• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Penginderaan Jauh dengan Citra Satelit Quickbird untuk Pemetaan Mangrove di Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Penginderaan Jauh dengan Citra Satelit Quickbird untuk Pemetaan Mangrove di Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE

DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA,

JAWA TENGAH

Oleh :

Suseno Wangsit Wijaya C06400040

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA

SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE

DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA,

JAWA TENGAH

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, November 2005

(3)

SUSENO WANGSIT WIJAYA. Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra Satelit QuickBird Untuk Pemetaan Mangrove di Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Dibimbing oleh VINCENTIUS PAULUS SIREGAR dan MUJIZAT KAWAROE.

Penelitian ini bertujuan untuk identifikasi mangrove dengan satelit QuickBird di Taman Nasional Karimunjawa. Selain itu juga dilakukan pemetaan ekosistem mangrove dan kajian Indeks Nilai Penting (INP) dari ekosistem mangrove tersebut.

Survei lapang dilaksanakan pada 3-12 Juli 2004 di Taman Nasional

Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah. Parametar yang diukur meliputi nama spesies dan diameter batang. Pengolahan citra dilakukan di Laboratorium Geomatic and Natural Recources, SEAMEO-BIOTROP, Bogor.

Citra Satelit QuickBird yang akan digunakan telah mengalami berbagai tahap pengolahan awal, yaitu : koreksi geometrik, koreksi radiometrik dan penajaman citra menggunakan komposit 423. Setelah itu dilakukan pembuatan training area dan supervised classification dengan metode maximum likelihood. Ketelitian klasifikasi dapat diketahui dengan confusion matrix.

Satelit ini mampu membedakan dua genus mangrove yaitu Avicennia dan Rhizophora. Genus lain yang terdapat di Karimunjawa tidak dapat dipisahkan karena luasannya kecil sehingga tidak dapat dibuat daerah latihnya. Untuk kerapatan mangrove ditentukan dengan indeks vegetasi.

Citra hasil klasifikasi dari komposit 423 tersebut memiliki overall accuracy sebesar 84,33% dengan koefisien kappa 0,812. Hal ini berarti jumlah total piksel yang terkelaskan dengan benar adalah 84,33% dan proses klasifikasi yang dilakukan memiliki ketepatan 81,20% yang dihasilkan dari klasifikasi acak. Indeks vegetasi yang digunakan adalah yang memiliki koefisien determinasi dan koefisien korelasi tertinggi. Dari indeks vegetasi yang dicobakan, koefisien determinasi terbesar untuk Rhizophora adalah RVI dengan (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73. Untuk Avicennia koefisien determinasi terbesar (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73 dengan TNDVI.

Setelah itu dilakukan proses overlay antara citra penutupan lahan dengan citra kerapatan dari indeks vegetasi. Hasil ini memberikan informasi mengenai genus mangrove dan tingkat kerapatannya. Pada hasil overlay kelas Rhizophora dengan kerapatan sedang memiliki luasan terbesar, dan kelas Avicennia dengan kerapatan sangat rapat memiliki luasan terkecil.

Kecilnya koefisien determinasi dan koefisien korelasi antara Indeks Nilai Penting (INP) dan nilai spektral satelit menandakan satelit belum mampu mendeteksi hubungan antara nilai spektral dengan INP mangrove. Kesulitan ini disebabkan INP merupakan indeks ekologi, yang menyatakan peranan jenis mangrove dalam komunitasnya.

(4)

DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA,

JAWA TENGAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Suseno Wangsit Wijaya C06400040

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(5)

MANGROVE DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA, JAWA TENGAH Nama : Suseno Wangsit Wijaya

NRP : C06400040

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si. NIP. 131 471 372 NIP. 132 090 871

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031

(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Topik yang diajukan adalah Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra Satelit QuickBird Untuk Pemetaan Mangrove di Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Ir. Mukjizat Kawaroe, M.Si. selaku komisi pembimbing, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini.

Penulis menyadari akan adanya kekurangan-kekurangan pada skripsi penelitian ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, November 2005

Suseno Wangsit Wijaya

(7)

DAFTAR ISI

2.2. Penyebaran dan Luas Hutan Mangrove... 3

2.3. Fungsi Ekosistem Hutan Mangrove ... 5

2.4. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mangrove ... 6

2.5. Penggunaan Indeks Vegetasi Untuk Kerapatan Mangrove ... 8

2.6. Karakteristik Satelit QuickBird ... 12

2.7. Keadaan Umum Wilayah Penelitian ... 14

3. BAHAN DAN METODE ... 17

3.1. Waktu dan Lokasi ... 17

3.2. Alat dan Bahan ... 17

3.3. Metode Penelitian ... 17

3.3.1. Survei lapang ... 18

3.3.1.1. Penentuan lokasi ... 18

3.3.1.2. Ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh ... 19

3.3.1.3. Parameter yang diukur ... 20

3.3.2. Pengolahan data lapang ... 20

3.3.3. Pemrosesan data citra ... 22

3.3.3.1. Pemulihan citra ... 22

3.3.3.2. Penajaman citra ... 24

3.3.3.3. Klasifikasi citra ... 24

3.3.3.4. Ketelitian klasifikasi ... 26

3.3.3.5. Algoritma yang digunakan ... 27

3.3.3.6. Gabungan citra hasil klasifikasi dengan indeks vegetasi ... 28

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1. Koreksi Radiometrik dan Geometrik ... 30

4.2. Klasifikasi Citra Komposit ... 32

4.3. Ketelitian Klasifikasi ... 37

(8)

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1. Kesimpulan ... 47

5.2. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

LAMPIRAN ... 51

(9)

Tabel Halaman

1. Karakteristik Satelit QuickBird ... 13

2. Bentuk Matriks Kesalahan (Confusion Matrix) ... 26

3. Nilai Digital Citra Sebelum dan Sesudah Koreksi Radiometrik ... 31

4. Luasan Penutupan Lahan Citra QuickBird Hasil Klasifikasi ... 36

5. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan Kerapatan Rhizophora dan Avicennia ... 39

6. Luasan Genus dan Kerapatan Mangrove ... 41

(10)

Gambar Halaman

1. Sifat Pantulan Komponen Vegetasi ... 6

2. Satelit QuickBird ... 12

3. Peta Lokasi Penelitian ... 18

4. Bentuk Petak Contoh ... 19

5. Diagram Alir Pengolahan Citra ... 29

6. Perbandingan Histogram Band 1 Sebelum dan Sesudah Koreksi Radiometrik ... 30

7. Citra Hasil Koreksi Geometrik dan Radiomertik ... 31

8. Penajaman Citra dengan RGB 423... 32

9. Histogram Citra Komposit 423 ... 33

10. Grafik Reflektansi Tiap Band Dari Beberapa Kenampakan Panjang Gelombang (ë) ...35

11. Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan Citra QuickBird Komposit 423 ... 36

12. Grafik Regresi Linear Antara Kerapatan Rhizophora dan RVI ... 39

13. Histogram Citra Dengan Indeks Vegetasinya ... 40

(11)

SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE

DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA,

JAWA TENGAH

Oleh :

Suseno Wangsit Wijaya C06400040

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(12)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA

SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE

DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA,

JAWA TENGAH

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, November 2005

(13)

SUSENO WANGSIT WIJAYA. Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra Satelit QuickBird Untuk Pemetaan Mangrove di Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Dibimbing oleh VINCENTIUS PAULUS SIREGAR dan MUJIZAT KAWAROE.

Penelitian ini bertujuan untuk identifikasi mangrove dengan satelit QuickBird di Taman Nasional Karimunjawa. Selain itu juga dilakukan pemetaan ekosistem mangrove dan kajian Indeks Nilai Penting (INP) dari ekosistem mangrove tersebut.

Survei lapang dilaksanakan pada 3-12 Juli 2004 di Taman Nasional

Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah. Parametar yang diukur meliputi nama spesies dan diameter batang. Pengolahan citra dilakukan di Laboratorium Geomatic and Natural Recources, SEAMEO-BIOTROP, Bogor.

Citra Satelit QuickBird yang akan digunakan telah mengalami berbagai tahap pengolahan awal, yaitu : koreksi geometrik, koreksi radiometrik dan penajaman citra menggunakan komposit 423. Setelah itu dilakukan pembuatan training area dan supervised classification dengan metode maximum likelihood. Ketelitian klasifikasi dapat diketahui dengan confusion matrix.

Satelit ini mampu membedakan dua genus mangrove yaitu Avicennia dan Rhizophora. Genus lain yang terdapat di Karimunjawa tidak dapat dipisahkan karena luasannya kecil sehingga tidak dapat dibuat daerah latihnya. Untuk kerapatan mangrove ditentukan dengan indeks vegetasi.

