• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Hukum Pidana Terhadap Pengangkatan Anak Secara Ilegal (Adopsi Ilegal)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Hukum Pidana Terhadap Pengangkatan Anak Secara Ilegal (Adopsi Ilegal)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP

PENGANGKATAN ANAK SECARA ILEGAL

(ADOPSI ILEGAL)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

Juliana Napitupulu

NIM : 040200149

Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

MEDAN

(2)

KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP

PENGANGKATAN ANAK SECARA ILEGAL

(ADOPSI ILEGAL)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

Juliana Napitupulu

NIM : 040200149

Departemen Hukum Pidana

Disetujui,

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP. 196107021989031001 (H. ABUL KHAIR SH, M.HUM)

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(NURMALAWATI, SH, M.Hum) (RAFIQOH LUBIS SH, M.HuM) NIP:196209071988112001 NIP:197407252002122002

Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME karena atas

karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk melengkapi

persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGANGKATAN ANAK SECARA ILEGAL (ADOPSI ILEGAL)”

Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih

kepada pihak-pihak yang telah memberi dukungan dengan membantu penulis

dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Chairuddin Lubis

2. Bapak Prof. H. Runtung SH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

3. Bapak H. Abul Khair SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Ibu Nurmalawati SH, M,Hum, selaku sekretaris Jurus sekaligus pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta selaku Dosem

Pembimbing I yang telah memberikan waktunya membimbing dan

mengarahkan penulis serta memberikan masukan-masukan bagi penulisan

(4)

5. Ibu Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan msukan-masukan kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Aflah SH, M.Hum, selaku Dosen Wali penulis

7. bapak dan Ibu Staff Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah mendidik dan membina penulis selama perkuliahan, juga

kepada seluruh staff pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

8. Yang teristimewa dan penulis cintai Ayahanda M. Napitupulu dan Ibunda

K. Tarigan yang telah sabar dalam mengasuh dan mendidik serta memberi

dorongan kepada penulis dengan diiringi doa yang tidak henti-hentinya

sehingga penulis dapat meyelesaikan studi

9. Adikku yang tercinta Mangaraja Pontas Napitupulu yang telah

memberikan motivasi kepada penulis.

10. Sahabat penulis di Fakultas Hukum Herni Indah. Miranda. Tina. Wina,

Trisna, K’Ove, K’Titin, Swarni, Tiomsi, Tety, Laura, Mangara, Emmy,

Kiriz, Erwin, leli, Amelia, Adik-adik ku Helen, Agnest, Jenni, Henni,

Maria, Iryanti, Juni, Rendi, Thomas, Joshia, dan semua teman stambuk

2004 dan seluruh teman-teman pelayanan di UKM KMK USU UP FH.

11. seluruh teman-teman penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara

,

teman sekolah, kerabat penulis, tetangga serta pihak-pihak yang

(5)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna serta

banyak terdapat kelemahan serta kekurangan didalamnya, baik dari segi

penyajiannya harapkan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi kita semua. Hal

ini tidak lain disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu untuk

penyajian yang lebih baik dimasa yang akan datang, dengan segala kerendahan

hati penulis mengarapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.

Akhirnya penulis harapkan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi kita semua.

Medan, Februari 2010

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Dan Manfaat penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

1. Pengertian Anak ... 9

2. Pengertian Pengangkatan Anak ... 12

3. Pengertian Pengangkatan Anak Secara Ilegal ... 15

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II KETENTUAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK DAN PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK ... 19

A. Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan ... 19

B. Akibat Hukum Pengangkatan Anak ... 30

C. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak Warga Negara Asing Kepada Warga Negara Indonesia ... 34

(7)

E. Prosedur Pengangkatan Anak WaRga negara Indonesia Oleh Warga

Negara Asing ... 44

1. Dasar Hukum ... 44

2. Prosedur Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing ... 42

BAB III IMPLEMENTASI HAK ANAK DALAM HUKUM NASIONAL59 A. Hak dan Kewajiban Anak ... 57

B. Pengasuhan dan Pengangkatan Anak... 65

C. Kewajiban Warga Negara Dan Pemerintah ... 68

D. Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga Dan Orang Lain ... 70

E. Penyelenggaraan Perlindungan Anak ... 70

BAB IV KETENTUAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENGANGKATAN ANAK SECARA ILEGAL DAN BEBERAPA CONTOH-CONTOH ... 78

A. Ketentuan sanksi pidana ... 78

B. Contoh-Contoh Kasus Dan Penyelesaian Dalam Kasus ... 82

1. Kasus ... 82

2. Analisa Kasus ... 84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

a. Kesimpulan ... 90

b. Saran ... 93

(8)

ABSTRAKSI

Juliana Napitupulu1

1

Mahasiswa Departeman Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Staff Pengajar Fakultas Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Staff Pengajar Fakultas Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Nurmalawaty, SH, M.Hum** Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum***

Seiring dengan perkembangan masyarakat pengangkatan anak (adopsi) yang pada mulanya bertujuan utnuk melanjutkan dan mempertahankan keturunan dari sebuah keluarga, dan juga mempertahankan perkawinan agar tidak mengalami perceraian berubah bahwa tujuan pengangkatan anak menjadi untuk kesejahteraan anak. Dengan banyaknya permohonan pengangkatan anak baik didalam negeri maupun antar negara. ada pihak-pihak yang menarik banyak keuntungan yang tidak pada tempatnya. Kemudahan-kemudahan untuk mendapatkan keterangan-keterangan dari kelurahan atau kepala desa dan kurangnya pengamatan/penelitian dapat mengakibatkan lolosnya permohonan pengangkatan anak antar negara tanpa memperhatikan aspek keamanan negara dan tanpa memperhatikan kesejahteraan anak. Siapapun yang hendak mengadopsi dan dengan alasan apapun hendak mengasuh dan mengadopsi anak harus sesuai dengan prosedur yang diatur dalam hukum. Berdasarkan latar belakang belakang diatas dikemukakan beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini Bagaimana peraturan hukum mengenai pengangkatan anak (adopsi) dan prosedur pengangkatan anak, Bagaimana implementasi hak anak, Bagaimana sanksi pidana bagi pelaku pengangkatan anak secara ilegal.

Penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif, dimana dalam hal ini dilakukan penelitian terhadap peraturan hukum perundang-undangan dan bahan hukum lain yang berhubungan serta menganalisa kasus yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang dianalisis secara kualitatif, dimana semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian sumber-sumber hukum yang ada, dan kemudian menarik kesimpulan dari bahan tersebut.

(9)

ABSTRAKSI

Juliana Napitupulu1

1

Mahasiswa Departeman Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Staff Pengajar Fakultas Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Staff Pengajar Fakultas Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Nurmalawaty, SH, M.Hum** Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum***

Seiring dengan perkembangan masyarakat pengangkatan anak (adopsi) yang pada mulanya bertujuan utnuk melanjutkan dan mempertahankan keturunan dari sebuah keluarga, dan juga mempertahankan perkawinan agar tidak mengalami perceraian berubah bahwa tujuan pengangkatan anak menjadi untuk kesejahteraan anak. Dengan banyaknya permohonan pengangkatan anak baik didalam negeri maupun antar negara. ada pihak-pihak yang menarik banyak keuntungan yang tidak pada tempatnya. Kemudahan-kemudahan untuk mendapatkan keterangan-keterangan dari kelurahan atau kepala desa dan kurangnya pengamatan/penelitian dapat mengakibatkan lolosnya permohonan pengangkatan anak antar negara tanpa memperhatikan aspek keamanan negara dan tanpa memperhatikan kesejahteraan anak. Siapapun yang hendak mengadopsi dan dengan alasan apapun hendak mengasuh dan mengadopsi anak harus sesuai dengan prosedur yang diatur dalam hukum. Berdasarkan latar belakang belakang diatas dikemukakan beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini Bagaimana peraturan hukum mengenai pengangkatan anak (adopsi) dan prosedur pengangkatan anak, Bagaimana implementasi hak anak, Bagaimana sanksi pidana bagi pelaku pengangkatan anak secara ilegal.

Penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif, dimana dalam hal ini dilakukan penelitian terhadap peraturan hukum perundang-undangan dan bahan hukum lain yang berhubungan serta menganalisa kasus yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang dianalisis secara kualitatif, dimana semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian sumber-sumber hukum yang ada, dan kemudian menarik kesimpulan dari bahan tersebut.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan anugerah terindah yang tidak tergantikan dalam sebuah

keluarga. Setiap orang yang berumah tangga sangat menginginkan akan hadirnya

seorang anak. Anak dapat memberikan hiburan tersendiri kepada orang tua di kala

mereka penat dengan kegiatan sehari-hari. Selain itu, anak juga merupakan

penerus keturunan dalam keluarga.

Tidak semua keluarga memiliki kesempatan untuk memiliki anak

kandung. Banyak hal yang menyebabkan hal ini. Bisa jadi karena alasan medis,

karena usia, atau karena memang belum “dipercaya” untuk memiliki anak oleh

Tuhan. Bagi keluarga yang belum dikaruniai anak, adopsi merupakan jalan yang

tepat. Banyak keluarga yang mengadopsi anak sebagai “pancingan” agar secepat

mungkin dikaruniai anak kandung. Namun ada juga yang mengadopsi anak untuk

meringankan beban orang tua kandung si anak, terlebih lagi jika orang tua

kandung anak tersebut berasal dari keluarga yang tidak mampu.

Jika dalam perkawinan itu tidak diperoleh anak berarti tidak ada yang

melanjut keturunan dan kerabatnya, yang dapat mengakibatkan punahnya kerabat

tersebut. Oleh karena itu orang akan melakukan cara apa saja dan mengorbankan

biaya berapa saja mendapatkan anak dalam perkawinan bahkan ada yang

(11)

berusaha secara maksimal sehingga pengangkatan anak (adopsi) dianggap sebagai

jalan terakhir.

Pengangkatan yang lazim disebut adopsi merupakan lembaga hukum yang

dikenal sejak lama dalam budaya masyarakat Indonesia bermaca-macam motif

orang melakukan pengangkatan anak, sehingga mengadopsi seorang anak tidak

bisa dilakukan dengan “asal-asalan”. Ada peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang adopsi anak.

Peraturan mengenai tata cara dan akibat hukum dari pengangkatan anak

itu sendiri juga bersifat pluralistik di Indonesia. Masing-masing etnis dan

golongan penduduk mempunyai aturan sendiri mengenai prosedur dan akibat

hukum pengangkatan anak. Keanekaragaman ini sering menyebabkan

ketidakpastian dan masalah hukum yang tidak jarang menjadi sengketa

pengadilan. Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih

belum sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema bagi

masyarakat, terutama dalam masalah yang menyangkut ketentuan hukumnya.

Ketidaksinkronan tersebut sangat jelas dilihat, kalau dipelajari ketentuan tentang

eksistensi lembaga adopsi itu sendiri.

Masalah pengangkatan anak semakin menarik perhatian untuk dikaji

setelah berlakunya Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam, oleh Kompilasi Hukum Islam mengakui adanya hubungan hukum antara

anak angkat dan orang tua angkat berupa wasiat wajibah dalam pasal 299.

sehingga mengenai pengangkatan anak merupakan topik yang sangat menarik

(12)

pasca bencana tsunami dan gempa di Nanggroe Aceh Darussalam. Dimana

sejumlah masyarakat berkeinginan untuk mengadopsi anak-anak Aceh korban

tsunami2 Berita hilangnya 300 anak pasca bencana tsunami Aceh yang dilarikan

oleh World Help sampai hari ini tidak jelas penyelesaianya, dan banyak pihak

menduga anak-anak ini dilarikan ke Amerika.3

Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain

untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan Pada mulanya pengangkatan anak hanya dilakukan semata-mata untuk

melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan/marga dalam suatu keluarga

yang tidak mempunyai anak kandung. Disamping itu juga untuk mempertahankan

ikatan perkawinan. Sehingga tidak timbul perceraian. Tetapi dalam

perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan

adopsi telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum dalam

Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang No 4 Tahun 1979, yang berbunyi “pengangkatan

anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan

kepentingan kesejahteraan anak”.

Namun masih ada juga penyimpangan-penyimpangan seperti misalnya

ingin menambah/mendapatkan tenaga kerja yang murah. Ada kalanya keluarga

yang telah mempunyai anak kandung, merasa perlu lagi untuk mengangkat anak

yang bertujuan untuk menambah tenaga kerja dikalangan keluarga atau karena

kasihan terhadap anak yang diterlantarkan.

2

http;//www.texassweetheart.blog.friend.com, “Adopsi legal dan Ilegal” diakses pada hari Sabtu, tanggal 13 Februari 2009, Pkl 20.30 WIB

3

(13)

ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang

berlaku di masyarakat yang bersangkutan.

Kenyataan sosial pengangkatan anak merupakan salah satu aspek dalam

hubungan antar bangsa dan anak negara. Pengangkatan anak semacam itu

menimbulkan masalah baru yaitu masalah pengangkatan anak antar negara.

Namun demikian hingga kini belum dijumpai literatur yang memadai tentang

pengangkatan anak antar negara, demikian pula mengenai undang-undang tentang

pengangkatan anak yang sejak tahun 1982 masih tetap menjadi rancangan

undang-undang.

Dalam proses pengangkatan anak, anak tidak mempunyai kedudukan yang

sah sebagai pihak yang membuat persetujuan. Anak merupakan objek persetujuan

yang dipersoalkan dan dipilih sesuai dengan selera pengangkat. Tawar-menawar

seperti dalam dunia perdagangan dapat selau terjadi. Pengadaan uang serta

penyerahaan sebagai imbalan kepada yang punya anak dan mereka yang telah

berjasa dalam melancarkan pengangkatan merupakan petunjuk adanya sifat bisnis

pengangkatan anak.

Sehubungan dengan ini, maka harus dicegah pengangkatan anak yang

menjadi suatu bisnis jasa komersial. Karena hal itu sudah bertentangan dengan

azas dan tujuan pengangkatan anak.

Menurut azas pengangkatan anak, maka seorang anak berhak atas

perlindungan orang tuanya, dan orang tuanya wajib melindungi anaknya dengan

berbagai cara. Oleh sebab itu hubungan antara seorang anak dengan orang tua

(14)

pengangkatan anak pada hakekatnya merupakan suatu bentuk pemutusan

hubungan antara orang tua kandung dengan anak kandung. Dengan demikian,

maka pengangkatan anak adalah pada dasarnya tidak sesuai dengan azas

pengangkatan anak dan tidak dapat dianjurkan.

Pengangkatan anak pada hakekatnya dapat dikatakan salah satu

penghambat usaha perlindungan anak. Oleh sebab pengangkatan anak yang pada

hakekatnya memutuskan hubungan antara orang tua kandung dengan anak

kandung, menghambat seorang ayah kandung melaksanakan tanggung jawabnya

terhadap anak kandung dalam rangka melindungi anak (mental, fisik,dan sosial).

Pengangkatan anak tidak memberikan kesempatan anak melaksanakan hak dan

kewajibannya terhadap orang tua kandungnya. Hal ini tidak mendidik dan

membangun kepribadian seorang anak. Kalaupun upaya adopsi berhasil, pasal 40

UU perlindungan anak masih mewajibkan orang tua angkat memberitahukakan

asala-usul orang tua kandung kepada anak kelak.4

Pengangkatan anak menyangkut nasib anak yang harus dilindungi, sebab

anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cta perjuangan bangsa.

Anak mempunyai peran yang strategis dalam menjamin kelangsungan eksistensi

bangsa dan negara pada masa depan, oleh karena itu setiap anak perlu mendapat

kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal,

baik fisik, mental maupun sosial dan berakhalak mulia. Oleh sebab itu juga

pengangkatan anak harus menjadi pokok perhatian perlindungan anak, serta

4

(15)

pelaksanaannya harus diamankan oleh hukum perlindungan anak demi perlakuan

adil dan sejahtera bagi kehidupan anak.

