• Tidak ada hasil yang ditemukan

Valuasi Ekonomi Dampak Budidaya Ikan di Tambak dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Valuasi Ekonomi Dampak Budidaya Ikan di Tambak dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

KARAWANG

CHARISTA LOVAPINKA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Valuasi Ekonomi Dampak Budidaya Ikan Tambak Dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove Di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

(4)

ABSTRAK

CHARISTA LOVAPINKA, Valuasi Ekonomi Dampak Budidaya Ikan Di Tambak Dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove Di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan RIZAL BAHTIAR.

Keuntungan produksi pada budidaya tambak udang windu (Penaeus monodon) dan ikan bandeng (Chanos chanos) di Kabupaten Karawang memacu perluasan usaha tersebut dengan mengalihfungsikan hutan mangrove menjadi lahan tambak secara berlebihan. Hal tersebut memberikan dampak negatif terhadap pendapatan masyarakat dan lingkungan sekitar karena hutan mangrove memiliki peran strategis bagi kehidupan. Peran hutan mangrove bagi kehidupan diantaranya adalah sumber pemenuhan kebutuhan manusia, tempat perlindungan, pemijahan dan sumber makanan bagi biota perairan, serta pelindung dari abrasi pantai. Penelitian bertujuan mengidentifikasi manfaat nilai guna langsung mangrove dan kerugian ekonomi, menganalisis manfaat secara finansial, mengidentifikasi keberlanjutan tambak, dan mengidentifikasi implikasi kebijakan dari dampak budidaya udang windu dan ikan bandeng dengan alih fungsi lahan mangrove telah dilakukan di wilayah Karawang. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Tambaksumur merupakan lokasi yang memiliki hutan mangrove yang dikonversi menjadi lahan tambak. Parameter diamati adalah kelayakan konversi hutan mangrove menjadi tambak diantaranya adalah replacement cost, dan valuasi ekonomi. Data yang dikumpulkan dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa hutan mangrove sangat berpengaruh bagi pendapatan masyarakat dan lingkungan. Konversi hutan mangrove menjadi tambak tersebut masih layak secara financial dengan R/C 1,12.

Kata kunci: Budidaya Tambak Udang windu dan Ikan bandeng, Biaya pengganti, Konversi Hutan Mangrove, Valuasi Ekonomi.

ABSTRACT

CHARISTA LOVAPINKA, Valuasi Ekonomi Dampak Budidaya Ikan Di Tambak Dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove Di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan RIZAL BAHTIAR.

(5)

this village ponds. Parameter observed were the feasibility of mangrove forest convertion into brackishwater black tiger shrimp and milkfish ponds such as replacement cost and economic valuation. Data were analyzed descriptively. The result of this study revealed that mangrove forest had important role for communities income and the environment. Conversion of mangrove forests into brackishwater black tiger shrimp and milkfish ponds financially was still feasible indicated by R/C of 1,12.

(6)
(7)

KARAWANG

CHARISTA LOVAPINKA H44090052

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Nama : Charista Lovapinka NIM : H44090052

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Pembimbing I

Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Valuasi Ekonomi Dampak

Budidaya Ikan di Tambak dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove di Desa

Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang”. Penulis menyadari bahwa

dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan banyak pihak. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Kedua orang tua tercinta yaitu Taufik Zulfikar S.E, M.M dan Isye Marda Samallo S.T, serta adik tersayang yaitu Raezky Ladipta yang selalu memberikan doa, dukungan, kasih sayang, dan perhatian.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc selaku dosen pembimbing

pertama yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Rizal Bahtiar, SPi, M.Si selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian, serta kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T dan Ibu Hastuti SP, M.P, M.Si selaku dosen penguji atas saran dan masukannya dalam penulisan skripsi ini. 5. Terima kasih kepada Balai Besar Riset Penelitian Sosial Ekonomi yang

telah memberikan kesempatan bergabung dalam penelitian di Karawang. 6. Terima kasih kepada teman-teman ESL 46 yang selalu memberikan

semangat dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini khususnya Febriana, Resty, Sandra, Citra, Charra, Icha, Yuki, Dyah, Adinna, Reyna, Intan, Eyi,Yulis, Irfan, dan Tita.

(11)

skripsi ini

Bogor, Februari 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

2.2 Budidaya Polikultur Udang Windu dan Ikan Bandeng ... 14

2.2.1. Pengelolaan Tambak ... 15

2.2.2. Teknologi Budidaya Tambak ... 16

2.3 Dampak Pengelolaan Kawasan Tambak ... 18

2.4 Analisis Ekonomi ... 18

2.5 Pengaruh Tambak Akuakultur Terhadap Mangrove ... 20

2.6 Penilaian Jasa Lingkungan ... 21

2.7 Valuasi Ekonomi ... 22

2.8 Studi Kasus Penggunaan Lahan Mangrove Thailand ... 23

2.9 Studi Terdahulu ... 24

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 26

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 26

3.1.1 Pendekatan Biaya Pengganti (Replacement Cost) ... 26

3.1.2 Pendekatan Benefit Transfer ... 26

3.1.3 Analisis Biaya dan Manfaat ... 26

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 29

IV METODE PENELITIAN... 30

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 30

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 30

4.3 Metode Penentuan Jumlah Responden ... 30

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 31

4.4.1 Identifikasi Manfaat Nilai Guna Langsung dan Kerugian Ekonomi ... 32

4.4.1.1 Nilai Ekonomi Total ... 32

4.4.1.2 Manfaat Langsung Ekosistem Mangrove ... 33

4.4.1.3 Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove ... 33

4.4.1.4 Manfaat Pilihan Ekosistem Mangrove ... 34

4.4.2 Analisis Biaya dan Manfaat ... 35

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 36

(14)

xii

5.2 Budidaya Perikanan Tambak ... 43

5.3 Karakteristik Petani Tambak ... 45

5.3.1 Umur Petani Tambak ... 45

5.3.2 Tingkat Pendidikan Petani Tambak ... 45

5.3.3 Pengalaman Usaha Petani Tambak ... 46

5.3.4 Status Kepemilikan Lahan Tambak ... 47

5.3.5 Luas Lahan Tambak ... 47

VI HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

6.1 Identifikasi Manfaat Nilai Guna Langsung dan Kerugian Ekonomi ... 49

6.1.1 Nilai Manfaat Langsung ... 49

6.1.2 Nilai Manfaat Tidak Langsung ... 52

6.1.3 Nilai Manfaat Pilihan ... 54

6.2 Analisis Pendapatan Ikan Tambak Budidaya Udang Windu dan Ikan Bandeng dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove ... 56

6.3 Analisis Keberlanjutan Tambak dari Budidaya Udang Windu dan Ikan Bandeng dengan Alih Fungsi Lahan Mangrove ... 58

6.4 Alternatif Kebijakan ... 59

VII SIMPULAN DAN SARAN ... 62

7.1 Simpulan ... 63

7.2 Saran... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 65

LAMPIRAN ... 67

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Jumlah produksi perikanan budidaya tambak menurut jenis

ikan dan provinsi di Jawa Barat, 2010-2011 ... 3

2 Nilai produksi perikanan budidaya tambak menurut jenis ikan dan provinsi di Jawa Barat, 2010-2011 ... 4

3 Potensi dan kondisi hutan mangrove tahun 2001 ... 8

4 Studi terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ... 24

5 Metode analisis dan sumber data ... 31

6 Nilai manfaat ekosistem mangrove ... 34

7 Jumlah penduduk Kecamatan Tirtajaya Tahun 2011 ... 38

8 Jumlah penduduk berdasarkan usia tahun 2011 ... 39

9 Jumlah penduduk di atas 15 tahun menurut kegiatan utama pada tahun 2011 ... 40

10 Jumlah penduduk di atas 15 tahun berdasarkan lapangan usaha tahun 2011 ... 41

11 Jumlah sekolah berdasarkan jenjang dan jenis pendidikan tahun 2011 ... 42

12 Analisis nilai manfaat pengambilan kayu bakar di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 ... 49

13 Analisis nilai manfaat pengambilan kepiting di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 ... 50

14 Analisis nilai manfaat penangkapan udang di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 ... 50

15 Analisis nilai manfaat penangkapan ikan di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 ... 51

16 Nilai Manfaat Langsung Ekosistem Mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 ... 52

17 Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 ... 53

18 Nilai GDP USA dan GDP Indonesia tahun 2012 ... 54

19 Nilai Manfaat Pilihan Ekosistem Mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 ... 55

(16)

21 Jumlah seluruh nilai penerimaan tambak di Desa

Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 dengan

luas 196,2 Ha ... 56 22 Nilai compounding dengan perbandingan suku bunga 3

persen dan 5 persen dari tahun 2001 sampai tahun 2013 ... 57 23 Analisis pendapatan ikan tambak budidaya udang windu

dan bandeng per hektar per tahun ... 59

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Udang Windu (Panaeus monodon, Fabricicus) ... 12 2 Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsk) ... 14 3 Alur kerangka pemikiran operasional ... 29 4 Persentase jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin

tahun 2011 ... 39 5 Persentase jumlah petambak berdasarkan umur ... 45 6 Persentase jumlah petambak berdasarkan tingkat

pendidikan ... 46 7 Persentase jumlah petambak berdasarkan lama usaha ... 46 8 Persentase jumlah petambak berdasarkan status

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 2008, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut seluas 5,8 juta Km2 yang terdiri dari laut teritorial dengan luas 0,8 juta Km2, laut nusantara 2,3 juta Km2 dan zona ekonomi eksklusif 2,7 juta Km2. Di samping itu Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 Km2 (Dewan Kelautan Indonesia, 2008).

