• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis potensi pengembangan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis potensi pengembangan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara"

Copied!
206
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN

KARET RAKYAT DI KABUPATEN MANDAILING NATAL,

PROPINSI SUMATERA UTARA

HADIJAH SIREGAR

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Potensi Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2011

Hadijah Siregar

(4)

HADIJAH SIREGAR. An Analysis of Rubber Smallholding Potential Development in Mandailing Natal Regency, North Sumatra Province . Under direction of SANTUN R.P. SITORUS and ATANG SUTANDI.

Development of preminent commodity of rubber is one of Mandailing Natal Regency government‟s strategy to improve society prosperity. To support the mentioned things, this research was conducted with purposes: determining suitability location for the development of rubber plantation based on land evaluation, analysing financial and marketing feasibilities of rubber smallholding, analysing the directive of rubber smallholding potential development in Mandailing Natal Regency by using mapping and descriptive analysis. The research result shows that acreage of potential area for the development of rubber plantation in Mandailing Natal Regency is 460 849 ha (70.41%). Financially, the enterprise of rubber smallholding in every land suitability class is feasible. The market chain of rubber in Mandailing Natal Regency is not efficient enough. The location which is able to recommended for the development of rubber plantation in Mandailing Natal Regency based on potential location, financially and relevant government regulations is 201 875 ha (30.84%). The performance of rubber smallholding plantation in Mandailing Natal Regency is influenced by agricultural extension service officer, the availability of farmer group, rubber productivity and availability of agricultural infrastructure. Nowadays, rubber processing factory should be built in Mandailing Natal, considering that raw materials are widely available and added value will contribute for regional development.

(5)

di Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh : SANTUN R.P. SITORUS dan ATANG SUTANDI.

Pengembangan subsektor perkebunan merupakan salah satu pilihan yang cukup realistis sebagai bisnis strategis dan andalan dalam perekonomian Indonesia. Dalam rangka penguatan sektor perkebunan di Indonesia, pemerintah telah mencanangkan program revitalisasi perkebunan untuk pengembangan komoditi perkebunan unggulan yakni karet, kelapa sawit dan kakao. Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Selain itu, tanaman karet ke depan akan merupakan sumber kayu potensial yang dapat mensubstitusi kebutuhan kayu yang selama ini mengandalkan hutan alam, sehingga karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang sangat potensial untuk dikembangkan saat ini.

Kabupaten Mandailing Natal merupakan daerah dengan areal tanaman karet terluas di Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data statistik, luas lahan yang diusahakan oleh masyarakat sampai tahun 2008 seluas 71.015 ha dengan produksi 34.615 ton (BPS Mandailing Natal, 2009), dimana seluruh luasan tersebut merupakan perkebunan rakyat. Tingginya minat masyarakat untuk mengusahakan tanaman karet dengan economic scale yang sesuai untuk perkebunan rakyat karena komoditi ini dapat diusahakan dalam skala kecil (0,5 Ha) yang sesuai untuk masyarakat kecil serta masih cukup luasnya potensi lahan kering untuk pengembangan perkebunan dan didukung oleh kebijakan Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal dalam rangka upaya pengentasan kemiskinan di Kabupaten Mandailing Natal maka perkebunan karet rakyat sangat potensial dikembangkan di Kabupaten Mandailing Natal.

Permasalahan utama yang dihadapi perkebunan karet rakyat adalah rendahnya produktivitas karet, dan tingginya proporsi areal tanaman karet tua, belum efisiennya sistem pemasaran bahan olah karet, keterbatasan modal untuk membeli bibit unggul maupun sarana produksi lain seperti pupuk, herbisida serta ketersediaan sarana produksi pertanian di tingkat petani juga masih terbatas. Memperhatikan potensi yang ada dan prospek masa depan serta untuk mengurangi permasalahan yang timbul dalam pengelolaan karet di Kabupaten Mandailing Natal, Karena itu diperlukan suatu analisis dalam rangka memberikan masukan bagi perencanaan pengembangan perkebunan karet di Kabupaten Mandailing Natal.

(6)

itu, digunakan juga data primer hasil wawancara dengan petani dan pedagang pengumpul karet. Untuk mencapai tujuan penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah (1) analisis Sistem Informasi Geografi (SIG), (2) analisis kelayakan finansial, (3) analisis pemasaran yaitu analisis margin pasar dan integrasi pasar dan (4) analisis deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar lahan di Kabupaten Mandailing Natal sesuai untuk budidaya tanaman karet yaitu seluas 460.849 ha

Berdasarkan hasil analisis finansial, usaha perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal layak untuk dikembangkan terlihat dari nilai NPV, BCR, dan IRR yang memenuhi kriteria layak. Nilai NPV bernilai positif yaitu antara Rp93.052.838–Rp37.838.270 menunjukkan bahwa keuntungan yang didapatkan selama umur produktif tanaman karet sebesar nilai tersebut. BCR yang lebih besar dari satu (2,10–1,48) menunjukkan bahwa setiap satu rupiah yang diinvestasikan dalam usaha ini akan memberikan tambahan keuntungan sebesar Rp2,10–Rp1,48. Nilai IRR yang melebihi tingkat suku bunga yang berlaku menggambarkan bahwa sampai tingkat suku bunga 23%-29% usaha perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal masih memberikan nilai keuntungan bagi petani dengan payback period antara 7–11 tahun.

Hasil analisis sensitivitas yang dilakukan pada kegiatan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal, pada skenario menaikkan nilai input

dengan asumsi yang lain ceteris paribus diperoleh bahwa pada tingkat kenaikan biaya input sebesar 40 % untuk lahan S3 sudah tidak layak lagi sedangkan untuk lahan S1 kenaikan biaya input hingga sebesar 110,3% baru menjadikan kegiatan tersebut tidak layak. Pada skenario menaikkan tingkat suku bunga dengan asumsi yang lain ceteris paribus, ketidaklayakan usaha perkebunan rakyat pada kelas kesesuaian lahan S3 terjadi pada tingkat suku bunga 20,30% dan pada kelas kesesuaian lahan S1 pada saat tingkat suku bunga 29,50%. Nilai BEP volume produksi sebesar 1.392 kg/ha/tahun-1.679 kg/ha/tahun dan nilai BEP harga sebesar Rp6.803–Rp8.846.

Kinerja pemasaran karet di Kabupaten Mandailing Natal cenderung belum efisien yang ditunjukkan dengan besarnya share keuntungan yang masuk ke lembaga pemasaran yang terlibat (20,88%) dan tidak adanya keterpaduan harga pasar jangka panjang antara pasar tingkat petani dan tingkat pabrik, akibat panjangnya rantai pemasaran dan senjang informasi harga yang terjadi. Belum tersedianya industri pengolahan karet di Kabupaten Mandailing Natal membuat

(7)

ini bukan berarti menekankan agar keseluruhan luasan tersebut hanya sesuai untuk tanaman karet, namun hanya bersifat arahan agar masyarakat yang berminat untuk mengembangkan tanaman karet dapat menanamnya di areal arahan ini. Berdasarkan hasil analisis, maka pemerintah perlu segera membuat kebijakan percepatan peremajaan karet, membangun pusat informasi harga karet di tingkat regional yang diharapkan dapat mengurangi senjang informasi harga di petani.

Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal perlu segera merealisasikan rencana pembangunan pabrik pengolahan karet di Kabupaten Mandailing Natal mengingat ketersediaan bahan baku yang cukup besar dan hal ini akan berimplikasi pada peningkatan perekonomian daerah, lebih meningkatkan peran para penyuluh dan pembentukan kelompok-kelompok tani di masyarakat untuk meningkatkan mutu karet yang dihasilkan dan meningkatkan bargaining position

petani dalam pemasaran karet dan mengarahkan petani pada penggunaan klon karet unggul dengan produktivitas tinggi dan teknik budidaya sesuai anjuran serta lebih meningkatkan pengawasan terhadap distribusi pupuk dan pestisida untuk petani.