Pengangkatan anak akan mempuyai dampak perlindungan anak apabila

syarat-syarat seperti dibawah ini dipenuhi, yaitu;

1. diutamakan pengangkatan anak yang yatim piatu

2. anak yang cacat mental, fisik, sosial,

3. orang tua anak tersebut memang sudah benar-benar tidak mampu

mengelola keluarganya

4. bersedia memupuk dan memelihara ikatan keluarga anatara anak dan

orang tua kandung sepanjang hayatnya

5. hal-hal lain yang tetap mengembangkan manusia seutuhnya. 5

Permasalahan pengangkatan anak jelas begitu kompleks dan rumit dan

dapat membuat anak tidak mampu melindungi dirinya sendiri menjadi korban non

struktural dan struktural. Oleh karena itu Mahkamah Agung tidak menutup mata

dengan banyak masalah yang terjadi pada pengangkatan anak sehingga aturan

yang dulu dipakai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 tahun 1979,

disempurnakan lewat Surat Edaran Mahkamah agung (SEMA) No. 6 tahun 1983

Dengan banyaknya permohonan pengangkatan anak baik didalam negeri

maupun antar negara. Terlebih melihat modernisasi negara-negara barat yang

telah melahirkan tingkat kemakmuran tinggi yang membawa perubahan jalan

fikiran tentang perkawinan dan keluarga dimana kaum wanita tidak ingin

menikah, ataupun kalau menikah mereka tidak ingin memiliki anak. Mereka rela

5

(16)

mengeluarkan biaya yang besar untuk mengadopsi anak Kebutuhan Adopsi

massal ini yang menyebabkan ada pihak-pihak yang menarik banyak keuntungan

yang tidak pada tempatnya. Pada sisi lain negara-negara berkembang seperti

Indonesia masih dipenuhi warga miskin dengan segala persoalannya, yang

kemudian menjadi sasaran pencarian anak-anak yang akan diadopsi melalui

proses perdagangan6

6

. Hal ini disertai Kemudahan-kemudahan untuk

mendapatkan keterangan-keterangan dari kelurahan atau kepala desa dan

kurangnya pengamatan/penelitian dapat mengakibatkan lolosnya permohonan

pengangkatan anak antar negara tanpa memperhatikan aspek keamanan negara.

Seperti kasus Tristan dowse, korban penjualan anak berkedok adopsi adalah kasus

yang besar tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara asal orang tua yang

mengadopsinya, Irlandia. Setelah melalui proses hukum tristan kembali ke ibu

kandungnya. Tristan adalah salah satu contoh adopsi orang asing, walaupun dalam

praktek terdapat jual beli. Adopsi anak bernama asli Erwin disahkan Pengadilan

Negeri Jakarta selatan. Diyakini ada banyak kasus sejenis terjadi meskipun belum

terungkap kepermukaan. Umumnya terjadi melalui sindikat perdagangan bayi.

Diyakini di Indonesia ada ratusan ribu anak yang belum mendapat

pengasuhan dan perlindungan sangat rentan dengan adopsi yang tidak sesuai

dengan peraturan hukum yang berlaku (adopsi Ilegal) hal ini justru membuat anak

tidak bahagia karena ada yang dieksploitasi bahakan ditelantarkan kembali oleh

orang tua yang mengadopsinya.

(17)

Oleh karena itu terlepas dari siapapun yang hendak mengadopsi dan

dengan alasan apapun hendak mengasuh dan mengadopsi anak harus sesuai

dengan prosedur yang diatur dalam hukum. Hal ini untuk mencegah terjadinya

Traffiking anak sebab trafficking bukan saja persoalan penjualan anak untuk

eksploitasi baik seksual maupun tenaga, tetapi juga penjualan bayi yang masih

dalam kandungan, dan anak-anak dengan dalih adopsi.

B.

Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka yang akan

dibahas dalam penulisan skripsi ini, dapat dirumuskan beberapa permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana peraturan hukum mengenai pengangkatan anak (adopsi) dan

prosedur pengangkatan anak?

2. Bagaimana implementasi hak anak dalam hukum nasional?

3. Bagaimana sanksi pidana bagi pelaku pengangkatan anak secara ilegal?

C.

Tujuan dan Pemanfaatan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penulisan adalah seagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai peraturan hukum mengenai

pengangkatan anak (adopsi) dan proses pengangkatan anak

(18)

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan sanksi hukum bagi pelaku

pengangkatan anak secara ilegal (adopsi Ilegal)

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul: “KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP

PENGANGKATAN ANAK SECARA ILEGAL” belum pernah ditulis di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran

dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun

dengan kondisi dan fenomena dalam pelaksanaan pengangkatan anak yang ada

melalui refrensi buku-buku, media elektronik, dan bantuan berbagai pihak. Dalam

rangka melengkapi Tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar

sarjana Hukum Di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila

ternyata dikemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka

penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Pustaka 1.Pengertian Anak

1. pengertian anak menurut Undang-undang dasar 1945

Pengertian anak adalah kedudukan yang ditetapkan dalam pasal 34. pasal

ini mempunyai makna khusus terhadap pengertian dan status anak dalam bidang

politik, karena yang menjadi esensi dasar kedudukan anak dalam kedua pengertian

(19)

dilindungi, dipelihara, dan dibina untuk kesejahteraan anak. Pengertian menurut

Undang-undang dasar 1945 dan pengertian politik melahirkan atau menonjolkan

hak-hak yang harus diperoleh anak dari masyarakat, bangsa, dan negara atau

dengan kata yang tepat pemerintah dan masyarakat dan lebih bertanggung jawab

terhadap masalah sosial, yuridis dan politik yang ada pada seorang anak

2.Pengertian menurut hukum perdata

Pengelompokan anak menurut pengertian hukum perdata di bangun dari

beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seorang subjek hukum

yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut sebagai berikut;

1. Status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum

2. Hak-hak anak dalam hukum

Dalam hukum perdata khususnya pasal 330 ayat 1, mendudukan anak

sebagai berikut “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21

tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin....dst” dalam pasal 330 ayat 3,

mendudukkan anak sebagai berikut “seorang yang belum dewasa yang tidak

berada dibawah kekuasaan orang tua akan berada dibawah perwalian....dst”

pengertian anak disini disebut sebagai istilah “belum dewasa’ dan mereka yang

berada dalam pengasuhan orang tua dan perwalian. Pengertian yang dimaksud

sama halnya dengan pengaturan yang terdapat dalam Undang-undang No1 tahun

1974 tentang perkawinan, yurisprudensi, hukum adat, dan hukum islam

(20)

seseorang yang belum mencapai usia batas legitimasi hukum sebagai hukum atau

layak subjek hukum normal yang ditentukan oleh perundang-undangan perdata7

3. pengertian anak menurut hukum pidana

Menurut Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan

undang-undang mengklasifikasikan anak kedalam pengertian berikut ini:

1. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani

pidana di LAPAS Anak paling lama berumur 18 tahun

2. Anak negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan

kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS paling aman

sampai berumur 18 tahun

3. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orangtua atau walinya

memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling

lama sampai berumur 18 tahun.

Menurut Undang-Undang Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997:

Batas usia Anak yang diatur dalam peradilan anak adalah 8 hingga 18

tahun. Pelaku tindak pidana anak di bawah usia 8 tahun diatur dalam

Undang-Undang Peradilan Anak: “Akan diproses penyidikannya, namun dapat diserahkan

kembali pada ortunya atau bila tidak dapat dibina lagi diserahkan pada

Departemen Sosial.“

7

(21)

Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

AnakAnak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang

masih dalam kandungan.

