiselulosa sebesar 12.71 %. Konsentrasi enzim terbaik untuk menghidrolisis bambu kuning adalah sebesar 400 U/g yang dapat menghidrolisis hemiselulosa sebesar 54.31 % selama 24 Jam.

Kata Kunci : serat bambu, selulase, xilanase, hidrolisis, enzimatik proses

ABSTRACT

ROBERTO DANIELI. Degumming process using cellulase and xylanase in bamboo fiber processing. Supervised by ONO SUPARNO.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

PROSES

DEGUMMING

DENGAN ENZIM SELULASE DAN

XILANASE PADA PEMBUATAN SERAT BAMBU

ROBERTO DANIELI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Proses Degumming dengan Enzim Selulase dan Xilanase pada Pembuatan Serat Bambu

Nama : Roberto Danieli NIM : F34090124

Disetujui oleh

Prof Dr Ono Suparno, STP, MT Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang maha esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah serat bambu, dengan judul Proses degumming dengan enzim selulase dan xilanase pada pembuatan serat bambu.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T. selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dicky, Ibu Diah, dan Ibu Sri penanggung jawab laboratorium pengawasan mutu dan laboratorium instrumen serta Ibu Rini penanggung jawab laboratorium teknik kimia, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada dosen penguji Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, Msi dan Dr. Ir. Liesbetini Haditjaroko, MS. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

BAHAN DAN METODE 3

Bahan 3

Alat 3

Metode 3

TINJAUAN PUSTAKA 7

Bambu 7

Enzim 8

Degumming 11

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Karakteristik Bambu 12

Karakteristik Enzim 13

Hidrolisis Selulosa 14

Hidrolisis Hemiselulosa 16

Penentuan Konsentrasi Enzim Xilanase 19

SIMPULAN DAN SARAN 21

Simpulan 21

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 24

(10)

DAFTAR TABEL

1 Standar pengujian 3

2 Sifat kimia bambu 15

3 Aktivitas CMC-ase 16

4 Aktivitas enzim xilanase 16

5 Komposisi bambu sebelum dan setelah hidrolisis 18 6 Komposisi bambu sebelum dan setelah hidrolisis menggunakan enzim

xilanase 20

7 Komposisi bambu kuning setelah hidrolisis menggunakan enzim

xilanase 22

DAFTAR GAMBAR

1 Tahapan penelitian 4

2 Proses enzim selulase mengubah selulosa menjadi gula pereduksi 13 3 Proses enzim selulase mengubah selulosa menjadi 14

4 Struktur serat bambu 15

5 Grafik gula pereduksi yang terbentuk setelah hidrolisis menggunakan

selulase 17

6 Grafik penurunan selulosa 18

7 Grafik gula pereduksi yang terbentuk setelah hidrolisis enzim xilanase 19

8 Grafik penurunan hemiselulosa 20

9 Kurva perbandingan konsentrasi enzim, gula pereduksi yang terbentuk,

dan penurunan hemiselulosa 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Gambar alat dan bahan 24

2 Standar pengujian 26

3 Data hasil uji statistik hidrolisis selulosa 30

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara terkaya dalam hal keanekaragaman hayati. Kondisi iklim tropis berperan besar dalam menentukan spesies-spesies tumbuhan apa saja yang dapat hidup di hutan Indonesia. Salah satu tumbuhan yang tumbuh baik dalam kondisi iklim Indonesia adalah bambu. Pada saat ini bambu digunakan sebagai bahan natural eco-friendly yang digunakan sebagai bahan baku pada industri tekstil. Bambu digunakan sebagai bahan baku karena memiliki keuntungan, yakni tanaman bambu sangat cepat tumbuh, dan bambu memiliki bahan anti-mikrobial. Serat bambu merupakan bahan yang digunakan sebagai bahan baku industri tekstil (Rathod dan Kolhatkar 2012)

Menurut Marilyn (2009) kain yang dibuat dari serat bambu memiliki keuntungan seperti 100 % biodegradable oleh mikroorganisme, serta proses dekomposisi kain bambu tidak berbahaya karena tidak menggunakan bahan kimia. Kain bambu juga memiliki kelebihan, yaitu hangat saat musim dingin namun sejuk saat musim panas, hal ini dikarenakan kemampuan breathable lebih baik dibanding dengan kain biasa. Anti-mikrobial pada kain bambu lebih aman dibandingkan dengan anti-mikrobial kimia yang biasa ditambahkan pada kain biasa, bahan anti-mikrobial kimia cenderung dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Berdasarkan penelitian Japanese Textile Inspection Association zat anti-mikrobial pada kain bambu juga tidak mudah hilang meskipun sudah dicuci berkali-kali. Terdapat beberapa pendapat mengenai senyawa anti-mikrobial yang terdapat pada bambu, ada yang menyatakan bahwa serat bambu tidak memiliki senyawa anti-mikrobial dan ada juga yang menyatakan bahwa anti-anti-mikrobial pada bambu benar keberadaannya. Penelitian Shengyuan dan Zheng (2004) menemukan bahwa bahan anti-mikrobial yang terdapat pada serat bambu bernama anthraquinone yang terdiri dari empat kelompok fungsional α-hidroksilasi, sedangkan penelitian Hengshu dan Libin (2005) menyatakan bambu tidak memiliki senyawa anti-mikrobial, kemampuan anti-mikrobial disebabkan struktur mikro serat bambu. Penelitian Xi dan Qin (2012) juga menyatakan bahwa serat bambu tidak memiliki senyawa anti-mikrobial, kemampuan anti-mikrobial disebabkan oleh sifat higroskopis bambu yang tinggi dan juga proses ekstraksi dari serat bambu. Namun Xi dan Qin (2012) menambahkan senyawa anti-mikrobial diduga hilang saat memisahkan zat ekstraktif pada bambu.

Ada dua cara untuk memperoleh serat bambu yaitu secara mekanis dan secara kimiawi. Proses pemisahan serat bambu secara mekanis adalah dengan cara menghancurkan bambu lalu dilanjutkan dengan penambahan enzim alami. Proses pemisahan secara kimiawi adalah dengan cara menambahkan bahan kimia NaOH dan CS2 (carbon disulfide) (Devi et al. 2007).

Masalah dari penggunaan metode secara kimia adalah penggunaan bahan-bahan kimia akan berdampak buruk bagi kesehatan dan serat yang diperoleh tidak boleh digunakan sebagai bahan tekstil seperti pakaian (Jiajia 2012). Berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh metode kimia, maka metode mekanis merupakan pilihan yang paling tepat untuk memperoleh serat bambu.

(12)

2

bertujuan memisahkan hemiselulosa yang terdapat pada bambu. Penggunaan selulase merupakan perlakuan untuk mengubah struktur dan permukaan selulosa, sehingga selulosa dapat diproses lebih lanjut. Selulosa pada umumnya terdiri dari daerah berupa crystalline dan amorphous dengan jumlah kandungan yang bervariasi berdasarkan sumber bahan. Sebagian besar bahan-bahan reaktan hanya bekerja pada bagian amorphous karena bagian tersebut terdapat pada permukaan dari bagian crystalline, sehingga bagian intracrystalline tidak terpengaruh oleh reaktan (Ciolacu et al. 2011). Penggunaan enzim selulase dapat meningkatkan kristalinitas dari serat yang bertujuan agar serat yang dihasilkan memiliki kekuatan yang lebih baik (Zhang 2012).

Pada proses ekstraksi serat bambu secara enzimatis, proses inkubasi merupakan salah satu proses yang penting karena mempengaruhi energi dan waktu yang diperlukan. Indonesia memiliki berbagai jenis bambu yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga hasil hidrolisis setiap jenis bambu menggunakan enzim akan berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh kandungan lignin dan karakteristik selulosa yang dimiliki setiap bambu berbeda.

Perumusan Masalah

Untuk mengatasi permasalahan waktu inkubasi dalam proses pemisahan serat bambu, maka berbagai penelitian untuk mengurangi waktu hidrolisis dilakukan seperti pemberian pretreatment, selain itu juga dapat dilakukan dengan pemilihan sumber serat bambu. Pemilihan dapat dilakukan dengan meneliti jenis bambu yang mengalami hidrolisis lebih cepat dengan menggunakan enzim sehingga dapat mempercepat waktu hidrolisis enzim.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan enzim dalam menghidrolisis komponen serat pada bambu, untuk mengetahui jenis bambu yang paling sesuai untuk proses pengolahan bambu dengan enzim, dan untuk mengetahui konsentrasi enzim yang terbaik untuk memisahkan hemiselulosa dari serat bambu.

Manfaat Penelitian

(13)

3

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian terfokus pada analisis pada hidrolisis serat bambu dengan menggunakan enzim selulase dan xilanase. Pengukuran sifat kimia dari serat bambu untuk mengetahui kondisi awal serta diakhiri dengan pengukuran gula pereduksi, kadar selulosa dan hemiselulosa untuk mengetahui proses hidrolisis serta kondisi akhir serat.

