• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Komunikasi Ritual Kanuri Blang sebagai Bentuk Kerjasama dalam Masyarakat Tani di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perspektif Komunikasi Ritual Kanuri Blang sebagai Bentuk Kerjasama dalam Masyarakat Tani di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF KOMUNIKASI RITUAL KANURI BLANG

SEBAGAI BENTUK KERJASAMA DALAM MASYARAKAT

TANI DI KECAMATAN SAMATIGA

KABUPATEN ACEH BARAT PROVINSI ACEH

KHORI SUCI MAIFIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perspektif Komunikasi Ritual Kanuri Blang sebagai Bentuk Kerjasama dalam Masyarakat Tani di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat Propinsi Aceh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

(4)

RINGKASAN

KHORI SUCI MAIFIANTI. 2014. Perspektif Komunikasi Ritual Kanuri Blang sebagai Bentuk Kerjasama dalam Masyarakat Tani di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh. Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan DJOKO SUSANTO.

Kanuri blang merupakan ritual dalam bidang pertanian yang dikoordinasikan oleh keujreun blang. Kanuri blang salah satu bentuk kerjasama dalam masyarakat tani selain bentuk kerja sama, kanuri blang juga merupakan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rezeki dan berdo’a agar panen mendatang bisa lebih baik dari musim tanam yang lalu. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana proses negosiasi yang terjadi pada komunikasi ritual kanuri blang masyarakat tani di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2013 sampai dengan April 2014 dengan menggunakan pendekatan kualitatif yakni dengan metode etnografi komunikasi.

Berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan, bahwa pelaksanaan kanuri blang tidak dilakukan di semua gampông yang memiliki lahan sawah tadah hujan yang berjumlah 29 gampông. Berikut pemaparan fakta yang ditemukan di lapangan yaitu (1) Terdapat dua belas gampông yang tidak melaksanakan kanuri blang, tiga gampông yang dilaksanakan hanya oleh kelompok tani, terdapat empat gampông yang melaksanakan kanuri blang secara mandiri, terdapat tiga kegiatan kanuri blang yang dilaksanakan atas kerjasama dua gampông, adapun kanuri blang yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh empat gampông hanya satu kegiatan. (2) Urutan pelaksanaan kanuri blang tidak sama antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain. (3) Tahapan kanuri blang yang masih dipertahankan adalah yasinan, berdo’a dan makan bersama.

Masyarakat tani harus siap terjadinya negosiasi untuk menghasilkan keselarasan ritual kanuri blang. Negosiasi ini secara otomatis dan tanpa disadari telah terjadi dalam masyarakat tani. Ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya negosiasi dalam kanuri blang yaitu melemahnya dukungan pemerintah, ekonomi, dan interpretasi agama. Melemahnya dukungan pemerintah dimulai sejak pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Undang-undang ini mengupayakan adanya penyeragaman kedudukan pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Ternyata hal ini juga berpengaruh terhadap pelaksanaan kanuri blang dimana terjadi negosiasi pada participants, act sequence dan instrumentalities. Melemahnya dukungan pemerintah ini membawa dampak pada ekonomi masyarakat tani untuk membeli kerbau dikarenakan harga kerbau mahal, sehingga terjadinya negosiasi pelaksanaan kanuri blang, yang mengubah act sequence, dan instrumentalities. Perbedaan interpretasi agama antara tokoh masyarakat di Kecamatan Samatiga mempengaruhi pelaksanaan kanuri blang. Ini mengakibatkankan terjadinya negosiasi pelaksanaan kanuri blang dalam hal setting.

(5)

SUMMARY

KHORI SUCI MAIFIANTI. 2014. Ritual Communication Perspective Kanuri Blang as the Community Farmers-Based Forms of Cooperation in Subdistrict Samatiga of District West Aceh of Aceh Province. Supervised by SARWITITI SARWOPRASODJO and DJOKO SUSANTO.

Kanuri blang a ritual in agriculture coordinated by keujreun blang. Kanuri blang one form of cooperation in the farming community as well as cooperation. Kanuri blang is gratitude to Allah SWT who has given sustenance and pray for upcoming harvest could be better than a season ago. This study aims to describe how the process of negotiation that occurs in ritual communication kanuri blang Samatiga farming community in West Aceh province. This study was conducted from November 2013 to April 2014, using a qualitative approach of ethnography’s communication.

Based on the facts found in the field, the kanuri blang has not done in all villages that have the rainfed areas totaling of 29 villages. The following are found in fact that (1) There are twelve villages that do not implement the kanuri blang, three village that implemented only by farmers, there are four villages that perform independently kanuri blang. There are three activities conducted by cooperation of two villages, the kanuri blang implemented jointly by four villages jointly. (2) The order of execution is not the same kanuri blang between one activity to another one. (3) Stages of kanuriblang are still the same and preserved as yasinan, pray and eat together.

Farming community must be ready to produce harmony negotiations happening ritual kanuri blang. Negotiations are automatically and unconsciously happening in the farming community. There are three factors that lead to negotiations in the kanuri blang weakening government support, economic and religious interpretations. Weakening of government support since the government started issuing Law No. 5 of 1979 on the village. The law empowers the government's standardization position villages across Indonesia. It will also affect the implementation of the kanuri blang where the negotiations on the participants, act sequence, and instrumentalities. This weakening of government support had an impact on the economy of the farming community to buy buffalo, because the buffalo is expensive, so the occurrence of negotiating the implementation of kanuri blang, which change the act sequences, and instrumentalities. The difference in interpretation of the religious leaders had affect the implementation of the kanuri blang in Samatiga. This occurrence caused negotiation performance in terms of setting of the kanuri blang.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

PERSPEKTIF KOMUNIKASI RITUAL KANURI BLANG

SEBAGAI BENTUK KERJASAMA DALAM MASYARAKAT

TANI DI KECAMATAN SAMATIGA

KABUPATEN ACEH BARAT PROVINSI ACEH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Perspektif Komunikasi Ritual Kanuri Blang sebagai Bentuk Kerjasama dalam Masyarakat Tani di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh

Nama : Khori Suci Maifianti NIM : I352120091

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Ketua

Prof(Ris) Dr Ign Djoko Susanto, SKM Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Dr Ir Djuara P Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 ini ialah komunikasi ritual, sebagai salah satu bentuk kerjasama dalam masyarakat tani di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat Propinsi Aceh.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS dan Bapak Prof (Ris) Dr Ign Djoko Susanto, SKM sebagai Komisi Pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan dan saran. Serta Bapak Dr Ir Djuara P Lubis, MS dan Dr Ir Amiruddin Saleh, MS yang telah banyak memberi saran pada ujian tesis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Camat Samatiga yang telah memberi izin untuk melakukan penelitian ini. Tidak lupa pula penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada seluruh Kepala desa, Tokoh Masyarakat, Petani, Pemuda, Kepala Adat, dan Penyuluh yang telah bersedia dan memberikan waktunya untuk diwawancara. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Suami, Papa, Mama, ayah mertua, ibu mertua, kakak, adik-adik ipar serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Kepada teman sejawat KMP 2012 terutama teman-teman sebimbingan atas dukungan yang diberikan. Terimakasih juga kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang memberikan Beasiswa Unggulan (BU-Dikti) untuk membiayai kuliah penulis.

Penulis dengan terbuka mengharapkan masukan, koreksi dan saran untuk melangkapi karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA

Kelembagaan Lokal Masyarakat Tani 4

Komunikasi Ritual dalam Etnografi Komunikasi 6

Perubahan Tradisi dalam Keterkaitan dengan Kelembagaan Lokal 7

Penelitian Terdahulu 8

Kerangka Pemikiran 11

METODE PENELITIAN

Paradigma Penelitian 13

Desain Penelitian 13

Tempat dan Waktu Penelitian 14

Penentuan Subyek Penelitian 14

Data dan Matode Pengumpulan Data 15

Teknik Analisis Data 17

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

Masyarakat Tani 18

Pendapatan 20

Struktur Sosial 21

Keujreun Blang 22

Kanuri Blang 37

ETNOGRAFI KOMUNIKASI RITUAL KANURI BLANG

Tipologi Pelaksanaan Ritual Kanuri Blang 43

Tipe Pelaksanaan Kanuri Blang Secara Kelompok Tani 49 Tipe Pelaksanaan Kanuri Blang Secara Mandiri (Satu Gampong) 58 Tipe Pelaksanaan Kanuri Blang Secara Dua Gampong 67 Tipe Pelaksanaan Kanuri Blang Secara Empat Gampong 73 Analisis Makna Tindak Komunikasi pada Ritual Kanuri Blang 81

(12)

NEGOSIASI KANURI BLANG

Melemahnya Dukungan Pemerintah 85

Ekonomi 88

Interpretasi Agama 89

Kesimpulan 91

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 92

Saran 93

DAFTAR PUSTAKA 93

(13)