Menurut Merriam-Webster Dictionary dalam Fauzi (2010), perikanan sebagai kegiatan, industri, atau musim pemanenan ikan atau hewan laut lainnya. Sementara perikanan berdasarkan Hempel dan Pauly (2004) dalam Fauzi (2010) menyatakan bahwa perikanan sebagai kegiatan eksploitasi sumber daya hayati dari laut. Perikanan didefinisikan sebagai aktivitas menangkap ikan (termasuk hewan inverterbrata lainnnya seperti finfish atau ikan bersirip) namun juga termasuk kegiatan mengumpulkan kerang-kerangan, rumput laut dan sumber daya hayati lainnya dalam suatu wilayah geografis tertentu. Oleh karena itu definisi

perikanan laut dibatasi yang semula memang dari kegiatan hunting (berburu) dengan kegiatan farming seperti budidaya (Fauzi, 2010).

Perikanan budidaya merupakan salah satu sektor unggulan pembangunan nasional yang dapat meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing, serta skala produksi sumber daya kelautan dan perikanan. Berdasarkan data di Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012), potensi perikanan budidaya di Indonesia masih yang terbesar di Asia Tenggara dengan luas lahan mencapai lebih dari 15,59 juta Ha, terdiri dari potensi budidaya air tawar seluas 2,23 juta Ha, budidaya air payau 1,22 juta Ha dan potensi budidaya laut mencapai 12,14 juta Ha.

(18)

2

menjadi sekitar 6,97 juta ton pada tahun 2011 dan mampu berkontribusi sebesar 56,33 persen dari total produksi perikanan nasional, dengan laju pertumbuhan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perikanan tangkap, yakni sebesar 21,83 persen (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012).

Sumber daya perikanan laut di Indonesia merupakan potensi yang besar baik penangkapan, maupun budidaya. Budidaya perairan atau akuakultur menjadi tulang punggung produksi perikanan nasional di masa depan, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, maupun untuk ekspor. Hal ini terjadi karena kegiatan perikanan tangkap yang dieksploitasi secara terus menerus mengakibatkan jumlah stok pada ikan di laut menurun. Untuk itu perikanan budidaya menjadi kegiatan yang potensial dikembangkan ditambah dengan jumlah penduduk di Indonesia yang besar merupakan potensi pasar bagi produksi

budidaya perairan.

Salah satu ikan yang memiliki potensi untuk dipelihara dalam budidaya tambak adalah ikan bandeng (Chanos chanos). Ikan bandeng sangat potensial dan cepat pertumbuhannya dan lebih baik lagi bila dipelihara bersama udang karena kelincahannya dapat berfungsi sebagai aerator. Dalam pembudidayaannya, ikan bandeng dapat hidup di air dengan kadar keasinan tinggi maupun rendah, bahkan dapat hidup di kolam air tawar (Murtidjo, 1989). Bandeng merupakan salah satu jenis ikan laut konsumsi yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Indonesia. Berkembangnya teknologi budidaya bandeng di masyarakat, tidak terlepas dari keunggulan komparatif dan strategisnya karena dapat dibudidayakan di air payau, laut, air tawar, toleran terhadap perubahan mutu lingkungan, teknologi pembesaran dan pembenihannya telah dikuasai masyarakat, serta tahan terhadap serangan penyakit. Selain itu, bandeng digunakan sebagai umpan hidup dalam penangkapan tuna dan cakalang, dan telah pula menjadi komoditas ekspor (Kordi, 2009).

Di Indonesia, prospek untuk budidaya udang di tambak bersalinitas rendah maupun sawah tambak sangat menjanjikan. Hal tersebut dapat dilihat di beberapa daerah yang tambaknya berjarak 2-3 Km dari pantai dan bersalinitas rendah, bahkan salinitas 0 ppt (tawar) sangat banyak. Usaha budidaya tambak udang ini

(19)

salinitas rendah seperti, areal persawahan yang kurang produktif untuk menanam padi akibat adanya intrusi air laut yang masuk, lahan yang terletak pada posisi yang rendah dari permukaan laut, lahan tadah hujan atau lahan yang hanya menggantungkan dari sistem pengairan alam (non teknis), dan lahan yang dilengkapi dengan pengairan sistem irigasi teknis (Wedjatmiko, 2010).

Dari data tabel 1 di bawah, dapat dilihat bahwa jumlah produksi udang windu dan ikan bandeng mengalami peningkatan yang signifikan. Produksi udang windu pada tahun 2010-2011 meningkat dari 19.371 ton menjadi 25.935 ton dan produksi ikan bandeng juga mengalami peningkatan dari 66.146 ton menjadi 76.545 ton. Hal tersebut disebabkan oleh permintaan produksi terhadap udang windu dan ikan bandeng yang sangat besar. Permintaan terhadap berbagai produk perikanan akan terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk dan

meningkatnya taraf pendapatan masyarakat, serta merebaknya berbagai penyakit pada ternak.

Sumber: Data Pusat Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012

(20)

4

negara lain. Ekspor udang dan ikan merupakan salah satu andalan sektor perikanan karena memberikan kontribusi yang besar terhadap perolehan devisa negara. Ekspor udang Indonesia ke negara-negara tujuan terutama ditujukan ke negara Jepang, Amerika Serikat, Eropa, dan Singapura. Hal ini disebabkan karena ikan dan produk-produk perikanan mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi, seimbang dan dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kesehatan.

Di bawah ini adalah tabel nilai produksi perikanan budidaya tambak menurut jenis ikan di provinsi Jawa Barat tahun 2010-2011.

Tabel 2 Nilai produksi perikanan budidaya tambak menurut jenis ikan dan

Binatang Berkulit Keras Udang windu 836.485.900 1.218.938.890

Udang Vanamei 797.140.158 1.529.987.500

Udang putih 85.859.650 -

Udang lainnya 160.161.210 -

Udang Rostris - -

Rajungan - -

Kepiting 535.506 -

Rumput Laut 43.179.979 21.955.320

Lainnya 152.439.113 11.403.708

Sumber: Data Pusat Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012

(21)

menjadi pengekspor terbesar setelah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Salah satu komoditas yang menjadi andalah untuk diekspor ke berbagai negara adalah udang windu. Pengembangan budidaya udang windu mampu menghasilkan produk berdaya saing tinggi dan menguntungkan. Berdasarkan Data Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012), permintaan ekspor pada komoditi udang mengalami peningkatan dari tahun 2010 ke tahun 2011. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel jumlah produksi udang windu di bawah ini yang meningkat dari tahun 2010 sebesar 19.371 ton menjadi 25.935 ton pada tahun 2011.

Dalam Peraturan Menteri No. PER.1/Menteri/2005, kebijakan pokok Departemen Kelautan dan Perikanan meliputi: 1) Pengendalian terhadap ikan; 2) Pengembangan budidaya ikan; 3) Peningkatan penerimaan devisa Negara; 4) Peningkatan mutu dan pengembangan produk bernilai tambah; dan 5)

Peningkatan konsumsi ikan nasional. Perikanan budidaya memiliki potensi lahan yang sangat luas, produktivitasnya yang dapat dimaksimalkan, dan dukungan dari tenaga kerja yang berlimpah untuk melaksanakan kebijakan agar dapat memanfaatkan potensi semaksimal mungkin. Untuk meningkatkan perekonomian nasional diperlukan kebijakan yang dapat meningkatan produktivitas dari perikanan.

