• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Kualitas Air Dan Penatagunaan Lahan Di Das Citarum Hulu Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Status Kualitas Air Dan Penatagunaan Lahan Di Das Citarum Hulu Kabupaten Bandung"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS KUALITAS AIR DAN PENATAGUNAAN LAHAN DI

DAS CITARUM HULU KABUPATEN BANDUNG

MUHAMMAD WIDYAR RAHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Status Kualitas Air dan Penatagunaan Lahan di DAS Citarum Hulu Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Muhammad Widyar Rahman

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD WIDYAR RAHMAN. Status Kualitas Air dan Penatagunaan Lahan di DAS Citarum Hulu Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh MUHAMMAD YANUAR JARWADI PURWANTO dan SUPRIHATIN.

Wilayah DAS Citarum hulu merupakan wilayah sungai strategis nasional yang berada di kabupaten Bandung dengan luas 799.22 km2. Peran vital wilayah DAS Citarum hulu dalam kaitannya dengan sumberdaya air permukaan baik di tingkat lokal maupun regional memerlukan upaya kontinuitas perbaikan dengan mengintegrasikan konservasi sumberdaya lahan dan air dalam perencanaannya. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis karakteristik hidrologi dan tata guna lahan (2) menentukan status kualitas air (3) menentukan indikator parameter kualitas air yang dipengaruhi oleh aktifitas tata guna lahan menggunakan hubungan statistik.

Karakteristik hidrologi diwakili oleh koefisien rejim sungai (KRS) dan aliran limpasan yang ditentukan menggunakan metode Rasional. Hasil analisis hidrologi tersebut menunjukkan status KRS berdasarkan 3 sungai utama di DAS Citarum hulu berada pada kondisi baik hingga sedang. Koefisien limpasan tertimbang berada direntang 0.20-0.37 dengan karakteristik debit puncak berada direntang 18.496-112.092 m3/s. Karakteristik tata guna lahan diwakili oleh Indeks Penggunaan Lahan (IPL) dan matriks perubahan tata guna lahan. Status IPL secara umum berada pada kondisi sedang hingga baik. Namun, matriks perubahan lahan mengindikasikan terjadinya perubahan selama periode 10 tahun. Perubahan tersebut menghasilkan peningkatan debit puncak limpasan sebesar 1.84 m3/detik.

Stasiun pemantauan berjumlah lima belas berdasarkan batas DAS terpilih yang ditentukan untuk analisis kualitas air menggunakan metode STORET. Hasil penentuan status kualitas air menunjukkan bahwa status cemar berat pada sungai-sungai utama dipengaruhi oleh anak-anak sungai-sungainya dan mengindikasikan tidak adanya peningkatan status kualitas air dalam rentang tahun 2008 hingga 2011. Tren status kualitas air yang tercemar berat tersebut dapat menjadi indikator adanya kesalahan penatagunaan lahan di DAS Citarum hulu.

Keterkaitan proporsi aktifitas tata guna lahan terhadap kualitas air menggunakan metode stepwise regression. Hasil analisis regresi mengindikasikan keterkaitan proporsi pertanian dan permukiman dapat dijelaskan oleh nilai STORET. Parameter fisika-kimia kualitas air dapat diprediksi menggunakan satu jenis aktifitas tata guna lahan. Hasil analisis berdasarkan parameter fisika-kimia menunjukkan keterkaitan proporsi sawah terhadap parameter pH, DO, BOD dan COD. Proporsi hutan terhadap parameter TDS dan temperatur air pada musim kemarau. Pada musim penghujan, keterkaitan tersebut meliputi proporsi pertanian terhadap parameter temperatur air, BOD, COD, TP dan H2S. Proporsi permukiman terhadap NO2- dan TDS serta proporsi sawah terhadap pH dan TSS. Kemudian, hanya proporsi hutan yang memiliki keterkaitan terhadap parameter DO. Keterkaitan proporsi aktifitas tata guna lahan terhadap kualitas air secara keseluruhan signifikan pada p value < 0.05.

(5)

dapat dijelaskan oleh proporsi lahan sawah dengan nilai PBIAS sebesar 1.87% dan 21.72%. Parameter temperatur, BOD, COD dan H2S dapat dijelaskan oleh proporsi lahan pertanian dengan nilai PBIAS sebesar 11.22%, 0.66%, 11.80% dan 2.00%. Pengujian model tersebut pada skala luas dan lokasi yang berbeda menunjukkan hanya pH dan temperatur yang memberikan hasil baik dengan nilai PBIAS sebesar 21.43% dan 18.59%. Hasil analisis regresi pada musim kemarau mengindikasikan parameter pH dan COD dapat dijelaskan oleh proporsi lahan sawah dengan nilai PBIAS sebesar 4.33% dan 22.55%. Parameter TDS dan temperatur dapat dijelaskan oleh proporsi lahan hutan dengan nilai PBIAS sebesar 28.14% dan 12.05%. Pengujian model tersebut pada skala luas dan lokasi yang berbeda menunjukkan hanya pH dan temperatur yang memberikan hasil baik dengan nilai PBIAS sebesar 0.72% dan 0.79%.

Keterkaitan tata guna lahan terhadap status kualitas air menunjukkan bahwa meskipun model regresi STORET memberikan hasil baik dengan nilai PBIAS sebesar 28.45%, namun ketika diuji pada skala luas dan lokasi yang berbeda memberikan hasil yang kurang memuaskan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam mengendalikan pencemaran nonpoint source, pengelolaan kualitas air perlu ditekankan pada setiap jenis tata guna lahan dengan mengoptimalkan fungsi dan tujuannya melalui keseimbangan proporsi dan praktek pengelolaan lahan yang berwawasan lingkungan. Model keterkaitan yang dibangun dapat berfungsi sebagai alat pengelolaan dan evaluasi pengelolaan sumberdaya air di DAS bagian hulu. Hal ini dapat membantu mengajukan suatu strategi pengelolaan daerah aliran sungai yang berkelanjutan serta dampak potensial yang ditimbulkan dari aktifitas tata guna lahan terhadap penurunan kualitas lingkungan.

(6)

SUMMARY

MUHAMMAD WIDYAR RAHMAN. Water Quality Status and Land Use Arrangement in the Upper Citarum Watershed, Bandung Regency. Supervised by MUHAMMAD YANUAR JARWADI PURWANTO and SUPRIHATIN.

Region Upstream Citarum river basin is one of the main national strategic river basin located in Bandung district with an area of 799.22 km2. Vital role Citarum upstream region in relation to surface water resources both local and regional that required continuity improvement efforts by integrating conservation of land and water resources planning. This study has three main objectives that include the following: (1) to analyze hydrology and land use/cover characteristics (2) to determine water quality status (3) to determine indicators of water quality parameters that were influenced by land use/cover types.

Hydrologic characteristics represented by the streamflow regime (KRS) and streamflow runoff determined using Rational method. The results indicated that status of KRS based on three major rivers in the upper Citarum are good to moderate condition. Weighted runoff coefficient in the range of 0.20-0.37 and peak flow characteristics in the range of 18.496-139.037 m3/s. Land use characteristics represented by the Land Use Index (IPL) and matrix changes in land use. IPL status generally are in moderate to good condition. However, matrix changes indicated that there has been a vast change in individual land use in the meantime. The vast change of land use totally increase peakflow runoff 1.84 m3/s.

A total of 15 monitoring stations selected based on catchment boundaries were analyzed for water quality analysis using STORET methods. The results showed that the status of heavy polluted in each river were affected by their tributaries and indicated no improvement in the range of 2008 to 2011. Trends in the status of the heavily polluted water could be an indicator of the presence of faults land use management in the region upstream Citarum.

The regression model was evaluated to demonstrate the relationship between both variables. Stepwise multiple linear regressions demonstrated that the relationship of agriculture and settlement land cover type was able to describe the overall water quality status. Physico-chemicals of water quality parameters could be sufficiently predicted using one land cover type. The results showed that paddy field related significantly to pH, DO, BOD and COD. Forest related significantly to TDS and temperature in dry periods. Water quality parameters over the period of the rainy seasons including agricultural related significantly to temperature, BOD, COD, TP and H2S. Nitrite and TDS had relationship with settlement and paddy field had relationship with pH and TSS. Moreover, only forest had relationship with DO in wet periods. The overall statistically relationships were significant in p < 0.05.

(7)

temperature that gives good results with PBIAS value of 21.43% and 18.59%. The results in the dry periods indicated that pH and COD parameters could be explained by the proportion of paddy field with PBIAS value of 4.33% and 22.55%. TDS and temperature parameters could be explained by the proportion of forest land with PBIAS value of 28.14% and 12.05%. Testing the model on a large scale and the different locations showed only pH and temperature that gives good results with PBIAS value of 0.72% and 0.79%.