DAFTAR TABEL

1 Penelitian terdahulu tentang komunikasi ritual yang mengalami

negosiasi 8

2 Daftar Informan 15

3 Komponen Peristiwa Komunikasi di Kecamatan Samatiga 82

4 Negosiasi yang Terjadi dalam Kanuri Blang 91

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran 12

2 Proses Analisis Data Penelitian 17

3 Susunan Lembaga Keujreun Blang di Kecamatan Samatiga 34 4 Bagan Kedudukan Kanuri di dalam Masyarakat Aceh 40 5 Rekonstruksi Proses Ritual Kanuri Blang Kelompok Tani 58 6 Rekonstruksi Proses Ritual Kanuri Blang Mandiri di Sawah 67 7 Rekonstruksi Proses Ritual Kanuri Blang Mandiri di Mesjid 67 8 Rekonstruksi Proses Ritual Kanuri Blang Kerja Sama Dua Gampong 73 9 Rekonstruksi Proses Ritual Kanuri Blang Empat Gampong 81

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi Kanuri Blang 98

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemerintah Republik Indonesia sudah berusaha keras untuk mewujudkan ketahanan pangan. Mulai dari UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara wajib menjalankan kedaulatan pangan. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 sampai dengan direvisi menjadi Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang pangan. Untuk bisa melaksanakan kewajiban tersebut, maka pemerintah memikirkan strategi-strategi yang dikembangkan dalam pembangunan pertanian guna mewujudkan ketahanan pangan. Salah satu strateginya yang harus dikembangkan adalah pemberdayaan kelembagaan lokal (Suradisastra 2011).

Namun, pemberdayaan kelembagaan lokal cenderung kurang dimanfaatkan oleh praktisi-praktisi pembangunan. Praktisi-praktisi menganggap pembangunan hanya pertumbuhan produksi saja. Padahal pembangunan bukan hanya pertumbuhan ekonomi atau produksi, tetapi kebebasan budaya dalam kelembagaan lokal juga merupakan faktor penting (Marana 2010). Meskipun keanekaragaman budaya dalam kelembagaan lokal di Indonesia sudah dikenal lama, namun cenderung diabaikan dan bahkan mulai dilupakan (Hikmat 2001). Salah satu contoh, perencanaan program pembangunan dari atas (top down planning) dan penggunaan pola penyeragaman strategi dalam mewujudkan ketahanan pangan.

Indonesia yang terdiri dari 1.340 suku bangsa (BPS 2010) menjadikan Indonesia kaya akan budaya dan kearifan lokal. Kearifan lokal masyarakat cenderung diwariskan secara lisan dan relatif terbatas di kalangan elit masyarakat. Setiap etnis memiliki adat budaya yang mencirikan kekhasan etnisnya masing-masing. Adat budaya ini menjadi kearifan lokal bagi kelompok masyarakat yang menganutnya. Masyarakat merasakan kebermaknaan kearifan lokal dan melembagakannya ke dalam pranata keluarga dan pranata sosial lainnya. Kegiatan yang dilakukan untuk mengaktifkan memori kolektif tersebut adalah upacara. Upacara yang dilakukan secara intensif, berulang-ulang dengan lokasi, waktu, prosesi yang teratur dan berpola sehingga kearifan lokal yang bersifat abstrak itu nyata adanya (Geertz, 1973).

Kearifan lokal memuat tentang pengetahuan, keyakinan, dan nilai-nilai budaya masyarakat yang mengatur hidup dan kehidupan masyarakat. Kearifan lokal memuat pula ajaran dan sanksi sosial, budaya, dan ekonomi bagi yang melanggar ajaran tersebut. Dengan sendirinya mengkaji kearifan lokal bukan hanya mengkaji tentang pengetahuan, keyakinan, dan nilai-nilai budaya yang saling terpisahkan melainkan menjadi satu kesatuan yang digunakan untuk melangsungkan kehidupan masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Kearifan lokal dimiliki oleh suatu komunitas di suatu tempat yang berfungsi untuk menyelesaikan berbagai persoalan atau kesulitan yang dihadapi secara baik dan benar. Wujud kearifan lokal berupa pengetahuan dan praktik-praktik berupa pola interaksi dan pola tindakan.

(16)

2

dilakukan setiap tahunnya, sebagai contoh di Aceh memiliki lembaga adat keujreun blang yang ritualnya kanuri blang (Yulia et al, 2012), Bangka Belitung terkenal dengan ritual mak jong, ripok angkam, nirok nanggok (Nusir et al, 2010). Bali yang terkenal dengan subak dan awig-awig (Martiningsih, 2012), Manggarai dengan Bate Waes (Dewi et al, 2008), Kediri dengan ritual Pemurnian desa (Rustinsyah, 2012). Lampung melakukan upacara yang bernama ruwatan laut serta lek-lekan (Nasution et al, 2007), Kepala menyan di Sumatera Selatan (Yenrizal, 2010), bari dan mabari di Halmahera Barat (Syarif, 2010).

Adanya keragaman budaya ini menuntut agen pembangunan harus mempertimbangkan kearifan lokal masing-masing. Agar keinginan ini tercapai pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pangan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012, dimana Undang-Undang ini merekomendasikan bahwa ketahanan pangan secara merata baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dapat memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Undang-undang ini diharapkan dapat membantu pembangunan di Indonesia secara merata dan akan mengembalikan kembali marwah Indonesia yang disebut sebagai negara agraris dan pernah sukses dalam swasembada pangan.

Pertanian merupakan usaha yang paling utama bagi sebagian masyarakat Aceh. Hal ini tergambar pada semboyan nenek moyang masyarakat Aceh “Pangulèe hareukat meugoe” yang artinya usaha yang paling utama adalah pertanian. Masyarakat Aceh juga memiliki pandangan bahwa menanam padi merupakan “berkah”, sehingga makanan pokoknya yaitu beras. Hal ini terlihat di Provinsi Aceh sebanyak 644.851 rumah tangga, dengan rincian subsektor tanaman pangan 423.124 rumah tangga, hortikultura 195.090 rumah tangga, perkebunan 388.667 rumah tangga, peternakan 254.166 rumah tangga, perikanan 48.044 rumah tangga, dan kehutanan 22.681 rumah tangga (BPS, 2013). Selain itu, dukungan Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang lembaga adat juga menjadi pendukung peningkatan hasil produktivitas padi. Lembaga adat yang berperan dalam pertanian adalah keujreun blang, dan memiliki ritual di bidang pertanian yang bisanya disebut dengan kanuri blang. kanuri blang ini digunakan untuk sarana berkumpul masyarakat agar terbentuk kebersamaan masyarakat dan rasa syukur kepada Allah SWT.

Ritual dan kearifan lokal menjadi isu strategis di saat masyarakat mengalami dinamika yang mengakibatkan terjadinya perubahan sosial budaya dan krisis nilai-nilai kemanusiaan (krisis akhlak). Salah satu cara yang efektif adalah mengatifkan kembali ajaran-ajaran moral yang dimiliki masyarakat yang bersumber dari ajaran agama dan nilai-nilai budaya masyarakat (Nusir et al, 2010). Dengan sendirinya, ritual dan kearifan lokal itu tidak serta merta bisa diterapkan dalam masyarakat yang berubah melainkan harus dilakukan negosiasi, kontestasi, dan revitalisasi (Suparlan, 2004).

(17)

3 Aceh. Ketidakefektifan ini menjadi ironi bila melihat pelaksanaan kanuri blang yang rutin dilakukan setiap tahun, yang dikoordinasi oleh keujreun blang.

Sehubungan dengan itu, Hasil penjajakan peneliti bahwa kegiatan kanuri blang sudah mulai memudar. Oleh karena itu, memudarnya keujreun blang dan kanuri blang menarik untuk melakukan kajian keberadaan, perkembangan dan perubahan. Hal ini penting karena bahwa keujreun blang dan kanuri blang dapat didayagunakan untuk hubungan antar masyarakat dan hubungan dengan Allah SWT. Bahkan, ada pandangan bahwa kelembagaan lokal merupakan sarana yang efektif untuk percepatan pembangunan perdesaan di Kecamatan Samatiga. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan sejauhmana dampak perubahan lembaga adat keujreun blang terhadap perubahan tradisi kanuri blang di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh.

Perumusan Masalah

Rumusan masalah utama penelitian ini adalah bagaimana negosiasi yang terjadi pada komunikasi ritual kanuri blang di masyarakat tani Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh. Berdasarkan hal ini maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh perubahan keujreun blang terhadap kanuri blang?

2. Bagaimana negosiasi ritual kanuri blang terhadap perubahan komponen peristiwa komunikasi?

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana proses negosiasi yang terjadi pada komunikasi ritual kanuri blang di masyarakat tani Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat. Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan pengaruh perubahan keujreun blang terhadap kanuri blang. 2. Mendeskripsikan negosiasi ritual kanuri blang terhadap perubahan komponen

peristiwa komunikasi.

