TELAAH PUSTAKA TENTANG
KRIMINALITAS DI AMERIKA SERIKAT
(SEBUAH USULAN INTERVENSI)
DISUSUN OLEH:
ARI WIDIYANTA, M.Si., psikolog
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
DAFTAR ISI ... ii
KATA PENGANTAR... iii
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1
B. TUJUAN PENELITIAN ... 5
C. PERTANYAAN PENELITIAN ... 5
BAB II LANDASAN TEORI A. PENGERTIAN KRIMINALITAS...6
B. JENIS KEJAHATAN...7
C. PENYEBAB KEJAHATAN ...9
BAB III KESIMPULAN DAN INTERVENSI...18
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas fungsional sebagai tenaga pengajar di Universitas Sumatera utara.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, karena itu penulis mengharapkan masukan dan kritikan yang membangun untuk penyempurnaan tulisan ini. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih pada Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Psikologi, rekan-rekan dosen dan segenap pegawai dilingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya di Fakultas Psikologi yang telah memberi dukungan dan kesempatan untuk mengabdi dilingkungan Universitas Sumatera Utara.
Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Iskandar, bapak Jumadi dan Pak Anto yang selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan berarti bagi semua pihak.
Medan, 23 Juni 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Istilah kriminal telah dilihat dari sudut pandang yang berbeda, beberapa orang menyamakannya dengan dosa atau dusta; dan defenisi lainnya sebagai perilaku yang membahayakan sosial atau perilaku yang menyimpang dari norma sosial. Para ahli bidang sosiologi menganggap kejahatan tersebut sebagai tindakan yang melanggar hukum. Bagaimanapun juga, ”jika kejahatan itu didefenisikan sebagai pelanggaran hukum, pegawai negeri dan ahli politik diizinkan untuk menilainya dari dasar-dasar sosial dan konsep ilmiah (Stark 1996). Sementara Gottfredson (1990) mendefenisikan kejahatan itu sebagai hal yang terpisah dari defenisi dari undang-undang dimana kejahatan merupakan tindakan yang berbahaya atau usaha penipuan dalam pencarian dari self-interes.
Kappeler dkk (1996) menjelaskan bahwa data statistik dari Uniform Crime
Reports (UCR) yang disesuaikan dengan data dari Federal Bureau of
Investigation (FBI) menunjukkan data-data kejadian-kejadian yang
bahwa rata-rata kejadian merupakan manipulasi politik. Sebagai contoh, pemerintahan Nixon dituduh pada manipulasi birokratis dalam melaporkan kejadian oleh polisi. Pemerintahan Nixon menginginkan rata-rata kejadian berkurang sehingga hal tersebut dapat menyatakan kesuksesan dalam masalah kejadian perkelahian.
Satu kritik yang penting untuk data UCR adalah bahwa data yang mereka hadirkan tersebut jauh dari keilmiahan. FBI menciptakan alat untuk memperbesar kejadian dan ancaman publik. Sebagai contoh: waktu kejadian, UCR memberitahu kita bahwa kejahatan kriminal terjadi setiap dua detik. Kejadian yang bengis terjadi setiap 16 detik. Suatu pemerkosaan terjadi setiap lima menit. Rata-rata ini memperbesar kesan jumlah dalam lingkungan sosial (Kappeler dkk 1996). Hal yang paling menarik adalah, pada akhir 1994, FBI menunjukkan adanya laporan kejahatan yang melaporkan kejadian yang mengkhawatirkan kepada polisi bahwa kejahatan telah mengalami kemunduran selama tiga tahun berturut-turut. (Bureau of Justice Statistics 1997 dalam Levin, 2000).
