• Tidak ada hasil yang ditemukan

Risiko Kebakaran Hutan Dan Lahan Berdasarkan Kajian Proyeksi Iklim Di Kalimantan Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Risiko Kebakaran Hutan Dan Lahan Berdasarkan Kajian Proyeksi Iklim Di Kalimantan Barat"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN

KAJIAN PROYEKSI IKLIM DI KALIMANTAN BARAT

SYAMSU DWI JADMIKO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan berdasarkan Kajian Proyeksi Iklim di Kalimantan Barat” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

SYAMSU DWI JADMIKO. Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan berdasarkan Kajian Proyeksi Iklim di Kalimantan Barat. Dibimbing oleh DANIEL MURDIYARSO dan AKHMAD FAQIH

Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu bencana yang berulang hampir setiap tahun di Sumatra dan Kalimantan. Salah satu kejadian terbesar adalah pada tahun 1997/98 dimana kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir di seluruh Sumatra dan Kalimantan termasuk Kalimantan Barat. Dampak yang dihadapi akibat kebakaran hutan dan lahan terutama adalah masalah asap yang tidak hanya mengganggu kesehatan, tetapi juga mengganggu aktivitas perekonomian masyarakat. Kebakaran hutan dan lahan juga menyebabkan degradasi lahan dan fungsinya. Tingginya dampak kebakaran hutan dan lahan tentunya memerlukan tindakan untuk meminimalkan kejadian kebakaran.

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji risiko kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Kalimantan Barat menggunakan analisis iklim ekstrim dan analisis kerentanan. Dalam analisis iklim ektrim, informasi data iklim hitoris dan proyeksi diperoleh melalui dynamical downscaling menggunakan model iklim regional RegCM4.4. Data curah hujan luaran model RegCM.4.4 untuk Kalimantan Barat secara umum menunjukkan nilai lebih tinggi (overestimate). Oleh karena itu diperlukan proses koreksi bias data luaran model RegCM.4.4 sebelum digunakan dalam analisis iklim ekstrim. Proses koreksi dilakukan melalui dua tahap yaitu (1) koreksi bias data curah hujan CHIRPS menggunakan data curah hujan observasi dan (2) koreksi bias data luaran model RegCM4.4 menggunakan data curah hujan CHIRPS yang sudah dikoreksi. Analisis kerentanan dilakukan dengan metode analisis pemetaan komposit (composite mapping analysis) yang menghubungkan hotspot dengan 11 (sebelas) indikator penentu kerentanan. Indikator mewakili komponen tingkat keparahan dan sensitivitas, sedangkan komponen kemampuan adaptif dianggap konstan.

(5)

periode tahun 2023/2024, periode tahun 2026/2027, periode tahun 2029/2030, periode tahun 2033/2034 dan periode tahun 2037/2038. Periode kekeringan diproyeksikan akan berulang setiap 2 hingga 5 tahun sekali. Periode ulang tersebut berkaitan dengan kejadian El-Nino yang juga memiliki periode ulang 2 hingga 5 tahun.

Dari hasil analisis hujan ekstrim kering dapat diketahui bahwa tingkat curah hujan ekstrim kering berada pada wilayah selatan dan sepanjang wilayah pantai barat Kalimantan Barat. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh curah hujan tahunan di Kalimantan Barat yang berkisar antara 1753 – 4861 mm. Curah hujan rendah terjadi pada di wilayah bagian selatan dan wilayah pantai barat Propinsi Kalimantan Barat, sedangkan curah hujan tinggi umumnya berada pada wilayah bagian timur yang memiliki tutupan lahan hutan primer. Kondisi topografi dan tutupan lahan mempengaruhi curah hujan. Wilayah dataran rendah yang berbatasan dengan pantai memiliki curah hujan lebih rendah dibandingkan daratan diluar pantai. Di lain sisi, adanya vegetasi di wilayah hutan primer mengakibatkan siklus hidrologi terjadi pada wilayah hutan primer lebih intensif.

Pemodelan kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa indikator penggunaan lahan memberikan pengaruh sebesar 24.09% dalam menentukan tingkat kerentanan. Dilihat secara keseluruhan, faktor biofisik (ketebalan gambut, tutupan lahan dan sistem lahan) memberikan pengaruh sebesar 49.85% dibandingkan faktor aktivitas manusia (jarak dari jalan, jarak dari sungai dan jarak dari pusat desa/kota) sebesar 16.0% dan faktor sosial ekonomi (Kepadatan penduduk, PDRB, luas HTI, luas HGU dan luas HPH) sebesar 34.15%. Hasil analisis model kerentanan menunjukkan bahwa wilayah dengan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan sangat tinggi terjadi pada tutupan lahan berupa perkebunan dan hutan rawa sekunder. Kerentanan sangat tinggi juga terjadi pada lahan gambut dengan ketebalan 50 – 200 cm.

Hasil analisis risiko kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa pola sebaran tingkat risiko sama dengan pola sebaran tingkat kerentanan. Wilayah yang sangat berisiko terjadi kebakaran hutan dan lahan utamanya berada pada wilayah perkebunan dan lahan gambut yang telah dikeloka. Pada wilayah hutan primer di bagian timur Kalimantan Barat tidak berisiko terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. Akan tetapi, apabila akses menuju suatu lokasi dapat mudah dijangkau oleh masyarakat, tidak menutup kemungkinan wilayah yang berisiko kebakaran hutan dan lahan semakin luas.

Melihat kondisi diatas menunjukkan bahwa lokasi kebakaran hutan dan lahan berada pada lokasi yang hampir sama dalam 15 tahun terakhir. Kondisi ini setidaknya dapat diketahui dari sebaran hotspot pada tahun 2002, 2006 dan 2009 di Kalimantan Barat. Lokasi yang dimaksud adalah lahan perkebunan, rawa sekunder dan lahan gambut di wilayah selatan dan sepanjang pantai barat Kalimantan Barat. Pembukaan lahan untuk kebutuhan perkebunan dan pertanian disinyalir mempengaruhi kondisi kebakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu, di masa mendatang perlu adanya pengelolaan lahan yang lebih baik oleh berbagai pihak sehingga kebakaran hutan dan lahan dapat diminimalkan.

(6)

SUMMARY

SYAMSU DWI JADMIKO. Forest and Land Fire Risk based on Climate Projection Analysis in West Kalimantan. Supervised by DANIEL MURDIYARSO and AKHMAD FAQIH

Forest and land fires have become the annual phenomena regarding disaster in Indonesia, especially in Sumatra and Kalimantan. The biggest forest and land fires in 1997/98 occurred nearly in the entire islands of Sumatra and Kalimantan, including West Kalimantan Province. The main impact posed by forest and land fires is the haze which not only impacting on human health, but also interfere with the social-economic activities. Forest and land fire also led to land degradation and the forest function. Understanding the level of risk of land and forest fires would minimize the incidence of land and forest fires.

The objective of this research is to analysis of the risk of forest and land fires in West Kalimantan Province by using extreme climate and vulnerability analysis. The extreme climate analysis, historical climate data information and projections are obtained through dynamical downscaling using regional climate model RegCM4.4. Rainfall data output of RegCM.4.4 models for West Kalimantan are generally overestimated. Bias correction process was performed before the output of RegCM.4.4 models used in the analysis of extreme climates. Bias correction process was done by two step: (1) bias correction for CHIRPS data by using observation data and (2) bias correction for RegCM4.4 outputs by using corrected CHIRPS data. Vulnerability analysis was conducted by using a composite mapping analysis connecting the hotspot with eleven indicators of vulnerability. Indicators represent the severity and sensitivity components, while the adaptive capability is considered as constant.

The results of the first bias correction indicated that the CHIRPS rainfall data has similarities with the observation data. The value of the correction factor for the CHIRPS data ranged between 0.82 and 1.26. In the second bias correction analysis, the first simulation of bias correction we found that the refractive correction using linear regression were used for the all month (January to December) did not improve the spatial distribution and rainfall patterns. Similarly, in the second simulation which uses linear regression but for every month was not able to improve spatial rainfall patterns. However, by using polynomial regression as the third and forth simulation showed better results were performed especially third order polynomial. Moreover, when the third order of polynomial regression was combined with the value of intercept at the orogin (0.0) as fifth simulation, it gave the best bias correction and therefore, can be further used for climate and drought analysis.

(7)

The results of extreme dry rainfall can be seen that the very high level of the extreme dry rainfall located in the south and along the west coast of West Kalimantan. The condition was influenced by environmental factors such as topography and land use. The condition is associated with annual rainfall in West Kalimantan which ranges between 1753-4861 mm. Low rainfall occurred in the southern region and the western coast of West Kalimantan province, while high rainfall generally located in the eastern part of West Kalimantan which has relatively good forest cover. A topography and land cover affect rainfall. Lowland area bordering the beach resulted in air masses that bring moist air will flow into the land area behind the beach. On the other hand, the vegetation in the area of primary forest resulted in the hydrological cycle occurs in this areas.