Kebijakan alternatif pengembangan di sektor perikanan budidaya menurut Purnomo (2007), yaitu 1) Optimalisasi areal potensi budidaya 1.2 juta Ha dan pemanfaatan areal baru sebesar 42.000 Ha/Tahun; 2) Penyertaan 210.000 tenaga kerja orang/tahun dan modal usaha; 3) Pengembangan produk, nilai tambah, diversifikasi dan penetrasi pasar ekspor, serta pengembangan pasar domestik; 4) Pengembangan prasarana budidaya terpadu; 5) Optimalisasi peran swasta dalam penyediaan benih, pakan, dan obat. Kebijakan tersebut dapat membangun kembali kegiatan budidaya udang di 140.000 Ha lahan sehingga dapat meningkatkan produksi dan ekspor udang dan ikan, serta hal tersebut meningkatkan penerimaan secara langsung.

Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang

(22)

6

mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Udang windu merupakan komoditas unggulan yang dapat meningkatkan devisa ekspor negara. Namun, produksi komoditas udang windu mengalami penurunan secara signifikan setiap tahunnya. Penurunan tersebut disebabkan adanya eksploitasi penangkapan sumber daya perikanan di alam yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan pada komoditas perikanan. Dengan demikian, dikembangkannya budidaya udang windu dan ikan bandeng agar dapat mempertahankan produksi bahkan dapat meningkatkan produksinya.

Budidaya udang windu telah banyak dilakukan di berbagai negara yang memiliki perairan laut, sehingga produksinya dari tahun ke tahun terus meningkat sesuai dengan meningkatnya ilmu budidaya udang ini. Di Indonesia budidaya udang ini juga berkembang sangat pesat dari cara yang masih tradisional

(ekstensif), sampai ke cara-cara yang lebih modern (intensif) dan hasilnya terus meningkat sesuai dengan meningkatnya lahan budidaya (Darmono, 1993). Karena komoditas udang windu yang berukuran besar hanya tersedia pada negara-negara tertentu saja, maka diperlukan pembudidayaan udang windu secara efisien pada negara tersebut. Dengan kata lain, pesaing negara produsen juga terbatas dan negara tersebut dapat memonopoli perdagangan udang berukuran besar. Oleh sebab itu, spesies udang windu merupakan keunggulan komparatif dalam perdagangan udang dunia bagi Indonesia.

Oleh karena itu selain udang windu, budidaya pada ikan bandeng juga dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar. Ikan bandeng (Chanos chanos Forsk) adalah ikan pangan popular di Asia Tenggara sebagai komoditas ekspor. Bandeng hidup di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan cenderung berkawanan di sekitar pesisir dan pulau-pulai dengan terumbu koral. Pertumbuhan ikan bandeng relatif cepat yaitu 1,1-1,7 persen bobot badan per hari dan ikan bandeng bisa mencapai berat rata-rata 0,60 kg pada usia 5-6 bulan jika dipelihara dalam tambak (Murtidjo, 2002).

Sesuai dengan program Intensifikasi Tambak di Indonesia, budidaya pertambakan yang diharapkan adalah budidaya yang berwawasan lingkungan. Nilai ekonomis hutan bakau bagi kehidupan satwa air sangat esensial karena

(23)

aman bagi ikan, udang, dan satwa air lain. Dari hasil penelitian pakar perikanan Amerika Serikat, yang meneliti hutan bakau di pantai Florida, terbukti bahwa 90 persen dari kotoran yang ada di air berasar dari hutan bakau, begitu pula 35-60 persen dari seluruh unsur hara yang larut di perairan dekat pantai. Unsur hara tersebut sangat menentukan besar-kecilnya produksi perikanan di perairan yang dikelilingi hutan bakau. Hal ini menunjukan adanya korelasi linier positif antara luas hutan bakau dan porduksi perikanannya. Semakin luas hutan bakau, semakin tinggi potensi dalam produksi ikan (Murtidjo, 1989).

1.2. Perumusan Masalah

Kabupaten Karawang merupakan salah satu wilayah budidaya tambak polikultur udang windu dan ikan bandeng yang berada di Provinsi Jawa Barat. Lokasi budidaya tambak ini secara geografis terletak di 107‟02‟ –107‟40‟ BT dan antara 5‟56‟ – 6‟34‟ LS memiliki luas wilayah 1.753,27 km2

. Daerah ini berbatasan langsung dengan laut jawa di sebelah utara, Kabupaten Subang di bagian timur, Kabupaten Purwakarta pada bagian tenggara, Kabupaten Bogor dan Cianjur di sebelah selatan, serta Kabupaten Bekasi di sebelah barat.

Wilayah Karawang sendiri memiliki potensi sumberdaya perikanan,

kelautan, dan peternakan yang cukup besar. Salah satu potensi yang menjadi unggulan pada wilayah ini adalah perikanan budidaya tambak udang windu yang dikembangkan. Udang windu dikembangkan pada wilayah-wilayah pantai

menjadi usaha pertambakan di Indonesia dengan luas 188.257 Ha dimana sekitar 43.270 Ha (15 persen) terletak di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Karawang memiiki potensial tambak sekitar 18.273,40 Ha dan baru dimanfaatkan sekitar 13.404,99 Ha. Produksi ikan tambak pada tahun 2007 sebesar 32.952,40 ton dengan nilai penjualan sebesar Rp 312.537.600.000. Untuk tambak udang windu memiliki produksi sebesar 1.430,70 ton dengan harga Rp 50.000 per Kg dan memiliki nilai penjualan sebesar Rp 71.535.000. (Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi Kabupaten Karawang, 2008)

(24)

8

Sebagian besar perikanan tambak berlokasi di daerah pesisir pantai karena itu perikanan tambak ini menggunakan media air payau. Jenis ikan yang dibudidayakan yaitu antara lain bandeng, mujair, blanak, udang windu, udang api-api, udang putih, nila gift, kakap putih dan lain-lain. Sebagian besar areal tambak ini adalah konversi dari hutan mangrove. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan jumlah penduduk di pesisir pantai dan mendorong untuk mengeksploitasi pemanfataan sumberdaya sehingga jumlah hutan mangrove menjadi semakin sedikit dan melakukan perubahan alih fungsi lahan mangrove menjadi kawasan tambak budidaya.

Tabel 3 Potensi dan kondisi hutan mangrove tahun 2011

Kecamatan Luas (Ha) Kondisi (Ha)

Rusak Sedang Baik

Pakisjaya 1.035,98 536,63 384,72 114,63

Pedes 520,00 - 520,00 -

Tempuran 512,00 - 512,00 -

Tirtajaya 3.381,68 3.156,69 243,43 11,56

JUMLAH 9.983,93 5.400,31 3.953,96 629,66

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Karawang Tahun 2011

Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Kabupaten Karawang merupakan salah satu kawasan yang memiliki potensi koloni hutan mangrove terbesar di antara kecamatan lainnya. Kecamatan Tirtajaya memiliki berbagai macam jenis tanaman mangrove. Jenis-jenis mangrove yang ada pada daerah ini adalah Rhizopora Apicullata, Rhizopra Mucronata, Avicennia Marina, dan Sonneratia Alba. Namun, seiring berjalannya perubahan lahan mangrove menjadi lahan tambak, potensi dan kondisi hutan mangrove semakin mengkhawatirkan. Berdasakan data potensi dan kondisi hutan mangrove di atas, hutan mangrove pada Kecamatan Tirtajaya pada tahun 2011 memiliki potensi terbesar seluas

3.411,68 Ha dengan kondisi hutan mangrove yang rusak 3.156,69 Ha, hutan mangrove yang sedang 243,34 Ha dan hutan mangrove yang masih tergolong baik

(25)

Menurut hasil data olahan digitasi citra ikonos tahun 2013, kondisi hutan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya untuk tahun 2013 semakin berkurang, yaitu menjadi 49,05 Ha. Hal ini sangat memprihatinkan karena banyak petani tambak yang melakukan konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak untuk keuntungan pribadi tanpa memikirkan bahwa hutan mangrove memiliki peran yang sangat penting bagi pelestarian lingkungan dan perekonomian penduduk.

Dalam pembudidayaan tambak juga perlu diperhatikan pengelolaan lingkungan agar tidak dapat merusak lingkungan hidup yang ada sehingga tidak mengakibatkan kerugian bagi lingkungan dan masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, kerugian

akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dan ganti kerugian tersebut adalah biaya yang harus ditanggung oleh penanggung jawab kegiatan dan/atau usaha akibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini difokuskan untuk menjawab tiga masalah berikut:

1. Apa saja manfaat nilai guna langsung mangrove dan kerugian ekonomi dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang?