Orang takut dengan kejahatan pada hal fakta yang diberikan bahwa
kejahatan menurun, tetapi ketakutan akan kejahatan tidak berkurang. Ini muncul
karena 3 alasan utama, mengapa ketakutan menyebar luas. Pertama, media sangat
gencar mengubah persepsi kita mengenai kejahatan. Kedua, televisi dan tabloid
menampilkan hampir setiap hari berita mengenai kejahatan, yang kebanyakan
kejahatan yang kejam. Ketiga, stasiun berita lokal umumnya menampilkan berita
mengenai pembunuhan, perkosaan, dan kejahatan kejam lainnya.(Levin dkk,
2000)
Selanjtnya Levin dkk (2000) menyatakan bahwa konsekuensi dari kejahatan meliputi kesulitan ekonomi, kerugian sosial dan psikologis. Kejahatan dapat membawa kepada kematian, sakit fisik yang serius, kehilangan benda-benda, ketergantungan obat-obatan, dan trauma emosi. Kejahatan juga merusak komunitas dan masyarakat dengan menyebabkan rasa takut, sinis, dan apatis.
Estimasi kerugian dari kejahatan itu sangat tergantung dari jenis dari kejahatan yang dilakukan. Istilah kriminal telah dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Beberapa menyamakannya dengan dosa atau dusta; dan defenisi lainnya sebagai perilaku yang membahayakan sosial atau perilaku yang menyimpang dari norma sosial. Para ahli bidang sosiologi menganggap kejahatan tersebut sebagai tindakan yang melanggar hukum. Bagaimanapun juga, ”jika kejahatan itu didefenisikan sebagai pelanggaran hukum, pegawai negeri dan ahli politik diizinkan untuk menilainya dari dasar-dasar sosial dan konsep ilmiah (Stark 1996).
Menyalahkan peningkatan kekejaman kejahatan pada ketidakmampuan sistem pengadilan kejahatan atau pada peningkatan pengangguran atau pada ketegangan antar ras merupakan hal yang populer. Banyak anggota masyarakat Amerika yang sangat fokus terhadap kejahatan dan kekerasan. Seriusnya bahaya kejahatan dan bagaimana pencegahannya sehingga sangat dibutuhkan sistem peradilan untuk dapat bekerja dengan baik, walaupun memang sulit untuk menentukan solusi yang tepat dan akurat (levin dkk 2000).
B. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui intervensi yang tepat untuk menangani kasus kriminal di Amerika Serikat.
C. PERTANYAAN PENELITIAN
Program intervensi apakah yang sebaiknya dilakukan untuk mengurangi
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PENGERTIAN KRIMINALITAS
Istilah kriminal telah dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Beberapa menyamakannya dengan dosa atau dusta; dan defenisi lainnya sebagai perilaku yang membahayakan sosial atau perilaku yang menyimpang dari norma sosial. Para ahli bidang sosiologi menganggap kejahatan tersebut sebagai tindakan yang melanggar hukum. Bagaimanapun juga, ”jika kejahatan itu didefenisikan sebagai pelanggaran hukum, pegawai negeri dan ahli politik diizinkan untuk menilainya dari dasar-dasar sosial dan konsep ilmiah (Stark 1996). Gottfredson dan Hirschi (1990) mendefenisikan kejahatan itu sebagai hal yang terpisah dari defenisi dari undang-undang dimana kejahatan menunjuk kepada ”tindakan yang berbahaya atau usaha penipuan dalam pencarian dari self-interest”
B. JENIS KEJAHATAN
Reiman (1998) menyatakan bahwa kita menggunakan label kejahatan yang tidak konsisten. Membunuh seorang istri atau tetangga disebut membunuh, tetapi ketika ada kekuatan hukum yang menyebabkan kematian, orang terhindar, hal ini umumnya tidak dapat disebut dengan pembunuhan.
Menurut Sutherland (dalam Levin 2000) terdapat beberapa jenis kejahatan. 1. white-collar crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat dan berstatus sosial tinggi selama ia bekerja. Conklin menyatakan bahwa kerugian dari white-collar crime tiga kali lebih tinggi dari kejahatan jalanan. Dalam hal ini
dapat dilihat bahwa white-collar crime meliputi menentang hukum, penggelapan uang, price-fixing, pelanggaran keselamatan industri, dan kesalahan representasi dari iklan.
