• Tidak ada hasil yang ditemukan

Development of Balanced Diet Index for Indonesian Adult Males

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Development of Balanced Diet Index for Indonesian Adult Males"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN INDEKS GIZI SEIMBANG

BAGI PRIA DEWASA INDONESIA

ATIKA PRIMADALA AMRIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi Pria Dewasa Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

(4)

RINGKASAN

ATIKA PRIMADALA AMRIN. Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi Pria Dewasa Indonesia. Dibimbing oleh HARDINSYAH dan CESILIA METI DWIRIANI.

Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah gizi ganda. Tahun 2011 disebutkan bahwa Indonesia menempati urutan kelima negara dengan jumlah balita stunting terbanyak. Selain itu masalah gizi lebih terus berkembang, contohnya prevalensi kegemukan pada pria dewasa terus meningkat menjadi sebanyak 19,7% pada tahun 2013 dari sebelumnya sebesar 13,7% pada tahun 2007. Peningkatan masalah gizi lebih berkaitan erat dengan kejadian penyakit tidak menular. Untuk mengendalikan perkembangan masalah gizi ganda, Indonesia telah mengembangkan pedoman gizi seimbang sebagai panduan makan bagi masyarakat agar mengonsumsi makanan yang bergizi, beragam dan berimbang. Meskipun telah memiliki pedoman makan, namun Indonesia belum memiliki instrumen untuk menilai mutu gizi konsumsi pangan secara praktis dan menyeluruh. Negara-negara lain seperti Amerika, Australia dan Thailand telah mengembangkan instrumen tersebut yang disebut dengan Healthy Eating Index (indeks gizi seimbang).

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan indeks gizi seimbang untuk pria dewasa di Indonesia. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) Menganalisis pola konsumsi makanan pria dewasa di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2010; (2) Mengembangkan beberapa alternatif indeks gizi seimbang untuk pria dewasa di Indonesia; (3) Menguji validitas dari berbagai alternatif indeks gizi seimbang dan menentukan indeks gizi seimbang terpilih, dan (4) Menganalisis faktor determinan indeks gizi seimbangpria dewasa di Indonesia

Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang mengembangkan suatu indeks. Penelitian ini diawali dengan pengembangan indeks gizi seimbang (IGS) untuk pria dewasa Indonesia. Pengembangan IGS dilakukan melalui penelusuran pustaka. Validasi IGS yang dikembangkan dilakukan dengan menggunakan data konsumsi pangan dari Riskesdas 2010. Pengolahan, analisis dan interpretasi data dilakukan pada bulan Juni-November 2013 di Bogor, Jawa Barat.

Riskesdas 2010 berhasil mengunjungi 69300 rumah tangga dengan jumlah rumah tangga sebanyak 251388 anggota. Sebanyak 64448 anggota rumah tangga adalah pria dewasa dengan rentang usia 19-55 tahun. Kriteria cleaning subjek adalah: (1) Tidak ada data antropometri (BB & TB): 197 orang; (2) Tidak ada data konsumsi: 84 orang; (3) Subjek dengan kondisi konsumsi yang tidak biasa: 939 orang; (4) Subjek dengan IMT < 13 atau IMT > 40: 74 orang; (5) Subjek dengan asupan pangan < 0,3 atau > 3 kali kebutuhan energi basal: 2013 orang; dan (6) Subjek dengan tingkat kecukupan gizi > 400%: 12 orang. Subjek yang disertakan dalam penelitian ini adalah 61129 pria dewasa.

(5)

yang paling sesuai untuk menduga mutu konsumsi pangan pria Indonesia. IGS3-60 merupakan IGS yang paling sesuai dan praktis (r=0,64; Se & Sp = 145,1) untuk menilai mutu gizi konsumsi pangan pria dewasa Indonesia. IGS3-60 adalah indeks dengan cara penilaian tiga tingkat, terdapat 6 komponen penilaian yang seluruhnya berupa kelompok pangan. Faktor determinan IGS3-60 adalah: daerah tempat tinggal, status ekonomi, status kawin, pendidikan dan pekerjaan. Pria dewasa Indonesia berusia 20-49 tahun yang tinggal di pedesaan cenderun memiliki mutu gizi konsumsi pangan yang lebih baik. Demikian pula pria dewasa Indonesia dengan status ekonomi menengah ke atas, dengan tingkat pendidikan setara SMP atau lebih dan memiliku pekerjaan sebagai pegawai negeri atau pengusaha swasta cenderung memiliki mutu gizi konsumsi pangan yang lebih baik.

(6)

SUMMARY

toddler. Meanwhile the overnutrition problem growed, at 2013 there were 19,7% obese Indonesian adult males. The increasing number of overnutrition was proved to be related with the increasing incidence of non-communicable diseases. To combat the double burden of malnutrtion, Indonesia has developed a food guideline. Although the food guideline has been developed, the instrument to asses the whole eating quality based on the food guideline has not been developed yet in Indonesia. Other countries such as America, Australia and Thailand had developed such instrument called Healthy Eating Index (balanced diet index).

The study was aimed to develop the balanced diet index (BDI) for Indonesian adult males. The spesific purposes of this study were to asses food consumption pattern of Indonesian adult males, to develop several alternatives of BDIs and to select the most appropriate BDI for Indonesian adult males, and to analyse factors affecting the BDI. The design of the study was analytical study to develop an index. This study developed several alternatives of BDI through systematic review of literature. The food consumption data from Basic Health Research in 2010 were used to validate the index. This study were conducted on June-November 2013.

The data of Basic Health Research 2010 covered 64448 male subjects, and 61129 of them were analyzed in this study. Subjects were excluded if they didn’t have any consumption or anthropometic data, if their BMI less than 13 or more than 40, if their energy intake less than 30% or more than 300% of their BMR and if their nutrient adequacy more than 400%.

(7)

have better diet quality. Subjects with better economic level, had higher education level and worked as civil servant or private businessman were more likely to have better diet quality.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

PENGEMBANGAN INDEKS GIZI SEIMBANG BAGI PRIA

DEWASA INDONESIA

ATIKA PRIMADALA AMRIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi Pria Dewasa Indonesia

Nama : Atika Primadala Amrin

NIM : I151114051

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penulisan tesis yang berjudul ―Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi Pria Dewasa Indonesia‖ dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan tesis ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dan Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc selaku komisi pembimbing atas arahan, masukan, kritikan, dan dorongan untuk menyelesaikan tesis; terimakasih kepada Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku penguji luar komisi dan kepada Dr. Dodik Briawan, MCN selaku kepala program studi S2 atas saran perbaikan yang diberikan dalam penyusunan tesis ini.

Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan izin untuk menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Terimakasih kepada Lembaga Pengelola Dana Keuangan (LPDP) yang telah memberikan beasiswa program tesis kepada penulis.

Penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada kedua orang tua tercinta, kedua adik, Bagus Wahyu F. Purnomo dan keluarga besar penulis yang senantiasa mendukung dan memberikan semangat serta kepercayaan kepada penulis sehingga penulisan tesis ini dapat selesai dengan baik.

Karya ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis memohon saran dan masukan dari pembaca karena pembelajaran adalah proses yang tidak pernah berhenti. Semoga karya ilmiah ini dapat membawa manfaat.

Bogor, Maret 2014

(14)

DAFTAR ISI

Masalah Gizi Pria Dewasa Indonesia ... 4

Konsep Gizi Seimbang ... 5

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan HEI ... 12

KERANGKA PEMIKIRAN ... 14

METODE Desain, Waktu, dan Tempat... 16

Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek ... 16

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 17

Pengolahan dan Analisis Data ... 18

Pengembangan indeks gizi seimbang ... 18

Karakteristik sosial ekonomi dan status gizi ... 22

Kebutuhan energi dan zat gizi makro ... 23

Kebutuhan vitamin, mineral dan zat gizi lainnya ... 24

Asupan zat gizi dan tingkat kecukupan zat gizi ... 25

Perhitungan indeks gizi seimbang (IGS) ... 25

Perhitungan mutu gizi konsumsi pangan (MGP) ... 26

Uji statistika ... 26

Definisi Operasional ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Pria Dewasa Indonesia ... 28

Pola Konsumsi Pangan Pria Dewasa Indonesia... 30

Alternatif Indeks Gizi Seimbang (IGS) dan MGP ... 33

Faktor-faktor yang mempengaruhi IGS ... 38

(15)

Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

LAMPIRAN ... 44

(16)