Citra hasil klasifikasi dari komposit 423 tersebut memiliki overall accuracy sebesar 84,33% dengan koefisien kappa 0,812. Hal ini berarti jumlah total piksel yang terkelaskan dengan benar adalah 84,33% dan proses klasifikasi yang dilakukan memiliki ketepatan 81,20% yang dihasilkan dari klasifikasi acak. Indeks vegetasi yang digunakan adalah yang memiliki koefisien determinasi dan koefisien korelasi tertinggi. Dari indeks vegetasi yang dicobakan, koefisien determinasi terbesar untuk Rhizophora adalah RVI dengan (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73. Untuk Avicennia koefisien determinasi terbesar (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73 dengan TNDVI.

Setelah itu dilakukan proses overlay antara citra penutupan lahan dengan citra kerapatan dari indeks vegetasi. Hasil ini memberikan informasi mengenai genus mangrove dan tingkat kerapatannya. Pada hasil overlay kelas Rhizophora dengan kerapatan sedang memiliki luasan terbesar, dan kelas Avicennia dengan kerapatan sangat rapat memiliki luasan terkecil.

Kecilnya koefisien determinasi dan koefisien korelasi antara Indeks Nilai Penting (INP) dan nilai spektral satelit menandakan satelit belum mampu mendeteksi hubungan antara nilai spektral dengan INP mangrove. Kesulitan ini disebabkan INP merupakan indeks ekologi, yang menyatakan peranan jenis mangrove dalam komunitasnya.

(14)

DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA,

JAWA TENGAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Suseno Wangsit Wijaya C06400040

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(15)

MANGROVE DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA, JAWA TENGAH Nama : Suseno Wangsit Wijaya

NRP : C06400040

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si. NIP. 131 471 372 NIP. 132 090 871

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031

(16)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Topik yang diajukan adalah Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra Satelit QuickBird Untuk Pemetaan Mangrove di Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Ir. Mukjizat Kawaroe, M.Si. selaku komisi pembimbing, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini.

Penulis menyadari akan adanya kekurangan-kekurangan pada skripsi penelitian ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, November 2005

Suseno Wangsit Wijaya

(17)

DAFTAR ISI

2.2. Penyebaran dan Luas Hutan Mangrove... 3

2.3. Fungsi Ekosistem Hutan Mangrove ... 5

2.4. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mangrove ... 6

2.5. Penggunaan Indeks Vegetasi Untuk Kerapatan Mangrove ... 8

2.6. Karakteristik Satelit QuickBird ... 12

2.7. Keadaan Umum Wilayah Penelitian ... 14

3. BAHAN DAN METODE ... 17

3.1. Waktu dan Lokasi ... 17

3.2. Alat dan Bahan ... 17

3.3. Metode Penelitian ... 17

3.3.1. Survei lapang ... 18

3.3.1.1. Penentuan lokasi ... 18

3.3.1.2. Ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh ... 19

3.3.1.3. Parameter yang diukur ... 20

3.3.2. Pengolahan data lapang ... 20

3.3.3. Pemrosesan data citra ... 22

3.3.3.1. Pemulihan citra ... 22

3.3.3.2. Penajaman citra ... 24

3.3.3.3. Klasifikasi citra ... 24

3.3.3.4. Ketelitian klasifikasi ... 26

3.3.3.5. Algoritma yang digunakan ... 27

3.3.3.6. Gabungan citra hasil klasifikasi dengan indeks vegetasi ... 28

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1. Koreksi Radiometrik dan Geometrik ... 30

4.2. Klasifikasi Citra Komposit ... 32

4.3. Ketelitian Klasifikasi ... 37

(18)

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1. Kesimpulan ... 47

5.2. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

LAMPIRAN ... 51

(19)

Tabel Halaman

1. Karakteristik Satelit QuickBird ... 13

2. Bentuk Matriks Kesalahan (Confusion Matrix) ... 26

3. Nilai Digital Citra Sebelum dan Sesudah Koreksi Radiometrik ... 31

4. Luasan Penutupan Lahan Citra QuickBird Hasil Klasifikasi ... 36

5. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan Kerapatan Rhizophora dan Avicennia ... 39

6. Luasan Genus dan Kerapatan Mangrove ... 41

(20)

Gambar Halaman

1. Sifat Pantulan Komponen Vegetasi ... 6

2. Satelit QuickBird ... 12

3. Peta Lokasi Penelitian ... 18

4. Bentuk Petak Contoh ... 19

5. Diagram Alir Pengolahan Citra ... 29

6. Perbandingan Histogram Band 1 Sebelum dan Sesudah Koreksi Radiometrik ... 30

7. Citra Hasil Koreksi Geometrik dan Radiomertik ... 31

8. Penajaman Citra dengan RGB 423... 32

9. Histogram Citra Komposit 423 ... 33

10. Grafik Reflektansi Tiap Band Dari Beberapa Kenampakan Panjang Gelombang (ë) ...35

11. Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan Citra QuickBird Komposit 423 ... 36

12. Grafik Regresi Linear Antara Kerapatan Rhizophora dan RVI ... 39

13. Histogram Citra Dengan Indeks Vegetasinya ... 40

(21)

Lampiran Halaman

1. Data Hasil Survei Lapang ... 51

2. Perhitungan Statistik Nilai Rentang, Nilai Rata-Rata dan Standar Deviasi Nilai Digital... 54

3. Grafik Rata-Rata dan Standar Deviasi Digital Number Tiap Band ... 55

4. Contoh Perhitungan Uji Nilai Tengah (Uji T) ... 56

5. Nilai Thitung Citra Komposit 423 ... 57

6. Confusion Matrix Klasifikasi Citra Komposit 423 ... 58

7. Nilai Kerapatan Vegetasi Mangrove dan Nilai Indeks Vegetasinya ... 59

8. Nilai INP Mangrove dan Nilai Indeks Vegetasinya ... 60

9. INP Mangrove Tingkat Pohon, Anakan, dan Semai Tiap Stasiun ... 60

10. Resample Karakteristik Spektral ... 64

(22)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, yaitu diperkirakan sepanjang 81.000 km (Dahuri, et al., 1996). Pada garis pantai sepanjang itu terkandung potensi sumberdaya alam wilayah pesisir yang jumlahnya cukup besar. Salah satu sumberdaya pesisir di Indonesia adalah ekosistem hutan mangrove.

Hutan mangrove memiliki berbagai fungsi ekologi, ekonomi dan sosial. Secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai feeding ground, spawning grounds, dan nursery ground. Secara ekonomi hutan mangrove dapat

dimanfaatkan kayunya untuk bahan bangunan dan arang, dikembangkan untuk lahan pertambakan dan pertanian, serta daerah ekowisata (eco-tourism). Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha atau 3,98% dari seluruh hutan Indonesia (Nontji, 1987). Pada tahun 1993 Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan (INTAG) memperkirakan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia tinggal 3,73 juta ha.

Taman Nasional Laut Karimunjawa merupakan kawasan konservasi yang memiliki ekosistem mangrove. Meskipun Karimunjawa merupakan taman nasional tetapi tetap terjadi kerusakan dan degdradasi hutan mangrove. Kerusakan hutan mangrove ini diakibatkan oleh pembukaan lahan tambak dan pemanfaatan kayu hutan mangrove oleh masyarakat setempat.

(23)

berguna untuk pengelolaan dan penetapan kebijakan pada ekosistem mangrove dan daerah pesisir.

Dalam melakukan pemantauan dan inventarisasi mangrove tidaklah mudah. Kesulitan pemetaan di lapangan merupakan kendala kelangkaan data mangrove. Sebagai alternatifnya dikembangkan teknik penginderaan jauh. Teknik ini memiliki jangkauan yang luas dan dapat memetakan daerah-daerah yang sulit dijangkau dengan perjalanan darat.

Salah satu data penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan untuk memantau hutan mangrove adalah citra Satelit QuickBird. Citra ini memiliki lebar sapuan 16,5 x 16,5 km2 dengan resolusi spasial 2,44 m untuk sensor multispectral. Pengamatan hutan mangrove dengan citra satelit meliputi distribusi, luasan, dan kerapatan.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Identifikasi mangrove dengan satelit QuickBird

2. Mengkaji peranan spesies mangrove dalam komunitas mangrove

(24)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Ruang Lingkup Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara Bahasa Portugis mangue dan Bahasa Inggris grove. Dalam Bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan dalam Bahasa Inggris kata mangrove menggambarkan komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah

jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut (Macnae, 1974).

Menurut Nybakken (1982) hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan semua varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini.

Ciri khas yang dimiliki oleh spesies mangrove yaitu karakteristik morfologis yang terlihat pada sistem perakaran dan buahnya. Beberapa spesies mangrove memiliki sistem perakaran khusus yang disebut akar udara, cocok untuk kondisi tanah yang anaerobik dan spesies mangrove memproduksi buah yang biasanya disebarkan melalui air (Japan International Coorporation Agency/JICA, 1998).