2. Organized Crime adalah aktifitas dari suatu grup dengan hirarki organisasi, dimana anggotanya menjalankan bisnis ilegal atau bisnis sah dengan kekuatan yang tidak sah. Organized Crime dilaksanakan oleh organisasi awalnya didesain dengan melibatkan aktifitas kriminal untuk keuntungan pribadi. Prevalensi dari organized crime membuat kekerasan kejahatan menjadi karakteristik spesial. Di kota-kota di Amerika, pembunuhan menjadi teknik rutin untuk membuat kesepakatan dengan bisnis lawan dengan penyelundup. Organized crime menyediakan servis ilegal seperti obat-obatan dan perjudian. Tindakan dari deviasi elit secara tipikal dilakukan dengan resiko kecil karena pengizinan legal biasanya tidak tegas dalam kekerasan kejahatan. Deviasi elit meningkatkan pertumbuhan dan memelihara organized crime.
Konsekuensi dari kejahatan remaja menjadi kekhawatiran yang luar biasa dalam masyarakat modern. Beberapa negara bereaksi dengan frustasi terhadap remaja dan kaum muda mengenai kejahatan. Contohnya terjadi peningkatan kekerasan kejahatan remaja. Misalnya: berdasarkan voting di Massachusetts menyatakan bahwa pembunuh sama mudanya dengan usia 14 tahun, di Oregon usia termuda pelaku kejahatan adalah 14 – 12 tahun dan di Wisconsin pada usia 10 tahun.
Siegel dan Senna (1997), menyatakan bahwa kriminal remaja berpengaruh penting dalam statistik kriminal di suatu negara. Misalnya, selama periode sepuluh tahun jumlah tahanan remaja meningkat 28 % dan tahanan remaja dengan kasus kriminal yang kejam meningkat 75 %. Namun, peningkatan remaja kriminal tidak dapat dijelaskan melalui peningkatan jumlah populasi remaja.
Banyak aksi agresi remaja terlihat sebagai tindakan yang tidak memiliki motivasi (random street violence). Levin dan McDevitt (1993) mengargumentasikan bahwa beberapa insiden ini disebabkan oleh rasa benci atau terpengaruh. Dalam analisis mereka mengenai hate-inspire crime mereka mengklasifikasikanya ke dalam tiga tipe, yaitu:
1. thrill-seeking hate crime, meliputi remaja yang suka menampar golongan
kecil atau merusak milik orang lain.
2. reactive hate crimes, yaitu tingkah laku kriminal dimana individu
melawan orang yang menghalangi jalan hidupnya.
3. mission hate crime, tindakan kriminal yang dimotivasi oleh keinginan
Gank usia belasan harus menjadi perhatian. Hal yang berhubungan dengan gank remaja ini adalah substance abuser usia remaja dan drug traffikers. Gank yang menggunakan obat-obatan terlarang ini merekrut remaja karena remaja bekerja dengan mudahnya, kebal akan hukuman kriminal yang berat, nekat dan mau mengambil resiko (Siegel and Senna, 1997).
Di kebanyakan negara, institusi lokal telah mensponsori sejumlah program yang efektif untuk menyediakan alternatif kesehatan dalam bentuk harapan, bimbingan, dan pengawasan untuk anak muda, misalnya: program gun-buy back
dan midnight basketball di gereja-gereja, konflik resolution dan program
mentoring di sekolah-sekolah umum, beasiswa di kampus, summer jobs dan aktivitas setelah sekolah yang disponsori oleh perusahaan-perusahaan lokal (Levin dkk, 2000).
C. PENYEBAB KEJAHATAN
Levin dkk (2000) menyatakan bahwa ilmuwan sosial beranggapan bahwa
dengan memahami penyebab dari kejahatan merupakan langkah pertama yang
harus dilakukan untuk mengurangi kejahatan tersebut. Selanjutnya Levin dkk
(2000) menyimpulkan bahwa terdapat tiga penyebab teoritis dari kejahatan yaitu
individual, cultural, dan social.
