• Tidak ada hasil yang ditemukan

Application of Vapor Heat Treatment to Reduce Chilling Injury Symptoms and Maintain Quality of Papaya (Carica papaya).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Application of Vapor Heat Treatment to Reduce Chilling Injury Symptoms and Maintain Quality of Papaya (Carica papaya)."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN

VAPOR HEAT TREATMENT

UNTUK

MENEKAN GEJALA

CHILLING INJURY

DAN

MEMPERTAHANKAN MUTU BUAH

PEPAYA (

Carica papaya

)

NURHAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penerapan Vapor Heat Treatment untuk Menekan Gejala Chilling Injury dan Mempertahankan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya) adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

NURHAYATI. Penerapan Vapor Heat Treatment untuk Menekan Gejala Chilling Injury dan Mempertahankan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya). Dibimbing oleh ROKHANI HASBULLAH dan Y ARIS PURWANTO.

Pepaya merupakan buah yang mudah rusak sehingga memiliki umur simpan yang pendek sebagai akibat tingginya aktivitas metabolisme selama penyimpanan. Penyimpanan suhu rendah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk memperpanjang umur simpan buah pepaya. Akan tetapi penyimpanan pada suhu rendah (di bawah 10 oC) dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan dingin (chilling injury). Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan munculnya gejala chilling injury salah satunya adalah dengan perlakuan panas (heat treatment). Perlakuan panas (heat treatment) selain dapat menekan gejala chilling injury juga dapat mengontrol hama dan penyakit pascapanen serta dapat mempertahankan mutu buah. Terdapat tiga metode perlakuan panas yakni hot water treatment (HWT), hot air treatment (HAT) dan vapor heat treatment (VHT). Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pengaruh perlakuan panas metode vapor heat treatment (VHT) terhadap kerusakan dingin (chilling injury) buah pepaya yang disimpan pada suhu rendah serta mengkaji perubahan mutu buah pepaya setelah diberi perlakuan VHT dan disimpan pada suhu penyimpanan berbeda.

Penelitian ini menggunakan pepaya Calina (IPB-9) dengan berat antara 0.8-1.0 kg. Buah pepaya diperoleh dari kebun petani di Semplak, Bogor. Pepaya diberi perlakuan uap panas pada suhu 46.5 oC selama 15 dan 30 menit, kemudian didinginkan dengan air mengalir sampai suhu buah kembali normal. Buah kemudian disimpan pada suhu 5 oC, 13 oC dan suhu ruang (26-30 oC). Parameter yang diamati meliputi indeks chilling injury, laju respirasi, susut bobot, warna kulit dan daging buah, kekerasan, total padatan terlarut dan kandungan Vitamin C. Perlakuan VHT pada suhu 46.5 oC selama 15-30 menit mampu menekan munculnya gejala chilling injury dan mempercepat puncak klimakterik dua hari lebih awal. VHT pada suhu 46.5 oC selama 30 menit menekan penurunan susut bobot, mempertahankan kecerahan warna kulit dan daging serta kekerasan, mempercepat perubahan warna kulit, namun berpotensi menghilangkan total padatan terlarut dan kandungan Vitamin C buah pepaya. Penyimpanan suhu dingin menunda terjadinya puncak klimakterik dan perubahan warna kulit, menekan penurunan susut bobot, mempertahankan kekerasan buah dan tidak mempengaruhi total padatan terlarut serta kandungan Vitamin C namun menurunkan kecerahan kulit buah. Interaksi antara VHT dan suhu penyimpanan mempercepat perubahan warna kulit, mempertahankan warna daging buah dan kekerasan namun menurunkan total padatan terlarut dan kandungan Vitamin C. Perlakuan VHT pada suhu 46.5 oC selama 30 menit yang disimpan pada suhu 5 oC mengurangi gejala chilling injury dan mempertahankan mutu buah pepaya selama 3 minggu.

(5)

SUMMARY

NURHAYATI. Application of Vapor Heat Treatment to Reduce Chilling Injury Symptoms and Maintain Quality of Papaya (Carica papaya). Supervised by ROKHANI HASBULLAH dan Y ARIS PURWANTO.

Papaya (Carica papaya) is a perishable fruits with has limited postharvest shelf-life because of its high metabolic activities during storage. Low temperature storage is common method to extend shelf-life of papaya fruits. However, long term storage at low temperature (below 10 oC) are susceptible to chilling injury (CI). One of the effort can be applied to reduce chilling injury symptoms is heat treatment. Heat treatment not only reduce the chilling injury symptoms but also control pests and diseases and maintain postharvest fruit quality. There are three methods of heat treatment i.e hot water treatment (HWT), hot air treatment (HAT) and vapor heat treatment (VHT). The objective of this study was to examine the effect of vapor heat treatment in alleviating chilling injury and maintaining quality of papaya fruits at different temperature storage.

This research used papaya fruits cultivar Calina (IPB-9) with average weight of 0.8-1.0 kg. Papaya fruits were sourced from farmer orchad in Semplak, Bogor. Papaya fruits were treated in vapor heat at 46.5 oC for 15 and 30 minutes and following VHT, papaya fruits were cooled with water dip to adjust the temperature. After the treatment, papaya fruits were stored at 5 oC, 13 oC and room temperature (26-30 oC). Parameter measure involved chilling injury index, respiration rate, weight loss, peel and flesh yellowing, firmness, total soluble solids and Vitamin C contents.

The result showed that VHT at 46.5 oC for 15-30 minutes decreased chilling injury symptoms and accelerated climacteric peak two days earlier. Vapor heat treatment at 46.5 oC for 30 minutes decreased weight loss, maintained lightness of peel and flesh and its firmness, accelerated peel yellowing, but decreased total soluble solids and Vitamin C contents. Low temperature storage delayed climacteric peak, peel yellowing, maintained firmness and decreased peel lightness, however it did not affect total soluble solids and Vitamin C contents. The interaction of VHT and temperature storage accelerated peel yellowing, maintained flesh yellowing and firmness but reduce total soluble solids and Vitamin C contents. It was concluded that VHT at 46.5 oC for 30 minutes was the best treatment to reduce chilling injury and maintain the papaya quality for three weeks.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

PENERAPAN

VAPOR HEAT TREATMENT

UNTUK

MENEKAN GEJALA

CHILLING INJURY

DAN

MEMPERTAHANKAN MUTU BUAH

PEPAYA (

Carica papaya

)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Penerapan Vapor Heat Treatment untuk Menekan Gejala Chilling Injury dan Mempertahankan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya) Nama : Nurhayati

NIM : F153110051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Rokhani Hasbullah, MSi Ketua

Dr Ir Yohanes Aris Purwanto, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen

Prof Dr Ir Sutrisno, Magr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Juli 2013 ini adalah chilling injury, dengan judul Penerapan Vapor Heat Treatment untuk Menekan Gejala Chilling Injury dan Mempertahankan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya) berhasil diselesaikan. Penulis sangat menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak akan pernah dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas bila tidak dibimbing dan didukung oleh berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung.

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih kepada Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menempuh pendidikan dan DIKTI yang telah memberikan beasiswa pendidikan melalui Beasiswa Unggulan DIKTI 2011. Ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan kepada Dr Ir Rokhani Hasbullah, MSi dan Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan kritik, saran, arahan dan bimbingan; Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr selaku Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen. Terimakasih juga ditujukan kepada Dr Ir Lilik Pujantoro Eko Nugroho, MAgr selaku dosen penguji luar komisi atas saran yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada adik terkasih, keluarga Ir H Kiswan Muhammad selaku orang tua asuh atas segala doa, cinta, kasih sayang dan dukungannya.

Selain itu Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh Laboran,

adik-adik TEP ‟46 (Awanis Wardani, Ginna Annisa Yuliafatima dan Nurahma Refilia) atas bantuannya selama penelitian, Staf Tata Usaha Teknologi Pascapanen, teman-teman TPP 2011 (Bu Rahma Nurdjannah, Pak Agus Supriyatna, Pak Nurman Susilo, Yenny Anggraini dan Asmeri Lamona) yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu; sahabat seperjuangan (Merry Sabed, Yeni Midel Pebrulita, Sri Wardani, Heny Maryati, M. Nur Iman, Jaini Fakhrudin dan Risnawati) serta adik sekaligus sahabat di Kost Aisyah Bara 6 atas segala bantuan dan doanya. Semoga ukhuwah yang terjalin selama ini bisa tetap terjaga hingga akhir hayat.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Pepaya dan Penanganan Pascapanen 4

Respirasi 5

Perlakuan Panas (Heat Treatment) 6

Penyimpanan Suhu Rendah (Cold treatment) dan Chilling Injury 8

Perubahan Mutu 9

METODOLOGI 10

Tempat, Alat dan Bahan Penelitian 10

Parameter Pengukuran 11

Rancangan Percobaan 14

HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Chilling Injury 15

Laju Respirasi 16

Perubahan mutu 19

SIMPULAN 36

DAFTAR PUSTAKA 37

(12)