4. Pengertian anak menurut Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia

Ruang lingkup pengertian anak dalam Hukum Tata Negara memiliki

makna yang tidak jauh berbeda dengan makna yang ditetapkan oleh

undang-undang dasar 1945 dan yang ditentukan anak dalam pengertian politik dan atau

dari pengertian hukum perdata. Dalam makna tata negara anak berhak untuk

mendapatkan status atas perlindungan dari kewajiban-kewajiban hukum baik baik

untuk dipelihara atau direhabilitasi dari perbuatan pidana atau perbuatan

melanggar hukum lainnya. Pengertian anak menurut ketentuan HTN dapat

meliputi hak-hak orangtua yang menajdi PNS dan atau ABRI seperti berikut;

a. hak untuk memperoleh tunjangan

b. hak untuk memperoleh askes, tunjangan kepegawaian, dll.

2. Pengertian Pengangkatan Anak

Pengertian adopsi dapat dibedakan dari dua sudut pandangan yaitu secara

etimologi; adopsi bersalah dari kata ”adoptie” bahasa Belanda, atau ”adopt

(adoption) bahasa Inggris yang berarti pengangkatan anak. Dalam bahasa arab

(22)

anak angkat” sedangkan dalam kamus Munjid diartikan ”ittihadzahu Ibnan’ yaitu

menjadikannya sebagai anak.8

Menurut Hilman Hadi Kusuma, dalam bukunya hukum perkawinan adat: anak

angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orangtua angkat

dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk

kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah

tangga

Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum, berarti

”pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri” jadi disini

penekanannya pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak

sebagai anak kandung. Ini adalah pengertian secara literlijk yaitu adopsi diover

kedalam bahasa indonesia menjadi anak angkat atau pengangkatan anak.

Secara terminologi, para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang

adopsi, antara lain;

9

Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan pengambilan anak

orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang

mememungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan

yang sama, seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri .

Menurut Surojo Wignjodipuro, dalam bukunya “pengantar dan asas-asas

hukum adat memberikan batasan sebagai berikut;

10

8

Muderis Zaini, Adopsi: Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal. 4

9

Ibid., hal. 5

10

Surojo Wignojodipuro, Pengangtar dan Asas-asas Hukum Adat, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta Hal.4

(23)

Kemudian Mahmud Syaltut, seperti yang dikutip secara ringkas oleh Factur

Rachman dalam bukunya ahli waris, beliau membedakan dua macam arti anak

angkat yaitu11;

Pertama; penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya. bahwa ia

sebagai anak orang lain kedalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai

anak dalam segi kecintaan, pemberiaan nafkah, pendidikan, dan

pelayanan dalam segi kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak

nasabnya sendiri.

Kedua; yakni yang dipahamkan dari perkataan “tabanni” (mengangkat anak

secara mutlak menurut syariat adat dan kkebiasaan yang berlaku pada

manusia tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai

oranglain kedalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada

dirinya, sebagaimana anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan

ketentuan hukum sebagai anak.

Dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang Perlindungan Anak , UU No 23

Tahun 2002 memberi pengertian pengangkatan anak ;

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan-kekuasaan keluarga orangtua yang sah/walinya yang sah/orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan kekuasaan kekeluargaan orangtua angkat berdasarkan putusan/penetapan pengadilan negeri

Pengertian lain adopsi adalah suatu perbuatan hukum yang memberikan kedudukan kepada seseorang anak orang lain yang sama seperti anak sah.

11

(24)

3. Pengertian pengangkatan anak secara ilegal

Pengangkatan anak yang dimasukkan dalam kategori ilegal, berdasarkan

pasal 39 UU No 23 tahun 2003 dapat dirincikan sebagai berikut:

1. Pengangkatan anak yang dilakukan bukan untuk kepentingan yang terbaik

bagi anak, tetapi untuk kepentingan pribadi seseorang, dan dilakukan tidak

berdasarkan adat kebiasaan setempat dan peraturan perundang-undangan

yang berlaku .

2. Pengangkatan anak yang memutuskan hubungan nasab dengan orangtua

kandung anak angkat.

3. Calon orang tua kandung ternyata tidak seagama dengan anak yang

diangkat.

4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing yang telah ternyata bahwa

pengangkatan anak bukan merupakan upaya terakhir, karena masih ada

upaya lainnya12

Menurut Boediono, Wakil Ketua Bidang Anak Dan Pendidikan Yayasan

Pembinaan Dan Asuhan Bunda (YPAB) adopsi ilegal adalah .

13

12

Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan pengangkatan Anak di Indonesia, Rajawali Pers, 2008, hal. 89

13

http;//www.texassweetheart.blog.friend.com, loc.cit

;

Adopsi yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orangtua yang mengangkat dengan orangtua kandung anak

.

Dalam UU No 27 tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pasal 5 angka 1 menjelaskan adopsi ilegal yaitu:

Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu

(25)

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian

dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang

berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi.

2. Data dan Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini digunakan data sekunder yang diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, bahan hukum yang telah ada dan yang berhubungan

dengan skripsi penulis yang terdiri dari UUD 1945 serta peraturan

perundang-undangan lain yang terkait dengan bahan hukum primer yaitu terdiri dari

rancangan Undang-Undang, Buku, Pendapat para sarjana, hasil penelitian dan

kasus-kasus hukum yang terkait dengan pembahasan judul skripsi ini, yaitu

pengangkatan anak secara ilegal.

b. bahan hukum sekunder, berupa buku yang berkaitan dengan yang berkaitan

dengan pengangkatan anak (adopsi) secara ilegal, artikel-artikel, hasil-hasil

penelitian, laporan dan sebagainya.

c. bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti

kamus. Kamus hukum , ensiklopedia, dan lainnya.

3 Metode Pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini

(26)

literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat

digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam

penulisan skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini

adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan

perundang-undangn, buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun

bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder yang diperoleh

dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permaslahan.

G.

Sistematika Penulisan

Gambaran isi dan tulisan ini diuraikan secara sistematis dalam bentuk

tahapan-tahapan atau bab-bab yang masalahnya diuraikan secara tersendiri, tetapi

antara satu dengan yang lain memepunyai keterkaitan (Komprehensif)

Berdasarkan sistematika penuisan yang baku, penulisan skripsi ini dibagi

dalam 4 (empat) Bab yaitu:

BAB I Pendahuluan

Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang.

Pemilihan judul, Perumusan masalah, tujuan dan pemanfaatan penulisan, keaslian

(27)

BAB II Ketentuan Hukum Tentang Pengangkatan Anak dan Prosedur Pengangkatan Anak

Didalam bab ini dijelaskan tentang pengangkatan anak menurut Peraturan

Perundang-undangan, akibat hukum tentang pengangkatan anak, Syarat-syarat

pengangkatan anak Warga Negara Asing Kepada Warga Negara Indonesia,

Syarat-syarat pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara

Asing.

BAB III Implementasi Hak-Hak Anak Dalam Hukum Nasional

Didalam bab ini dijelasan tentang hak dan kewajiban Anak, pengasuhan

dan Pengangkatan anak, keajiban Warga negara dan Pemerintah, Kewajiban dan

Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua, Penyelenggaraan Perlindungan anak.

BAB IV Ketentuan Sanksi Pidana terhadap Pelaku Pengangkatan Anak Secara Ilegal dan Beberapa Contoh Kasus

Secara garis besar bab ini menguraikan mengenai sanksi pidana dari

pengangkatan yang dilakukan secara ilegal . Didalam penjelasan mengenai sanksi

pidan diuraikan sanksi-sanksi hukuman bagi pelaku pengangkatan anak secara

ilegal yang terdapat dalam KUHP, dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan anak.

BAB V Penutup

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang merumuskan suatu kesimpulan

dari pembahasan permasalahan yang dilanjutkan dengan memberikan beberapa

saran yang diharapkan akan dapat berguna bagi paar pembaca baik secara teori

(28)

BAB II

KETENTUAN HUKUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK DAN PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK

A. Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Per Undang -Undangan

Sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur

tentang pengangkatan anak, namun praktik pengangkatan anak ditengah-tengah

kehidupan sosial masyarakat telah melembaga dan menajdi bagian dari budaya

yang hidup ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu

masyarakat Indonesia telah melakukan pengangkatan anak dengan cara dan

motivasi yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum adat dan perasaan

hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan.