DAFTAR TABEL

1. Bobot setiap kelompok pangan di PPH ... 8

2. Komponen dan penilaian dalan HEI 1995 ... 10

3. Komponen dan penilaian dalam HEI 2005 ... 10

4. Komponen dan penilaian dalam THEI ... 11

5. Komponen Aust-HEI dan skor masing-masing komponen ... 12

6. Jenis dan cara pengumpulan data ... 18

7. Alternatif indeks gizi seimbang ... 20

8. Komponen dan kriteria penilaian IGS tiga tingkat ... 21

9. Komponen dan kriteria penilaian IGS empat tingkat ... 22

10. Perhitungan kebutuhan energi pria dewasa ... 23

11. Perhitungan kebutuhan protein pria dewasa ... 24

12. Angka kecukupan gizi mikro pria dewasa ... 25

13. Sebaran subjek berdasarkan wilayah tempat tinggal dan status kawin ... 28

14. Sebaran subjek berdasarkan pendidikan, pendapatan dan status ekonomi ... 29

15. Sebaran subjek berdasarkan status gizi... 30

16. Rataan, standar deviasi, median konsumsi (gram) dan tingkat partisipasi konsumsi kelompok pangan ... 30

17. Asupan gizi sehari pria dewasa Indonesia ... 32

18. Hasil uji korelasi indeks gizi seimbang dan MGP ... 34

19. Nilai sensitifitas dan spesifisitas IGS terhadap MGP ... 34

20. Indeks gizi seimbang IGS4-105... 35

21. Indeks gizi seimbang IGS3-60... 36

22. Skor indeks gizi seimbang IGS3-60 ... 36

23. Mutu konsumsi pangan subjek berdasarkan IGS3-60 ... 37

24. Hasil regresi logistik faktor determinan indeks gizi seimbang ... 38

DAFTAR GAMBAR

1. Prevalensi obesitas pada pria di setiap kelompok usia ... 4

2. Komponen-komponen HEI-1995 ... 9

3. Kerangka pemikiran penelitian pengembangan indeks gizi seimbang ... 15

4. Tahap-tahap cleaning subjek penelitian ... 17

5. Langkah-langkah pengembangan IGS ... 19

6. Persentase tingkat kecukupan gizi pria dewasa Indonesia ... 33

DAFTAR LAMPIRAN

1. Cara pengumpulan data karakteristik, antropometri dan recall pangan 1x24 jam oleh tim Riskesdas 2010 ... 44

(17)

3. Hasil perhitungan indeks gizi seimbang sistem empat tingkat ... 48

4. Berat badan, tinggi badan, dan IMT pria menurut kelompok usia ... 50

5. Kebutuhan zat gizi pada pria dewasa menurut kelompok usia ... 50

6. Pemenuhan kebutuhan gizi pria dewasa Indonesia ... 51

7. Persentase tingkat kecukupan gizi pria dewasa Indonesia ... 51

8. Kategori pola makan pria dewasa Indonesia berdasarkan MGP ... 52

9. Gambaran pola konsumsi pria dewasa Indonesia pada setiap kategori IGS3-60 ... 52

10. Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi IGS3-60 ... 53

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia saat ini sedang mengalami beban ganda masalah gizi yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Indonesia menempati urutan kelima dengan jumlah balita stunting terbanyak di dunia setelah India, China, Nigeria dan Pakistan (Tarigan 2012). Sebanyak 35,6% balita di Indonesia mengalami stunting. Sementara itu masalah gizi lebih terus berkembang. Prevalensi berat badan lebih dan obesitas pada laki-laki dewasa di Indonesia mencapai 8,5% dan 7,8%; masalah ini lebih banyak ditemukan pada wanita dewasa Indonesia yaitu 11,4% wanita memiliki berat badan lebih dan 15,5% wanita dewasa obesitas. Masalah gizi lebih juga banyak ditemukan pada kelompok usia balita, sebanyak 14% balita di Indonesia termasuk pada kategori kegemukan (RISKESDAS 2010). Hasil riset kesehatan dasar pada tahun 2013 menunjukkan prevalensi kegemukan pada pria dewasa meningkat menjadi 19,7%.

Obesitas berkaitan erat dengan kejadian penyakit degeneratif. Peningkatan prevalensi obesitas akan meningkatkan angka kematian yang disebabkan hipertensi dan diabetes (Henry 2011). Data riset kesehatan dasar Indonesia pada tahun 2007 menunjukkan 3 dari 10 penduduk Indonesia yang berusia di atas 10 tahun menderita hipertensi. Hipertensi mulai banyak dijumpai pada kelompok usia yang lebih muda yaitu 15-17 tahun sebanyak 8,3%.

Banyak faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker dan penyakit degeneratif lainnya merupakan bagian dari gaya hidup yang dapat dicegah. Gaya hidup yang dimaksud seperti rendahnya tingkat aktivitas fisik, rendahnya konsumsi buah dan sayur, konsumsi makanan cepat saji serta kebiasaan merokok (Khatib 2004).

Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mengendalikan perkembangan masalah gizi adalah melalui promosi gizi dan kesehatan. Promosi gizi dan kesehatan dapat dilakukan dengan cara menyebarkan informasi perilaku gizi dan kesehatan yang benar, sehingga dapat mendorong perubahan perilaku kesehatan di dalam masyarakat (Khatib 2004). Indonesia telah mengembangkan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) dengan 13 pesan gizi seimbang. Secara umum PUGS memberikan informasi mengenai konsumsi makanan bergizi dan beragam dan berimbang, pentingnya aktivitas fisik dan menjaga kebersihan diri dan lingkungan serta anjuran untuk memantau berat badan secara teratur. PUGS diharapkan dapat menggiring masyarakat Indonesia agar mengonsumsi makanan secara baik dan mencegah terjadinya masalah gizi ganda.

(19)

berfungsi untuk menyediakan suatu kesimpulan pengukuran kualitas konsumsi makanan (Guenther et al. 2005). Australia dan Thailand telah mengembangkan instrumen serupa, mengadopsi pengembangan HEI dari Amerika dan disesuaikan dengan pedoman makanan yang ada di negara masing-masing.

Lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah pria (50,3%) dan lebih dari separuhnya berada pada rentang usia dewasa (54,7%) (BPS 2010). Kelompok pria dewasa merupakan penduduk dalam rentang usia produktif yang memiliki peranan besar dalam menggerakan roda pembangunan bangsa. Oleh karena itu, masalah gizi yang terjadi pada kelompok ini tidak dapat diabaikan. Data Riskesdas 2010 menunjukkan kejadian overweight dan obesitas pada pria, paling banyak ditemukan pada rentang usia dewasa. Prevalensi overweight dan obesitas pada pria di kelompok usia 25 hingga 50 tahun relatif lebih tinggi daripada pria di kelompok usia remaja maupun lansia. Analisis yang dilakukan berdasarkan data Riskedas 2007 menunjukkan ada korelasi antara pertambahan usia dengan kejadian obesitas sentral (Sugianti et al. 2009).

Suatu penelitian di Amerika menunjukkan bahwa wanita cenderung memiliki sikap dan perilaku kesehatan yang lebih baik daripada pria, sehingga jumlah pria yang menderita penyakit kardiovaskular lebih banyak dan pria meninggal 7 tahun lebih cepat daripada wanita (Courtenay 2000). Mortalitas akibat penyakit jantung koroner lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita (Lawlor et al. 2001). Pengembangan indeks gizi seimbang untuk pria dewasa di Indonesia penting, selain karena indeks ini belum dikembangkan di Indonesia, juga agar kualitas konsumsi makanan secara keseluruhan pada pria dewasa dapat diketahui. Informasi ini dapat menjadi dasar untuk menentukan strategi perbaikan pola konsumsi makan pada pria dewasa serta merupakan bagian dari upaya mengendalikan masalah gizi ganda.

Tujuan

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan indeks gizi seimbang untuk pria dewasa di Indonesia. Secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. Menganalisis pola konsumsi pangan pria dewasa di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2010

2. Mengembangkan beberapa alternatif indeks gizi seimbang untuk pria dewasa di Indonesia

3. Menguji validitas dari berbagai alternatif indeks gizi seimbang dan menentukan indeks gizi seimbang terpilih

(20)

Manfaat

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Masalah Gizi Pria Dewasa Indonesia

Indonesia saat ini sedang menghadapi beban ganda masalah gizi, yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Data Riskesdas 2010 menunjukkan 17,9% balita memiliki berat badan kurang, di mana 4,9% termasuk dalam kategori gizi buruk dan 13% lainnya gizi kurang. Sementara itu, terdapat 14% balita mengalami kegemukan. Meskipun demikian, masalah gizi tidak hanya terjadi pada kelompok rawan seperti balita, anak-anak maupun ibu hamil.

Sensus penduduk pada tahun 2010 mencatat jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.641.326 juta jiwa, dimana 50,3% diantaranya berjenis kelamin pria. Hasil sensus menunjukkan dari seluruh penduduk pria di Indonesia 33,3% berada pada rentang usia 20-39 tahun, sedangkan 21,4% lainnya berada pada rentang usia 40-59 tahun. Lebih dari separuh penduduk pria Indonesia berada pada rentang usia dewasa (BPS 2010). Kelompok pria dewasa merupkan penduduk dalam rentang usia produktif yang memiliki peranan besar dalam menggerakan roda pembangunan bangsa. Oleh karena itu, masalah gizi yang terjadi pada kelompok ini tidak dapat diabaikan.

Data Riskesdas 2010 menunjukkan prevalensi overweight dan obesitas penduduk Indonesia sebesar 8,5% dan 7,8%. Kejadian overweight dan obesitas pada pria, paling banyak ditemukan pada rentang usia dewasa (Gambar 1). Prevalensi overweight dan obesitas pada pria di kelompok usia 25 hingga 50 tahun relatif lebih tinggi daripada pria di kelompok usia remaja maupun lansia. Analisis yang dilakukan berdasarkan data Riskedas 2007 menunjukkan ada korelasi antara pertambahan usia dengan kejadian obesitas sentral (Sugianti et al. 2009).