DAFTAR TABEL

1 Hasil penelitian heat treatment untuk mengatasi chilling injury pada

beberapa buah 7

2 Suhu optimum untuk penyimpanan beberapa produk hortikultura 10

DAFTAR GAMBAR

1 Indeks kematangan buah pepaya 5

2 Beberapa gejala chilling injury 8

3 Tingkat kematangan pepaya yang digunakan 11

4 Diagram alir penelitian 12

5 Sistem notasi warna Hunter 13

6 Indeks chilling injury setelah 21 hari penyimpanan pada suhu 5 oC 16 7 Perubahan laju produksi CO2 buah pepaya pada suhu 5 oC 17 8 Perubahan laju produksi CO2 buah pepaya pada suhu 13 oC 18 9 Perubahan laju produksi CO2 buah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC) 18 10 Peningkatan susut bobot buah pepaya pada suhu 5 oC 20 11 Peningkatan susut bobot buah pepaya pada suhu 13 oC 21 12 Peningkatan susut bobot buah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC) 21 13 Perubahan nilai ohue kulit buah pepaya pada suhu 5 oC 22 14 Perubahan nilai ohue kulit buah pepaya pada suhu 13 oC 22 15 Perubahan nilai ohue kulitbuah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC) 23 16 Perubahan nilai L (kecerahan) kulit buah pepaya pada suhu 5 oC 24 17 Perubahan nilai L (kecerahan) kulit buah pepaya pada suhu 13 oC 25 18 Perubahan nilai L (kecerahan) kulit buah pepaya pada suhu ruang

(26-30 oC) 25

19 Perubahan nilai ohue daging buah pepaya pada suhu 5 oC 26 20 Perubahan nilai ohue daging buah pepaya pada suhu 13 oC 27 21 Perubahan nilai ohue daging buah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC) 27 22 Perubahan nilai L (kecerahan) daging buah pepaya pada suhu 5 oC 28 23 Perubahan nilai L (kecerahan) daging buah pepaya pada suhu 13 oC 28 24 Perubahan nilai L (kecerahan)daging buah pepaya pada suhu ruang

(26-30 oC) 28

25 Perubahan nilai kekerasan buah pepaya pada suhu 5 oC 30 26 Perubahan nilai kekerasan buah pepaya pada suhu 13 oC 30 27 Perubahan nilai kekerasan buah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC) 30 28 Perubahan nilai total padatan terlarut buah pepaya pada suhu 5 oC 32 29 Perubahan nilai total padatan terlarut buah pepaya pada suhu 13 oC 32 30 Perubahan nilai total padatan terlarut buah pepaya pada suhu ruang

(26-30oC) 33

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil sidik ragam laju produksi CO2 44

2 Hasil sidik ragam susut bobot buah pepaya 46

3 Hasil sidik ragam ohue kulit buah pepaya 47

4 Hasil sidik ragam kecerahan (L) kulit buah pepaya 49

5 Hasil sidik ragam ohue daging buah pepaya 51

6 Hasil sidik ragam nilai kecerahan (L) daging buah pepaya 52

7 Hasil sidik ragam kekerasan buah pepaya 53

8 Hasil sidik ragam total padatan terlarut buah pepaya 54 9 Hasil sidik ragam kandungan Vitamin C buah pepaya 55 10 Hasil uji lanjut Duncan terhadap perubahan mutu buah pepaya pada

penyimpanan hari ke-6 56

11 Hasil uji lanjut Duncan terhadap perubahan mutu buah pepaya pada

penyimpanan hari ke-12 57

12 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh VHT terhadap buah pepaya pada

suhu 5 oC 57

13 Hasil uji lanjut Duncan terhadap laju produksi CO2 buah pepaya 58 14 Hasil uji lanjut Duncan terhadap kenaikan susut bobot buah pepaya 60 15 Hasil uji lanjut Duncan terhadap ohue kulit buah pepaya 61 16 Hasil uji lanjut Duncan terhadap nilai kecerahan (L) kulit buah

pepaya 63

17 Hasil uji lanjut Duncan terhadap ohue daging buah pepaya 65 18 Hasil uji lanjut Duncan terhadap nilai kecerahan (L) daging buah

pepaya 66

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berbicara mengenai ekspor produk hortikultura khususnya buah-buahan, tidak bisa lepas dari peraturan karantina yang diterapkan oleh negara pengimpor buah terutama negara maju. Peraturan karantina ini diterapkan dengan ketat oleh negara maju seperti Amerika dan Jepang (Marsudi et al. 2007) yang dimaksudkan untuk mencegah penyebarluasan hama maupun penyakit pascapanen dari negara asal ke negara tujuan yang kemungkinan terinfestasi pada produk sejak di lapangan. Tidak jarang peraturan ini menjadi salah satu penghambat peningkatan ekspor buah-buahan Indonesia (Batan kembangkan iradiasi untuk kendalikan lalat mangga 2012). Terdapat beberapa teknologi yang digunakan diantaranya iradiasi, fumigasi dan perlakuan pemanasan (heat treatment).

Penerapan iradiasi pada dosis rendah selain dapat mencegah infestasi hama dan penyakit juga dapat memperlambat pematangan buah dan memperpanjang umur simpan, namun proses iradiasi dikhawatirkan menyebabkan mutagen pada produk sehingga berbahaya bila dikonsumsi. Sementara penggunaan fumigasi sudah dilarang sejak tahun 1984 (Lurie 1998) karena fumigan dapat meninggalkan residu pada produk sehingga berbahaya bagi kesehatan konsumen (Barantan 2007). Alternatif pengganti yang dapat dilakukan adalah dengan perlakuan pemanasan pada produk yang mana perlakuan ini lebih aman dan tidak menimbulkan kekhawatiran seperti kedua teknologi sebelumnya.

Salah satu buah yang dapat dijadikan produk hortikultura unggulan adalah buah papaya karena produksinya yang tidak mengenal musim. Buah pepaya termasuk buah tropis yang banyak diminati masyarakat terutama di negara subtropis di mana pohon pepaya sulit tumbuh. Hanya saja ekspor buah pepaya masih rendah dikarenakan kualitas produk yang rendah (Manuwoto et al. 2003; Bron dan Jacomino 2006). Kualitas buah yang diinginkan konsumen diantaranya rasa yang manis, daging tebal, aroma khas pepaya dan warna yang menarik serta bebas dari kerusakan akibat hama dan penyakit maupun kerusakan mekanis. Untuk mendapatkan kualitas buah seperti keinginan konsumen selain dengan budidaya yang baik juga sangat diperlukan adalah penanganan pascapanen yang tepat. Penanganan pascapanen tidak hanya ditujukan untuk mendapatkan produk yang baik tapi juga ditujukan untuk mencari solusi bagaimana agar produk bertahan selama mungkin dengan kualitas seperti keinginan konsumen. Hal ini berkaitan dengan waktu yang diperlukan produk dari lapangan menuju pasar yang kemungkinan akan ditempuh dalam waktu lama seperti halnya pasar dunia (ekspor).

(16)

produk. Penyimpanan dingin dapat mengurangi laju respirasi, menekan berkembangnya infestasi hama dan penyakit setelah panen serta dapat menunda pematangan dan senescence (Aghdam et al. 2013).

Skog (1998) menyebutkan bahwa suhu optimum untuk penyimpanan buah pepaya adalah 7-13 oC. Hasil penelitian yang dilakukan Hamaisa et al. (2007) menyebutkan pepaya yang disimpan pada suhu 10 oC memiliki daya simpan terlama diantara perlakuan yang lain yaitu selama 20 hari dan hasil penelitian Syaefullah et al. (2008) menyebutkan untuk meminimalkan perubahan mutu pada buah pepaya maka penyimpanan dilakukan pada suhu 5 oC, namun bila pepaya disimpan di bawah suhu 12 oC dapat menyebabkan terjadinya chilling injury (Dirjen Hortikultura 2011) sehingga produk tidak bisa disimpan pada suhu yang sebenarnya dapat memperpanjang dan mempertahankan produk lebih lama.

Carillo dan Yahia (2004) melaporkan bahwa heat treatment dapat mengurangi kerentanan buah pepaya terhadap kerusakan yang diakibatkan suhu dingin. Perlakuan panas (heat treatment) selain dapat mengontrol hama dan penyakit pascapanen, mengurangi kerusakan fisiologi, memperlambat pematangan dan memperpanjang umur simpan, juga dapat mengurangi terjadinya chilling injury (Schirra et al. 2004; Lu et al. 2010; Wang 2010). Heat treatment terdiri dari hot water treatment, hot air treatment dan vapor heat treatment (Lurie 1998). Hot water treatment terbukti dapat menunda pencokelatan pada buah pisang yang disimpan pada suhu 4 oC (Promyou et al. 2008). Hasil penelitian Carrillo dan Yahia (2004) menunjukkan bahwa perlakuan hot air treatment pada buah pepaya selama 4 jam pada suhu 48.5 oC mampu menekan gejala chilling injury. Wangchai et al. (2002) melaporkan bahwa proses VHT dapat mengurangi tingkat chilling injury buah mangga varietas “Nam Dok Mai”. Kasim MU dan Kasim H (2011) juga menyatakan pendapat yang sama mengenai VHT yaitu dapat mencegah penurunan ion leakage (chilling injury), mengurangi pelunakan dan mempertahankan warna hijau pada buah mentimun.