The linkage of land use on water quality status indicated that although STORET models give good results with PBIAS value of 28.45%, but when tested on a large scale and different locations gives unsatisfactory results. This indicated that water quality management needs to be emphasized in any type of land use to optimize the functions and objectives through the balance of proportions and environmental land management practices in control of nonpoint source pollution. Linkage models were built to provide as a management and evaluation tools of water resources management in the upstream watershed. These could help submit a sustainable watershed management strategy and the potential impact arising from activities in land use against environmental degradation.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

STATUS KUALITAS AIR DAN PENATAGUNAAN LAHAN DI

DAS CITARUM HULU KABUPATEN BANDUNG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.

Judul penelitian ini adalah “Status Kualitas Air dan Penatagunaan Lahan di DAS

Citarum Hulu, Kabupaten Bandung.”

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS dan Prof. Dr. Ir. Suprihatin selaku pembimbing yang telah memberikan saran, arahan dan motivasinya. Selain itu penghargaan penulis sampaikan kepada instansi-instansi terkait yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda serta seluruh keluarga atas dukungan doa, semangat dan kasih sayangnya selama menempuh pendidikan ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN v

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

Kerangka Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Sub DAS sebagai Bagian dari Sistem Sungai 6

Pencemaran Perairan 7

Hidromodifikasi 8

Kerangka Pengelolaan DAS 8

3 METODE 11

Lokasi dan Waktu Penelitian 11

Bahan dan Alat 11

Metode Pengumpulan Data 11

Diagram Alir Penelitian 12

Prosedur Analisis Data 13

Penentuan status kualitas air 13

Analisis hidrologi sungai 14

Analisis spasial tata guna lahan 16

Analisis statistik keterkaitan tata guna lahan terhadap kualitas air 17

4 Gambaran Umum Daerah Penelitian 22

Kondisi Fisik Wilayah 22

Topografi Wilayah 23

Aspek Tata Guna Lahan 24

Hidrologi dan Sumberdaya Air 25

Kualitas Aliran 26

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 27

Karakteristik hidrologi sungai 27

Karakteristik spasial tata guna lahan 30

Status kualitas air 35

Keterkaitan kualitas air terhadap aktifitas tata guna lahan 41

Kalibrasi dan Validasi Model 43

Tata Guna Lahan dan Hidrologi DAS 50

Keterkaitan Tata Guna Lahan dan Kualitas Air 51

Implikasi Keterkaitan Tata Guna Lahan dan Kualitas Air 53

6 SIMPULAN DAN SARAN 59

(14)

Saran 59

DAFTAR PUSTAKA 60

LAMPIRAN 66

(15)

DAFTAR TABEL

1 Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini 12

2 Penentuan sistem nilai status mutu air 13

3 Luas jenis tata guna lahan (km2) setiap batas DAS 25 4 Karakteristik tata air sungai utama pada skala Sub DAS 27 5 Koefisien dan debit limpasan untuk setiap batas DAS 29 6 Persentase Indeks Tata guna lahan (IPL) berdasarkan batas DAS 30 7 Matrik perubahan tata guna lahan (km2) di DAS Citarum hulu tahun

2003 dan 2006 32

8 Matrik perubahan tata guna lahan (km2) di DAS Citarum hulu tahun

2006 dan 2011 33

9 Persentase perubahan tata guna lahan 34

10 Jumlah dan kepadatan penduduk tahun 2008-2011 di tujuhbelas kecamatan yang menjadi bagian dari wilayah studi di kabupaten

Bandung 34

11 Model regresi linear berganda kualitas air terhadap proporsi luas jenis

tata guna lahan (%) 41

12 Persentase kalibrasi model kualitas air terhadap proporsi luas jenis tata

guna lahan (%) 44

13 Jumlah dan kepadatan penduduk Sub DAS Ciliwung hulu berdasarkan

administrasi kecamatan 49

14 Validasi model keterkaitan kualitas air terhadap jenis tata guna lahan di

Sub DAS Ciliwung hulu 49

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 5

2 Lokasi penelitian DAS Citarum hulu 11

3 Diagram alir penelitian 12

4 Skema analisis statistik keterkaitan kualitas air terhadap jenis tata guna

lahan 21

5 Peta batas DAS wilayah studi 22

6 Peta kemiringan lahan di DAS Citarum hulu 23

7 Peta tata guna lahan di wilayah studi 24

8 Peta koefisien limpasan di DAS Citarum hulu 28

(16)

18 Status mutu air Sungai Citarum di stasiun pemantauan Sapan dan

Wangisagara 40

19 Kalibrasi model keterkaitan STORET terhadap jenis tata guna lahan 45 20 Kalibrasi model keterkaitan parameter kualitas air terhadap jenis tata

guna lahan periode musim penghujan 45

21 Kalibrasi model keterkaitan parameter kualitas air terhadap jenis tata

guna lahan periode musim kemarau 47

22 Peta tata guna lahan Sub DAS Ciliwung hulu 48

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai koefisien limpasan permukaan (C) untuk persamaan Rational 66

2 Hasil diagnostik analisis regresi 67

3 Rangkuman hasil analisis regresi 68

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan sumberdaya air merupakan kegiatan yang meliputi upaya keberlanjutan terkait keberadaan air untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi kehidupan. Sungai sebagai salahsatu sumberdaya air kondisinya semakin mengkhawatirkan akibat dari meningkatnya jumlah penduduk dan pembangunan yang terjadi di segala sektor. Sejalan dengan perkembangan tersebut terjadi perubahan fungsi lingkungan yang berdampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya air dan meningkatnya daya rusak air. Pada dasarnya kebutuhan manusia akan air harus memadai dari aspek kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya. Konsep keseimbangan antara ketersediaan air dan kebutuhan dalam pengembangan sumberdaya air sebagai upaya untuk meningkatkan kegunaan air. Prioritas pemanfaatannya harus didasarkan pada aspek kemakmuran dan kelestarian sumberdaya air.

Sungai secara umum dikenal memiliki beberapa kegunaan dalam setiap sektor pembangunan seperti pertanian, industri, transportasi, pasokan air untuk publik dan sebagainya. Sebaliknya, sungai digunakan sebagai lokasi untuk pembuangan limbah baik limbah yang berasal dari industri dan domestik maupun aktifitas pertanian yang mengakibatkan kerusakan skala besar dari kualitas air (Anhwange et al. 2012). Karakteristik sungai yang terus mengalami perubahan baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya berdampak pada ketidakmampuan memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat dan industri yang terus meningkat serta berdampak pada ekosistem di sekitar daerah aliran sungai. Hal ini menjadi perhatian khusus dalam peningkatan dampak tersebut terhadap ekosistem karena efek gabungan dari variasi curah hujan, topografi, vegetasi yang terbatas, dan tanah dangkal dapat mempengaruhi kualitas aliran di sepanjang ruas sungai.

Pengelolaan kualitas air sebagai bagian dari pengendalian sumberdaya air dilakukan untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu lingkungan. Pengendalian zat pencemar yang berasal dari berbagai sumber pencemar dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi intrinsik sumber air dan baku mutu air yang ditetapkan. Pencemaran sungai dapat terjadi langsung dari outfalls

saluran pembuangan atau limbah industri sebagai point source dan limpasan dari pertanian atau perkotaan sebagai non-point source. Dampak polutan pada kualitas air sungai bergantung pada jenis polutan, beban maksimum harian dan karakteristik sungai (Karamouz et al. 2003).

(18)

2

Pencemaran non-point source merupakan tantangan besar karena sumber yang tersebar dan bervariasi terhadap musim dan cuaca, serta sumber ini sering diabaikan oleh manusia (Zhang dan Wang 2012). Kesulitan pencemaran nonpoint-source karena sifat dispersinya sehingga faktor penyebab tidak bisa teridentifikasi dengan jelas. Limpasan permukaan bertanggung jawab terhadap hubungan antara tata guna lahan dan kualitas air sebagai sumber utama pencemaran non-point source. Limpasan yang berasal dari berbagai jenis tata guna lahan berpotensi menjadi sumber berbagai jenis pencemar. Perubahan tata guna lahan dan praktek pengelolaannya telah dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi kunci di balik perubahan sistem hidrologi, yang mengarah pada perubahan limpasan serta kualitas air (Tong dan Chen 2002).

Permasalahan yang terjadi didorong oleh tekanan faktor aktifitas antropogenik melalui pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produksi sumber pangan. Hal tersebut menjadi dasar faktor antropogenik mengabaikan kualitas lingkungan dalam aktifitasnya. Dilema perubahan proporsi luas dan jenis tata guna lahan di suatu daerah aliran sungai akan mempengaruhi kualitas air. Beberapa fungsi lanskap memiliki manfaat yang benar-benar penting bagi manusia terutama terkait ketersediaan sumber daya alam dan jasa ekosistem, seperti sumber pangan, tempat tinggal, dan sumberdaya air. Beberapa fungsi tersebut dapat sinergis, dan beberapa fungsi tersebut juga dapat merugikan atau bahkan menjadi sumber konflik. Beberapa fungsi yang secara spasial dan temporal terpisah dapat menjadi efektif di lokasi yang sama pada waktu yang sama. (Bolliger et al. 2011).