BAHAN DAN METODE

Metode penelitian dibagi menjadi enam bagian, yaitu persiapan bahan dan alat, pelaksanaan percobaan, pengujian sifat kimia, pengujian aktivitas enzim, hidrolisis serat, analisis hasil. Tabel 1 menunjukkan standar pengujian yang dilakukan pada penelitian ini.

Tabel 1 Standar pengujian

Variabel pengamatan Standar pengujian

Kadar ekstraktif T 204 cm –97 TAPPI (1997)

Kadar lignin Klason Lignin Klason (SNI 0492 – 2008)

Kadar selulosa TAPPI T 17 m-55 (1997)

Kadar holoselulosa bambu kuning, bambu tali, dan bambu hitam yang diperoleh dari Desa Sukaresmi, Ciapus Tamansari, Bogor. Bahan pembantu terdiri atas aquadest, NaOH, Na2SO3, buffer sitrat, DNS, HNO3, CH3COOH , NaHClO2 (natrium hipoklorit), H2SO4(asam sulfat) , dan etanol benzene. Enzim yang digunakan adalah enzim xilanase dan enzim selulase yang diperoleh dari CV Endsany, Sukoharjo, Jawa Tengah. Gambar bahan-bahan utama yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Alat

(14)

4

Metode

Metode penelitian dibagi menjadi enam bagian, yaitu persiapan bahan dan alat, pelaksanaan percobaan, pengambilan sampel, analisis laboratorium, analisis data dan penyusunan laporan. Tahapan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tahapan Penelitian

Persiapan alat dan bahan

Peralatan terdiri atas peralatan pre-treatment seperti otoklaf, oven, dan hammer mill. Peralatan percobaan terdiri atas magnetic stirer dan peralatan analisis yang terdiri atas alat sampling, suhu dan pH dipersiapkan di Laboratorium Teknologi dan Manajemen Lingkungan TIN IPB. Bahan pembantu berupa bahan-bahan untuk analisis laboratorium dipersiapkan di Laboratorium Lingkungan TIN IPB. Bahan utama yang digunakan adalah serbuk bambu yang diperoleh dari 3 jenis bambu sebanyak 1 g dengan ukuran 30 mesh. Enzim yang digunakan adalah enzim selulase dengan konsentrasi 25 U/g dan enzim xilanase dengan konsentrasi 50 U/g sampai 500 U/g.

Persiapan alat dan bahan

Pelaksanaan percobaan

Variasi bambu

Variasi enzim

Sampling dan analisis laboratorium Analisis dan pengolahan

data Penyusunan

(15)

5

Pelaksanaan Percobaan

Percobaan utama yang dilakukan terdiri atas penelitian pendahuluan dan penelitian utama.

a. Penelitian Pendahuluan

a.1. Karakterisasi Sifat Kimia Bambu

Pada percobaan ini bambu diperkecil ukurannya dengan menggunakan hammer mill sampai ukuran 30 mesh, lalu dicuci dengan air untuk menghilangkan zat-zat pengotor, dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 75oC selama satu hari. Penelitian terdiri atas pengujian sifat kimia, yaitu kadar selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif. Hemiselulosa ditentukan dari selisih dari holoselulosa dan selulosa yang diteliti. Prosedur pengujian sifat kimia dapat dilihat pada Lampiran 2. Tujuan pengujian sifat kimia adalah mengetahui kondisi awal bambu sebelum dilakukan hidrolisis dengan menggunakan enzim. Selain itu pengujian sifat kimia juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan karakteristik setiap bambu, yang mungkin berpengaruh terhadap hidrolisis enzim.

a.2 . Karakterisasi Enzim

Pada penelitian pendahuluan juga dilakukan pengujian aktivitas enzim dan pengujian kondisi optimal enzim. Pengujian aktivitas enzim bertujuan mengetahui aktivitas enzim yang digunakan sehingga dapat ditentukan jumlah enzim yang akan digunakan. Kondisi optimal enzim dilakukan dengan menguji aktivitas enzim pada suhu tertentu dan pH tertentu. Penentuan pH optimal untuk enzim xilanase dan selulase dilakukan pada pH 4.5, 5.0, 5.5, dan 6.0 pada suhu 45oC, untuk penentuan suhu optimal untuk enzim xilanase dilakukan pada suhu 40o, 50o, dan 60oC pada pH 5.5, sedangkan untuk enzim selulase dilakukan pada suhu 37oC dan 45oC. Prosedur pengujian aktivitas enzim dapat dilihat pada Lampiran 2.

b. Penelitian Utama

Bambu yang digunakan dalam bentuk serbuk berukuran 30 mesh. Bahan disterilkan dalam otoklaf dengan suhu 120oC selama 15 menit. Kemudian sebanyak satu gram serbuk bambu disaring dan siap digunakan sebagai substrat.

b.1. Hidrolisis Selulosa

Satu gram serbuk bambu yang telah disetrilkan ditambah 100 ml buffer sitrat-fosfat pH 5.5, kemudian ditambahkan 25 U/g enzim selulase. Campuran diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam, kemudian cairan dipisahkan dan dianalisis kandungan gula pereduksi. Padatan diuji komponen kadar selulosa dan hemiselulosa. Susut bobot(%) diukur berdasarkan penurunan massa setelah hidrolisis. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2. b.2. Hidrolisis Hemiselulosa

(16)

6

sitrat-fosfat pH 5.5, kemudian ditambahkan 50 U/g enzim xilanase. Campuran diinkubasikan pada suhu 50oC selama 24 jam, kemudian cairan dipisahkan dan dianalisis kandungan gula pereduksi. Padatan diuji komponen kadar selulosa dan hemiselulosa. Susut bobot (%) diukur berdasarkan penurunan massa setelah hidrolisis. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2.

b.3. Penentuan Konsentrasi Enzim pada Hidrolisis Hemiselulosa

Pada penentuan konsentrasi enzim, bambu yang digunakan hanya satu jenis, yaitu bambu yang paling mudah terhidrolisis menggunakan enzim selulase dan xilanase berdasarkan analisis gula-gula sederhana, kadar selulosa, dan kadar hemiselulosa pada tahap hidrolisis selulosa dan hidrolisis hemiselulosa. Satu gram serbuk bambu yang telah disterilkan ditambahkan 100 ml buffer sitrat-fosfat pH 5.5, kemudian ditambahkan enzim xilanase dengan konsentrasi 50, 100, 150, 200, 250, 300, 350, 400, 450, dan 500 U/g. Campuran diinkubasikan pada suhu 50oC selama 24 jam. Kemudian cairan dipisahkan dan dianalisis kandungan gula pereduksinya. Padatan diuji komponen kadar selulosa dan hemiselulosa. Susut bobot diukur berdasarkan penurunan massa setelah hidrolisis. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial yang digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor enzim dan jenis bambu terhadap kadar selulosa, kadar hemiselulosa, dan gula pereduksi. Taraf untuk jenis bambu bambu kuning, bambu hitam, dan bambu tali, sedangkan untuk taraf faktor enzim yaitu enzim selulase dan enzim xilanase dengan pengulangan sebanyak tiga kali. Model matematika untuk taraf tersebut adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + JBi + Ej + JB*Eij +Σ (k)ij ke-j faktor B pada ulangan ke-k

µ : Pengaruh rata-rata

JBi : Efek sebenarnya taraf ke i (faktor jenis bambu) Ej : Efek sebenarnya taraf ke j (faktor enzim)

JB*Ejij : Efek kombinasi faktor taraf ke ij (faktor kombinasi jenis bambu dan enzim)

Σ (k)ij : Galat (error) kombinasi faktor taraf ke ij dan faktor taraf ke k.

(17)

7

Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan menggunakan software Microsoft Excel 2007, untuk pengolahan data statistik uji ragam Anova dan uji lanjut Duncan menggunakan Software SPSS v16 Trial version.

TINJAUAN PUSTAKA

Bambu

Bambu (Bambuseae) adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang mempunyai batang berongga dan beruas-ruas, jenisnya banyak sekali dan manfaat yang diberikan pada manusia pun cukup banyak. Beragam kreasi banyak dihasilkan dari bambu mulai dari alat musik, furniture hingga bahan bangunan yang digunakan dalam arsitektur rumah tinggal bambu. Jaman dahulu bambu merupakan material yang sering digunakan sebagai bahan bangunan selain kayu dan batu, terutama di Asia. Kini seiring dengan gencarnya isu ecofriendly, banyak arsitek yang sudah mulai melirik bambu kembali sebagai elemen dalam desain perancangannya (Berlian 1995).