2.2. Penyebaran dan Luas Hutan Mangrove

(25)

gerakan gelombang, bila pantai dalam keadaan sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan akarnya.

Tumbuhan ini dapat tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur dan lingkungan yang anaerob. Mangrove juga dapat tumbuh pada substrat pasir, batu atau karang yang terlindung dari gelombang, karena itu mangrove banyak ditemukan pada pantai-pantai teluk, estuari, lagun dan pantai terbuka yang berhadapan dengan terumbu karang yang memecah gelombang datang.

Luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan kurang lebih 3,7 juta ha (Direktorat Bina Program, 1982 in Kusmana, 1995). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh FAO/UNDP (1982) in JICA (1998), total areal mangrove di Indonesia adalah 4,25 juta ha. Menurut Nontji (1987) luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha atau 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia.

Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang termasuk tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis; 35 jenis berupa pohon, dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), epifit (29 jenis) dan parasit (2 jenis) (Nontji, 1987). Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting atau dominan yang termasuk dalam empat famili Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Avicenniaceae, dan Meliaceae.

Areal hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di Pesisir Timur

(26)

Menurut Kusmana (1995) terjadinya proses pengurangan lahan mangrove di beberapa propinsi disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini :

1. Konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain seperti pemukiman, pertanian, industri, pertambangan dan lain-lain

2. Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan-perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan lainnya

3. Polusi di perairan estuaria, pantai dan lokasi-lokasi perairan lainnya tempat tumbuhnya mangrove

4. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses abrasi atau sedimentasi yang tidak terkendali

2.3. Fungsi Ekosistem Hutan Mangrove

Menurut Soegiarto (1982) manfaat hutan mangrove yang tidak langsung adalah :

1. Sebagai pelindung pantai 2. Sebagai pengendali banjir

3. Sebagai pengendali bahan pencemar, dan

4. Sebagai sumber energi atau bahan organik bagi lingkungan sekitarnya Manfaat hutan mangrove secara langsung adalah berupa kayu, bahan baku chips, pulp dan tanin. Mangrove juga memiliki peranan sebagai daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makan (feeding grounds) dan daerah

(27)

2.4. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mangrove

Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer, 1990).

Menurut Lo (1996), aplikasi baru dari penginderaan jauh multispektral telah menitikberatkan pada estimasi jumlah dan distribusi vegetasi. Estimasi

didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi. Intensitas pantulan tergantung pada panjang gelombang yang digunakan dan tiga komponen vegetasi, yaitu daun, substrat dan bayangan.

Daun memantulkan lemah pada panjang gelombang biru dan merah, namun memantulkan kuat pada panjang gelombang inframerah dekat (Gambar 1). Daun memiliki karakteristik warna hijau, dimana klorofil mengabsorbsi spektrum radiasi merah dan biru serta memantulkan spektrum radiasi hijau.

Sumber : Lo, 1996

(28)

Menurut Susilo (2000) penginderaan jauh untuk vegetasi mangrove didasarkan atas dua sifat penting yaitu bahwa mangrove mempunyai zat hijau daun (klorofil) dan mangrove tumbuh di pesisir. Dua hal ini akan menjadi pertimbangan penting di dalam mendeteksi mangrove melalui satelit. Sifat optik klorofil sangat khas yaitu bahwa klorofil menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan dengan kuat spektrum inframerah.

Klorofil fitoplankton yang berada di air laut dapat dibedakan dari klorofil mangrove karena sifat air yang sangat menyerap spektrum inframerah. Tanah, pasir dan batuan juga memantulkan infra merah tetapi bahan-bahan ini tidak menyerap spektrum sinar merah sehingga tanah dan mangrove secara optik juga dapat dibedakan.

Beberapa aspek lingkungan mangrove yang dapat dipelajari dengan

menggunakan penginderaan jauh adalah spesies mangrove dan identifikasi zonasi, perubahan tata guna lahan mangrove, keberadaan mangrove dan distribusinya, serta lingkungan fisik mangrove (Hartono, 1994).

Chaudhury (1985) manjelaskan bahwa informasi lebih lanjut yang dapat diperoleh dari penginderaan jauh untuk studi ekosistem mangrove adalah :

1. Identifikasi dan kuantifikasi hutan mangrove

2. Identifikasi dan kenampakan zona (tipe-tipe vegetasi) di daerah mangrove 3. Identifikasi keberadaan dan profil dataran berlumpur

(29)

7. Monitoring karakteristik air (contoh : salinitas, turbiditas) di dearah mangrove

8. Monitoring tata guna lahan mangrove (contoh : akuakultur, kehutanan) 9. Monitoring perubahan aktivitas penggunaan lahan di daerah mangrove Indeks vegetasi yang dapat diperoleh dari citra satelit dan digital airbone data untuk area mangrove menunjukkan hubungan yang dekat dengan Indeks Luas Daun (Leaf Area Index atau LAI) dan persentase penutupan kanopi mangrove. LAI didefinisikan sebagai area daun pada satu sisi tunggal daun di tiap unit area tanah.

LAI dapat digunakan untuk memprediksi pertumbuhan dan buah, dan

memantau perubahan kanopi yang diakibatkan oleh polusi dan perubahan iklim. LAI dapat digunakan untuk mengetahui status dan produktivitas ekosistem mangrove. Sama halnya dengan LAI, penutupan kanopi juga digunakan untuk mengukur densitas pohon (Green et al., 2000).

Menurut Lo (1996), pantulan spektral dari kanopi vegetasi bervariasi menurut panjang gelombang karena adanya sifat pantulan hemispheric dari individu daun. Daun terbentuk dari tiga lapisan bahan organik serat yang berstruktur, dimana ketiga lapisan tersebut mempunyai pigmen, kandungan air, dan ruang udara. Ketiga sifat tersebut mempengaruhi sifat pantulan, penyerapan, dan transmisi.

2.5. Penggunaan Indeks Vegetasi Untuk Kerapatan Mangrove

(30)

pendekatan yang bersifat matematis, dengan pendekatan tersebut hasil yang didapatkan mencerminkan keadaan vegetasi pada saat tertentu.

Indeks vegetasi adalah persentase pemantulan radiasi matahari oleh permukaan daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil. Jadi banyaknya konsentrasi klorofil yang terkandung dalam suatu permukaan tanaman khususnya daun akan menunjukkan tingkat kehijauan tanaman tersebut.

Pemantauan indeks vegetasi ini didasarkan pada karakteristik pantulan objek. Pada panjang gelombang inframerah dekat nilai pantulan dari objek (vegetasi) tinggi, sedangkan pada selang panjang gelombang merah nilai pantulannya rendah. Jika kedua kanal ini dikombinasikan akan dihasilkan data yang memiliki pantulan yang respon terhadap kehijauan vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1990). Fanani (1992) menyatakan bahwa dengan memahami perbedaan intensitas radiasi tenaga elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan maka akan dapat diidentifikasi jenis pohon atau tegakan hutan, umur, kesehatan, kerapatan dan tekanan kelembaban dari suatu kelompok hutan.

Hasil penelitian Dirgahayu (1992) memperlihatkan adanya hubungan antara kerapatan tegakan dengan indeks vegetasi yang diperoleh dari data inderaja satelit (Landsat-TM dan SPOT). Penelitian tersebut diterapkan untuk menduga potensi hutan (volume tegakan dan biomassa hutan) pada hutan primer dan sekunder di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

(31)

Estimasi LAI didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi (Lo, 1996). LAI daun berhubungan negatif dengan pantulan merah, tapi berhubungan positif dengan pantulan inframerah. Rasio pantulan merah dengan inframerah dekat menunjukkan kenaikan LAI.