Pendekatan permasalahan nonpoint-source membutuhkan pemahaman pengaruh setiap satuan lahan terhadap kualitas air. Pemilihan skala pengelolaan yang sesuai dalam memahami pola hubungan satuan lahan dan kualitas air tersebut sangat penting dalam mengembangkan indikator yang memadai dari dampak aktifitas manusia terhadap kondisi sungai dan konsekuensinya (Uriarte et al. 2011). Pendekatan analisis statistik dalam studi terkait saat ini masuk pada generasi ketiga menggunakan GIS dan analisis multivariat untuk mengeksplorasi tutupan lahan dan sedimen tersuspensi (Allan et al. 1997; Bolstad dan Swank 1997; Ahearn et al. 2005), nutrien (Allan et al. 1997; Sliva dan Williams 2001; Tong dan Chen 2002; Ngoye dan Machiwa 2004; Ahearn et al. 2005), parameter DO, pH dan total fosfat (Amiri dan Nakane 2008). Pendekatan analisis statistik dalam studi terkait berdasarkan musim (Sliva dan Williams 2001; Ngoye dan Machiwa 2004; Ahearn et al. 2005; Maillard dan Pinheiro Santos 2008; Anhwange et al. 2012; Zhang dan Wang 2012). Penelitian terkait lainnya yang spesifik di daerah tropis (Uriarte et al. 2011; Firdaus dan Nakagoshi 2013).

(19)

3 Perumusan Masalah

Pertambahan jumlah penduduk dan pembangunan yang terus meningkat di DAS Citarum hulu menyebabkan kebutuhan pemanfaatan lahan menjadi semakin meningkat. Aktifitas manusia memberikan respon yang tidak berwawasan lingkungan terhadap setiap jenis tata guna lahan. Kesalahan pola aktifitas tata guna lahan dalam jangka panjang berdampak negatif pada ekosistem perairan dan kesehatan manusia terutama di sekitar daerah aliran sungai tersebut. Dilema perubahan proporsi luas dan jenis tata guna lahan yang terjadi di DAS bagian hulu menyebabkan meningkatnya lahan kritis dan menurunnya kualitas air sebagai akibat dari pencemaran non-point source. Padahal produktifitas lahan sangat diperlukan dalam rangka mendukung ketahanan pangan di daerah, sektor produksi serta pengembangan wilayah. Dampak permasalahan tata guna lahan menyebabkan ketersediaan air yang semakin terbatas dalam menunjang kegiatan manusia. Secara hidrologis, apabila keadaan ini terus menerus terjadi akan berdampak terhadap kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air di bagian tengah dan hilir. Sungai Citarum memiliki fungsi penting di bagian tengah dan hilir diantaranya mengairi ratusan ribu hektar sawah melalui jaringan irigasi Jatiluhur, sumber air bagi penduduk kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Total potensi air di wilayah Sungai Citarum adalah sebesar 13 milyar m3/tahun. Potensi air yang sudah dimanfaatkan sebanyak 7.5 milyar m3/tahun (57.9%) dan yang belum dimanfaatkan 5.45 milyar m3/tahun (42.1%) (RCMU 2011). Isu permasalahan yang terjadi mengarah pada perlunya kesesuaian proporsi jenis tata guna lahan dan peningkatan kualitas air. Aspek perencanaan menjadi sangat penting terkait dengan isu permasalahan yang terjadi sehingga pola spasial dan alat pengelolaan yang prediktif diperlukan sebagai pendekatan terhadap permasalahan tersebut. Salahsatu alternatif pendekatan terhadap isu peningkatan kualitas air melalui kesesuaian proporsi tata guna lahan. Asdak (2007) menjelaskan bahwa pendekatan penyelesaian terkait pengelolaan kualitas air, ada pertimbangan yang perlu dilaksanakan yaitu mengembangkan metode praktis yang dapat dimanfaatkan untuk pengumpulan data/informasi yang berkaitan dengan masalah kualitas air, identifikasi mekanisme yang mampu mengaitkan antara data/informasi tersebut, mencari jalan keluar yang memungkinkan kebijakan pengendalian penurunan kualitas air dapat dikaitkan dan diaplikasikan secara efektif dengan program aksi pada tingkat lokal. Pertimbangan tersebut memberikan dasar pemahaman tentang isu pengelolaan terkait degradasi kualitas air karena arah alternatif pendekatan terhadap isu yang terjadi mempersyaratkan pemahaman yang memadai tentang keterkaitan tata guna lahan terhadap kualitas air di wilayah hulu. Oleh karena itu, indikator target diperlukan sebagai bentuk keterkaitan antara tata guna lahan dan kualitas air sehingga dapat memberikan usulan alternatif pengelolaan dalam rangka meningkatkan kualitas air di wilayah hulu.

1. Bagaimana karakteristik hidrologi dan tata guna lahan di DAS Citarum Hulu? 2. Bagaimana status mutu sungai di DAS Citarum hulu?

(20)

4

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis karakteristik hidrologi dan tata guna lahan DAS Citarum hulu. 2. Menentukan status kualitas sungai di DAS Citarum hulu.

3. Menentukan korelasi indikator parameter kualitas air yang dipengaruhi oleh tata guna lahan di DAS Citarum hulu.

Manfaat Penelitian

1. Bahan masukan bagi pihak terkait baik pemerintah daerah, industri dan masyarakat dalam rangka konservasi sumberdaya air

2. Memberikan wawasan dalam mengeksplorasi beragam alternatif strategi pengelolaan sumberdaya air di DAS Citarum Hulu, Kabupaten Bandung.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup pada penelitian terbatas pada kajian upaya penatagunaan sumberdaya lahan melalui pendekatan empiris berdasarkan parameter kualitas air, hidrologi dan jenis tata guna lahan tahun 2000 hingga 2011. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari instansi-instansi terkait dan berbagai referensi untuk melakukan pengamatan. Parameter kualitas air yang ditentukan pada penelitian ini berjumlah 13 parameter, meskipun pada pemantauan yang dilakukan oleh BLHD baik di tingkat provinsi maupun kabupaten lebih dari 13 parameter. Analisis karakteristik DAS menggunakan pendekatan karakteristik hidrologi yang meliputi aliran permukaan dan koefisien rejim sungai. Selain itu, pendekatan kedua menggunakan spasial tata guna lahan yang meliputi Indeks Penggunaan Lahan dan matriks perubahannya. Pada analisis statistik, model yang terpilih melalui evaluasi pada setiap tahapan analisis statistik dengan diberlakukan asumsi-asumsi pokok dalam analisis regresi. Model keterkaitan parameter kualitas air dan proporsi jenis tata guna lahan yang dibangun merupakan fenomena yang dapat dijelaskan secara statistik dan bersifat prediktif.

Kerangka Penelitian

(21)

5 sebagai sumberdaya air berperan besar dalam pemenuhan baik untuk kebutuhan masyarakat maupun kebutuhan industri, irigasi dan aktifitas pertanian lainnya. Pada kondisi sebaliknya, perubahan tata guna lahan dengan praktek pengelolaan lahan yang tidak mengikuti kaidah konservasi berdampak pada meningkatnya aliran limpasan dan akhirnya mempengaruhi rejim aliran alami sungai. Hal ini diindikasikan dengan aliran yang sangat tinggi pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Investigasi keterkaitan jenis tata guna lahan terhadap kualitas air sangat penting dalam memprediksi potensi pencemaran di wilayah DAS bagian hulu. Ketika peningkatan kualitas air dapat dicapai melalui penatagunaan lahan maka dalam perencanaannya memerlukan target indikator sebagai tonggak pada periode tertentu. Prinsip keseimbangan lingkungan dilakukan dengan menerapkan kontrol setiap jenis tata guna lahan terhadap potensi pencemaran yang dapat ditimbulkannya. Proses tersebut harus diorientasikan pada perbaikan faktor aktifitas tata guna lahan sebagai fungsi dari antropogenik. Perencanaan tata guna lahan merupakan suatu proses bagaimana lahan dapat dialokasikan terhadap kondisi saat ini dan sebagai antisipasi kondisi masa depan. Aspek pemantauan dan evaluasi sebagai input perencanaan dalam membangun faktor-faktor terkait sebagai respon dari potensi dampak yang terjadi. Oleh karena itu, peranan konservasi sumberdaya air yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan melalui upaya pengelolaan sumberdaya air. Upaya tersebut sangat diperlukan dalam memenuhi kebutuhan manusia dengan mengintegrasikan konservasi sumberdaya air dalam perencanaannya dan menyelidiki faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas aliran sungai agar air memadai baik dari aspek kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya. Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Tata guna lahan

Kualitas aliran sungai

Keterkaitan tata guna lahan dan kualitas air

Pengembangan sumberdaya air Degradasi sumberdaya air Perubahan perilaku tata guna lahan

Kualitas air A I R Lahan

Kuantitas air

Manusia

Populasi manusia

Koefisien Rejim Sungai dan

limpasan permukaan

(22)

6

2

TINJAUAN PUSTAKA

Sub DAS sebagai Bagian dari Sistem Sungai

Daerah aliran sungai merupakan suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari air hujan dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanan serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut. Wilayah DAS sebagai suatu sistem memiliki berbagai komponen yang saling berkaitan antara satu dan lainnya. Komponen DAS dapat dibedakan menjadi 2, yaitu (1) komponen biofisik alamiah yang menunjukkan karakteristik setiap DAS dan (2) komponen non-biofisik yang menunjukkan manusia dengan berbagai ragam persoalannya, latar belakang budaya, sosial ekonomi, sikap politik, kelembagaan serta tatanannya.