Berlian (1995) juga menyatakan salah satu alasan pemilihan bambu adalah karena bambu sudah terkenal sebagai material alami yang elastis, kokoh, dan mampu menahan beban tekan, tarik, geser, maupun tekuk dengan baik. Keunikan bambu yang liat dan elastis serta bobot konstruksi yang ringan menjadikan rumah bambu lebih tahan terhadap gempa seperti rumah-rumah yang didominasi unsur bambu dan kayu ketika terjadi gempa. Selain itu, harganya yang relatif murah, keberadaannya yang melimpah di alam, serta masa tumbuhnya yang cepat menjadi kelebihan lain dibandingkan dengan material kayu. Banyak orang berpendapat bahwa bambu adalah material yang tidak tahan lama, padahal pada kenyataannya pernyataan tersebut tidaklah benar. Seperti halnya kayu yang memerlukan perlakuan khusus sebelum digunakan, bambu pun membutuhkan perlakuan khusus sebelum digunakan sebagai material bangunan agar dapat tahan lama. Cara yang paling mudah untuk mengawetkan bambu adalah melumurinya dengan bensin.

Tanaman bambu kini juga digunakan sebagai bahan baku untuk produksi kain yang mendukung sumber daya berkelanjutan dan ramah lingkungan. Kain yang terbuat dari serat bambu memiliki kandungan anti-bakteri dan memiliki bakteriostatik bio-agen bernama “kun bambu”. Temuan ini divalidasi oleh Japanese Texstile Inspection Association. Setelah lima puluh kali mencuci, kain dari serat bambu masih memiliki kandungan anti-bakteri yang sangat baik. Serat bambu merupakan serat yang diperoleh dari selulosa alami sehingga serat bambu dapat terdegradasi secara alami oleh mikroorganisme atau sinar matahari. Kemampuan serat bambu yang bersifat dari alam kembali ke alam menjadi alasan mengapa serat bambu ditetapkan sebagai sumber bahan tekstil alami baru yang eco-friendly abad 21. Sifat fisik dan kimia dari serat bambu tidak begitu berbeda dengan jenis kain viscose (Rathod dan Kolhatkar 2012).

(18)

8

perindustrian serat kain (Zhang 2012).

Subyakto (2009) menyatakan sejumlah produsen kain bambu oganik di Swiss, Kanada, Turki, Afrika Selatan, Cina dan Mauritius telah membuat pakaian organik bambu saat ini. Produksi kainnya dibuat dari benang bambu 100% atau dicampur dengan bahan lain seperti spandex katun atau bahkan rami. Kain bambu sangat lembut jika dipakai dan hampir menyerupai bahan kasmir. Mutu kainnya halus, nyaman dan mewah. Jika kita melihat kain bambu pada tingkat mikroskopis, serat bambu memiliki permukaan halus bulat. Hal itu membuat kain bambu ini menjadi rasa yang sempurna untuk kulit kita.

Dalam pengujian bahan oleh beberapa perusahaan, kain bambu organik (100% serat bambu) menyerap air 1,8 kali lebih besar dari pada katun organik (100% serat katun). Dengan demikian, handuk bambu organik memiliki daya serap air yang lebih tinggi. Kain bambu memiliki kemampuan bernafas karena pada penampang dari serat bambu terdapat berbagai kesenjangan pada lubang mikro sehingga memungkinkan udara untuk masuk kedalam kain. Pakaian dari kain bambu lebih kuat dan tahan lama. Beberapa tes menunjukkan bahwa serat bambu memiliki abrasion-proof capacity tinggi. Kain bambu sangat baik untuk orang yang memiliki kulit sensitif atau rentan alergi terhadap kain biasa yang memiliki kandungan kimia tertentu. Kandungan kimia tersebut biasanya dapat mengiritasi kulit dari pemakai. Kain bambu mencapai skor 50 pada skala UPF (skala perlindungan ultraviolet). Ini adalah jumlah pengurangan 98% aktivitas UV (sinar ultraviolet matahari) yang mencapai kulit (Subyakto 2009).

Bagian utama dari bambu adalah selulosa. Selulosa merupakan bahan biopolimer terbarukan yang paling banyak di dunia. Selulosa dapat diproses dengan berbagai cara menjadi beberapa jenis material yang berguna, termasuk tekstil. Serat yang berasal dari selulosa dapat terdegradasi secara alami oleh mikroorganisme atau cahaya matahari, hal ini yang menyebabkan berbagai jenis kain yang berasal dari selulosa bersifat eco-friendly. Terdapat berbagai cara untuk memproduksi tekstil dari selulosa, namun yang paling sering dipakai adalah hidrolisis alkalisasi atau lyocell process. Dari proses tersebut akan diperoleh regenerated cellulose atau viscose cellulose yang dapat dibentuk menjadi benang dan dipintal menjadi kain. Selain itu serat bambu juga dapat diperoleh melalui proses mekanikal. Pada proses mekanikal, serat bambu diperoleh melalui proses degumming (Rathod dan Kolhatkar 2012).

Enzim

(19)

9 Enzim bekerja dengan cara menempel pada permukaan molekul zat-zat yang bereaksi sehingga mempercepat proses reaksi. Percepatan reaksi terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan sendirinya akan mempermudah terjadinya reaksi. Enzim mengikat molekul substrat membentuk kompleks enzim substrat yang bersifat sementara dan lalu terurai membentuk enzim bebas dan produknya (Lehniger 1990)

E = S  ES  E + P E = enzim

S = substrat P = produk

Aziz (2008) menyatakan aktivitas enzim dipengaruhi banyak faktor. Faktor-faktor tersebut menentukan efektivitas kerja suatu enzim. Apabila Faktor-faktor pendukung tersebut berada pada kondisi yang optimum, maka kerja enzim juga akan maksimal. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerja enzim:

a. Substrat

Enzim mempunyai spesifitas yang tinggi. Apabila substrat cocok dengan enzim, maka kinerja enzim juga akan optimal.

b. pH (keasaman)

Enzim mempunyai sensifitas tinggi pada pH tertentu. Ada enzim yang optimal kerjanya pada kondisi asam, namun ada juga yang optimal pada kondisi basa. Namun kebanyakan enzim bekerja optimal pada pH netral. c. Waktu

Waktu kontak/reaksi antara enzim dan substrat menentukan efektivitas kerja enzim. Semakin lama waktu reaksi, maka kerja enzim juga akan semakin optimum.

d. Konsentrasi / jumlah enzim

Konsentrasi enzim berbanding lurus dengan efektivitas kerja enzim. Semakin tinggi konsentrasi maka kerja enzim akan semakin baik dan cepat.

e. Suhu

Seperti juga pH. Semua enzim mempunyai kisaran suhu optimum untuk kerjanya.

f. Produk akhir

Reaksi enzimatis selalu melibatkan dua hal, yaitu substrat dan produk akhir. Dalam beberapa hal produk akhir ternyata dapat menurunkan produktivitas kerja enzim.

Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat, suhu, keasaman, kofaktor dan inhibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH (tingkat keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Aktivitas enzim dipengaruhi oleh pH, karena sifat ionik gugus karboksil dan gugus amino mudah dipengaruhi oleh pH. Perubahan pH atau pH yang tidak sesuai akan menyebabkan daerah katalitik dan konformasi enzim berubah. Selain itu perubahan pH juga menyebabkan denaturasi enzim dan mengakibatkan hilangnya aktivitas enzim(Meryadini et al. 2009)

(20)

10

ini akan mengubah aktivitas dari suatu enzim dengan menggabungkannya dalam suatu jalur yang mempengaruhi ikatan substrat dan nilai turn-over-nya. Bahan-bahan ini dapat berupa Bahan-bahan alami maupun kimia (logam) (Anisa 2006).

Pada proses pemisahan serat bambu terdapat berbagai jenis proses menggunakan enzim, antara lain xilanase, dan selulase. Enzim xilanase digunakan dalam proses pemisahan hemiselulosa pada serat bambu. Enzim selulase digunakan untuk menghidrolisis selulosa amorf menjadi gula-gula sederhana. Hidrolisis selulosa bertujuan meningkatkan daya serap selulosa sehingga selulosa yang akan diproses menjadi lebih lembab dan memudahkan penetrasi enzim pada proses degumming menggunakan enzim xilanase. Perlakuan selulase juga bertujuan mengubah struktur selulosa sehingga serat yang diperoleh memiliki ketahanan yang lebih baik saat proses pemintalan (Jiajia 2012).

Selulosa atau β-1-4-glucan adalah polisakarida linear dan merupakan polimer dari glukosa. Gabungan dua molekul glukosa di dalam rantai selulosa dinamakan selobiosa. Rantai-rantai selulosa diikat oleh ikatan hidrogen dan membentuk serat atau disebut juga mikrofibril. Serat-serat ini terikat satu sama lain oleh hemiselulosa, polimer amorf dari gula yang berbeda dan diselimuti oleh lignin. Mikrofibril umumnya saling terikat membentuk makrofibril. Struktur yang ini membuat selulosa kebal terhadap perlakuan biologi dan kimia (Gandjar et al. 2006).