Metode perlakuan panas memiliki beberapa kekurangan diantaranya hot water treatment (HWT) hanya bisa mengontrol hama atau penyakit yang berada di permukaan atau lapisan awal di bawah kulit buah sementara larva pada buah pepaya tidak hanya berada di lapisan bawah kulit tapi berada di bagian daging yang lebih dalam sehingga tidak efektif bila menggunakan HWT (Hallman 2000) sedangkan hot air treatment (HAT) memerlukan waktu yang lama antara 12-96 jam untuk suhu 38-46 oC sehingga kurang efisien (Lurie 1998). Fakta lain telah diteliti oleh Schirra et al. (2004) bahwa perlakuan HWT dan HAT memperbesar susut bobot produk meski dapat menekan gejala chilling injury. Penerapan vapor heat treatment sebelum penyimpanan pada suhu rendah dapat dijadikan alternatif lain sehingga perlakuan panas pada buah pepaya lebih efektif dan efisien. Dengan demikian VHT memiliki manfaat lebih yakni selain buah terbebas dari hama dan penyakit pascapanen juga dapat menekan terjadinya chilling injury sehingga buah dapat disimpan pada suhu rendah tanpa mengalami penurunan kualitas.

Perumusan Masalah

(17)

mengakibatkan kualitas buah rendah. Produk hortikultura setelah panen masih tetap mengalami proses kehidupan yang ditandai dengan terjadinya respirasi. Respirasi akan menyebabkan terjadinya pematangan dan senescence. Berbagai metode telah dilakukan untuk menjaga kesegaran produk buah-buahan selama pascapanen hingga berada di tangan konsumen. Salah satu teknik yang dapat dilakukan adalah dengan penyimpanan pada suhu rendah (di bawah suhu optimum).

Suhu menjadi batasan dalam penyimpanan produk hortikultura karena suhu mempengaruhi aktivitas enzim metabolisme. Kendala yang dihadapi khususnya oleh produk hortikultura daerah tropis adalah penyimpanan pada suhu rendah/ dingin yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan berupa chilling injury. Suhu penyimpanan yang menyebabkan terjadinya chilling injury umumnya berkisar antara 12.5 oC sampai beberapa derajat mendekati 0 oC.

Di lain pihak, menurut Carillo dan Yahia (2004) bila pepaya tidak disimpan pada suhu dingin akan mudah mengalami perubahan warna dan pembusukan hanya dalam beberapa hari sebagai akibat proses pematangan yang cepat dan mudah terinfeksi penyakit pascapanen. Suhu penyimpanan pada buah pepaya yang lebih rendah dari 10 oC dapat menyebabkan terjadinya chilling injury (Wang 2010). Gejala kerusakan pepaya pada suhu dingin berupa pengeriputan kulit (Romero et al. 2003), gagal matang, daging buah berair dan gagalnya hidrolisis sukrosa menjadi gula pereduksi (Suleman et al. 2004).

Chilling injury merupakan hambatan lain pada buah pepaya apabila akan dilakukan ekspor ke negara subtropis terutama pada musim dingin. Perlakuan panas diduga dapat menekan gejala tersebut selain dapat menghambat infestasi hama dan penyakit sehingga perlakuan panas pada buah-buahan bermanfaat ganda. Hasil penelitian Hutabarat (2008) pada buah tomat yang disimpan pada suhu 5 oC menunjukkan gejala chilling injury dapat ditekan dengan heat shock treatment selama 20 menit pada suhu 42 oC dan hasil penelitian Hasbullah et al. (2008a, 2008b) perlakuan panas berupa VHT selama 15-30 menit pada suhu 46.5 oC dapat mengendalikan hama dan penyakit buah pepaya sampai penyimpanan hari ke 21 tanpa mempengaruhi kualitas buah. Dengan demikian perlakuan heat treatment berupa VHT sebelum dilakukan penyimpanan suhu rendah diharapkan dapat mencegah terjadinya chilling injury sehingga buah dapat sampai ke tangan konsumen sesuai dengan kriteria yang diinginkan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. mengkaji pengaruh perlakuan panas metode vapor heat treatment (VHT) terhadap kerusakan dingin (chilling injury) buah pepaya yang disimpan pada suhu rendah.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Pepaya dan Penanganan Pascapanen

Pepaya (Carica papaya L.) termasuk kelas Dicotyledoneae, genus Carica. Tanaman pepaya memiliki tiga tipe bunga dalam satu pohon yaitu bunga jantan, bunga betina dan bunga hermaprodit (sempurna). Bunga yang menghasilkan buah dengan nilai ekonomis yang tinggi (Sobir 2010) adalah bunga hermaprodit, sesuai varietas dengan daging buah yang tebal. Dalam menentukan standar mutu buah pepaya digunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) 4230-2009), berlaku untuk varietas komersil yang dipasarkan untuk konsumsi segar setelah penanganan dan pengemasan. Berdasarkan SNI 4230-2009 terdapat tiga kelas buah pepaya yakni kelas super, kelas A dan kelas B dengan bobot minimal dari ketiga kelas tersebut adalah 200 gram dengan bentuk dan ukuran seragam.

Kelas super : mutu paling baik, varietas tipe komersil, bebas dari kerusakan kecuali kerusakan kecil.

Kelas A : mutu baik, varietas/tipe komersil dengan kerusakan kecil yang diperbolehkan seperti penyimpangan bentuk, kulit buah memar sedikit, terbakar sinar matahari atau kena getah buah dan atau total kerusakan tidak lebih dari 10% luas permukaan kulit buah dan tidak mempengaruhi daging buah.

Kelas B : mutu baik, varietas/tipe komersil dengan kerusakan yang diperbolehkan seperti penyimpangan bentuk, warna, kerusakan pada kulit buah akibat memar, terbakar sinar matahari, terkena getah, sedikit serangan hama dan penyakit dengan total kerusakan 15% dari luas permukaan kulit serta tidak mempengaruhi daging buah.

Rukmana (1995) menjelaskan pepaya dapat dipanen bila telah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) secara visual buah telah berwarna kuning sekitar ¾ bagian buah, 2) getah telah berwarna kuning dan encer, 3) tangkai berwarna kuning atau semburat (garis) kuning pada ujung buah dan 4) ukuran buah telah maksimal. Panen perdana dapat dilakukan mulai umur delapan atau sembilan bulan sejak tanam (Agromedia 2009) tergantung varietas. Varietas unggul seperti IPB-1 dan lainnya dapat dipanen pada umur 4-5.5 bulan. Panen dilakukan dengan cara memotong tangkai buah menggunakan pisau atau memutar tangkai dengan tangan. Setelah dipanen, buah diletakkan di dalam wadah atau keranjang yang dilapisi dengan koran untuk mencegah terjadinya gesekan buah dengan wadah (Sobir 2010).

(19)

C 78 mg, kalsium 23 mg, zat besi 1.7 mg dan fosfor sebanyak 12 mg (Direktorat Tanaman Buah 2008).

Gambar 1 Indeks kematangan buah pepaya Keterangan :

green fruit : kulit buah berwarna hijau, daging buah keras dan berwarna putih, bentuk biji telah sempurna namun masih berwarna putih atau sedikit gelap

1 : kulit berwarna hijau terang mendekati warna kuning, daging buah mulai berwarna jingga pada beberapa tempat namun masih keras dan masih banyak mengandung getah yang cair

2 : kulit buah berwarna hijau terang dan telah terdapat semburat kuning, daging buah yang dekat dengan biji telah berwarna jingga dan daging yang dekat dengan kulit masih berwarna putih, masih keras dan mengandung getah yang sedikit mengental

3 : semburat kuning makin luas, daging buah hampir seluruhnya berwarna jingga kecuali yang dekat dengan kulit dan masih keras namun getah mulai sedikit

4 : permukaan kulit buah berwarna jingga namun masih terdapat warna hijau pada beberapa tempat, daging buah seluruhnya jingga, lebih lunak, kandungan getah sedikit, namun masih tetap keras untuk dikonsumsi

5 : warna kulit telah kuning sempurna, daging buah sudah bisa dikonsumsi dan tidak terdapat getah

6 : kondisi sama dengan stage 5 namun warna lebih jingga pada kulit dan daging buah lebih lunak tapi masih layak untuk dikonsumsi (Basulto et al. 2009).

Respirasi

(20)

respirasi berarti kehilangan nilai gizi makanan (nilai energi), berkurangnya kualitas rasa, khususnya rasa manis dan kehilangan berat kering ekonomis (khususnya bagi komoditas yang akan didehidrasi). Glukosa yang dibutuhkan sebagai substrat respirasi diperoleh dari cadangan makanan yang tersimpan dalam bentuk pati seperti pada buah, umbi atau bentuk lainnya. Secara sederhana proses respirasi dapat digambarkan dengan persamaan reaksi kimia berikut :

C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + 674 kkal energi (Winarno 2002) Laju respirasi dapat dijadikan petunjuk untuk menduga daya simpan produk hortikultura setelah panen, terutama untuk produk klimakterik. Bahan dengan laju respirasi tinggi umumnya memiliki umur simpan pendek. Laju respirasi dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Phan et al. (1986) menjelaskan yang termasuk faktor internal diantaranya tingkat perkembangan (umur dan jenis jaringan), substrat jaringan (perbandingan oksigen dan karbondioksida dalam jaringan), ukuran produk, dan pelapis alami. Faktor eksternal meliputi suhu, keberadaan etilen, perbandingan gas (oksigen dan karbondioksida) di udara, zat pengatur tumbuh dan kerusakan pada buah.