Gambar 1. Prevalensi obesitas pada pria di setiap kelompok usia

(22)

mengalami hipertensi dibandingkan individu yang tidak obesitas (Pradono 2010). Sekitar sepertiga dari penduduk berusia di atas 18 tahun mengalami hipertensi (30,8%). Resiko mengalami hipertensi akan meningkat seiring dengan beratambahnya usia. Riskesdas 2007 menunjukkan peluang terkena hipertensi lebih tinggi 2,4 kali pada kelompok usia >45 tahun.

Konsep Gizi Seimbang

Sejarah perkembangan ilmu gizi di dunia menunjukkan bahwa gizi sangat terkait dengan kesehatan dan penyakit. Namun, tidak ada satu jenis makanan yang dapat menyediakan seluruh zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Pemenuhan kebutuhan gizi dapat diperoleh dengan mengonsumsi berbagai jenis makanan. Oleh karena itu, diperlukan suatu pedoman yang memuat prinsip-prinsip memilih dan menyusun makanan yang seimbang untuk memenuhi kebutuhan tubuh manusia.

Istilah ―gizi‖ di Indonesia baru mulai dikenal sekitar tahun 1952-1955 sebagai terjemahan dari bahasa Inggris nutrition. Kata gizi berasal dari bahasa Arab ―ghidza‖ yang berarti makanan. Sejak tahun 1950-an, Dokter Poorwo Soedarmo mengenalkan pedoman Empat Sehat Lima Sempurna (ESLS). Pedoman ini tidak jauh berbeda dengan pedoman kelompok makanan yng digunakan di negara lain, seperti Amerika (basic four food guide), Belanda (basic four food circle) dan Swedia (basic seven food circle). ESLS membagi makanan menjadi 4 kelompok utama, yaitu: 1) makanan pokok (sumber karbohidrat); 2) lauk pauk (sumber protein dan lemak); 3) sayur-sayuran; dan 4) buah-buahan (sumber vitamin dan mineral). Keempat kelompok ini dalam suatu hidangan disebut kelompok Empat Sehat, dan bila ditambahkan dengan segelas susu disebeut Empat Sehat Lima Sempurna.

Pedoman ESLS sangat dikenal luas dalam masyarakat Indonesia. Beberapa kelebihan ESLS, antara lain: 1) dikemas dalam poster sederhana dan bunyi slogan yang menarik ; 2) pesan yang disampaikan mudah dimengerti dan mudah diingat oleh semua golongan masyarakat; 3) pengelompokan makanan ke dalam 4 sehat sesuai dengan komposisi dan fungsi dari masing-masing kelompok; dan 4) bahan makanan yang tercantum dalam poster adalah bahan makanan tradisional yang mudah diperoleh dan biasa dikonsumsi oleh berbagai golongan masyarakat di Indonesia (kecuali susu).

Kelemahan ESLS terletak pada penekanan konsumsi susu. Susu merupakan sumber protein hewani dan tidak ada bedanya dengan makanan hewani lainnya seperti telur, daging dan ikan. Selain itu, ESLS juga tidak memberikan pesan mengenai porsi atau jumlah yang harus dimakan untuk masing-masing kelompok makanan. Seiring dengan perkembangan zaman, ESLS tidak lagi sesuai dengan paradigma baru pendekatan masalah gizi. Pemecahan masalah gizi tidak lagi hanya memperhatikan aspek makanan, melainkan juga memperhatikan aspek lainnya, seperti sanitasi lingkungan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan minum alkohol.

(23)

menerbitkan buku panduan ―13 Pesan Dasar Gizi Seimbang‖. Ke-13 pesan adalah kesepakatan yang didasarkan pada beberapa hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Bogor. Ke-13 pesan tersebut adalah: (1) makanlah aneka ragam makanan; (2) makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi; (3) makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi; (4) batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kebutuhan energi; (5) gunakan garam beryodium; (6) makanlah makanan sumber zat besi; (7) berikan ASI saja kepada bayi sampai usia 6 bulan dan tambahkan MP-ASI sesudahnya; (8) biasakan makan pagi; (9) minumlah air bersih yang aman yang cukup jumlahnya; (10) lakukan aktivitas fisik secara teratur; (11) hindari minum minuman berakohol; (12) makanlah makanan yang aman bagi kesehatan; dan (13) bacalah label makanan yang dikemas

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan gizi pangan. Pasal 60 sampai 62 menjelaskan bahwa penganekaragaman konsumsi pangan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan membudayakan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman serta sesuai dengan potensi dan kearifan lokal yang dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Tercapainya penganekaragaman konsumsi pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diukur melalui pencapaian nilai komposisi pola pangan dan gizi seimbang. Gizi seimbang yang dimaksud dalam UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 didefinisikan sebagai asupan gizi sesuai kebutuhan seseorang untuk mencegah risiko gizi lebih dan gizi kurang.

Penilaian Konsumsi Pangan

Indeks yang secara khusus digunakan untuk mengukur gizi seimbang belum ada, namun untuk mengukur kualitas pola makan dapat didekati dengan menggunakan pengukuran mutu gizi pangan, pola pangan harapan (PPH) serta Healthy Eating Index.

Mutu gizi konsumsi pangan (MGP)

Definisi pangan berdasarkan UU No. 18 Tahun 2012 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

(24)

kebutuhan dan tingkat ketersediaan biologis tubuh. MGP dapat diartikan sebagai persentase asupan zat gizi terhadap kecukupan atau kebutuhan individu. Pengukuran MGP didasarkan pada jumlah zat gizi yang tersedia untuk dikonsumsi relatif terhadap kebutuhan dan nilai biologisnya (Hardinsyah & Atmojo 2000, Jadhav & Vali 2010).

Kandungan gizi dalam makanan yang dikonsumsi dihitung dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). DKBM adalah suatu daftar yang memuat berbagai jenis makanan beserta kandungan zat gizinya per 100 gram berat makanan yang dapat dimakan (BDD). Setelah diketahui total asupan zat gizi, dihitung pula tingkat kecukupan zat gizi individu tersebut. Selanjutnya perhitungan MGP dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

MGP =

Keterangan :

MGP = Mutu Gizi pangan

TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i, yaitu (konsumsi zat gizi ke-i/kecukupan zat gizi ke-i) x 100

n = Jumlah zat gizi yang dipertimbangkan dalam penilaian MGP

Pola pangan harapan (PPH)

Pola pangan harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. FAO-RAPA mendefinisikan PPH sebagai berikut: ―Pola pangan harapan adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya‖ (Hardinsyah et al. 2002).

Pendekatan PPH memungkinkan untuk menilai suatu mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan (dietary score). Semakin tinggi skor mutu pangan, menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya.

Tujuan PPH adalah untuk menghasilkan suatu komposisi standar pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi penduduk, sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutritional balance) yang didukung oleh cita rasa (palatability), daya cerna (digestability), daya terima masyarakat (acceptability), kuantitas dan kemampuan daya beli (affortability).

PPH berguna sebagai instrumen sederhana menilai situasi ketersediaan dan konsumsi pangan berupa jumlah dan komposisi pangan menurut jenis pangan secara agregat. PPH juga berguna sebagai basis untuk perhitungan skor PPH yang digunakan sebagai indikator mutu gizi pangan dan keragaman baik pada tingkat konsumsi maupun tingkat ketersediaan. Selain itu juga digunakan untuk perencanaan konsumsi dan ketersediaan pangan.

(25)

esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan dan tingkat kelezatannya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka bobot setiap kelompok pangan adalah sebagai berikut (Tabel 1.) (FAO-RAPA 1989, Hardinsyah et al. 2002).

Tabel 1. Bobot setiap kelompok pangan di PPH

No. Kelompok Pangan Bobot

Healthy Eating Index (HEI) adalah suatu instrumen yang digunakan untuk menilai kualitas pola makan secara menyeluruh serta dapat digunakan untuk memonitor perubahan pola makan penduduk di suatu wilayah. HEI juga dapat digunakan untuk menilai kesesuaian pola makan penduduk dengan pedoman makan yang berlaku di wilayah tersebut. HEI pertama kali dikembangkan pada tahun 1995 oleh Center for Nutrition Policy and Promotion USDA. Negara lain yang telah mengembangkan HEI diantaranya adalah Thailand dan Australia

1. HEI Amerika

Healthy Eating Index (HEI) pertama kali dikembangkan di Amerika pada tahun 1995 oleh U.S Department of Agriculture (USDA). Tujuan dari pengembangan indeks ini adalah untuk mengukur kesesuaian pola makan masyarakat Amerika terhadap pedoman makan yang telah ditetapkan. HEI yang dikembangkan pada tahun 1995 terdiri atas 10 komponen penilaian yang disusun berdasarkan Food Guide Pyramid yang berlaku saat itu (Gambar 2).