Enzim selulase terbentuk dari beberapa komponen enzim yang biasanya terdiri atas 3 komponen yang bekerja secara sinergis dalam menghidrolisis selulosa. Komponen – komponen tersebut antara lain: endoglukanase, selobiohydrolase, dan selobiase. Pada enzim selulase yang diperoleh dari Trichoderma reesei diketahui 60-80% adalah cellobiohydrolases, 20-36% adalah endoglucanases, dan 1% adalah selobiases (B-glukosidase). Komponen endoglukanases dan selobiohydrolase bekerja pada selulosa menghasilkan selobiose, selootriose sebagai hasil reaksi. Selobiose yang dihasilkan kemudian dihidrolisis menjadi glukosa oleh selobiase. Endoglukanase dan selobiohydrolases mendegradasi selodextrins dan selulosa amorf; cellobiohydrolase mendegradasi selulosa kristal lebih efektif. Oligosakarida yang terbentuk saat hidrolisis selulosa dipercaya memiliki peran penting dalam induksi selulosa alami. Selulosa padat biasa digunakan sebagai substrat fermentasi (Gandjar et al. 2006). Selulosa pada umumnya terdiri dari daerah berupa crystalline dan amorphous dengan jumlah kandungan yang bervariasi berdasarkan sumber bahan. Sebagian besar bahan-bahan reaktan hanya bekerja pada bagian amorphous karena bagian tersebut terdapat pada permukaan dari bagian crystalline, sehingga bagian intracrystalline tidak terpengaruh oleh reaktan (Ciolacu et al. 2011). Penggunaan enzim selulase dapat meningkatkan kristalinitas dari serat yang bertujuan agar serat yang dihasilkan memiliki kekuatan yang lebih baik (Zhang 2012).

(21)

11

Gambar 2 Proses enzim selulase mengubah selulosa menjadi glukosa (Held 2012) Hemiselulosa merupakan heteropolimer polisakarida yang keberadaannya terbanyak kedua setelah selulosa. Kandungan hemiselulosa pada tanaman berkisar antara 20-30% berat kering kayu. Keberadaan hemiselulosa belum banyak dimanfaatkan dibandingkan dengan selulosa. Karena hemiselulosa dapat diperbarui, memungkinkan dimanfaatkan menjadi produk yang ekonomis. Xilan adalah polisakarida yang merupakan komponen utama hemiselulosa yang memiliki tulang punggung rantai D-silopiranosa dengan ikatan glikosidik β-1,4. Kandungan xilan pada limbah pertanian seperti jerami padi berkisar 20-30% berat kering (Rao et al.1999)

Xilanase merupakan kelompok enzim yang memiliki kemampuan menghidrolisis xilan atau polimer dari xilosa. Xilanase dapat diklasifikasikan berdasarkan substrat yang dihidrolisis, yaitu β-xilosidase, eksoxilanase, dan endoxilanase. Eksoxilanase mampu memutus rantai polimer xilosa (xilan) pada ujung reduksi, sehingga menghasilkan xilosa sebagai produk utama dan sejumlah oligosakarida rantai pendek. Enzim ini mengandung sedikit aktivitas transferase sehingga potensial dalam industri penghasil xilosa. Aktifitas enzim ditingkatkan dengan penambahan induser (Rao et al. 1999). Gambar 4 menunjukkan bagaimana xilanase memutus rantai xilan menjadi xilosa.

Gambar 3 Proses enzim selulase mengubah selulosa menjadi glukosa (Held 2012) Degumming

Degumming adalah proses menghilangkan zat perekat/gum bukan selulosa yang melengket pada serat. Pada bambu zat perekat/gum diperoleh berupa xilan. Pada umumnya bambu memiliki kandungan xilan sebesar 20-30%. Kandungan

Selulosa

Selulase

Glukosa

Xilan

Xilanase

(22)

12

xilan pada bambu dipisahkan agar serat bambu terlepas dalam helaian-helaian sehingga dapat dipintal. Secara tradisional, proses degumming dilakukan dengan secara kimia yaitu, dengan memasak bambu dengan menggunakan larutan alkali. Beberapa macam cara degumming, antara lain menggunakan NaOH 0.5% , NaOH 38oBe, Na2CO3, sabun, campuran NaOH 32% dan sabun, campuran Na2CO3, sabun dan Ca(OH)2 sampai dengan penggunaan NaOH 3% yang dicampur dengan Na-sulfit 3% dan Na-tripolifosfat 3% serta bahan pembasah (teepol) sebanyak 3% (Winarto 2003).

Cara biologis dalam proses degumming, yakni dengan cara enzimatis menghilangkan bahan perekat/gum pada bambu. Bahan perekat/gum pada bambu berupa xilan (Gambar 5) sehingga untuk memisahkan xilan dari bambu digunakan enzim xilanase. Dari hasil-hasil penelitian dan uji coba diketahui bahwa degumming cara enzimatis menghasilkan serat berkualitas lebih baik dibanding dengan cara kimia. Degumming cara enzimatis ini masih terus dikembangkan dan kini aplikasinya masih dalam skala kecil. Tantangan yang dihadapi pada proses degumming enzimatis adalah waktu yang masih cukup lama, yakni 5-7 hari. Selain itu, cara enzimatis walaupun lebih ramah lingkungan masih tetap menimbulkan masalah lingkungan yang perlu diatasi, yakni berupa bau dan limbah organik. Namun mutu serat yang lebih baik dengan prosesnya yang sederhana dan aplikasinya yang bisa dilakukan dengan peralatan sederhana dan tidak rumit menjadikan teknologi enzimatis/ mikrobiologis untuk degumming serat bambu perlu dikembangkan (Winarto 2003).

Gambar 4 Struktur serat bambu (Held 2012)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Bambu

(23)

13 dibandingkan dengan kadar lignin bambu pada umumnya yang sekitar 25-30% (Fatriasari 2008). Bambu hitam memiliki kandungan zat ekstraktif lebih tinggi dibandingkan dengan bambu kuning, yaitu sekitar 4.12%. Kandungan Holoselulosa yang dimiliki bambu hitam lebih rendah dibandingkan dengan bambu Kuning, yaitu sekitar 64.43% kandungan Hemiselulosa bambu hitam juga lebih kecil dari bambu kuning, yaitu sebesar 21.16%. Bambu Hitam memiliki kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan bambu kuning, yaitu sekitar 24.33%. Bambu tali memiliki kandungan zat ekstraktif paling tinggi dibandingkan dengan dua jenis bambu lainnya yaitu sekitar 4.45%. Kandungan holoselulosa pada bambu tali merpakan yang paling rendah, yaitu 63.23%, dan hemiselulosa sekitar 20.78%. Kandungan lignin bambu tali merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan dengan dua jenis bambu lainnya yaitu sekitar 24.87%. Tabel 2 Sifat-sifat kimia bambu

Sifat Kimia Bambu Kuning Bambu Hitam Bambu Tali

Zat ekstraktif (%) 3.77±0.02 4.12±0.01 4.45±0.01

Kadar holoselulosa (%) 69.57±0.07 64.43±0.08 63.23±0.07

Kadar selulosa (%) 47.33±0.11 43.27±0.09 42.45±0.05

Kadar hemiselulosa (%) 22.24±0.08 21.16±0.03 20.78±0.03

Kadar lignin Klason(%) 21.23±0.04 24.33±0.07 24.87±0.06

Karakteristik Enzim

(24)

14

Hidrolisis selulosa menggunakan enzim selulase menghasilkan produk berupa glukosa dalam bentuk gula pereduksi. Gambar 5 menunjukkan perbedaan jumlah gula pereduksi hasil hidrolisis menggunakan enzim selulase. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa bambu kuning lebih mudah terhidrolisis dengan menggunakan enzim selulase dibandingkan dengan bambu hitam maupun bambu tali. Hidrolisis bambu kuning menghasilkan gula pereduksi rata-rata sebesar 393.67 ppm, sedangkan untuk bambu hitam dan bambu tali tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh dimana bambu hitam menghasilkan gula pereduksi sebesar 266.22 ppm dan bambu tali sebesar 275.06 ppm.

Gambar 5 Gula pereduksi yang terbentuk setelah hidrolisis menggunakan selulase Berdasarkan uji ragam (anova) hidrolisis selulosa (Lampiran 3) diperoleh signifikansi < 0.05 sehingga hipotesis h(0) ditolak, dan h(1) diterima adanya pengaruh nyata antara data yang diperoleh. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis bambu mempengaruhi hasil hidrolisis enzim selulase (kadar gula pereduksi). Untuk mengetahui data mana yang berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut, yaitu uji Duncan yang dapat dilihat pada Lampiran 3.