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(9)

ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN

KARET RAKYAT DI KABUPATEN MANDAILING NATAL,

PROPINSI SUMATERA UTARA

HADIJAH SIREGAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Nama : Hadijah Siregar

NRP : A156090174

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ir. Atang Sutandi, M.Si Ph.D

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

(12)

Kupersembahkan Karya ini

Kepada:

Almarhumah Ibunda tersayang Hj. Hasna Nasution

dan Ayahanda H. Bustaman Siregar

Saudara-saudariku (Rosmaiani Siregar & Soritua Harahap,

Aisyah Siregar & Isya Ansori Nasution,

Siti Amisah Siregar, Hamonangan Siregar & Hasan Ansari Siregar,

Rosdina Siregar & Dollar)

yang telah mendukung dan selalu mendoakanku selama ini

dan keponakan-keponakanku (Anri, Aldi, Astri, Nanda, Ari, Hasdan,

(13)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai Desember 2010 di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara ini adalah pengembangan wilayah, dengan judul Analisis Potensi Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal.

Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir Santun RP Sitorus selaku ketua komisi pembimbing dan Ir. Atang Sutandi, Msi, Ph.D selaku anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini, serta Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Disamping itu, penghargaan dan terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan bagi penulis,

Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini, Pegawai Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Mandailing Natal yang telah memberikan

bantuan selama proses penelitian, sahabat-sahabat terbaikku Gank PWL kelas

Bappenas angkatan 2009 (Bang Sus, Nyak Evi, Atok (Yulita), Mba Miras, Mba Dina, Kang Ardy, Erva, Dian, Tina, Mba Riri, Mba Anna, Kak Gun, Kak Hafidz, Mas

Edi) atas segala do‟a, dukungan, bantuan dan kebersamaannya yang solid dan

kompak selama proses belajar hingga selesai, Ivong Verawaty (atas bantuan petanya) dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Akhirnya ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tinginya juga disampaikan kepada almarhumah ibunda, ayahanda, serta seluruh keluarga, atas segala do‟a, dukungan, pengertian dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2011

(14)

Penulis dilahirkan di Kota Padangsidimpuan, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 11 Oktober 1979 dari pasangan H. Bustaman Siregar dan Hj. Hasna Nasution (Almarhumah). Penulis merupakan putri keenam dari tujuh bersaudara. Pendidikan SD hingga SMA diselesaikan di kota kelahiran, sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2009 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

(15)
(16)

4.3.3 Hidrologi ... 54

4.3.4 Iklim ... 55

4.3.4.1 Musim... 55

4.3.4.2 Suhu dan Curah Hujan ... 55

4.3.5 Jenis Tanah ... 55

4.4 Demografi ... 56

4.5 Perekonomian ... 57

4.5.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Mandaling Natal ... 57

4.5.2 Struktur Perekonomian Kabupaten Mandailing Natal ... 58

4.5.3 Peranan Subsektor Perkebunan ... 59

4.5.4 Perkembangan Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ... 62

4.5.5 Karakteristik Usahatani Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ... 63

V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Persebaran Lokasi yang Berpotensi untuk Tanaman Karet Secara Fisik ... 67

5.2 Kelayakan Finansial Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat 71 5.3 Pemasaran Karet Rakyat ... 85

5.3.1 Margin Tata Niaga ... 88

5.3.2 Integrasi Pasar ... 93

5.4 Arahan Kebijakan Pengembangan Kebun Karet Rakyat ... 96

5.4.1 Persebaran Lokasi Arahan Pengembangan Kebun Karet Rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ... 96

5.4.2 Arahan Kebijakan Pengembangan Kebun Karet Rakyat .. 100

VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ... 107

6.2 Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109

(17)

Tabel Halaman 1. Perkembangan Luas Perkebunan Indonesia

Tahun 2005-2009 (Ha) ... 2 2. Perkembangan Produksi Perkebunan Indonesia

Tahun 2005-2009 (Ton) ... 2

3. Tujuan, parameter, data dan sumberdata penelitian dan teknik

analisis yang akan dilakukan ... 32

4. Penentuan arahan pengembangan tanaman karet

di Kabupaten Mandailing Natal ... 42

5. Hasil pemekaran kecamatan-kecamatan di Kabupaten

Mandailing Natal ... 50

6. Laju Pertumbuhan Sektor Ekonomi Kabupaten Mandailing Natal

Tahun 2004-2008 (persen) ... 58 7. Distribusi Persentase Sektor Ekonomi Kabupaten Mandailing Natal

Tahun 2004-2008 (persen) ... 60 8. Luas Areal, Produksi dan Sentra Tanaman Perkebunan di Kabupaten

Mandailing Natal tahun 2008 ... 61 9. Produksi Karet di Kabupaten Mandailing Natal Menurut

Kecamatan Tahun 2008 ... 63 10. Karakteristik usahatani karet rakyat di Kabupaten Mandailing

Natal tahun 2010 ... 64 11. Kelas dan sub kelas kesesuaian lahan aktual untuk tanaman karet

di masing-masing kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal... 69 12. Analisis kelayakan finansial (NPV, BCR, IRR payback period)

perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ... 73

13. Analisis sensitivitas kelayakan finansial (NPV, BCR, IRR dan payback period) perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing

Natal dengan menaikkan biaya input ... 79

(18)

payback period) perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal dengan menaikkan tingkat suku bunga ... 80

15. Analisis BEP (Break Event Point) pengusahaan perkebunan

karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal ... 81 16. Matrik keragaan pasar cup lump karet rakyat di Kabupaten

Mandailing Natal tahun 2010 ... 89 17. Nilai margin dan persentase margin penjualan per kilogram

cup lump karet pada masing-masing pelaku pasar dan saluran pemasaran cup lump karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal,

tahun 2010 ... 92

18. Hasil dugaan parameter keterpaduan pasar cup lump karet rakyat

di Kabupaten Mandailing Natal ... 93

19. Pembagian prioritas arahan pengembangan tanaman Karet

di Kabupaten Mandailing Natal ... 98

20. Luasan lokasi arahan pengembangan perkebunan karet rakyat

(19)

Gambar Halaman

1. Kerangka pemikiran ... 29

2. Grafik Break Event Point (BEP) ... 38

3. Bagan alir penelitian ... 48

4. Peta administrasi Kabupaten Mandailing Natal ... 51

5. Peta kemiringan lahan ... 52

6. Peta ketinggian tempat ... 53

7. Persentase nilai PDRB per sub sektor Kabupaten Mandailing Natal tahun 2004-2008 ... 61

8. Produksi Karet di Kabupaten Mandaling Natal Tahun 2004-2008 ... 62

9. Peta Kesesuaian Lahan Karet Kabupaten Mandailing Natal... 68

10. Peta Kesesuaian Lahan Karet dengan faktor-faktor pembatas di Kabupaten Mandailing Natal... 72

11. Saluran pemasaran cup lump karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal kondisi tahun 2010 ... 88

(20)
(21)

Lampiran Halaman 1. Kriteria kesesuaian lahan karet ... 116

2. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Mandailing Natal ... 117 3. Peta Kawasan Hutan Kabupaten Mandailing Natal ... 118

4. Peta Pencadangan Areal Hutan Rakyat

di Kabupaten Mandailing Natal ... 119

5. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Sihepeng

Kecamatan Siabu (kelas kesesuaian lahan S1) ... 120

6. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Malintang

Jae Kecamatan Bukit Malintang (kelas kesesuaian lahan S1) ... 122

7. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Purba Baru

Kecamatan Lembah Sorik Marapi (kelas kesesuaian lahan S2) ... 124 8. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Roburan

Lombang Kecamatan Panyabungan Selatan (kelas kesesuaian

lahan S2) ... 126

9. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Tambangan

Kecamatan Tambangan (kelas kesesuaian lahan S3) ... 128

10. Analisis Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Hutarimbaru

Kecamatan Kotanopan (kelas kesesuaian lahan S3) ... 130

11. Perbandingan rataan komponen input dan output pengusahaan kebun karet rakyat untuk luasan 1 Ha pada kelas kesesuaian

lahan S1, S2 dan S3 di masing-masing desa sampel ... 132

12. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha) di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu

(kelas kesesuaian lahan S1) Menaikkan Biaya Input ... 133 13. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha)

di Desa Malintang Jae Kecamatan Bukit Malintang

(kelas kesesuaian lahan S1) Menaikkan Biaya Input ... 135 14. Analisis Sensitivitas Kelayakan Finansial Karet (1 ha)

di Desa Purba Baru Kecamatan Lembah Sorik Marapi

(22)
(23)

27. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Malintang Jae

Kecamatan Bukit Malintang (kelas kesesuaian lahan S1) ... 163

28. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Purba Baru Kecamatan Lembah Sorik

Marapi (kelas kesesuaian lahan S2) ... 165 29. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi

Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Purba Baru Kecamatan

Lembah Sorik Marapi (kelas kesesuaian lahan S2) ... 167 30. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan

Karet (1 ha) di Desa Roburan Lombang Kecamatan

Panyabungan Selatan (kelas kesesuaianlahan S2) ... 169 31. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi

Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Roburan Lombang

Kecamatan Panyabungan Selatan (kelas kesesuaianlahan S2) ... 171

32. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Tambangan Kecamatan Tambangan

(kelas kesesuaian lahan S3) ... 173

33. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Tambangan Kecamatan

Tambangan (kelas kesesuaian lahan S3) ... 175 34. Analisis Break Event Point (BEP) Harga Pengusahaan

Karet (1 ha) di Desa Hutarimbaru Kecamatan Kotanopan

(kelas kesesuaian lahan S3) ... 177 35. Analisis Break Event Point (BEP) Volume Produksi

Pengusahaan Karet (1 ha) di Desa Hutarimbaru Kecamatan

Kotanopan (kelas kesesuaian lahan S3) ... 179

36. Rekapitulasi harga pasar lump karet tingkat petani

di Kabupaten Mandailing Natal dan harga di tingkat pabrik

(24)
(25)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengembangan subsektor perkebunan merupakan salah satu pilihan yang cukup realistis sebagai bisnis strategis dan andalan dalam perekonomian Indonesia, bahkan pada masa krisis ekonomi dengan tiga alasan utama. Pertama, bisnis perkebunan adalah bisnis yang mempunyai daya tahan tinggi karena berbasis pada sumberdaya domestik dan berorientasi ekspor. Hal ini tercermin dari bisnis perkebunan yang selalu tumbuh sekitar 4% per tahun pada 25 tahun terakhir. Kedua, bisnis perkebunan diyakini masih sangat prospektif dengan peluang pertumbuhan berkisar antara 2%-8% per tahun, tergantung komoditinya. Ketiga, bisnis perkebunan merupakan bisnis yang relatif intensif menggunakan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja yang berlokasi di pedesaan. Dengan karakteristik tersebut, bisnis perkebunan diharapkan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak, sekaligus memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan yang kini tengah dihadapi (Ditjenbun, 2009)

Agribisnis subsektor ini mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap stabilitas ekonomi makro, pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, penerimaan devisa dari ekspor, dan sumber bahan baku bagi industri hilir hasil pertanian. Hal ini dapat dilihat dari produksi beberapa komoditas perkebunan dan devisa yang dihasilkan cukup tinggi. Pada tahun 2008 dari subsektor ini diperoleh devisa sebesar US$24,5 milyar dan tahun 2009 meningkat menjadi US$26,5 milyar. Sementara itu, jumlah petani-pekebun yang mengelola usaha berbagai jenis komoditas tahun 2009 sebanyak 19,70 juta KK. Hal ini membuktikan bahwa sektor perkebunan menjadi salah satu penopang ekonomi rakyat. Perkebunan juga mampu menghadapi berbagai krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1997 sampai 1998 dan tahun 2008. Sektor ini juga memberikan kontribusi dalam mengatasi berbagai masalah nasional seperti penyediaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan (Ditjenbun, 2009).

(26)
(27)

suatu upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan dibidang usaha perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil dengan tiga komoditi yaitu kelapa sawit, karet dan kakao (Ditjenbun, 2007).

Pertumbuhan ekonomi dunia pada sepuluh tahun terakhir yang sangat pesat, terutama China dan beberapa negara kawasan Asia-Pasifik dan Amerika Latin seperti India, Korea Selatan dan Brazil memberi dampak pertumbuhan permintaan karet alam yang cukup tinggi, walaupun pertumbuhan permintaan karet di negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang relatif stagnan. Hal ini sejalan dengan keinginan manusia menggunakan barang yang bersifat tahan pecah dan elastis sehingga kebutuhan akan karet sebagai bahan baku industri barang jadi karet (ban, sarung tangan karet, benang karet dan lain-lain) saat ini akan terus berkembang dan meningkat sejalan dengan pertumbuhan industri otomotif, kebutuhan rumah sakit, alat kesehatan, keperluan rumah tangga dan sebagainya. Diperkirakan untuk masa yang akan datang kebutuhan karet akan terus meningkat.

(28)

Prospek karet alam akan baik selama ekonomi tumbuh dengan baik dan produksi tidak mengalami gangguan cuaca, sehingga pemerintah perlu membuat perencanaan yang matang dalam peremajaan dan pembukaan kebun karet baru. Peluang untuk menjadi produsen utama di dunia dimungkinkan, karena Indonesia mempunyai potensi sumberdaya yang sangat memadai untuk meningkatkan produksi melalui program revitalisasi perkebunan. Pengembangan komoditas karet di lahan kering dan kritis juga memberi kontribusi nyata dalam memelihara bahkan memperbaiki lingkungan. Di samping itu, pengembangan komoditas karet dalam bentuk agroforestry serta pemanfaatan kayu karet sebagai pengganti kayu dari hutan primer merupakan kontribusi lain perkebunan karet dalam konservasi lingkungan (Boerhendhy et al., 2003)

Kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang nomor 32 tahun 2004 memberikan kewenangan yang besar pada daerah dalam mengelola pemerintahan dan sumberdaya daerah termasuk kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan konservasi sumberdaya alam yang diiringi dengan tanggung jawab pembiayaan pembangunan daerah yang porsinya semakin meningkat. Berkaitan dengan upaya pembangunan daerah, maka pengembangan ekonomi yang berbasis pada sumberdaya lokal sebagai pusat pertumbuhan perlu diperkuat. Berdasarkan data statistik, sektor pertanian mempunyai kontribusi yang besar terhadap PDRB Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2008 yakni sebesar 46,36% dimana 14,77% diantaranya merupakan pangsa subsektor perkebunan. Komoditi karet merupakan komoditi perkebunan yang paling banyak diusahakan oleh masyarakat. Luas lahan yang diusahakan oleh masyarakat pada tahun 2008 seluas 71.015 Ha dengan produksi 34.615 ton (BPS Mandailing Natal, 2009).

(29)

karet merupakan komoditi ekspor yang banyak diperdagangkan di luar negeri dengan harga yang terus mengalami peningkatan dan merupakan komoditi perkebunan yang masih menjadi primadona di dunia. Memperhatikan potensi yang ada dan prospek masa depan, komoditi karet merupakan komoditi unggulan yang berpotensi untuk dikembangkan dalam menunjang pengembangan wilayah.

1.2 Perumusan Masalah

Subsektor perkebunan merupakan salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi Kabupaten Mandailing Natal. Secara rata–rata subsektor tanaman perkebunan mengalami pertumbuhan tertinggi di sektor pertanian yakni sebesar 6,48%. Subsektor perkebunan merupakan subsektor yang memberikan sumbangan terbesar kedua terhadap PDRB sektor pertanian Kabupaten Mandailing Natal yang signifikan selama lima tahun terakhir (2004–2008) setelah subsektor tanaman pangan (BPS Mandailing Natal, 2009). Komoditi perkebunan yang cukup pesat perkembangannya saat ini dan memiliki prospek pasar yang baik di Kabupaten Mandailing Natal adalah tanaman karet. Harga jual yang tinggi beberapa tahun terakhir membuat tingginya minat masyarakat untuk membudidayakan tanaman karet di Kabupaten Mandailing Natal.