Berdasarkan keadaan tersebut maka dapat dibentuk model-model algoritma yang dapat menghasilkan nilai untuk menduga kehijauan vegetasi. Nilai inilah yang disebut dengan indeks vegetasi. Adapun beberapa formula indeks vegetasi yang digunakan untuk memantau vegetasi, antara lain :

1. Indeks Mangrove (IM) = NIR / (MIR)2 (Daniher dan Luck, 1991)

2. Difference Vegetation Index (DVI) = NIR - RED (Richardson dan Weigand, 1997 in Hariyadi, 1999)

3. Middle Infra Red Index (MIR) = (MIR-RED) / (MIR+RED) (Roy dan Shirish, 1994 in Hariyadi, 1999)

4. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) = (NIR-RED) / (NIR+RED) (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)

5. Ratio Vegetation Index (RVI) = NIR / RED (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)

6. Transformed Ratio Vegetation Index (TRVI) = (NIR/RED) (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)

7. Transformed Normalized Vegetation Index (TNDVI) = (NDVI+0.5)

(Deering, 1974 in Hariyadi 1999) Keterangan :

(32)

NIR = nilai digital pada citra kanal inframerah dekat (kanal 4) MIR = nilai digital pada citra kanal inframerah menengah (kanal 5) Secara kualitatif, Food and Agriculture Organization / FAO (1982) in Dirgahayu et al.(1992) telah mendefinisikan batasan mengenai kelas kerapatan hutan mangrove. Kerapatan tajuk dapat dikelaskan secara umum sebagai berikut :

1. Kerapatan tertutup (closed) dengan kerapatan > 80%

2. Kerapatan rapat (dense) dengan kerapatan antara 40% - 80% 3. Kerapatan sedang (open) dengan kerapatan antara 10% - 40% 4. Kerapatan jarang (sparse) dengan kerapatan antara 2% - 10%

Di kawasan hutan Indonesia, kelas kerapatan hutan mangrove yang digunakan oleh FAO tidak seluruhnya dapat diterapkan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya Dirgahayu et al.(1992) membagi kerapatan hutan menjadi selang-selang sebagai berikut :

1. Kerapatan 10% -20%; strata hutan jarang 2. Kerapatan 20% - 30%; strata hutan sedang 1 3. Kerapatan 30% - 40%; strata hutan sedang 2 4. Kerapatan 40% - 50%; strata hutan sedang 3 5. Kerapatan 50% - 60%; strata hutan rapat 1 6. Kerapatan 60% - 70%; strata hutan rapat 2 7. Kerapatan 70% - 80%; strata hutan rapat 3 8. Kerapatan 80% - 100%; strata hutan tertutup

Identifikasi dan klasifikasi objek vegetasi menggunakan data satelit

(33)

Dewanti (1999) mengemukakan bahwa pada umumnya mangrove jenis Avicennia spp. dan Sonneratia spp. mempunyai nilai NDVI relatif rendah dibanding dengan Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, kerapatan, warna daun dan asosiasi dengan tumbuhan bawah yang menutupi permukaan lahan.

2.6. Karakteristik Satelit QuickBird

Satelit QuickBird diluncurkan pada Bulan Oktober 2001. Satelit ini merupakan salah satu satelit tercanggih, terbaru dan terbaik karena resolusi spasialnya yang sangat tinggi, dan datanya sudah bisa didapatkan di pasaran secara komersial. Satelit ini mempunyai berat 2100 pounds dan panjang 3,04 m (Gambar 2).

Sumber : Digital Globe, 2004 Gambar 2. Satelit QuickBird

(34)

membutuhkan ketelitian yang tinggi pada skala area yang kecil. Contohnya adalah pemetaan secara detail dan perencanaan tata kota.

Satelit ini mempunyai orbit polar sunsynchronus, yaitu orbitnya akan melewati tempat-tempat yang terletak pada lintang yang sama dan dalam waktu lokal yang sama pula. Satelit QuickBird melewati tempat yang sama untuk satu putaran kira-kira 1-3 hari, ini merupakan kemajuan yang sangat hebat dibandingkan berbagai satelit yang diluncurkan tahun 1980-an dan 1990-an.

Periode orbit dari satelit ini adalah 93,4 menit dengan sudut inklinasi 980 dan ketinggiannya 450 km di atas permukaan bumi. Minimum area yang terliput oleh citra satelit QuickBird adalah 8 x 8 km2. Karakteristik lebih lanjut dari Satelit QuickBird akan di berikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Satelit QuickBird

Kanal (Band) Panjang Gelombang (µm)

1 0,45 – 0,52 (biru) 2 0,52 – 0,60 (hijau) 3 0,63 – 0,69 (merah) 4 0,76 – 0,89 (IR dekat) PAN 0,45 – 0,90 (PAN)

Sumber : Digital Globe, 2004

Menurut Lillesand dan Kiefer (1994), karakteristik tiap kanal (spektrum energi) adalah sebagai berikut :

a. Kanal 1, spektrum biru

(35)

b. Kanal 2, spektrum hijau

Digunakan untuk mengukur pantulan warna hijau dari puncuk vegetasi untuk mengetahui seberapa sehat vegetasi tersebut dan menguji daya tegak vegetasi. Juga untuk identifikasi kenampakan kultur.

c. Kanal 3, spektrum merah

Energi pada spektrum ini sangat kuat diserap oleh klorofil sehingga membantu perbedaan spesies tanaman. Diserap oleh banyak vegetasi.

d. Kanal 4, spektrum inframerah dekat

Energi pada saluran ini diserap seluruhnya oleh air, sehingga berguna untuk mengidentifikasi badan atau kolom air. Dipantulkan seluruhnya oleh vegetasi, sehingga berguna untuk menentukan tipe vegetasi, daya tegak, dan kandungan biomassanya. Menghasilkan kontras yang nyata antara darat dan air.

2.7. Keadaan Umum Wilayah Penelitian

Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Taman Nasional Laut ini terletak 45 mil laut di sebelah barat laut kota Jepara. Secara geografis Karimunjawa terletak antara 5040’-5071’ LS dan 11004’-110041’ BT.

Kepulauan Karimunjawa terdiri dari 27 pulau kecil dengan luas terkecil 0,5 ha (P.Batu dan P.Merica) dan terbesar 4.302,5 ha (P.Karimunjawa). Kepulauan ini membentang dari barat ke timur seluas 114.345 ha yang terdiri dari 107.225 ha perairan dan 7.210 ha daratan.

Pulau Karimunjawa mempunyai topografi bergelombang dengan puncak tertinggi mencapai 506 m di atas permukaan laut. Substrat dasar tanah di

(36)

berupa pasir putih dan sedikit pecahan-pecahan karang yang termasuk substrat campuran (substrat berpasir dan campuran gravel).

Temperatur udara di daerah ini antara 23° - 32° C, dengan musim hujan antara Bulan November sampai dengan Maret (Musim Barat). Pada musim ini angin cukup kencang dan terjadi gelombang yang besar. Umumnya pada musim hujan tersebut perhubungan kepulauan Karimunjawa dengan Pulau Jawa praktis terputus.

Taman Nasional Laut Karimunjawa merupakan kawasan konservasi laut yang memiliki kandungan potensi keanekaragaman flora dan fauna dan ekosistem laut yang khas. Kandungan potensi tersebut serta letaknya yang berada pada lintasan wisata bahari antara Indonesia Bagian Barat dan Timur menjadikan wilayah ini sebagai obyek wisata bahari yang strategis (BTNKJ, 2004).

Kawasan Taman Nasional Laut Karimunjawa dibagi ke dalam beberapa zonasi, agar berbagai kepentingan pemanfaatannya dapat berjalan selaras dan serasi.

Pembagian zonasi adalah sebagai berikut :

a) Zona Inti : zona ini diperuntukkan bagi upaya pelestarian sumber genetik dan perlindungan proses ekologi, meliputi P. Geleang dan P. Burung.

(37)

c) Zona Pemanfaatan : pada zona pemanfaatan dapat dilakukan kegiatan yang dapat menunjang pengembangan taman nasional antara lain kepariwisataan. Zona ini meliputi P. Menjangan Besar, P. Menjangan Kecil, P. Kumbang, P. Kembar, P. Karang Katang, P. Karang Besi dan sebagian P. Parang, P. Karimunjawa dan P. Kemujan.

d) Zona Penyangga : zona ini merupakan daerah pemanfaatan sumber daya alam secara tradisionil oleh masyarakat setempat dan merupakan tempat

bermukimnya penduduk, meliputi P. Nyamuk, sebagian P. Karimunjawa dan P. Kemujan, P. Parang dan pulau-pulau lain di perairan sekitarnya.

(38)

3. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Lokasi

Penelitian ini meliputi beberapa pulau di Taman Nasional Karimunjawa, yaitu P. Karimunjawa, P. Menjangan Besar dan P. Menjangan Kecil. Survei lapang dilaksanakan pada tanggal 3-12 Juli 2004 di Taman Nasional Laut Karimunjawa, Kabupaten / DATI II Jepara, Jawa Tengah. Analisis citra dilakukan di

Laboratorium Geomatic and Natural Resources, SEAMEO-BIOTROP, Bogor.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang diperlukan dalam penelitian lapang maupun analisis data adalah :

1. Kompas bidik 2. Meteran

3. Buku identifikasi mangrove Kitamura 4. GPS Garmin 12 XL

5. Peta rupabumi skala 1 : 25.000 dari BAKOSURTANAL 6. Print out peta komposit citra QuickBird

7. Software ER Mapper 5.5 dan Arc View 3.1 8. Citra Satelit QuickBird 3 Juli 2003

3.3. Metode Penelitian

(39)

Gambar 3. Lokasi Penelitian

3.3.1. Survei lapang

Survei lapang perlu dilakukan sebagai salah satu input data dalam menginterpretasi citra satelit di suatu daerah. Kegiatan survei lapangan ini meliputi berbagai kegiatan, baik pengukuran posisi dengan GPS, maupun pengumpulan data lapangan seperti identifikasi jenis mangrove dan pengukuran diameter batang. Pengambilan contoh dilakukan secara acak (random sampling), dimana tiap contoh mewakili beberapa tingkat kerapatan mangrove.