Uji Duncan menunjukkan bahwa bambu hitam dan bambu tali tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Dari uji dapat disimpulkan bahwa bambu kuning memiliki kandungan selulosa yang paling mudah terhidrolisis oleh enzim selulase dibandingkan dengan bambu lainnya, sedangkan bambu hitam dan bambu tali menghasilkan gula pereduksi yang cenderung sama.

(25)

15 Menurut Purba (2009) proses hidrolisis enzimatik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: enzim, ukuran partikel, suhu, pH, waktu hidrolisis, perbandingan cairan terhadap bahan baku (volume substrat), dan pengadukan. Selain itu hidrolisis juga dipengaruhi oleh karakteristik substrat dan kandungan pada substrat tersebut. Pada hidrolisis ini kandungan yang mempengaruhi hidrolisis adalah lignin. Ikatan silang dari struktur aromatik lignin dapat memperlambat penetrasi oleh enzim sehingga mempengaruhi proses hidrolisis (Safaria et al. 2013). Perbedaan hasil hidrolisis pada bambu-bambu tersebut disebabkan oleh kandungan lignin. Kandungan lignin pada bambu hitam dan bambu tali cukup tinggi dibandingkan dengan kandungan lignin bambu kuning (Tabel 2), sehingga enzim selulase lebih sulit menghidrolisis selulosa.

Jiajia (2012) menyatakan perlakuan enzim dapat mengakibatkan perubahan struktur dan permukaan dari serat. Enzim selulase mengubah permukaan serat menjadi lebih lembut dan lebih lentur sehingga, daya putus serat dan daya pintal menjadi lebih baik.

Hidrolisis selulosa menggunakan enzim selulase mengakibatkan penurunan pada jumlah selulosa yang terkandung pada bambu yang dapat dilahat pada Tabel 5. Penurunan persentase selulosa pada bambu dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan grafik dapat dilihat penurunan selulosa pada bambu kuning lebih tinggi dibandingkan dengan bambu hitam maupun bambu tali. Penurunan selulosa pada bambu kuning adalah rata-rata sebesar 6.40 %, sedangkan penurunan selulosa pada bambu hitam sebesar 5.55% dan bambu tali sebesar 5.49%.

Tabel 5 Komposisi bambu sebelum dan setelah hidrolisis

Jenis bambu Yield (%) Selulosa awal (%) Selulosa akhir (%)

Bambu kuning 96.23±0.05 47.33±0.11 46.03±0.01

Bambu hitam 95.88±0.12 43.27±0.09 42.62±0.07

Bambu tali 95.55±0.08 42.45±0.05 43.95±0.05

(26)

16

Berdasarkan uji ragam (anova) hidrolisis penurunan selulosa (Lampiran 3) diperoleh signifikansi < 0.05 sehingga hipotesis h(0) ditolak, dan h(1) diterima adanya pengaruh nyata antara data yang diperoleh. Dari data tersebut dapat disimpulkan jenis bambu berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar selulosa. Untuk mengetahui data mana yang berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut, yaitu uji Duncan dan yang dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tidak jauh berbeda dengan data gula pereduksi, dari uji duncan menunjukkan bahwa bambu hitam dan bambu tali tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Dari uji dapat disimpulkan bahwa bambu kuning mengalami penurunan selulosa terbesar dibandingkan dengan jenis bambu lain, sedangkan penurunan selulosa pada bambu tali dan bambu hitam tidak berbeda.

Penurunan jumlah selulosa pada bambu berbanding lurus dengan jumlah gula pereduksi yang dihasilkan dari hidrolisis selulosa dengan enzim selulase. Semakin tinggi gula pereduksi yang dihasilkan maka makin tinggi pula penurunan selulosa pada bambu. Penurunan selulosa pada bambu kuning lebih tinggi dibandingkan dengan bambu yang lain karena pada hidrolisis selulosa, selulosa pada bambu kuning lebih banyak terhidrolisis oleh enzim selulase.

Hidrolisis Hemiselulosa

Hidrolisis hemiselulosa (xilan) menggunakan enzim xilanase menghasilkan produk xilosa berupa gula pereduksi. Gambar 7 menunjukkan perbedaan jumlah gula pereduksi hasil hidrolisis menggunakan enzim xilanase. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kandungan hemiselulosa bambu kuning juga lebih mudah terhidrolisis dibandingkan dengan jenis bambu yang lain. Gula pereduksi yang dihasilkan pada hidrolisis bambu kuning adalah sebesar 297.67 ppm, sedangkan pada bambu hitam, gula pereduksi yang dihasilkan sebesar 211.67 ppm, dan gula pereduksi yang dihasilkan pada hidrolisis bambu tali sebesar 194 ppm. Seperti halnya hidrolisis selulase, hidrolisis xilanase juga dipengaruhi oleh kandungan lignin dalam bambu yang dapat menghambat penetrasi enzim xilanase, oleh karena itu bambu kuning dengan kandungan lignin terendah dapat terhidrolisis dengan mudah dengan enzim xilanase.

Gambar 7 Gula pereduksi yang terbentuk setelah hidrolisis enzim xilanase

(27)

17 Berdasarkan uji ragam (anova) hidrolisis hemiselulosa (Lampiran 4) diperoleh signifikansi < 0.05 sehingga hipotesis h(0) ditolak, dan h(1) diterima adanya pengaruh nyata antara data yang diperoleh. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis bambu mempengaruhi hasil hidrolisis enzim xilanase (kadar gula pereduksi). Untuk mengetahui data mana yang berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut, yaitu uji Duncan yang dapat dilihat pada Lampiran 4.

Dari uji duncan menunjukkan bahwa semua bambu memiliki perbedaan yang signifikan. Dari uji dapat disimpulkan bahwa bambu kuning memiliki kandungan hemiselulosa yang paling mudah terhidirolisis oleh enzim xilanase dibandingkan dengan jenis bambu lainnya, dan bambu tali memiliki kandungan hemiselulosa yang paling sulit terhidrolisis oleh enzim xilanase.

Sama halnya dengan enzim selulase, enzim xilanase juga dipengaruhi oleh lignin. Lignin dapat memperlampat penetrasi enzim pada substrat sehingga mempengaruhi proses hidrolisis. Xilan lebih sulit terhidrolisis dibandingkan dengan selulosa karena jumlah kandungan xilan yang kecil. Xilan pada permukaan kembali mengendap sehingga sebagian xilan yang terletak lebih jauh di dalam tidak terjangkau oleh enzim (Wedin et al. 2007).

Hidrolisis hemiselulosa menggunakan enzim xilanase mengakibatkan penurunan pada jumlah hemiselulosa yang terkandung pada bambu yang dapat dilihat pada Tabel 6. Gambar 8 menunjukkan penurunan kandungan hemiselulosa setelah hidrolisis dengan menggunakan enzim xilanase. Penurunan kandungan hemiselulosa pada bambu tidak begitu berbeda dibandingkan dengan data hasil hidrolisis hemiselulosa. Bambu kuning mengalami penurunan kandungan hemiselulosa yang paling tinggi dibanding dengan jenis bambu yang lain yaitu sebesar 12.71%, bambu hitam mengalami penurunan kandungan hemiselulosa sebesar 8.48%, dan bambu tali mengalami penurunan kandungan hemiselulosa sebesar 7.85 %.

Tabel 6 komposisi bambu sebelum dan setelah hidrolisis menggunakan enzim xilanase

Jenis bambu Yield (%) Hemiselulosa

awal (%)

Hemiselulosa akhir (%)

Selulosa akhir (%)

Bambu kuning 95.29±0.10 22.24±0.08 21.21±0.04 48.63±0.01

Bambu hitam 97.01±0.19 21.16±0.03 20.84±0.08 45.29±0.01

(28)

18

Gambar 8 Penurunan hemiselulosa

Sebagai bahan baku bambu memiliki selulosa, hemiselulosa, dan lignin sebagai bahan penyusun utama. Ketiga kandungan memiliki total kandungan lebih dari 90% dari kandungan yang terdapat pada bambu. Lignin dan hemiselulosa adalah kandungan utama yang ingin dipisahkan melalui proses degumming. Bambu memiliki kandungan hemiselulase rata-rata 20 – 30 %. Hemiselulase pada bambu pada sebagian besar mengandung β -D-xilan, sehingga penggunaan xilanase merupakan metode yang paling tepat dalam proses degumming (Aoyama 1999).

Berdasarkan uji ragam (anova) hidrolisis penurunan hemiselulosa (Lampiran 4) diperoleh signifikansi < 0.05 sehingga hipotesis h(0) ditolak, dan h(1) diterima adanya pengaruh nyata antara data yang diperoleh. Dari data tersebut dapat disimpulkan perubahan kadar hemiselulosa berpengaruh nyata terhadap jenis bambu yang dihidrolisis. Untuk mengetahui data mana yang berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut, yaitu uji Duncan yang dapat dilihat pada Lampiran 4.