Sistem sungai yang komplek dapat dilihat dari berbagai komponen penyusunnya, misalnya bentuk alur dan percabangan sungai, formasi dasar sungai, morfologi sungai dan ekosistem sungai (Maryono 2003). Sistem dinamikanya dibentuk oleh aliran dengan ketergantungan pada fluktuasi aliran setiap tahun terhadap berbagai fitur saluran dan melengkapi siklus hidup tumbuhan dan hewan. Sungai memberikan respon baik gangguan alam (seperti kekeringan) maupun antropogenik (seperti bendungan) untuk mengalirkan air. Dampak manipulasi aliran tidak hanya tercermin dari bentuk saluran sungai. Lahan basah, danau, delta, cadangan air tanah dan laut pedalaman semua menjadi terdegradasi karena gangguan pola alami gerakan air.

Siklus air yang terjadi pada suatu DAS melalui salah satu dari empat proses seperti intersepsi, evaporasi, infiltrasi, dan limpasan. Jumlah air yang terkumpul dan mengalir di sungai berasal dari curah hujan baik langsung ke saluran air atau dari aliran limpasan permukaan, bawah permukaan dan air tanah. Limpasan permukaan adalah kedalaman air yang mengalir secara bebas di atas permukaan tanah setelah hujan. Limpasan permukaan bergantung pada intensitas curah hujan dan kapasitasnya untuk jenuh secara cepat beberapa sentimeter di atas permukaan tanah sebelum infiltrasi dan perkolasi (Musy dan Higy 2011).

Air hujan yang diintersep oleh vegetasi kemudian curah hujan yang mencapai permukaan tanah tersebut baik bergabung dengan air yang terinfiltrasi maupun bergerak perlahan-lahan melalui lapisan tanah ke aquifer menjadi aliran dasar, atau bergabung dengan aliran permukaan untuk satu kali intensitas hujan yang telah melampaui kapasitas infiltrasi tanah (bergantung pada kandungan air tanah). Air yang mengalir mencapai sungai tersebut merupakan hasil dari curah hujan langsung atau melalui permukaan dan limpasan bawah permukaan menuju outlet DAS (Musy dan Higy 2011).

(23)

7 DAS dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang terkait dengan (1) Kondisi iklim (2) Curah hujan (distribusi spasial dan temporal, intensitas dan durasi) (3) Morfologi DAS (bentuk, dimensi, altimetri, orientasi lereng) (4) Sifat fisik DAS (sifat tanah, tutupan lahan) (5) Struktur jaringan drainase (ekstensi hidrolik, dimensi, sifat hidrolik) (6) Kelembaban tanah.

Pencemaran Perairan

Kualitas air permukaan bergantung pada lingkungan sekitarnya sehingga diharapkan dapat mendukung ekosistem perairan dan memiliki nilai estetis. Kualitas air yang menurun disebabkan sumber pencemar sebagai akibat dari perubahan faktor-faktor lingkungan (Asdak 2007). Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Beban pencemar adalah istilah yang dikaitkan dengan jumlah total bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai hasil dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada areal tertentu dalam kurun waktu tertentu. Besarnya beban pencemar yang masuk ke perairan tergantung aktivitas manusia di sekitar daerah aliran sungai yang masuk perairan tersebut.

Sumber pencemar terdiri atas 2 bentuk, yaitu:

1. Point sources, sumber pencemar yang membuang limbah cair ke dalam badan air pada lokasi tertentu.

2. Nonpoint sources, terdiri atas banyak sumber yang tersebar, baik ke badan air maupun ke air tanah pada suatu daerah yang luas.

Pencemaran air dapat menjadi makin luas, tergantung dari kemampuan badan air penerima polutan untuk mengurangi kadar polutan secara alami. Apabila kemampuan badan air tersebut rendah dalam mereduksi kadar polutan, maka akan terjadi akumulasi polutan dalam air sehingga badan air akan menjadi trofik. Kategorisasi dari polutan air dengan melihat dampaknya terhadap sistem sungai sehingga dapat dibedakan menjadi tiga jenis polutan utama (Davie 2008) yaitu:

Senyawa beracun, yang menyebabkan gangguan pada aktivitas biologis lingkungan akuatik.

Oksigen mempengaruhi keseimbangan senyawa, baik konsumsi oksigen atau menghambat transfer oksigen antara udara dan air. Hal ini juga termasuk polusi termal pada kondisi kelarutan oksigen dalam air akan berkurang dengan semakin meningkatnya temperatur.

Padatan tersuspensi, partikel padat tersuspensi dalam air.

(24)

8

Hidromodifikasi

Hidromodifikasi merupakan perubahan karakteristik hidrologi dari perairan pesisir dan nonpesisir, yang dapat menyebabkan degradasi sumber daya air. Hidromodifikasi terdiri atas penyaluran dan modifikasi saluran, pembangunan bendungan, dan erosi atau hidromodifikasi juga dapat didefinisikan sebagai modifikasi hidrograf (Mohamoud et al. 2009).

Secara luas, hidromodifikasi mencakup urbanisasi, perubahan iklim, pengambilan air, dan transfer antar-daerah aliran sungai. Istilah ini digunakan terhadap gangguan antropogenik pada suatu daerah aliran sungai yang mengubah rejim aliran alami dan juga menurunkan kualitas air. Pada penelitian ini spesifik hidromodifikasi untuk perubahan tata guna lahan. Pola perubahan keseimbangan air suatu daerah aliran sungai dapat berubah ketika perubahan vegetasi mengubah intersepsi curah hujan dan evapotranspirasi, air permukaan atau air tanah yang digunakan secara konsumtif, atau air yang dialirkan ke saluran irigasi (Mohamoud

et al. 2009).

Perubahan rejim aliran alami mempengaruhi distribusi air permukaan dan komponen aliran dasar dari debit sungai menyebabkan ketidakseimbangan hidrologi, sehingga memiliki konsekuensi serius bagi ketersediaan air. Konrad dan Booth (2005) mengidentifikasi empat perubahan hidrologi yang dihasilkan dari suatu pembangunan yang berpotensi signifikan terhadap aliran ekosistem yaitu peningkatan frekuensi debit yang tinggi, redistribusi air dari aliran dasar ke aliran puncak, peningkatan variasi debit sungai harian, dan pengurangan aliran minimum.

Poff et al. (1997) menjelaskan bahwa aktifitas tata guna lahan merupakan penyebab utama yang mengubah rejim aliran. Modifikasi rejim aliran alami secara dramatis mempengaruhi spesies air maupun riparian di sungai. Respon ekologis yang mengubah rejim aliran bergantung pada bagaimana komponen aliran telah berubah relatif terhadap rejim aliran alami dan bagaimana proses geomorfik dan ekologi akan merespon perubahan relatif tersebut. Hasil dari variasi rejim aliran sungai, aktivitas manusia yang sama di lokasi yang berbeda dapat menyebabkan berbagai tingkat perubahan relatif terhadap kondisi yang tidak berubah sehingga memiliki konsekuensi ekologi yang berbeda. Allan (2004) menambahkan bahwa faktor alam mungkin penting ketika pengaruh manusia itu kecil, atau ketika pengaruh manusia tersebar luas dan cukup seragam di seluruh wilayah studi.

Kerangka Pengelolaan DAS

(25)

9 merupakan strategi yang memberikan penilaian dan pengelolaan informasi terhadap DAS yang didefinisikan secara geografis, termasuk analisis, tindakan, pemangku kepentingan, dan sumber daya yang terkait untuk mengembangkan dan mengimplementasikan rencana (USEPA 2008).