Permasalahan yang ada dalam pengembangan komoditi karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal adalah rendahnya produktivitas karet, tingginya proporsi areal tanaman karet tua, belum efisiennya sistem pemasaran bahan olah karet, keterbatasan modal untuk membeli bibit unggul maupun sarana produksi lain seperti pupuk, herbisida serta belum adanya Pabrik Crumb Rubber di Kabupaten Mandailing Natal, sehingga belum memberikan tingkat margin yang memadai bagi petani karet. Rendahnya produktivitas karet yang dihasilkan petani disebabkan belum optimalnya pengelolaan kebun karet oleh petani karena terbatasnya pengetahuan dan kemampuan teknis budidaya karet, terbatasnya saprodi yang dimiliki petani dalam meningkatkan produksi dan kualitas hasil karet sesuai standar, terbatasnya modal dan SDM petugas, belum berfungsinya lembaga pendukung pengembangan agribisnis karet rakyat.

(30)

masyarakat tidak dirugikan dengan menanam tanaman karet di lokasi yang tidak sesuai dengan kriteria tumbuh tanaman (biofisik), aspek spasial (tata ruang) dan aspek ekonomi. Diperlukan arahan bagi masyarakat dalam memilih lokasi yang tepat untuk budidaya tanaman tersebut. Dengan pemilihan lokasi yang tepat produk yang dihasilkan akan maksimal dan akan berkorelasi dengan keuntungan yang didapat. Selain lokasi yang memenuhi persyaratan tumbuh tanaman, faktor kelayakan usaha juga merupakan hal yang perlu diperhatikan. Aspek keuntungan finansial merupakan suatu keharusan dalam pengusahaan suatu tanaman. Biasanya belum ada perhitungan yang matang oleh petani dalam merencanakan pengusahaan kebunnya, baik aspek budidaya maupun aspek pasar. Oleh karena itu, perlu diketahui apakah kondisi perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal saat ini telah memberikan keuntungan yang sesuai bagi modal yang telah dikeluarkan petani.

Aspek pasar merupakan salah satu faktor penentu bagi keberhasilan pengusahaan kebun karet rakyat. Kebutuhan dunia yang cenderung terus meningkat mengakibatkan harga karet cukup stabil dan cenderung meningkat. Petani karet di Kabupaten Mandailing Natal menjual hasil karet dalam bentuk cup lump (lump mangkuk) yakni getah atau lateks karet yang dikumpulkan dengan mamakai mangkuk sehingga gumpalannya berbentuk mangkuk. Beberapa bulan terakhir pada tahun 2010, harga jual cup lump karet di tingkat petani di Kabupaten Mandailing Natal sebesar Rp10.000/kg–Rp20.000/kg. Petani tidak mengalami kesulitan dalam penjualan cup lump karet karena pedagang pengumpul cukup banyak yang mendatangi petani untuk membeli. Permasalahannya adalah, apakah rantai pemasaran cup lump karet petani di Kabupaten Mandailing Natal saat ini telah efisien? Efisien dalam arti apakah keuntungan yang diperoleh petani cukup sebanding dengan modal atau pengorbanan yang dikeluarkan petani dan apakah harga di tingkat petani mempunyai keterpaduan yang tinggi dengan harga di tingkat pabrik? Bila belum efisien, faktor apa yang menyebabkannya dan apa alternatif pemecahan masalah tersebut sehingga rantai pemasaran cup lump karet di Kabupaten Mandailing Natal menjadi lebih efisien.

(31)

potensi pengembangan perkebunan karet rakyat yang sesuai konsep pembangunan berkelanjutan yakni sesuai dari aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Dimanakah lokasi pengembangan tanaman karet yang sesuai berdasarkan aspek fisik dan spasial?

2. Bagaimana kelayakan finansial pengusahaan kebun karet rakyat pada tiap kelas kesesuaian lahan?

3. Bagaimana efisiensi kelembagaan pemasaran karet rakyat?

4. Bagaimana arahan potensi pengembangan perkebunan karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal?

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan lokasi yang berpotensi untuk pengembangan tanaman karet rakyat berdasarkan aspek fisik

2. Menganalisis kelayakan finansial pengusahaan kebun karet rakyat pada setiap kelas kesesuaian lahan

3. Menganalisis margin tata niaga dan integrasi pasar dalam rantai pemasaran

cup lump karet

4. Menyusun arahan kebijakan pengembangan kebun karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal

1.3.2 Manfaat

(32)
(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Pembangunan Ekonomi Wilayah

Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik (Rustiadi et al., 2009). Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan kualitas hidup masyarakatnya. Pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana terjadi saling keterkaitan dan saling mempengaruhi diantara berbagai faktor. Pembangunan ekonomi harus dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama sehingga diketahui tuntutan peristiwa yang timbul sehingga akan mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat dari suatu tahap pembangunan ke tahap pembangunan berikutnya (Arsyad, 1999).

Paradigma pembangunan ekonomi wilayah seharusnya lebih mengarah pada penguatan basis ekonomi yang memiliki prinsip keseimbangan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability). Pembangunan ekonomi wilayah seyogyanya juga dilakukan dengan menggunakan paradigma baru melalui pembangunan yang berbasis lokal dan sumberdaya domestik. Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok, yaitu: (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, (2) meningkatnya rasa harga diri masyarakat sebagai manusia, (3) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih yang merupakan salah satu hak asasi manusia (Anwar, 2001).

(34)

daerah, antar provinsi, antar kabupaten/kota, serta antara provinsi dan kabupaten/kota. Pembangunan daerah dilaksanakan dengan tujuan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional serta untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan daerah bagi masyarakat secara adil dan merata (Nasution, 2009)

Miraza (2005) menyatakan bahwa pembangunan daerah berorientasi pada pengembangan wilayah pada suatu daerah yang dilakukan secara gradual, yang menyangkut fisik dan nonfisik wilayah dimana tercipta penataan ruang yang efisien dan infrastruktur publik yang cukup serta kondisi lingkungan yang nyaman. Dengan demikian keseimbangan antarkawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik (Rustiadi et al., 2009).

Pembangunan ekonomi dilaksanakan secara terpadu, selaras, seimbang dan berkelanjutan dan diarahkan agar pembangunan yang berlangsung merupakan kesatuan pembangunan nasional, sehingga dalam mewujudkan pembangunan ekonomi nasional perlu adanya pembangunan ekonomi daerah yang pada akhimya mampu mengurangi ketimpangan antar daerah dan mampu mewujudkan kemakmuran yang adil dan merata antar daerah (Wijaya dan Atmanti, 2006).

2.1.2 Evaluasi Kesesuaian Lahan

Evaluasi lahan adalah bagian dari proses perencanaan tata guna tanah dengan membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Tujuan evaluasi lahan adalah untuk menentukan kelas kesesuaian lahan untuk tujuan tertentu (Sitorus, 2004; Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

(35)

lingkungan dan pada akhirnya akan mengakibatkan menurunnya daya dukung lahan, sehingga pemanfaatan lahan perlu diarahkan menurut fungsinya untuk menghindarkan dampak pembangunan yang negatif (Faturuhu, 2009)

Potensi suatu wilayah untuk pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, terain, dan hidrologi dengan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman. Kecocokan antara sifat fisik lingkungan dari suatu wilayah dengan persyaratan penggunaan atau komoditas yang dievaluasi memberikan gambaran atau informasi bahwa lahan tersebut potensial dikembangkan untuk komoditas tersebut, artinya bahwa jika lahan tersebut digunakan untuk penggunaan tertentu dengan mempertimbangkan berbagai asumsi mencakup masukan yang diperlukan akan mampu memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan (Sitorus, 2004)

Inti prosedur evaluasi lahan adalah menentukan jenis penggunaan (jenis tanaman) yang akan ditetapkan, kemudian menentukan persyaratan dan pembatas pertumbuhannya dan akhirnya membandingkan persyaratan penggunaan lahan (pertumbuhan tanaman) tersebut dengan kualitas lahan secara fisik. Klasifikasi kelas kesesuaian lahan yang biasa digunakan adalah klasifikasi menurut metode FAO (1976). Metode ini digunakan untuk mengklasifikasikan kelas kesesuaian lahan berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif, tergantung data yang tersedia (Sitorus, 2004).