2. Berapa nilai manfaat secara finansial dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang?

3. Bagaimana keberlanjutan tambak dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang?

(26)

10

1.3. Tujuan

Penelitian ini secara umum untuk menganalisis secara valuasi ekonomi dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove. Berdasarkan perumusahan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi manfaat nilai guna langsung mangrove dan menganalisis kerugian ekonomi dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang. 2. Menganalisis secara finansial manfaat dari dampak budidaya ikan di tambak

dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang.

3. Mengidentifikasi keberlanjutan tambak dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang.

4. Mengidentifikasi alternatif kebijakan dari dampak budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup berharga dan bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya sebagai berikut:

1. Bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat berguna di dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

2. Bagi pemerintah dapat menjadikan masukan dalam pengelolaan ekosistem

mangrove dan budidaya tambak udang windu dan ikan bandeng bersama dengan masyarakat.

3. Bagi akademisi diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dalam penelitian selanjutnya.

(27)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Mengingat begitu luasnya ruang lingkup penelitan ini, maka penulis membatasi permasalahan tersebut pada:

1. Banyaknya masyarakat di wilayah Karawang yang melakukan budidaya perikanan tambak udang windu dan ikan bandeng, maka penulis dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada masyarakat Desa Tambaksumur Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karawang.

2. Sampel penelitian yang digunakan adalah rumah tangga perikanan yang tinggal di wilayah penelitian ini.

3. Responden penelitian adalah petani tambak budidaya udang windu dan ikan bandeng.

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Udang Windu dan Ikan Bandeng

Udang windu (Penaeus monodon, Fabricius.) merupakan udang komoditas asli daerah tropis yang telah berkembang sejak awal 1980-an, menjadi primadona komoditas perikanan di Indonesia dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional (Rozi, 2008). Dalam dunia internasional, udang windu lebih dikenal dengan nama black tiger, tiger shrimp, atau tiger prawn. Adapun udang windu diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phyllum : Arthropoda Class : Malacostraca Ordo : Decapoda Family : Panaeidae Genus : Panaeus

Species : Panaeus monodon Fabricus

Gambar 1. Udang Windu (Panaeus monodon, Fabricicus)1

Udang windu biasa disebut dengan black tiger shrimp, yaitu spesies udang laut yang dapat mencapai ukuran besar. Di alam bebas dapat mencapai ukuran 35 cm dan berat sekitar 260 gr, sedangkan yang dipelihara di tambak, memiliki panjang tubuhnya hanya mencapai 20 cm dan berat sekitar 140 gr. Spesies udang ini secara zoogeografik hanya tersebar di beberapa kawasan Asia Pasifik seperti,

(29)

Taiwan, Indonesia, Philipina, Thailand, dan Vietnam. Sedangkan perairan di Negara-negara produsen udang yang lain seperti Jepang, negara-negara Amerika Latin dan Cina hanya dihuni oleh udang dengan spesies yang berukuran lebih kecil (Kordi K, 2011).

Udang windu (Panaeus monodon Fab.) memiliki sifat-sifat dan ciri khas yang membedakannya dengan udang-udang yang lain. Udang windu bersifat

Euryhaline, yakni secara alami bisa hidup di perairan yang berkadar garam dengan rentang yang luas, yakni 5-45 ‰. Kadar garam ideal untuk pertumbuhan udang windu adalah 19-35‰. Sifat lain yang juga menguntungkan adalah ketahanannya terhadap perubahan suhu yang dikenal sebagai eurythemal (Suyanto dan Mujiman, 2005).

Selain diatas, udang windu memiliki ciri-ciri berwarna cerah

kekuning-kuningan dengan sabuk-sabuk melintang di badan. Pada badannya terdapat titik-titik hijau. Kulitnya keras, cucuk kepala (rostrum) tumbuh kuat sekali, ujungnya lengkung ke atas berbentuk S. gigi bagian atas 7 buah, sedangkan bagian bawah 3 buah. Termasuk udang penaeid yang dapat mencapai ukuran besar, panjang dapat mencapai 34 cm dan berat 270 gram (Suyanto dan Mujiman, 2005). Udang windu biasannya dapat ditemui pada daerah pantai, tempat sungai-sungai bermuara, dan teluk-teluk, serta menjadi udang budidaya tambak.

Ikan bandeng adalah ikan laut yang tersebar luas mulai dari pantai Afrika sampai Kepulauan Tuamoti, sebelah timur Tahiti (Murtidjo, 1989). Selain memiliki rasa daging yang enak, ikan bandeng juga bisa didapatkan dengan harga yang terjangkau. Keunggulan komoditas ini adalah induknya memiliki fekunditas yang tinggi dan teknik pembenihannya telah dikuasai sehingga pasok nener tidak tergantung dari alam, teknologi budidayanya relatif mudah, bersifat eurihalin antara 0-50 ppt, bersifat herbivora tetapi dapat juga menjadi omnivora dan tanggap terhadap pakan buatan, pakan relatif murah dan tersedia secara komersial, tidak bersifat kanibal sehingga bisa hidup dalam kepadatan tinggi, dapat digunakan sebagai umpan bagi industri perikanan tuna dan cakalang, serta dapat dibudidayakan secara polikultur dengan komoditas lainnya (Sudrajat, 2008).

(30)

14

Kingdom : Animalia Phyllum : Chordata Class : Pisces

Ordo : Malacopterygii Family : Chanidae Genus : Chanos

Species : Chanos chanos Forsk

Gambar 2. Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsk)2

Ikan bandeng memiliki ciri-ciri morfologi badan memanjang, agak pipih, tanpa skut pada bagian perutnya, mata diseliputi lender mempunyai sisik besar pada sirip dada dan sirip perut, sirip ekor panjang dan bercagak, sisik kecil dengan tipe cycloid, tidak bergigi, sirip dubur jauh di belakang sirip punggung (Sanin, 1984). Menurut Kordi dan Ghufron (2011), ikan bandeng (Chanos chanos Forsk) dapat tumbuh hingga mencapai 1,8 m, anak ikan bandeng (Chanos chanos Forsk) yang biasa disebut nener yang biasa ditangkap di pantai panjangnya sekitar 1-3 cm, sedangkan gelondongan berukuran 5-8 cm.

Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan budidaya air payau yang sangat potensial untuk dikembangkan. Jenis ikan ini mampu mentolerir salinitas

(31)

perairan yang luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan euryhaline. Ikan bandeng juga mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH, dan kekeruhan air, serta terhadap penyakit (Kordi dan Ghufron, 2011).

2.2. Budidaya Polikultur Udang Windu dan Ikan Bandeng

Budidaya udang di tambak (budidaya air payau) adalah kegiatan usaha pemeliharaan atau pembesaran udang menggunakan campuran antara air laut dan air kolam mulai dari ukuran benih (benur) sampai menjadi ukuran yang layak dikonsumsi (Suyanto dan Mujiman, 2005).

Dahuri (2002) kegiatan budidaya perikanan diharapkan memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, penyediaan bahan baku industri mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa negara. Namun demikian, pada saat yang sama kegiatan budidaya perikanan harus tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingungan dalam rangka mewujudkan kawasan budidaya yang berkelanjutan, berdaya saing dan berkeadilan.

Budidaya udang windu di Indonesia mulai berkembang sejak tahun

1980-an. Indonesia merupakan salah satu produsen utama udang windu dunia yang pada tahun 2009 memproduksi sekitar 120 ribu ton. Tahun 1994, Indonesia sudah berhasil memproduksi udang windu dari kegiatan budidaya sebanyak 250 ribu ton

(Kordi dan Ghufron, 2011).

(32)

16

2.2.1. Pengelolaan Tambak

Pengelolaan tambak ikan harus dilaksanakan secara simultan dan berurutan mulai dari persiapan tambak sampai kegiatan panen. Kegiatan pokok dalam pengelolaan tambak ikan adalah sebagai berikut (Suyanto dan Mujiman, 2005):

1. Mempersiapkan petak tambak. Kegiatan ini meliputi perbaikan saluran pintu air, pemasangan saringan, meratakan dasar petakan tambak dan memperbaiki tanggul, memberantas hama dengan cara pemberian kapur pada dasar tambak, pemupukan (hanya untuk tambak semi-insentif), dan pengisian air ke dalam tambak.