Pemerintah melalui Menteri sosial menyatakan bahwa, dalam kenyataan

kehidupan sosial tidak semua orang tua mempunyai kesanggupan dan kemampuan

penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok anak dalam rangka mewujudkan

kesajahteraan anak. Kenyataan yang demikian mengakibatkan anak menjadi

terlantar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Sambil menunggu

dikeluarkannya undang-undang pengangkatan anak telah ditetapkan beberapa

kebijaksanaan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak tahun 1984 proses kearah

lahirnya undang-undang yang khusus membahas pengangkatan anak telah sedang

berjalan, dan yang mengatur ketertiban praktik pengangkatan anak dilakukan

dengan beberapa aturan kebijakan-kebijakan pemerintah dan lembaga yudikatif.14

14

Ahmad Kamil dan Fauzan, op.cit., hal. 50

(29)

Meskipun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

pengangkatan anak belum mencukupi telah ada garis hukum bahwa ”Pengadilan

tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara

yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan

wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”, bahkan Pasal 22 AB (algemene

Bepalingen van wetgeving vor Indonesia) secar tegas menentukan bahwa hakim

yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak

lengkap, maka ia dapat dituntut untukk dihukum karena menolak diadili.

Asas hukum tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia juga

menjunjung tinggi sistem hukum dalam common law yang menghargai hakim

sebagai makhluk mulia dan memiliki hati nurani serta kemampuan untuk

menangkap sinyal nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat

sebagai hukum riil yang oleh hakim dapat digali sebagai ramuan untuk

menciptakan hukum yurisprudensi15 dalam menangani kasus yang hukum

tertulisnya belum mencukupi seperti hukum pengangkatan anak di Indonesia.

Temuan hukum oleh hakim (yurisprudensi) tersebut, kedepannya akan menjadi

sumber hukum dalam praktik peradilan.16

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yang merupakan warisan

dari pemerintahan Belanda tidak mengenal peraturan mengenai lembaga

1. Staatblad 1917 Nomor 129

15

Hukum yurisprudensi adalah semua putusan hakim terhadap suatu perkara yang dasarnya hukumnya tidak ada atau kurang jelas, yang telah berkekuatan hukum tetap, diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan kasus yang sama dalam waktu lama secara berulang-ulang

16

(30)

pengangkatan anak. Oleh karena itu bagi golongan Tionghoa diadakan

pengaturannya secara tertulis di dalam Stb. 1917 Nomor 129, yang mulai berlaku

tanggal 1 Mei 1919, sedangkan untuk golongan Pribumi berlaku hukum adatnya

masing-masing. Baru pada tahun 1956 Negeri Belanda memasukkan ketentuan

adopsi dalam BW.17

Dari Stb.1917 No 129 ini, Bahwa pengangkatan anak hanya boleh

dilakukan oleh sepasang suami isteri yang tidak mempunyai anak laki-laki,

seorang duda yang tidak mempunyai anak laki-laki, atau seorang janda yang tidak

mempunyai anak laki-laki sepanjang almarhum suaminya tidak meninggalkan

surat wasiat yang isinya tidak menghendaki jandanya melakukan pengangkatan

anak 18

Jadi yang dapat diadopsi ialah seorang anak Tionghoa yang laki-laki, anak

itu haruslah tidak kawin, tidak mempunyai anak dan tidak pula telah diadopsi oleh

orang lain. Beda usia itu haruslah sekurang-kurang 18 tahun. Dan dengan Ibu

yang yang mengadopsinya beda usia itu haruslah sekurang-kurangnya 15 tahun.

Bila anak yang diadopsi itu adalah seorang anggota keluarga, sah atau tidak sah

(artinya diluar nikah), maka hubungan keturunannya haruslah sama sederajatnya

seperti hubungan dalam adopsi. Untuk dapat mengadopsi harus ada persetujuan

terlebih dahulu antara suami-isteri yang hendak melakukannya. Bila yang hendak

diadopsi adalah seorang anak yang sah, maka diperlukan persetujuan orang tua

kandungnya. Kalau salah seorang dari padanya telah meninggal dunia kecuali bila

17

Ali, Affandi, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW),

Yayasan Badan Penerbit GaJah Mada, Yogyakarta, 1997, hal. 57

18

(31)

yang masih hidup itu adalah seorang ibu yang telah menikah kembali dengan

laki-laki lain; dalam hal itu bagi anak yang masih dibawah umur yang memberikan

persetujuannya ialah walinya dan Balai harta Peninggalan. Demikian pula bila

kedua orang tua kandungnya telah meninggal dunia, wali dan balai harta

Peninggalan memberikan persetujuannya.19

a. Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan

memelihara kelak kemudian dihari tua

Dalam stb. 1917 Nomor 129 ini tidak mengatur mengapa orang melakukan

adopsi. Tetapi jika dihubungkan dengan sistem kepercayaan masyarakat

Tionghoa, bahwa anak laki-laki yang meneruskan keturunan, maka dapat

diketahui bahwa alasan pengangkatan anak menurut stb ini adalah untuk

melanjutkan/meneruskan keturunan. Hal ini dipertegas lagi oleh pasal 12 (1) stb.

1917 Nomor 129, berbunyi: Jika suami Isteri mengadopsi anak laki-laki, maka

anak itu dianggap telah dilahirkan dari perkawinan mereka. Selanjutnya dapat

ditambahkan, alasan melakukan adopsi adalah:

b. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagiaan keluarga

c. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak dirumah maka akan dapat

mempunyai anak sendiri

d. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak

mampu memeliharanya atau demi kemanusiaan

e. Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada

f. Untuk mendapatkan/ menambahkan tenaga kerja, dll

19

(32)

lalu kemudian, ada 2 (dua) ketentuan lagi yang menarik untuk diperhatikan,

yaitu Pasal 11 dan Pasal 14. Pasal 11 stb. 1917 No 129, menyatakan bahwa adopsi

karena hukum menyebabkan orang yang diadopsi memakai nama keluarga orang

tua angkatnya. Kemudian Pasal 14, menyatakan bahwa adopsi karena hukum

menyebabkan putusnya keperdataan antara anak yang bersangkutan dengan orang

tua kandungnya 20

Surojo Wignjodipuro menyebutkan bahwa adopsi dalam hal ini harus

terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala

adat. Kedudukan hukum naka yang diangkat demikian ini adalah sama dengan .

2. Hukum Adat

Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adat adalah terang dan

tunai. Terang ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti bahwa perbuatan hukum

itu dilakukan di hadapan dan diumumkan didepan orang banyak degan resmi dan

secara formal, dan telah dianggap semua orang mengetahuinya. Sedangkan Tunai,

berarti perbuatan itu akan selesai seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditari

kembali, sebagaimana dikutip oleh Bushar Muhammad, Teer Haar menyatakan:

“Pertama-tama harus dikemukakan mengambil anak dari lingkungan

keluarga kedalam lingkungan suatu klan atau kerabat tertentu, anak itu dilepaskan

dari lingkungan yang lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantinya

berupa benda magis. Setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung, anak

yang dipungut itu masuk kedalam lingkungan kerabat yang emngambilnya

sebagai suatu perbuata tunai.

20

(33)

anak kandung dari pada suami isteri yang mengangkatnya, sedangkan hubungan

kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat putus, seperti yang terdapat

didaerah Gayo, Lampung, Pulau Nias, dan Kalimantan.21

Di daerah yang mengikuti garis keibuan (matrilineal) terutama

Minangkabau. Hal ini ditegaskan oleh Mr. B. Ter Haar tidak mengenal lembaga

pengangkatan anak. Karena menurut hukum adat yang berlaku di daerah

Minangkabau harta warisan seorang ayah (bapak) tidak akan jatuh (diwarisi) oleh

anak-anak keturunannya, melainkan diwarisi oeh saudara-saudara sekandung

beserta saudara perempuan yang berasal dari satu ibu. Dengan demikian di

Minangkabau yang perempuan tidak mendesak untuk melakukan perbuatan

Berdasarkan pembagian Hukum adat di Indonesia, di beberapa daerah,

hukum adat tersebut mengalami adanya pengangkatan anak, walaupun tidak ada

keseragaman karena berkaitan dengan hukum keluarga.