(36)

2.1.3 Kelayakan finansial usaha tani

Untuk mengetahui secara komprehensif bagaimana aspek pengembangan usaha suatu komoditi pertanian maka perlu dikaji kelayakannya secara finansial. Menurut Gittinger (1986), aspek finansial terutama menyangkut perbandingan antara pengeluaran dengan pendapatan dari usaha perkebunan karet rakyat serta waktu didapatkannya hasil. Untuk mengetahui secara komprehensif tentang kinerja layak atau tidaknya usaha tersebut, dikembangkan berbagai kriteria yang pada dasarnya membandingkan antara biaya dan manfaat atas dasar suatu tingkat harga umum tetap yang diperoleh dengan menggunakan nilai sekarang (present value) yang telah didiskonto selama umur usaha produktif perkebunan Karet rakyat.

Cara penilaian jangka panjang yang paling banyak digunakan adalah dengan menggunakan Discounted Cash Flow Analysis (DCF) atau Analisis Aliran Kas yang didiskonto (Gittinger, 1986). Analisis DCF mempunyai keunggulan yaitu bahwa uang mempunyai nilai waktu yang merupakan ciri-ciri yang membedakannya dari teknik lain. Ciri pokok dari analisis DCF adalah menilai harga dengan memperhitungkan unsur waktu kejadian dan besarnya aliran pembayaran tunai (cash flow). Biaya dipandang sebagai negative cash flow

sedangkan pendapatan dipandang sebagai positive cash flow.

Analisis sensitifitas digunakan untuk menghindari ketidakpastian perkembangan ekonomi di masa yang akan datang dan sering analisis proyek didasarkan pada proyeksi-proyeksi sehingga ketidakpastian yang akan terjadi di masa yang akan datang, seperti terjadinya kenaikan biaya-biaya operasional, terjadinya penurunan harga yang menyebabkan penurunan keuntungan dapat diminimalisasi (Syahrani, 2003)

Analisis kepekaan/sensitivitas dilakukan untuk melihat sampai seberapa besar (persen) penurunan atau peningkatan faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan perubahan dalam kriteria investasi yaitu dari layak menjadi tidak layak dilaksanakan (Gittinger, 1986).

2.1.4 Kelayakan Pemasaran

(37)

mendefinisikan margin tata niaga sebagai perbedaan harga yang dibayar konsumen akhir untuk suatu produk dengan harga yang diterima petani produsen untuk produk yang sama. Tomek dan Robinson (1977) mendefinisikan margin tataniaga sebagai berikut : (1) perbedaan harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima produsen, (2) kumpulan balas jasa yang diterima oleh jasa tataniaga sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran.

Analisis keterpaduan pasar adalah analisis yang digunakan untuk melihat seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi pada suatu tingkat lembaga tataniaga dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk melihat fenomena ini. Salah satunya adalah metode

Autoregressive Distributed Lag yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan Heytens (1986).

2.1.5 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG (Sistem Informasi Geografis) merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis (Aronoff, 1989). SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu, dengan Sistem Informasi Geografis pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data ke dalam sebuah model representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara teksdtual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta, 2005)

(38)

statistik. Berbagai layer dari data yang dihasilkan pada tahap pertama dianalisis secara bersama-sama untuk menetapkan lokasi atau bentuk yang memiliki atribut sama atau serupa (Robinson et al., 1995).

Analisis ini bisa dilakukan dengan tumpang susun (overlay). Tumpang susun peta merupakan proses yang paling banyak dilakukan dalam SIG. Selanjtnya kalkulasi dapat dilakukan. Kalkulasi merupakan sekumpulan operasi untuk memanipulasi data spasial baik berupa peta tunggal maupun beberapa peta sekaligus. Operasi ini dapat berupa penjumlahan, pengurangan, maupun perkalian antar peta, namun dapat pula melalui pengkaitan dengan suatu basis data atribut tertentu. Tahapan terakhir kelengkapan Sistem Informasi Geografis adalah pengambilan keputusan. Pada tahap ini digunakan model-model untuk mendapatkan evaluasi secara real time, kemudian hasil yang didapatkan dari permodelan dibandingkan dengan kondisi di lapangan (Robinson et al., 1995). Keluaran utama dari Sistem Informasi Geografis adalah informasi spasial baru yang perlu disajikan dalam bentuk tercetak (hard copy) supaya dapat dimanfaatkan dalam kegiatan operasional (Danoedoro, 1996).

Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk membangun suatu model pemetaan kesesuaian lahan di suatu wilayah dengan menggabungkan prosedur evaluasi lahan dengan pilihan-pilihan pengambilan keputusan dalam

suatu Sistem Informasi Geografis (SIG). Prosedur ini mencakup 5 tahapan yaitu: (1) mendisain unit pemetaan lahan; (2) mendiagnosa tipe-tipe penggunaan lahan

yang ada dan keperluan-keperluannya; (3) menganalisis kesesuaian lahan melalui “matching” antara unit pemetaan lahan dengan tipe penggunaan lahan; (4) mengintegrasikan data ke basis data relasional (sosial-ekonomi); (5) penyajian peta kesesuaian lahan melalui proses “join table” antara hasil kesesuaian lahan

dengan unit pemetaan lahan dalam Sistem Informasi Geografis (Hashim I, 2002)

2.2 Prospek Pengembangan Tanaman Karet

(39)

menghadapi beberapa kendala yaitu rendahnya produktivitas, terutama karet rakyat yang merupakan mayoritas areal karet nasional dan ragam produk olahan yang masih terbatas, yang didominasi oleh karet remah (crumb rubber). Rendahnya produktivitas kebun karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal tanaman tua, rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta kondisi kebun yang tidak terawat, sehingga perlu upaya percepatan peremajaan karet rakyat dan pengembangan industri hilir (Balitbang Pertanian, 2009).

Perkebunan karet rakyat dicirikan oleh pemilikan lahan yang sempit, tersebar serta produktivitas mutu hasil yang rendah. Produksi karet berupa sleb,

lump, SIT angin dan jenis mutu lainnya yang dikenal dengan bokar (bahan olah karet rakyat) dari usahatani kecil kemudian diolah oleh perusahaan pengolah (processor) yang pada umumnya berada di dekat kota, menjadi bentuk karet remah (crumb rubber). Proses sampai ke pabrik pengolahan, produksi karet dari petani kecil tersebut harus melalui rantai tataniaga yang panjang menggunkan bentuk-bentuk kelembagaan yang telah berkembang, sehingga petani seringkali menerima bagian harga yang relatif rendah.

Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta. Pertumbuhan karet rakyat masih positif walaupun lambat yaitu 1,58%/tahun, sedangkan areal perkebunan negara dan swasta sama-sama menurun 0,15%/tahun. Oleh karena itu, tumpuan pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat. Luas areal kebun rakyat yang tua, rusak dan tidak produktif mencapai sekitar 400.000 hektar yang memerlukan peremajaan. Persoalannya adalah bahwa belum ada sumber dana yang tersedia untuk peremajaan. Di tingkat hilir, jumlah pabrik pengolahan karet sudah cukup, namun selama lima tahun mendatang diperkirakan akan diperlukan investasi baru dalam industri pengolahan, baik untuk menghasilkan crumb rubber

maupun produk-produk karet lainnya karena produksi bahan baku karet akan meningkat. Kayu karet sebenarnya mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan furniture tetapi belum optimal, sehingga diperlukan upaya untuk pemanfaatan yang lebih lanjut (Balitbang Pertanian, 2009).