3.3.1.1. Penentuan lokasi

(40)

3.3.1.2. Ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh

Ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh tergantung pada strata pertumbuhan (pohon, semai, anakan), kerapatan dan keragaman jenis serta heterogenitas. Dalam penentuan ukuran petak pada prinsipnya adalah bahwa petak harus cukup besar agar mewakili komunitas, tetapi juga harus cukup kecil agar individu yang ada dapat dipisahkan.

Metode yang digunakan untuk memperoleh data kerapatan mangrove adalah metode transek kuadrat (quadrate transect). Metode ini digunakan untuk menghitung jumlah tegakan mangrove di dalam transek berukuran 10 m x 10 m, 5 m x 5 m, dan 1 m x 1 m. Transek 1 m x 1 m dan 5 m x 5 m terletak di dalam transek 10 m x 10 m (Gambar 4).

Sumber : English et al., 1994 Gambar 4. Bentuk Petak Contoh

Transek 10 m x 10 m digunakan untuk menghitung jumlah tegakan mangrove pada tingkat pohon yang memiliki diameter batang > 4 cm. Transek 5 m x 5 m digunakan untuk menghitung jumlah tegakan mangrove pada tingkat anakan dengan diameter batang < 4 cm dan tingginya > 1 m. Transek 1 m x 1 m

5x5 m2

1x1 m2

(41)

digunakan untuk menghitung jumlah tegakan mangrove pada tingkat semai yang tingginya kurang dari 1 m.

3.3.1.3. Parameter yang diukur

Dalam analisis vegetasi ada beberapa parameter yang diamati di lapangan, yaitu :

a. Nama spesies

b. Diameter batang, dengan cara mengukur kelilingnya, untuk mengetahui luas bidang dasar untuk menduga volume pohon dan tegakan

3.3.2. Pengolahan data lapang

Data mengenai spesies, diameter batang, dan jumlah tegakan diolah lebih lanjut untuk mendapatkan kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan, dan indeks nilai penting.

a. Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area :

A

A = luas total petak pengambilan contoh (luas plot / transek)

b. Kerapatan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan

(42)

c. Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh /

p = jumlah total petak contoh atau plot yang diamati

d. Frekuensi Relatif Jenis (RF) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi)

dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (

F) :

100

e. Penutupan Jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area :

A

DBH (diameter pohon dari jenis i) = π CBH

CBH = lingkaran pohon setinggi dada

A = Luas total petak pengambilan contoh (luas plot atau transek)

f. Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan

(43)

Jumlah nilai kerapatan relatif jenis (RDi), frekuensi relatif jenis (RFi) dan penutupan relatif jenis (RCi) menunjukkan Indeks Nilai Penting (INP), yang dilambangkan dengan IVi :

IVi = RDi + RFi + RCi

Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 dan 300. Nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove.

3.3.3. Pemrosesan data citra

Citra QuickBird diproses dengan menggunakan software ER Mapper 5.5 dan Arc View 3.1, sedangkan analisis visual dilakukan berdasarkan hasil identifikasi objek.

Beberapa tahap yang akan dilakukan dalam pengolahan citra antara lain : pemulihan citra, penajaman citra dan klasifikasi citra. Dari tahapan inilah informasi mengenai kerapatan dan distribusi mangrove didapatkan (Gambar 5).

3.3.3.1. Pemulihan citra

(44)

Transformasi koordinat dilakukan dengan menggunakan Ground Control Point atau disebut juga GCP. GCP (titik kontrol tanah) adalah suatu kenampakan

geofrafis yang unik dan stabil sifat geometrik dan radiometriknya serta lokasinya dapat diketahui dengan tepat, misalnya : persimpangan jalan, sudut dari suatu bangunan ataupun tambak dan sebagainya.

GCP yang telah ditentukan ditempatkan pada citra dan pada peta topografi dengan tingkat akurasi satu pixel. Penempatan GCP yang benar akan

menghasilkan matriks transformasi hubungan titik-titik pada citra dan sistem proyeksi yang terpilih.

Pada tahap ini titik persamaan pada citra (u,v) ditransformasikan ke dalam koordinat peta (x,y) dengan menggunakan fungsi pemetaan (f dan g), seperti yang dijelaskan pada persamaan dibawah ini :

u = f (x,y) v = g (u,v)

Proses penerapan alih ragam geometrik terhadap data asli disebut resampling. Dalam melakukan resampling dapat dilakukan dengan tiga teknik, yaitu : nearest neighbour, bilenier dan cubic convolution.

Pengaruh atmosfer (penghamburan dan penyerapan), noise pada waktu transmisi data, perubahan cahaya, radiasi dan buramnya bagian optik pada sistem pencitraan dapat menyebabkan distorsi radiomertik. Koreksi radiometrik

(45)

Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode penyesuaian histogram (histogram adjusment), yaitu dengan mengurangi nilai kanal terdistorsi ke arah kiri sehingga nilai minimumnya menjadi nol.

Secara matematis, koreksi pengaruh atmosfer dengan penyesuaian histogram dapat dilihat pada persamaan di bawah ini :

DNi,j,k(output:tekoreksi)= DNi,j,k(input:asli) – bias

3.3.3.2. Penajaman citra

Penajaman citra digunakan untuk memperjelas penampakan objek yang terdapat pada citra sehingga dapat diperoleh citra yang informatif. Tujuan dari penajaman citra adalah untuk mempertajam interpretabilitas visual citra, baik untuk memperoleh keindahan gambar atau untuk analisis citra.

Penajaman ini dilakukan sebelum menampilkan citra dengan tujuan meningkatkan informasi yang dapat diinterpretasi secara digital. Prosesnya melibatkan penajaman kontras yang tampak pada wujud gambaran yang terekam pada citra, sehingga dapat memperbaiki kenampakan citra dan meningkatkan perbedaan yang ada di antara objek yang ada dalam citra.

Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam penajaman citra khususnya untuk kerapatan dan distribusi mangrove. Salah satu tekniknya dengan False Colour Composit (FCC) yang merupakan penajaman dengan menggabungkan tiga warna primer, yaitu merah (red), hijau (green) dan biru (blue).

3.3.3.3. Klasifikasi citra

(46)

atau kategori berdasarkan kesamaan nilai spektral tiap piksel. Nilai spektral merupakan gambaran sifat dasar interaksi antara objek dengan spektrum yang bekerja.

Ada dua proses klasifikasi, yaitu : klasifikasi terbimbing (supervised

classification) dan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Pada penelitian ini digunakan supervised classification karena didukung dengan data lapangan.

Klasifikasi terbimbing bertujuan mengelompokkan secara otomatis kategori semua nilai piksel dalam citra menjadi beberapa kelas didasarkan pada daerah contoh (training area). Daerah contoh pada citra didapatkan dari peta acuan, data sekunder dan data lapangan.

Pengkelasan piksel pada supervised classification didasarkan pada kemiripan maksimum piksel dengan sekelompok piksel lainnya dalam citra. Pengkelasan ini dikenal dengan metode kemiripan maksimum (maximum likelihood).

Dengan metode maximum likelihood piksel yang belum diketahui identitasnya dikelompokkan berdasar vektor dan matriks kovarian dari setiap pola spektral kelas. Nilai peluang piksel yang belum teridentifikasi akan dihitung oleh komputer dan dimasukkan ke dalam salah satu kelas yang peluangnya paling tinggi.

(47)

3.3.3.4. Ketelitian klasifikasi

Ketelitian klasifikasi dilakukan dengan perhitungan matriks kekeliruan

(confusion matrix). Matriks ini berordo (m x m) dan variabel A, B, C adalah kelas yang didapatkan dari proses klasifikasi.

Baris dan kolom matriks menunjukkan jumlah piksel hasil pengujian pada kelas-kelas tersebut. Jumlah seluruh piksel yang terdapat pada setiap baris dan kolom adalah jumlah total piksel yang diuji.

Tabel 2. Bentuk Matriks Kesalahan (Confusion Matrix) Reference

Pada kasus yang ideal seluruh sel di luar diagonal utama bernilai nol, yang mengisyaratkan tidak ada penyimpangan dalam klasifikasi. Nilai dalam sel di bawah diagonal utama menunjukkan kekurangan jumlah piksel akibat masuk ke dalam kelas lain (comission error). Nilai dalam sel di atas diagonal utama merupakan kelebihan jumlah piksel (omission error).

(48)

persentase peluang rata-rata piksel dari citra yang telah terklasifikasi secara aktual mewakili kelas di lapangan. Overall accuracy (OA) adalah nilai persentase dari piksel yang terkelaskan dengan sempurna.