1. Individual
Pada abad 18 dan 19, para ilmuwan beranggapan bahwa kejahatan
merupakan penyimpangan dari karakteristik biologis (Beirne 1993). Disebutkan
juga bahwa kekerasan dan kriminalitas merupakan pengaruh genetik. Faktor
manic-depressive, bisa muncul, dan penderita penyakit tersebut mengarah kepada
kekerasan.Tentu saja, kecenderungan untuk memandang perilaku kejam sebagai
gejala gangguan mental boleh jadi hanya usaha yang efektif untuk mengalokasi
dan memahami dasar lingkungan dari kejahatan dan kekerasan Perbedaan
individual juga mempengaruhi perilaku kejahatan, beberapa peneliti juga
berpendapat mengenai penjelasan psikologis dari kejahatan. Kriminolog,
menyatakan mengenai sosiopath. Mereka sangat kejam membunuh korbannya,
kurangnya simpati dengan korban mereka, dan pintar memanipulasi dan
memanage kesan mereka.
Kriminolog percaya bahwa lingkungan memainkan peran yang penting.
Menurut praktisi kesehatan mental, sociopathic merupakan kegagalan individu
menjalin hubungan dengan orangtua atau orang lain yang berarti pada masa
kanak- kanak awal.
2. Cultural
Robert Merton berpendapat bahwa tipe tertentu dari perilaku kejahatan
merupakan respon yang dikarakteristikan sebagai American Cultural yaitu sebuah
budaya yang menekankan bahwa kesuskesan itu tidak dipandang secara sosial.
Merton memandang United States sebagai sebuah kelompok masyarakat
egalitarian dalam ideologinya tetapi tidak sesuai dengan tujuannya. Perbedaan
antara ideology dan reality membuat ketegangan pada banyak orang. Secara
struktural penilaian sosial dalam meraih tujuan sama dengan cultural theory.
Merton mengidentifikasikan 5 respon untuk ketegangan ini :
a. Conformity
b. Innovation
c. Ritualism
Orang menyerah dengan keinginannya dan memusatkan pada apa yang
ingin dicapai oleh budaya.
d. Retreatism
Adaptasi dengan melepaskan tujuan yang diinginkan dan tidak conform
dengan institusi tertentu.
e. Rebellion
Pengasingan dari legitimate dan penilaian.
3. Structural
Durkheim (dalam Levin dkk) adalah salah satu penemu Sociological
Criminology. Dia percaya bahwa tidak ada perilaku yang secara intrinsic berupa
tindakan kriminal. Seperti pendapatnya dalam The Division of Labor in Society,
“sebuah perilaku dikatakan kriminal ketika menyinggung kekuatan, struktur
kesadaran kolektif yang terdefinisi dengan baik. Tidak seharusnya orang
mengatakan bahwa suatu perilaku menyinggung suatu kesadaran umum karena
perilaku itu termasuk tindakan kriminal, tetapi menjadi kriminal karena
menyinggung kesadaran.”
Durkheim juga berpendapat bahwa kejahatan memiliki fungsi yang spesifik
bagi lingkungan sosial. Salah satu fungsinya adalah perilaku yang dikatakan
kejahatan tentu akan diberi hukuman. Fungsi dari hukuman bukan semata-mata
alat untuk membalas dendam, pencegahan, atau perbaikan perilaku. Fungsi yang
Durkheim menyatakan bahwa kejahatan itu normal. Dia menyatakan bahwa
kejahatan itu tidak dapat dihindari; tidak akan ada masyarakat yang dapat
melepaskan diri darinya. Jika tidak ada kejahatan, maka masyarakat menjadi tidak
sehat–masyarakat akan secara total dokintrol, mengarah pada level otoriter yang
berbahaya.