Pengelolaan sumberdaya air mengikuti prinsip lahan, air dan manusia yang terhubung didalamnya. Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air mengikuti kerangka kebijakan Indonesia yang lebih luas sebagaimana tertuang dalam UU Sumber Daya Air. Undang-Undang ini menekankan bahwa pembangunan daerah sangat penting bagi pembangunan nasional secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan stabilitas, kesetaraan dan pertumbuhan bersama dengan kesejahteraan rakyat. Reformasi diarahkan untuk bergeser dari kebijakan sektoral sempit menuju pendekatan Pengelolaan Sumber Daya Air.yang lebih holistik dan terintegrasi, melalui tindakan-tindakan struktural (kostruksi) dan non-struktural yang dilakukan secara efektif dan efisien (Hernowo 2011).

Misi dari kebijakan nasional pengelolaan sumber daya air meliputi: (i) Konservasi sumber daya air yang berkelanjutan, (ii) Pendayagunaan sumber daya air untuk tujuan memenuhi kebutuhan, baik kualitas dan kuantitas, (iii) Pengendalian daya rusak air, (iv) Pemberdayaan dan intensitas peran masyarakat, swasta dan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air, (v) Peningkatan ketersediaan dan kebutuhan sistem data dan informasi sumber daya air (Hernowo 2011).

Pengelolaan yang dilakukan di setiap DAS harus sesuai dengan misi dari kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya air. Pemantauan dan evaluasi berbasis-hasil diperlukan dalam rangka melaksanakan misi kebijakan nasional tersebut dan implementasinya. Pemantauan berbasis hasil adalah proses secara terus-menerus mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang indikator kunci dan membandingkan hasil aktual dengan hasil yang diharapkan dalam rangka mengukur seberapa baik program atau kebijakan yang sedang dilaksanakan. Hal ini merupakan proses yang berkesinambungan mengukur kemajuan menuju pencapaian jangka pendek, menengah, dan panjang dengan melacak bukti pergerakan menuju pencapaian tertentu dan penentuan target dengan menggunakan indikator. Pemantauan berbasis hasil dapat memberikan umpan balik mengenai kemajuan atau ketiadaan pengambil keputusan agar dapat menggunakan informasi dalam berbagai cara untuk meningkatkan kinerja (Morra-Imas dan Rist 2009).

Evaluasi berbasis hasil merupakan penilaian kinerja yang direncanakan, sedang berlangsung, atau telah selesai untuk menentukan relevansi, efisiensi, efektivitas, dampak, dan keberlanjutan. Evaluasi berbasis hasil bertujuan memberikan informasi yang nyata dan berguna, memberikan pembelajaran yang dimasukkan ke proses pengambilan keputusan dari penerima. Evaluasi mengambil pandangan yang lebih luas dari suatu intervensi, menanyakan apakah pencapaian sasaran atau hasil disebabkan oleh intervensi atau jika ada beberapa penjelasan lain untuk perubahan yang diperoleh melalui sistem pemantauan (Morra-Imas dan Rist 2009).

Morra-Imas dan Rist (2009) juga menjelaskan bahwa sebuah sistem evaluasi memberikan fungsi yang saling melengkapi tetapi berbeda dalam kerangka manajemen berbasis hasil. Tujuan sebuah sistem evaluasi yaitu

(26)

10

Penggunaan sumber data terkait indikator yang ditelusuri.

Pemeriksaan faktor-faktor yang terlalu sulit atau mahal untuk pemantauan secara terus menerus.

Investigasi mengapa dan bagaimana kecenderungan dilacak dengan data pemantauan yang menuju kearah tertentu.

Evaluasi dapat memberikan berbagai tujuan dan kegunaan, dintarannya: Membantu menganalisis pencapaian tujuan.

Mengeksplorasi mengapa mungkin ada hasil yang tidak diinginkan.

Menilai bagaimana dan mengapa hasilnya dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan tertentu.

Menjelaskan proses pelaksanaan, kegagalan, atau kesuksesan yang terjadi di berbagai tingkatan.

Membantu memberikan pelajaran, menekankan pada wilayah pencapaian dan potensi, dan menawarkan rekomendasi spesifik untuk perbaikan.

Pengelolaan strategis dan evaluasi merupakan proses serupa dan masing-masing memiliki keunggulan tersendiri. Keunggulan memanfaatkan kedua konsep ini menunjukkan suatu kerangka terpadu yang menggabungkan keuntungan kontekstual manajemen strategi dengan kedalaman analisis evaluasi. Proses pemetaan berawal dari asumsi bahwa semua studi evaluasi harus berasal dari konteks. Konteks ini ditentukan oleh strategi, keberhasilan strategis diidentifikasi oleh pencapaian terkait dengan tujuan tertentu. Fokus dari kinerja strategi harus diarahkan menuju tujuannya daripada program atau inisiatif yang dilakukan untuk mendukungnya (Rist et al. 2011).

Darby dan Sear (2008) menjelaskan bahwa potensi penggunaan jangka panjang dan informasi pada skala DTA dalam perencanaan perbaikan untuk mengakomodasi ketidakpastian secara luas harus memberikan keuntungan pada semua skema perbaikan yang tujuannya meliputi fungsi ekosistem yang lebih baik dalam membantu pelestarian dan konservasi habitat dan biota, pendekatan berkelanjutan terhadap kekhawatiran masyarakat tentang manajemen banjir, abstraksi dan augmentasi aliran, serta meminimalkan bahaya erosi dan deposisi. Hal ini dimungkinkan untuk membagi setidaknya menjadi enam kategori aplikasi yaitu aliran, transportasi sedimen, bentuk saluran, dinamika saluran, pengaruh antropogenik, dan model konseptual dari sistem operasi. Keuntungan manajemen generik mengadopsi perspektif jangka waktu tertentu meliputi:

1. Menghindari impulsif atau tanggapan “spontan” individu kejadian banjir dengan melihat kejadian tersebut sebagai bagian dari catatan jangka panjang aliran dan sedimen (misalnya mengadopsi perspektif berbasis risiko pada bahaya yang berasal dari sensitivitas alur sungai yang berubah);

2. Menekankan perencanaan pencegahan untuk mengakomodasi aspek ketidakpastian perubahan (misalnya meningkatkan fleksibilitas manajemen dalam kaitannya terhadap perubahan saluran jangka panjang dengan fokus pada langkah-langkah pemulihan non-struktural dan memberikan koridor sungai yang sesuai dalam desain perbaikannya);

(27)

11

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2013 sampai dengan bulan Agustus 2013. Lokasi penelitian berada di wilayah DAS Citarum Hulu Kabupaten Bandung, lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.

Bahan dan Alat

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu: data primer dan data sekunder yang meliputi data curah hujan, data debit air, data pemantauan kualitas air, peta rupa bumi, peta administrasi, peta DEM (Digital Elevation Model), peta tata guna lahan (land use). Alat yang digunakan adalah komputer dengan perangkat lunak ArcGIS 10.0/Arcview 3.3, Global Mapper v13.00, MINITAB 16, GPS.

Metode Pengumpulan Data

Data utama terkait pengelolaan daerah aliran sungai meliputi data kualitas air tahun 2008-2011, data tata guna lahan tahun 2003-2011, data debit air sungai dan curah hujan tahun 2002-2011. Data pendukung lainnya dikumpulkan melalui studi pustaka baik berupa buku, laporan penelitian, jurnal dan data lainnya yang berasal dari instansi-instansi terkait. Lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.

(28)

12

Diagram Alir Penelitian

Metodologi penelitian ini mengarahkan pada proses untuk mencapai tujuan penelitian. Alur proses penelitian tersebut berdasarkan analisis spasial dan statistik. Alur ini sebagai panduan dalam proses penelitian ini. Diagram alir penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 1 Data yang digunakan dalam penelitian ini

.No. Jenis Data Sumber Data Tujuan

1. Peta dasar BAKOSURTANAL Referensi untuk penentuan wilayah studi

2. Topografi SRTM resolusi 30 meter Menentukan daerah aliran sungai dan arah alirannya, kelerengan

3. Peta tata guna

lahan BAPLAN Membangun peta aktifitas tata guna lahan

4. Kualitas air

BLHD Prop. Jawa Barat BLHD Kab.Bandung BLHD Kab. Bogor

Memahami parameter-parameter pencemar dominan yang berkontribusi signifikan terhadap dampak pencemaran air

5. Hidrologi dan

Gambar 3 Diagram alir penelitian Keterkaitan kualitas air dan

perilaku tata guna lahan Parameter kualitas air

(29)

13 Prosedur Analisis Data

Peningkatan kebutuhan setiap sektor terhadap sumberdaya air menyebabkan perubahan pola ketersediaan air. Disamping itu, adanya sumber pencemar yang tidak terkontrol dan cenderung tersebar menyebabkan ketidakseimbangan antara laju penurunan kualitas air dan laju penurunan beban pencemar air. Analisis di bawah ini mengarahkan pada suatu upaya yang diperlukan dalam pengelolaan kualitas air.