Di daerah-daerah yang mengikuti garis keturunan dari pihak laki-laki

(kebapakan) antara lain terdapat di Tapanuli, Nias, gayo, Lampung, Bali dan

Kepulauan Timor, dimana pengangkatan anak hanya dilakukan terhadap anak

laki-laki saja, dengan tujuan adalah untuk meneruskan garis keturunan dari pihak

bapak. Mengenai kewenangan anak angkat pada umumnya dapat dikatakan sama

dengan kewenangan anak kandung, dalam arti anak angkat sama seperti kandung.

Mempunyai kewenangan dalam pengurusan hari tua orangtua angkat. Ia menjadi

generasi penerus bagi orangtua angkatnya.

21

(34)

pengangkatan anak karena yang mewarisi adalah anak-anak dari saudaranya yang

perempuan.

Didaerah yang mengikuti garis keturunan keibu-bapakan (Parental) seperti

Jawa dan Sulawesi, dimana pengangkatan anak (laki-lai perempuan) pada

umumnya dilakukan terhadap anak keponakannya sendiri dengan maksud dan

tujuan untuk:

a. Memperkuat pertalian kekeluargaan

b. Suatu kepercayaan, dengan mengangkat anak itu, kedua orangtua angkat akan

dikarunia anak

c. Menolong anak yang diangkat karena belas kasihan22

Pengangkatan anak di Jawa dan Madura, dan didaerah Jakarta Raya orang

lazim mengangkat anak angkat adalah anak pungut. Didaerah tebet disebut

Kukutan, sedangkan didaerah Rawasani, Senen, dan Grogol keponakan dari ayah

angkat yang diambil menjadi anak piara. Anak angkat (anak pungut) selama

masih hidup tetap dengan orangtua angkat. Anak angkat yang dijadikan anak

angkat tidak ada ketentuan batas umur, pada umumnya adalah anak-anak yang

masih hidup dibawah umur, ketentuan-ketentuan anak di madura umumnya tidak

berbeda dengan hukum adat di Jawa.23

Pengangkatan anak di Sumatera, seperti Di Aceh disebut “ancuk geuteung

disekitar aceh timur di langsa, kuala simpang, disebut “anak Bela” dan di

Selanjutnya B. Bastian Tafal menyatakan bahwa:

22

R, Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hal. 15

23

(35)

meulaboh dengan “anak pungut” (anak Seubut). Sifatnya hanya memelihara saja

dan tidak mempunyai akibat hukum. Didaerah kuala simpang penyerahan anak

bela dilakukan dihadapan kepala-kepala adat, datuk, iman kampung dan keluarga.

Walaupun hubungan yang timbul karena pengangkatan anak itu adalah akrab,

akan tetapi tidak menimbulkan hak mewaris. Malahan anak angkat dapat

dikawinkan dengan anak kandung sendiri, hal mana seseuai dan tidak

bertentangan dengan ajaran agama Islam. Didaerah aceh Tengah, dimana yang

diangkat adalah seorang anak laki-laki. Istilah adatnya adalah luten aneuk ni jema

menajdi aneuk te isahan (mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri

dengan disahkan) yang boleh diangkat hanyalah seorang laki-laki dan dilakukan

dengan upacara yang dihadiri oleh sarek opat dan ahli famili anak angkat

mendapat bagian warisan dari orang tua angkat berupa kenangan Kero sejuk

(artinya memakan nasi dingin). Hal ini karena dalam kewarisan selaku anak

kandung yang diutamakan, sedangkan anak angkat menerima sekedar hibah dari

orangtua angkatnya. Disamping itu si anak angkat mendapat warisan dari orangtua

kandung.24

Pengangkatan anak dapat dilakukan dengan cara yang berlaku sesuai

hukum adat masing-masing daerah tetapi sebaiknya dibuat akta otentik, walaupun Didaerah Aceh umumnya hal ini dilukiskan dengan kata-kata: euoh,

geseutot, gadoh geumita, udep gepeujahan, mate geupeuhgafah, artinya jauh

disusul, hilang dicari, hidup dibimbing, mati dikafan.

24

(36)

tidak dilakukan oleh seorang notaris, cukup hanya keterangan kepala desa/lurah

yang diketahui camat.

3. Hukum Islam

Dalam hukum Islam memperkenankan dilakukannya pengangkatan anak

sepanjang tidak diangkat sebagai anak kandung.

Hukum Islam mengenal pengangkatan anak dalam arti terbatas. Maksud

terbatas pada pemberian nafkah, pendidikan, dan memenuhi segala kebutuhannya

tidak boleh memutuskan hubungan anak yang bersangkutan dengan orang tua

kandungnya. Disinilah letak perbedaan hukum adat dibeberapa daerah dengan

Huku m Islam.25

a. pengangkatan anak angkat menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan

dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak

Perbedaan (Prinsip) inilah yang melatar belakangi diaturnya mengenai

pengangkatan anak dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1979 (Undang-Undang

Tentang Kesejahteraan anak). Hanya dalam Pasal 12 UU No 4 Tahun 1979

dikatakan:

b. kepentingan kesejahteraan anak yang termasuk dalam ayat 12 (1) diatur

lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

c. pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan

diluar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan

perundang-undangan

25

(37)

4. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) No. 2 Tahun

1979 tertanggal 7 April 1979, tentang pengangkatan anak yang mengatur tentang

prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan dan/atau permohonana

pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya.

5. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) No. 6 tahun

1983 Tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 Tahun 1979 Mengenai Tata Cara

Pengangkatan Anak

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) No. 6

Tahun 1983 Tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 Tahun 1979 Mengenai Tata

Cara Pengangkatan Anak ditegaskan bahwa pengangkatan anak Warga Negara

Indonesia, supaya ada jaminan dan memperoleh kepastian hukum anak tersebut,

maka pengangkatannya harus melalui suatu keputusan pengadilan. Mahkamah

agung lewat suratnya edarannya ingin menegaskan bahwa penetapan dan

keputusan pengadilan merupakan syarat bagi sahnya pengangkatan anak. Belum

belum dari kata pengangkatan anak hanya sah sifatnya apabila diberikan oleh

badan pengadilan (harus melalui suatu keputusan pengadilan)

6. Keputusan Menteri Sosial RI NO 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang pelaksanaan

perizinan pengangkatan anak, yang mulai berlaku sejak Tgl 14 Juni 1984

7. Bab VIII, bagian Kedua dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan anak, yang mulai berlaku sejak Tanggal 22 Oktober 2002 dalam

(38)

1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 2. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) tidak

memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orangtua kandungnya

3. Calon orangtua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat

4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir

5. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak tersebut disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat

Pasal 40 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 :

a. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya

b. Pemberitahuan asal-usul orangtua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

8. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) No. 3

Tahun 2005, Tentang Pedoman bagi Hakim dalam melaksanakan Pengangkatan

anak harus berpedoman Kepada (SEMA) No. 6 tahun 1983 Tentang

penyempurnaan SEMA RI No. 2 Tahun 1979 Mengenai Tata Cara Pengangkatan

Anak yang berlaku mulai 8 Februari 2005

Setelah terjadinya bencana alam gempa dan gelombang tsunami yang

melanda Aceh dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial; berupa banyaknya

anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing

untuk mengangkatnya sebagai anak angkat oleh Lembaga Swada Masyarakat dan

Badan Sosial Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak

tersebut.

9. undang Nomor 3 Tahun 2006, Tentang Perubahan Atas

(39)

20. menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa,

memutuskan, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang

yang beragama Islam di bidang “…. Penetapan asal-usul seorang anak dalam

penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam” .