Dari uji Duncan menunjukkan bahwa bambu hitam dan bambu tali tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Dari uji dapat disimpulkan bahwa bambu kuning mengalami penurunan hemiselulosa terbesar dibandingkan dengan jenis bambu lain, sedangkan penurunan selulosa pada bambu tali dan bambu hitam cenderung sama.

Penurunan jumlah hemiselulosa pada bambu berbanding lurus dengan jumlah gula pereduksi yang dihasilkan dari hidrolisis hemiselulosa dengan enzim xilanase. Semakin tinggi gula pereduksi yang dihasilkan maka makin tinggi pula penurunan hemiselulosa pada bambu. Penurunan hemiselulosa pada bambu kuning lebih tinggi dibandingkan dengan bambu yang lain karena pada hidrolisis hemiselulosa, hemiselulosa pada bambu kuning lebih banyak terhidrolisis oleh enzim xilanase.

Berdasarkan data yang diperoleh, bambu kuning merupakan jenis bambu yang paling cocok untuk pembuatan serat kain bambu dengan menggunakan metode mekanis, dikarenakan bambu kuning memiliki kandungan selulosa dan hemiselulosa yang mudah terhidrolisis dengan menggunakan enzim komersial

(29)

19 dibandingkan dengan bambu hitam maupun bambu kuning. Dengan menggunakan bambu kuning sebagai bahan dalam pembuatan serat, maka proses degumming akan lebih cepat dibandingkan dengan jenis bambu yang lain sehingga serat yang dihasilkan dapat diperoleh lebih cepat, penggunaan enzim dapat dikurangi dan biaya energi inkubasi juga dapat dikurangi.

Penentuan Konsentrasi Enzim Xilanase

Pada pembuatan serat kain bambu secara mekanis, hemiselulosa merupakan salah satu kandungan yang perlu dihilangkan, sehingga dilakukan pengujian untuk mengetahui konsentrasi enzim xilanase yang terbaik untuk memisahkan hemiselulosa dari bambu. Pada uji ini enzim selulase tidak digunakan karena penggunaan selulosa dapat merusak selulosa yang ingin diperoleh. Jenis bambu yang digunakan adalah bambu kuning, karena berdasarkan hidrolisis selulosa dan hidrolisis hemiselulosa bambu kuning merupakan jenis bambu yang paling mudah terhidrolisis menggunakan enzim selulase maupun enzim xilanase. Penggunaan enzim xilanase pada penentuan konsentrasi mengakibatkan penurunan pada jumlah selulosa dan hemiselulosa pada bambu yang dapat dilihat pada tabel 7. Gambar 9 menunjukkan kurva pengaruh konsentrasi enzim terhadap gula pereduksi yang dihasilkan dengan kondisi hidrolisis dan waktu hidrolisis yang sama.

Tabel 7 Komposisi bambu kuning setelah hidrolisis menggunakan enzim xilanase Konsentrasi

100 19.78±0.07 50.01±0.02 21.50±0.43 6.74±0.14

150 18.41±0.06 50.35±0.02 29.33±0.38 9.19±0.12

200 17.06±0.04 50.69±0.01 36.61±0.25 11.47±0.08

250 16.05±0.08 50.94±0.02 41.74±0.40 13.07±0.13

300 14.94±0.12 51.22±0.02 47.08±0.60 14.75±0.19

350 13.92±0.10 51.47±0.03 51.77±0.46 16.22±0.14

400 13.50±0.08 51.58±0.02 53.66±0.38 16.81±0.12

450 13.41±0.05 51.60±0.01 54.04±0.22 16.93±0.07

(30)

20

Gambar 9 Perbandingan konsentrasi enzim, gula pereduksi yang terbentuk, dan penurunan hemiselulosa

Dari kurva dapat dilihat peningkatan gula pereduksi berupa gula pereduksi yang terbentuk cenderung meningkat sampai konsentrasi enzim 350 U/g, sedangkan pada selang konsentrasi 350 – 500 U/g , gula pereduksi yang terbentuk tidak terlihat meningkat secara signifikan. Hal ini dapat disebabkan kandungan hemiselulosa pada bambu sedikit, sehingga gula pereduksi yang dihasilkan juga semakin kecil. Hal ini juga dapat disebabkan enzim tidak dapat menjangkau sisa hemiselulosa sehingga hemiselulosa sulit terhidrolisis (Wedin et al. 2007). Gambar tersebut juga menunjukkan jumlah hemiselulosa yang terhidrolisis setelah penggunaan enzim xilanase. Perubahan hemiselulosa meningkat secara signifikan dari konsentrasi 50 U/g sampai 350 U/g, pada konsentrasi 350 U sampai 500 U, peningkatan cenderung berkurang. Dari data tersebut dapat dilihat penurunan hemiselulosa berbanding lurus dengan gula pereduksi yang terbentuk.

Hemiselulosa merupakan bahan yang ingin dihilangkan sebanyak mungkin dari serat agar dapat diperoleh serat dengan kandungan selulosa yang lebih murni. Kandungan hemiselulosa pada bambu kuning adalah sekitar 22.24 %, sehingga jumlah hemiselulosa yang ingin dipisahkan yaitu sebesar 22.24% dari bobot keseluruhan bambu atau 100% dari kandungan hemiselulosa. Namun, enzim tidak dapat menghilangkan seluruh hemiselulase meskipun dilakukan penambahan konsentrasi. Hal ini dapat dilihat pada kurva, enzim hanya dapat menghidrolisis hemiselulosa sebesar 54%, penambahan enzim yang berlebihan dapat mempengaruhi biaya proses degumming sehingga dapat disimpulkan penggunaan xilanase yang paling optimal adalah dengan konsentrasi 400 U/g dengan waktu hidrolisis selama 24 jam. Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa seiring penambahan konsentrasi enzim xilanase, kemurnian selulosa meningkat. Hal ini disebabkan karena kandungan hemiselulosa yang berkurang pada serat bambu.

(31)

21 mengetahui data mana yang berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut, yaitu uji Duncan yang dapat dilihat pada Lampiran 5.

Dari uji Duncan dapat dilihat bahwa untuk hidrolisis 400 U/g – 500 U/g tidak memiliki perubahan yang signifikan sehingga diperoleh bahwa enzim dapat menghidrolisis hemiselulosa tertinggi menggunakan enzim xilanase dengan konsentrasi sebesar 400 U/g. Perbedaan nyata pada uji Duncan menunjukkan penambahan enzim tidak berpengaruh nyata terhadap kadar gula pereduksi yang dihasilkan. Gula pereduksi tetap mengalami peningkatan namun tidak signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa enzim xilanase hanya dapat bekerja optimum menghidrolisis hemiselulosa sebesar 54%. Hal ini disebabkan jumlah xilan yang semakin sedikit serta lokasi xilan lebih sulit terjangkau oleh enzim.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa bambu kuning, bambu hitam, dan bambu tali dapat dihidrolisis menggunakan enzim selulase dan xilanase, yang dilihat dari terbentuknya gula-gula sederhana.

Bambu kuning merupakan jenis bambu yang paling cocok digunakan pada pembuatan serat kain bambu karena enzim komersial dapat bekerja lebih optimal pada bambu kuning dibandingkan dengan bambu yang lain pada kondisi yang sama. Bambu kuning memiliki selulosa dan hemiselulosa yang paling mudah terhidrolisis dibandingkan dengan bambu hitam dan bambu tali dikarenakan bambu kuning memiliki kandungan lignin yang rendah.

Konsentrasi terbaik untuk menghidrolisis hemiselulosa pada bambu kuning adalah sebesar 400 U/g. Dengan menggunakan enzim xilanase konsentrasi 400 U/g, hemiselulosa dapat dihidrolisis sebesar 54.31 % dalam waktu 24 jam.

Saran

Pengujian mutu terhadap serat dari bambu kuning perlu dilakukan untuk mengetahui apakah serat yang dihasilkan dari bambu kuning sesuai standar serat kain. Pembuatan serat kain dari bambu kuning perlu dilakukan untuk melihat bagaimana produk serat yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

Aoyama M, Seki K.1999. Acid catalysed steaming for solubilization of bamboo grass xylan. Bioresource Technol 69:91 – 94.

Azis P. 2008. Enzim dan faktor-faktor yang mempengaruhi laju kerja enzim. Jurnal Natural Science 1(1): 132-143.

Berlian N. 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Penebar Swadaya. Jakarta. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 0492:2008: Pulp dan kayu, cara

uji kadar lignin metode Klason. Jakarta (ID) : BSN

(32)

22

Devi R, Poornima N, Guptan S. Bamboo - the natural, green and eco-friendly new-type textile material of the 21st century. J Textile Assoc 1: 222-224. Fatriasari W. 2008. Analisis morfologi serat dan sifat fisis-kimia pada enam jenis

bambu sebagai bahan baku pulp dan kertas. ITHH 1(2): 67-72.