Perlakuan Panas(Heat Treatment)

Penanganan produk pertanian menggunakan perlakuan panas merupakan alternatif pengganti bahan kimia dalam mengontrol dan mengendalikan hama dan penyakit pascapanen dan lebih aman karena tidak meninggalkan residu. Perlakuan panas juga merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam menekan gejala kerusakan akibat suhu rendah (chilling injury). Hasil penelitian mengenai perlakuan panas dalam mengatasi chilling injury dapat dilihat pada Tabel 1.

Perlakuan panas harus memperhatikan suhu dan waktu. Suhu dalam perlakuan panas berbeda-beda untuk setiap buah. Penggunaan suhu tinggi dan waktu yang lama mengakibatkan mutu produk rusak yang dikenal dengan heat injury berupa pencokelatan pada kulit dan adanya pelunakan bagian dalam buah. Pengaruh perlakuan panas terhadap suatu produk berbeda-beda sehingga faktor suhu dan lama perlakuan sangat menentukan hasil yang ingin dicapai tanpa merusak produk.

1. Hot Water Treatment (HWT)

(21)

Tabel 1 Hasil penelitian heat treatment untuk mengatasi chilling injury pada beberapa buah

2.Hot Air Treatment (HAT)

Hot Air Treatment merupakan salah satu prosedur yang digunakan dalam karantina tanaman (Lurie 1998) di mana perlakuan panas dengan mengalirkan udara ini dapat digunakan sebagai salah satu disinfestasi lalat buah. Aplikasi HAT adalah dengan menempatkan buah atau sayuran dalam chamber yang dipanaskan dengan kipas angin sebagai sumber udara atau dengan udara panas buatan di mana kecepatan sirkulasi udara dikontrol dengan tepat. HAT memiliki kelebihan di mana produk tidak akan mengalami kelembaban yang tinggi sebagai akibat waktu pemanasan yang tercapai lambat seperti pada treatment yang menggunakan uap (VHT). Kelemahan HAT adalah memerlukan waktu yang lama antara 12-96 jam untuk suhu 38-46 oC sehingga kurang efisien untuk digunakan sebagai perlakuan karantina (Lurie 1998).

3. Vapor Heat Treatment (VHT)

Vapor Heat Treatment merupakan metode yang paling kecil resikonya dalam menimbulkan luka dibanding perlakuan heat treatment yang lain. VHT merupakan perlakuan dalam karantina bahan pertanian menggunakan uap jenuh yang berasal dari penguapan air pada temperatur 40-50oC. Pemindahan panas dilakukan secara kondensasi pada permukaan buah yang lebih dingin. Perlakuan terdiri dari periode pemanasan di mana dapat berlangsung cepat atau lebih lama tergantung pada tingkat sensitivitas komoditas pada suhu. Tahap selanjutnya merupakan tahap pencapaian suhu pusat buah sesuai dengan suhu yang dikehendaki dengan waktu tertentu. Tahap terakhir merupakan tahap pendinginan suhu buah sehingga sama dengan suhu lingkungan (Lurie 1998).

Buah Perlakuan Suhu Perlakuan Suhu Penyimpanan

(22)

Penyimpanan Suhu Rendah (Cold treatment) dan Chilling Injury

Isu utama yang membatasi ekspor buah-buahan adalah serangan hama dan penyakit pasca panen. Teknologi karantina yang umum digunakan dalam mencegah penyebarluasan hama penyakit diantaranya iradiasi, fumigasi, perlakuan dingin (cold treatment) dan perlakuan panas (heat treatment). Perlakuan dingin terbagi dalam dua cara yaitu penyimpanan pada suhu 10 oC sampai -2 oC (penyimpanan dingin) dan penyimpanan beku (di bawah suhu -18 o

C).

Perlakuan dingin khususnya untuk produk hortikultura daerah tropis kurang efektif karena dapat menimbulkan kerusakan dingin (chilling injury). Gejala chilling injury dapat diamati dari kenaikan respirasi dan produksi etilen, terdapat bintik pada kulit buah, penurunan kecepatan pertumbuhan, pematangan tidak normal, pelunakan, terkelupasnya kulit, kehilangan favor khasnya, rasa tawar serta kenaikan jumlah ion yang dikeluarkan dari membran sel (ion leakage) (BPTP 2001). Beberapa gejala chilling injury dapat dilihat pada Gambar 2.

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 2 Beberapa gejala chilling injury Keterangan:

gambar a: chilling injury pada mentimun berupa permukaan buah tidak rata, berkerut dan mengalami penguningan pada suhu penyimpanan 0 oC gambar b: chilling injury pada paprika jenis Red paprika dengan gejala berupa

buah berkerut, permukaan berlubang/bergelombang, pembentukan warna merah tidak sempurna

gambar c: chilling injury pada apel yang disimpan pada suhu 0 oC berupa daging buah berwarna cokelat

gambar d: chilling injury pada tomat berupa gagal matang yang disimpan pada suhu 3 oC

gambar e: chilling injury pada blewah yang disimpan pada suhu 0 oC berupa pembusukan (Skog 1998).

(23)

spots), luka seperti luka bakar dan rasa yang tawar. Suhu penyimpanan yang dianjurkan untuk beberapa komoditi yang rentan terhadap chilling injury serta gejala yang dialami dapat dilihat pada Tabel 2.

Perubahan Mutu

Buah pepaya termasuk buah klimakterik. Winarno (2002) mengungkapkan proses klimakterik terjadi akibat adanya reaksi penggabungan antara permeabilitas sel, enzim dan substrat sehingga buah menjadi matang. Terjadi proses metabolisme berupa perombakan cadangan makanan sampai cadangan makanan tersebut habis, yang dikenal dengan pembusukan. Proses ini berlangsung dalam waktu yang relatif singkat sehingga buah tidak tahan lama disimpan dan dipasarkan.

Buah pepaya selama pematangan akan mengalami beberapa perubahan yang dapat dilihat secara visual seperti perubahan warna, tekstur, aroma dan perubahan kimia serta perubahan bobot (bentuk) buah. Penurunan bobot buah mempunyai korelasi positif dengan respirasi dan jumlah air yang dilepaskan (transpirasi). Setelah dipanen, buah akan mengalami respirasi dan transpirasi secara terus menerus sehingga menyebabkan buah layu dan mengkerut. Tanda kematangan yang paling mudah dilihat adalah terjadinya perubahan warna yaitu hilangnya warna hijau (Winarno 2002) dan menyebabkan timbulnya karotenoid atau pigmen lain.

Perubahan tekstur berhubungan dengan kelenturan dinding sel. Menurut Winarno (2002) dinding sel terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin dan protein. Gabungan komponen tersebut menyebabkan dinding sel kuat. Komponen yang paling berperan dalam kelunakan dinding sel adalah hemiselulosa dan pektin. Zat pektin merupakan polimer asam galakturonat yang tidak larut dalam air, terdapat dalam bentuk protopektin, asam pektinat, asam pektat dan pektin itu sendiri. Dinding sel yang lentur (lunak) disebabkan adanya penurunan jumlah pektin yang tidak larut (proropektin) menjadi pektin (pektat dan asam pektinat) yang larut. Aktivitas tersebut dipicu oleh enzim pektin metil esterase dan poligalakturonase sehingga terjadi perubahan tekstur dari keras menjadi lunak.

(24)

Tabel 2 Suhu optimum untuk penyimpanan beberapa produk hortikultura Komoditas Suhu simpan

minimum (oC) Gejala chilling injury

Apel 0–7 daging buah berwarna cokelat, rasa asam, tekstur seperti spon.

Alpukat 7–13 penggelapan pada jaringan, pembentukan warna yang tidak sempurna pada daging dan kulit buah, tidak beraroma dan berbau, pematangan tidak normal.

Pisang > 13 buah masih berwarna hijau: cokelat dibawah permukaan kulit

buah matang: kulit berwarna cokelat sampai hitam, hilangnya rasa dan matang tidak normal.

Mentimun 7–10 permukaan buah tidak rata, terserang cendawan berupa layu fusarium dan busuk lain yang disebabkan bakteri.

Anggur 10–15 kulit buah berwarna cokelat yang tidak merata, keluarnya air dari dalam dan luar jaringan serta aroma seperti fermentasi.

Melon 7–13 kulit buah lunak, warna kelabu atau cokelat, permukaan buah busuk.

Jeruk 2–5 sama seperti anggur

Mangga > 13 warna buah kelabu/gelap, permukaan buah tidak rata/bergelombang, gagal matang, aroma berkurang dan rentan terhadap busuk buah akibat cendawan. Papaya 7–13 terdapat lubang pada permukaan buah, warna buah

cokelat dan pematangan tidak sempurna.

Nenas 7–13 daging berair, diikuti dengan pencokelatan atau hitam.

Tomat 7–13 tekstur seperti karet, daging berair, matang tidak teratur dan biji berwarna cokelat.