Modelling of the vulnerability of land and forest fires in West Kalimantan showed that the land use impact 24% in the vulnerability level. Based on all indicators, biophysical factors (as deep of the peat, land cover and land systems) provides 49.85% compared to the effect of human activity factor (the distance from the road, distance from the river and the distance from the center of the village / town) of 16% and a socio-economic factor (population density, the GDP, HTI, HGU and HPH) amounted to 34 %. The results of the vulnerability model analysis show that plantations areas and secondary swamp forests are highlu vulnerable, particularly on peat depth betwen 50 to 200 cm.

The result of the risk analysis of forest and fires in West Kalimantan shows that vulnerable areas have high risk of forest and land fires. These are the managed plantations and peatlands. Lowland forests in the eastern part of West Kalimantan have a low risk of forest and land fires. However, if the access to a sites was provided, there is a possibility that the risks will be increased.

Based on the above conditions, there is a tendency that the locations of recent forest and land fires are almost the same in the last 15 years. This condition can be seen from the hotspot distribution at the year of 2002, 2006 and 2009 in West Kalimantan. The location is the plantation areas, secondary land and peat land in the south and along the west coast of West Kalimantan. Land clearing for plantations and agriculture are allegedly affect land and forest fires. Therefore, better land management is essentially needed in the future by the various parties so that the condition of land and forest fires in West Kalimantan can be minimized. Keywords: dynamical downscaling, bias correction, extreme rainfall, modelling of

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN

KAJIAN PROYEKSI IKLIM DI KALIMANTAN BARAT

SYAMSU DWI JADMIKO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang berjudul

‘Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan berdasarkan Kajian Proyeksi Iklim di Kalimantan Barat’ merupakan tugas akhir untuk mendapatkan gelar master pada

program studi Klimatologi Terapan.

Pelaksanaan penelitian dan pembuatan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak dan pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Daniel Murfiyarso, M.Sc dan Dr. Akhmad Faqih, S.Si selaku pembimbing yang telah membimbing dan memberikan banyak saran selama penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

2. Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom selaku penguji yang telah memberikan koreksi dan saran untuk penyempurnaan tesis ini.

3. Ketua Program Studi Klimatologi Terapan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas bantuannya.

4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan sponsorship selama perkuliahan dan Center for International Forestry Research (CIFOR) atas bantuan pendanaan untuk melaksanakan penelitian.

5. Center for Climate Risk and Opportunity Managemen in Southest Asia and Pacific (CCROM-SEAP) IPB untuk fasilitas dan data pendukung dalam penyelesaian tesis ini.

6. Seluruh Staf Departemen Geofisika dan Meteorologi dan CCROM-SEAP atas dukungan dan bantuannya.

7. Rekan-rakan mahasiswa pascasarjana Klimatologi Terapan atas dukungan, semangat dan kerjasamanya.

8. Ibunda Tri Sumarsih serta adik-adik penulis atas segala do’a, kasih sayang yang tak terhingga serta semangat selama kuliah hingga penelitian. Teruntuk Bapak Sadeli (alm) semoga penulis dapat melanjutkan semangat pendidikannya.

Penulis menyadari keterbatasan ilmu dan kemampuan penulis sehingga masih banyak kekurangan dalam tesis ini. Kritik dan saran akan sangat penulis hargai. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

(13)

DAFTAS

ISI

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia 3

Kajian Perubahan Iklim 4

Model Iklim Regional (Regional Climate Models/RCMs) 5

Konsep Kerentanan dan Risiko 6

METODE 8

Data Penelitian dan Model Iklim Regional 8

Tahapan Penelitian 11

Simulasi Model Iklim Regional RegCM4.4 13

Koreksi Bias Data Curah Hujan 13

Analisis Iklim historis dan proyeksi di Kalimantan Barat 15 Analisis Standardized Precipitation Index (SPI) 16 Analisis Kerentanan dan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan 17

HASIL DAN PEMBAHASAN 21

Penggunaan Lahan di Propinsi Kalimantan Barat 21

Curah Hujan CHIRPS Hasil Koreksi 24

Curah Hujan Luaran Model RegCM4.4 25

Curah Hujan Luaran Model RegCM4.4 Terkoreksi 26

Kondisi Iklim Propinsi Kalimantan Barat 31

Curah Hujan Ekstrim Kering 38

Kondisi Kekeringan di Kalimantan Barat 41

Kondisi Kebakaran Lahan di Kalimantan Barat 43

Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat 46

Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan 53

(14)

DAFTAR

GAMBAR

Gambar 1 Nilai (a) radiative forcing dan (b) emisi CO2 dalam skenario

RCPs. GCAM 4.5 merupakan acuan dalam skenario RCP-4.5

(Moss et al. 2010). 6

Gambar 2 Diagram alir penelitian analisis risiko kebakaran hutan dan

lahan 11

Gambar 3 Ilustrasi proses koreksi data berdasarkan metode yang

dilakukan oleh Piani et al. (2010) 15

Gambar 4 Contoh proses transformasi curah hujan berdasarkan nilai CDF Gamma ke CDF Normal yang digunakan pada nilai SPI (Diadaptasi dari Lloyd-Hughes dan Saunders (2002)) 16 Gambar 5 Perbandingan besaran luas penggunaan lahan (PL; dalam

persen) di Kalimantan Barat tahun 1990 hingga tahun 2012. Data penggunaan lahan diperoleh dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2012 22 Gambar 6 Penggunaan lahan Propinsi Kalimantan Barat tahun

1990-2012. Data penggunaan lahan diperoleh dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2012 23 Gambar 7 Perbandingan curah hujan observasi dengan data CHIRPS

terkoreksi 24

Gambar 8 Perbandingan curah hujan luaran simulasi model RegCM4.4 tanpa koreksi (kiri) dengan curah hujan CHIRPS yang sudah

dikoreksi (kanan) 25

Gambar 9 Perbandingan pola hujan luaran simulasi model RegCM4.4

dengan pola hujan CHIRPS 26

Gambar 10 Perbandingan pola hujan antara data curah hujan CHIRPS terkoreksi dan simulasi koreksi bias luaran model RegCM4.4 27 Gambar 11 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah

hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan Simulasi 1. Secara umum terlihat adanya ketidakkonsistenan

hasil koreksi bias 27

Gambar 12 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan Simulasi 2. Secara umum tidak menjukkan adanya perbaikan

sebaran curah hujan 28

Gambar 13 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan Simulasi 3. Hasil koreksi menjukkan kondisi yang hampir

sama dengan Simulasi 2 28

Gambar 14 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan Simulasi 4. Secara umum memiliki pola spasial yang konsisten. Akan tetapi perlu perbaikan pada bulan

Juli-Agustus-September 29

(15)

Simulasi 5. Hasil Simulasi 5 merupakan hasil terbaik

dibandingkan simulasi lain 29

Gambar 16 Nilai koefisien P1, P2 dan P3 dalam persamaan polinomial (Y= P3*X3 + P2*X2 + P1*X + 0) pada Simulasi 5 yang

digunakan untuk mengkoreksi data curah hujan luaran model

RegCM4.4 30

Gambar 17 Perbandingan data curah hujan bulanan dari data CHIRPS terkoreksi dengan data luaran simulasi RegCM4.4 yang sudah dikoreksi (CanESM2 terkoreksi). Secara umum koreksi bias menggunakan simulasi mampu meperbaiki data luaran

simulasi RegCM4.4 31

Gambar 18 Tren curah hujan tahunan historis wilayah Kalimantan Barat

tahun 1981-2005 32

Gambar 19 Tren curah hujan tahunan proyeksi wilayah Kalimantan Barat

tahun 2016-2040 32

Gambar 20 Tren curah hujan musiman periode historis tahun 1981-2005. Musim peralihan (MAM dan SON) menunjukkan adanya tren penurunan curah hujan sedangkan musim hujan (DJF) menunjukkan adanya tren peningkatan curah hujan dan musim

kemarau (JJA) konstan 32

Gambar 21 Tren curah hujan musiman periode proyeksi tahun 2016-2040. Secara umum di masa mendatang curah hujan musim penghujan (DJF) dan musim peralihan penghujan ke kamarau (MAM) menunjukkan adanya peningkatan tren. Akan tetapi pada musim kemarau (JJA) dan peralihan musim kemarau ke musim penghujan (SON) menunjukkan adanya penurunan tren

33 Gambar 22 Distribusi spasial curah hujan periode baseline (tahun

1981-2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040) di Kalimantan Barat 34 Gambar 23 Besaran perubahan curah hujan proyeksi (tahun 2016-2040)

dibandingkan dengan curah hujan baseline (tahun 1981-2005) 35 Gambar 24 Pola spasial suhu maksimum Kalimantan Barat periode

baseline (1981-2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040) 35 Gambar 25 Pola spasial suhu minimum Kalimantan Barat periode baseline