Marxist memiliki perspektif yang berbeda mengenai kejahatan. Marx dan
Engels (dalam Levin, 2000) berpendapat bahwa hukum memiliki dasar ideologis,
bahwa sejumlah kejahatan di masyarakat modern dihasilkan dari kondisi dasar
masyarakat kapitalis. Selanjutnya mereka memfokuskan pada tiga dimensi yang
terpisah ketika menganalisa hubungan antara kejahatan dan kapitalisme. Dimensi
pertama, kejahatan dipandang sebagai pelanggaran hak asasi manusia, sesuatu
yang digambarkan secara moralistic. Dimensi ayng kedua, kejahatan dan
demoralisasi, dihubungkan dengan kapitalisme dengan demoralisasi yang besar.
Marx dan Engels berpendapat bahwa kondisi kerja di bawah kapitalisme dapat
mengarahkan terjadinya kompetisi di antara para pekerja. Kompetisi ini dapat
mengarahkan pada demoralisasi yang besar dan menyebabkan munculnya
kejahatan.
Selanjutnya Levin dkk (2000) menyebutkan bahwa hal yang terpenting
untuk menjelaskan kejahatan adalah dengan labeling theory, dinamakan begitu
karena teori labeling berpendapat bahwa kelompok sosial mengidentifikasi
penyimpangan atau kejahatan dengan cara pertama kali membuat aturan mengenai
tindakan apa yang dikatakan sebagai penyimpangan dan kemudian menerapkan
aturan itu terhadap sebagian orang yang dikatakan melakukan penyimpangan dan
merupakan the agents of control, yang berfungsi pada kepentingan masyarakat
sebagai unit yang kuat, yang memberi label terhadap yang lemah.
Sutherland (dalam Levin, 2000) mengemukakan teori differential
association yang menjelaskan mengenai proses dimana seseorang belajar untuk
melakukan kejahatan dan juga konten apa yang dipelajari dari tindakan tersebut.
Sutherland berpendapat bahwa perilaku criminal itu dipelajari, sama seperti
perilaku lainnya. Intinya adalah bahwa orang-orang melakukan kejahatan karena
mereka memiliki hubungan yang lebih dengan pola pro-criminal daripada dengan
pola anti-criminal. Teorinya secara umum dapat diterima tetapi mendapat kritikan
mengenai asumsi bahwa orang-orang melakukan kejahatan saat mereka
berhubungan dengan kejahatan.
Akers (1996) memiliki teori mengenai proses asosiasi yang berbeda dengan
Sutherland dan memisahkannya dengan prinsip perilaku lainnya. Perkembangan
teori Aker berfokus pada empat konsep utama: differential association,
definitions, differential reinforcement, imitation.
Differential association digambarkan sama seperti definisi yang
dikemukakan oleh Sutherland. Definition merupakan sikap seseorang atau berarti
bahwa seseorang melekat dengan perilaku yang diberikan.
Differential reinforcement merupakan keseimbangan antara antisipasi dan
actual rewards dengan punishment yang mengikuti atau kosekuensi dari suatu
perilaku.
Imitation merupakan meniru perilaku setelah melakukan observasi terhadap
Teori Aker memiliki lingkup yang lebih luas dan tidak mengandung
penjelasan umum mengenai hukum, keadilan kejahatan, atau aspek struktural
masyarakat yang memiliki dampak terhadap kejahatan.
Criminology yang sederhana mengabaikan analisa terhadap wanita. Rafter
dan Heidensohn (1995) menyatakan bahwa kriminology selalu lebih maskulin
daripada ilmu sosial lainnya. Banyak feminist berpendapat bahwa wanita yang
melakukan kejahatan tidak dapat dipahami dengan menggunakan male-centered
theorist. Wanita biasanya melakukan kejahatan yang berbeda dari pria dengan
alasan yang berbeda.
Kenakalan remaja dan broken home sering dilihat sebagai variable yang
berhubungan. Penelitian terkini menemukan bahwa faktanya terdapat hubungan
antara kriminalitas dan struktur keluarga. Analisa kejahatan wanita membuktikan
hubungan ini. Lebih dari setengah jumlah wanita yang melakukan kejahatan
melaporkan bahwa mereka pernah dilecehkan secara seksual selama masa
kanak-kanak. Banyak dari kejahatan itu dilakukan oleh anggota keluarga mereka sendiri.