Semangka 10–15 permukaan tidak rata, kehilangan aroma, warna merah buah berkurang.

Sumber : Skog 1998.

METODOLOGI

Tempat, Alat dan Bahan Penelitian

(25)

adalah buah pepaya kultivar Calina (IPB-9) berukuran antara 0.8–1.0 kilogram yang dipanen pada indeks kematangan 2 seperti pada Gambar 3 sebanyak 270 sampel.

Gambar 3 Tingkat kematangan pepaya yang digunakan

Peralatan yang digunakan terdiri dari VHT chamber, thermorecorder, cold storage, chamber respirasi, cosmotector, chromameter, refraktrometer, rheometer, neraca analitik, blender, peralatan titrasi dan peralatan lain yang menunjang penelitian.

Buah pepaya diperoleh dari kebun petani di daerah Semplak, Bogor. Setelah buah dipanen, dilakukan sortasi kemudian dibungkus kertas koran dan dimasukkan ke kardus untuk selanjutnya dibawa ke Lab. Siswadhi Soeparjo. Buah dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan getah dan kotoran kemudian dilakukan VHT pada suhu 46.5 oC selama 15 dan 30 menit setelah suhu pusat buah mencapai 45.5-46.0 oC. Suhu buah selama VHT dicatat menggunakan thermorecorder yang dihubungkan dengan termokopel. Setelah perlakuan panas, buah dikeluarkan dari VHT chamber dan didinginkan dengan air mengalir hingga suhu buah kembali normal dan dikeringanginkan. Setelah kering, buah dibawa ke Lab. TPPHP dan disimpan sesuai dengan perlakuan suhu yakni suhu 5 oC, 13 oC dan suhu ruang (26-30 oC). Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Parameter Pengukuran

Parameter yang diamati terdiri dari:

1. Indeks chilling injury (Sayyari et al. 2011).

Indeks Chilling injury merupakan pengamatan yang dinilai secara individu pada tiap sampel buah dengan 4 skala berdasarkan persentase gejala yang muncul pada buah (pengeriputan kulit, pencokelatan maupun lubang pada buah). Pengamatan dilakukan secara visual setiap 3 hari sekali pada buah yang akan didestruktif. Kategori skor meliputi: 0 (tidak terdapat gejala), 1 (gejala 1-25%), 2 (gejala 26-50%) dan 3(>51%) dan dihitung berdasarkan rumus:

CII=Ʃ

(26)

Gambar 4 Diagram alir penelitian 2. Laju respirasi

Penentuan laju respirasi dilakukan dengan mengukur perubahan gas CO2 yang dihasilkan buah pepaya. Pengukuran dilakukan dengan memasukkan buah pepaya ke dalam stoples dengan volume 3310 ml. Stoples ditutup dan di sekeliling penutup dilapisi lilin untuk mencegah kebocoran gas. Selang pada penutup stoples ditutup dengan penjepit.

Volume gas CO2 diukur menggunakan cosmotector setelah buah disimpan selama 2 jam, 4 jam dan 6 jam setelah penutupan. Pengukuran dilakukan setiap hari selama penyimpanan. Laju produksi gas CO2 dan laju konsumsi O2 (ml/kg.jam) dihitung dengan persamaan Kays (1991) sebagai berikut:

R= ;

di mana: R = laju respirasi (ml kg-1.jam-1) V = volume bebas ruang (ml) W = berat segar produk (kg) t = waktu (jam)

x = konsentrasi gas CO2 dan O2.(%)

VHT suhu 46.5 oC selama 30 menit Tanpa VHT

Penyimpanan VHT suhu 46.5 oC

selama 15 menit

Suhu 5 oC Suhu 13 oC Suhu Ruang (26-30 oC)

Pengamatan :

1. Respirasi setiap hari :

2. Perubahan mutu (tiap 3 hari) : - Susut bobot

- Warna kulit dan daging buah - Kekerasan

- Total padatan terlarut - Kadar Vitamin C 3. Pengamatan chilling injury.

Buah pepaya

(27)

3. Susut bobot

Pengukuran susut bobot dilakukan selama penyimpanan setiap 3 kali sehari. Persamaan yang digunakan untuk mengukur susut bobot sebagai berikut:

Susut bobot =

x 100%

keterangan: Wo = berat bahan diawal penyimpanan, Wa = berat bahan diakhir penyimpanan. 4. Warna

Warna kulit dan daging buah diukur menggunakan chromameter untuk mendapatkan nilai L, a* dan b*. Pengukuran warna kulit buah dilakukan pada sampel yang sama setiap hari dan pengukuran warna daging buah dilakukan secara destruktif setiap 3 hari sekali.

Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan dengan nilai L=0 (hitam) dan L=100 (putih). Nilai a* terdiri dari +a* yang menunjukkan warna merah dengan nilai 0 hingga 60 dan –a*menunjukkan warna hijau dengan nilai 0 hingga -60. Nilai b* terdiri dari +b* yang menunjukkan warna kuning dengan nilai 0 hingga 60 dan nilai –b* yang menunjukkan warna biru dengan nilai 0 hingga -60. Hasil pengukuran nilai a* dan b* dikonversikan ke dalam derajat hue (ohue) merupakan deskripsi warna murni yang dominan dalam campuran beberapa warna melalui persamaan:

o

hue = tan-1(b*/a*)

di mana ohue : 0 = warna merah keunguan 180 = hijau-biru

90 = kuning 270 = biru

Gambar 5 Sistem notasi warna Hunter 5. Kekerasan

(28)

Buah yang matang akan lebih mudah ditembus jarum dibanding buah yang mentah.

6. Total padatan terlarut (TPT).

Pengambilan data TPT dilakukan menggunakan refraktrometer digital setiap 3 hari sekali. Daging buah pepaya dihaluskan sampai diperoleh airnya. Air tersebut ditempatkan pada hand refraktrometer. Sebelum dan sesudah pembacaan, refraktrometer dibersihkan dengan aquades. Angka yang tertera pada layar menunjukkan kadar total padatan terlarut, dinyatakan dengan satuan obrix.

7. Pengukuran kandungan Vitamin C (titrasi iodometri)

Kadar Vitamin C diukur menggunakan metode titrasi iodimetri (titrasi langsung dengan larutan baku iodium 0.01 N). Indikator amilum 1% dibuat dengan melarutkan 10 g pati dalam 1 l aquades yang sedang mendidih. Sampel ditimbang sebanyak 10 g dan diblender kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Sampel diencerkan dengan menggunakan aquadest hingga tanda batas, kemudian dikocok sampai homogen. Larutan sampel dipipet sebanyak 25 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan indikator amilum 1% sebanyak 1 ml. Dilakukan titrasi dengan larutan I2 0.01 N sampai terjadi perubahan warna menjadi biru. Setelah didapatkan volume titrasi iodium, maka kandungan Vitamin C dihitung dengan persamaan:

keterangan : fp = faktor pengenceran (100 ml/25 ml)

ekv = equivalen (mg/ml), 1 ml iodium = 0,88 mg asam askorbat.

Rancangan Percobaan

Percobaan menggunakan rancangan faktorial yang disusun secara Acak Lengkap (Faktorial RAL) dengan dua faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah vapor heat treatment (V) yang terdiri dari 3 taraf yaitu tanpa VHT (V1), VHT pada suhu 46.5 oC selama 15 menit (V2) dan VHT pada suhu 46.5 oC selama 30 menit (V3). Faktor kedua adalah suhu penyimpanan (T) yang terdiri dari 3 taraf yaitu suhu 5 oC (T1), suhu 13 oC (T2), dan suhu ruang (T3).

Analisis data untuk menguji keseragaman/kehomogenan nilai tengah menggunakan uji anova (analisis varians) pada tingkat kepercayaan 95% dan diolah menggunakan Program SAS 9.1.3. Model linier aditif dari rancangan faktorial RAL dengan dua faktor berdasarkan Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah sebagai berikut:

Yijk =  + i + j + ()ij + ijk;

i = 1,..., a k = 1,..., r j = 1,..., b

di mana : Yijk = nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan ulangan ke k,

= komponen aditif dari rataan,

mg Vit.C/100 gram = V titrasi sampel x fp x ekv Berat Sampel

(29)

i = pengaruh utama faktor VHT,

j = pengaruh utama faktor suhu penyimpanan,

()ij = komponen interaksi perlakuan VHT dan suhu penyimpanan,

ijkl = pengaruh acak yang menyebar normal (galat percobaan).

Jika terdapat pengaruh perlakuan maka dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Formula uji DMRT dalam Gasperz (1991) dirumuskan sebagai berikut :

Rp = rp. ̅ = rp √

di mana : rp = wilayah nyata dari student (Tabel t-student) S2 = KT galat, dan

r = jumlah ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Chilling Injury

Terjadinya chilling injury diawali dengan melemahnya fungsi jaringan dan pada akhirnya tidak terjadi metabolisme di tingkat sel (Aguiar 2012). Bentuk chilling injury terbagi menjadi dua yakni kerusakan primer dan kerusakan sekunder. Kerusakan primer berkaitan dengan kerusakan di tingkat sel seperti penurunan kelarutan asam lemak tak jenuh pada membran lipid atau terhambatnya pembentukan senyawa di tingkat substrat yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan yang dapat dilihat secara visual (kerusakan sekunder) seperti pencokelatan (browning), mengkerutnya kulit buah atau terdapatnya lubang pada permukaan buah.