Manfaat Penelitian

(18)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Kelembagaan Lokal Masyarakat Tani

Masyarakat tani merupakan sekumpulan peran-peran yang saling berinteraksi satu dengan yang lain yang akan membentuk suatu perilaku sosial yang didapat dari proses belajar dan kebudayaan. Masyarakat tani di Kecamatan Samatiga terdiri dari petani, aparat desa, pemuda, keujreun blang, pemuka adat, ketua kelompok tani dan penyuluh pertanian. Hal ini dikarenakan pada saat kanuri blang mereka merupakan sekumpulan yang memiliki peran masing-masing yang saling berinteraksi satu dengan yang lain yang akan membentuk suatu perilaku sosial.

Lembaga sosial adalah sekumpulan tata aturan yang mengatur interaksi dan proses-proses sosial di dalam masyarakat. Wujud konkret dari pranata sosial adalah aturan, norma, adat istiadat dan semacamnya yang mengatur kebutuhan masyarakat dan telah terinternalisasi dalam kehidupan manusia, dengan kata lain pranata sosial adalah sistem norma yang telah melembaga atau menjadi kelembagaan disuatu masyarakat (Bungin 2008).

Mendefinisikan dan mengartikan lembaga lokal terdapat dua kata penting yang menyusun konsep tersebut yaitu kelembagaan dan lokal. Institution atau pranata adalah sebagai kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya. Terwujudnya suatu pranata berada dalam pengaruh dari tiga wujud kebudayaan, yaitu (1) sistem norma dan tata kelakuan dalam konteks wujud ideal kebudayaan, (2) kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan, (3) peralatannya untuk wujud fisik kebudayaan. Ditambah dengan personelnya sendiri, dari empat komponen tersebut yang saling bernteraksi satu sama lain (Koentjaraningrat 1997 dalam Syahyuti 2003). Lokal menurut Uphoff (1992), kumpulan-kumpulan masyarakat yang memiliki kekerabatan, pemasaran atau koneksi lainnya, masyarakat atau desa atau kota, dan kelompok. Dapat disimpulkan bahwa lembaga lokal adalah kelakuan berpola dari manusia dalam pengaruh tiga wujud kebudayaan pada kumpulan masyarakat yang memiliki kekerabatan, pemasaran atau koneksi lainnya.

Lembaga adat juga merupakan suatu komponen dari struktur sosial yang berorientasi pada nilai-nilai kebudayaan yang diperankan, berkenaan dengan mempertahankan sumber daya alam dan kelestarian lingkungannya dalam peningkatan kesejahteraan dan kelangsungan hidupnya sesuai dengan bidangnya masing-masing demi tercapainya tujuan pembangunan (Yusoef et al. 2011). Peran-peran tersebut telah terinternalisasi dalam kelompok masyarakat didasari pada pengetahuan, nilai, dan norma terhadap objek kehidupan. Jadi lembaga adat adalah suatu institutional cultural masyarakat yang berperan untuk melestarikan, mengembangkan, mengelola sumber daya alam untuk kelangsungan hidupnya dan pembangunan di setiap wilayah.

(19)

5 kelembagaan memiliki tujuan tertentu, dan orang-orang yang terlibat didalamnya memiliki pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma yang sudah disepakati yang bersifat khas. Kanuri blang merupakan kelembagaan tradisional masyarakat di Kecamatan Samatiga, dimana kelembagaan ini terbentuk secara alamiah, dimana aspek-aspek kultural lebih dulu terbentuk dibandingkan aspek-aspek struktural. Sedangkan keujreun blang merupakan “kelembagaan introduksi” yang dibentuk melalui rekayasa sosial, dengan mendahulukan pembentukan struktur dan pengurusnya saja (aspek struktural).

Keujreun blang merupakan lembaga adat tingkat gampong (desa) yang tugasnya membantu geuchik (kepala desa) di bidang persawahan. Jika dikaitkan dalam sepuluh tingkat pengambilan keputusan dan aktifitas dari Uphoff, maka keujreun blang merupakan lembaga lokal pada tingkat keenam yaitu di locality level. Keujreun blang merupakan lembaga lokal yang bertanggung jawab kepada pemerintah daerah. Yulia et al. (2012) mengatakan keujreun blang adalah lembaga adat yang merupakan salah satu faktor pendukung dalam roda perekonomian di bidang pertanian, sehingga menjadi salah satu unsur dalam meningkatkan produksi padi sawah. Jadi pemanfaatan suatu lembaga adat untuk kelangsungan hidupnya adalah suatu upaya meningkatkan kesejahteraan kelompok tersebut yang didasari pada akar budaya masyarakatnya, disamping itu pula pemanfaatan suatu lembaga adat dalam pembangunan merupakan upaya melibat masyarakat melalui lembaga-lembaga adat atau melalui demensi lain untuk kelancaran pembangunan, hal ini harus tetap terpelihara secara kontinyu untuk menciptakan keseimbangan sistem-sistem yang ada di setiap masyarakat.

Sebagaimana uphoff (1985) peringatkan pemerintah haruslah memiliki komitmen terhadap pembangunan pedesaan yang seimbang melalui organisasi-organisasi lokal yang akan mampu menjembatani transfer sumber daya dari pusat ke daerah secara signifikan. Terutama dalam pengelolaan irigasi, lembaga lokal dapat berguna jika didukung oleh sumber daya teknis dan keuangan yang disalurkan dari pemerintah ke lembaga lokal. Uphoff (1992), mengatakan organisasi yang gagal memenuhi kebutuhan masyarakat akan kehilangan dukungan mereka dan status kelembagaan, kecuali mampu menarik sumber daya dari luar. Analisis menunjukkan bahwa potensi lembaga lokal untuk pengelolaan sumber daya alam dapat ditingkatkan, hal ini dianggap sama, dengan berinvestasi dalam pengumpulan informasi dalam sumber daya tersebut dan membuatnya tersedia untuk masyarakat setempat.

(20)

6

masing-masing sesuai dengan yang ditetapkan. Semua petani yang akan turun sawah diwajibkan untuk melakukan kanuri blang.

Komunikasi Ritual dalam Etnografi Komunikasi

Komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih. Yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise) terjadi dalam suatu konteks, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik (Devito 2011). Jika dikaji dalam komunikasi antarbudaya, komunikasi didefinisikan sebagai apa yang terjadi bila makna diberikan kepada suatu perilaku. Bila seseorang memperhatikan perilaku kita dan memberinya makna, komunikasi telah terjadi terlepas dari apakah kita menyadari perilaku kita atau tidak dan menyengajanya atau tidak (Porter dan Samovar 2005). Komunikasi adalah mesin pendorong proses sosial yang memungkinkan terjadinya interaksi antarmanusia dan menjadikan manusia sebagai makhluk sosial (Rivers et al. 2008).

Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sebab telah menjadi kebutuhan pokok manusia dalam bertahan untuk hidup. Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita. Aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan dengan orang lain, sebagai contoh komunikasi ritual.

Komunikasi ritual dapat dimaknai sebagai proses pemaknaan pesan sebuah kelompok masyarakat. Mulyana (2010) mengatakan suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup mulai dari kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan, siraman, pernikahan hingga upacara kematian. Dalam acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku simbolik. Contoh yang dapat dikemukakan adalah upacara Natoni di Nusa Tenggara Timur (Andung 2010), Kepala Menyan di Sumatera Selatan (Yenrizal 2010), Masquerades di Afrika (Ajala 2011).

Suatu komunitas, masyarakat, ataupun kelompok sering menggunakan upacara-upacara yang selalu berkontinuitas dalam kehidupannya. Kegiatan ritual memungkinkan para pesertanya berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan mereka, juga sebagai pengabdian kepada kelompok. Bukanlah substansi kegiatan ritual itu sendiri yang terpenting, melainkan perasaan senasib sepenanggungan yang menyertainya, perasaan bahwa kita terikat oleh sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri, yang bersifat “abadi”, dan bahwa kita diakui dan diterima dalam kelompok kita (Mulyana 2010).

Dalam komunikasi ritual adanya penggunaan simbol-simbol yang unik yang digunakan secara turun temurun, sehingga masyarakat yang melakukan ritual memiliki pemaknaan yang sama. Ini akan terciptanya komunikasi efektif. Seperti yang dikemukakan oleh Dewi (2007) bahwa komunikasi akan efektif apabila terjadi pemahaman yang sama dan pihak lain terangsang untuk berpikir atau melakukan sesuatu.

(21)

7 disebut etnografi komunikasi. Etnografi lahir karena adanya hubungan bahasa, komunikasi, dan kebudayaan secara bersama (Saville-Troike 2003).