Dalam studi klasik, Silberman (1978) berpendapat bahwa kejahatan
merupakan hasil dari prinsip ketidaksamaan dan perbedaan ras. African
Americans secara tidak seimbang menunjukkan angka statistic mengenai
penyimpangan, meskipun hal ini menjadi fenomena terhadap ras yang lainnya:
sebagai kelompok yang berada pada golongan kelas menengah, partisipasi mereka
terhadap kejahatan menurun. Silberman berpendapat bahwa African Americans
secara turun-temurun diperlakukan dengan buruk dan ditindas, dan hal itu
Beberapa ilmuan sosial berpendapat bahwa sistem peradilan kriminal itu membangkitkan kejahatan dan kekarasan di United States. Tonry (1995) berpendapat bahwa sistem peradilan kriminal di Amerika merupakan rasis. Lebih khusus, ia menegakkan bahwa ukuran kejahatan kejam yang dibuat sejak 1980 telah ditumbangkan dengan kasar pada orang amerika kulit hitam dari pada orang kulit putih. Menurutnya ketidaksesuaian sebagian kecil terjadi karena pola kejahatan dan sebagian besar terjadi karena perkembangan polotik. Pertama, anggota partai republican dalam pemilihan “memainkan kartu ras” dengan menggunakan slogan anti kejahatan dan mengiklankan kampanye dengan tujuan mengeksploitasi ketakutan orang kulit putih terhadap kejahatan orang kulit hitam, khususnya yang laki-laki.
Selama data populasi penjara disusun, orang kulit hitam dengan tidak proporsional telah digambarkan sebagai tahanan. Ditambah lagi, sejak tahun 1980 persentasi kulit hitam yang menjadi tahanan meningkat drastis. Alasan yang ada mungkin karena bias yang melekat dalam proses penahanan. Sebagai contoh penggunaan obat-obatan terlarang, menurut Tonry (1995), orang kulit hitam tidak kelihatan seperti orang kulit putih yang menggunakan obat-obatan terlarang melainkan ditangkap dan dipenjarakan karena pelanggaran obat-obatan terlarang dalam rata-rata yang tinggi. Alasannya mungkin karena adanya kesesuaian kesepakatan bagaimana penggunaan obat-obatan yang diperbolehkan.
Price dan Sokolof (1995) berpendapat bahwa hukum dibuat dalam bagian besar oleh dan untuk kelas sosial yang dominan. Dalam masyarakat kita biasanya orang ditahan karena melakukan pelanggaran terhadap properti, terhadap ketentraman public, dan terhadap individu-individu.
Menurut Price dan Sokolof (1995) bahwa sejak tahun 1989, wanita memiliki kemungkinan yang lebih besar dari pada pria untuk di penjara atas tuduhan penggunaan obat-obatan terlarang. Lebih dari sepertiga dari seluruh wanita dalam penjara lokal dan sekitar 60 persen dari wanita dalam tahanan federal dihukum karena pelanggaran obat-obatan terlarang.
Paling sedikit di 24 negara bagian, terdapat wanita yang ditahan dan dituntut setelah mereka melahirkan anak mereka yang ternyata setelah dites dalam darahnya terkandung obat-obatan terlarang (Levin dkk, 2000).
BAB III
KESIMPULAN INTERVENSI
Semua masyarakat telah membangun institusi untuk mengontrol tingkah laku kriminal. Sosiologis mengargumentasikan bahwa pemerintah harus melakukan hal yang lebih dari pada hanya berdasarkan pada kebijakan, pengadilan, penjara. Reynolds (1999) menyatakan bahwa Amerika memiliki per kapita kriminal yang lebih banyak dari negara-negara yang sedang berkembang.