Seiring dengan meningkatnya susut bobot maka muncul kerutan pada kulit buah pepaya. Berkerutnya kulit buah ini merupakan salah satu gejala chilling injury, yang mulai terlihat pada hari 9 pada perlakuan tanpa VHT dan hari ke-15 untuk perlakuan VHT penyimpanan suhu 5 oC. Perlakuan VHT selama 30 menit memiliki indeks yang lebih rendah dibanding perlakuan lain seperti yang ditunjukkan Gambar 6. Hasil penelitian ini didukung oleh Kechinski et al. (2012) yang menyatakan bahwa perlakuan panas secara fisik mampu mengatasi kerusakan buah pepaya dengan membentuk lapisan kristaloid pada lapisan epidermis sehingga buah tidak rentan terhadap kerusakan. Perlakuan panas menurut Schirra et al. (2005) mampu meningkatkan ikatan kalsium dan senyawa pektin pada dinding sel sehingga menyebabkan dinding sel lebih kuat. Oleh sebab itu perlakuan panas dapat menekan terjadinya chilling injury.

(30)

Gambar 6 Indeks chilling injury setelah 21 hari penyimpanan pada suhu 5 oC Terjadinya chilling injury juga berhubungan dengan degradasi lipid pada membran sel. Wang (2010) menyatakan kandungan lipid membran pada jaringan yang resisten terhadap chilling injury cenderung lebih tinggi dibanding jaringan yang rentan. Lipid pada membran berada dalam keadaan tidak larut dan akan menjadi larut jika didegradasi oleh enzim lipoxygenase (LOX). Penyimpanan dingin dapat meningkatkan aktivitas enzim tersebut untuk mendegradasi lipid membran (Wongshere et al. 2009). Perlakuan panas lain berupa hot water treatment yang dikenakan pada buah pisang dapat menekan aktivitas enzim LOX (Promyou et al. 2008). Diduga dengan adanya pemanasan (heat treatment) dapat menekan aktivitas enzim tersebut sehingga kelarutan lipid membran menjadi berkurang. Membran dengan kandungan lipid yang lebih tinggi dapat mempertahankan kehilangan air (Maaleku et al. 2006) sehingga gejala chilling injury yang berupa layu (keriput) sebagai akibat hilangnya air dari dalam sel dapat dikurangi.

Secara fisiologis perlakuan panas dapat menyebabkan jaringan mampu melawan kerusakan selama penyimpanan dingin (Yang et al. 2009) karena perlakuan panas dapat mengaktifkan suatu protein yang dikenal dengan heat-shock protein (Bowen et al. 2002, Wang 2010). Hasil penelitian Sun et al. (2010) juga menunjukkan hal yang sama di mana pemberian panas pada buah plum dapat meningkatkan pembentukan heat-shock protein (HSPs). Perlakuan VHT yang semakin lama diduga dapat meningkatkan kepadatan membran sel (Lemoine et al. 2009) sehingga kehilangan air dari membran sel dapat dihambat. HSPs terdiri dari berbagai golongan protein dengan berat molekul diantara 15 sampai 115 kDa (kiloDalton) yang diduga memiliki peran penting dalam pengaturan respon terhadap perlakuan panas. Protein ini berfungsi menjaga metabolisme seperti pembentukan, penguraian, perpindahan dan kerusakan protein pada dinding sel dan dapat membantu pembentukan protein lain meski dalam kondisi yang tidak stabil (Wang et al. 2004), seperti salah satunya pada penyimpanan suhu rendah di bawah suhu normal produk.

Laju Respirasi

Pola respirasi buah-buahan setelah panen dapat menggambarkan perubahan fisiologis yang terjadi selama penyimpanan. Laju respirasi dinyatakan dalam laju

(31)

produksi CO2 maupun laju konsumsi O2. Buah pepaya merupakan buah klimakterik yaitu buah yang aktivitas respirasinya mengalami peningkatan sehingga terdapat puncak respirasi (klimakterik) yang menandakan terjadinya pematangan dan kemudian menurun seiring terjadinya senescence. Pola respirasi klimakterik pada buah pepaya juga telah diteliti oleh Ahmad et al. (2013). Pada Gambar 7, 8 dan 9 disajikan laju produksi CO2 pepaya pada berbagai suhu penyimpanan yaitu suhu 5 oC, 13 oC dan suhu ruang (26-30 oC). Buah yang diberi perlakuan VHT tetap menunjukkan pola respirasi yang memiliki puncak klimakterik.

Analisis sidik ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa perlakuan VHT dan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata serta terdapat pengaruh interaksi VHT dan suhu penyimpanan sampai pada hari ke-4. Perlakuan VHT berpengaruh nyata terhadap laju respirasi yang disimpan pada suhu 5 oC. Semakin lama VHT semakin meningkatkan laju respirasi. Perlakuan VHT selama 30 menit memiliki laju respirasi yang lebih tinggi (13.47 ml kg-1.jam-1) dibanding perlakuan VHT 15 menit (8.81 ml kg-1.jam-1).

Gambar 7 Perubahan laju produksi CO2 buah pepaya pada suhu 5 oC

Buah tanpa perlakuan VHT maupun yang diberi perlakuan VHT memiliki pola respirasi yang sama yakni memiliki puncak respirasi di mana buah yang diberi perlakuan VHT mencapai puncak klimakterik lebih cepat dibanding buah tanpa perlakuan VHT. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan VHT dapat mempercepat terjadinya puncak klimakterik selama 2 hari. McCollum (1993) mengatakan bahwa perlakuan panas mempengaruhi waktu terjadinya puncak klimakterik namun tidak mempengaruhi besarnya laju respirasi pada saat terjadinya puncak klimakterik. Respon yang sama juga terjadi pada buah nona (Annona cherimola) yang diduga perlakuan panas meningkatkan produksi etilen pada buah (Alique et al. 2009) sehingga dengan meningkatnya aktivitas etilen maka akan meningkatkan dan mempercepat laju respirasi (Bron dan Jacomino 2006).

Hasil uji Duncan menunjukkan perlakuan VHT selama 30 menit berbeda nyata dengan perlakuan VHT lainnya. Hari ke-21 penyimpanan pada suhu 5 oC, buah yang diberi perlakuan VHT selama 30 menit memiliki laju produksi CO2 paling rendah. Produksi CO2 perlakuan tanpa VHT mengalami peningkatan dan berbeda nyata dengan perlakuan VHT selama 15 menit maupun VHT selama 30

(32)

menit. Peningkatan laju respirasi merupakan tanda terjadinya kerusakan pada jaringan tanaman (Lemoine et al. 2009). Lebih lanjut Luengwilai et al. (2012) menjelaskan terjadinya peningkatan respirasi diduga akibat tingginya energi yang dibutuhkan untuk memperbaiki kerusakan sel selama penyimpanan dingin. Perlakuan panas dapat mengurangi terjadinya kerusakan sel sehingga tidak diperlukan energi tambahan yang menyebabkan terjadinya peningkatan respirasi. Meningkatnya laju respirasi pada akhir penyimpanan juga berhubungan dengan aktivitas etilen. Aktivitas etilen yang tinggi berhubungan dengan berkembangnya gejala chilling injury (Biswas et al. 2012). Hal yang sama juga terjadi pada buah tomat yang diberi perlakuan panas dan disimpan pada suhu 2.5 oC tidak mengalami peningkatan produksi etilen selama 27 hari penyimpanan (McCollum 1993, Biswas et al. 2012). Pada buah yang diberi perlakuan panas tidak terjadi peningkatan aktivitas etilen sehingga respirasi diakhir masa simpan tidak meningkat.

Gambar 8 Perubahan laju produksi CO2 buah pepaya pada suhu 13 oC

Gambar 9 Perubahan laju produksi CO2 buah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC) Perlakuan suhu penyimpanan berdasarkan analisis sidik ragam berpengaruh terhadap laju respirasi. Pada suhu ruang (Gambar 9) juga terlihat bahwa perlakuan VHT dapat menunda terjadinya kerusakan buah selama 1-2 hari. Perlakuan panas

(33)

pada umumnya dapat memperlambat penurunan mutu produk hortikultura tidak hanya pada pepaya tapi juga pada produk yang lain seperti apel (Skrzyński 2007), brokoli (Lemoine et al. 2009), tomat (Lu et al. 2010), buah nona (Alique et al. 2009) dan buah persik (Bakshi dan Masoodi 2010)

Suhu ruang menunjukkan laju respirasi yang lebih tinggi dibanding suhu 5 dan 13 oC sehingga waktu tercapainya puncak respirasi pada suhu rendah lebih lama dibanding suhu ruang. Hal ini juga disebutkan oleh Ahmad et al. (2013) bahwa suhu rendah dapat menunda pematangan yang diindikasikan dengan rendahnya laju respirasi. Laju respirasi pada puncak klimakterik tertinggi terjadi pada buah yang disimpan pada suhu ruang dan terendah pada buah yang disimpan pada suhu 5 oC. Pada perlakuan suhu 13 oC terjadi pola peningkatan laju produksi CO2 yang fluktuatif karena adanya respirasi tambahan dari mikroorganisme terutama cendawan yang mulai muncul pada minggu kedua penyimpanan.