(1981-2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040) 36 Gambar 26 Pola spasial suhu rata-rata Kalimantan Barat periode baseline

(1981-2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040) 36 Gambar 27 Tren suhu maksimum, suhu minimum dan suhu rata-rata di

Kalimantan Barat periode tahun 1981-2040 37 Gambar 28 Pola distribusi peningkatan suhu maksimum, suhu minimum

dan suhu rata-rata untuk proyeksi tahun 2016-2040 dibandingkan dengan periode baseline tahun 1981-2005 38 Gambar 29 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 5%

dari data curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) periode tahun 1981-2005. Kondisi sangat kering pada umunya terjadi pada bagian selatan Propinsi

(16)

Gambar 30 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 10% dari data curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan

Juni-Juli-Agustus (JJA) periode tahun 1981-2005. 39

Gambar 31 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 5% dari data curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) periode tahun 2016-2040. Pada periode proyeksi ini, curah hujan ekstrim kering memiliki kecenderungan meningkat dibandingkan dengan periode

historis. 40

Gambar 32 Sebaran curah hujan ekstrim berdasarkan nilai persentil 10% dari data curah hujan luaran model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) periode tahun 2016-2040. Kondisi curah hujan ekstrim kering tidak berbeda jauh dengan nilai persentil 5%. Akan tetapi luasan wilayah yang sangat ekstrim kering lebih

sedikit. 40

Gambar 33 Time series nilai SPI dengan menggunakan skala waktu 1 bulan hingga 24 bulan periode tahun 1981-2005. Warna merah menunjukkan nilai SPI negatif/kering, warna biru menunjukkan nilai SPI positif/basah dan warna hijau

menunjukan nilai anomali curah hujan 42

Gambar 34 Time series nilai SPI dengan menggunakan skala waktu 1 bulan hingga 24 bulan periode tahun 2016-2040. Warna merah menunjukkan nilai SPI negatif/kering, warna biru menunjukkan nilai SPI positif/basah dan warna hijau

menunjukan nilai anomali curah hujan 43

Gambar 35 Jumlah hotspot bulanan di Propinsi Kalimantan Barat pada tahun a) 2002, b) 2006 dan c) 2009. Ketiga tahun diatas adalah periode dalam 15 tahun terakhir dengan jumlah hotspot tertinggi dan periode tahun tersebut yang digunakan dalam analisis kerentanan kebakaran hutan dan lahan. (Sumber Pengolahan data hotspot MODIS (Satelit Terra dan Aqua) dari NASA FIRMS Fire Archive dengan confidence level > 50) 45 Gambar 36 Hubungan antara indeks SOI dengan jumlah hotspot di

Propinsi Kalimantan Barat 46

Gambar 37 Persamaan regresi tiap indikator untuk faktor aktivitas manusia antara skor dugaan dengan kelas masing-masing

indikator 47

Gambar 38 Persamaan regresi tiap indikator untuk faktor biofisik antara skor dugaan dengan kelas masing-masing indikator 48 Gambar 39 Persamaan regresi tiap variabel untuk faktor sosial ekonomi

antara skor dugaan dengan kelas masing-masing indikator 50 Gambar 40 Sebaran hotspot pada tiap tingkat kerentanan kebakaran hutan

dan lahan di Kalimantan Barat 52

Gambar 41 Tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan

Barat 53

(17)

model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun

1981-2005 54

Gambar 43 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 10%) luaran model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun

1981-2005 55

Gambar 44 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 5%) luaran model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun

2016-2040. 55

Gambar 45 Risiko kebakaran hutan dan lahan Propinsi Kalimantan Barat berdasarkan data curah hujan ekstrim (persentil 10%) luaran model RegCM4.4 bulan Juni-Juli-Agustus periode tahun

2016-2040. 56

DAFTAR

TABEL

Tabel 1 Estimasi luas wilayah yang terbakar pada kejadian kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/98 (x 1000 ha) di wilayah Sumatra (Sum), Jawa (Jaw), Kalimantan (Kal), Sulawesi (Sul) dan Papua

(Pap). 3

Tabel 2 Jumlah hotspot dalam periode 2001-2009 di Pulau Kalimantan 4 Tabel 3 Distribusi hotspot per provinsi di pulau Kalimantan 4 Tabel 4 Daftar stasiun cuaca/iklim BMKG yang digunakan dalam

penelitian 8

Tabel 5 Data spasial yang digunakan untuk menentukan tingkat

kerentanan 9

Tabel 6 Informasi pengaturan parameter fisik yang dipilih dan digunakan dalam simulasi RegCM4.4 di wilayah Kalimantan Barat. Pengaturan fisik ini dapat digunakan untuk analisis

sensitivitas model RegCM4.4 12

Tabel 7 Kategori kekeringan berdasarkan nilai SPI dan peluang

kejadiannya 17

Tabel 8 Kelas dari indikator penentu kerentanan 18 Tabel 9 Matrik risiko kebakaran hutan dan lahan. Tingkat risiko dibagi

menjadi 5 yaitu Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang (S), Tinggi (T) dan Sangat Tinggi (ST). Kategori curah hujan ekstrim memiliki rentang nilai (1) 0-40 mm, (2) 41-80 mm, (3) 81-120 mm, (4) 121-160 mm dan (5) 161-200 mm. 20 Tabel 10 Nilai faktor koreksi antara data Observasi BMKG dengan data

CHIRPS 24

Tabel 11 Distribusi hotspot MODIS per Kabupaten/Kota di Provinsi

Kalimantan Barat Tahun 2014 44

Tabel 12 Nilai koefisien dan bobot penyusun skor komposit model tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi

Kalimantan Barat 51

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Luas tiap penggunaan lahan (PL) di Propinsi Kalimantan Barat Tahun 1990-2012. Data penggunaan lahan diperoleh dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2012 67 Lampiran 2 Sebaran dan tingkat ketebalan gambut di Propinsi Kalimantan

Barat. Data diperoleh dari Balai Besar Litbang Sumberdaya

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana yang sering terjadi terutama di Kalimantan dan Sumatera. Dampak kebakaran hutan dan lahan cukup besar dan mencakup berbagai sektor seperti sosial-ekonomi, lingkungan dan ekologi (Suratmo et al. 2003; Varma 2003). Kajian Taconi (2003) menyebutkan bahwa kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997/1998 mengakibatkan kerugian ekonomi dan kabut asap yang menyebar hingga ke negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Tingginya kerugian akibat kejadian kebakaran hutan dan lahan sudah semestinya diantisipasi agar tidak terjadi di masa mendatang.

Kejadian Kebakaran hutan dan lahan umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia. Beberapa aktivitas manusia menjadi sumber utama dalam munculnya api seperti pada saat pembukaan lahan atau konversi lahan baik untuk usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan kebutuhan tempat tinggal. Selain aktivitas manusia, faktor fisik seperti iklim juga menjadi faktor pemicu yang dominan dalam kejadian kebakaran lahan. Fenomena iklim seperti El-Nino Southern Oscillation (ENSO) yang berdampak pada kekeringan panjang dapat mengakibatkan kondisi lahan mudah terbakar (Woster et al. 2012; Putra et al. 2008; Fuller dan Murphy 2006).

Analisis risiko merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengkaji kejadian kebakaran hutan dan lahan pada kondisi saat ini dan kemungkinannya di masa mendatang. Risiko didefinisikan sebagai peluang kejadian alam yang berhubungan dengan (i) peluang kejadian bahaya yang berdampak pada bencana yang tidak diinginkan, atau (ii) peluang kejadian atau dampak yang menggabungkan kondisi peluang kejadian bencana dengan konsekuensinya (Downing et al. 2001; Brooks 2003; Jones and Boer 2003). Dasar dari analisis Risiko adalah analisis kerentanan dan analisis peluang kejadian iklim ekstrim (risk = vulnerability × climate hazard). Oleh karena itu penentuan Risiko merupakan kombinasi dari kedua analisis tersebut di atas (Jones et al. 2004).

Konsep kerentanan umumnya digunakan dalam kajian terkait dengan bencana dan kemudian digunakan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam kajian perubahan iklim (IPCC 2001; IPCC 2007). Kerentanan meruakan derajat atau tingkat kemudahan terkena atau ketidakmampuan sistem dalam menghadapi dampak buruk dari perubahan iklim termasuk keragaman iklim dan iklim ekstrim (IPCC 2007). Tingkat kerentanan dari suatu sistem ditentukan oleh indikator penentu kerentanan yang mewakili penyebab suatu kejadian seperti kejadian kebakaran hutan dan lahan (Adger 2006; IPCC 2007). Penentuan kerentanan umumnya dilakukan berdasarkan analisis data spasial menggunakan sistem informasi geografi (SIG).