Etizen (1999) mengemukakan 4 tindakan yang dapat dengan signifikan mengurangi jumlah kejahatan , yaitu:
1. Masyarakat harus melindungi dari predator sosiopath. Maksudnya bahwa masyarakat harus memenjarakan orang-orang berbahaya. Untuk kriminal-kriminal yang lain masyarakat harus menyediakan tanggapan altrnatif seperti rumah tahanan, half-way houses, boot camps, pengawasan elektronik, korps pekerjaan, perlakuan alkohol/drug.
2. Jumlah senjata tangan dan penyerangan senjata harus dikurangi dengan signifikan melalui penyelenggaraan keras kontrol senjata pada level federal. Upaya khusus harus dilakukan untuk mendapatkan senjata dari luar tangan remaja.
3. Sistem peradilan kriminal harus reinvented, sehingga bias ras, kelas dan gender dibasmi.
Salah satu alternatif umum untuk pembatasan dalam fasilitas pelaku kejhatan adalah masa percobaan, dimana pelanggar hukum yang menerima vonis dari pengadilan, selagi masih bebas berada di bawah pengawasan petugas masa percobaan. Petugas ini melihat apakah penerima masa percobaan ini patuh dengan kondisi di masa percobaannya. Jika kondisi masa percobaan itu dilanggar maka petugas akan mengirim tahanan tersebut ke instansi hukum (Levin dkk, 2000)
Selanjutnya Levin dkk (2000) juga menyatakan terdapat cara lain yang berkembang luas adalah pembebasan bersyarat, dimana pelaku kejahatan di bebaskan dengan pengawasan petugas pembebasan bersyarat setelah menjalani bagian dari vonisnya di pengadilan. Pembebasan bersyarat dikabulkan hanya ketika ditinjau ulang, ditetapkan bahwa tahanan layak mendapatkan hak istimewa,secara spesifik ia menunjukkan kemajuan yang cukup di dalam penjara untuk menjamin kesempatan rehabilitasi diluar penjara. Tahanan yang telah bebas yang masih harus mencari cara untuk menhubungkan dirinya dengan dunia sosial kemungkinan harus menemukan tempat tinggal sementara, yang biasanya berlokasi di lingkungan dimana ia sebelum masuk penjara. Tempat ini biasannya disebut halfway (separuh jalan) untuk menekankan tujuan mereka bertransisi antara kehidupan penjara dengan kebebasan total.
DAFTAR PUSTAKA
Akers,R. 1996. Criminological Theories. Los Angeles:Roxbury Publishing.
Conclin, JE.1995. Criminology. Boston:Allyn and Bacon.
Eitzen, D.S. 1999.:”Violent CrimeMyths, Facts, and Solutions”. Taking Sides :Clashing Views on Controversial Social Issues. Guilford, Connecticut:Duskhin/McGraw Hill.
Gittfredson, Michel,R., and Hirschi. (1990). A General Theory of Crime. Stanford:. Stanford University Press.
Kappeler, Victor, E., Blumberg, M., and Potter G,W. (1996). The Mythology of Crime and Criminal Justice. ProspectHeights. Illionis: Waveland Press.
Price, B.R and Sokoloff N.J. 1995. The Criminal Justice System and Women. New York: MacGraw Hill.
Rafter, N and Heidensohn F. 1995. International Feminist Persefective in Criminology. Philadelphia: Open University Press.
Reiman, J. 1998. The ich Get Risher and The Poor Get Prison:Ideology, Class, and Criminal Justice. Boston: Allyn and Bacon.
Reinolds, M.O. 1999. “Crime pays, But so Does Inprisonment. Taking Sides: Calshing Views on Controversial Social Issues. Guilford, Connecticut:Duskhi/McGraw Hill.
Siegel,L. and Senna, J. 1997. Juvenile Delincuency. New York:West Publishing.
Silberman, C.E.1978. Criminal Violence, Crimanal Justice. New York:Random House.
Levin, J., Innis, K.M., Carrol W.F, and Bourne, R. 2000. Social Problem;causes, Consequences, Intervention. Los Anggeles, California: Roxbury Publishing Company.
Stark, R. (1996). Sociology. Belmont, California: Wadshmorth.