Perubahan mutu

Pengamatan perubahan secara fisik dan kimia terhadap pepaya juga dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan VHT terhadap perubahan mutu pada masing-masing suhu penyimpanan. Perubahan baik fisik maupun kimia pada masing-masing suhu penyimpanan (5 oC, 13 oC dan suhu ruang) merupakan akibat pengaruh respirasi sehingga terjadi degradasi senyawa makromolekul.

Respirasi menyebabkan terjadinya perubahan kandungan kimia dan fisik buah antara lain perubahan kandungan pati menjadi gula sehingga buah terasa manis, perubahan warna sehingga lebih menarik atau melunaknya buah sampai batas tertentu sesuai dengan yang diharapkan. Lama waktu penyimpanan menjadi batas yang menentukan mutu produk hortikultura. Perubahan yang terjadi saling berhubungan. Pemecahan pati sebagai salah satu substrat yang berlangsung selama respirasi terus menerus dengan kecepatan tergantung kondisi lingkungan hingga substrat habis yang dikenal dengan fase senescence (pelayuan) hingga akhirnya mengalami pembusukan (Winarno 2002).

Susut bobot

(34)

nyata pada hari ke-3, 18 dan 21 penyimpanan, suhu mempengaruhi susut bobot pada hari ke-3 dan 6 penyimpanan dan tidak terdapat interaksi antara perlakuan VHT dan suhu penyimpanan.

Gambar 10 Peningkatan susut bobot buah pepaya pada suhu 5 oC

Susut bobot tertinggi untuk penyimpanan pada suhu 5 oC ditunjukkan oleh pepaya dengan perlakuan VHT selama 15 menit. Berdasarkan uji Duncan, perlakuan tersebut berbeda nyata dengan VHT selama 30 menit dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan tanpa VHT. Hasil yang sama juga telah dilaporkan oleh Weiler et al. (1997) pada brokoli dan Ansorena et al. (2011) pada alpukat di mana buah yang diberi perlakuan panas menunjukkan kehilangan bobot yang lebih rendah dibanding brokoli tanpa perlakuan panas. Tingginya susut bobot diduga berkaitan dengan terjadinya kerusakan dingin (chilling Injury) seperti yang diungkapkan Kasim MU dan Kasim R (2011) bahwa peningkatan susut bobot pada suhu rendah sebagai akibat adanya kerusakan di tingkat sel. Kerusakan berupa menurunnya kepadatan membran sel akibat hilangnya lapisan epikutikular yang berperan dalam proses pertukaran air dari dan ke dalam sel pada kulit buah. Peristiwa tersebut dapat berkembang selama buah disimpan pada suhu dingin/chilling temperatures. Sejalan dengan hal tersebut dapat dilihat pada indeks chilling injury di mana perlakuan panas dapat menekan munculnya gejala chilling injury yang dalam hal ini berupa layu/berkerutnya kulit buah.

(35)

Gambar 11 Peningkatan susut bobot buah pepaya pada suhu 13 oC

Gambar 12 Peningkatan susut bobot buah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC) Suhu penyimpanan mempengaruhi susut bobot selama penyimpanan. Uji lanjut Duncan pada hari ke-6 penyimpanan (Lampiran 14 ) menunjukkan bahwa pepaya yang disimpan pada suhu ruang (26-30 oC) mengalami kehilangan bobot lebih tinggi dibanding penyimpanan pada suhu 5 dan 13 oC dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara suhu 5 dan 13 oC maupun diantara perlakuan VHT dan tanpa VHT. Menurut Javanmardi dan Kubota (2006) tingginya susut bobot pada suhu ruang berhubungan dengan transpirasi di mana peningkatan suhu dapat meningkatkan laju transpirasi sehingga transpirasi pada suhu ruang lebih tinggi dibanding suhu rendah.

Perubahan warna

a.Warna kulit buah

(36)

Perubahan warna dinyatakan dengan ohue dan L (kecerahan). Hasil sidik ragam terhadap ohue (Lampiran 3) menunjukkan perlakuan VHT berpengaruh nyata pada hari ke-0, 2, 4, 10 dan ke-14 penyimpanan sedangkan perlakuan suhu berpengaruh mulai hari ke-2 sampai ke-12 penyimpanan dan tidak terdapat interaksi antar VHT dan suhu penyimpanan.

Gambar 13 Perubahan nilai ohue kulit buah pepaya pada suhu 5 oC

Suhu 5 oC mampu mempertahankan warna buah tetap hijau sampai hari terakhir penyimpanan di mana ohue tidak mengalami penurunan yang signifikan sejak awal penyimpanan (hari ke-0). Nilai ohue masih berkisar di atas 110 yang menandakan warna kulit buah tetap hijau. Perlakuan tanpa VHT pada suhu 5 oC cenderung memiliki nilai ohue yang lebih tinggi dibanding perlakuan VHT.

Gambar 14 Perubahan nilai ohue kulit buah pepaya pada suhu 13 oC

Warna kulit buah pada penyimpanan suhu 13 oC mulai mengalami penurunan (di bawah 110) pada hari ke 8 (108-101) yang menandakan buah mulai berwarna hijau kekuningan seiring dengan umur simpan (Gambar 14). Buah mencapai warna kuning sempurna pada hari ke-10. Semakin lama perlakuan VHT maka semakin mempercepat terjadinya perubahan warna dari hijau menjadi kuning yang ditandai dengan rendahnya nilai ohue.

30 60 90 120 150 180

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

ohue

Lama penyimpanan (hari)

Tanpa VHT VHT 15 menit VHT 30 menit

30 60 90 120 150 180

0 2 4 6 8 10 12

ohue

Lama penyimpanan (hari)

(37)

Gambar 15 Perubahan nilai ohue kulitbuah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC) Peningkatan suhu simpan menyebabkan perubahan warna kulit buah berlangsung lebih cepat. Data pada suhu ruang (26-30 oC) menunjukkan penurunan warna kuning mulai tampak pada kulit buah sejak hari ke-2 penyimpanan. Perlakuan VHT menyebabkan perubahan warna kulit berlangsung lebih cepat. Respon yang sama dari perlakuan panas terhadap warna kulit buah juga terjadi pada buah mangga (Jacobi et al. (2001), jeruk (Lurie et al. 2004) dan buah persik (Budde et al. 2006) di mana warna kuning atau merah pada kulit buah cenderung lebih cepat terbentuk pada buah yang diberi perlakuan panas dibanding kontrol. Diduga perlakuan panas dapat menjadi pemicu bagi sintesis karotenoid, degradasi klorofil dan sintesis enzim yang mendegradasi dinding sel.

Perubahan warna kulit buah pepaya menjadi 100% kuning pada suhu ruang terjadi kurang dari 1 minggu umur simpan. Hal ini sama dengan hasil penelitian Ahmad et al. (2013) yang menyebutkan pepaya (kontrol) yang disimpan pada suhu 28 oC mencapai tingkat kematangan 100% (warna kulit kuning) hanya dalam waktu 5 hari. Hasil penelitian Pongprasert et al. (2011) bahkan menunjukkan terjadi peningkatan degradasi klorofil yang sangat cepat pada pisang yang disimpan pada suhu 25 oC. Suhu penyimpanan sangat mempengaruhi terjadinya perubahan warna di mana terbentuknya warna kuning atau merah pada buah tergantung pada suhu dengan kisaran 12-32 oC.

Suhu rendah merupakan faktor utama untuk mempertahankan warna hijau pada buah (Schouten et al. 2009). Penyimpanan pada suhu 5 oC menunjukkan nilai ohue di atas 110 yang menandakan buah masih berwarna hijau. Peningkatan likopen maupun karoten tidak terjadi pada buah yang disimpan pada suhu 5 oC (Javanmardi dan Kubota 2006). Perubahan warna kulit dari hijau menjadi kuning merupakan serangkaian proses degradasi klorofil, pembentukan antosianin, karoten dan likopen. Selama pematangan, terjadi perubahan warna kulit yang diduga merupakan akibat aktivitas hormon etilen (Kasim MU dan Kasim R 2011). Peranan etilen dalam pembentukan karoten juga dibuktikan dengan memaparkan senyawa penghambat aktivitas etilen yakni 1-methylcyclopropene (1-MCP) pada buah pepaya dan hasilnya dengan adanya senyawa tersebut, pembentukan karotenoid terhambat (Luengwilai et al. 2012). Leon et al. (2004) menambahkan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, perubahan warna berhubungan dengan keberadaan etilen pada buah. Sebenarnya etilen tidak berhubungan langsung dengan terbentuknya karotenoid pada buah. Rodrigo dan Zacarias (2007) menjelaskan terdapat pengaruh suhu dalam hubungan antara

(38)

etilen dan munculnya karetonoid. Aktivitas etilen merangsang enzim klorofilase untuk merombak klorofil. Pada suhu yang lebih tinggi, perombakan klorofil berlangsung lebih cepat. Hasil penelitian Pongprasert et al. (2011) membuktikan hal tersebut di mana buah pisang yang disimpan pada suhu 25 oC mengalami penurunan total klorofil yang sangat cepat. Pigmen lain seperti karetonoid yang memang telah terakumulasi dalam sel akan muncul seiring dengan terjadinya degradasi klorofil.