Gandjar I, Sjamsuridzal W, Oetari A. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta (ID) : Yayasan Obor Indonesia.

Ghose TK. 1987. Measurement of cellulase activities. Pure AppI Chem 59(2): 257-268

Ghose TK. Bisaria VS. 1987. Measurement of hemicellulase activities part 1: xylanases. Pure AppI Chem 59(12): 1739-1752

Held P. 2012. Enzymatic digestion of polysaccharides part II: optimization of polymer digestion and glucose production in microplates. Biofuel Research. Winooski (VT) : BioTek Instrumens

Hengshu Z, Libin D. 2005. Study on the function and the anti-virus finishing of the original bamboo fabric. Prog Text Sci Technol (5): 12-15.

Jiajia F. 2012. Bamboo fibre processing: insights into hemicellulase and cellulase substrate accessibility. Biocatal Biotrans, 30(1): 27–37.

Lehninger A. 1990.Dasar-Dasar Biokimia. Terjemahan Maggy Thenawidjaja Dari The Basic of Biochemistry. Jakarta (ID): Erlangga

Marliyn W. 2009. Sustainable textiles: the role of bamboo and a comparison of bamboo textile properties . J Text App Technol Manag 6(2): 1-21.

Meryadini A, Widosari W, Maranatha B, Sunarti TC, Rachmania N, Satria H. 2009. Isolasi bakteri selulolitik dan karakterisasi enzimnya. MAKARA SAINS 13(1): 33-38.

Miller GL. 1959. Use of dinitrosalicylic acid reagent for determination of reducing sugar. Anal Chem. 31: 426.

Purba E, 2009. Hidrolisis pati ubi kayu (Manihot esculenta) dan pati ubi jalar (Impomonea batatas) menjadi glukosa secara cold process dengan acid fungal amilase dan glukoamilase, J Teknol Indust Pert 12(2): 76-81

Rachma A. 2006. Kajian pengaruh suhu, pH, waktu dan konsentrasi inhibitor akar kawao (Milletia sericea) pada degradasi sukrosa oleh invertase [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

Rao K, Chelikani, S, Relue, P Varanas, S. 2008. A Novel Technique that Enables Efficient Conduct of Simultaneous Isomerization and Fermentation (SIF) of Xylose. Appl Biochem Biotechnol 146:101–117.

Rathod A, Kolhatkar A. 2012. Handle Properties of Bamboo and Cotton Fabric. Di dalam: China Textile Science. Volume 2: Textech Publishing. hlm 36-40. Safaria S, Idiawati N, Anita T. 2013. Efektivitas campuran enzim selulase dari Aspergillus niger dan Trichoderma reesei dalam menghidrolisis substrat sabut kelapa. JKK 2(1): 46-51.

Shengyuan X, Zheng Liu. 2004. The performance and product development of bamboo fiber. China Text Lead. (4): 43-48.

Subyakto E. 2009. Proses Pembuatan Serat Selulosa Berukuran Nano dari Serat Sisal (Agave sisalana) dan Bambu Betung (Dendrocalamus asper). BBPK 44(2): 57-65.

(33)

23 Wedin H, Ragnar M, Lindstrom ME. 2007. On the role of xylan in oxygen delignification [tesis]. Stockholm (SW): Royal Institute of Technology Teknikringen.

Winarto BW. 2003. Aplikasi teknologi degumming secara mikrobiologi [tesis]. Malang (ID): Balai Penelitian Tanaman Tembakau.

Xi LX, Qin DC. 2012. The antibacterial performance of natural bamboo fiber and its influencing factors. BioResources 8(4): 6501-6509.

(34)

24

Lampiran 1 Gambar Alat dan Bahan

Timbangan Analitik (kiri) dan Oven (kanan)

Penangas (kiri) dan Otoklaf (kanan)

Shaker tanpa suhu (kiri) dan Shaker dengan suhu (kanan)

(35)

25

Enzim selulase (kiri) dan enzim xilanase (kanan)

Bambu tali (kiri), bambu hitam (tengah), dan bambu kuning (kanan)

(36)

26

Lampiran 2 Standar Pengujian

1. Pengujian sifat kimia

a. Pengukuran holoselulosa (TAPPI T 9 m-54)

Serbuk bambu sebanyak 2 g (30 mesh) dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan dicampurkan secara berturut-turut 100 ml air aquades, 0.5 ml asam asetat glasial dan 30 ml natrium hipoklorit. Labu erlenmeyer ditempatkan pada penangas air dengan suhu 70-80oC selama satu jam dengan sesekali digoyangkan. Setelah satu jam tambahkan berturut-turut 0.2 ml asam asetat glasial dan 30 ml natirum hipoklorit. Ulangi penambahan asam asetat dan natrium hipoklorit pada akhir jam ke dua dan ke tiga. Dalam setiap penambahan asam asetat selalu dilakukan pertama kali. Selanjutnya saring holoselulosa pada kertas saring yang telah diketahui bobotnya. Holoselulosa yang dipeoleh dicuci dengan air panas dan tambahkan 25 ml asam asetat 10% lalu dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Sampel dioven dengan mengeringkannya dalam oven dengan suhu 103 ±2oC hingga bobotnya tetap. Pengulangan dilakukan 2 kali.

% � = 100 %

B = Bobot holoselulosa (g) A = Bobot serbuk awal (g) b. Kadar selulosa (TAPPI T 17 m-55)

Serbuk bebas zat ekstraktif sebanyak 2.5 g dimasukkan kedalam erlenmeyer 300 ml, lalu tambahkan 250 ml aquadest panas dan dipanaskan dalam waterbath bersuhu 80 °C selama 4 jam. Setelah pemanasan, sampel disaring serbuk dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya. Sampel yang telah dikering udarakan ditambahkan HNO3 3.5 % sebanyak 125 ml. Setelah itu sampel dipanaskan diatas waterbath suhu 80 °C selama 12 jam lalu disaring sampai bening dan dikering udarakan. Sampel ditempatkan dalam erlenmeyer 300 ml dan ditambahkan larutan campuran NaOH : Na2SO3 (20 g : 20 g dalam 1 liter) sebanyak 125 ml dan dipanaskan diatas waterbath suhu 50 °C selama 2 jam. Selanjutnya sampel disaring dengan kertas saring hingga filtrat tidak berwarna, lalu tambahkan 50 ml NaClO2 10 % dan dicuci dengan aquadest panas hingga berwarna putih. Sampel lalu dibilas dengan CH3COOH 10 % sebanyak 100 ml, kemudian dicuci hingga bebas asam dengan aquadest panas. Sampel dioven suhu 103±2 °C lalu ditimbang sampai berat konstan. Pengulangan dilakukan 2 kali.

% � = 100 %

(37)

27

c. Kadar hemiselulosa (TAPPI T 17 m-55)

Pengukuran kadar hemiselulosa yang terkandung dalam kayu diperoleh dengan cara mengurangi kadar holoselulosa dengan kadar selulosanya, yaitu:

% hemiselulosa = holoselulosa (%) – selulosa (%) d. Susut Bobot (Yield)

Pengukuran susut bobot diperoleh berdasarkan bobot awal sebelum dihidrolisis (1 g) dengan bobot akhir setelah hidrolisis

%Yield = Bobot akhir

Bobot awal 1 g x 100%

e. Pengujian kadar lignin (Lignin Klason)

Penentuan kadar lignin dilakukan dengan metode modifikasi lignin klason (Dence 1992). Serbuk bebas zat ekstraktif sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam gelas piala ukuran 50 ml, lalu ditambahkan 10 ml asam sulfat (H2SO4) 72 % secara perlahan sambil diaduk hingga serbuk terdispersi sempurna. Sampel disimpan pada suhu kamar selama 3 jam sambil diaduk sesekali. Kemudian sampel dipindahkan kedalam erlenmeyer 500 ml dan diencerkan hingga konsentrasi asam sulfat 3% yaitu dengan penambahan air hingga total volume 381 ml. Larutan dipanaskan dalam autoclave selama 30 menit pada suhu 121°C. Setelah itu sampel disaring lalu dioven dan ditimbang.

% �� � = 100 %

B = Bobot Lignin (g) A = Bobot serbuk awal (g)

f. Zat ekstraktif (T 204 cm – 97 TAPPI 1997)

Bambu diperkecil ukurannya hingga diperoleh serbuk dengan ukuran 40-60 mesh. Serbuk bambu dimasukan ke dalam timbel diekstrak dalam peralatan sokhlet dengan menggunakan 300 ml campuran pelarut etanol benzene (1:2). Ekstraksi dilakukan selama 6-8 jam, mencuci sampel minimal 24 kali atau hingga shiponing pada peralatan sokhlet berwarna bening. Setelah ekstraksi, saring pada kertas saring dan cuci dengan 500 ml air aquades mendidih. Serbuk kayu pada dikeringkan lalu ditimbang.