Komponen 1-5 menilai kesesuaian jumlah konsumsi kelompok pangan utama terhadap anjuran Food Guide Pyramid yang meliputi kelompok: buah-buahan; sayur-sayuran; biji-bijian serta padi-padian; susu; dan daging. Komponen 6-9 menilai aspek pola makan tertentu yang harus dibatasi jumlah konsumsinya, meliputi: lemak total; lemak jenuh; kolesterol; dan sodium. Komponen 10 merupakan ukuran dari keberagaman pola makan seseorang. Setiap komponen dinilai dengan kisaran 0-10, sehingga nilai HEI akan berkisar dari 0 hingga 100. Nilai HEI diatas 80 dianggap pola makan sudah baik, nilai 51-80 dianggap perlu perbaikan dalam pola makan serta nilai di bawah 51 dianggap pola makan sangat buruk. Tabel 2 menyajikan komponen serta sistem penilaian HEI 1995.

(26)

Sumber: Guenther et al. 2007

Gambar 2. Komponen-komponen HEI – 1995

(27)

Tabel 2. Komponen dan penilaian dalan HEI 1995

5 Daging (dan kacang-kacangan) 0 2-3 takaran saji

(sekitar 5.5-7.0 oz eq)

Tabel 3. Komponen dan penilaian dalam HEI 2005

No Komponen Skor 4 Sayuran berdaun hijau

dan orange, serta

(28)

keseluruhan. THEI dikembangkan berdasarkan modifikasi HEI yang dikembangkan oleh USDA Amerika. THEI terdiri atas 11 komponen, setiap komponen mewakili aspek pola makan yang sehat:

 Komponen 1-5 mengukur kesesuaian pola makan individu terhadap rekomendasi porsi sajian 5 kelompok pangan utama berdasarkan Thailand Nutrition Flag: beras dan sumber pati (beras, roti, sereal dan pasta), sayur-sayuran, buah-buahan, susu (susu, yogurt dan keju), dan daging (daging, unggas, ikan, kacang, telur)

 Komponen 6,7, dan 8 mengukur lemak total, lemak jenuh dan konsumsi gula tambahan, dalam bentuk persentase per total asupan energi makanan.

 Komponen 9 dan 10 mengukur total kolesterol dan asupan sodium

 Komponen 11 mengukur keragaman diet individu.

Komponen THEI dan sistem penilaiannya dapat dilihat pada Tabel 4. Kriteria sistem penilaian dikembangkan berdasarkan rekomendasi yang ada pada pedoman makan Thailand, rekomendasi asupan harian Thailand (Thai RDI), referensi asupan pangan harian Thailand (DRI), serta berbagai bukti ilmiah tentang kaitan pola makan dengan penyakit kronis. Setiap komponen indeks memiliki nilai maksimal 10 dan nilai minimal 0. Nilai di antaranya dihitung secara proporsional. Total nilai THEI dikelompokan menjadi 3 tingkat: nilai THEI di atas 66 dianggap pola makan sudah baik, nilai 55-66 dianggap perlu perbaikan dalam pola makan serta nilai di bawah 55 dianggap pola makan sangat buruk.

Tabel 4. Komponen dan penilaian dalam THEI

No Komponen Kisaran

0-10 ≤20% total energi ≥35% total energi

7 Asupan lemak

jenuh

0-10 ≤10% total energi ≥15% total energi

8 Konsumsi gula

tambahan

0-10 <6% total energi >10% total energi

9 Asupan

kolesterol

0-10 ≤300 mg/hari ≥400 mg/hari

10 Asupan sodium 0-10 ≤2400 mg/hari ≥3300 mg/hari

11 Keragaman makanan

0-10 ≥30 jenis/hari ≤20 jenis/hari

3. HEI Australia

(29)

keragaman diet, konsumsi sayur dan buah, dan konsumsi lemak. Keragaman diet memiliki hubungan dengan terjadinya penyakit kronis (Wahlqvist et al. 1989; NHMRC 2003), konsumsi buah dan sayur dihubungkan dengan penyakit jantung, stroke, dan beberapa kanker (Lock et al. 2005), dan konsumsi lemak jenuh dihubungkan dengan peningkatan kolesterol low density lipoprotein (LDL) plasma yang berhubungan dengan penyakit jantung dan vascular (AIHW 2004). Komponen dari Aust-HEI dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komponen Aust-HEI dan skor masing-masing komponen

No Komponen Kriteria untuk skor

maksimum

FFQ = food frequency questionnaire; SDQ = short dietary questions

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan HEI

(30)
(31)

KERANGKA PEMIKIRAN

Indonesia sedang mengalami masalah gizi ganda. Data Riskesdas 2010 menunjukkan prevalensi overweight dan obesitas penduduk pria Indonesia sebesar 8,5% dan 7,8%. Prevalensi overweight dan obesitas pada pria di kelompok usia 25 hingga 50 tahun relatif lebih tinggi daripada pria di kelompok usia remaja maupun lansia. Obesitas berkaitan erat dengan kejadian penyakit degeneratif. Peningkatan prevalensi obesitas akan meningkatkan angka kematian yang disebabkan hipertensi dan diabetes (Henry 2011). Data riset kesehatan dasar Indonesia pada tahun 2007 menunjukkan 3 dari 10 penduduk Indonesia yang berusia di atas 10 tahun menderita hipertensi. Kejadian overweight dan obesitas serta penyakit degeneratif erat kaitannya dengan gaya hidup, seperti rendahnya tingkat aktivitas fisik, rendahnya konsumsi buah dan sayur, konsumsi makanan cepat saji serta kebiasaan merokok.

Indonesia telah mengembangkan PUGS sebagai pedoman makan untuk menggiring masyarakat Indonesia agar mengkonsumsi makanan yang beragam, bergizi dan berimbang. Namun instrumen yang praktis untuk menilai keseluruhan kualitas konsumsi pangan berdasarkan pedoman makan di Indonesia belum ada. Pengembangan indeks gizi seimbang untuk pria dewasa di Indonesia penting agar kualitas konsumsi makanan secara keseluruhan pada kelompok ini dapat diketahui.

(32)

Gambar 3. Kerangka pemikiran penelitian pengembangan Indeks Gizi Seimbang

Keterangan:

: Variabel yang tidak diamati

: Variabel yang diamati

Masalah Gizi Ganda Karakteristik Individu:

 Usia

 Pendidikan

 Pendapatan

Pengetahuan gizi dan keterampilan kesehatan

Kebiasaan makan/ Pola makan

Pengembangan pedoman makan

 PUGS

 Tumpeng gizi seimbang

Alat ukur mutu gizi konsumsi pangan:

 MGP

 PPH

 IGS (belum ada)

Indeks gizi seimbang

Gaya Hidup

(33)

METODE

Desain, Waktu, dan Tempat

Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang mengembangkan suatu indeks. Indeks gizi seimbang dikembangkan melalui penelusuran pustaka. Pengujian validitas dari indeks yang dikembangkan menggunakan data konsumsi Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010.

Riskesdas 2010 dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Indonesia. Pengumpulan data dilakukan oleh tim pengumpul data Riskesdas sejak bulan Mei-Agustus 2010. Pengolahan, analisis dan interpretasi data dilakukan pada bulan Juni-November 2013 di Bogor, Jawa Barat.

Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek

Subjek Riskesdas 2010 berasal dari 441 kabupaten/kota yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Populasi dalam Riskesdas 2010 adalah seluruh rumah tangga biasa yang mewakili 33 provinsi. Subjek rumah tangga dalam Riskesdas 2010 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk tahun 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan two stage sampling.

Riskesdas mengambil sejumlah blok sensus dari setiap kabupaten/kota yang termasuk ke dalam kerangka subjek kabupaten/kota. Pemilihan blok sensus tersebut dilakukan sepenuhnya oleh BPS dengan memperhatikan status ekonomi dan rasio perkotaan/perdesaan. Blok sensus tersebut proporsional terhadap jumlah rumah tangga di kabupaten/kota tersebut. Blok sensus yang dipilih untuk kesehatan masyarakat adalah sebesar 2800 blok sensus dengan 70000 rumah tangga

Riskesdas 2010 berhasil mengunjungi 2798 blok sensus dari 441 kabupaten/kota jumlah rumah tangga dari blok sensus tersebut sebanyak 69300 rumah tangga dengan jumlah rumah tangga sebanyak 251388 anggota. Jumlah subjek dalam rentang usia dewasa (19-55 tahun) adalah 132934 orang, sebanyak 64448 di antaranya berjenis kelamin pria.

(34)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Gambar 4. Tahap-tahap cleaning subjek penelitian

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder. Pengumpulan data telah dilakukan oleh Kementrian Kesehatan melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 dengan kuesioner terlampir. Data diperoleh dalam bentuk electronic file dalam bentuk entry data Riskesdas 2010. Pengumpulan data karakterstik subjek dan karakteristik sosial ekonomi dilakukan dengan wawancara. Data antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan diperoleh dengan pengukuran langsung oleh enumerator Riskesdas. Data konsumsi pangan diperoleh dengan metode Recall 24 jam. Tabel 6 menyajikan jenis data yang digunakan serta cara pengumpulannya.