(20)

kebakaran hutan dan lahan (Caesar dan Golding 2011). Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997/1998 merupakan salah satu kebakaran hutan dan lahan besar dalam sejarah Indonesia. Pada tahun tersebut terjadi kekeringan lahan akibat terjadinya El-Nino (Murdiyarso dan Adiningsih 2005).

Informasi data iklim historis dan proyeksi yang memiliki skala spasial dan temporal tinggi diperlukan dalam kajian iklim pada skala regional yaitu pada cakupan wilayah yang kecil seperti Propinsi Kalimantan Barat. Di lain sisi, luaran model iklim global (Global Climate Models/GCMs) memiliki resolusi spasial rendah (100-250 km skala spasial) dan bila digunakan untuk kajian pada skala regional tidak memadai (Salathe Jr. 2003). Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan downscaling statistik maupun dinamik seperti menggunakan model iklim regional (Regional Climate Models/RCMs). Pemanfaatan RCMs sangat membantu untuk memperoleh informasi iklim dengan resolusi tinggi dan lebih detil.

Luaran simulasi RCMs umumnya memiliki bias yang sistematis dan dapat memberikan informasi yang berbeda baik secara temporal maupun spasial dibandingkan dengan data observasi (Christensen et al. 2008; Teutschbein dan Siebert 2010; Varis et al. 2004). Diantara faktor yang mempengaruhi adanya bias dalam simulasi RCMs adalah pemilihan parameter fisik, data luaran GCMs yang digunakan sebagai data initial condition/boundary condition (ICBC) dan resolusi spasial dan temporal yang digunakan dalam simulasi. Bias pada luaran simulasi RCMs ditandai dengan nilai yang melebihi atau kurang dari data observasi baik secara pola spasial maupun temporal sehingga diperlukan proses koreksi b ias. Penelitian ini mengadopsi metode yang digunakan oleh Lenderink et al. (2007) dan Piani et al. (2010). Secara spesifik metode Piani et al. (2010) digunakan untuk memperbaiki distribusi data luaran model sehingga mendekati dengan distribusi data observasi.

Analisis risiko yang menggabungkan informasi kerentanan dan iklim ekstrim, diharapkan dapat dimanfaatkan untuk proses pemantauan sekaligus pencegahan dini kebakaran hutan dan lahan. Informasi risiko yang telah dipetakan juga dapat membantu pihak tekait untuk melakukan strategi antisipasi terhadap ancaman kebakaran hutan dan lahan.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Melakukan simulasi model iklim regional (Regional Climate Models/RCMs). 2. Melakukan analisis koreksi data luaran simulasi RCMs.

3. Melakukan kajian iklim historis dan proyeksi di Kalimantan Barat. 4. Melakukan analisis kekeringan lahan di Kalimantan Barat.

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB; 2015) menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan dan lahan dilanda api yang mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan serta menimbulkan kerugian ekonomis dan nilai lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seringkali menyebabkan bencana asap yang dapat mengganggu aktivitas manusia dan kesehatan masyarakat sekitar.

Dalam dua dekade terakhir, Indonesia dilanda kejadian kebakaran hutan dan lahan ang cukup besar yaitu tahun 1982/83, 1987, 1991, 1994 dan 1997/98 (Bowen et al. 2001). Dari lima kejadian kebakaran hutan dan lahan tersebut, kejadian pada tahun 1997/98 merupakan kejadian kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan kerugian terbesar. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun tersebut terjadi hampir di seluruh pulau Sumatra dan Kalimantan. Daerah pertanian menjadi area yang paling luas terbakar (Tabel 1).

Tabel 1 Estimasi luas wilayah yang terbakar pada kejadian kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/98 (x 1000 ha) di wilayah Sumatra (Sum), Jawa (Jaw), Kalimantan (Kal), Sulawesi (Sul) dan Papua (Pap).

Tipe Vegetasi Sum Jaw Kal Sul Pap Total

Hutan pegunungan 100 100

Hutan dataran rendah 383 25 2375 200 300 3283

(22)

Tabel 2 Jumlah hotspot dalam periode 2001-2009 di Pulau Kalimantan

Tabel 3 Distribusi hotspot per provinsi di pulau Kalimantan

Provinsi Jumlah Hotspot Persentase (%)

Kalimantan Tengah 40541 52.2

Kalimantan Barat 21090 27.3

Kalimantan Timur 8261 10.7

Kalimantan Selatan 7611 9.8

Sumber: Suwarsono et al. (2010)

Titik panas (hotspot) dapat menjadi representasi kejadian kebakaran hutan dan lahan. Daerah yang memiliki jumlah hotspot tinggi memiliki potensi kejadian kebakaran lebih besar. Oleh karena itu, hotspot banyak digunakan dalam monitoring kejadian kebakaran hutan dan lahan. Pulau Kalimantan merupakan salah satu wilayah yang sering terjadi kebakaran hutan dan lahan. Setiap tahun hampir terjadi kebakaran hutan dan lahan yang dapat diidentifikasi dari jumlah hotspot seperti pada Tabel 2. Tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009 memiliki jumlah hotspot yang cukup tinggi. Berdasarkan distribusi hotspot per provinsi, Kalimantan Barat menjadi daerah dengan ancaman kebakaran terbesar kedua setelah Kalimantan Tengah (Tabel 3). Hal tersebut mengindikasikan tingkat risiko kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat juga tinggi.

Kajian Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan suatu kondisi dimana terjadi perubahan nilai atau pola unsur iklim dalam skala waktu yang lama baik pada wilayah lokal maupun global. Kajian perubahan iklim sudah dilakukan hampir seluruh negara di dunia dalam upaya melakukan aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Penyebab utama perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer akibat dari aktifitas manusia seperti penggunaan bahan bakar fosil dan deforestasi/perubahan penggunaan lahan (IPCC 2007). Secara alami GRK mampu melindungi bumi tetap hangat pada kisaran suhu rata-rata 15ºC. Akan tetapi, dengan semakin meningkatnya konsentrasi GRK, maka proses transfer bahang (heat) dari bumi ke atmosfer luar terhambat yang mengakibatkan adanya akumulasi bahang sehingga bumi menjadi lebih panas.

(23)

dimasa mendatang akan menyebabkan produksi pertanian berkurang akibat banjir dan kekeringan (Nara et al. 2014). Pola tanam juga akan mengalami keterlambatan akibat perubahan pola hujan dan irigasi (Seung-Hwan et al. 2013). Chavas et al. (2009) menambahkan bahwa tanpa adanya peningkatan pemupukan, di masa mendatang produksi lima tanaman pertanian (canola, jagung, kentang, beras, dan gandum) akan mengalami penurunan sebesar 2.5-12% akibat perubahan iklim. Perubahan iklim juga mempengaruhi siklus hidrologi dimana pada musim kemarau akan lebih kering dan banjir akan lebih sering terjadi pada musim penghujan. Kajian Leng et al. (2015) menyebutkan bahwa akibat perubahan iklim di masa mendatang kekeringan akan lebih parah, berkepanjangan dan sering terjadi terutama pada musim kemarau. Begitu pula kejadian banjir yang diproyeksikan akan lebih sering terjadi. Perubahan iklim juga mempengaruhi kebakaran akibat cuaca, perilaku kebakaran dan emisi karbon akibat kebakaran (de Groot et al. 2013). Bahaya kebakaran hutan dan lahan yang dianalisis menggunakan beberapa indek kebakaran hutan secara umum menunjukkan tren peningkatan akibat meningkatnya suhu udara dan perubahan pola hujan (Wastl et al. 2012).

Di Indonesia, kajian perubahan iklim pada skala regional telah dilakukan sejak tahun 1990-an. Analisis dilakukan menggunakan data observasi historis ataupun analisis data model (Faqih et al. 2013; Sarah dan Tohari 2009; Susandi et al. 2008; Susandi 2006). Laporan IPCC (2013) menyatakan bahwa akibat perubahan iklim, suhu di wilayah Indonesia diproyeksikan akan mengalami peningkatan sebesar 0.8°C apabila menggunakan skenario emisi terendah dan peningkatan 4.0°C apabila menggunakan skenario emisi tertinggi. Curah hujan mengalami perubahan dari -20% hingga 20% dimana musim kemarau mengalami penurunan curah hujan dan musim penghujan mengalami peningkatan curah hujan.

Model Iklim Regional (Regional Climate Models/RCMs)

Kajian perubahan iklim banyak dilakukan menggunakan RCMs dalam proses dynamical downscaling untuk memperoleh informasi iklim yang lebih detil pada kondisi saat ini maupun proyeksinya di masa mendatang. Salah satu RCMs yang dapat digunakan adalah Regional Climate Model version 4.4.5 (RegCM4.4). RegCM4.4 merupakan model iklim regional yang dikembangkan oleh International Centre for Theoretical Physics (ICTP), Trieste, Italy. RegCM4.4 merupakan RCMs yang biasanya digunakan untuk tujuan dynamical downscaling dari data model iklim global (Global Climate Model/GCMs) yang memiliki resolusi spasial rendah menjadi data iklim yang memiliki resolusi tinggi.