Penentuan status kualitas air

Penentuan status kualitas air dengan metode STORET atau indeks pencemaran air berdasarkan KepMen LH No. 115/2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Data pantauan kualitas air secara periodik dengan rentang tahun 2008-2011. Penentuan status mutu air dengan menggunakan metoda STORET dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Lakukan pengumpulan data kualitas air dan debit air secara periodik sehingga membentuk data dari waktu ke waktu (time series data).

2. Bandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air

3. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran < baku mutu) maka diberi skor 0.

4. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran > baku mutu), maka diberi skor sesuai dengan Tabel 2.

5. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari jumlah skor yang didapat dengan menggunakan sistem nilai.

Nilai kriteria baku mutu parameter kualitas air berdasarkan PP No. 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Sistem nilai yang digunakan berdasarkan US-EPA (Environmental Protection Agency) dan mengklasifikasikan mutu air tersebut dalam empat kelas, yaitu:

1) Kelas A : baik sekali, skor = 0 → memenuhi baku mutu

Data debit sungai selama beberapa tahun mengungkapkan variasi musiman yang sistematis. Rejim hidrologi dari sungai merangkum semua karakteristik hidrologis dan variasinya, dan didefinisikan oleh variasi debit tersebut (Musy dan Higy, 2010). Data debit harian selama 10 tahun dari 3 stasiun yang mewakili Tabel 2 Penentuan sistem nilai status mutu air

Jumlah

parameter Nilai

Parameter

Fisika Kimia Biologi

(30)

14

sungai utama pada masing-masing Sub DAS digunakan dalam penentuan rejim aliran ini. Stasiun-stasiun pemantau debit tersebut yaitu Majalaya (Sungai Citarum), Bendung Cangkuang (Sungai Citarik) dan Cikuda (Sungai Cikeruh). Adapun persamaan untuk menentukan koefisien rejim sungai berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungaisebagai berikut:

Di mana:

KRS = koefisien rejim sungai

Qmaks = debit harian rata-rata tahunan tertinggi (m3/detik) Qmin = debit rata-rata harian terendah (m3/detik)

Penentuan curah hujan wilayah

Karakteristik kuantitas air sungai dihitung berdasarkan data curah hujan 5 stasiun yang mewakili wilayah Sub DAS. Data curah hujan harian yang digunakan selama 10 tahun terakhir. Curah hujan wilayah dibangun berdasarkan 5 stasiun menggunakan metode poligon Thiessen. Poligon yang dihasilkan merupakan luas wilayah curah hujan yang nilainya diwakili oleh masing-masing stasiun. Stasiun-stasiun tersebut yang dipilih sebagai keterwakilan curah hujan wilayah yaitu Cibeureum, Cipaku/Paseh, Cicalengka, Jatiroke dan Tanjungsari. Persentase luas wilayah curah hujan terhadap luas Sub DAS dijadikan persen bobot yang dikalikan dengan nilai curah hujan masing-masing stasiun sehingga diperoleh curah hujan wilayah DAS. Penentuan curah hujan wilayah ini berdasarkan persamaan:

Di mana:

= curah hujan wilayah (mm/hari) Rn = curah hujan setiap stasiun (mm/hari) An = luas poligon curah hujan (km2)

A = luas keseluruhan wilayah yang ditentukan (km2) Estimasi curah hujan maksimum

(31)

15

Di mana:

log Y = nilai logaritmik dengan jangka waktu ulang T tahun (mm/hari) = rata-rata logaritmik curah hujan (mm/hari)

K = faktor frekuensi distribusi Log Pearson Tipe III

S = standar deviasi

Cs = koefisien kemencengan n = jumlah data

X = nilai curah hujan dengan jangka waktu ulang T tahun (mm/hari)

Kemudian, perhitungan intensitas curah hujan pada saat curah hujan maksimum menggunakan persamaan dari Dr. Mononobe:

Di mana:

I = intensitas curah hujan (mm/jam)

R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm) t = lamanya curah hujan (jam)

Penentuan waktu konsentrasi

Untuk penentuan waktu konsentrasi menggunakan persamaan dari Kirpich (1940) sebagai berikut:

Di mana:

Tc = waktu konsentrasi (jam) L = panjang sungai (m) S = kemiringan sungai (m) Estimasi debit limpasan

(32)

16

Di mana:

QR = aliran limpasan (m3/detik) C = koefisien limpasan I = intensitas hujan (mm/hari)

A = wilayah terjadinya aliran limpasan (km2)

McCuen (1998) menjelaskan bahwa ketika Sub DAS tidak homogen tetapi ditandai koefisien limpasan yang berbeda untuk setiap sub wilayahnya, bobot koefisien limpasan harus ditentukan. Pembobotan didasarkan pada daerah masing-masing jenis tata guna lahan berdasarkan persamaan berikut:

Di mana:

Cw = bobot koefisien limpasan

Cj = koefisien limpasan jenis tata guna lahan j Aj = luas wilayah tata guna lahan j

n = jumlah jenis tata guna lahan

Faktor reduksi wilayah ditentukan sebagai faktor koreksi dari curah hujan wilayah yang luas. Menurut Allen dan DeGaetano (2005) penentuan faktor reduksi wilayah berdasarkan US Weather Bureau (1957) yang mendefinisikannya sebagai berikut:

Di mana:

ARF = faktor reduksi wilayah

= curah hujan wilayah maksimum tahun j (mm/hari) Rij = curah hujan maksimum tahun j pada stasiun i (mm/hari) n = jumlah tahun curah hujan

k = jumlah stasiun curah hujan Analisis spasial tata guna lahan

Peta aktifitas tata guna lahan menggunakan peta tata guna lahan tahun 2003, 2006, 2009 dan 2011 yang bersumber dari BAPLAN. Klasifikasi satuan lahan berdasarkan kodefikasi dari BAPLAN tahun 2001. Analisis tata guna lahan meliputi:

Analisis perubahan tata guna lahan

(33)

17

Di mana:

υt1 = input kolom vektor tata guna lahan

υt2 = output kolom vektor tata guna lahan

M = matriks m x m untuk interval waktu ∆t = t2t1 Penentuan Indeks tata guna lahan

Indeks Penggunaan Lahan (IPL) ditentukan berdasarkan Permenhut No. 32 tahun 2009 tentang tata cara penyusunan rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan daerah aliran sungai (RTKRHL-DAS). Penentuan IPL menggunakan persamaan:

Di mana:

IPL = indeks penggunaan lahan (%) LVP = luas lahan bervegetasi permanen L = luas DAS/Sub DAS

Standar nilai dari IPL sebagai berikut: Baik; apabila IPL > 75%

Sedang; apabila IPL 30-75% Buruk; apabila IPL < 30%

Analisis Statistik keterkaitan tata guna lahan terhadap kualitas air Diagnostik

Tahapan diagnostik pada analisis regresi merupakan bagian paling penting sebagai screening agar model yang dibangun dapat memenuhi kriteria-kriteria model sesuai dengan asumsi-asumsi yang ditetapkan. Asumsi-asumsi tersebut antara lain:

1. Linearitas merupakan asumsi keterkaitan antara variabel bebas dan tidak bebas adalah linear. Pelanggaran terhadap asumsi linearitas sangat serius berpengaruh pada kesalahan prediksi. Asumsi ini dapat dideteksi dengan plot yang diamati antara nilai residual terhadap nilai terprediksi sebagai bagian dari output regresi standar. Pola tertentu yang terbentuk terdistribusi tidak simetris menunjukkan bahwa model tersebut memiliki error sistematis ketika dilakukan prediksi (Helsel dan Hirsch 2002).

2. Pengujian normalitas residual merupakan asumsi baku untuk berbagai analisis statistik standar. Pengujian ini dilakukan untuk melihat residual suatu model regresi telah mengikuti asumsi distribusi normal. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode Anderson-Darling. Model terdistribusi normal apabila nilai Anderson-Darling > 0.15 dengan nilai p value > 0.05 (Helsel dan Hirsch 2002).

(34)

18

data sehingga dapat mempersulit analisis karena dasar asumsi varians yang sama dalam analisis regresi (Helsel dan Hirsch 2002).

4. Mulitkolinearitas merupakan pengujian model untuk melihat adanya saling korelasi antara variabel bebas. Hal ini merupakan salah satu kondisi yang harus dihindari dalam analisis regresi berganda. Multikolinearitas dalam persamaan regresi terjadi ketika terlalu banyak variabel yang dilibatkan dalam proses analisis. Pengujian gejala multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai

Variance Inflation Power (VIF). Pedoman suatu model regresi yang bebas dari gejala multikolinearitas jika model tersebut memiliki nilai VIF < 10 (Helsel dan Hirsch 2002).