Jumlah anggota rumah tangga dalam kelompok usia dewasa (19-55 tahun)

132934 orang

Jumlah calon subjek 64448 pria dewasa

Kriteria proses cleaning:

 Tidak ada data antropometri (BB & TB): 197 orang

 Tidak ada data konsumsi: 84 orang

 Subjek dengan kondisi konsumsi yang tidak biasa: 939 orang

 Subjek dengan IMT < 13 atau IMT > 40: 74 orang

 Subjek dengan asupan pangan < 0,3 atau > 3 kali kebutuhan energi basal: 2013 orang

 Subjek dengan tingkat kecukupan gizi > 400%: 12 orang

(35)

Tabel 6 Jenis dan cara pengumpulan data

Peubah Keterangan Cara pengumpulan data

Karakteristik subjek

- Diukur dengan timbangan berat badan digital (kapasitas 150 kg dan ketelitian 50 g)

- Diukur dengan alat ukur tinggi badan multi fungsi (kapasitas ukur 2 m dan ketelitian 0.1)

Pengembangan IGS di Indonesia mengacu pada pengembangan HEI di Amerika dan Thailand yaitu dengan penelusuran pustaka dan disesuaikan dengan panduan makan yang ada di Indonesia yaitu tumpeng gizi seimbang serta PUGS. Gambar 5 menampilkan langkah-langkah pengembangan suatu indeks, tahapan pengembangan tersebut merupakan modifikasi dari langkah pengembangan alat ukur keragaman pangan yang dilakukan oleh Hardinysah (1996). Pengembangan indeks gizi seimbang melalui penelusuran pustaka untuk melihat indeks atau alat ukur lain yang sudah pernah dikembangkan sebelumnya. Pada prinsipnya pengembangan IGS adalah dengan menentukan komponen penilaian dan cara pemberian nilainya. Setelah komponen penilaian dan cara pemberian nilai ditentukan, maka dilakukan serangkaian uji validitas untuk menentukan indeks mana yang paling valid. Jika indeks yang dikembangkan tidak valid, maka proses pengembangan indeks dimulai lagi dari awal penelusuran pustaka.

(36)

Gambar 5. Langkah-langkah pengembangan IGS

Perbedaan dari setiap alternatif indeks gizi seimbang terletak pada kombinasi komponen penilaian dan cara pemberian nilainya. Setiap cara penilaian memiliki lima alternatif indeks gizi seimbang, IGS3 dan IGS4 masing-masing memiliki lima alternatif indeks gizi seimbang. Oleh karena itu terdapat sepuluh alternatif indeks gizi seimbang yang dikembangkan dalam penelitian ini.

Setiap alternatif indeks gizi seimbang dinamakan sesuai dengan cara pemberian nilai, jumlah seluruh komponen yang dinilai dan jumlah aspek pangan terkait PTM yang disertakan. Contohnya penamaan IGS3-105, artinya alternatif indeks gizi seimbang ini dinilai dengan 3 tingkat, terdiri atas 10 komponen penilaian dan 5 di antaranya adalah zat terkait PTM. Tabel 7 menyajikan keterangan mengenai alternatif indeks gizi seimbang yang dikembangkan.

Menentukan konsep dan tujuan Indeks Gizi Seimbang

Review instrumen pengukuran kualitas konsumsi pangan yang sudah ada

A. Identifikasi

kriteria pengukuran B.

Identifikasi konsep pengelompokan makanan

C.

Identifikasi konsep pemberian skor/nilai

Formulasi pengelompokan

makanan

Formulasi sistem pemberian

skor/nilai

Menganalisis validitas kriteria pengukuran

Indeks Gizi Seimbang

Pengembangan Indeks Gizi Seimbang

(37)

Tabel 7. Alternatif indeks gizi seimbang

tingkat (3), terdiri atas lima komponen penilaian (5) dan tidak aaspek pangan terkait dengan penyakit tidak menular disertakan(0) dengan satu aaspek pangan terkait dengan penyakit tidak menular disertakan (1)

0 – 16,7

4. IGS3-83 Indeks gizi seimbang (IGS) dengan cara penilaian tiga tingkat (3), terdiri atas delapan komponen penilaian (8) dengan tiga aaspek pangan terkait dengan penyakit tidak menular disertakan (3)

0 – 12,5

5. IGS3-105 Indeks gizi seimbang (IGS) dengan cara penilaian tiga tingkat (3), terdiri atas sepuluh komponen penilaian (10) dengan lima aaspek pangan terkait dengan penyakit tidak menular disertakan (5)

0 - 10

6. IGS4-50 Indeks gizi seimbang (IGS) dengan cara penilaian empat tingkat (4), terdiri atas lima komponen penilaian (5) dan tidak ada aaspek pangan terkait dengan penyakit tidak menular disertakan (0)

0 – 20

7. IGS4-60 Indeks gizi seimbang (IGS) dengan cara penilaian empat tingkat (4), terdiri atas enam komponen penilaian (6) dan tidak ada aaspek pangan terkait dengan penyakit tidak menular disertakan (0)

0 – 16,7

8. IGS4-61 Indeks gizi seimbang (IGS) dengan cara penilaian empat tingkat (4), terdiri atas enam komponen penilaian (6) dengan satu aaspek pangan terkait dengan penyakit tidak menular disertakan (1)

0 – 16,7

9. IGS4-83 Indeks gizi seimbang (IGS) dengan cara penilaian empat tingkat (4), terdiri atas delapan komponen penilaian (8) dengan tiga aaspek pangan terkait dengan penyakit tidak menular disertakan (3)

0 – 12,5

10 IGS4-105 Indeks gizi seimbang (IGS) dengan cara penilaian empat tingkat (4), terdiri atas sepuluh komponen penilaian (10) dengan lima aaspek pangan terkait dengan penyakit tidak menular disertakan (5)

0 - 10

(38)

Tabel 8. Komponen dan kriteria penilaian IGS tiga tingkat

4 Pangan Hewani (total) a.Lauk hewani

1 porsi KH setara 100 g nasi 1 porsi PH (selain susu) setara 50 g daging 1 porsi sayur setara 100 g sayur 1 porsi susu:200 ml susu cair/30 g tepung susu 1 porsi buah setara 100 g buah 1 porsi PN setara 50 g tempe

10%-e artinya sama dengan 10% dari kebutuhan energi total.

Indeks gizi seimbang dengan sistem penilaian 3 tingkat, artinya indeks ini dinilai dengan 3 tingkatan, yaitu: skor minimal, skor tengah dan skor maksimal. Contohnya pada indeks dengan 10 komponen, setiap komponennya memiliki rentang skor 0-10, maka skor minimal adalah 0, skor tengah adalah 5 dan skor maksimal adalah 10 untuk setiap komponen. Contoh penilaian 4 tingkat pada indeks dengan 10 komponen, yaitu: 1) skor minimal adalah 0; 2) skor tingkat dua adalah 4; 3) skor tingkat tiga adalah 7; dan 4) skor maksimal adalah 10. Tabel 9 menyajikan komponen dan kriteria penilaian untuk indeks dengan sistem penilaian 4 tingkat.

(39)

Tabel 9. Komponen dan kriteria penilaian IGS empat tingkat

4 Pangan Hewani (total) a. Lauk hewani

2000-2500 1500-2000 500-1500

Keterangan:

1 porsi KH setara 100 g nasi 1 porsi PH (selain susu) setara 50 g daging

1 porsi sayur setara 100 g sayur 1 porsi susu:200 ml susu cair atau 30 g tepung susu

1 porsi buah setara 100 g buah 1 porsi PN setara 50 g tempe

10%-e artinya sama dengan 10% dari kebutuhan energi total.

Penelitian ini melakukan uji korelasi Pearson antara berbagai alternatif indeks gizi seimbang dengan skor mutu gizi pangan (MGP) serta dengan perhitungan nilai Sensitivitas dan Spesifitas (Se+Sp) IGS terhadap MGP. Pemilihan indeks gizi seimbang akan dilakukan dengan mempertimbangkan nilai koefisien korelasi, nilai Se+Sp, kelengkapan serta kepraktisan indeks dalam menilai mutu gizi konsumsi pangan pria dewasa Indonesia.

Karakteristik sosial ekonomi dan status gizi

Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti adalah wilayah tempat tinggal subjek, pendidikan tertinggi, pekerjaan, status ekonomi dan status kawin subjek. Wilayah tempat tinggal subjek dibedakan atas wilayah perkotaan dan perdesaan. Pendidikan tertinggi subjek dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu: 1) tidak sekolah atau tidak tamat SD/ MI atau tamat SD/MI; 2) tamat SMP/MTS; dan 3) tamat SMA/MA atau tamat perguruan tinggi. Pekerjaan subjek dibedakan menjadi 6 kelompok, yaitu: 1) tidak kerja atau sekolah; 2) pegawai negeri (sipil dan militer); 3) wiraswasta atau layan jasa/profesi atau dagang; 4) petani atau nelayan; 5) buruh; dan 6) lainnya. Status ekonomi subjek telah dikategorikan menjadi 5 quintil. Status kawin subjek dibedakan menjadi 1) kawin dan 2) tidak kawin.