Etnografi komunikasi juga memiliki kelebihan untuk (1) mengungkapkan jenis identitas yang digunakan bersama oleh anggota komunitas budaya. Identitas tersebut diciptakan oleh komunikasi dalam sebuah komunitas budaya. Identitas itu sendiri pada hakikatnya merupakan perasaan anggota budaya tentang diri mereka sebagai komunitas. Dengan kata lain, identitas merupakan seperangkat kualitas bersama yang digunakan para anggota budaya dalam mengidentifikasikan diri mereka sebagai komunitas. (2) mengungkapkan makna kinerja publik yang digunakan bersama dalam komunikasi. (3) mengungkapkan kontradiksi atau paradoks-paradoks yang terdapat dalam sebuah komunitas budaya (Zakiah, 2005). Dalam etnografi komunikasi adalah aktivitas dan proses komunikasi. Dimana aktivitas komunikasi tidak tergantung pada adanya pesan, komunikator, komunikan, media, efek, dan sebagainya. Tetapi lebih pada aktivitas khas yang komplek, yang di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa khas komunikasi yang melibatkan tindak-tindak komunikasi tertentu dan dalam konteks komunikasi yang tertentu pula. Sehingga proses komunikasi adalah peristiwa-peristiwa yang khas dan berulang.

Perubahan Tradisi dalam Keterkaitan dengan Kelembagaan Lokal

Tradisi merupakan istilah yang berasal dari “traditum”, yaitu sesuatu yang diteruskan dari masa lalu hingga masa sekarang bisa berupa benda atau tindak laku sebagai unsur kebudayaan atau berupa nilai, norma, harapan dan cita-cita. Kriteria dari tradisi adalah bahwa tradisi diciptakan melalui tindakan dan kelakuan orang-orang melalui fikiran dan imaginasi orang-orang yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam proses transmisi itu kumpulan dari pada simbul-simbul dan berbagai “image” diterima serta dimodifisir. Perubahan tersebut nampak dan interpretasi dibuat oleh resipen (masyarakat yang menerimanya). Perubahan biasanya tidak dirasakan oleh masyarakat, tetapi dapat diamati oleh orang luar, hal ini terjadi karena elemen pokoknya tidak berubah tetapi bercampur dengan elemen-elemen lainnya yang mengalami perubahan (Sajogyo 1985).

Perubahan sosial-kebudayaan pada berbagai masyarakat memang telah ada sejak zaman dahulu dan merupakan gejala yang normal. Untuk mempelajari suatu perubahan yang terjadi dalam masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan itu. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa sebab-sebab tersebut sumbernya mungkin ada yang terlatak di dalam masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya diluar masyarakat itu, yaitu yang datangnya sebagai pengaruh dari masyarakat lain (Sajogyo 1985). Leonard et.al (2009), dalam jurnalnya mengatakan bahwa budaya membutuhkan pola komunikasi tertentu yang umumnya berkembang dari waktu ke waktu berdasarkan geografi, politik, dan pengaruh lainnya. Oleh karena itu individu dalam budaya cenderung mengabaikan komunikasi yang tidak sesuai dengan pola sosial yang diharapkan. Keberhasilan atau kegagalan organisasi sering tergantung pada tingkat komunikasi, salah satunya penggunaan media yang efektif.

(22)

8

baru dan keaslian, mewujudkan kreativitas, semangat pembaruan dan imajinasi. Kedua, tradisi itu berubah karena bentrokan atau konflik antara tradisi yang dihormati oleh strata, kultur, suku dan agama yang berlainan. Dampaknya ditandai oleh ketidakseimbangan kekuatan (artikulasi, daya pikat, cakupan, dan sebagainya) atau dalam melemahnya dukungan yang diterima dari agen yang berkuasa (pemerintah, militer, dan gerakan sosial).

Sedangkan Stangor (2004), menyimpulkan perubahan terjadi karena sebagai berikut (1) kelompok yang berstatus rendah tidak ingin menerima posisi rendah dan mereka berusaha untuk mengubahnya, (2) kesadaran palsu yaitu menerima bahwa mereka berstatus rendah, dan mereka merupakan bagian penting dari norma-norma sosial masyarakat, (3) berusaha untuk mengubahnya dengan mencoba untuk meninggalkan kelompok status rendah dan pindah ke status yang lebih tinggi yang dikenal dengan mobilitas individu, (4) kreativitas sosial, dimana kelompok yang berstatus rendah tidak meninggalkan kelompoknya tetapi mereka mencoba untuk menjadi lebih baik dengan beberapa identitas sosial yang positif. (5) Aksi kolektif, yang mengacu pada upaya dari satu kelompok untuk mengubah hirarki status sosial dengan meningkatkan status relatif dalam kelompok lain.

Selanjutnya Salim (2002), mengatakan di Indonesia masalah-masalah yang berhasil diidentifikasi ada lima faktor eksternal yang disebut sebagai roda penggerak dari perubahan sosial, yaitu (1) komunikasi dan industri pers, (2) Birokrasi, (3) modal, (4) teknologi, (5) ideologi (pancasila) dan agama.

Penelitian Terdahulu

Tabel 1. Penelitian terdahulu tentang komunikasi ritual yang mengalami negosiasi Peneliti/ Tahun/ Judul Temuan Penting

1. Soehadha/ 2013/ Ritual Rambut Gembel dalam Arus Ekspansi Pasar Pariwisata.

Ritual rambut gembel pada masyarakat Dieng, telah terjadi perubahan. Hal ini tergambar secara nyata setelah masuknya nilai religiusitas agama islam dan kepentingan ekonomi melalui pengembangan pasar pariwisata.

2. Zuhdi/ 2012/ Dakwah dan Dialektika Akulturasi Budaya

Dakwah para penyebar Islam telah menunjukkan akomodasi yang kuat terhadap tradisi lokal masyarakat setempat, sehingga Islam datang bukan sebagai ancaman, melainkan sahabat yang memainkan peran pentingdalam transformasi kebudayaan. Dalam menghadapi negosiasi lokal, Islam tidak harus dipersepsikan sebagai Islam yang ada di Arab, tetapi Islam yang dapat menyatu dengan tradisi lokal masyarakat. 3. Purba/ 2000/ Gereja dan Adat:

Kasus Gondang Sabangunan dan Tor-Tor

(23)

9 Peneliti/ Tahun/ Judul Temuan Penting

maka praktek musikal ini tidak akan dapat diterima menurut ajaran Kristen. Namun demikian, walau adat mengalami degradasi, pengaruhnya dalam struktur, prosedur, isi serta konteks penyajian gondang sabangunn dan tor-tor masih tetap nyata. Kombinasi kedua kondisi ini di dalam penyajian gondang sabangunan dan tor-tor pada upacara adat merupakan refleksi pemahaman orang Batak Toba terhadap kebijakan gereja dan adat warisan leluhurnya.

4. Saputra/ 2014/ Wasiat Leluhur: Respon Orang Using terhadap Sakralitas dan Fungsi Sosial Ritual Seblang

Pranata ritual seblang merupakan institusi sosial yang difungsikan oleg orang using sebagai bagian integral dari struktur sosial mereka. Sakralitas seclang juga menjadi ajang bertemunya alam halus dan alam kasar; manusia dan dhayang; mikrokosmos dan makrokosmos. Eksistensi pranata ritual seblang yang mampu melintas-batas tetap di uri-uri oleh orang using hingga kini lantaran didukung oleh kondisi budaya dan kondisi sosial. Kondidisi budaya terkait dengan sistem religi dan sistem pengetahuan, sedangkan kondidsi sosial terkait dengan struktur sosial dan lingkungan geoografis pedesaan.

5. Khoironi/ 2007/ Tradisi Wiwitan dalam Arus Modernisasi Pertanian (Studi atas Memudarnya tradisi Wiwitan di Desa Sendangrejo, Tayu, Pati)

(24)

10

Peneliti/ Tahun/ Judul Temuan Penting

imperatif-imperatif tradisional dan pengaruh kuat media komunikasi massa serta institusi-institusi pendidikan. Mengenai Ritual Lamaran dan Magang pernikahan Adat Masyarakat Samin di Kabupaten Bojonegoro

Proses ritual lamaran dan magang dalam pernikahan adat masyarakat Samin sudah mulai menghilang sejak masuknya agama Islam dan adanya lembaga pendidikan formal di daerah tersebut.

7. Juniarsih/ 2007/ Perubahan Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Lokal Suku Sasak di Kawasan Senggigi Pulau Lombok.

Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa masyarakat lokal suku sasak tidak mengalami perubahan secara keseluruhan sebagaimana yang diharapkan dalam pembangunan. Masyarakat masih tetap cepat pasrah dan cepat puas pada nasib dan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi sudah mulai berorientasi ke masa depan, melestarikan sumberdaya alam dan berorientasi individual. mengakibatkan perubahan pada hilangnya kepemilikan lahan, renggangnya hubungan antar masyarakat tani, hilangnya nilai-nilai hubungan kerja tradisional, meningkatnya upah buruh, dan mulai tumbuhnya sifat kapitalistik.