Salah satu metode yang dilakukan agar memenuhi asumsi-asumsi tersebut menggunakan kekuatan transformasi model. Penelitian ini menggunakan kekuatan transformasi model sesuai dengan yang dikembangkan oleh Box dan Cox (1964). Berthouex dan Brown (2002) menjelaskan bahwa transformasi dilakukan untuk memenuhi asumsi linearitas dan distribusi normal pada residualnya, memperoleh model matematika yang lebih sederhana sehingga analisis dapat disederhanakan untuk menghindari kesalahan dalam penarikan kesimpulan, menghilangkan ketergantungan varians terhadap besarnya nilai rata-rata sehingga bersifat memantapkan varians. Metode ini berlaku untuk hampir semua jenis model statistik dan segala jenis transformasi. Nilai transformasi Yi(λ) dari variabel asli Yi adalah:

di mana Ȳg rata-rata geometrik dari seri data asli dan λ mengungkapkan kekuatan transformasi. Rata-rata geometris diperoleh dengan rata-rata ln (y) dan mengambil eksponensial (antilog) dari hasil.

Kriteria model yang dipilih dalam analisis statistik ini harus memenuhi (1) r2 terkoreksi yang merupakan indikator seberapa baiknya model fit terhadap sebaran data (2) koefisien regresi (3) p value, suatu variabel dinyatakan berperan dalam membangun suatu model jika variabel tersebut menghasilkan nilai p value

< 0.05. Evaluasi model tahap akhir ditentukan agar memenuhi kriteria model tersebut sehingga tidak terjadi redundansi. Hal ini dilakukan dengan penentuan dasar signifikansi model secara keseluruhan melalui uji F dan setiap koefisien regresi melalui uji t. Evaluasi model berdasarkan kedua uji statistik tersebut sebagai berikut:

1. Uji F

Uji F dilakukan untuk menguji pengaruh signifikan antara beberapa variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel tidak bebas dengan membandingkan F-hitung (p-value) dan signifikansi tingkat kepercayaan 95% (α = 5%).

Jika p-value < 0.05 berarti variabel-variabel bebas tersebut berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas.

Jika p-value > 0.05 berarti variabel-variabel bebas tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas.

2. Uji t

(35)

19 Jika p value < 0.05 berarti variabel bebas tersebut berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas.

Jika p value > 0.05 berarti variabel bebas tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas.

Pada tahap evaluasi model, apabila kriteria model yang telah ditentukan tidak terpenuhi maka salah satu metode yang dilakukan dengan memberikan nilai pembobotan terhadap setiap model. Berthouex dan Brown (2002) menjelaskan bahwa regresi tertimbang (weighted regression) digunakan untuk memenuhi asumsi homoskedastisitas. Hal ini digunakan untuk semua model, linear dan nonlinear, dan untuk varians konstan atau nonkonstan. Dengan regresi tertimbang, masing-masing kuadrat residual (Yi - Ŷi)2 diberi bobot oleh beberapa faktor bobot wi sedemikian rupa sehingga pengamatan dengan varians yang lebih besar memiliki bobot lebih rendah. Dengan demikian pengamatan yang "kurang handal" memiliki lebih sedikit pengaruh daripada persamaan linear yang dihasilkan dari pengamatan yang "lebih handal". Persamaan regresi tertimbang meminimalkan kuadrat residual tertimbang. Jika nilai-nilai respon dinyatakan sebagai y1, y2,…yn dan jika varians dari pengamatan ini σ1

2

, σ2 2

,…σn2, maka parameter mengestimasi

bahwa secara individual dan unik memiliki varians terkecil yang diperoleh dengan meminimalkan jumlah kuadrat terboboti:

Di mana η adalah respon terhitung dari model yang diusulkan, yi adalah pengamatan dengan nilai tertentu dari xi, dan wi adalah bobot nilai untuk observasi yi. Nilai wi akan sebanding dengan 1/σi

2

. Jika varians adalah konstan, semua wi = 1, dan setiap pengamatan memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan kurva kalibrasi. Jika varians tidak konstan, besarnya nilai bobot mempengaruhi akurasi pengukuran. Jika regresi tertimbang tidak dapat memenuhi kriteria akhir model maka digunakan bobot jumlah sampel setiap variabel tidak bebas Y. Setiap variabel tidak bebas Y dan variabel bebas x memberikan hubungan yang khas sehingga penentuan penerapan transformasi model dan regresi tertimbang terhadap setiap model bergantung pada karakteristiknya agar dapat memenuhi asumsi-asumsi yang telah ditetapkan.

Data pengembangan model

Metode riegresi linear berganda digunakan untuk menganalisis keterkaitan 13 parameter kualitas air dan nilai STORET terhadap luas jenis aktifitas tata guna lahan. Data pengembangan model menggunakan data pemantauan kualitas air tahun 2009 untuk wilayah subdas Citarum hulu, Citarik dan Cikeruh. Data pemantauan yang masuk pada bulan Oktober-Maret dijadikan data pengembangan model musim penghujan, sedangkan data pemantauan yang masuk pada bulan April-September dijadikan data pengembangan model musim kemarau. Variabel bebas (X1, X2, X3, X4) merupakan proporsi luas jenis tata guna lahan yang berada di setiap wilayah batas DAS.

Model regresi

(36)

20

komputer untuk menentukan model yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. KNLH (2009) menjelaskan prosedur dasar metode regresi bertatar melibatkan tahapan sebagai berikut: (1) mengidentifikasi model awal (2) pentahapan secara iteratif berulang menghentikan tahap pemodelan sebelumnya dengan menambahkan atau membuang variabel bebas berdasarkan kriteria pentahapan dan (3) menghentikan pencarian variabel jika tahap berikutnya tidak memungkinkan berdasarkan kriteria yang ditetapkan atau ketika jumlah maksimum tahapan telah dicapai.Prosedur ini menggunakan urutan parsial F atau uji t untuk mengevaluasi signifikansi variabel. Regresi bertatar menggabungkan

forward dan backward. Hal ini bergantian antara menambahkan dan menghapus variabel, memeriksa signifikansi masing-masing variabel di dalam dan luar model. Variabel yang signifikan ketika terpilih sebagai model akan dihilangkan jika kemudian dalam pengujian tidak signifikan (Helsel dan Hirsch 2002).

Regresi bertatar memberikan hasil regresi linear sederhana dan regresi linear berganda. Analisis regresi linear sederhana merupakan hubungan statistik diantara 2 variabel. Model regresi linear sebagai berikut

untuk i = 1, 2, ..., n.

Analisis regresi berganda merupakan teknik statistik multivariat yang digunakan untuk membangun suatu model korelasi linear antara satu variabel tidak bebas Y dan dua atau lebih variabel bebas (x1, x2, …, xn). Persamaan regresi linear secara umum dinotasikan sebagai berikut:

untuk i = 1, 2, …, n.

Model keterkaitan yang memiliki pola kecenderungan tidak linear pada kondisi hubungan linear menunjukkan tingkat perubahan konstan dan memungkinkan tidak mewakili hubungan yang nyata secara memadai maka model linear paling sederhana yang melibatkan satu variabel bebas dapat menggunakan model polinomial orde kedua (kuadratik) (Rawlings et al. 1998). Model polinomial orde kedua (kuadratik) sebagai berikut:

Di mana b0 merupakan konstanta, Y merupakan parameter kualitas air, x merupakan proporsi jenis tata guna lahan dan notasi subskrip pada masing-masing x dan b merupakan identifikasi masing-masing variabel proporsi jenis tata guna lahan dan koefisien regresinya. Analisis model regresi ini selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4 dan proses analisis secara keseluruhan menggunakan perangkat lunak MINITAB 16.

Data kalibrasi dan validasi model

Hasil keluaran model keterkaitan kualitas air terhadap proporsi jenis tata guna lahan dilakukan kalibrasi untuk mengetahui tingkat keakuratan model. Data pemantauan kualitas air tahun 2011 di wilayah Citarum-Wangisagara digunakan sebagai titik kalibrasi model. Kalibrasi model tersebut menggunakan nilai rata-rata diantara 13 parameter kualitas air yang terpilih sebagai model. Moriasi et al.

(37)

21

Prosedur kalibrasi juga dilakukan dengan membangun plot data pengembangan model kualitas air (observasi) terhadap nilai model (prediksi). Garis 1:1 sebagai acuan linearitas kemampuan prediktif model. Validasi model ditentukan di wilayah Sub DAS Ciliwung hulu untuk mengetahui tingkat keakuratan model pada skala luas dan lokasi yang berbeda. Validasi model tersebut menggunakan data pemantauan kualitas air tahun 2010 di stasiun pemantauan kualitas air jembatan tol Ciawi.