Kajian proyeksi iklim menggunakan model RegCM4.4 memerlukan skenario perubahan iklim. IPCC telah mengembangkan dua buah skenario yaitu Special Report on Emissions Scenarios (SRES) dan Representative Concentration Pathways (RCPs). RCPs merupakan skenario terbaru yang digunakan oleh IPCC dalam penyusunan laporan kelima IPCC (Fifth Assessment Report/AR5) dan skenario tersebut yang digunakan dalam penelitian ini. RCPs didasarkan pada besarnya nilai radiative forcing pada tahun 2100. Ada empat skenario RCPs yaitu RCP-2.6, RCP-4.5, RCP-6.0, dan RCP-8.5 yang masing-masing merepresentasikan besarnya radiative forcing di tahun 2100 yaitu 2.6 W/m2, 4.5 W/m2, 6.5 W/m2, dan

8.5 W/m2 (Gambar 1). Namun dalam kajian ini hanya akan digunakan satu skenario

(24)

peningkatan konsentrasi CO2di atmosfer pada tahun 2100 (Moss et al. 2010).

Skenario RCP-4.5 telah memasukkan nilai emisi GRK historis dan informasi tutupan lahan untuk mencapai target nilai radiative forcing yang diinginkan. Target tersebut juga diupayakan melalui penggunaan energi alternatif dan penyimpanan karbon oleh permukaan. RCP-4.5 bertujuan untuk menjaga kestabilan radiative forcing pada tahun 2100. Namun demikian bukan berarti emisi GRK, konsentrasi GRK dan sistem iklim akan stabil. Pada RCP-4.5 besarnya radiative forcing akan stabil mulai tahun 2080-2100, tetapi emisi dan konsentrasi GRK tetap akan bervariasi. Penggunaan RCP-4.5 dalam model iklim dimaksudkan untuk melihat respon sistem iklim dalam menstabilkan besarnya radiative forcing dari faktor antropogenik (Thomson et al. 2011).

Gambar 1 Nilai (a) radiative forcing dan (b) emisi CO2 dalam skenario RCPs.

GCAM 4.5 merupakan acuan dalam skenario RCP-4.5 (Moss et al. 2010).

Dalam simulasi RegCM4.4, terdapat parameter fisik yang dapat ditentukan oleh pengguna sesuai dengan kebutuhan. Pengguna dapat melakukan studi sensitivitas melalui pemilihan parameter fisik yang sesuai lokasi kajian dengan luaran model terbaik. Beberapa parameter fisik yang dapat dipilih seperti skema konveksi untuk awan (Cumulus Convection scheme), skema fluks lautan (Ocean Flux scheme) dan skema lapisan perbatas (Boundary Layer scheme) (Giorgi et al. 2013).

Konsep Kerentanan dan Risiko

(25)

ditentukan berdasarkan tiga komponen yaitu tingkat keterpaparan, tingkat sensitifitas dan kapasitas adaptif. Dua komponen utama mengindikasikan dampak sedangkan kapasitas adaptif menyatakan sejauh mana dampak dapat dihindari.

Tingkat keterpaparan menunjukkan derajat, lama dan atau besar peluang suatu sistem untuk kontak dengan goncangan atau gangguan. Tingkat sensitifitas merupakan kondisi internal dari sistem yang sangat dipengaruhi oleh kondisi manusia dan lingkungannya. Kondisi manusia meliputi tingkatan sosial seperti populasi, lembaga, struktur ekonomi dan sebagainya. Kondisi lingkungan meliputi kondisi biofisik seperti tanah, air, iklim, mineral dan struktur dan fungsi ekosistem. Kedua faktor tersebut menentukan kemampuan adaptif suatu sistem yang juga sangat dipengaruhi oleh keragaman iklim. Kemampuan adaptif menunjukkan kemampuan dari suatu sistem untuk melakukan penyesuaian (adjustment) terhadap perubahan iklim sehingga potensi dampak negatif dapat dikurangi dan dampak positif dapat dimaksimalkan (Adger 2006).

(26)

METODE

Data Penelitian dan Model Iklim Regional

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data iklim observasi BMKG, Data curah hujan The Climate Hazards Group InfraRed Precipitation with Stations (CHIRPS; Funk et al. 2014; Funk et al. 2015), data Global Climate Model (GCM) Coupled Model Intercomparison Project Phase 5 (CMIP5) Canadian Centre for Climate Modelling and Analysis (CCCma) second-generation Earth System Model (CanESM2; Arora dan Boer 2010), data titik api (hotspot), data spasial ketebalan gambut, data spasial tutupan lahan, data spasial sistem lahan, data spasial jaringan sungai, data spasial jaringan jalan, data spasial titik pusat desa/kecamatan/kabupaten (pusat pemerintahan), data spasial kepadatan penduduk, data pendapatan daerah (Produk Domestik Regional Bruto/PDRB), data spasial sebaran Hutan Tanaman Industri (HTI), data spasial sebaran Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan data spasial sebaran Hak Guna Usaha (HGU) di Kalimantan Barat.

Data iklim observasi meliputi data curah hujan dan suhu udara. Data curah hujan observasi digunakan sebagai data untuk analisis iklim historis dan untuk proses koreksi terhadap data curah hujan CHIRPS berdasarkan titik stasiun yang ada. Data iklim observasi yang digunakan diperoleh dari delapan stasiun meteorologi/klimatologi BMKG yang ada di Kalimantan Barat (Tabel 4).

Tabel 4 Daftar stasiun cuaca/iklim BMKG yang digunakan dalam penelitian

No. Nama Stasiun

Meteorologi/Klimatologi* Lintang Bujur Elevasi 1 Stasiun Maritim Pontianak -0.030 109.34 4

Data curah hujan CHIRPS merupakan data curah hujan yang dikeluarkan oleh U.S. Geological Survey, Amerika. Data curah hujan CHIRPS awalnya hanya tersedia untuk wilayah daratan Afrika dan digunakan untuk peringatan dini kekeringan. Namun demikian saat ini sudah tersedia hampir untuk seluruh wilayah daratan bumi. Data curah hujan CHIRPS merupakan gabungan dari data curah hujan yang dihitung dari satelit dan data curah hujan stasiun. Gabungan data tersebut kemudian di-regridding dengan resolusi spasial 0.05º (sekitar 5 km x 5 km) dengan periode tahun 1981 sampai saat ini dan resolusi waktu harian (Funk et al. 2014; Funk et al. 2015). Data curah hujan CHIRPS diperoleh dari website berikut:

(27)

meteorologi/klimatologi tidak menyebar merata dimana sebagian besarnya berada di bagian barat Propinsi Kalimantan Barat. Data curah hujan CHIRPS yang sudah dikoreksi menggunakan data curah hujan observasi juga digunakan untuk melakukan proses koreksi bias terhadap luaran simulasi RCMs.

Data CanESM2 digunakan sebagai Initial Condition and Boundary Condition (ICBC) dalam simulasi RCMs. Model CanESM2 merupakan salah satu model yang dikembangkan oleh Canadian Centre for Climate Modelling and Analysis (CCCma) dan merupakan gabungan model CanCM4 dan siklus karbon terrestrial berdasarkan Canadian Terrestrial Ecosystem Model (CTEM) dengan adanya pertukaran karbon tanah dan atmosfer (Arora dan Boer 2010).

Dalam penentuan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan, informasi data titik api (hotspot) sangat dibutuhkan karena merupakan informasi lokasi dari kebakaran hutan dan lahan. Data titik api diperoleh dari Fire Information for Resource Management System (FIRMS) yang merupakan hasil ekstraski dari satelit MODIS dengan algoritma deteksi titik api oleh Giglio et al. (2003). Data dapat diperoleh dari website pusat data NASA (http://earthdata.nasa.gov/data/near-real-timedata/firms).

Penentuan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan dibutuhkan data spasial yang merupakan indikator penentu kerentanan. Data spasial yang digunakan meliputi komponen tingkat keterpaparan, tingkat sensitivitas dan kapasitas adaptif. Komponen tingkat keteraparan meliputi jaringan jalan, jaringan sungai dan titik pusat pemerintahan. Komponen tingkat sensitivitas ketebalan gambut, tutupan lahan, sistem lahan, kepadatan penduduk, PDRB, sebaran HTI, sebaran HPH dan sebaran HGU. Adapun komponen kapasitas adaptif dalam penelitian ini tidak digunakan atau dianggap konstan. Sehingga dalam penentuan tingkat kerentanan digunakan persamaan linier yang menggabungkan informasi komponen tingkat keterpaparan dan tingkat sensitivitas. Tabel 5 menunjukkan informasi sumber data dan tahun data yang digunakan dalam penelitian.