9. Suwarningdyah/ 2011/ Seudati sebagai Media Interaksi Sosial Masyarakat

Bergesernya fungsi dan kedudukan seudati yang pada zaman dahulu seudati sebagai media untuk syiar agama, pembakar semangat perjuangan melawan penjajahan, dan adanya interaksi sosial yang dijadikan ajang mencari jodoh. Namun sekarang, seudati hanya sebagai tontonan keindahan saja, yang kadang-kadang juga dibawakan pesan-pesan pembangunan untuk hajatan perkawinan, kampanye produk atau polotik.

10. Gulo/ 2012/ Degradasi Budaya dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Nias di Denpasar

Degradasi budaya dalam upacara perkawinan masyarakat Nias menimbulkan beberapa dampak sebagai berikut yaitu (1) dampak nilai moral dan dampak kekerabatan.

11. Syahdin/ 2013/ Perubahan Moda Produksi dan Potensi

(25)

11 Peneliti/ Tahun/ Judul Temuan Penting

Konflik Pada Kalangan Nelayan Bugis Sape NTB

kelas (modal dan pemilik alat), dan konflik.

12. Syarif/ 2010/ Memudarnya Bari dan Kelembagaan Mabari (Studi Pada Komunitas Petani Kelapa di Dua Desa di Kabupaten Halmahera Barat

Pembangunan membawa sertakan teknologi memberikan dampak perubahan terhadap komunitas di dua desa. Bentuk perubahan terlihat pada organisasi pertanian masyarakat ke dua desa. Kehadiran sepeda motor, perahu motor dan listrik masuk desamenyebabkan tradisi fala adat gura (rumah adat kebun) menjadi hilang. Hilangnya fala adat gura sangat berpengaruh terhadap nilai Bari dan Mabari.

Berdasarkan review beberapa hasil penelitian di atas, belum ditemukan penelitian yang mengkaji komunikasi ritual yang terjadi negosiasi oleh faktor melemahnya dukungan pemerintah, ekonomi dan interpretasi agama yang dikaji dalam perspektif komunikasi ritual menggunakan metode etnografi komunikasi.

Kerangka Pemikiran

Kegiatan komunikasi memang merupakan kegiatan mengirim atau menerima pesan, namun pada dasarnya pesan sama sekali tidak berpindah, yang berpindah adalah makna pesan tersebut. para ahli komunikasi mengatakan bahwa komunikasi adalah kegiatan “pertukaran makna”, makna itu ada di dalam setiap orang yang mengirim pesan. Jadi, makna bukan sekedar kata-kata verbal atau perilaku non verbal, tetapi makna adalah pesan yang dimaksudkan oleh pengirim dan diharapkan akan dimengerti pula oleh penerima (Liliweri 2007).

Aktivitas komunikasi yang terjadi dalam ritual kanuri blang merupakan wujud kebudayaan yang berpola dari tindakan manusia dalam masyarakat. Hal ini bersifat kongkret, karena manusia yang satu dengan manusia yang lainnya saling berinteraksi satu sama lain. Karena bersifat kongkret itulah, sangat memungkinkan untuk adanya observasi, di foto dan didokumentasikan.

Ritual kanuri blang merupakan sebuah tempat interaksi sosial masyarakat tani. Hubungan yang terjadi dalam ritual ini berlangsung antara individu dengan individu, antara masyarakat dengan masyarakat, antara individu dengan masyarakat dan antara masyarakat dengan Allah SWT. Hubungan timbal balik tersebut dinamakan interaksi sosial. Proses interaksi sosial tersebut berlangsung menurut suatu pola, yang sebenarnya berisikan harapan-harapan masyarakat tentangapa yang sepantasnya dilakukan dalam hubungan-hubungan sosial.

(26)

12

Berdasarkan adanya komunikasi verbal dan komunikasi non verbal yang ada dalam ritual kanuri blang maka penulis mencoba untuk menganalisa dan memaknai sebuah ritual kanuri blang. ritual ini merupakan sebuah kebiasaan adat yang mengakar pada masyarakat tani maka penulis menggunakan penelitian etnografi komunikasi. Etnografi komunikasi bertujuan untuk mengkaji perilaku komunikatif dalam masyarakat tutur, diperlukan pengkajian unit-unit analisis etnografi komunikasi (situasi, peristiwa, tindak komunikatif) yang pada akhirnya akan terbentuk pola-pola komunikasi sebuah komunitas budaya.

Dari hasil analisis penjajakan, terlihat bahwa melamahnya dukungan pemerintah, ekonomi, dan interpretasi agama mempengaruhi peristiwa komunikasi ritual kanuri blang dan akhirnya terbentuklah negosiasi-negosiasi dalam ritual kanuri blang. Adapun komponen-komponen peristiwa komunikasi yaitu setting, participants, ends, act sequence, instrumentalities, norms of interaction, dan genre.

Gambar 1. Kerangka pemikiran Faktor perubahan

 Melemahnya dukungan pemerintah  Ekonomi  Interpretasi

Agama

Komponen peristiwa komunikasi “Kanuri Blang”

Setting Participants Ends

Act Sequence Keys

(27)

13

METODE PENELITIAN

Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian merupakan konsep awal kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti dan menjadi pedoman penelitian. Terdapat empat paradigma utama yaitu positivisme, past-positivisme, critical theories,dan constructivism (Nawawi dan Hadari 1995; Budiyanto 2002; Denzin dan Lincoln 2009).

Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mendapatkan gambaran etnografi komunikasi dalam pelaksanaan kanuri blang sehingga menemukan peran kanuri blang sebagai media komunikasi tradisional dalam upaya peningkatan usahatani di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat. Oleh karena itu penelitian ini mengarah kepada konstruksi realitas yang ada dari tindakan sosial dari petani. Mengacu pada pemikiran ini maka paradigma yang dipilih adalah paradigma konstruktivis.

Paradigma konstruktivis yang digunakan dikaitkan dengan beberapa pertimbangan, misalkan secara ontologis (sifat realita), aliran ini menyatakan bahwa realitas sosial adalah wujud bentukan (construction) individu-individu subyek yang terlibat dalam penelitian yaitu terutama tineliti dan peneliti, bersifat subyektif dan majemuk. Subyektif disini bearti melihat dari sudut pandang tineliti sebagai subyek penelitian. Realitas sosial bersifat subyektif, maka secara epistemologi (hubungan antara peneliti dan tineliti) terjadi interaksi sosial yang dinamis, informal, dan akrab. Hubungan antara peneliti dan tineliti dirumuskan sebagai hubungan subyek-subyek. Bukan hubungan subyek-objek seperti pada penelitian kuantitatif. Dalam arti bahwa antara peneliti dan tineliti memiliki kedudukan sebagai orang yang sama-sama belajar memaknai realitas sosial yang diteliti bahkan kadang peneliti bisa menjadi orang yang diteliti. Secara metodologis, proses penelitiannya bersifat induktif yang beroerintasi pada pengembangan pola dan teori untuk mendapatkan pemahaman yang bersifat kontekstual atas suatu kejadian atau gejala sosial (Creswell 2010).

Desain Penelitian

Paradigma konstruktivis merupakan bagian dari pendekatan kualitatif. Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami suatu situasi sosial, peristiwa, peran, kelompok atau interaksi tertentu. Penelitian ini merupakan sebuah proses investigasi dimana peneliti secara bertahap berusaha memahami fenomena sosial dengan membedakan, membandingkan, meniru, mengkatalogkan dan mengelompokkan objek studi (Miles dan Huberman 2007).

(28)

14

Sesuai dengan dasar pemikiran etnografi komunikasi, yang mengatakan bahwa saluran komunikasi yang berbeda mengakibatkan perbedaan struktur berbicara, dan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Maka masyarakat tani Kecamatan Samatiga menggunakan kanuri blang sebagai saluran utama komunikasi, akan memiliki perilaku komunikasi tersendiri.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat. Pemilihan lokasi pengamatan ini dilakukan secara sengaja (purposive). Alasan penentuan lokasi adalah pada data BPS kecamatan Samatiga merupakan kecamatan kedua yang memiliki luas lahan sawah paling banyak, selain itu masyarakat Samatiga juga banyak menjadi petani sawah tadah hujan, dan yang ketiga karena peneliti sendiri merupakan masyarakat tutur tersebut sehingga memudahkan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat lokasi penelitian.

Pengamatan ritual kanuri blang dan wawancara pertama dilaksanakan mulai November 2013 sampai Desember 2013, karena pada bulan itu mulainya masa tanam tahunan di Kecamatan Samatiga dilaksanakan kanuri blang, sehingga peneliti bisa secara langsung melihat prosesi acara kanuri blang. Kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data dan penyusunan hasil penelitian pada bulan Januari 2014 sampai dengan Februari 2014. Pada bulan Maret 2014 sampai Mei 2014 peneliti kembali ke lokasi penelitian untuk melaksanakan wawancara kedua dan focus group discussion (FGD) agar mendapatkan gambaran data yang lebih akurat.