2. Aklimatisasi dan penebaran benur. Aklimatisasi artinya penyesuaiain terhadap keadaan lingkungan yang berbeda. Kegiatan ini berguna untuk

mencegah terjadinya shock pada suatu organisme apabila organisme itu dipindahkan dari satu lingkungan ke dalam lingkungan lain yang berbeda sifatnya. Penebaran benur sangat baik apabila dilakukan pada pagi hari atau sore hari ketika udara tidak terlalu panas.

3. Pemberian pakan dan pengaturannya. Pada tambak semi-insentif, benur dapat memperoleh pakan alami selama satu bulan sampai dua bulan, tergantung pada kesuburan tambak dan keberhasilan teknik pemupukan.

4. Pemasangan kincir. Kincir biasanya dipasang setelah masa pemeliharaan 1,5-2 bulan karena pada masa itu udang sudah cukup kuat terhadap pengadukan air. Pemasangan kincir pada tambak berguna untuk menambah daya kelarutan oksigen dalam air.

5. Mengadakan pemantauan terhadap pertumbuhan, derajat kehidupan udang, kualtas air, adanya hama yang mungkin masuk, dan pergantian air sehari-hari. 6. Panen dan memasarkannya. Kegiatan panen biasanya dilakukan setelah masa

pemeliharaan selama 4-5 bulan.

2.2.2. Teknologi Budidaya Tambak

(33)

teknologi madya atau budidaya semi-intensif, dan teknologi maju atau budidaya intensif.

1. Teknologi Sederhana atau Budidaya Ekstensif (Tradisional)

Budidaya ikan dengan sistem ini pada mulanya hanya mengandalkan faktor alam sehingga produksinya relatif rendah. Namun, seiring dengan berkembangnya budidaya di areal tambak, produksinya bisa ditingkatkan. Peningkatan produksi ini bisa dilakukan dengan menambah perlakuan tertentu, seperti penebaran benih (tidak mengandalkan sepenuhnya dari alam), pengapuran, pemupukan, pemberian pakan tambahan, dan pengaturan air dengan bantuan pompa. Jumlah benur yang ditebar pada budidaya teknologi sederhana atau budidaya ekstensif yaitu di bawah 60.000 ekor per Ha per musim. Makanan yang diberikan berasal dari pakan alami yang tumbuh dari hasil pemupukan. Selain itu

udang windu juga mendapat pakan tambahan seadanya. Pemanenan dilakukan setelah 4 sampai 5 bulan pemeliharaan.

2. Teknologi Madya atau Budidaya Semi-intensif

Budidaya ikan dengan teknologi madya biasa juga disebut dengan budidaya semi-intensif. Jumlah benur yang ditebar di tambak semi-intensif sebanyak 60.000 sampai 150.000 ekor per Ha per musim. Di samping pemberian pakan tambahan, budidaya udang windu semi-intensif masih melakukan pemupukan dasar. Penggantian air yang teratur dengan volume yang cukup tinggi sangat diperlukan. Dalam satu tahun dapat dilakukan dua kali penanaman dengan hasil antara 1200 kg per Ha per musim sampai dengan 3000 kg per Ha per musim. 3. Teknologi Maju atau Budidaya Intensif

(34)

18

musim sampai dengan 300.000 ekor per Ha per musim atau lebih. Masa pemeliharaan benur selama 4 bulan dari 200.000 ekor benur menghasilkan produksi sekitar 4.000 kg per Ha per musim.

2.3. Dampak Pengelolaan Kawasan Tambak

Program intensifikasi budidaya tambak telah berhasil meningkatkan produktivitas sejak pemerintah melaksanakan program budidaya tambak pada tahun 1984-an. Meningkatnya produksi dan penerimaan bersih juga meningkatkan permintaan tambak yang berlokasi pada areal produktif sehingga harga pada tambak menjadi sangat tinggi dan juga meningkatkan nilai sewa dan penjualan.

Dampak sosial yang diterima adalah penyerapan tenaga kerja baik tenaga kerja lokal maupun tenaga kerja non lokal dari program intensifikasi budidaya tambak pun meningkat. Selain itu, dampak dari perluasan tambak di Indonesia cenderung menggeser ekosistem alami seperti hutan mangrove atau diperuntukan lahan lainnya seperti lahan pertanian tanaman pangan dan perkebunan sehingga mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan perairan pesisir yang berasal dari limbah tambak yang dihasilkan.

2.4. Analisis Ekonomi

Menurut Gittinger (1986), analisis ekonomi dan finansial merupakan dua analisis yang dapat digunakan dalam evaluasi proyek, harga-harga finansial merupakan titik awal dalam analisis ekonomi. Pada analisis finansial melihat dari sudut peserta proyek secara individu, sedangkan analisis ekonomi melihat dari segi masyarakat secara keseluruhan.

Menurut Kadariah (1980) dalam analisis ekonomi yang diperhatikan adalah total atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua yang didapat dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan,

(35)

suatu proyek sebelum dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan. Manfaat proyek dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan sifatnya, yaitu:

1. Manfaat Langsung

Manfaat langsung adalah manfaat yang diterima sebagai akibat adanya proyek, seperti naiknya hasil produksi barang atau jasa, perubahan bentuk, turunnya biaya, dan lain sebagainya.

2. Manfaat Tidak Langsung

Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang timbul sebagai dampak yang bersifat multiplier effects dari proyek yang dibangun terhadap kegiatan pembangunan lainnya.

3. Manfaat Tidak Kentara

Manfaat tidak kentara adalah manfaat dari pembangunan sebuah proyek yang

sulit diukur dalam bentuk uang, seperti perubahan pola piker masyarakat, perbaikan lingkungan, berkurangnya pengangguran, peningkatan ketahanan nasional, kemantapan tingkat harga, dan lain sebagainya.

Ukuran-ukuran nilai yang dipakai untuk menilai apakah kelayakan suatu proyek bila dilihat dari segi manfaat proyek yang berdiskonto adalah (Gittinger, 1986):

1. Manfaat Sekarang Netto (Net Present Value)

Manfaat sekarang netto adalah nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Dalam analisis finansial, nilai itu merupakan nilai sekarang dari arus tambahan pendapatan untuk individu. Dalam analisis ekonomi, ukuran tersebut merupakan nilai sekarang dari tambahan pendapatan nasional yang ditimbulkan oleh investasi. Langkah awal yang harus dilakukan dalam menghitung NPV adalah mencari selisih antara nilai sekarang dari arus manfaat dikurangi dengan nilai sekarang dari arus biaya. Suatu proyek dapat dikategorikan bermanfaat untuk dilaksanakan bila NPV tersebut sama atau lebih besar dari nol dan bila sebaliknya maka proyek tersebut merugikan.

2. Rasio Manfaat-Biaya (Benefit Cost Ratio)

Rasio manfaat-biaya diperoleh dari pembagian dari nilai sekarang arus manfaat dengan nilai sekarang arus biaya. Apabila BCR lebih kecil dari satu,

(36)

20

dari nilai sekarang manfaat dan pengeluaran pertama ditambah pengembalian untuk investasi yang ditanamkan pada proyek tidak akan kembali. Keuntungan dari BCR adalah bahwa nilai dari ukuran tersebut secara langsung dapat mencatat berapa besar tambahan biaya tanpa mengakibatkan proyek secara ekonomis tidak menarik. Semakin tinggi tingkat bunganya maka semakin rendah BCR yang dihasilkan, dan jika tingkat bunga yang dipilih cukup tinggi maka BCR akan lebih besar dari satu.

2.5. Pengaruh Tambak Akuakultur Terhadap Mangrove

Menurut Kusmana (2002), mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri dari atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Mangrove memiliki banyak manfaat seperti proteksi dari abrasi atau erosi, pengendali intrusi air laut, habitat berbagai jenis fauna, tempat pemijahan dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang, dan lain-lain.

Budidaya tambak adalah kegiatan pemeliharaan dan pembesaran biota perairan dalam suatu perairan tambak dalam waktu tertentu untuk mendapatkan hasil dengan cara memanennya. Perubahan fungsi lahan pada kawasan mangrove

berubah menjadi tempat pemukiman dan pertambakan, persawahan dan perkebunan menjadi pertambakan, jalur hijau di sepanjang pantai yang tebal menjadi tipis, bahkan tidak terdapat sama sekali karena adanya penebangan yang dilakukan masyarakat sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Utojo et al, 2007).