Selain itu dilakukan juga perhitungan koefisien kappa. Dalam koefisien kappa, off-diagonal tergabung sebagai total marginal kolam dan baris. Koefisien kappa akan mempunyai nilai lebih kecil dari overall accuracy. Koefisien kappa bernilai antara 0 – 1 (Edward, 2000).

Keterangan : r = jumlah baris dalam matriks

Xkk = jumlah pengamatan pada baris i dan kolom i Xk+ dan X+k = total marginal dari baris i dan kolom i N = jumlah total dari pengamatan

3.3.3.5. Algoritma yang digunakan

Untuk penentuan tingkat kerapatan kanopi mangrove dilakukan analisis indeks vegetasi. Analisis ini dilakukan dengan cara mengurangkan, menambah, dan membandingkan nilai digital setiap saluran yang spektralnya berbeda.

Beberapa algoritma yang digunakan untuk mengetahui kerapatan mangrove, antara lain :

a) Difference Vegetation Index (DVI) = NIR - RED (Richardson dan Weigand, 1997 in Hariyadi, 1999)

b) Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) = (NIR-RED) / (NIR+RED) (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)

(49)

(Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)

d) Transformed Ratio Vegetation Index (TRVI) = (NIR/RED) (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999)

e) Transformed Normalized Vegetation Index (TNDVI) = (NDVI+0.5) (Deering, 1974 in Hariyadi 1999)

Keterangan :

RED = nilai digital pada citra kanal merah (kanal 3)

NIR = nilai digital pada citra kanal inframerah dekat (kanal 4) Dari lima algoritma diatas akan dipilih satu algoritma terbaik, yaitu yang memiliki koefisien determinasi dan koefisien korelasi terbesar. Koefisien determinasi dan koefisien korelasi didapatkan dari hubungan data lapang dengan nilai pantulan spektral. Selanjutnya algoritma tersebut akan diproses untuk menentukan tingkat kerapatan mangrove.

3.3.3.6. Gabungan citra hasil klasifikasi dengan indeks vegetasi

Penutupan lahan berdasarkan hasil klasifikasi meliputi distribusi, genus, dan luasan mangrove, sedangkan kerapatan mangrove diperoleh dari klasifikasi indeks vegetasi.

(50)

Gambar 5. Diagram Alir Pengolahan Citra Citra Satelit

Koreksi Geometrik dan Radiometrik

Citra Komposit 423

Training Area

Pengujian Hasil Klasifikasi

Data Lapang

Ya Tidak

Hasil Baik

Citra Terklasifikasi

Pemilihan Indeks Vegetasi

TRVI = (NDVI)+0.5

Overlay

Citra Akhir

Intrepretasi

Avicennia Rhizophora

(51)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Koreksi Radiometrik dan Geometrik

Kesalahan geometrik adalah kesalahan distribusi spasial atau posisi lokasi dari nilai-nilai piksel yang diukur oleh sensor karena beberapa hal seperti : pergerakan satelit yang tidak stabil, rotasi bumi, dan perubahan posisi wahana terhadap objek. Untuk menanggulanginya maka pada citra perlu dilakukan koreksi geometrik. Pada dasarnya citra Satelit QuickBird sudah mengalami koreksi geometrik oleh stasiun penerima (Digital Globe TM). Untuk meningkatkan akurasi citra maka dilakukan koreksi geometrik dengan menggunakan GCP, koreksi ini dilakukan oleh BIOTROP.

Koreksi radiometrik dilakukan terhadap kesalahan yang terjadi akibat pengaruh atmosfer. Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode penyesuaian histogram (histogram adjusment), yaitu dengan mengurangi nilai kanal terdistorsi ke arah kiri sehingga nilai minimumnya menjadi nol (Gambar 6). Nilai digital tiap kanal sebelum dan sesudah koreksi radiometrik disajikan dalam Tabel 3.

Gambar 6. Perbandingan Histogram Band 1 Sebelum dan Sesudah Koreksi Radiometrik

(52)

Tabel 3. Nilai Digital Citra Sebelum dan Sesudah Koreksi Radiometrik Kanal Panjang

Gelombang (µm)

Nilai Digital Awal Nilai Digital Terkoreksi

1 0,45 – 0,52 46 – 252 0 – 206

2 0,52 – 0,60 34 – 254 0 – 220

3 0,63 – 0,69 16 – 253 0 – 237

4 0,76 – 0,89 8 – 254 0 – 246

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa semakin besar panjang gelombang pada kanal QuickBird, maka distorsi atmosfer terhadap kanal tersebut akan semakin berkurang. Pada panjang gelombang yang lebih pendek terjadi hamburan yang lebih kuat.

Citra yang akan diproses haruslah citra yang telah terkoreksi secara geometrik dan radiometrik (Gambar 7).

(53)

4.2. Klasifikasi Citra Komposit

Sebelum proses klasifikasi dilakukan proses masking citra. Proses ini bertujuan untuk memudahkan proses klasifikasi dan meningkatkan akurasi klasifikasi. Pada penelitian ini dilakukan masking pada area awan dan laut untuk setiap kanal.

Setelah itu dibuat terlebih dahulu citra komposit warna semu (False Colour Composit) pada kanal-kanal tertentu untuk mengetahui dan memperjelas objek pada citra. Citra komposit yang digunakan pada penelitian ini merupakan komposit dari kanal 4 (red), kanal 2 (green) dan kanal 3 (blue) (Gambar 8).

(54)

Pada citra komposit di atas, vegetasi mangrove tampak berwarna merah gelap yang terletak di pesisir pantai sedangkan vegetasi non-mangrove berwarna merah cerah dan terletak di tengah daratan. Pada citra tersebut laut yang berwarna biru dan awan yang berwarna putih telah dihilangkan (masking), untuk memudahkan dalam proses klasifikasi.

Untuk menentukan jumlah kelas yang akan diklasifikasikan pada citra

digunakan beberapa acuan, antara lain : visualisasi citra komposit, data lapang dan histogram citra komposit 423 (Gambar 9). Banyaknya puncak yang terdapat pada histogram dapat dianalogikan sebagai jumlah kelas yang dapat diklasifikasikan. Berdasarkan hasil pengamatan histogram, dapat diinterpretasikan bahwa citra komposit dapat dibagi menjadi 6 kelas, yaitu : 1.Pemukiman 2.Vegetasi lain 3.Bayangan Awan 4.Tambak 5.Avicennia 6.Rhizophora.

Gambar 9. Histogram Citra Komposit 423

(55)

kelas tambak antara 17 – 38, kelas Avicennia antara 81 – 95 dan Rhizophora antara 92 – 108.

Dalam penentuan genus mangrove dilakukan dengan proses pembesaran (zoom) pada daerah tersebut, kemudian dilihat histogramnya. Berdasarkan histogram maka mangrove di P. Karimunjawa dapat dibedakan menjadi 2 kelas, yaitu Avicennia dan Rhizophora. Genus mangrove lainnya yang terdapat di P. Karimunjawa belum dapat dikelaskan. Hal ini dikarenakan kecilnya luasan mangrove tersebut, sehingga sulit untuk dibuat daerah contohnya (training area). Proses klasifikasi citra diawali dengan pembuatan training area pada daerah yang homogen. Training area tersebut didapatkan dari survei lapang, pengamatan visual citra dan peta rupabumi. Dalam klasifikasi tiap kelas diwakili oleh training area pada citra.

Training area yang telah dibuat tersebut kemudian dihitung statistiknya untuk mengetahui ciri spektralnya sehingga dapat diketahui rata-rata, rentang atau distribusi digital number tiap kelas (Lampiran 2) dan tingkat keterpisahan spektral antar kelas (menggunakan uji nilai tengah / uji t). Secara visual keterpisahan spektral ditunjukkan oleh diagram kesesuaian spektral (Gambar 10).

Distribusi atau sebaran pola tanggapan spekral daerah contoh dapat

(56)

0

Sumber : Diolah dari Lampiran 2

Gambar 10. Grafik Reflektansi Tiap Band Dari Beberapa Kenampakan Panjang Gelombang (ë)

Sesuai Gambar 10 di atas, untuk memisahkan vegetasi non-mangrove dan mangrove digunakan kanal 4, karena kanal 4 memiliki respon spektral yang berbeda-beda tergantung banyaknya klorofil yang terdapat pada tanaman tersebut. Untuk memisahkan genus antara Avicennia dan Rhizophora juga digunakan kanal 4 sebagai kanal tunggal maupun dengan kombinasi kanal 3 dan kanal 4.

Untuk mengetahui keterpisahan spektral tiap kelas dapat juga digunakan uji nilai tengah (uji t). Uji t (Lampiran 5) dapat memperkuat kesimpulan dari distribusi kesesuaian spektral. Dengan uji ini dapat diketahui apakah suatu band dapat memisahkan suatu kelas dengan nyata atau tidak pada selang kepercayaan tertentu.