Suhu 5 oC juga dapat menekan aktivitas etilen dan enzim klorofilase sehingga warna kulit buah masih tetap hijau. Perubahan warna (ohue maupun nilai L) pada suhu dingin berlangsung lebih lambat dibanding suhu ruang. Hasil penelitian Sutrisno et al. (2005) menunjukkan produksi etilen pada buah pepaya yang disimpan pada suhu 1 oC sebesar 3.2 kg-1.jam-1 akan mengalami peningkatan menjadi 6.1 kg-1.jam-1 bila disimpan pada suhu 5 oC. Hasil penelitian lain yakni pada buah pisang (Farid 2003) juga menunjukkan terjadi peningkatan etilen seiring peningkatan suhu dengan produksi maksimum terjadi pada suhu 34 oC. Selain etilen, aktivitas enzim klorofilase juga menurun dengan menurunnya suhu. Enzim klorofilase merupakan enzim yang bertanggungjawab dalam degradasi klorofil di mana hasil penelitian Costa et al. (2006) menunjukkan kehilangan warna hijau pada brokoli seiring dengan meningkatnya aktivitas enzim tersebut.

Tingkat kecerahan merupakan salah satu indikator penerimaan konsumen. Hasil sidik ragam kecerahan (L) buah pepaya (Lampiran 4) menunjukkan terdapat pengaruh VHT pada hari ke-6 dan pengaruh suhu yang dimulai pada hari ke-0 sampai hari ke-10. Interaksi antara VHT dan suhu penyimpanan terjadi pada hari ke-6. Hasil lanjut uji Duncan terhadap pengaruh interaksi (Lampiran 16) memperlihatkan buah pepaya yang diberi perlakuan VHT selama 30 menit dan disimpan pada suhu ruang memiliki kecerahan (L) yang paling rendah (44.51±6.83e).

Gambar 16 Perubahan nilai L (kecerahan) kulit buah pepaya pada suhu 5 oC Nilai kecerahan (L) kulit buah yang disimpan pada suhu 5 oC cenderung lebih rendah dibanding penyimpanan suhu 13 oC dan suhu ruang (Gambar 16). Hal ini mengindikasikan bahwa suhu penyimpanan 5 oC dapat menurunkan kecerahan kulit buah. Hal ini berkaitan dengan tingkat kematangan buah, di mana buah yang disimpan pada suhu 5 oC belum mengalami perubahan warna. Kecerahan kulit buah yang diberi perlakuan VHT cenderung lebih tinggi

(39)

dibanding tanpa perlakuan VHT. Berbeda halnya dengan kecerahan kulit buah pada suhu 13 oC (Gambar 17) yang mengalami peningkatan seiring perubahan warna dari hijau menjadi kuning. Pada suhu 13 oC, kecerahan buah dengan perlakuan VHT selama 30 menit cenderung lebih tinggi dibanding perlakuan VHT selama 15 menit dan tanpa VHT. Semakin lama VHT menyebabkan kecerahan buah semakin meningkat.

Gambar 17 Perubahan nilai L (kecerahan) kulit buah pepaya pada suhu 13 oC

Gambar 18 Perubahan nilai L (kecerahan) kulit buah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC)

Buah yang diberi perlakuan VHT selama 30 menit memiliki nilai kecerahan (L) terendah (44.51±6.83e) dan berbeda nyata dengan perlakuan lain (Lampiran 16). Perlakuan VHT mempercepat perubahan warna dari hijau menjadi kuning. Buah anggur (Lydakis dan Aked 2003) dan mentimun (Kasim MU dan Kasim R 2011) juga memberikan respon yang sama terhadap perlakuan panas. Kecerahan buah akan meningkat seiring perubahan warna dan akan mengalami penurunan dengan semakin meningkatnya kematangan buah. Kecerahan buah akan meningkat sampai mencapai indeks kematangan (stage) 4 dan akan menurun secara perlahan pada saat buah memasuki fase senescence yang dimulai dari indeks kematangan 5 (Basulto et al. 2009). Perlakuan VHT selama 30 menit yang disimpan pada suhu ruang mengalami pematangan lebih awal dan telah memasuki

(40)

fase senescence sehingga kecerahan buah lebih rendah dibanding perlakuan yang disimpan pada suhu 5 dan 13 oC.

b. Warna daging buah.

Warna daging buah merupakan salah satu indikator kematangan pepaya. Warna pada daging buah pepaya disebabkan oleh pigmen karotenoid. Karotenoid dikenal sebagai antioksidan yang menurut hasil penelitian Sancho et al. (2011) karotenoid dalam pepaya berupa likopen, β-kriptosantin dan β-karoten yang berperan sebagai pro-vitamin A, bermanfaat untuk mengurangi resiko kanker dan serangan jantung. Kandungan karotenoid akan meningkat selama proses pematangan. Selama pematangan likopen akan meningkat 2 kali lipat sementara

β-karoten meningkat 2-5 kali lipat (Sancho et al. 2011) dan karotenoid tertinggi

dalam pepaya berupa β-karoten (da Silva et al. 2014). Hasil sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan perlakuan VHT berpengaruh terhadap ohue daging buah pada hari ke-0 dan 12 penyimpanan dan terdapat pengaruh interaksi antara VHT dan suhu penyimpanan terhadap perubahan warna daging buah pada hari ke-0 dan 6 penyimpanan.

Gambar 19 Perubahan nilai ohue daging buah pepaya pada suhu 5 oC Perubahan ohue daging buah yang disimpan pada suhu 5 oC meningkat signifikan pada hari ke-6 kemudian mengalami penurunan dan cenderung tetap sampai pada hari terakhir penyimpanan. Perlakuan VHT selama 30 menit (59.82±8.45a) berbeda tidak nyata dengan perlakuan VHT selama 15 menit (54.09±8.51ab) namun berbeda nyata dengan perlakuan tanpa VHT (47.86±0.93bc). Perlakuan VHT dapat mempertahankan warna daging buah bila disimpan pada suhu 5 oC. Suhu dingin mampu mempertahankan warna daging buah juga telah diteliti oleh Cinar (2004) pada jeruk, ubi jalar dan wortel. Respon yang berbeda terjadi jika buah yang diberi perlakuan VHT disimpan pada suhu 13 o

C dan suhu ruang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 20 dan 21.

(41)

pada hari ke-12 menunjukkan nilai ohue yang lebih rendah dibanding perlakuan VHT lainnya (47.10±0.40c). Hasil uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 17.

Gambar 20 Perubahan nilai ohue daging buah pepaya pada suhu 13 oC .

Gambar 21 Perubahan nilai ohue daging buah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC) Menurunnya ohue daging buah pepaya yang mendapat perlakuan VHT pada penyimpanan suhu 13 oC dan suhu ruang diduga berkaitan dengan tingkat kematangan. Karotenoid merupakan senyawa yang mudah rusak akibat perlakuan panas (Cinar 2004, Mercali et al. 2013) sehingga diduga perlakuan VHT selama 30 menit dapat merusak struktur karotenoid dalam daging buah sehingga karotenoid yang muncul menjadi lebih sedikit.

(42)

Gambar 22 Perubahan nilai L (kecerahan) daging buah pepaya pada suhu 5 oC

Gambar 23 Perubahan nilai L (kecerahan) daging buah pepaya pada suhu 13 oC

Gambar 24 Perubahan nilai L (kecerahan)daging buah pepaya pada suhu ruang (26-30 oC)

Gambar

Gambar 1  Indeks kematangan buah pepaya
Tabel 1  Hasil penelitian heat treatment untuk mengatasi chilling injury  pada beberapa buah
Gambar 2 Beberapa gejala chilling injury
Tabel 2 Suhu optimum untuk penyimpanan beberapa produk hortikultura
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan judul penelitian yaitu pembelajaran tari muli siger menggunakan metode demonstrasi pada kegiatan ekstrakurikuler di SMP Negeri 10 Bandar Lampung, maka

memperoleh data tentang diri pribadi dan pemikiran interview meliputi identitas diri, perjalanan hidupnya, dan pandangan- pandangannya mengenai berbagai masalah yang

Hasil penelitian menunjukan bahwa kepemimpinan dan motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja guru, dapat dilihat dari persamaan regresi linier sebagai berikut Y

Pada penelitian yang dilakukan Suastina (2013) mengenai pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan tentang SADARI sebagai deteksi dini kanker payudara di

Oleh karena itu penelitian ini diberi judul “ UJI KUALITAS YOGHURT SUSU SAPI DENGAN PENAMBAHAN MADU dan Lactobacillus bulgaricus PADA KONSENTRASI YANG

This article therefore studies the asymptotic behavior of panel unit root tests based on the Cauchy estimator in panels with unconditionally heteroscedastic innovations as

berdasarkan uji Kruskal – Wallis, ditemukan adanya penurunan kualitas hidup pasien, khususnya pada domain fungsi fisik, keterbatasan terhadap kondisi fisik,

pelayanan yang diberikan perusahaan kepada pelanggan pengguna jasa..