(37)

akan meningkatkan keuntungan dan pendapatan, tetapi juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak berupa kerusakan mangrove dan lahan basah secara langsung untuk pembangunan tambak.

Luas wilayah ekosistem mangrove di Indonesia secara keseluruhan pada tahun 2004 menurut Direktorat Pengendalian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup seluas 42.550 km2. Pertumbuhan perluasan usaha tambak air payau mencapai 47 persen sepanjang tahun terakhir. Kira-kira 4,9 persen luas mangrove atau 15,96 persen (kecuali Papua) dikonversi menjadi tambak udang (Siregar, 1999).

2.6. Penilaian Jasa Lingkungan

Barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya secara garis besar dapat digolongkan ke dalam barang dan jasa yang ada pasarnya (market goods and services) dan umumnya memiliki nilai/harga pasar (priced goods and services) dan yang tidak bersedia pasarnya (non-market goods and services).Market goods and sevices dicirikan oleh karakteristik barang dan jasa yang memiliki informasi lengkap sehingga harga dapat digunakan sebagai pengarah/pemimpin untuk pengambilan keputusan konsumsinya. Sementara itu,

non-market goods and services memiliki karakteristik bisa jelas tetapi tidak memiliki harga sehingga keputusan pengkonsumsiannya tidak didasarkan pada harga, tetapi oleh preferensi seseorang. Pada umumnya barang dan jasa

lingkungan merupakan non-market goods services (RMI, 2007).

(38)

22

2.7. Valuasi Ekonomi

Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi, juga menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang memberikan manfaat lain. Oleh karena itu menurut Fauzi (2004) output yang dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berupa barang dan jasa, perlu diberi nilai/harga (price tag).

Valuasi ekonomi merupakan upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, baik atas dasar nilai pasar (market value) maupun nilai non-pasar (non market value). Valuasi ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan.

Secara umum terdapat empat pendekatan dalam menilai kerusakan sumberdaya alam & lingkungan, (Fauzi dan Anna, 2005; KNLH, 2009), yaitu: 1. Pendekatan kesejahteraan, umumnya digunakan jika kerusakan lingkungan

sudah menimbulkan perubahan kesejahteraan masyarakat yang diukur melalui

income (perubahan surplus konsumen dan surplus produsen.

2. Pendekatan berdasarkan prinsip biaya penuh (full cost principle), konsep ini mengacu pada prinsip bahwa penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan harus membayar seluruh biaya yang diakibatkan oleh perubahan pada sistem

SDA dan lingkungan. Ganti rugi berdasarkan FCP harus menghitung nilai barang dan jasa menggunakan teknik (Fauzi dan Anna, 2005; KNLH, 2006) berikut:

a. Teknik amplop (back of the envelope), yaitu konsep yang memperkirakan secara kasar namun mewakili untuk mengestimasi nilai asset yang rusak untuk ganti rugi.

b. Teknik pendekatan nilai dasar (baseline approach), dilakukan untuk mengestimasi nilai kerugian dengan menggunakan nilai dasar yang sudah baku untuk suatu kerusakan lingkungan.

(39)

Pengukuran kerusakan lingkungan dan penentuan ganti kerugian yang didasarkan biaya pemulihan pada dasarnya adalah menghitung biaya yang dikeluarkan untuk melakukan restorasi terhadap lingkungan yang mengalami pencemaran atau perusakan. Komponan biaya yang dihitung termasuk direct cost, seperti biaya akuisisi lahan, biaya transaksi, monitoring serta indirect cost, seperti biaya overhead.

4. Pendekatan produktivitas, pendekatan ini mengacu pada penentuan ganti rugi berdasarkan perubahan produktivitas sebelum dan setelah terjadi kerusakan lingkungan.

2.8. Studi Kasus Penggunaan Lahan Mangrove Thailand

Sejak tahun 1961, Thailand telah kehilangan sekitar 1500-2000 km2 mangrove pesisir atau sekitar 50 – 60 persen dari area aslinya (FAO, 2003). Menurut Hanley (2009), deforestasi mangrove menjadi fokus utama pada layanan yang diberikan oleh ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai tempat pemijahan dan berkembang biak ikan-ikan dan sebagai „penahan badai‟ secara alami pada peristiwa periodik badai pesisir. Sebagai tambahan, banyak komunitas pesisir mangrove yang secara langsung menghasilkan produk seperti, kayu bakar,

kayu, bahan mentah, madu dan resin, dan kepiting dan kerang-kerangan.

Valuasi dari layanan ekosistem yang diberikan oleh mangrove penting untuk melakukan dua keputusan politik penggunaan lahan di Thailand. Pertama,

walaupun menurun dalam beberapa tahun terakhir, konversi mangrove untuk pertanian tambak udang dan pengembangan pesisir komersial lainnya menjadi ancaman bagi area mangrove yang tersisa di Thailand. Kedua, sejak bencana tsunami Desember 2004, sekarang banyak peminat untuk merehabilitasi dan merestorasi ekosistem mangrove sebagai „pembatas alami‟ pada peristiwa badai pesisir yang akan datang.

(40)

24

pertanian tambak udang yang berumur pendek telah menjadi lahan yang tidak produktif dan telah ditinggalkan. Oleh karena itu, merestorasi mangrove pada lahan yang telah ditinggalkan tersebut lebih bernilai dibandingkan dengan merestorasi lahan tambak (Hanley, 2009).

Berdasarkan hasil perhitungan, nilai dari perubahan habitat dan pelayanan ditentukan dalam waktu perubahan area mangrove yang dinamis yang didapatkan dari hasil yang diperoleh dari perikanan. Net present value dari pelayanan sekitar dari $708 - $987 per Ha. Estimasi manfaat dari perlindungan badai jasa mangrove Thailand menjadi $1879 per Ha, atau $8966 - $10821 per Ha dalam NPV. Penerimaan bersih yang diterima komunitas pesisir lokal dari mengumpulkan produk hutan dan total nilai keterkaitan habitat-perikanan $1192 sampai $1571 per Ha (Hanley, 2009).

2.9. Studi Terdahulu

Penelitian ini merujuk dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada beberapa jenis sumberdaya dan tempat lainnya. Hal ini bertujuan untuk memberikan pedoman dalam melakukan penelitian. Sebagai bahan peretimbangan dalam penelitian ini dicantumkan beberapa hasil peneliti

yang pernah melakukan penelitian serupa. Di bawah ini terdapat beberapa rujukan penelitian yang berkaitan dengan judul penulis, yaitu analisis finansial dan valuasi ekonomi dari mangrove.

Tabel 4 Studi terdahulu yang berkaitan dengan penelitian

Judul Skripsi/Jurnal Tujuan Metode

(41)
(42)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1.Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Pendekatan Biaya Pengganti (Replacement Cost)

Pendekatan ini secara umum mengidentifikasi biaya pengeluaran untuk perbaikan lingkungan hingga mencapai atau mendekati keadaan semula. Biaya yang diperhitungkan untuk mengganti sumberdaya alam yang rusak dan kualitas lingkungannya menurun atau karena praktek pengelolaannya yang kurang sesuai dapat menjadi dasar penaksiran manfaat yang diperkirakan dari suatu perubahan. Penggantian yang dilakukan harus dapat mengganti manfaat yang hilang sebagai akibat dari sumberdaya alam dan lingkungan yang terganggu, bukan manfaat yang hilang karena penggunaan normal (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007).

3.1.2. Pendekatan Benefit Transfer

Pendekatan ini dilakukan apabila terdapat banyak kendala untuk melakukan perhitungan bail berupa kendala keuangan, waktu, pengumpulan data maupun kendala lainnya. Metode ini digunakan untuk menduga nilai ekonomi suatu sumberdaya alam dan lingkungan dengan cara meminjam hasil studi atau

penelitian di tempat lain yang memiliki karakteristik dan tipologinya sama/hampir sama (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007).

3.1.3. Analisis Biaya Manfaat

(43)

Benefit and cost ratio (B/C ratio) atau profitability index (PI) merupakan rasio aktifitas dari jumlah nilai sekarang penerimaan bersih dengan nilai sekarang pengeluaran investasi selama umur investasi. Teknik ini digunakan untuk mengukur layak tidaknya suatu proyek investasi dengan membandingkan antara

present value aliran kas proyek dengan present value (initial investment). Jika nilainya lebih besar dari 1, maka usulan proyek dinyatakan layak. Sebaliknya jika nilainya lebih kecil dari 1, maka usulan proyek dinyatakan tidak layak (Kasmir dan Jakfar, 2003).