(57)

Peta hasil klasifikasi citra komposit 423 ditunjukkan pada Gambar 11. Klasifikasi citra komposit 423 memberikan informasi distribusi dan luas tutupan lahan. Luas tiap kelas tutupan lahan ditunjukkan pada Tabel 4.

Gambar 11. Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan Citra QuickBird Komposit 423

Tabel 4. Luasan Penutupan Lahan Citra QuickBird Hasil Klasifikasi

Kelas Jumlah Piksel Luas (ha)

Pemukiman 23.400 13,93

Bayangan Awan 98.361 58,56

Vegetasi Lain 2.461.412 1.465,43

Tambak 51.223 30,49

Avicennia 40.537 24,13

Rhizophora 198.117 117,95

(58)

vegetasi lain non-mangrove dan hanya terdapat beberapa tambak serta sedikit mangrove.

Pada P. Karimunjawa pemukiman banyak terdapat di pesisir selatan atau barat daya, hal ini dikarenakan pusat aktivitas penduduk seperti pelabuhan, sekolah dan pasar terkonsentrasi di daerah tersebut. Tambak terdapat di beberapa sisi pesisir pulau, dan untuk tutupan lahan didominasi oleh vegetasi lain non-mangrove karena relief pulau yang berbukit.

Untuk mangrove Rhizophora banyak terdapat di pesisir bagian barat dan utara, sedangkan Avicennia banyak terdapat di pesisir bagian utara. Pemukiman

memiliki areal terkecil sebesar 13,93 ha, sedangkan vegetasi lain memiliki luasan terbesar senilai 1.465,43 ha.

4.3. Ketelitian Klasifikasi

Ketelitian hasil klasifikasi dilakukan untuk mengetahui kualitas citra hasil klasifikasi dengan cara membuat matriks kesalahan (confusion matrix). Confusion matrix untuk tiap kelas ditampilkan pada Lampiran 6. Dari matriks tersebut dapat diketahui beberapa parameter keakuratan, antara lain : overall accuracy, producer accuracy, user accuracy, dan koefisien kappa.

Nilai produser accuracy berkisar antara 74% - 96%, dengan nilai terendah pada kelas Avicennia dan tertinggi pada kelas vegetasi lain. Nilai user accuracy berkisar antara 73,85% - 92,50%, dengan nilai terendah pada kelas vegetasi lain dan tertinggi pada kelas Avicennia.

(59)

Rhizophora adalah 76%, artinya peluang suatu piksel Rhizophora yang terkelaskan dengan benar adalah 76%.

User’s accuracy (UA) adalah nilai persentase peluang rata-rata piksel dari citra yang telah terklasifikasi secara aktual mewakili kelas di lapangan. Nilai user accuracy kelas Rhizophora adalah 88,64%, artinya setiap suatu area diberi label Rhizophora maka hanya 88,64% yang terwakili di lapangan.

Overall accuracy (OA) adalah nilai persentase dari piksel yang terkelaskan dengan sempurna, sedangkan koefisien kappa adalah ketepatan yang dihasilkan oleh klasifikasi acak. Nilai Overall accuracy citra komposit 423 adalah 84,33% dengan koefisien kappa 0,812. Dari nilai tersebut dapat diinterpretasikan bahwa jumlah total piksel yang terkelaskan dengan benar adalah 84,33% dan proses klasifikasi yang dilakukan memiliki ketepatan 81,20% dari klasifikasi acak.

4.4. Analisis Indeks Vegetasi Untuk Kerapatan Mangrove

Indeks vegetasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Difference Vegetation Index (DVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Ratio Vegetation Index (RVI), Transformed Ratio Vegetation Index (TRVI), dan Transformed Normalized Vegetation Index (TNDVI). Dari kelima indeks vegetasi tersebut akan dipilih salah satu indeks vegetasi yang memiliki koefisien

determinasi dan koefisien korelasi terbaik.

(60)

Tabel 5. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan Kerapatan Rhizophora dan

Dari indeks vegetasi tersebut yang memiliki koefisien determinasi terbesar untuk Rhizophora adalah RVI dengan koefisien determinasi (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73. Untuk Avicennia koefisien determinasi terbesar (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73 dengan TNDVI.

Sebagai contoh nilai R2 RVI untuk Rhizophora adalah 54,02%, ini menunjukkan bahwa hubungan antara kerapatan Rhizophora dan RVI dapat dijelaskan sebesar 54,02%, nilai r sebesar 0,73 menunjukkan hubungan kerapatan Rhizophora dan RVI erat (Gambar 12).

y = 0.0015x + 7.4196

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

Kerapatan (ind/ha)

R

V

I

Sumber : Diolah dari Lampiran 7

(61)

Persamaan yang dihasilkan adalah :

y = 0,0015x + 7,4196 Keterangan : y = nilai indeks vegetasi

x = kerapatan mangrove

Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi bernilai positif. Ini berarti kerapatan Rhizophora dengan RVI berbanding lurus, yaitu semakin besar kerapatan Rhizophora maka semakin besar pula nilai RVI dan begitu pula sebaliknya.

4.5. Overlay Klasifikasi Citra Komposit dan Indeks Vegetasi

Untuk menentukan jumlah kelas yang pada citra digunakan beberapa acuan, antara lain : visualisasi citra, data lapang dan histogram (Gambar 13). Banyaknya puncak yang terdapat pada histogram dapat dianalogikan sebagai jumlah kelas yang dapat diklasifikasikan.

Gambar 13. Histogram Citra Dengan Indeks Vegetasinya

(a) TNDVI untuk Avicennia dan (b) RVI untuk Rhizophora

(62)

Avicennia jarang 1,1359 – 1,1425, Avicennia sedang 1,1426 – 1,1529, Avicennia rapat 1,1530 – 1,1634, dan Avicennia sangat rapat > 1,1634.

Untuk selang nilai digital kerapatan Rhizophora dengan algoritma RVI yaitu : kelas Rhizophora sangat jarang < 6,02, Rhizophora jarang 6,03 – 7,91,

Rhizophora sedang 7,92 – 10,14, Rhizophora rapat 10,15 – 13,19, dan Rhizophora sangat rapat > 13,20.

Klasifikasi citra komposit 423 menghasilkan kelas penutupan lahan dengan dua kelas mangrove, yaitu Avicennia dan Rhizophora. Citra algoritma TNDVI menghasilkan beberapa tingkat kerapatan Avicennia, dan citra algoritma RVI menghasilkan beberapa tingkat kerapatan Rhizophora.

Overlay antara hasil klasifikasi citra komposit, kerapatan Avicennia dan kerapatan Rhizophora akan menghasilkan kelas mangrove berdasarkan

kerapatannya (Gambar 14). Luas tiap kelas genus mangrove dan kerapatannya ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Luasan Genus dan Kerapatan Mangrove

Kelas Jumlah Piksel Luas (ha)

Avicennia sangat jarang 5.497 0,55

Avicennia jarang 6.188 0,62

Avicennia sedang 14.399 1 ,44

Avicennia rapat 9.786 0,98

Avicennia sangat rapat 2.876 0,29

Rhizophora sangat jarang 21.534 2,15

Rhizophora jarang 47.396 4,74

Rhizophora sedang 68.781 6,88

Rhizophora rapat 49.626 4,96

(63)

Gambar 14. Peta Distribusi dan Kerapatan Mangrove di P. Karimunjawa

Dari gambar dan tabel di atas dapat dilihat bahwa luasan terbesar ada pada kelas Rhizophora dengan kerapatan sedang, sedangkan luasan terkecil terdapat pada kelas Avicennia sangat rapat. Hal ini sangat dimungkinkan karena Rhizophora banyak terdapat di sepanjang pesisir pulau sedangkan Avicennia hanya banyak terdapat pada pesisir utara saja.

Avicennia merupakan tumbuhan pionir bagi mangrove, sedangkan Rhizophora tumbuh setelah mangrove mengalami suksesi. Di P. Karimunjawa ekosistem mangrovenya bukanlah suksesi primer, hal ini mengakibatkan Rhizophora terdapat jauh lebih banyak dibandingkan Avicennia.

PETA DISTIBUSI DAN KERAPATAN MANGROVE DI

P. KARIMUNJAWA

Dibuat oleh :

Suseno Wangsit Wijaya / C06400040 Di Lab. Geomatic and Natural Resources BIOTROP

Sumber :

Citra Satelit QuickBird 3 Juli 2003

S

5

0 51’

45”

S

5

0 51’

45”

(64)

4.6. Hubungan INP dan Indeks Vegetasi

Pada penelitian - penelitian sebelumnya, penginderaaan jauh yang

memanfaatkan citra satelit hanya dapat melihat distribusi, luasan dan kerapatan mangrove. Hal ini mengakibatkan belum diketahuinya apakah penginderaan jauh dengan satelit mampu mendeteksi suatu INP jenis mangrove.