11. Beberapa yurisprudensi Mahkamah agung dan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti oleh

hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama, secara

berulang-ulang, dalam waktu yang lama sampai sekarang.

B. Akibat Hukum Tentang Pengangkatan Anak

1. Menurut beberapa Peraturan

Menurut stb 1917 masalah akibat hukum pengangkatan anak diatur dalam

Pasal 11, 12, 13, dan 14 staatblad 1717 berikut ini uraian pokok-pokok dari

beberapa pasal tersebut:

Pasal 11 menyatakan bahwa pengangkatan anak membawa akibat demi

hukum bahwa orang yang diangkat, jika ia mempunyai nama keturunan lain,

berganti menjadi nama keturunan orang yang mengangkatnya sebagai ganti dari

nama keturunan orang yang diangkat secara serta merta menjadi anak kandung

orang tua kandung yang mengangkatnya atau ibu angkatnya, dan secara otomatis

terputus hubungan nasab dengan orang tua kandung, kecuali:

a. Mengenai larangan kawin yang berdasarkan pada tali kekeluargaan

(40)

c. Mengenai perhitungan biaya perkara di muka hakim dan penyanderaan

d. Mengenai pembuktian dengan seorang saksi

e. Mengenai bertindak sebagai saksi

f. Apabila orangtua angkatnya seorang lai-laki yang telah kawin, maka anak

angkat secara serta merta dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari

perkawinan mereka

g. Apabila ayah angkatnya seorang suami yang telah kawin dan perkawinannya

telah putus, maka anak angkat harus dianggap sebagai anak yang lahir dari

mereka yang disebabkan putus karena kematian

h. Apabila seseorang janda mengangkat seorang anak, maka ia dianggap

dilahirkan dari perkawinannya dengan suami yang telah meninggal dunia,

dengan ketentuan, bahwa ia dapat dimasukkan sebagai ahli waris dalam harta

peninggalan orang yan telah meninggal dunia, sepanjang tidak ada surat

wasiat.

Akibat dari terputusnya hubungan nasab anak angkat dengan orang tua

kandungnya dan masuk menjadi keluarga orang tua angkatnya, anak angkat

disejajarkan kedudukan hukumnya dengan anak kandungn orangtua angkatnya.

Akibatnya anak angkat harus memperoleh hak-hak sebagaimana hak-hak yang

diperoleh anak kandung orang tua angkat, maka anak angkat memiliki hak waris

seperti hak waris anak kandung secara penuh yang dapat menutup hak waris

saudara kandung dan juga orang tua kandung orang tua angkat26

26

(41)

Adanya adopsi maka terputuslah segala hubungan keperdataan antara anak

adopsi dengan orangtua kandungnya. Pasal 39 Undang-Undang No. 23 Tahun

2002 berbunyi sebagai berikut:

1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik

bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku

2. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang

diangkat dan orangtua kandungnya

3. Calon orangtua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon

anak angkat

4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai

upaya terakhir

5. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak tersebut

disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat

6. Orangtua angkat wajib memberitahukan asal-usul dan orang tua kandungnya

dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan

Dari bunyi pasal diatas bahwa pengangkatan anak yang dilakukan dengan

adat maupun penetapan pengadilan tidak diperbolehkan memisahan hubungan

darah antara si anak angkat dengan orangtua kandungnya yang bertujuan antara

lain untuk mencegah kemungkinan terjadinya perkawinan sedarah. Oleh karena

itu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terhadap anak angkat dan

(42)

Dilakukannya adopsi putuslah hubungan perdata yang berasal dari

keturunan karena kelahiran (antara anak dengan orangtua kandungnya), anak

angkat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya.

2. Menurut Hukum adat

Pengangkatan anak menurut hukum adat biasanya dilakukan menurut adat

setempat dan tidak ada suatu kesatuan cara yang berlaku bagi seluruh

wilayah/daerah indonesia. Menurut hukum adat indonesia, anak angkat ada yang

menjadi pewaris bagi orangtua angkatnya, tetapi adapula yang tidak menjadi ahli

waris orangtua angkatnya. Hal ini tergantung dari daerah mana perbuatan

pengangkatan itu dilakukan

Kedudukan anak angkat terhadap akibat hukum pengangkatan anak

menurut hukum adat adalah kedudukan anak angkat didalam masyarakat. Yang

sifat susunannya kerabatan patrilineal seperti Bali.

Perbedaannya adalah di Jawa perbuatan pengangkatan anak hanya diambil

dari keluarga terdekat, sehingga keadaan tersebut tidak memutuskan hubungan

pertalian kekerabatan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung.

Akibatnya anak itu tetap berhak mewarisi harta peninggalan dari orangtua

kandungnya. Di Bali tindakan mengangkat anak merupakan kewajiban hukum

untuk melepaskan anak yang diangkat dari kekeluarganya masuk kedalam

keluarga yang mengangkatnya, sehingga anak itu selanjutnya berkedudukan

sebagai anak kandung untuk meneruskan garis keturunan dari orang tua

(43)

C. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak Warga Negara Asing Kepada Warga Negara Indonesia

1. Bagi Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia

Sebagai pihak pemohon pengangkatan anak adalah calon orang tua angkat.

Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat yang ditentukan27

a. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orangtua kandung dengan

orang tua angkat (private adoption) dibolehkan.

.

SEMA No. 6 Tahun 1983 mengatur syarat calon orangtua angkat bagi

pengangkatan anak Warga Negara Indonesia (domestic adoption) yaitu:

b. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seseorang yang tidak terikat dalam

perkawinan sah atau belum menikah (single parent adoption) dibolehkan.

Ada beberapa hal yang perlu ditegaskan dalam kedua syarat tersebut

sebagai berikut:

1. Syarat pertama itu memberi kesan bahwa pengangkatan anak dapat secara

langsung dilakukan oleh orang tua kandung dengan orang tua angkat, tanpa

melalui pengadilan. Hal ini selaras dengan pandangan masa itu bahwa

pengangkatan anak antara warga Negara Indonesia tidak perlu pengadilan.

Kecuali ada urgensi, misalnya berkaitan dengan perkara kewarisan.Oleh sebab

itu, syarat tersebut harus ditafsir bahwa pengangkatan anak dapat dilakukan

antara orang tua kandung dengan orang tua angkat, tanpa melalui yayasan atau

27

(44)

organisasi sosial. Kendati perbuatan pengangkatan anak itu dilakukan secara

langsung antara orangtua kandung dengan orangtua angkat, penetapan atau

putusan pengadilan tetap diperlukan demi kepastian hukum perbuatan

pengangkatan anak tersebut.

2. Syarat kedua mengenai penerapan kebolehan pengangkatan anak yang

dilakukan oleh seorang yang berstatus tidak atau belum menikah (single

parent) di pengadilan agama harus ditetapkan secara terbatas. Misalnya harus

benar-benar memperhatikan motif pengangkatan anak, jenis kelamin antara

calon orang tua angkat single parent yang hidup sendirian atau terhadap

anggota keluarga yang lain dalam rumah tangganya. Calon orangtua angkat

single parent yang hidup sendirian dalam rumahnya kemudian mengangkat

anak yang berbeda dikhawatirkan terjadi hal-hal yang dilarang agama, karena

mereka tinggal serumah sampai anak dewasa. Hal yang demikian harus

menjadi perhatian untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak

diinginkan.

Sehubungan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut, keputusan

Menteri Sosial RI No 41/HUK/KEP/VII/1984 mengatur tentang syarat-syarat

calon orang tua angkat bagi pengangkatan anak warga negara Indonesia (WNI)

yang berada dalam organisasi sosial yaitu28

a. Berstatus kawin dengan berumur 25 tahun maksimal 45 tahun :

b. Selisih umur calon antara calon orang tua angkat dengan anak angkat minimal

20 tahun

28

(45)

c. Pada saat mengajukan permohonan sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun,

dengan mengutamakan keadaan:

- tidak mungkin mempunyai anak ( surat keterangan dokter kebidanan,

dokter ahli)

- belum mempunyai anak

- mempunyai anak kandung seorang

- mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung

d. Dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan pejabat yang

berwenang serendah-rendahnya lurah atau kepala desa etempat

e. Berkelakuan baik berdasarkan keterangan polisi Republik Indonesia

f. Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter

pemerintah

g. Mengajukan pernyataan bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk

kepentingan esejahteraan anak.