Data karakterstik sosial ekonomi diolah dan disajikan secara deskriptif. Sebaran subjek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi disajikan menurut setiap kelompok usia dan juga secara keseluruhan.

(40)

jika IMT < 18,5; 2) normal jika IMT 18,5 – 24,9; dan 3) gemuk jika IMT > 25,00. Sebaran subjek berdasarkan status gizi diolah dan disajikan secara deskriptif.

Kebutuhan energi dan zat gizi makro

Kebutuhan energi subjek dihitung dengan menggunakan oxford equation, dari Institiute of Medicine/IOM (Mahan & Escoot-stump 2008). Kebutuhan energi dihitung berdasarkan usia, faktor aktivitas, berat badan dan tinggi serta faktor aktivitas fisik. Perhitungan kebutuhan energi subjek dengan status gizi normal menggunakan berat badan aktual, sedangkan subjek dengan status gizi gemuk perhitungan kebutuhan energinya menggunakan berat badan estimasi. Total Energy Expenditure (TEE) atau Estimated Energy Requirement (EER) kemudian dikoreksi dengan Thermic Effect of Food (TEF). TEF atau efek termal pangan adalah pengeluran energi oleh tubuh yang berhubungan dengan konsumsi pangan, nilai TEF dihitung sebesar 10% dari EER.

Aktivitas fisik dibedakan menjadi 4 kategori berdasarkan jenis pekerjaan subjek, yaitu: 1) sangat ringan (tidak bekerja); 2) ringan (wiraswasta/layan jasa/dagang dan lainnya); 3) aktif (sekolah); dan 4) sangat aktif (petani.nelayan, dan buruh). Secara rinci rumus perhitungan kebutuhan energi subjek disajikan pada tabel 10.

Tabel 10. Perhitungan kebutuhan energi pria dewasa

Rumus perhitungan kebutuhan energi Kebutuhan energi

(Kal)

EER Laki-laki 19 tahun keatas dengan status gizi normal

EER = TEE

EER laki-laki 19 tahun keatas dengan status gizi overweight dan obese

EER = TEE

EER = estimasi kebutuhan energi (Kal) TEE = total pengeluaran energi (Kal) PA = koefisien aktivitas fisik

Sumber: Mahan & Escoot-stump (2008)

(41)

(WNPG 2012). Berikut ini adalah formula untuk menghitung kebutuhan protein subjek:

Keterangan:

AKP : Angka kecukupan protein ( g/kgBB/hari)

Faktor koreksi mutu protein : 1,3

Tabel 11. Perhitungan kebutuhan protein pria dewasa

Kelompok usia Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

19-29 tahun 0.85 g/kg BB/hr x 1.3 0.85 g/kg BB/hr x 1.3

30-49 tahun 0.85 g/kg BB/hr x 1.3 0.85 g/kg BB/hr x 1.3

50-64 tahun 0.85 g/kg BB/hr x 1.3 0.85 g/kg BB/hr x 1.3

Sumber : WNPG (2012)

Kebutuhan lemak subjek dalam sehari sesuai dengan WNPG 2012, kelompok pria dewasa membutuhkan lemak sebanyak 25% hingga 30% dari total energi sehari. Selain kebutuhan dan asupan lemak total, penelitian ini juga memperhitungkan asupan lemak jenuh dan kolesterol. Sesuai dengan anjuran WNPG 2012, asupan lemak jenuh untuk orang dewasa tidak lebih dari 10% total kebutuhan energi sehari. Asupan kolesterol bagi orang dewasa tidak lebih dari 300 mg sehari.

Kebutuhan karbohidrat dihitung setelah kebutuhan energi, protein dan lemak subjek dalam sehari diketahui. Selisih anatara kebutuhan energi dengan kebutuhan protein dan lemak merupakan kebutuhan karbohidrat. Berikut ini adalah formula untuk menghitung kebutuhan karbohidrat subjek dalam sehari:

Kebutuhan serat sesuai dengan anjuran WNPG 2012 untuk kelompok usia dewasa adalah sebanyak 14 g serat pangan untuk setiap 1000 kkal kecukupan energi. Asupan energi yang berasal dari gula tambahan dibatasi hingga 10% dari total energi sehari.

Kebutuhan vitamin, mineral dan zat gizi lainnya.

Kebutuhan vitamin dan mineral subjek dalam sehari dihitung berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) 2012. Selain vitamin dan mineral, kebutuhan air juga diperhitungkan dengan menggunakan AKG. AKG pria dewasa disajikan pada Tabel 12.

Kebutuhan protein = AKP x faktor koreksi mutu protein

(42)

Tabel 12. Angka kecukupan gizi mikro pria dewasa

Asupan zat gizi dan tingkat kecukupan zat gizi

Kandungan energi dan zat gizi dalam pangan yang dikonsumsi subjek, dihitung berdasarkan jenis dan jumlah pangan dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Formula yang digunakan adalah sebagai berikut: gizi dihitung dengan menggunakan formula berikut ini:

TK (%) = Konsumsi zat gizi x 100% Kebutuhan zat gizi

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro (protein, lemak dan karbohidrat) kemudia digolongkan menjadi 4 kategori berdasarkan Depkes (1996), yaitu: 1) defisit tingkat berat (TK < 70% kebutuhan); 2) defisit tingkat sedang ( 70% < TK < 79% ); 3) defisit tingkat ringan ( 80% < TK < 89% ); 4) normal ( 90% < TK < 119% ); dan 5) kelebihan ( TK ≥ 120%).

Perhitungan indeks gizi seimbang

Skor indeks gizi seimbang dihitung berdasarkan komponen penilaian yang ada. Setiap alternatif indeks gizi seimbang memiliki jumlah komponen penilaian yang berbeda, sehingga skor maksimal untuk setiap komponen juga berbeda. Namun seluruh alternatif indeks gizi seimbang memiliki skor total yang sama, yaitu berkisar antara 0 hingga 100.

Penilaian terhadap konsumsi kelompok pangan dilakukan dengan mengelompokan pangan menjadi pangan sumber karbohidrat, sayuran, buah, pangan hewani (selain susu), pangan hewani total (termasuk susu), lauk nabati (kacang-kacangan) dan susu. Pengelompokan pangan hewani total, lauk hewani dan susu disesuaikan dengan alternatif indeks gizi seimbang yang digunakan.

(43)

Berat pangan pada setiap kelompok pangan kemudian dikonversi ke dalam bentuk porsi. Satu porsi pangan karbohidrat sama dengan 100 g nasi, satu porsi pangan hewani (selain susu) sama dengan 50 g daging, satu porsi susu sama dengan 200 ml susu cair atau 30 g susu bubuk dan satu porsi pangan nabati (kacang-kacangan) sama dengan 50 g tempe (PUGS 1995). Satu porsi sayuran dan buah-buahan sama dengan 100 g sayur maupun 100 g buah (Nurhayati 2013). Konsumsi pangan subjek dalam satuan porsi dibandingkan dengan standar, nilai maksimum diberikan kepada konsumsi yang sesuai dengan standar pedoman. Konsumsi pangan yang kurang dari standar akan dinilai secara proporsional. Demikian pula untuk penilaian terhadap asupan zat terakait PTM, apabila memenuhi standar diberi nilai maksimal dan jika melebihi batas standar akan diberi nilai 0. Skor setiap komponen dijumlahkan untuk memperoleh skor total.

Perhitungan mutu gizi konsumsi pangan (MGP)

Mutu gizi konsumsi pangan dihitung berdasarkan rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya. Formula yang digunakan untuk menghitung mutu gizi pangan adalah sebagai berikut (Hardinsyah 2001):

MGP % = Σ TKGi

n Keterangan :

TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi ke-i (konsumsi zat gizi ke-i/kecukupan zat gizi ke-i x 100)

n = Jumlah zat gizi yang dipertimbangan dalam penilaian MGP (Energi dan 15 zat gizi lain yang meliputi protein, karbohidrat, lemak, air, serat, natrium, kalsium, besi, fosfor, kalium, seng, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin C)

Nilai tingkat kecukupan zat gizi maksimal adalah 100 (truncated at 100) untuk mencegah terjadinya kompensasi antar nilai tingkat kecukupan zat gizi. Nilai mutu gizi pangan dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu: 1) sangat kurang (MGP < 55); 2) kurang ( MGP 55-70); 3) cukup (MGP 70-85); dan 4) baik (MGP ≥ 85) (Hardinysah 1996). Terdapat 16 zat gizi yang disertakan dalam perhitungan MGP pada penelitian ini, yaitu: energi, protein, lemak, karbohidrat, serat, air, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin C, natrium, kalsium, zat besi, fosfor, kalium, dan zink.

Uji Statistika

Uji korelasi Pearson dilakukanantara berbagai alternatif indeks dengan nilai MGP. Faktor-faktor yang mempengaruhi indeks gizi seimbang diketahui dengan melakukan uji regresi logistic dengan model binary logistic regression.