Sama halnya dengan kerapatan, untuk melihat INP dari citra satelit digunakan indeks vegetasi. Nilai INP mangrove dan nilai indeks vegetasinya dapat dilihat pada Lampiran 8. Dari lima indeks vegetasi yang digunakan menghasilkan koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r) yang dibedakan antara Rhizophora dan Avicennia (Tabel 7).

Tabel 7. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan INP Rhizophora dan Avicennia

Rhizophora Avicennia

Indeks Vegetasi

R2 r R2 r

DVI 24,78 4,98 17,08 4,13

NDVI 29,08 5,39 12,82 3,58

RVI 30,11 5,49 7,17 2,68

TRVI 30,80 5,55 8,47 2,91

TNDVI 28,63 5,35 12,83 3,58

(65)

Satelit belum mampu mendeteksi hubungan antara suatu spesies dengan lingkungannya. Ini tercermin dari kecilnya koefisien determinasi dan koefisien korelasi antara INP dan nilai spektral satelit. Untuk Rhizophora koefisien determinasi terbesar R2 = 30,80 dengan r = 5,55, sedangkan untuk Avicennia koefisien determinasi terbesar R2 = 17,08 dengan r = 4,13.

4.7. Kondisi Ekosistem Mangrove

Indeks Nilai Penting (INP) suatu jenis mangrove memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam

komunitas mangrove. Indeks nilai penting ini berkisar antara 0 -300 untuk pohon serta anakan dan berkisar antara 0 – 200 untuk semai (Lampiran 9).

Vegetasi mangrove yang ditemukan pada saat pengamatan dibedakan antara pohon, anakan dan semai. Jenis mangrove yang ditemukan mempunyai kerapatan dan luas penutupan jenis yang berbeda.

Berdasarkan survei lapang hutan mangrove di P. Karimunjawa ditemukan delapan spesies mangrove, yaitu : Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum, Avicennia alba, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, dan Sonneratia alba.

Pada tingkat pohon hanya jenis Acanthus ilicifolius yang tidak ditemukan. Jenis ini hanya ditemukan di Stasiun 21 pada tingkat anakan dengan nilai INP sebesar 145. Jenis tumbuhan ini merupakan tumbuhan berduri dan dapat menjadi dominan di hutan mangrove yang rusak.

(66)

tingkat semai di Stasiun 12 dengan nilai INP sebesar 156. Jenis tumbuhan ini sering tumbuh serempak membentuk semak belukar.

Jenis Avicennia alba ditemukan pada tingkat pohon dan anakan di Stasiun 21, 22, 23, 24. Keempat staiun ini terletak di pesisir utara P. Karimunjawa yang letaknya relatif terlindung dari hempasan gelombang secara langsung. Jenis ini berperan penting di keempat stasiun tersebut.

Excoecaria agallocha hanya terdapat pada tingkat pohon di Stasiun 2, 8, 11, 12. Jenis ini memiliki INP terendah di Stasiun 12 dengan nilai INP 52, dan memiliki INP tertinggi senilai 98 di Stasiun 11. Jenis ini memiliki getah yang berwarna putih susu dan dapat merusak mata.

Jenis mangrove yang paling sering ditemukan adalah Rhizophora apiculata. Spesies ini ditemukan baik pada tingkat pohon, anakan maupun semai.

Rhizophora apiculata berperan penting di beberapa stasiun, dengan nilai INP terendah sebesar 61 dan nilai INP tertinggi sebesar 300 untuk tingkat pohon. Rhizophora mucronata ditemukan pada tingkat pohon di Stasiun 2, 4 , 13, 14, 15, 16, 19, 20 dan pada tingkat anakan pada Stasiun 2, 4, 8, 14, 20. Jenis ini berperan penting pada tingkat pohon di Stasiun 13, 14, 15, 16 dengan nilai INP tertinginya sebesar 239. Pada tingkat anakan Rhizophora mucronata juga berperan penting di Stasiun 14 dengan INP sebesar 205.

(67)

Sonneratia alba hanya dijumpai pada tingkat pohon di Stasiun 5, 20 dan 21, dengan nilai INP berkisar antara 77 – 187. Jenis ini merupakan vegetasi yang berperan penting di Stasiun 5.

(68)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Salah satu kelebihan citra satelit QuickBird adalah resolusi spasialnya yang sangat tinggi, yaitu 2,44 m x 2,44 m. Dengan resolusi tersebut satelit ini mampu membedakan dua genus mangrove yaitu Avicennia dan Rhizophora. Genus lain yang terdapat di Karimunjawa tidak dapat dipisahkan karena luasannya kecil sehingga tidak dapat dibuat daerah latihnya.

Nilai overall accuracy citra QuickBird komposit 423 adalah 84,33% dengan koefisien kappa 0,812. Avicennia memiliki nilai produser accuracy 72% dan nilai user accuracy 92,50%, sedangkan Rhizophora memiliki nilai produser accuracy 76% dan nilai user accuracy 88,64%.

Kerapatan dan respon spektral memiliki hubungan linear, ini dapat dijelaskan dengan indeks vegetasi. Dari indeks vegetasi tersebut yang memiliki koefisien determinasi terbesar untuk Rhizophora adalah RVI dengan koefisien determinasi (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73. Untuk Avicennia koefisien determinasi terbesar (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73 dengan TNDVI.

Untuk kerapatan Rhizophora dengan algoritma RVI memiliki persamaan regresi linear y = 0,0015x + 7,4196, dengan y = nilai indeks vegetasi, x = kerapatan mangrove. Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi bernilai positif. Ini berarti kerapatan Rhizophora dengan RVI berbanding lurus, yaitu semakin besar kerapatan Rhizophora maka semakin besar pula nilai RVI dan begitu pula sebaliknya.

(69)

kerapatannya. Pada hasil overlay kelas Rhizophora dengan kerapatan sedang memiliki luasan terbesar, dan kelas Avicennia dengan kerapatan sangat rapat memiliki luasan terkecil.

Kecilnya koefisien determinasi dan koefisien korelasi antara Indeks Nilai Penting (INP) dan nilai spektral satelit menandakan satelit belum mampu mendeteksi hubungan antara nilai spektral dengan INP mangrove. Kesulitan ini disebabkan INP merupakan indeks ekologi, yang menyatakan peranan jenis mangrove dalam komunitasnya.

Berdasarkan hasil survei lapang ditemukan delapan jenis mangrove, yaitu : Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum, Avicennia alba, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, dan Sonneratia alba.

Jenis yang paling banyak dijumpai adalah Rhizophora apiculata yang tersebar di pesisir bagian barat sampai utara pulau. Jenis Avicennia alba hanya dijumpai di pesisir utara pulau, hal ini dikarenakan wilayahnya yang relatif terlindung dari hempasan ombak secara langsung.

5.2. Saran

Dalam menentukan reflektansi dari tanaman mangrove lebih akurat jika menggunakan spektroradiometri. Untuk penelitian lebih lanjut perlu dipilih suatu lokasi yang memiliki genus mangrove lebih beragam.

Gambar

Gambar 1. Sifat Pantulan Komponen Vegetasi
Gambar 2. Satelit QuickBird
Tabel 1. Karakteristik Satelit QuickBird
Gambar 3. Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Deteksi dan pemetaan perubahan distribusi terumbu karang, mangrove, dan muatan padatan terlarut (MPT) dilakukan dengan menggunakan citra Landsat tahun 1989 dan 2005.

Tulisan ini bertujuan untuk melakukan pemetaan dinamika luas hutan mangrove di Pulau Rambut dari tahun 2010 hingga 2017 menggunakan citra satelit resolusi tinggi yang

Image Fusion merupakan teknik penggabungan dua citra satelit dengan memanfaatkan keunggulan yang dimiliki masing-masing citra yang digunakan sehingga citra yang

Dari keadaan hasil kelas kerapatan yang didapatkan dari indeks vegetasi (NDVI) maka dapat ditentukan luasan vegetasi mangrove di Sisi Tenggara Pulau Enggano

Mangrove Health Index (MHI) menggunakan analisis citra satelit merupakan pendekatan baru yang bisa digunakan untuk mengetahui kualitas lingkungan ekosistem hutan mangrove..

Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan analisis perubahan luas mangrove yang terjadi di Kecamatan Mlonggo, Tahunan dan Kedung Kabupaten Jepara berdasarkan citra

Dari analisis deteksi perubahan dengan menggunakan citra satelit ALOS AVNIR-2 dan RapidEye didapat hasil perubahan luas tutupan mangrove yang terjadi dari tahun 2009

Metode klasifikasi berbasis objek dengan menggunakan citra QuickBird-2 Multispektral belum mampu digunakan untuk melakukan pemetaan jenis bentuk pertumbuhan terumbu