Gambar 4 Skema analisis statistik keterkaitan kualitas air terhadap jenis tata guna lahan

Menentukan model regresi

Data kualitas air Peta tata guna lahan Delineasi batas DAS

Parameter kualitas air dan nilai STORET

Proporsi luas jenis tata guna lahan setiap batas DAS

Tidak Tidak terpilih sebagai model persamaan regresi Tidak

(38)

22

4

Gambaran Umum Daerah Penelitian

Kondisi Fisik Wilayah

Penelitian ini dilakukan di DAS Citarum hulu yang meliputi 3 skala wilayah Sub DAS, yaitu Citarum hulu, Citarik dan Cikeruh. Daerah aliran Sungai Citarum hulu secara administratif meliputi 17 kecamatan di kabupaten Bandung (Kertasari, Pacet, Ibun, Paseh, Cikancung, Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Majalaya, Solokanjeruk, Ciparay, Baleendah, Arjasari, Bojongsoang, Cileunyi, Cilengkrang dan Cimenyan), 8 kecamatan di Kotamadya Bandung (Rancasari, Gedebage, Cibiru, Panyileukan, Ujung Berung, Cinambo, Arcamanik dan Mandalajati) serta 4 kecamatan di Kabupaten Sumedang (Jatinangor, Tanjungsari, Cimanggung dan Sukasari). Pembatasan wilayah DAS Citarum hulu dalam penelitian ini dengan menentukan aliran Sungai Citarum mulai dari hulu di Gunung Wayang hingga wilayah Sapan. Sungai Citarik dan Cikeruh mengalir mulai dari bagian hulu di wilayah Sumedang hingga bagian hilir pada pertemuan kedua anak sungai tersebut dengan Sungai Citarum di wilayah Sapan. Sub DAS ini berbatasan dengan kabupaten Sumedang di wilayah barat, Sub DAS Cisangkuy di wilayah timur, kabupaten Garut di wilayah selatan dan kotamadya Bandung di wilayah utara.

Wilayah DAS Citarum hulu berada pada koordinat 107o38’16.8’’ -107o56’42’’ BT dan 6o57’14.4’’-7o13’19.2’’ LS. Luas wilayah Sub DAS ini adalah 79935.5 Ha. Aliran sungai yang menjadi kajian dalam penelitian ini (Gambar 5) adalah Sungai Citarum hingga ruas Sapan dan anak sungainya yaitu Cirasea, Cisangkan, Cikaro, Cikawao dan Cipadaulun. Sungai Citarik dan anak sungainya yaitu sungai Cikijing dan sungai Cimande serta Sungai Cikeruh dan anak sungainya yaitu sungai Cisaranten. Peran Sungai Citarik dan Cikeruh serta anak-anak sungainya dalam kontinuitas aliran terhadap Sungai Citarum sangat diperlukan sebagai kontrol hidrologi dalam menjaga kualitas dan kuantitas air.

(39)

23 Topografi Wilayah

DAS Citarum hulu secara umum memiliki ketinggian yang bervariasi dari dataran menuju perbukitan (650 – 1800 mdpl). Topografi sebagian besar wilayah tengah hingga hilirnya berupa dataran dengan kelas kemiringan lahan <8% (Gambar 6). Proporsi kelas kemiringan lahan <8% tertinggi berada di wilayah Sub DAS Citarum hulu sebesar 16.5% dari total wilayah studi. Wilayah hulu hingga bagian tengah berada pada kelas kemiringan lereng yang bervariasi >8%. Dominasi kelas kemiringan lereng wilayah hulu hingga tengah berada pada sekitar 15-25%. Variasi persentase kemiringan lereng di wilayah ini sebagai salahsatu faktor yang mempengaruhi potensi sumberdaya air.

Morfologi DAS Citarum bagian hulu dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) satuan utama yaitu Satuan vulkanik sebagian besar terletak di bagian Utara. Satuan vulkanik terdiri atas cone vulkanik, lereng, dan vulkanik-tektonik (Dataran Lembang). Relief dari unit geomorfologi vulkanik berkisar dari sangat datar (Dataran Lembang) hingga lereng sangat curam. satuan struktural terletak di bagian Selatan. Satuan struktural merupakan areal yang terbentuk dari patahan normal Lembang, yang tersebar dari arah timur hingga barat. Fisiografi lahan WS Citarum bagian hulu nampak seperti cekungan raksasa, yang lebih dikenal sebagai cekungan Bandung. WS Citarum bagian hulu dikelilingi oleh daerah pegunungan dan perbukitan antara lain (1) Bagian utara terdapat Gunung Tangkuban Perahu (2) Bagian timur terdapat Gunung Munggang dan Gunung Mandalawangi (3) Bagian selatan terdapat Gunung Malabar, Puncak Besar, Puntang, Haruman, Gunung Tilu, Gunung Tikukur, dan Gunung Guha (4) Bagian barat terdapat punggung-punggung gunung yang tidak beraturan (RCMU 2011).

(40)

24

Aspek Tata Guna Lahan

Wilayah studi di DAS Citarum hulu meliputi 9 kelas tata guna lahan. Klasifikasi tata guna lahan berdasarkan kriteria dari Badan Planologi (BAPLAN). Pola tata guna lahan di wilayah ini terdiri atas hutan (hutan lahan primer, hutan lahan sekunder dan hutan tanaman industri), pertanian (pertanian lahan kering, pertanian lahan kering bercampur semak), permukiman, sawah, semak/belukar, perkebunan dan tanah terbuka (Gambar 7). Luas hutan berdasarkan 3 kelas tata guna lahannya bervariasi untuk setiap wilayah dan secara keseluruhan berada di wilayah bagian hulu. Hutan lahan primer (HLP) hanya berada di wilayah Citarik hulu sebesar 1.02 km2 atau sekitar 0.13% dari total wilayah studi. Hutan Lahan Sekunder (HLS) relatif tersebar di setiap wilayah Sub DAS seperti Citarum hulu, Citarik hulu, Citarik tengah, Cimande dan Cikeruh hulu dengan proporsi wilayah yang bervariasi sekitar 0.06-4.27% dari total wilayah studi. Luas hutan lahan sekunder tertinggi berada di wilayah Citarum hulu.

Luas permukiman dan sawah relatif berada di wilayah bagian hilir untuk setiap batas DAS. Proporsi tertinggi luas permukiman berada di wilayah Sub DAS Cisaranten sebesar 2.63%, sedangkan luas sawah proporsi tertinggi berada di wilayah Sub DAS Citarum hulu sebesar 11.8% dari total wilayah studi. Secara keseluruhan pertanian mendominasi wilayah ini sekitar 40% dari luas total wilayah studi. Luas pertanian lahan kering lebih dominan dibandingkan dengan pertanian lahan kering bercampur semak. Luas pertanian tertinggi berada di wilayah Sub DAS Citarum hulu dengan proporsi sebesar 18.23% dari total wilayah studi. Jenis tata guna lahan secara spesifik untuk wilayah Sub DAS ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Gambar

Gambar 4 Skema analisis statistik keterkaitan kualitas air terhadap jenis tata guna lahan
Gambar 5 Peta batas DAS wilayah studi
Gambar 6 Peta kemiringan lahan di DAS Citarum hulu
Gambar 6 Peta tata guna lahan di wilayah studi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Asuransi Sinarmas Jakarta Pusat Divisi Credit Control berhubungan positif, dapat dilihat dari besarnya nilai r sebesar 0,60 atau terletak pada 0,60 s/d 0,799 yang

Penerapan metode penskalaan dalam perancangan termodinamik motor baru mensyaratkan penentuan parameter-parameter yang mempengaruhi unjuk kerja motor yang sedang dirancang,

Setelah dilaksanakannya penelitian ini yang dimulai dari siklus I sampai pada siklus II sebelum dan sesudah diterapkannya media pembelajaran sebagai solusi untuk

Banyaknya pemain diindustri yang sama menyebabkan terjadinya persaingan harga sehingga pelaku usaha berlomba-lomba memberikan harga murah sesuai dengan kulitas yang apa adanya,

Hasil Penelitian didapatkan 3 buah koloni bakteri yaitu bakteri Proteus mirabilis, Escherichia coli dan Salmonella paratyphi B , hasil uji Bioassay bakteri Proteus mirabilis

Penelitian yang dilakukan oleh Hadi dan Sabeni (2002) menjelaskan bahwa perusahaan asing mendapat pelatihan yang lebih baik dalam bidang akuntansi dari perusahaan

Penulis menganalisis unsur tema dalam novel tersebut khususnya tema pokok (tema mayor), dan tema tambahan (tema minor).. Paper ini bemanfaat untuk membuat pembaca mengerti