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Saat ini, pembudidayaan ikang sangatlah menjanjikan karena permintaan pasar terhadap udang windu dan ikan bandeng yang masih tinggi, nilai ekonomis yang lebih baik daripada padi, dan memiliki pengaruh yang luas terhadap kadar garam sehingga mampu hidup dan dapat dibudidayakan di perairan tawar. Namun, produksinya terus menurun dari tahun ke tahun. Dengan demikian perlu didukung pengembangan usaha budidaya ikan di tambak, khususnya udang windu dan ikan bandeng agar dapat meningkatkan produksinya. Selain itu, usaha budidaya udang windu dan ikan bandeng tersebut juga akan meningkatkan pendapatan

petani/masyarakat sekitar. Perlu diketahui bahwa udang windu dan ikan bandeng merupakan salah satu komoditas yang digunakan dalam usaha budidaya perikanan. Udang windu dapat bertahan hidup pada air yang mendekati tawar,

mampu tumbuh dengan baik pada kondisi sawah tambak, memiliki harga pasar yang jauh lebih tinggi dibandingkan padi dan ikan dan pasar yang tinggi, serta teknologi yang digunakan dalam pengembangan budidayanya mudah dikuasai, sedangkan ikan bandeng dapat hidup di perairan tawar, air asin, maupun air payau. Ikan bandeng relatif tahan terhadap berbagai jenis penyakit yang biasanya menyerang hewan air dan juga mudah untuk dibudidayakan.

(44)

28

(45)
(46)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Tambaksumur, Kecamatan Tirtajaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi ini dilakukan secara sengaja karena pada lokasi tersebut terdapat tambak budidaya udang windu dan ikan bandeng, bersama dengan tim peneliti Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Pengambilan data primer dilaksanakan selama bulan Maret hingga April 2013.

4.2.Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari informan kunci (keyinformant) dengan menggunakan panduan wawancara dengan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dan hasil pengamatan langsung dilapangan (observasi). Data sekunder, yang dikumpulkan dari buku referensi, internet, instansi pemerintah dan lembaga berupa laporan-laporan, arsip dan dokumentasi yang terkait dengan permasalahan penelitian.

4.3.Metode Penentuan Jumlah Responden

Metode pengambilan atau penentuan jumlah responden dilakukan dengan cara non probability sampling yaitu jenis purposive sampling, dimana pengambilan sampel tidak dilakukan secara acak melainkan dengan pertimbangan tertentu dan secara sengaja yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (area sampling). Pengambian sampel pada metode purposive sampling harus mengandung ciri-ciri, sifat, dan karakteristik tertentu yang dapat menjadi pokok dari subjek penelitian.

(47)

diambil adalah sebanyak 50 orang petambak. Jumlah responden ditentukan dengan rumus Slovin berikut ini:

Keterangan: n = ukuran sampel, N = ukuran populasi,

e = batas maksimum kesalahan yang masih diterima, asumsi: 10%

Berikut perhitungan penentuan jumlah sampel yang ditentukan dari 100 orang petambak yang telah melakukan budidaya udang windu dan ikan bandeng.

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel 2007. Tabel 5 diuraikan matriks keterkaitan antara sumber data dan metode analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam penelitian ini.

Tabel 5 Metode Analisis dan Sumber Data

No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis

1. Mengidentifikasi manfaat nilai

guna langsung mengrove dan Data primer Analisis Deskriptif

kerugian ekonomi dari dampak dan Valuasi Ekonomi

budidaya ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove

2. Menganalisis secara finansial Data primer dan Analisis Biaya Manfaat manfaat dari dampak budidaya data sekunder Ekonomi

ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove

3. Mengidentifikasi keberlanjutan Data primer Analisis Deskriptif tambak dari dampak budidaya

ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove

4. Mengidentifikasi alternatif Data sekunder Analisis Deskriptif kebijakan dari dampak budidaya

ikan di tambak dengan alih fungsi lahan mangrove

(48)

32

4.4.1. Identifikasi Manfaat Nilai Guna Langsung dan Kerugian Ekonomi

Menurut Nazir (1999), analisis deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikirain ataupun sesuatu jelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, aktual, dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Untuk mengidentifikasi manfaat dan kerugian ekonomi dari dampak budidaya udang windu dengan alih fungsi lahan mangrove di wilayah Karawang tersebut maka digunakan metode valuasi ekonomi. Menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007), valuasi ekonomi SDA dan lingkungan adalah upaya pengenaan nilai moneter terhadap sebagian atau seluruh potensi sumberdaya alam dan lingkungan, sesuai dengan tujuan pemanfaatannya. Valuasi ekonomi SDA

dan lingkungan ini digunakan untuk melakukan perhitungan nilai ekonomi total dari sumber daya dan lingkungan.

4.4.1.1. Nilai Ekonomi Total

Nilai ekonomi total didefinisikan sebagai nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan dalam suatu ekosistem tertentu yang merupakan penjumlahan dari nilai guna (use value) dan nilai guna tidak langsung (non use value). Nilai guna langsung (use value) adalah nilai ekonomi dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan yang secara langsung dimanfaatkan. Nilai guna tidak langsung (non use value) yaitu nilai ekonomi dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat diterima oleh masyarakat tanpa memanfaatkan sda tersebut secara langsung.

(49)

Berdasarkan diagram di atas, maka persamaan perhitungan sebagai berikut: TEV = UV + NUV

UV = DUV + IUV + OV NUV = XV + BV

Sehingga:

TEV = (DUV + IUV+ OV) + (XV+BV)

Dimana:

UV = Use Value NUV = Non Use Value DUV = Direct Use Value IUV = Indirect Use Value OV = Option Value XV = Existence Value BV = Bequest Value

4.4.1.2. Manfaat Langsung Ekosistem Mangrove

Manfaat langsung atau Direct Use Value (DUV) adalah manfaat yang dapat diperoleh dari ekosistem mangrove seperti menangkap ikan, kepiting, kerang, kayu, penelitian dan wisata, dengan rumus sebagai berikut (Fauzi, 2002):

TML = ML1 +ML2 +ML3 +…+MLn (dimasukkan ke dalam Rupiah)

Dimana :

TML = Total Manfaat Langsung ML1 = Manfaat Langsung ikan ML2 = Manfaat Langsung kepiting ML3 = Manfaat Langsung kayu MLn = Manfaat Langsung ke-n

4.4.1.3. Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove

Manfaat tidak langsung adalah nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya dan lingkungan (Fauzi, 2002).

MTL = MTL1 + MTL2 +…+ MTLn (dimasukan ke dalam nilai Rupiah)

Dimana :

(50)

34

MTL1 = Manfaat Tidak Langsung sebagai pelindung gelombang

MTL2 = Manfaat Tidak Langsung sebagai penyedia bahan pakan alami untuk biota yang hidup di dalam hutan mangrove

Perhitungan manfaat tidak langsung ini menggunakan pendekatan benefit transfer dengan cara meminjam hasil studi penelitian sebelumnya untuk menduga nilai manfaat ekonomi tidak langsung.

Tabel 6 Nilai manfaat ekosistem mangrove

No Manfaat

Rp 6.536.340 /ha/tahun Dahuri, 1995

2 Biodiversitas US$ 15,00

(51)

Perhitungan nilai manfaat pilihan dengan menggunakan benefit transfer menurut Fauzi (2013) yaitu sebagai berikut:

Dimana:

0,035 = elastisitas pendapatan

4.4.2. Analisis Biaya dan Manfaat Ekonomi

Hasil perhitungan kriteria investasi merupakan salah satu peralatan dalam mengambil keputusan, apakah usaha proyek yang dinilai dapat diterima atau ditolak. Diterima yang dimaksud adalah layak untuk dijalankan karena dapat menghasilkan manfaat (Ibrahim, 2009). R/C adalah singkatan dari Return Cost Ratio atau disebut juga dengan perbandingan antara penerimaan dan biaya. Secara matematis menggunakan rumus persamaan sebagai berikut:

a=R/C ...