Penentuan Subyek Penelitian

Subyek penelitian dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden tetapi sebagai nara sumber, atau partisipan, informan, teman, dan guru dalam penelitian. Informan dalam penelitian kualitatif bukan disebut sampel statistik yang harus mewakili kondisi populasi untuk kepentingan generalisasi populasi, melainkan subyek penelitian yang dipilih sesuai pertimbangan dan tujuan penelitian yaitu pengembangan konsep/teori (Sugiyono 2008). Informan dipilih secara sengaja yaitu dipilih sesuai pertimbangan dan tujuan tertentu.

(29)

15 Tabel 2. Daftar informan

No Pekerjaan Jumlah (Orang)

1 Petani 58

2 Keujreun Blang 9

3 Geuchik 29

4 Ketua Kelompok Tani 29

5 Tokoh Masyarakat 29

6 Pemuda 58

7 Penyuluh 7

Jumlah 219

Data dan Metode Pengumpulan Data

Sumber data primer dalam penelitian adalah data yang diperoleh dari informan. Peneliti melakukan wawancara mendalam untuk memperoleh informasi. Selanjutnya untuk menguji apakah data yang telah dikumpulkan adalah benar (valid) maka dilakukan triangulasi. triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong 2007). Triangulasi dilakukan melalui wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap memahami kanuri blang. sedangkan sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen dari BP3K dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data ini digunakan untuk melihat data petani dan luas lahan masing-masing perdesa.

Dalam penelitian etnografi komunikasi ada delapan jenis data yang harus dipertimbangkan (Saville-Troike 2003) yaitu (1) informasi latar belakang historis dari masyarakat, (2) artefak material (benda-benda, tanda-tanda, arsitektur, dan instrumen, (3) organisasi sosial (lembaga masyarakat, identittas pemimpin dan pemegang kekuasaan, pengaruh, organisasi formal dan informal, stratifikasi sosial, dan pola asosiasi, (4) informasi legal (hukum dan norma), (5) data artistik (tertulis dan lisan, stereotip bahasa, kinerja verbal, kaligrafi), (6) pengetahuan umum, (7) keyakinan tentang penggunaan bahasa, (8) data kode linguistik.

Pada pengambilan data primer tersebut peneliti menggunakan tiga metode pengumpulan data yaitu: pengamatan dilakukan pada saat kanuri blang, wawancara kepada informan yang sesuai tabel di atas dan terakhir melakukan wawancara kelompok yang diistilahkan dengan focus group discussion (FGD). Metode tersebut digunakan untuk memenuhi bahan penelitian kualitatif. Masing-masing metode digunakan sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan peneliti. Data yang diperoleh dari masing-masing metode dianalisis berdasarkan pada penggunaan data tersebut.

(30)

16

Kunjungan pertama kali dilakukan pada tanggal 2 November 2013 dimana peneliti menjumpai dua geuchik (kepala desa) yaitu Desa Leukeun dan Desa Kreung Tinggai untuk memohon izin untuk menghadiri kanuri blang yang akan dilaksanakan pada tanggal 3 November 2013. Peneliti mulai mengamati dan pendekatan kepada masyarakat tani, ketua kelompok, keujreun blang (jika ada), Imam mesjid, Pemuda, dan penyuluh pada saat acara kanuri blang berlangsung. Pendekatan dilakukan dengan cara berbincang-bincang sambil mengamati acara kanuri blang. begitu juga dengan desa-desa yang lain.

Waktu pengamatan kanuri blang di setiap tempat pelaksanaan kanuri blang dimulai mulai dari jam 07.00 wib sampai jam 14.00 wib. Peneliti berangkat dari rumah 30 menit sebelum acara dimulai, agar peneliti bisa mengetahui persiapan persiapan. Untuk desa yang ada pengajian malam selama tiga hari peneliti tidak mendokumentasikan karena pada saat pengajian peneliti belum berada di lokasi penelitian. Rentang waktu ini sangatlah singkat untuk mampu mengamati petani dan partisipan lainnya akan tetapi peneliti dibantu oleh gatekeeper yang sudah banyak mengenal dan mengetahui situasi pada saat kanuri blang.

Kedua penelitian menggunakan metode wawancara mendalam. Wawancara mendalam adalah komunikasi antara peneliti dan informan dalam rangka memperolah keterangan tentang yang ingin diketahui oleh peneliti. Pertanyaan wawancara terhadap informan berbeda masing-masing kategori. Setelah mengamati kanuri blang di empat titik pelaksanaan, selanjutnya peneliti melakukan wawancara dengan petani terlebih dahulu. Peneliti mendatangi area persawahan dan ikut duduk dengan petani yang beristirahat. Untuk mengisi waktu istirahatnya kami (peneliti dan enumerator) berbincang-bincang, setelah adanya pendekatan kami meminta izin untuk merekam dan bertanya-tanya seputar kanuri blang. Alasan peneliti mendatangi persawahan bukan ke rumah karena pada bulan November 2013 sampai Desember 2013 petani dari pagi sampai sore berada di sawah dan rumah-rumah di perdesaan kosong. Jika waktu malam itu susah untuk diwawancara karena malam merupakan waktu istirahat buat petani. Peneliti mendatangi petani satu persatu (hanya petani yang ingin diwawancara saja yang diwawancarai) di setiap desa, setelah mendapatkan data awal dari petani barulah peneliti melanjutkan untuk mewawancarai tokoh masyarakat. Wawancara mendalam dilanjutkan kembali pada bulan Maret 2013, hal ini untuk mendalami kembali hal-hal yang sangat penting agar data yang dikumpulkan menjadi lebih akurat dan terfokus.

(31)

17 Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh melalui kajian ini merupakan data kualitatif dan dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus. Analisis data dalam penelitian ini berlangsung bersamaan dengan proses pengumpulan data dimulai dari sebelum data benar-benar terkumpul sampai dengan penulisan laporan penelitian. Menurut Miles dan Huberman (2007), tahap-tahap analisis data meliputi: pertama reduksi data, intinya mengurangi atau membuang data yang tidak penting (tidak relevan) yang ada pada catatan harian dan transkrip wawancara, sehingga data terpilih dapat diproses ke langkah selanjutnya. Kedua penyajian data yaitu menyajikan data dalam berbagai bentuk seperti cuplikan percakapan, catatan wawancara, rekaman video kanuri blang, dan foto-foto dengan tujuan untuk memudahkan dalam memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang dipahami. Ketiga, Pengambilan keputusan dan verifikasi yaitu menyimpulkan dan mengecek ulang data-data yang telah direduksi dan disajikan. Ketiga tahapan tersebut berlangsung secara simultan.

Gambar 2 Proses analisis data penelitian

Dalam melakukan studi etnografi komunikasi peneliti menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: (1) observasi pendahuluan, (2) penentuan informan penelitian, (3) observasi partisipan, (4) Etnografer (peneliti) mengikuti kanuri blang di setiap tempat pelaksanaannya mulai dari jam 07.00 WIB sampai jam 14.00 WIB. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui dan memahami bagaimana masyarakat tani berkomunikasi ketika acara kanuri blang. (5) wawancara, (6) etnografer melakukan kunjungan ke sawah yang dijadikan informan penelitian, (7) telaah dokumen, (8) mengumpulkan sumber data yang lain, seperti rekaman video, foto, dan rekaman suara, (9) mengolah dan analisis data, (10) intropeksi dan menguji keabsahan data, (11) menyusun laporan penelitian.

Pengumpulan data

Reduksi data

Kesimpulan-kesimpulan: Penarikan/verifikasi

(32)

18

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

Masyarakat Tani

Secara umum masyarakat di Kecamatan Samatiga adalah petani. Usaha pertanian terutama sekali tanaman padi. Luas tanam padi sawah di Kecamatan Samatiga 1.738 Ha atau 91, 84 persen dari total luas tanam untuk tanaman pangan (BP3K, 2013). Masyarakat tani memegang teguh peribahasa Aceh “Pangulee hareuket meugoe” (usaha yang paling utama ialah pertanian) dan untuk yang kedua “kaya meuih han meusampé, kaya padé meusamporeuna” (kaya emas tidak cukup, kaya padi adalah hal yang amat sempurna). Masyarakat tani di Kecamatan Samatiga menggunakan kalender bulan Islam dan juga menggunakan kalender musim yang berhubungan dengan matahari dan menghitung tahun menurut keadaan bulan terhadap kelompok bintang kala (keuneunong). Hal ini tergambar dari hasil wawancara dengan keujruen blang mukim.