(40)

disebabkan, tanaman karet memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pengembangan tanaman perkebunan lainnya. Keuntungan tersebut antara lain sebagai berikut : (1) persyaratan tumbuh yang lebih mudah dibandingkan tanaman lainnya; (2) merupakan usaha yang didominasi oleh perkebunan rakyat; (3) mendukung pemerataan dan pemberdayaan ekonomi rakyat; (4) penyebaran dalam skala yang luas; (5) merupakan sumber pendapatan yang memadai secara berkesinambungan bagi petani; (6) mampu memperbaiki kondisi hidrologis pada lahan kritis dan memperbaiki serta melestarikan lingkungan hidup.

Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya taraf hidup diperkirakan masa depan karet alam tetap akan membaik. Kebutuhan akan produk-produk yang menggunakan bahan karet alam sebagai bahan baku juga akan bertambah. Persaingan antara negara produsen juga akan berlangsung ketat. Persaingan pasar global tidak terbatas pada produk yang dihasilkan, tetapi terkait dengan aspek proses, sumberdaya manusia dan lingkungan. Aspek lingkungan mendapatkan porsi yang lebih besar. Hal ini yang melatarbelakangi pabrik ban terkemuka dunia mulai memperkenalkan jenis ban yang berasal dari bahan baku karet yang dihasilkan dari kebun-kebun dengan pengelolaan lingkungan yang baik (“green tyres”). Diharapkan dengan penggunaan ban jenis tersebut permintaan terhadap karet alam akan meningkat, karena kandungan karet alam yang semula 30-40% akan ditingkatkan menjadi 60-80% untuk industri ban (Balitbang Pertanian, 2009).

(41)

dan hasil kayu minimal 300 m3/ha/siklus; (3) penggunaan klon unggul (55%); (4) pendapatan petani menjadi US$1.500/KK/th dengan tingkat harga 75% dari harga FOB; dan (5) berkembangnya industri hilir berbasis karet di sentra-sentra produksi karet (Balitbang Pertanian, 2009)

Kebijakan operasional di tingkat on farm yang diperlukan bagi pengembangan agribisnis karet adalah: (1) penggunaan klon unggul dengan produktivitas tinggi (3.000 kg/ha/tahun); (2) percepatan peremajaan karet tua seluas 400.000 ha sampai dengan 2009 dan 1,2 juta ha sampai dengan 2025; (3) diversifikasi usahatani karet dengan tanaman pangan sebagai tanaman sela dan ternak; dan (4) peningkatan efisiensi usahatani. Di tingkat off farm kebijakan operasional yang dikembangkan adalah: (1) peningkatan kualitas bokar (bahan olah karet) berdasarkan SNI; (2) peningkatan efisiensi pemasaran untuk meningkatkan marjin harga petani; (3) penyediaan kredit usaha mikro, kecil dan

menengah untuk peremajaan, pengolahan dan pemasaran karet bersama; (4) pengembangan infrastruktur; (5) peningkatan nilai tambah melalui

pengembangan industri hilir; dan (6) peningkatan pendapatan petani melalui perbaikan sistem pemasaran dan lain-lain (Balitbang Pertanian, 2009)

Kebutuhan investasi untuk peremajaan selama 2005-2015 untuk seluas 336.000 ha adalah sekitar Rp2,41 trilyun, sedangkan selama 2005-2025 untuk seluas 1,2 juta ha adalah Rp8,62 trilyun. Kebutuhan dana untuk investasi pada pabrik karet remah dengan kapasitas 70 ton/hari adalah Rp25,6 milyar, namun belum perlu segera penambahan pabrik baru. Untuk kayu karet, diperlukan dana sekitar Rp2,12 milyar untuk menghasilkan treated sawn timber dengan kapasitas 20 m3/hari (Balitbang Pertanian, 2009).

(42)

prasarana berupa jalan, jembatan, pelabuhan, alat transportasi, komunikasi, dan sumber energi (tenaga listrik); (3) penyediaan dana dengan menghidupkan kembali pungutan dari hasil produksi/ekspor karet (semacam CESS) yang sangat diperlukan untuk membiayai pengembangan industri hilir, peremajaan, promosi dan peningkatan kapasitas SDM karet; (4) pengembangan sistem kemitraan antara petani dan perusahaan, misalnya dengan pola ”PIR Plus”, dimana petani tetap

memiliki kebun beserta pohon karetnya, dan ikut sebagai pemegang saham perusahaan yang menjadi mitranya (Balitbang Pertanian, 2009)

Kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan komoditas karet, selain ditekankan pada peningkatan penerimaan devisa negara, juga diarahkan pada upaya peningkatan pendapatan petani. Pendapatan petani sendiri merupakan refleksi, produktivitas kebun dan mutu bahan olah yang dihasilkan serta tataniaganya yang menentukan bagian harga bersih yang diterima petani. Sebagian besar lahan perkebunan rakyat terletak di daerah dengan sarana transportasi dan sumberdaya ekonomi yang relatif terbatas. Selain itu skala usahatani karet rakyat umumnya kecil dengan hasil produksi berupa sleb dengan mutu yang belum baku. Sementara dengan program crumb rubberisasi, ternyata pusat-pusat pengolahan karet remah pada umumnya berlokasi di sekitar ibukota propinsi atau kota-kota lainnya yang dekat dengan fasilitas pelabuhan ekspor, sehingga terdapat jarak secara spasial yang cukup besar antara pusat-pusat produksi karet rakyat dengan pusat-pusat pengolahannya. Keadaan demikian menyebabkan bertambahnya permasalahan tataniaga menjadi semakin panjang, yang ada pada gilirannya cenderung meningkatkan biaya tata niaga.

(43)

(2) kebijakan peningkatan daya saing dioperasionalisasikan melalui peningkatan produksi dan produktivitas, efisiensi, mutu dan promosi; (3) kebijakan investasi melalui upaya regionalisasi, penataan kembali kepemilikan, optimalisasi lahan Hak Guna Usaha (HGU), pemanfaatan iptek hasil litbang, diversifikasi usaha tanaman dan jaminan keamanan berusaha, dan (4) kebijakan restrukturisasi dan renovasi kelembagaan dioperasionalisasikan melalui upaya pembentukan lembaga keuangan alternatif, restrukturisasi, renovasi dan pengembangan lembaga penyuluhan, lembaga petani, lembaga pemasaran, lembaga usaha dan pengembangan jejaring kerja.

Untuk mengembangkan potensi dan memanfaatkan momentum, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/Permentan/PT.140/7/2006 tentang Kebijakan Pengembangan Komoditi Perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan dengan salah satu komoditi yang dikembangkan adalah karet. Pengembangan agribisnis karet Indonesia ke depan perlu didasarkan pada perencanaan yang lebih terarah dengan sasaran yang lebih jelas serta mempertimbangkan berbagai permasalahan, peluang dan tantangan yang sudah ada serta yang diperkirakan akan ada sehingga pada gilirannya akan dapat diwujudkan agribisnis karet yang berdaya saing dan berkelanjutan serta memberi manfaat optimal bagi para pelaku usahanya secara berkeadilan (Drajat dan Hendratno, 2009).

2.3 Penelitian Terdahulu

(44)

lain-lain. Kurangnya peremajaan Karet yang sudah tua yang menyebabkan pendapatan petani menurun.

Damanik (2000) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Dampak Pengembangan Komoditas Perkebunan terhadap Perekonomian Wilayah Propinsi Sumtera Utara” menyatakan komoditas perkebunan di Propinsi Sumatera Utara merupakan komoditas ekspor. Oleh karena pemasukan devisa negara melalui ekspor adalah hal yang sangat penting untuk membantu pemerintah dalam mengurangi defisit neraca pembayaran. Komoditas perkebunan tetap perlu dikembangkan terutama pada wilayah yang relatif mempunyai tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dibanding wilayah lainnya, sehingga dengan cara demikian selain ada pemasukan devisa untuk negara juga dapat dijadikan instrumen dalam mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Proinsi Sumatera Utara.