Syarat-syarat tersebut relatif yang memadai, kendatipun syarat-syarat itu

untuk pengangkatan anak antar warga negara Indonesia (WNI) yang berada dalam

organisasi sosial, tetapi dapat dijadikan rujukan untuk pengangkatan anak Warga

Negara Indonesia (WNI) yang tidak melalui organisasi sosial.

Berkaitan dengan persyaratan telah kawin minimal 5 (lima) Tahun serta

batas umur minimal dan maksimal dimaksudkan untuk meyakinkan kesiapan dan

kemampuan calon orangtua angkat dalam memberikan pemeliharaan yang baik

trhadap anak angka. Baik kesiapan kematangan jiwa maupun ekonomi. Sedangkan

(46)

anaknya secara umum, sehingga hubungan mereka dapat berlangsung seperti

layaknya hubungan antara orang tua dan anak29

1. Pengangkatan anak Warga Negara Asing harus dilakukan melalui suatu

yayasan sosial yang memiliki izin dari departemen sosial bahwa yayasan

tersebut telah diizinkan bergerak dibidang kegiatan pengangkatan anak,

sehingga pengangkatan anak Warga Negara Asing yang lagsung dilakukan

antara orangtua kandung anak Warga Negara Asing dengan calon orang tua

angkat Warga Negara Indonesia (private adoption) tidak diperbolehkan

D. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Kepada Warga Negara Asing

Syarat-syarat pengangkatan anak Warga Negara indonesia kepada Warga

negara Asing oleh Surat Edaran Mahkahmah Agung No 6 Tahun 1983 :

2. Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh seorang Warga Negara

Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single

parent adoption) tidak diperbolehkan.

Surat Edaran Mahkamah Agung No 6 tahun 1983 mengatur syarat calon

orang tua angkat bagi anak antar negara:

1. Berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau maksimal 45 tahun

2. Pada saat mengajukan permohonan sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun,

dengan mengutamakan keadaan:

29

(47)

- Tidak mungkin mempunyai anak ( surat keterangan dokter kebidanan,

dokter ahli)

- Belum mempunyai anak

- Mempunyai anak kandung seorang

- Mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung

-Dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan pejabat

yang berwenang serendah-rendahnya lurah atau kepala desa etempat

-Berkelakuan baik berdasarkan keterangan Polisi Republik Indonesia

-Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan

dokter pemerintah

-Mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata

untuk kepentingan kesejahteraan anak

Syarat-syarat bagi calon anak menurut Surat Edaran Mahkahmah Agung

No 6 Tahun 1983:

1. Usia calon anak angkat harus mencapai umur lima tahun

2. Disertai penjelasan tertulis dari menteri sosial atau pejabat yang berwenang

yang ditunjuk bahwa calon anak angkat izinkan untuk diangkat sebagai anak

angkat oleh calon orang tua angkat Warga Negara indonesia yang

bersangkutan

dalam keputusan Mensos RI No 41/HUK/KEP/VII/1984 syarat-syarat calon

anak angkat yaitu;

1. Berumur kurang dari lima (5) tahun

(48)

3. Berada dalam asuhan organisasi soial

Syarat-syarat Pengangkatan anak warga negara indonesia kepada warga

negara asing

Syarat calon orangtua angkat bagi pengangkatan anak antar negara

(intercountry adoption) menurut Surat Edaran Mahkahmah Agung No 6 Tahun

1983:

1. Pengangkatan anak harus melalui yayasan sosial yang memiliki izin dari

depsos bahwa yayasan tersebut telah diizinkan bergerak dibidang kegiatan

pengangkatan anak, sehingga pengangkatan anak yang langsung dilakukan

antara orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption) tidak

dibolehkan, demikian pula pengangkatan anak oleh calon orang tua angkat

yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah atau belum menikah (single

parent adoption) tidah dibolehkan

2. Untuk calon orang tua angkat warga negara asing , selain syarat tersebut

juga harus berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia minimal 3 (tiga)

tahun disertai izin tertulis dari menteri sosial atau pejabat yang ditunjuk

bahwa ia dizinkan untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak

seorang warga negara indonesia

Dalam Keputusan Menteri Sosial RI No 41/HUK/KEP/VII/1984

(49)

a. Berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau maksimal 45 tahun

b. Pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak sekurang-kurangnya

sudah kawin 5 tahun dengan mengutamakan keadaan;

1. Tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter

kebidanan/dokter ahli; atau

2. Belum mempunyai anak;

3. Mempunyai anak kandung seorang;

4. Mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak

kandung

c. Dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan negara

d. Persetujuan terrtulis dari pemerintah negara asal pemohon

e. Berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan kepolian republik Indonesia

f. Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter

pemerintah Republik indonesia

g. Telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia minimal 3 tahun berdasarkan

surat keterangan dari pejabat yang berwenang serendah-rendahnya

upati/walikota setempat.

h. Telah memelihara dan merawat anak yang bersangkutan :

1. 6 (enam) bulan untuk anak di bawah umur 3 (tiga) tahun

2. 1 (satu) tahun untuk anak umur 3 (tiga) tahun sampai 5 (lima) tahun

i. Mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk

(50)

Syarat-syarat calon anak angkat menurut Surat edaran mahkamah agung

No 6 tahun 1983

1. Usia calon anak angkat harus belum mencapai 5 (lima) tahun

2. Disertai penjelasan tertulis dari menteri sosial atau pejabat yang berwenang

yang ditunjuk bahwa calon anak angkat warga negara indonesia iizinkan

untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orangtua angkat Warga Negara

asing yang bersangkutan

Sedangkan syarat-syarat anak angkat menurut Keputusan Menteri Sosial

RI No 41/HUK/KEP/VII/1984;

a. Berumur kurang dari 5 (lima) tahun

b. Berada dalam asuhan organisasi

c. Persetujuan tertulis dari orangtua/ wali (apabila diketahui masih ada)

Pengaturan syarat-syarat calon orang tua angkat maupun calon anak

angkat dalam peraturan perundang-undangan belum memadai. Sedangkan

syarat-syarat menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No 6 tahun 1983 dan keputusan

menteri sosial tersebut itu terbatas pada pengangkatan calon anak angkat yang

berada dalam organisasi sosial kendati demikian, selama belum ada ketentuan

peraturan perundang-undangan yang mengatur pengangkatan anak bagi anak

angkat yang tidak berada dalam oraganisasi sosial, maka syarat-syarat orangtua

maupun anak angkat tersebut dianggap relevan untuk kepentingan anak angkat

Referensi

Dokumen terkait

Pandangan Hukum Islam terkait pengangkatan anak secara Illegal bahwa Islam hanya menganjurkan pengangkatan anak yang tidak memutuskan hubungan nasab antara orang tua kandung

Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga, orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,

Pasal 11 menyatakan bahwa pengangkatan anak membawa akibat demi hukum bahwa orang yang diangkat, jika ia mempunyai nama keturunan lain, berganti menjadi nama

Skripsi yang berjudul “DASAR HUKUM KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM PENGANGKATAN ANAK ( ADOPSI ) ”ini bertujuan untuk mengetahui perspektif Hukum Islam terhadap

Dari hasil data penelitian diatas, penulis mendapatkan beberapa alasan mengapa keluarga melakukan pengangkatan anak yaitu faktor tidak memiliki keturunan, keadaan

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 pengertian Pengangkatan Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan

Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 menentukan bahwa pengangkatan anak adalah suatu proses perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak

Dilihat dari segi motivasi dalam melakukan pengangkatan anak, pengangkatan anak dalam hukum adat lebih menekankan pada kekhawatiran pada calon orangtua angkat