Jadwal pula pas geutanyoe memang ta pakèk kalender tandon nyang geujôk le BP3K, tapi kalender nyan nakeuh dari has musyawarah keujruen blang, imuem mukim, dan ketua kelompok tani. Has musyawarah nyoe nakeuh jadwal pula pas nyang jikalon dari buleuen Islam ngon keuneunong. (Wawancara Bapak J.P, 02/12/2013).

Diterjemahkan menjadi:

Musim tanam kita memang menggunakan kalender musim tanam yang diberikan oleh BP3K tetapi kalender yang dikeluarkan oleh BP3K itu hasil dari musyawarah keujruen blang, imuem mukim, dan ketua kelompok tani. Hasil musyawarah ini membahas musim tanam yang dilihat dari bulan Islam dan keuneunong. (Wawancara Bapak J.P, 02/12/2013).

Adanya pandangan masyarakat bahwa menanam padi itu “berkah” dan bernilai magis. Hal itu terkait dengan kedudukan padi sebagai sumber makanan pokok dan mungkin relevan dengan pandangan tradisi pra-Islam yang menempatkan tanaman padi sebagai jelmaan Dewi Sri. Masyarakat Kecamatan Samatiga menyebutnya bahwa bertani padi bukan sekedar kerja, di dalam pekerjaan itu terdapat “berkah”. Hal ini terkait dengan hasil produk kerja petani yang menghasilkan kebutuhan pangan yang tidak dapat ditangguhkan ketersediaannya bagi kelangsungan kehidupan manusia. Bila dikaji dalam pemahaman Islam, tidak ada referensi yang menyebutkan pekerjaan tani lebih mulia daripada pekerjaan lainnya. Hal itu anggapan umum yang diturunkan turun-temurun, sedikitnya dipengaruhi pula oleh budaya Hindu yang menempatkan padi sebagai penjelmaan Dewi Sri. Karena itu, kebertahanan sebagian besar masyarakat pada tradisi tani sawah sedikit banyak berkaitan dengan pandangan lokal ini.

(33)

19 sawah menggunakan traktor kelompok selama empat hari. Petani hanya perlu mengisi minyak saja, tanpa harus membayar uang sewa traktor. Petani mengungkapkan untuk sekarang ini sudah lebih mudah menggunakan traktor daripada membajak dengan menggunakan cangkul. Hal ini dikarenakan, permukaan tanah dan kandungan tanah sekarang sudah lebih padat dari pada tanah dulu. Sehingga petani rela mengantri untuk mendapatkan jatah waktu yang telah ditentukan untuk traktor kelompok. Seperti di ungkapkan oleh Bapak A.BT tentang traktor dan Bapak M.M tentang sistem peminjaman traktor untuk petani.

Meunyo jitanyong toh mangat pakèk traktor atawa keubeu, maka jaweubjih laén-laén mangat. Meunyo keubeu mangatjih hana payah prèh giléran kareuna maséng-maséng petani ka na keubeu, sehingga sama-sama watèe me’u dan sama-sama cit watèe seumula. Mangat pakèk traktor agah lheuh, tetapi harus prèh giléran. Jinoe geutanyoe ka hana mungkén lé pakèk keubeu kareuna tanoh ka got that kreueh. Nyoe akibat geutanyoe kayeum ta pakèk pupuk kimia, dari tanoh gambut makén trep makén kreueh. Meunyo hana ujeun tanoh blang cukôp that agah thô. (Wawancara Pak A.BT, 15/11/2013).

Diterjemahkan menjadi:

Jika ditanya lebih enak pakai traktor atau pakai kerbau, maka jawabannya beda enaknya. Jika kerbau enaknya kita tidak usah menunggu giliran karena masing-masing petani sudah memiliki kerbau sehingga sama-sama pada saat membajak dan menanam juga bersama-sama. Enaknya menggunakan traktor cepat selesai, tetapi harus menunggu giliran. Sekarang kita sudah tidak mungkin lagi menggunakan kerbau lagi karena struktur tanah yang sudah sangat keras dan padat. Ini diakibatkan kita sering menggunakan bubuk kimia dan jenis tanah gambut sehingga makin lama tanah sawah makin keras. Jika tidak hujan tanah sawah akan cepat sekali kering” (Wawancara Pak A.BT, 15/11/2013).

Ban mandum petani na hak pinjam traktor kelompok maséng-maséng. Maséng-maséng petani di bi watèe peut uroe dan diutamakan nyang na ikôt kanuri blang dilèe. Bagi nyang ka na pèng bloe laju minyeuk traktor. (Wawancara Pak M.M, 25/11/2013).

Diterjemahkan menjadi:

Semua petani berhak meminjam traktor kelompok taninya. Masing-masing meminjamnya di kelompok tani Masing-masing-Masing-masing. Untuk jadwalnya masing-masing petani diberi waktu empat hari dan urutannya bagi yang ikut kanuri blang yang diutamakan dan bagi yang sudah mempunyai uang untuk membeli minyak traktor” (Wawancara Pak M.M, 25/11/2013).

(34)

20

menggunakan istilah “umong” yang artinya petak sawah. Biasanya satu umong itu seluas 10 meter kali 8 meter. Lahan blang berdekatan satu dengan yang lain, sehingga terbentuk satu hamparan yang sangat luas. Satu hamparan luasnya ada sekitar lima atau enam gampông.

Pendapatan

Pola pendapatan dihitung di akhir musim panen. Hal ini menyebabkan masyarakat kesulitan untuk memenuhi berbagai keperluan rutin selama masa sebelum panen tiba. Oleh sebab itu, jarang sekali masyarakat tani hanya melakukan pekerjaannya sebagai petani sawah saja. Mereka selain ke sawah juga ke hutan untuk menderes karet, menjadi tukang bangunan, membuka kios, menjadi nelayan dan bahkan ada yang PNS. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Z bahwa selain menjadi petani dia juga menjadi tukang bangunan untuk membantu orang tuanya mencukupi kehidupan sehari-hari.

Meunyo ditanyong pue buet, lôn bingong hana tupue jaweub kareuna seulaén jak u blang lôn jeut cit keu tukang bangunan. Jeut keu petani bak watèe musém jak u blang. Untuk pèng belanja uroe-uroe, dang-dang prèh keumeukoh, lôn jeut keu tukang. Buet nyoe harus lôn pubuet meusigoe ngon jak u blang kareuna meunyo hana lagèe nyan lôn hana pèng untuk bloe pupuk, keperluan sikula aneuk, bloe eungkôt, ngon keperluan laén. (Wawancara Z 13/04/2014).

Diterjemahkan menjadi:

jika ditanya apa pekerjaan, saya bingung mau jawab apa karena selain menjadi petani saya menjadi tukang bangunan. Menjadi petani pada saat musim bertani. Untuk uang belanja sehari-hari. menunggu waktu panen, saya menjadi tukang. Hal ini harus dilakukan bersamaan, kalau tidak, saya tidak punya uang untuk membeli pupuk, perlengkapan sekolah anak, membeli ikan, dan keperluan lainnya. (Wawancara Z 13/04/2014).

Meskipun demikian, secara turun-temurun masyarakat di kawasan ini dikenal dengan kemampuan dan kerja kerasnya mengelola lahan-lahan sawah pertanian yang relatif luas untuk meraih hasil panen guna bertahan hidup. Etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok (Harun, 2009). Etos kerja masyarakat tani didasari oleh prinsip utama bahwa bekerja mencari rezeki adalah kewajiban setiap individu yang sehat jasmani dan rohani. Prinsip ini ditemukan dalam sejumlah hadih manja (puisi dua baris bersanjak biasanya berisi nasihat atau tamsilan), antara lain adalah

Meunyo hana ta useuha Panè atra rhöt di manyang (kalau tidak kita berusaha

Manalah ada harta jatuh dari langit)

(35)

21 tangga, maupun seorang anak apabila ia memiliki lahan sendiri. Hadih maja lain yang menunjukkan masyarakat bahagia dengan berusaha terlihat pada hadiah manja berikut ini.

Tuwah deungôn ta gagah Raseuki deungôn ta tuntut (Bertuah karena diusahakan Rezeki karena dicari)

Tuwah adalah kebahagiaan yang ditentukan Allah bagi orang yang mau berusaha, termasuk diiringi doa. Itu pulalah maksud baris pertama. Sementara itu, rezeki memang harus dicari. Hadih maja ini mengandung maksud keampuhan perpaduan do’a dan berusaha sebelum mencari rezeki yang halal. Petani terbagi masa kerjanya dalam tahapan tanam, pemeliharaan, perawatan serta tahapan panen. Puncak aktivitas bekerja biasanya pada tahapan tanam dan tahapan panen. Dalam periode ini, keterlibatan masyarakat lebih bersifat massal. Mereka akan mengajak seluruh anggota keluarga untuk turut serta mengerjakan pekerjaan itu secara bersama-sama. Oleh sebab itu tidak jarang kita melihat anak-anak yang berusia tujuh tahun sudah mulai bekerja membantu orang tuanya. Usai pulang sekolah, mereka langsung mencari rezeki atau membantu ayahnya di sawah. Tempat bermain mereka di sawah dan di sungai. Bahkan balita pun sangat senang ikut orang tua mereka ke sawah, walaupun tugas mereka hanya mencabut bibit atau rumput saja. Bagi masyarakat tani, mereka akan terus bekerja selama mereka memerlukan makan dan minum.