Myria (2002) melakukan penelitian berjudul “Kajian Strategi Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat sebagai komoditi Unggulan di Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah” dengan menggunakan perangkat analisis Matriks IFE dan EFE, Matriks TOWS dan Matriks QSPM. Melalui penelitian tersebut diidentifikasi faktor strategis internal yang mempengaruhi pengembangan perkebunan karet rakyat sebagai komoditi unggulan di Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah adalah: (1) kelompok fungsional, (2) program kerja Dinas Perkebunan, (3) struktur organisasi Dinas Perkebunan, (4) koordinasi dengan instansi terkait, (5) kualitas SDM Dinas Perkebunan, (6) sarana dan prasarana, (7) penguasaan teknologi karet oleh petugas, (8) kurangnya ketersediaan bibit, (9) manajemen organisasi, (10) kerja sama dengan pabrik

crumb rubber. Faktor strategis eksternalnya adalah: (1) adanya pabrik crumb rubber, (2) karet merupakan komoditi ekspor, (3) menyerap tenaga kerja, (4) karet telah lama dikenal secara turun temurun, dan (5) pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku industri, (6) perkembangan harga karet dunia, (7) tingginya tingkat suku bunga kredit komersil, (8) pertikaian antar etnis, (9) sarana transportasi darat dan (10) beralihnya mata pencaharian petani ke usaha pertambangan emas rakyat.

(45)

Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan” menyatakan bahwa analisis kelayakan yang dilakukan dengan menggunakan tingkat faktor diskonto 18% dengan jangka waktu analisis 25 tahun untuk kebun karet dan 42 tahun untuk hutan karet ternyata kelayakan finansial karet maupun ekonomi kabun karet lebih baik dari hutan karet. Nilai finansial kebun karet diperoleh NPV sebesar Rp5.577.963, IRR 30,93% dan rasio B/C 1,50 sementara nilai finansial hutan karet adalah NPV Rp543.654, IRR 37,09% dan rasio B/C 1,08.

Sadikin, et al. (2005) yang melakukan penelitian dengan judul “Dampak Pembangunan Perkebunan Karet Rakyat Terhadap Kehidupan Petani di Riau” menyatakan bahwa sejauh ini strategi dan langkah kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk membangun dan mengembangkan perkebunan karet rakyat telah dilaksanakan seperti: (1) pembentukan pusat-pusat pengolahan karet di beberapa daerah sentra produksi dengan tujuan menampung dan mengolah lateks dari hasil perkebunan karet rakyat dan untuk memperbaiki mutu olahannya, (2) melakukan pembinaan perkebunan rakyat dengan membentuk unit pelaksana proyek (UPP) yang lebih populer di Propinsi Riau dikenal dengan proyek SRDP. Meskipun program ini berfungsi sebagai pembinaan petani karet secara menyeluruh dari masalah budidaya sampai ke persoalan pemasaran, namun dalam perjalanannya masih belum memberi banyak dampak dan manfaat kepada petani kebun, terlebih lagi bagi masyarakat miskin lain di pedesaan. Penyebabnya adalah strategi pembangunan perkebunan lebih berorientasi kepada peningkatan produksi untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan memperbesar devisa negara. Sementara aspek persoalan sosial kemasyarakatan seperti lembaga-lembaga lokal dan berbagai relasi produksi di tingkat lokal yang terkait langsung dengan upaya peningkatan taraf kehidupan masyarakat di pedesaan terkesan diabaikan.

(46)

1988-2003, luas perkebunan karet di wilayah ini meningkat sebesar 324%. Ekspansi ini umumnya terjadi pada hutan dan pertanian berpindah. Kebanyakan perluasan karet berada di daerah dataran rendah, di mana kesesuaian iklim mikro dan kedekatan dengan jalan lebih dipilih untuk pengembangan industri karet. Pesatnya perkembangan karet sebagai tanaman komersial dengan mengorbankan pertanian tradisional ditandai dengan hilangnya lahan pertanian tradisional dan peningkatan urbanisasi dan perkembangan tanaman komersial. Secara ekonomi, perubahan ini menunjukkan standar hidup masyarakat lokal yang lebih baik dimana dari tahun 1988-2003, total pendapatan bersih kecamatan meningkat dari CNY4.000.000 (US$0,490) menjadi CNY44.000.000 (US$5,490). Peningkatan jumlah populasi dan standar hidup dari daerah tersebut memperbesar tekanan terhadap lingkungan dan sumberdaya lahan yang tersedia. Meskipun pemerintah menganggap karet dan perkebunan lain seperti teh dan gula menjadi „Green Industry‟, hilangnya hutan

hujan tropis dan lahan pertanian (termasuk kegiatan pertanian berpindah) menunjukkan bahwa potensi dampak kebijakan untuk mempromosikan Green Industry harus dipertimbangkan dengan hati-hati, karena ada risiko yang terlalu berat pada 1 atau 2 tanaman, terutama sekarang, di era pasar bebas yang sebagian besar tanaman tidak dilindungi. Hilangnya sistem pertanian tradisional yang fleksibel adalah sesuatu yang harus dimonitor dengan baik. Demikian pula, hilangnya keanekaragaman hayati juga harus menjadi perhatian besar, terutama dikarenakan sistem perkebunan karet yang dilaksanakan di Cina umumnya sistem monokultur dan dengan pembersihan lahan serta mengorbankan areal-areal hutan yang ada.

(47)

kerja terhadap luas lahan dan produksi karet. Subjek penelitian ini adalah keseluruhan perkebunan karet di Sumatera Utara. Objek penelitian ini adalah luas lahan dan produksi karet di Propinsi Sumatera Utara sebagai indikator pengembangan perkebunan karet di Propinsi Sumatera Utara. Memperhatikan pengaruh pasar terhadap pengembangan wilayah di Sumatera Utara, maka disarankan perlu adanya kebijakan pemerintah Propinsi Sumatera Utara maupun pengelola perdagangan karet alam untuk meningkatkan perkebunan karet, melalui pemberian modal usaha serta pengaturan sistem perdagangan karet alam yang memberikan keuntungan bagi petani serta perlu diupayakan kebijakan yang menyangkut pengembangan industri produk turunan karet alam.

Goswami, et al. (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Economic Analysis of Smallholder Rubber Plantations in West Garo Hills District of Meghalaya” melakukan analisis kepada kelompok petani perkebunan karet di

Meghalaya, India. Perkebunan karet sebagai komoditi utama di wilayah ini merupakan komoditi unggulan yang sangat menguntungkan dengan harga yang tinggi dan sistem pemasaran yang transparan dan efektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa perkebunan karet di wilayah ini merupakan mata pencaharian utama masyarakat terutama petani-petani kecil. Total biaya untuk pembangunan perkebunan karet sebesar Rs 22.548/ha. Hal ini membutuhkan pasokan kredit yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan biaya

(48)

mentransfer hak kepemilikan wilayah pengembangan karet kepada para petani, diintegrasikan dengan rencana kredit yang sehat dan program pengembangan pelatihan keterampilan, diharapkan dapat mengubah program pengembangan perkebunan karet rakyat sebagai alternatif penggunaan lahan yang cocok untuk perladangan berpindah, hal itu akan mempertahankan pendapatan, pekerjaan dan mencegah degradasi lingkungan.