(44)

Keterangan:

y = skor indeks gizi seimbang (skor IGS < 40: 0; skor IGS ≥ 40: 1)

α = konstanta

βn = koefisien regresi

x1 = daerah tempat tinggal ( pedesaan: 0; perkotaan: 1) x2 = status ekonomi ( 40% terbawah: 0; 60% teratas: 1) x3 = status kawin (belum kawin: 0; sudah kawin: 1)

x4 = pendidikan subjek ( pendidkan ≤ SD: 0; SMP/MTS: 1; SMA-PT: 1) x5 = pekerjaan subjek ( tidak bekerja: 0; pegawai negeri: 1; swasta,

profesional, dagang: 1; petani, buruh, nelayan: 1)

Definisi Operasional

Indeks gizi seimbang (Healthy Eating Index) adalah instrumen penilaian kualitas konsumsi pangan yang mengukur kesesuaian konsumsi pangan individu dengan angka kecukupan berdasarkan piramida makanan/ pedoman makanan yang berlaku.

Konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis pangan yang dimakan oleh subjek dengan tujuan memenuhi kebutuhan baik fisiologis, psikologis maupun sosiologis.

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia.

Asupan zat gizi adalah kandungan zat gizi dari pangan yang dikonsumsi oleh subjek.

Tingkat kecukupan zat gizi adalah persentase perbandingan asupan zat gizi dengan kebutuhan zat gizi subjek.

Mutu Gizi Pangan adalah adalah nilai yang mencerminkan tingkat pemenuhan asupan gizi terhadap kebutuhan gizi secara keseluruhan MGP (Energi dan 15 zat gizi lain yang meliputi protein, karbohidrat, lemak, air, serat, natrium, kalsium, besi, fosfor, kalium, seng, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin C)

Subjek adalah individu dengan jenis kelamin pria yang memiliki usia dalam rentang 20-55 tahun

Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang ditempuh oleh responden. Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh subjek dan menjadi sumber

utama pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Sosial Ekonomi Pria Dewasa Indonesia

Karakteristik sosial ekonomi subjek yang diteliti meliputi wilayah tempat tinggal, status kawin, pendidikan, pekerjaan dan status ekonomi. Tabel 13 dan Tabel 14 menyajikan sebaran subjek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi tersebut.

Tabel 13. Sebaran subjek berdasarkan wilayah tempat tinggal dan status kawin

Sosial Ekonomi (51,7%), sebagian besar tinggal di wilayah perkotaan. Berbeda dengan kelompok usia lainnya, subjek berusia 50-55 tahun mayoritas tinggal di wilayah perdesaan (50,5%). Secara umum sebagian besar subjek penelitian ini sudah menikah (76,4%). Namun jika ditelaah menurut kelompok usia, subjek berusia 19-29 tahun sebagian besar belum pernah menikah (61,6%). Subjek pada kelompok usia 30-49 tahun (92,9%) dan 50-55 tahun (98,7%), hampir seluruhnya sudah pernah sebagian berpendidikan kategori 1. Sebagian besar subjek pada kelompok usia 19-29 tahun (46,7%) menempuh pendidikan tinggi, yaitu tamat SMA atau perguruan tinggi.

(46)

subjek. Subjek pada kelompok usia 19-20 tahun (29%) dan 30-49 tahun (36%) paling banyak bekerja di bidang wiraswasta/layan jasa/dagang. Sedangkan subjek pada kelompok usia 50-55 tahun (37,9%) mayoritas bekerja sebagai petani atau nelayan. Persentase subjek yang tidak bekerja lebih banyak terdapat pada subjek di kelompok usia 19-29 tahun (22,1%) dibandingkan kelompok usia lainnya. subjek yang bekerja sebagai pegawai negri, baik sipil maupun militer, hanya berkisar antara 8,2% hingga 13,2% di setiap kelompok usia.

Tabel 14. Sebaran subjek berdasarkan pendidikan, pendapatan dan status ekonomi

Sosial Ekonomi

(47)

Tabel 15. Sebaran subjek berdasarkan status gizi

Pola Konsumsi Pangan Pria Dewasa Indonesia

Konsumsi pangan pria dewasa Indonesia dibedakan ke dalam beberapa kelompok pangan, yaitu pangan sumber karbohidrat, sayuran, buah, pangan hewani dan lauk nabati. Pangan hewani dilihat secara total maupun pangan hewani saja (selain susu) dan susu. Tabel 16 menyajikan gambaran konsumsi pangan pria dewasa Indonesia dalam bentuk rataan konsumsi (gram), standar deviasi dan median, serta data tingkat partisipasi konsumsi pada setiap kelompok pangan. Tingkat partisipasi adalah persentase jumlah subjek yang mengkonsumsi pangan tertentu dibandingkan dengan jumlah total subjek.

Tabel 16. Rataan, standar deviasi, median konsumsi (gram) dan tingkat

(48)

99.9%. Jumlah konsumsi pangan sumber karbohidrat yang ada pada kisaran 600 g setara dengan enam porsi dan sudah mendekati anjuran konsumsi untuk pria dewasa, yaitu sebanyak delapan porsi per hari. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan sumber karbohidrat baik di Indonesia antara lain adalah faktor ekologi yang meliputi ketersediaan pangan, pendapatan dan tingkat pendidikan subjek (Apriani & Baliwati 2011).

Secara keseluruhan rata-rata subjek mengonsumsi 99.1 g sayuran, dengan tingkat partisipasi sebesar 67%. Lebih banyak subjek yang mengonsumsi sayuran dibandingkan buah-buahan, hanya 26,6% subjek mengonsumsi buah-buahan dengan rata-rata 41.7 g buah sehari. Konsumsi sayuran dan buah-buahan masih belum memenuhi standar yang dianjurkan bagi orang dewasa berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Nurhayati (2013), yaitu sebanyak 300 g untuk sayuran dan 200 g untuk buah-buahan. Demikian pula dengan standar yang telah ditetapkan oleh WHO yaitu sebanyak 400 g masing-masing untuk sayuran dan buah-buahan juga tidak terpenuhi. Konsumsi sayuran dan buah-buahan memiliki efek protektif terhadap kejadian berbagai macam jenis kanker, serpeti kanker di saluran pencernaan, kanker paru-paru serta kanker payudara (Riboli & Norat 2003). Konsumsi sayuran dan buah-buahan juga berkontribusi dalam menurunkan resiko kejadian penyakit jantung koroner (He et al. 2007). Meningkatkan konsumsi sayuran dan buah-buahan telah terbukti dapat menurunkan resiko penyakit tidak menular atau penyakit degeneratif. Oleh karena itu penting untuk menekankan peningkatan konsumsi sayuran dan buah-buahan pada kebijakan kesehatan masyarakat di setiap negara untuk mencegah perkembangan PTM atau penyakit degeneratif (Lock et al. 2005).

Pria dewasa Indonesia mengonsumsi pangan hewati dengan jumlah rata-rata 116,1 g, pangan hewani yang dimaksud termasuk dengan susu. Namun apabila susu dipisahkan dari pangan hewani, maka subjek mengonsumsi susu sebanyak rata-rata 2,5 g, dengan konsumsi terbanyak pada kelompok usia 19-29 tahun yaitu dengan rata-rata 3,2 g susu. Tingkat partisipasi konsumsi susu seluruh subjek hanya 0,04%. Susu merupakan salah satu jenis pangan hewani dengan kandungan kalsium yang tinggi. Suatu penelitian menujukkan bahwa frekuensi konsumsi susu berhubungan dengan berat badan dan kepadatan tulang (Hardinsyah et al. 2008).

Berdasarkan data konsumsi masing-masing subjek, dapat diketahui asupan dan tingkat kecukupan gizi yang subjek. Tingkat kecukupan gizi merupakan perbandingan antara asupan gizi dengan angka kebutuhan gizi subjek yang dinyatakan dalam bentuk persentase (%). Tingkat kecukupan gizi menunjukkan sejauh mana makanan yang dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan zat gizi subjek.

(49)
(50)

Gambar 6. Persentase tingkat kecukupan gizi pria dewasa Indonesia

Konsumsi makanan subjek telah cukup memenuhi kebutuhan natrium (172.5%) dan kebutuhan fosfor (94.1%) dalam sehari, namun masih belum mencukupi kebutuhan kalsium (31.2%); besi (39.9%); dan kalium (19.6%). Demikian pula dengan vitamin, konsumsi makanan subjek dalam sehari telah mencukupi kebutuhan vitamin B1 (316.5%) dan vitamin B2 (211.8%), namun belum dapat mencukupi kebutuhan vitamin A (29.3%) dan vitamin C (10.8%). Kebutuhan vitamin dan mineral dikatakan cukup terpenuhi apabila tingkat kecukupannya lebih dari 65%.

Tingginya asupan vitamin B1 dapat dikaitkan dengan tingginya konsumsi pangan sumber karbohidrat pada subjek. Pangan sumber karbohidrat utama yang dikonsumsi subjek berupa nasi, karena nasi merupakan pangan pokok masyarakat di Indonesia. Nasi atau beras merupakan kelompok serealia yang kaya akan vitamin B. Sedangkan rendahnya tingkat kecukupan vitamin C maupun vitamin A dapat dikaitkan dengan rendahnya konsumsi sayuran dan buah-buahan. Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber serat, vitamin dan mineral.