Tabel 5 Data spasial yang digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan

No. Data Spasial Sumber Tahun

Komponen Keterpaparan

1 Jaringan Sungai BIG 2012

2 Jaringan Jalan BIG 2012

3 Titik Pusat Pemerintahan BIG 2012

Komponen Sensitivias

4 Ketebalan Gambut BBSLDP 2012

5 Tutupan Lahan Kemenhut 2012

6 Sistem Lahan RePPProt 2012

7 Kepadatan Penduduk worldpop.org.uk 2014

8 PDRB BPS 2012

9 Sebaran HTI Kemenhut 2014

10 Sebaran HPH Kemenhut 2014

(28)

Penjelasan dari masing-masing indikator kerentanan adalah sebagai berikut: 1. Jaringan sungai adalah informasi data spasial yang menggambarkan

keberadaan sungai yang terdiri dari saluran utama dan cabang-cabangnya pada lokasi tertentu

2. Jaringan jalan adalah informasi data spasial mengenai kesatuan jaringan jalan berupa jalan utama (primer) dan jalan pendukung (sekunder) yang berada pada lokasi tertentu

3. Titik pusat pemerintahan menggambarkan letak kantor desa, kantor kecamatan, kantor kabupaten dan kantor propinsi yang merupakan pusat dari pemerintahan

4. Ketebalan gambut merupakan informasi spasial mengenai ketebalan gambut yang diukur dari permukaan tanah kearah vertikal ke bawah dari lahan gambut yang ada pada suatu lokasi

5. Tutupan lahan adalah informasi mengenai hamparan yang berada di atas permukaan tanah baik yang dikelola ataupun yang secara alami berada di suatu lokasi

6. Sistem lahan merupakan karakteristik suatu lahan yang berhubungan dengan tipe batuan, hidroklimat, landform, tanah, dan organisme pada suatu lokasi

7. Kepadatan penduduk merupakan kondisi jumlah penduduk per satu kilometer persegi wilayah

8. PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi

9. Sebaran HTI menggambarkan persentase luasan HTI per kecamatan. HTI didefinisikan sebagai hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri

10.Sebaran HPH mengambarkan persentase luasan HPH per kecamatan. HPH merupakan hak untuk mengusahakan hutan didalam suatu kawasan hutan, yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan kayu, permudaan, pemeliharaan hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai dengan rencana kerja pengusahaan hutan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku serta berdasarkan asas kelestarian hutan dan asas perusahaan 11.Sebaran HGU mengambarkan persentase luas HGU per kecamatan. HGU

adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan

(29)

kelembaban tanah, aliran permukaan (runoff), fraksi awan dan lain-lain secara lebih detil berdasarkan informasi data model iklim global (Giorgi et al. 2013).

Tahapan Penelitian

Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap mulai dari proses simulasi model iklim regional hingga penentuan tingkat Risiko kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat. Secara garis besar alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

(30)

Tabel 6 Informasi pengaturan parameter fisik yang dipilih dan digunakan dalam simulasi RegCM4.4 di wilayah Kalimantan Barat. Pengaturan fisik ini dapat digunakan untuk analisis sensitivitas model RegCM4.4

Parameter Diskripsi (Giorgi et al. 2013) Digunakan dalam simulasi

iproj Map projection ‘NORMER’ (Normal

Mercator)

Ds Grid point separation in km 10

ptop Pressure of model top in cbar 5

clat Central latitude of model domain in degrees -0.55 clon Central longitude of model domain in degrees 111.5 &globdatparam

ibdyfrq Boundary condition interval (hours) 6 ssttyp Type of Sea Surface Temperature used 'CA_45' dattyp Type of global analysis datasets used 'CA_45'

gdate1 Start date for ICBC data generation 1979120100 / 2006020100

gdate2 End data for ICBC data generation 2015120100 / 2041120100

calendar Calendar to use 'noleap'

&timeparam

dtrad Time step in seconds 30

dtabem Time interval solar radiation calculated (minutes) 18 dtsrf Time interval absorption-emission calculated (hours) 90 dt Time interval at which land model is called (seconds) 30 &physicsparam

iboudy

Lateral Boundary conditions scheme 0 => Fixed

1 => Relaxation, linear technique. 2 => Time-dependent

3 => Time and inflow/outflow dependent. 4 => Sponge (Perkey & Kreitzberg, MWR 1976) 5 => Relaxation, exponential technique.

5

ibltyp

Boundary layer scheme 0 => Frictionless

1 => Holtslag PBL (Holtslag, 1990)

2 => UW PBL (Bretherton and McCaa, 2004) 99 => Holtslag PBL, with UW in diag. mode

96 => Use Tiedtke over land and Grell over ocean 97 => Use Tiedtke over land and Emanuel over ocean 98 => Use Emanuel over land and Grell over ocean 99 => Use Grell over land and Emanuel over ocean

4

ipptls

Moisture scheme

1 => Explicit moisture (SUBEX; Pal et al 2000) 2 => Explicit moisture Nogherotto/Tompkins

1

iocnflx

Ocean Flux scheme

1 => Use BATS1e Monin-Obukhov 2 => Zeng et al (1998)

3 => Coare bulk flux algorithm (snowice),

2

(31)

Simulasi Model Iklim Regional RegCM4.4

Simulasi RegCM4.4 dilakukan melalui tiga tahap yaitu (1) tahap pre-processing (2) tahap processing dan (3) tahap post-processing. Tahap pre-processing adalah tahap persiapan sebelum simulasi dilakukan meliputi penentuan lokasi domain wilayah kajian, periode simulasi, penentuan data ICBC, penentuan parameter fisik dan penyiapan sistem untuk simulasi model RegCM4.4. Periode simulasi model RegCM4.4 dibagi menjadi periode historis (baseline; tahun 1981-2005) dan proyeksi (tahun 2016-2040). Domain wilayahnya adalah 107°27’ BT -

115°32’ BT dan 3°05’ LU - 4°10’ LS dengan skala spasial 10 × 10 km. Data ICBC yang digunakan adalah CanESM2 dengan skenario emisi GRK berupa Representative Concentration Pathway 4.5 (RCP-4.5). Skenario RCP-4.5 merupakan skenario emisi GRK menengah (moderate) dimana radiative forcing dari permukaan bumi sebesar 4.5 W m-1 pada tahun 2100. Besarnya peningkatan

radiative forcing oleh bumi konsisten dengan peningkatan gas rumah kaca di atmosfer. Pada RCP-4.5 besarnya konsentrasi CO2 stabil pada level 650 ppm

ekuivalen (Moss et al. 2010). Informasi parameter fisik yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tahap processing adalah tahap simulasi RegCM4.4 dalam sistem komputer yang telah diinstal model RegCM4.4. Pada tahap ini model RegCM4.4 dijalankan sesuai pengaturan yang ditentukan pada tahap pre-processing. Tahap post-processing adalah tahap pengolahan data luaran simulasi RegCM4.4 seperti pemilihan data iklim yang digunakan (misalnya curah hujan dan suhu maksimum), konversi satuan data iklim dan konversi sistem grid sehingga data luaran simulasi dapat dimanfaatkan untuk analisis lain seperti analisis kekeringan (Giorgi et al. 2013).

Koreksi Bias Data Curah Hujan

Koreksi bias dilakukan melalui dua tahap yaitu (1) koreksi bias data curah hujan CHIRPS menggunakan data curah hujan observasidan (2) koreksi bias data curah hujan luaran RegCM4.4 menggunakan data curah hujan CHIRPS yang sudah dikoreksi.

1. Koreksi bias data curah hujan CHIRPS

Metode yang digunakan untuk proses koreksi bias data CHIRPS adalah berdasarkan metode yang digunakan oleh Lenderink et al. (2007). Data curah hujan dikoreksi menggunakan rasio curah hujan rata-rata bulanan klimatologi observasi dengan data yang akan dikoreksi seperti yang dijelaskan pada persamaan sebagai berikut:

= � [� �

� ]

Keterangan:

P*(mdl) = Data curah hujan luaran model terkoreksi (CHIRPS terkoreksi) P(mdl) = Data curah hujan luaran model (CHIRPS)

µm P(obs) = Data curah hujan rata-rata klimatologis observasi (Data Stasiun)

µm P(mdl) = Data curah hujan rata-rata klimatologis luara model (CHIRPS)

(32)

pada wilayah yang kurang atau tidak memiliki stasiun observasi (Tote et al. 2015). Sehingga proses koreksi yang dilakukan selain untuk memperbaiki data juga digunakan untuk melihat hubungan antara data CHIRPS dengan data observasi.

Dalam proses koreksi, data CHIRPS yang digunakan adalah data titik berdasarkan lokasi stasiun observasi yang digunakan yaitu delapan stasiun meteorologi/klimatologi. Data delapan stasiun tersebut dibuat nilai rata-rata yang menggambarkan data curah hujan wilayah yang kemudian dihitung nilai faktor koreksi untuk masing-masing bulan. Nilai faktor koreksi bulanan yang diperoleh digunakan untuk menghitung curah hujan CHIRPS terkoreksi pada setiap grid yang digunakan.