R=PY.Y C=FC+VC

a= {(PY.Y)/(FC+VC)} Kriteria:

R/C > 1, usaha layak dan diterima, serta menguntungkan R/C = 1, usaha tidak untung dan tidak rugi

R/C < 1, usaha tidak layak dan ditolak, serta merugikan Dimana:

R = Penerimaan

C = Biaya yang dikeluarkan tiap tahun PY = Harga output

Y = Output FC = Biaya tetap

(52)

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1. Keadaan Umum Wilayah dan Geografis

Secara geografis, Kabupaten Karawang terletak antara 1070 02‟ - 1070 40‟ BT dan 50 56‟ – 60 34‟ LS. Wilayah Kabupaten Karawang sebagian besar merupakan dataran relatif rendah (25 m dpl) ada pada bagian utara yang meliputi Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya, Pedes, Rengasdengklok, Kutawaluya, Tempuran, Cilamaya, Rawamerta, Telagasari, Lemahabang, Jatisari, Klari, Karawang, Tirtamulya, sebagian Telukjambe, Jayakerta, Majalaya, sebagian Cikampek, dan sebagian lagi Ciampel. Wilayah ini memiliki variasi ketinggian antara 0-1.279 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan wilaya 0-20, 2-150, 15-400 (Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang, 2012).

Kabupaten Karawang memiliki luas 1.753,27 Km2 atau 175.327 Ha dimana luas tersebut merupakan 4,27 persen dari luas Provinsi Jawa Barat (37.116,54 Ha) dan memiliki laut seluas 4 Mil x 84,23 Km. Dengan luasan tersebut, wilayah ini mempunyai kawasan hutan mangrove yang tersebar di

berbagai kecamatan. Luas hutan mangrove dalam kawasan 8.100 Ha (BKPH Cikiong), dan luas hutan mangrove di luar kawasan 3.600 Ha (Cilebar, Pedes,

Cibuaya, Cilamaya Wetan, Cilamaya Kulon, dan Tempuran). Penggunaan lahan pada wilayah ini banyak sebagai lahan pertanian baik teknis maupun non teknis, hutan negara dan hutan rakyat, kawasan industri, zona industri, pemukiman dan perdagangan, serta perikanan budidaya (Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang, 2012).

(53)

3.200 mm per tahun. Angin Muson Laut bertiup pada bulan Januari sampai April, sedangkan angin Muson Tenggara bertiup sekitar bulan Juni. Kecepatan angin antara 30 - 35 km per jam, lamanya tiupan rata-rata 5 - 7 jam. Kecamatan Tirtajaya terletak di sebelah utara-barat dari Kabupaten Karawang, memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara: Laut Jawa

Sebelah Barat: Kecamatan Batujaya Sebelah Selatan: Kecamatan Jayakerta Sebelah Timur: Kecamatan Cibuaya

Desa Tambaksumur menjadi lokasi penelitian yang terletak di wilayah Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Tirtajaya sendiri secara admainistratif pemerintahan terdiri dari sebelas buah desa,

yaitu Desa Medankarya, Desa Pisangsambo, Desa Sabajaya, Desa Gempoljaya, Desa Sarijaya, Desa Kutamakmur, Desa Bolang, Desa Srikamulyan, Desa Sumurlaban, Desa Tambaksumur, dan Desa Tambaksari. Desa Tambaksari adalah desa yang memeliki lahan terluas 38,89 km2 atau 34,5 persen dari luas kecamatan, sedangkan Desa Gempolkarya adalah desa yang luas wilayahnya paling kecil yaitu 3,1 km2 atau 3,07 persen dari luas wilayah kecamatan. Hutan mangrove yang terdapat pada lokasi penelitian ini merupakan di bawah otoritas Perum Perhutani Jawa Barat. Bentuk tanah yang ada pada lokasi ini sabagian besar berbentuk dataran yang relatif rata dengan variasi antara 0 - 5 m di atas permukaan laut. Wilayah ini sebagian besar tertutup dataran pantai yang luas, yang terhampar di bagian pantai Utara yang dibentuk oleh bahan-bahan lepas terutama endapan laut dan aluvium vulkanik.

Pemerintahan di Kecamatan Tirtajaya hampir merata di setiap pedesaannya dimana sistem pemerintahan daerah diatur dalam sistem pemerintahan Otonomi Daerah Jawa Barat dan pemberian kebijakan di daerah diawasi dengan bantuan Kepala Daerah Tingkat II atau Bupati. Sebelas desa yang ada di Kecamatan Tirtajaya berstatus pedesaan. Semua desa tersebut terdiri dari 48 dusun, 59 rukun warga, dan 135 rukun tetangga. Desa Tambaksari adalah desa yang paling banyak rukun tetangganya dengan 17 rukun tetangga. Penduduk

(54)

38

sebanyak 61.919 orang dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 31.850 orang dan penduduk perempuan sebanyak 30.069 orang. Berikut ini tabel jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan Tirtajaya pada tahun 2011. Tabel 7 Jumlah penduduk Kecamatan Tirtajaya Tahun 2011

Nama Desa Laki-laki Perempuan Jumlah Penduduk

Medankarya 2.568 2.491 5.059

Pisangsambo 4.003 3.878 7.881

Sabajaya 3.577 3.467 7.044

Gempolkarya 2.072 1.894 3.966

Srijaya 3.104 2.850 5.954

Kutamakmur 1.991 1.803 3.794

Bolang 2.472 2.228 4.700

Srikamulyan 3.371 3.075 6.446

Sumurlaban 1.762 1.757 3.519

Tambaksumur 3.188 3.175 6.363

Tambaksari 3.742 3.451 7.193

Total 31.850 30.069 61.919

Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang, 2011

Jika dilihat menurut desa, tercatat penduduk yang memiliki jumlah terbanyak adalah Desa Pisangsambo sebanyak 7.881 orang, dengan penduduk laki-laki sebanyak 4.003 orang dan penduduk perempuan sebanyak 3.878 orang. Sedangkan Desa Sumurlaban adalah desa yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit, yaitu sebanyak 1.762 orang laki-laki dan 1.757 orang perempuan. Desa Tambaksumur yang dijadikan sebagai lokasi tempat penelitan ini memiliki jumlah

(55)

Gambar 4. Persentase jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin tahun 2011

Pada tahun 2011, rasio jenis kelamin di seluruh desa yang ada di Kecamatan Tirtajaya di atas 100, yang berarti jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari jumlah penduduk perempuan di semua desa. Rasio jenis kelamin

Kecamatan Tirtajaya 2011 sebesar 106, dimana setiap 100 perempuan terdapat 1006 laki-laki di Kecamatann Tirtajaya.

Tabel 8 Jumlah penduduk berdasarkan usia tahun 2011

Usia (tahun) Laki-laki Perempuan

>75 335 435

70-74 415 518

65-69 558 539

60-64 877 807

55-59 1.058 881

50-54 1.645 1.471

45-49 2.013 1.780

40-44 2.314 2.230

35-39 2.603 2.442

30-34 2.510 2.579

25-29 2.745 2.600

20-24 2.605 2.390

15-19 2.950 2.564

10-14 3.216 3.138

05-09 3.036 2.899

00-04 2.970 2.796

Total 31.850 30.069

Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang, 2011

Gambar

Tabel 1 Jumlah Produksi Perikanan Budidaya Tambak Menurut Jenis Ikan dan
Tabel 2 Nilai produksi perikanan budidaya tambak menurut jenis ikan dan
Tabel 3 Potensi dan kondisi hutan mangrove tahun 2011
Gambar 1. Udang Windu (Panaeus monodon, Fabricicus)1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pengaruh konversi lahan mangrove menjadi tambak terhadap kondisi sosial ekonomi yaitu sangat berpengaruh, karena dapat menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap seluruh nilai manfaat ekosistem hutan mangrove di Desa Dudepo yang terdiri atas manfaat langsung, manfaat tidak langsung,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar nilai manfaat ekonomi total hutan mangrove, dengan menggunakan konsep valuasi ekonomi untuk menghitung nilai manfaat

Hasil identifikasi di lokasi penelitian diperoleh 4 manfaat hutan mangrove, yaitu Manfaat Langsung yang meliputi pemanfaatan usaha budidaya udang dan ikan di tambak dengan

Hasil penelitian menemukan bahwa manfaat ekosistem hutan mangrove di Pulau Dompak terdiri dari manfaat langsung berupa hasil hutan (kayu log) , penangkapan ikan,

Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi manfaat dan kerugian langsung bagi masyarakat di sekitar TPSA Ciangir, mengestimasi nilai manfaat dan kerugian yang

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk menganalisis valuasi ekonomi ekosistem mangrove berdasarkan nilai total mangrove yang diperoleh dari nilai guna use value dan nilai tidak guna

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status keberlanjutan ekowisata hutan mangrove di Desa Purworejo berdasarkan dimensi keberlanjutan ekologi, ekonomi, dan kelembagaan dan