Alternatif Indeks Gizi Seimbang (IGS)

(51)

Tabel 18. Hasil uji korelasi Pearson indeks gizi seimbang dan MGP

*korelasi signifikan pada tingkat 0,01

Tabel 18 menunjukkan bahwa seluruh alternatif IGS memiliki hubungan signifikan dengan MGP. Hubungan signifikan antara alternatif IGS dengan MGP, artinya seluruh alternatif IGS dapat mencerminkan mutu konsumsi pangan pria dewasa Indonesia. Alternatif IGS dengan nilai koefisien korelasi tertinggi terhadap MGP adalah IGS3-60 (r=0,64). Salah satu studi di Thailand yang mengembangkan instrumen serupa IGS, yaitu THEI (Thailand Healthy Eating Index), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara total nilai THEI dan asupan zat gizi (k=0,3-0,5, p<0,01). Nilai total THEI dapat menggambarkan asupan lemak, lemak jenuh, kolesterol, natrium dan gula (Taechangam et al. 2008). Tabel 19 menyajikan hasil perhitungan nilai sensitifitas dan spesifisitas IGS dibandingkan dengan MGP.

Tabel 19. Nilai sensitifitas dan spesifisitas IGS terhadap MGP

(52)

Alternatif IGS dengan nilai sensitifitas dan spesifisitas tertinggi adalah IGS3-50 yaitu sebesar 147,0 dan yang kedua terbesar adalah IGS3-60 yaitu 145,1. Artinya bila dibandingkan dengan alternatif IGS lainnya, IGS3-50 dan IGS3-60 lebih sensitif dan spesifik dalam menduga mutu gizi konsumsi pangan pria dewasa Indonesia.

Apabila mempertimbangkan kelengkapan komponen penilaian, hasil uji korelasi serta perhitungan nilai sensitifitas dan spesifisitas, maka IGS yang sesuai untuk menduga mutu gizi konsumsi pangan pria dewasa Indonesia adalah IGS4-105. IGS4-105 terdiri atas 10 komponen penilaian, sehingga penilaian dengan menggunakan indeks ini akan lebih menyeluruh dibandingkan dengan indeks yang haya terdiri dari lima, enam atau delapan komponen saja. IGS4-105 juga menggunakan cara penilaian empat tingkat, sehingga penialian dapat dilakukan lebih teliti dibandingkan cara penilaian tiga tingkat. Hasil uji korelasi Pearson IGS4-105 dengan MGP menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,54 dengan nilai sensitifitas dan spesifisitas 120,3. Hasil uji korelasi Pearson IGS4-105 lebih besar dari pada nilai koefisien korelasi IGS3-105 (0,46), serta nilai sensitifitas dan spesifitas IGS4-105 tidak jauh berbeda dengan IGS3-105 (122,2). Tabel 20. menampilkan komponen dan kriteria penilaian IGS4-105.

Tabel 20. Indeks gizi seimbang IGS4-105

No Komponen Skor

2000-2500 mg 1500-2000 mg 500-1500 mg

Jika mempertimbangkan kepraktisan cara penilaian, hasil uji korelasi serta perhitungan nilai sensitifitas dan spesifisitas, maka IGS yang sesuai untuk menduga mutu gizi konsumsi pangan pria dewasa Indonesia adalah IGS3-60. IGS3-60 memiliki koefisien korelasi terbesar terhadap MGP serta nilai sensitifitas dan spesifisitas kedua terbesar. IGS3-60 merupakan indeks gizi seimbang dengan enam komponen penilaian yang seluruhnya berupa penilaian terhadap konsumsi kelompok pangan, cara penilaian dengan sistem tiga tingkat. Tabel 21 menampilkan komponen dan kriteria penilaian IGS3-60.

(53)

memudahkan penilaian kualitas konsumsi pangan pria dewasa. Penggunaan IGS3-60 cukup dengan menghitung porsi makan kelompok pangan tertentu dan tidak harus menghitung kandungan zat gizi yang dikonsumsi, sedangkan penggunaan PPH didasarkan pada jumlah asupan energi dari masing-masing kelompok pangan. Namun perlu diketahui bahwa cara perhitungan MGP pada kedua studi ini berbeda. Studi Anwar (2013) menggunakan 10 zat gizi, sedangakan MGP pada studi ini menyertakan 16 zat gizi. Zat gizi yang berbeda antara lain adalah vitamin B2, kalium, natrium, serat dan air.

Tabel 21. Indeks gizi seimbang IGS3-60

No Komponen Skor

Tabel 22 menyajikan penilaian mutu gizi konsumsi pangan subjek berdasarkan IGS3-60. Setiap komponen memiliki nilai 0-16,7, sehingga jika dijumlahkan nilai dari enam komponen akan diperoleh nilai total yang berkisar antara 0-100. Secara keseluruhan rata-rata subjek masih memiliki nilai yang rendah untuk setiap komponen penilaian konsumsi pangan. Nilai yang paling tinggi ada pada komponen konsumsi pangan karbohidrat yaitu 7.6, hampir mendekati separuh dari nilai maksimal. Konsumsi pangan sumber karbohidrat memiliki nilai yang paling tinggi jika dibandingkan dengan penilaian kelompok pangan lainnya. Hal ini sejalan dengan data konsumsi pangan pada uraian sebelumnya, rata-rata subjek mengkonsumsi lebih dari 600 g pangan sumber karbohidrat atau setara dengan enam porsi. Konsumsi pangan sumber karbohidrat sebanyak enam porsi sudah mendekati anjuran pedomana makan (PUGS) untuk konsumsi pria dewasa, yaitu sebanyak delapan porsi dalam sehari.

Tabel 22. Skor indeks gizi seimbang IGS3-60

Komponen

(54)

buah dapat menjelaskan tingkat kecukupan serat dan vitamin yang tidak terpenuhi, seperti vitamin A dan vitamin C. Secara total rata-rata nilai IGS3-60 adalah 27,8, atau hanya seperempat dari nilai maksimal yang dapat diperoleh setiap subjek. Hal ini menujukkan mutu gizi konsumsi pangan pria Indonesia pada tahun 2010 masih buruk dan jauh dari standar yang dianjurkan oleh pedoman PUGS. Tabel 21. menyajikan sebaran subjek berdasarkan mutu konsumsi pangannya.

Tabel 23. Mutu konsumsi pangan subjek berdasarkan IGS3-60

Mutu

Sebagian besar subjek (78,4%) memiliki kualitas konsumsi pangan yang buruk, hanya 0,2% subjek dengan kualitas konsumsi pangan yang cukup baik. Hasil serupa juga diperoleh pada studi yang dilakukan Taechangam et al. (2008) yang menilai kualitas konsumsi pangan pada 121 orang pekerja dewasa dengan menggunakan THEI. Lebih dari separuh responden penelitian (69%) memiliki nilai THEI dibawah 55, artinya masih banyak subjek dengan mutu konsumsi pangan yang buruk dan hanya 8,3% subjek di Thailand dengan mutu konsumsi pangan yang sudah baik. Rendahnya mutu konsumsi pangan subjek paling utama ada pada komponen konsumsi susu, sayuran dan buah-buahan (Tabel 20).

Gambar

Gambar 1. Prevalensi obesitas pada pria di setiap kelompok usia
Gambar 2. Komponen-komponen HEI  – 1995
Tabel 2. Komponen dan penilaian dalan HEI 1995
Tabel 5  Komponen Aust-HEI dan skor masing-masing komponen  No  Komponen  Kriteria untuk skor
+7

Referensi

Dokumen terkait

Varian yang rugi adalah varian bahan baku, harga bahan baku dan selisih efisiensi, varian yang tidak rugi adalah varian bauran, sedangkan varian hasil, varian biaya tenaga

Penelitian ini akan membahas apakah terdapat pengaruh antara persepsi yang telah melekat di benak khalayak terhadap pembentukan citra anak perusahaan terkait isu negatif di media

ITPC BARCELONA [Peluang Pasar Produk Alas Kaki di Spanyol 2013] 34 Pada market brief ini, akan dibahas lebih lanjut dan khusus untuk perdagangan pasar produk HS

Ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) mengandung senyawa aktif alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan saponin yang bersifat antibiotik sehingga

Tahapan dalam pembuatan aplikasi Quiz Telekomunikasi ini telah selesai dibuat, untuk memastikan kinerja Aplikasi Quiz Telekomunikasi Berbasis Android ini dapat berjalan

1) Memudahkan admin sekolah dalam memberikan informasi terkait jadwal pelajaran yang dapat diakses oleh guru, siswa, dan orang tua merupakan fitur pada Modul Schedule.

a) Apabila PDN naik, maka terjadi peningkatan aktiva valas dengan persentase lebih besar dibanding peningkatan peningkatan pasiva valas. Jika pada saat itu nilai

Dalam strategi pengembangan TOGA perlu dilakukan analisis spesies tumbuhan obat yang bisa dikembangkan dengan kriteria sebagai berikut : spesies tumbuhan obat yang ada di desa