Parhusip (2008) menyatakan bahwa potensi karet alam dalam jangka panjang masih cukup baik yang disebabkan kebutuhan karet merupakan kebutuhan dasar dalam keperluan sehari-hari dan beberapa negara berkembang mengalami pertumbuhan industrialisasi yang cukup tinggi seperti Cina, India dan Brasil. Pergerakan harga karet dunia menunjukkan tren positif dan Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar karet diharapkan dapat bekerja sama dengan produsen lain untuk dapat menjaga posisi harga yang tetap menguntungkan. Kerjasama tersebut dapat dilakukan dengan strategi mengurangi frekuensi sadapan karet atau mengatur perluasan/peremajaan lahan agar lebih optimal dapat mengatur pasokan ke pasar internasional. Pengembangan karet alam diharapkan dapat dioptimalisasi melalui kedua line usaha baik on farm maupun off farm. Permasalahan produktivitas lahan merupakan permasalahan utama dalam pengembangan on farm termasuk kualitas bahan baku yang masih rendah. Kondisi tersebut diharapkan dapat dijembatani dengan pola plasma antara perkebunan dalam peningkatan hasil dan harga. Pola plasma tersebut juga diharapkan dapat menjembatani perbankan dalam pemberian fasilitas kredit terkait dengan kemampuan manajemen dan jaminan yang selama ini masih menjadi kendala utama dalam meningkatkan kemampuan permodalan perkebunan. Menghadapi tantangan pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia akibat krisis keuangan global, Indonesia dapat mengoptimalkan kondisi pasar jangka panjang melalui peningkatan produktivitas lahan dan kebijakan yang mendukung seluruh aspek komoditas karet baik sektor on farm maupun off farm.

(49)
(50)
(51)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Sejalan dengan diberlakukannnya otonomi daerah yang dimulai pada tahun 2001 maka peranan Pemerintah Daerah sangat penting dalam menggali potensi lokalnya sebagai sumber keuangan dalam membantu membiayai pembangunan daerahnya secara mandiri. Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah tersebut akan sangat bergantung pada kemampuan mengelola potensi dan sumberdaya daerah, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam serta infrastruktur lainnya yang ada di daerah. Perencanaan pembangunan wilayah haruslah mengedepankan pemanfaatan sumber daya lokal yang dipercaya akan lebih menghidupkan aktivitas ekonomi daerah sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga diperlukan data dan informasi yang akurat tentang potensi sumberdaya suatu daerah untuk bisa digunakan dalam penyusunan perencanaan pembangunan.

Pada hakekatnya pembangunan nasional selalu diletakkan pada kerangka pembangunan sektoral dan regional yang terpadu berdasarkan karakteristik dan potensi wilayah. Oleh karena itu, Kabupaten Mandailing Natal perlu melakukan pendekatan tata ruang wilayah pembangunan dengan memperhatikan karakteristik wilayah, kesatuan geografis, homogenitas (potensi transportasi, komunikasi, sosial budaya, pemerintahan dan ekonomi). Undang-undang nomor 32 tahun 2004 yang merupakan refleksi dari pelaksanaan otonomi daerah secara substantif memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal untuk mengembangkan potensi wilayah berdasarkan komoditas unggulan berlandaskan aspek lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

(52)

mencapai 217.772 ha memungkinkan subsektor perkebunan memiliki prospek yang baik untuk terus dikembangkan. Tanaman karet merupakan salah satu tanaman unggulan sektor perkebunan di Kabupaten Mandailing Natal yang sudah sangat dikenal masyarakat. Pengembangan tanaman karet merupakan komitmen pemerintah daerah sebagai salah satu program pembangunan subsektor perkebunan. Secara nasional pengembangan komoditi karet juga didukung oleh Pemerintah pusat melalui Departemen Pertanian yang diwujudkan dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah berupa Program Revitalisasi Perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa prospek pengembangan tanaman karet ke depan cukup menjanjikan.

Dalam rangka pengembangan tanaman karet di Kabupaten Mandailing Natal, potensi sumber daya fisik merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan dalam rangka penentuan lahan yang akan digunakan. Potensi sumber daya fisik lahan dapat diketahui dengan melakukan evaluasi lahan. Dengan mengetahui tingkat kesesuaian lahan maka produktifitas optimal yang dihasilkan dapat diperkirakan. Selain itu aspek fisik lahan juga merupakan salah satu faktor yang mesti diperhatikan selain aspek tata ruang dalam rangka membuat arahan pengembangan suatu komoditi. Selain potensi sumber daya fisik lahan, dalam rangka pengembangan suatu komoditi faktor kelayakan finansial merupakan hal penting yang perlu diketahui. Setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda seperti karakteristik sumber daya alam, topografi, infrastruktur, sumber daya manusia, dan sumber daya sosial dan aspek spasial. Perbedaan karakteristik tersebut dapat membuat terjadinya perbedaan biaya dan pendapatan yang diterima petani dalam pengusahaan usaha pertaniannya. Dalam rangka pengembangan tanaman karet di Kabupaten Mandailing Natal, maka analisis kelayakan finansial perlu dilakukan untuk melihat daerah-daerah mana yang cocok dan menguntungkan untuk dijadikan sentra pengembangan tanaman karet.

(53)
(54)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Mandailing Natal yang secara geografis terletak pada 0°10'-1°50' Lintang Utara dan 98°10'-100°10' Bujur Timur dengan ketinggian 0-1.915 m di atas permukaan laut. Pelaksanaan penelitian termasuk pengumpulan data dilaksanakan pada Bulan Mei hingga Bulan Desember 2010.

Unit lokasi pengamatan dalam penelitian ini adalah desa. Pemilihan desa yang dijadikan lokasi pengamatan adalah desa-desa yang memiliki luas kebun karet yang dominan. Pengambilan sampel desa dilakukan pada masing-masing kelas kesesuaian lahan. Pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling) yaitu dua desa untuk setiap kelas kesesuaian lahan.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuesioner dan wawancara dengan responden yang telah ditentukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Responden dalam penelitian ini adalah petani dan pedagang pengumpul.

Pengambilan sampel untuk petani karet dilakukan secara purposive sampling, dimana setelah ditentukan lokasi penelitian maka sampel diambil dari petani yang memiliki curahan kerja utama pada usahatani karet dan pemilik lahan karet serta petani membangun sendiri kebunnya sejak awal (bukan lahan warisan atau lahan yang dibeli yang telah ditanami). Pertimbangan lainnya dalam pengambilan sampel petani yaitu kebun karet tersebut telah berproduksi. Banyaknya sampel yang diambil secara purposive (sengaja) adalah 25 orang per desa sampel.

Untuk analisis pemasaran, pemilihan responden dilakukan secara sengaja (purposive) yang diambil adalah pedagang karet. Pedagang karet yang dijadikan sampel meliputi pedagang pengumpul tingkat desa 2 orang, tingkat kecamatan 2 orang. Sampel pedagang dipilih secara sengaja (purposive) dengan tujuan menghindari pengambilan sampel yang tidak tepat, dimana dihindari pedagang pengumpul yang menjadi kaki tangan pedagang pengumpul di atasnya.

Gambar

Gambar
Tabel 1  Perkembangan Luas Perkebunan Indonesia Tahun 2005-2009 (ha)
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Tabel 3. Tujuan, parameter, data, sumberdata penelitian dan teknik analisis data yang akan dilakukan :
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk metode peramalan yang dipilih untuk meramalkan produksi karet rakyat di Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan data tahun 1997 sampai tahun 2008 adalah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui harga pokok ( Cost Price) getah karet rakyat, kontribusi masing-masing komponen biaya produksi karet rakyat terhadap harga

terbatasnya sumber benih entres karet, kesenjangan antara ketersediaan dan permintaan bahan tanam klon unggul karet, bahan tanam karet yang beredar belum

Metode yang digunakan dalam menganalisis prioritas strategi pengembangan hutan tanaman rakyat (HTR) adalah metode analisis hierarki proses (AHP) meliputi aspek pendanaan,

Pengembangan tanaman karet di Desa Margahayu Kecamatan Loa Kulu pada tahun 2016 merupakan bantuan dari pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara berupa 100 bibit karet

Dalam penjelasan sebelumnya bahwa pola tanaman atau sistem pertanian yang dilakoni oleh petani di Kabupaten Tapanuli Selatan beronientasi pada permintaan pasar

Aspek sosial budaya dan ekonomi tidak mempengaruhi para petani dalam mengembangkan hutan rakyat berbasis tanaman karet, dinilai dari umur petani yang tergolong

Petani karet rakyat swadaya di Desa Sungai Jalau diharapkan dapat membuat analisis kelayakan finansial dalam melakukan usaha perkebunan karetnya, karena usaha ini