2. Koreksi bias data curah hujan luaran simulasi RegCM4.4

Koreksi bias dilakukan menggunakan metode Piani et al. (2010). Data yang dikoreksi adalah data curah hujan luaran model iklim regional menggunakan data curah hujan CHIRPS yang sudah dikoreksi. Metode Piani et al. (2010) digunakan untuk mengkoreksi distribusi data. Hal tersebut penting utamanya digunakan untuk tujuan analisis iklim ekstrim.

Langkah pertama dalam koreksi bias adalah membuat hubungan fungsi transfer distribusi kumulatif gamma (Inverse Gamma Cumulative Distribution Functions (CDFs)) antara data curah hujan luaran model RegCM4.4 dengan data curah hujan CHIRPS terkoreksi. Langkah kedua adalah menentukan faktor koreksi yang dihasilkan dari persamaan regresi linier atau polinomial. Gambar 3 menjelaskan proses koreksi data yang dilakukan. Persamaan distribusi gamma yang digunakan dalam analisis adalah sebagai berikut:

pdf x =e

− xθ x k−

Ґ

Keterangan:

x = Curah hujan normalisasi k = Parameter bentuk

θ = Parameter skala

Adapun persamaan umum regresi linier dan regresi polinomial adalah sebagai berikut:

= � +

= � + − � − + − � − + ⋯ + � + � +

Keterangan:

(33)

Gambar 3 Ilustrasi proses koreksi data berdasarkan metode yang dilakukan oleh Piani et al. (2010)

Dalam prosesnya, persamaan regresi yang digunakan dapat disimulasikan untuk memperoleh persamaan regresi terbaik. Oleh karena itu, dalam kajian ini dilakukan lima simulasi proses koreksi yang dibedakan berdasarkan kategori sebagai berikut:

1. Koreksi untuk semua bulan dan setiap grid dengan persamaan regresi linier 2. Koreksi untuk setiap bulan dan setiap grid dengan persamaan regresi linier 3. Koreksi untuk setiap bulan dan setiap grid dengan persamaan polinomial orde 2 4. Koreksi untuk setiap bulan dan setiap grid dengan persamaan polinomial orde 3 5. Koreksi untuk setiap bulan dan setiap grid dengan persamaan polinomial orde 3 dengan nilai intersep yang dikembalikan pada titik (0,0) (forcing intercept to zero)

Berdasarkan lima simulasi yang dilakukan di atas akan ditentukan hasil yang paling mendekati dengan data curah hujan CHIRPS terkoreksi. Penentuan simulasi koreksi terbaik didasarkan pada pola sebaran spasial dan temporal yang mendekati dengan data curah hujan CHIRPS terkoreksi.

Analisis Iklim historis dan proyeksi di Kalimantan Barat

(34)

suhu udara. Tren curah hujan dilakukan pada data bulanan dan musiman untuk mengetahui kecenderungan curah hujan historis maupun proyeksi. Periode musiman yang digunakan adalah bulan Desember-Januari-Februari (DJF), Maret-April-Mei (MAM), Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober-November (SON). Analisis proyeksi iklim dilakukan untuk melihat perubahan kondisi curah hujan dan suhu di masa mendatang yang dibandingkan dengan kondisi historis. Analisis Standardized Precipitation Index (SPI)

Kondisi kekeringan lahan dihitung menggunakan metode Standardized Precipitation Index (SPI; McKee et al. 1993). Perhitungan SPI didasarkan pada distribusi statistik gamma. Langkah pertama adalah menghitung fungsi kepadatan peluang (probability density function/PDF) berdasarkan distribusi gamma. Langkah kedua adalah menghitung nilai fungsi distribusi kumulatif (cumulative distribution function/CDF) dari nilai PDF. Langkah ketiga adalah transformasi nilai CDF gamma kedalam nilai CDF pada distribusi normal dalam rentang nilai SPI (Lloyd-Hughes dan Saunders 2002). Sebagai gambaran proses transformasi nilai curah hujan terhadap nilai SPI dapat dilihat pada Gambar 4. Kategori kondisi kekeringan berdasarkan nilai SPI dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai SPI negatif menunjukkan kondisi CH yang defisit atau dalam kondisi kekeringan sedangkan nilai SPI positif menunjukkan kondisi CH yang surplus hingga dapat menyebabkan kejadian banjir.

(35)

Tabel 7 Kategori kekeringan berdasarkan nilai SPI dan peluang kejadiannya

Analisis Kerentanan dan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan

Penentuan tingkat kerentanan dapat dilakukan berdasarkan perhitungan statistik nilai skor dan bobot dari indikator penentu kerentanan. Akan tetapi, dalam analisis spasial hal tersebut sulit dilakukan secara langsung karena data yang digunakan merupakan data spasial (keruangan). Oleh karena itu diperlukan metode analisis yang memungkinkan perhitungan nilai skor dan bobot dalam skala spasial. Composite mapping analysis (CMA) memungkinkan kita melakukan perhitungan nilai skor dan bobot indikator penentu tingkat kerentanan secara spasial. Metode ini banyak digunakan dalam analisis spasial, tidak hanya dalam menentukan kerentanan kebakaran hutan dan lahan akan tetapi juga dapat digunakan dalam kerentanan spasial yang lainnya (Boonyanuphap 2005; Jaya et al. 2007). Berikut langkah yang dilakukan dalam menentukan tingkat kerentanan.

1. Menghitung kepadatan hotspot dalam 1 km2 dari data hotspot tahun 2002, 2006

dan 2009. Data hotspot yang digunakan adalah data hotspot dengan nilai kepercayaan (confidence level) diatas 50%.

2. Membuat peta jarak (buffer) untuk data jaringan jalan, jaringan sungai dan pusat pemerintahan.

(36)

Tabel 8 Kelas dari indikator penentu kerentanan

Indikator penentu kerentanan Kelas

Ketebalan Gambut 1. Non Gambut

2. < 50 cm

Tutupan/Penggunaan Lahan Sesuai dengan kelas penutupan lahan Sistem Lahan Sesuai dengan kelas sitem lahan Jarak terhadap jalan Buffer dengan interval 1000 m (1km) Jarak terhadap sungai Buffer dengan interval 1000 m (1km) Jarak terhadap pusat pemerintahan Buffer dengan interval 1000 m (1km) Kepadatan Penduduk Dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan sebaran

data

PDRB Dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan sebaran

data

Sebaran HTI Dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan sebaran data

Sebaran HPH Dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan sebaran data

Sebaran HGU Dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan sebaran data

4. Menentukan nilai skor dan bobot dari masing-masing indikator penentu kerentanan. Sebelum menghitung bobot dari masing-masing indikator, terlebih dahulu dihitung skor masing-masing kelas dari indikator penentu kerentanan. Nilai skor dari masing-masing kelas dihitung berdasarkan formula berikut (Jaya et al. 2007):

Xi = Skor aktual setiap kelas indikator penentu kerentanan

Oi = Jumlah hotspot yang ada pada setiap kelas indikator (obserbved hotspot)

Ei = Jumlah hotspot yang diharapkan pada setiap kelas indikator (expected hotspot)

T = Jumlah total hotspot setiap indicator

(37)

Setelah skor masing-masing kelas diperoleh, selajutnya dilakukan penghitungan skor dugaan. Skor dugaan dihitung berdasarkan persamaan regresi antara skor aktual setiap kelas dengan kepadatan hotspot (jumlah hotspot/km2). Selanjutnya skor dugaan tersebut dibuat skor skala antara 10-100

dengan menggunakan formula berikut:

� = [( � � − � �

��− � � ) × � ��− � � ] + � �

dengan:

Score Rout = Nilai skor hasil rescalling

ScoreEinput = Nilai skor dugaan (estimated score) input

ScoreEmin = Nilai minimal skor dugaan

ScoreEmax = Nilai maksimal skor dugaan

ScoreRmax = Nilai skor tertinggi hasil rescalling (100)

ScoreRmin = Nilai skor terendah hasil rescalling (10)

Skor hasil rescalling digunakan untuk menentukan bobot dari masing-masing indikator melalui analisis pemetaan komposit yang menghubungkan kepadatan hotspot dengan semua indikator kerentanan. Hasil analisis pemetaan komposit selanjutnya dibuat persamaan regresi yang menunjukkan hotspot sebagai fungsi dari semua indikator kerentanan. Bobot kemudian ditentukan berdasarkan proporsi masing-masing koefisien dari persamaan regresi dengan nilai total bobot adalah 1. Persamaan umum (model) kerentanan kemudian disusun berdasarkan formula berikut: PLH = Skor penutupan lahan JLN = Skor jarak dari jalan SNG = Skor jarak dari sungai

PEM = Skor jarak dari pusat pemerintahan SLH = Skor sistem lahan

HTI = Skor Persentase luas HTI per kecamatan HGU = Skor Persentase luas HGU per kecamatan HPH = Skor Persentase luas HPH per kecamatan POP = Skor Kepadatan Penduduk

PDRB = Skor PDRB

(38)

Tabel 9 Matrik risiko kebakaran hutan dan lahan. Tingkat risiko dibagi menjadi 5 yaitu Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang (S), Tinggi (T) dan Sangat Tinggi (ST). Kategori curah hujan ekstrim memiliki rentang nilai (1) 0-40 mm, (2) 41-80 mm, (3) 81-120 mm, (4) 121-160 mm dan (5) 161-200 mm.