Jika panen bagus maka petani menjadikan uang simpanannya dalam bentuk emas. Kebiasaan masyarakat setempat tidak menyimpan uang di bank, namun dialihwujudkan menjadi emas. Umumnya dana disimpan dalam bentuk perhiasan emas yang dipegang oleh kaum perempuan. Aktivitas masyarakat tani di Kecamatan Samatiga mengikuti periode bersawah yang berlangsung dua kali dalam setahun. Usaha pertanian mereka mengandalkan debit hujan dan aliran air sungai.

Struktur Sosial

Kehidupan masyarakat di Kecamatan Samatiga terbangun atas konstruksi sosial yang terdiri dari dua kelompok. Pertama, sejumlah kecil elit sosial yang disebut “ureung kaya”. Kelompok kedua, merupakan kelompok mayoritas yang disebut “ureung sép pajôh”. Pada kelompok pertama terdapat di dalamnya pemimpin pemerintahan, pegawai negeri, pedagang sukses, nelayan sukses, dan petani yang memiliki lahan sawah yang relatif luas. Kelompok kedua, terdapat petani yang berlahan sempit, nelayan “tanpa kapal”, dan pedagang yang hanya membuka kios kecil.

(36)

22

yang membawahi beberapa gampông. Keempat, tuha peut tokoh masyarakat yang terdiri atas empat orang yang di “tua”kan dan yang akan membantu kinerja geuchik. Seperti hadih maja Aceh di bawah ini yang mengatakan guru juga harus di hormati agar selamat di akhirat.

Keusa poma, keudua ayah, keulhèe gurèe Ureueng nyang banlhèe beutapeumulia (Pertama ibu, kedua ayah, ketiga guru Mereka bertiga harus kita muliakan)

Selain hadih maja di atas, juga terdapat hadih maja yang melukiskan bahwa pemangku adat memiliki karisma yang tinggi di mata masyarakat dan harus memiliki pengetahuan tentang adat.

Paléh sagoe meuleuhob jurông Paléh gampông tan ureueng tuha (Sial sudut negeri berlumpur lorong Sial kampung tidak ada orang tua)

Dengan nada sinis, dikatakan bahwa sial sebuah tempat adalah karena tak terurus dan sial kampung atau negeri karena tidak ada pemimpinnya. “Orang tua” yang dimaksudkan dalam baris kedua adalah pemangku adat, seperti imuem mukim, keuchik, imam meunasah. imam mesjid, dan tuha peut.

Aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat tani pada keadaan sosial yang di dalamnya terbentuk dari saling berkaitannya antara aspek sosial kultural dan struktur sosial masyarakat. Rasa saling tolong-menolong sangat terlihat di antara masyarakat tani. Jika, ada petani yang tidak bisa panen, maka bagi petani yang mempunyai hasil panen lebih memberikannya ke petani yang tidak panen. Dalam kondisi dinamika kehidupan yang menunjukkan sebuah ciri kondisi spesifik pedesaan.

Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terdapat kelompok-kelompok yang memisahkan masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Termasuk di dalamnya kelompok agama islam yang mempunyai paham yang berbeda, ada masyarakat yang interpretasi agama islamnya terhadap Muhammadiyah, NU, dan ada golongan agama islam saja. Walaupun dalam menginterpretasikan agamanya berbeda-beda tetapi mereka tidak saling memisahkan.

KEUJRUEN BLANG

Bidang usaha pertanian yang di dalamnya fungsi-fungsi pengaturan air bagi kebutuhan tanaman padi diatur oleh institusi keujruen blang. Keujruen blang merupakan salah satu lembaga adat yang terdapat dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang lembaga adat. Di daerah lain di luar Aceh, keujruen blang tersebut hampir bersamaan dengan perkumpulan petani pemakai air (P3A). Keujruen blang merupakan jabatan dengan karisma di bidang pertanian. Hasil wawancara dengan Imuem Mukim yang menggambarkan bahwa keujruen blang seorang yang memiliki karisma.

(37)

23 digaji. Cuma sigoe-goe na petani nyang leubèh panèn geujak jôk pas keu keujruen blang. Makajih geutanyoe harus ta hargai kereuja keujruen blang dan ta patéh pu nyang jipeugah. (Wawancara Bapak H.AR, 20/12/2013).

Diterjemahkan menjadi:

Mengapa saya mengatakan keujruen blang haruslah seorang yang memiliki karisma, itu dikarenakan beliau merupakan pemimpin lembaga adat dan dia tidak di gaji. Hanya petani yang memiliki hasil panen lebih yang akan memberikan sedikit hasil panen untuknya. Untuk menghargai kerja kerasnya. Oleh karenanya kita haruslah mematuhi atau mendengar perkataannya. (Wawancara Bapak H.AR, 20/12/2013).

Definisi

Definisi konkret tentang Keujruen Blang tertuang di dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat, pasal 1 ayat 22. Pasal tersebut menjelaskan bahwa keujruen blang didefinisikan sebagai orang yang memimpin dan mengatur kegiatan usaha di bidang persawahan. keujruen blang adalah seseorang yang berpengalaman dan paham di bidang penataan pertanian yang mempunyai posisi sebagai bagian dari tim asistensi kepala gampông (geuchik) dalam memakmurkan petani. Pengangkatannya dilakukan melalui jalan musyawarah oleh masyarakat. Figur keujruen blang didasarkan pada kriteria petani yang berkepribadian tekun dan disiplin, berpengalaman dalam bidang kemasyarakatan, menguasai hukum adat pertanian (meugoe), dan memahami keadaan yang dipengaruhi oleh hidrologis wilayah (keuneunong).

Gambaran tersebut di atas penulis temui selama melakukan penelitian tentang kanuri blang di Kecamatan Samatiga. Bagi sebagian masyarakat Tani di Kecamatan Samatiga, keberadaan keujruen blang masih merupakan bagian penting dari pelaksanaan pertanian sawah. Bagi mereka, keujruen blang haruslah berasal dari golongan tua yang mengerti betul seluk-beluk bertani, memahami dengan baik keuneunong, dan memiliki sifat tegas dan bijaksana. Seperti yang dituturkan oleh Bapak T.H di bawah ini.

Tgk. Keujruen nyan nakeuh urung chik peutani, jadi gobnyan haruslah nyang paléng meuphôm lam hai meugoe, paleng chik dan beuna sipheut teugah”. (Wawancara Bapak T.H, 12/11/2013).

Diterjemahkan menjadi:

Tgk. Keujruen (sapaan untuk keujruen blang) adalah orang tua bagi petani, jadi beliau haruslah orang yang paling mengerti dalam hal bertani, paling bijak, dan harus memiliki ketegasan. (Wawancara Bapak T.H, 12/11/2013).

Fungsi dan Wewenang

Gambar

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
Tabel 1. Penelitian terdahulu tentang komunikasi ritual yang mengalami negosiasi
Gambar 1.   Kerangka pemikiran
Tabel 2.  Daftar informan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam web survey yang penulis buat, penulis menanyakan 7 pertanyaan untuk mengetahui identitas responden: seperti nama, id Kaskus (khusus bagi Kaskuser), id

Tujuan penelitian adalah menilai fisibilitas secara teknis pada tahap perancangan mula berkaitan dengan kebutuhan daya mesin penggerak dan penilaian ketegaran fisik

Metode dalam penerapan teknologi kecerdasan buatan diantaranya adalah certainty factor. Certainty factor adalah perhitungan tingkat kepastian terhadap kesimpulan

Inti dari pernyataannya adalah bahwa sistem khilafah itu sama sekali tidak memiliki asas di dalam agama, karena Islam itu sendiri tidak terkait dengan masalah yang

Karakteristik usahatani yang dilakukan petani Desa Mesa, Kecamatan Teon Nila Serua tidak signifikan memengaruhi pendapatan usahatani. Pendapatan yang diperoleh petani

Pengaruh Kepemilikan Institusional dan Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Hutang dan Nilai Perusahaan (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI)..

Penelitian ini menggunakan serabut dari buah nipah sebagai bahan dasar pembuatan elektroda, karena potensi dari buah nipah yang belum banyak dimanfaatkan.Tujuan

Oleh karena itu, dialah yang wajib mengeluarkan zakatnya, seperti halnya harta yang berada di tangan syarik (partner) dalam sebuah usaha perdagangan. Menurut ijma’, zakat tidak