% � = 100 %

(38)

28

2. Aktivitas enzim

c. Enzim selulase (IUPAC T. K. GHOSE)

CMC dimasukkan ke dalam tabung sebanyak 1 %, enzim dimasukkan sebanyak 1 ml (1 g enzim dalam 100 ml) dan ditambahkan buffer sitrat ph optimum sebanyak 1 ml. Sampel diinkubasi selama 60 menit pada shaker water bath dengan suhu optimum. Sebanyak 3 ml DNS ditambahkan untuk menghentikan aktivitas enzim, kemudian sampel dipanaskan pada air mendidih selama 15 menit, kemudian didinginkan dan ditambahkan aquades sebanyak 5 ml kemudian dikocok menggunakan vortex. Glukosa yang dihasilkan dari aktivitas enzim yang mencerna kertas saring ditentukan dengan metode spektrofotometri. Pengukuran suhu dan pH optimum dilakukan dengan mecari suhu inkubasi yang bervariasi antara 45 hingga 70 ° C pada pH 7.6 dan pH yang bervariasi antara 5.0 hingga 7.0 pada suhu 60 ° C. Pengukuran aktivitas enzim dilakukan dengan cara triplo.

Satu ml sebanding dengan 2 mg glukosa ekuivalen dengan 0.185 unit/ml. Perhitungan untuk mendapatkan aktivitas selulase dibuat berdasarkan 1 μmol glukosa = 0.18 mg dan 1 unit aktivitas FP-ase (filter paper-ase) adalah 1 μmol glukosa yang dihasilkan per menit. Apabila inkubasi dilakukan selama satu jam, maka 1 mg glukosa yang dihasilkan per ml filtrat =

1 U = 1 µmol glukosa per menit

d. Enzim xilanase (IUPAC T.K. GHOSE and V. S. BISARIA)

(39)

29 metode spektrofotometri. Pengukuran suhu dan pH optimum dilakukan dengan mecari Suhu inkubasi yang bervariasi antara 45 hingga 70 ° C pada pH 7.6 dan pH yang bervariasi antara 4.0 hingga 6.0 pada suhu 60 ° C. Pengukuran aktivitas enzim dilakukan dengan cara triplo.

=

=217

60

Au = Aktivitas enzim xilanase

As = Aktivitas standar enzim (217 mU/ml)

ts = Waktu yang dibutuhkan standar enzim menghasilkan jumlah

xilosa yang sama dari enzim yang diuji (Gambar ) tu = Waktu hidrolisis

Du = Faktor pengenceran

(40)

30

Lampiran 3 Hasil Analisis Statistik Hidolisis Selulosa

Tabel Anova hidrolisis selulosa

Sumber Keragaman SS Df MS Fhitung Sig.

Variasi antar kelompok 30370.67 2 15185.33 14.01 0.005 Variasi dalam kelompok 6501.333 6 1083.56

Total 36872 8

h(0) Tidak ada pengaruh nyata h(1) Berpengaruh nyata Signifikansi < 0.05 : h(1) diterima h(0) ditolak

Signifikansi > 0.05 : h(0) diterima h(1) ditolak

Tabel Duncan hidrolisis selulosa

Perlakuan Pengulangan

Nilai P = 0.05

1 2

BH 3 266

BT 3 274.67

BK 3 393.33

Sig. 0.945 1.000

Tabel Anova penurunan selulosa

Sumber Keragaman SS Df MS Fhitung Sig.

Variasi antar kelompok 1.594 2 0.797 19.396 0.002

Variasi dalam kelompok 0.247 6 0.041

Total 1.840 8

h(0) Tidak ada pengaruh nyata h(1) Berpengaruh nyata Signifikansi < 0.05 : h(1) diterima h(0) ditolak

(41)

31 Tabel Duncan penurunan selulosa

Perlakuan Pengulangan

Nilai P = 0.05

1 2

BT 3 5.49

BH 3 5.55

BK 3 6.40

(42)

32

Lampiran 4 Hasil Analisis Statistik Hidrolisis Hemiselulosa

Tabel Anova hidrolisis hemiselulosa

Sumber Keragaman SS Df MS Fhitung Sig.

Variasi antar kelompok 18446.22 2 9223.11 761.54 .000

Variasi dalam kelompok 72.67 6 12.11

Total 18518.89 8

h(0) Tidak ada pengaruh nyata h(1) Berpengaruh nyata Signifikansi < 0.05 : h(1) diterima h(0) ditolak

Signifikansi > 0.05 : h(0) diterima h(1) ditolak

Tabel Duncan hidrolisis hemiselulosa

Perlakuan Pengulangan

Nilai P = 0.05

1 2 3

BT 3 194.00

BH 3 212.67

BK 3 298.00

Sig. 1.000 1.000 1.000

Tabel Anova penurunan hemiselulosa

Sumber Keragaman SS Df MS Fhitung Sig.

Variasi antar kelompok 41.79 2 20.89 92.85 .000

Variasi dalam kelompok 1.35 6 0.23

Total 43.14 8

h(0) Tidak ada pengaruh nyata h(1) Berpengaruh nyata Signifikansi < 0.05 : h(1) diterima h(0) ditolak

(43)

33

Tabel Duncan penurunan hemiselulosa

Perlakuan Pengulangan

Nilai P = 0.05

1 2

BT 3 7.85

BH 3 8.48

BK 3 12.71

(44)

34

Lampiran 5 Hasil Statistik Penentuan Konsentrasi Enzim Xilanase

Tabel Anova penentuan konsentrasi enzim xilanase

Sumber Keragaman SS Df MS Fhitung Sig.

Variasi antar kelompok 6017.19 9 668.58 4056.05 0.000

Variasi dalam kelompok 2.967 20 0.15

Total 6020.16 29

h(0) Tidak ada pengaruh nyata h(1) Berpengaruh nyata Signifikansi < 0.05 : h(1) diterima h(0) ditolak

Signifikansi > 0.05 : h(0) diterima h(1) ditolak Tabel Duncan penurunan hemiselulosa 50 – 500 U

Perlakuan Pengulangan

Nilai P = 0.05

1 2 3 4 5 6 7 8

50 U 3 16.48

100 U 3 21.50

150 U 3 29.33

200 U 3 36.61

250 U 3 41.74

300 U 3 47.08

350 U 3 51.77

400 U 3 53.66

450 U 3 54.05

500 U 3 54.31

Sig. 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.45

(45)

35

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 26 Maret 1991 sebagai putra ke tiga dari pasangan Ir. Yansen Tampubolon dan dr. Duma Sitorus. Pendidikan SD ditempuh pada SDN 47 Kota Jambi, SMPN 7 Kota Jambi, SMAN 1 Kota Jambi dan sarjana ditempuh di program studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Penulis pernah menjadi anggota Himalogin TIN IPB, Panitia pada acara HAGATRI tahun 2011 sebagai anggota tim Dana dan Usaha.

Gambar

Gambar 1 Tahapan Penelitian
Gambar 2 Proses enzim selulase mengubah selulosa menjadi glukosa (Held 2012)
Tabel 4 Aktivitas Enzim Xilanase
Gambar 6 Penurunan selulosa
+7

Referensi

Dokumen terkait

icel (taraf 0,5%, 1,5% dan 2%) dan volume enzim se an menunjukkan konsentrasi substrat avicel dan vo n degradasi selulosaoleh enzim selulase dari isolat kap egradasi selulosa

menghasilkan enzim selulase dengan mendegradasi dinding sel tumbuhan yang dominan mengandung selulosa (Kaga dkk., 2009). Peneliti sebelumnya telah melakukan isolasi dari

Gambar 4.9 Kurva pengaruh konsentrasi substrat CMC terhadap enzim selulase Berdasarkan data yang telah dihasilkan konsentrasi substrat optimum dari ekstrak kasar enzim selulase

(2005) dan Sutrisno (2017), penggunaan enzim pektinase dan enzim selulase secara sinergis sangat efektif dalam menghancurkan jaringan dinding sel sehingga secara

Begitu juga sebaliknya semakin sedikit waktu yang diberikan untuk melangsungkan proses hidrolisis makan semakin sedikit pula enzim selulase bekerja untuk menghidrolisis selulosa

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hidrolisis selulosa dari sabut kelapa menggunakan campuran enzim selulase dari A.niger dan T.reesei 1:2 pada pH 5 dengan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan variasi konsentrasi enzim poligalakturonase Bacillus licheniformis GD2A AR2 dan selulase Bacillus

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hidrolisis selulosa dari limbah ampas pati aren menggunakan campuran 1:2 enzim selulase dari A.niger dan Trichoderma sp