Kerentanan CH Ekstrim Kering

5 4 3 2 1

SR SR SR R R S

R SR R R S T

S R R S T T

T R S T T ST

ST S T T ST ST

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Lahan di Propinsi Kalimantan Barat

Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi yang masih memiliki banyak lahan hutan yang bermanfaat sebagai salah satu cagar alam bagi satwa maupun tumbuhan. Namun demikian, dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan lahan untuk pemukiman dan pertanian, keberadaan lahan hutan sebagian beralih fungsi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Analisis penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan dari tahun 1990 hingga tahun 2012 di Propinsi Kalimantan Barat.

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perubahan yang cukup signifikan terhadap luasan hutan terutama hutan rawa primer yang sebagian besar merupakan lahan gambut. Area lahan tersebut sebagian besar berubah menjadi lahan perkebunan dimana antara tahun 2006 dan 2009 terlihat sangat jelas perubahannya. Kondisi tersebut sejalan dengan kajian yang dilakukan oleh Carlson et al. (2012) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2007-2008 telah terjadi degradasi atau kehilangan luasan lahan gambut hingga 40% akibat dari pembukaan lahan untuk kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit di Propinsi Kalimantan Barat. Selain area rawa gambut, area mangrove juga banyak mengalami degradasi terutama antara tahun 1990 hingga tahun 2000.

Penambahan luas area pertambangan juga menjadi salah satu sebab berkurangnya wilayah rawa gambut dan area mangrove. Pada tahun 2012 terdapat peningkatan area pertambangan hingga 10% dibandingkan dengan tahun 2009. Penambahan luas area juga terjadi pada lahan terbuka (Gambar 5). Hal tersebut diduga menjadi lahan yang sudah tidak digarap oleh masyarakat akibat fungsinya yang sudah menurun. Luas masing-masing tutupan lahan dapat dilihat di Lampiran 1.

(40)
(41)
(42)

Hasil Koreksi Curah Hujan CHIRPS

Analisis koreksi bias menunjukkan bahwa data curah hujan CHIRPS memiliki kemiripan dengan data curah hujan observasi dimana perbandingan nilai curah hujannya tidak tinggi (Tabel 10). Nilai faktor koreksi untuk data curah hujan CHIRPS berkisar antara 0.82 hingga 1.26. Dilihat dari pola hujan antara data curah hujan CHIRPS terkoreksi dan data curah hujan BMKG menunjukkan kemiripan pola hujan yaitu pola hujan ekuatorial (Gambar 6). Hal tersebut menunjukkan bahwa data curah hujan CHIRPS mampu digunakan mewakili data curah hujan pada daerah yang tidak memiliki stasiun meteorologi/klimatologi.

Pemanfaatan data global seperti CHIRPS pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan akan data curah hujan yang memiliki sebaran spasial secara merata pada suatu daerah. Hal tersebut dilakukan mengingat penyebaran stasiun meteorologi/klimatologi di Kalimantan Barat tidak merata. Sebagian besar stasiun meteorologi/klimatologi di Kalimantan Barat berada pada wilayah bagian barat, sehingga untuk wilayah bagian timur sulit untuk mendapatkan informasi data curah hujan.

Tabel 10 Nilai faktor koreksi antara data Observasi BMKG dengan data CHIRPS Bulan CHIRPS Observasi CHIRPS

Terkoreksi Faktor Koreksi

(43)

Curah Hujan Luaran Model RegCM4.4

Luaran simulasi model RegCM4.4 menggunakan parameter fisik yang dipilih secara umum menunjukkan kondisi nilai curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai curah hujan dari data CHIRPS terkoreksi. Meskipun demikian, sebaran spasial data curah hujan luaran simulasi model RegCM4.4 dapat menggambarkan kondisi curah hujan di Kalimantan Barat. Wilayah bagian barat Propinsi Kalimantan Barat memiliki curah hujan yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah bagian timur (Gambar 8). Dilihat dari sebaran bulanan, pola hujan luaran simulasi model RegCM4.4 menunjukkan pola hujan monsunal, sedangkan hasil analisis menggunakan data curah hujan observasi dan CHIRPS menunjukkan bahwa pola hujan di Kalimantan Barat adalah pola hujan ekuatorial.

(44)

Gambar 9 Perbandingan pola hujan luaran simulasi model RegCM4.4 dengan pola hujan CHIRPS

Curah Hujan Luaran Model RegCM4.4 Terkoreksi

Hasil analisis simulasi koreksi bias data curah hujan luaran model RegCM4.4 dapat dilihat pada Gambar 11 sampai Gambar 15. Berdasarkan Simulasi 1, hasil koreksi data curah hujan menunjukkan adanya ketidakkonsistenan antara nilai curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan nilai curah hujan luaran model RegCM4.4. Pada beberapa bulan dimana nilai curah hujan CHIRPS terkoreksi menunjukkan nilai rendah, nilai curah hujan luaran model RegCM4.4 menunjukkan nilai yang lebih tinggi dan begitu pula sebaliknya. Hal tersebut memberi informasi bahwa satu persamaan regresi linier yang digunakan untuk seluruh bulan tidak memberikan hasil yang baik. Hasil analisis juga menunjukkan tidak adanya perubahan pola hujan hasil koreksi bias dimana masih menggambarkan pola hujan monsunal (Gambar 10).

(45)

Gambar 10 Perbandingan pola hujan antara data curah hujan CHIRPS terkoreksi dan simulasi koreksi bias luaran model RegCM4.4

(46)

Gambar 12 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan Simulasi 2. Secara umum tidak menjukkan adanya perbaikan sebaran curah hujan

(47)

Gambar 14 Perbandingan curah hujan CHIRPS terkoreksi dengan curah hujan luaran model iklim regional hasil koreksi menggunakan Simulasi 4. Secara umum memiliki pola spasial yang konsisten. Akan tetapi perlu perbaikan pada bulan Juli-Agustus-September

(48)

Nilai koefisien regresi polinomial pada Simulasi 5 terdapat pada Gambar 16. Perbedaan nilai koefisien yang paling besar terjadi pada bulan Mei dan bulan November. Hal tesebut terjadi karena adanya pengaruh perbedaan pola hujan sehingga untuk menyesuaikan pola hujan antara kedua data tersebut dibutuhkan nilai yang lebih besar.

Gambar 16 Nilai koefisien P1, P2 dan P3 dalam persamaan polinomial (Y= P3*X3

+ P2*X2 + P1*X + 0) pada Simulasi 5 yang digunakan untuk

Gambar

Tabel 2 Jumlah hotspot dalam periode 2001-2009 di Pulau Kalimantan
Gambar 1 Nilai (a)  radiative forcing dan (b) emisi CO2 dalam skenario RCPs.
Tabel 5 Data spasial yang digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan
Gambar 2 Diagram alir penelitian analisis risiko kebakaran hutan dan lahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

(H8) Perceived Usefulness (PU) atau persepsi manfaat menggunakan televisi internet memiliki hubungan yang negatif terhadap Expand Motivation (EM) atau motivasi untuk

Bapak Tamjidnor, S.Ag., M.Pd.I, selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan memberikan arahan penulisan skripsi yang sesuai

(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat, tanggal Pemotongan atau Pemungutan sebagaimana dimaksud pada

bahwa mengingat ketentuan Pasal 41 ayat (5) Undang- undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ditetapkan bahwa setiap penyertaan modal Pemerintah

Bernazar suatu kebiasaan masyarakat muslim yang telah lama di lakukan dalam kehidupan sehari-hari, di mana kebiasaan seperti ini dilakukan karena beberapa persoalan

Kesenjangan kepuasan (discrepancy gratifications) adalah perbedaan perolehan yang terjadi antara skor GS dan GO dalam mengkonsumsi media tertentu. Semakin kecil

Dalam eksepsinya Tergugat mengatakan bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili perkara tersebut, karena secara nyata gugatan yang diajukan oleh para Penggugat berpijak pada

Memang dalam pengurusan KTP dan KK oleh masyarakat yang dilimpahkan kepada pengurus desa ini memunculkan biaya baru bagi masyarakat, akan tetapi biaya ini memang