KEKUATAN POLITIK DAN PROSES POLITIK
(Studi Kasus: Perjuangan Kasus Tanah Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara di Bandar Pasir Mandoge, Asahan)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) dan memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
NURHAYATI 030906044
Departemen Ilmu Politik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh
NAMA : NURHAYATI
NIM : 030906044
DEPARTEMEN : ILMU POLITIK
JUDUL : KEKUATAN POLITIK DAN GERAKAN PETANI ”
STUDI KASUS PERJUANGAN KASUS TANAH DEWAN PENGURUS WILAYAH SERIKAT PETANI INDONESIA SUMATERA UTARA DI BANDAR PASIR MANDOGE, ASAHAN.”
Medan, januari 2010.
Pembimbing Pembaca
(Warjio SS, MA) (Indra Kesuma S.I.P, Msi) NIP 132 316 810 NIP 132 313 749
Ketua Jurusan Dekan FISIP USU
KEKUATAN POLITIK DAN PROSES POLITIK
(Studi Kasus: Perjuangan Kasus Tanah Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara di Bandar Pasir Mandoge, Asahan)
Nurhayati
Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara ABSTRAK
Kata Kunci : Kekuatan Politik, Gerakan Petani, Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara
Penelitian dengan judul ” Kekuatan Politik Dan Proses Politik (Studi Kasus: Perjuangan Kasus Tanah Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani
Indonesia Sumatera Utara di Bandar Pasir Mandoge, Asahan)” bertujuan untuk
mengetahui karakteristik organisasi petani, pola gerakan yang dilakukan oleh
Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara sebagai sebuah kekuatan dalam
memperjuangkan kasus tanah di Bandar Pasir Mandoge, Asahan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, yakni untuk
mengungkapkan fakta melalui pengumpulan data-data untik kemudian dipelajari,
diolah, dianalisa dan kemudian ditafsirkan yang disajikan secara deskriptif.
Untuk menggambarkan kekuatan sebuah gerakan petani dalam konteks
Serikat Petani Indonesia wilayah Sumatera Utara, penelitian ini menggunakan
kerangka kekuatan dan gerakan sosial petani . kekuatan yang di bangun Serikat
Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara dalam memperjuangkan kasus tanah di
bandar Pasir Mandoge, Asahan adalah dengan melakukan aksi massa; aksi
pendudukan lahan; kampanye dan membangun opini publik; lobby dan negosiasi;
gerakan politik; serta membangun aliansi gerakan.
Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa gerakan tani yang dijalankan
Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara telah berkembang menjadi
gerakan sosial yang memiliki jangkauan sasaran yang lebih luas, bersifat jangka
panjang dan mengglobal. Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara juga
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, sebagai ungkapan rasa syukur penulis kepada Allah SWT
atas selesainya penulisan skripsi ini, sebagai tanggungjawab akademis serta
persembahan sederhana bagi kedua orang tua penulis.
Penelitianini merupakan apresiasi bagi seluruh petani anggota Serikat
Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara, khususnya petani di Bandar Paris
Mandoge, Asahan yang masih terus memperjuangkan hak dan kedaulatan
petanidibawah ancaman teror dan tindak kekerasan. Serta apresiasi bagi kaum tani
di seluruh nusantara yang masih memperjuangkan pembaruan agraria sejati, serta
para pemuda, mahasiswa, organisasi miskin kota, buruh, nelayan, pers dan ornop
yang telah mendukung dan menjadi bagian dari gerakan petani.
Banyak pihak yang telah memberikan kontribusi bagi penyelesaian skripsi
ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh penyelenggara pendidkan di
FISIP USU, yakni Bapak Dekan Prof. DR. M. Arif Nasution, MA, Ketua
Departemen Ilmu Politik Drs. Heri Kusmanto, MA, para dosen penulis selama
perkuliahan, pegawai administrasi dan pendidikan, serta para guru yang
mengabdikandiri ditempat penulis menimbah ilmu, baik disekolah formal maupun
informal.
Terima kasih penulis terhadap dosen pembimbing dalam menyusun dan
menyelesaikan skripsi ini, Mas Warjio, SS, Maserta Bang Indra Kesuma, S.IP,
Msi yang telah memberikan banyak kritikan dan dorongan dengan kesabaran.
Serta terima kasih penulis kepada Drs. Heri Kusmanto, MA, selaku ketua penguji
Terima kasih yang tak ternilai pada kedua orang tua penulis, Ibunda
Munirah dan Ayahanda Alm. Saimun yang selalu gigih, ulet serta perhatian dan
sabar dalam mendidik anak. Sebagai single parents ibu terus berjuang untuk
mewujudkan cita-cita anakmu. Buat Ayahanda, ”ayah, apa yang engkau inginkan
dari anakmu, kini terwujud.” Permohonan maaf anakmu atas penantian panjang
yang melelahkan raga, fikiran dan hati kalian. Pada kakak-kakak penulis, Mbak
Dar dan Mas Adi yang selalu memberikan nasehat, Mbak Tik dan Mas Tris yang
juga selalu menasehati dan mengingatkan atas segala kesalahan yang adikmu
perbuat, Mbak Iyat yang selalu jadi teman berantem dan selalu cuek, sabarlah,
mbak masih diberi cobaan dan hadapilah dengan tegar. Buat kemenakan penulis,
Arry, Dimas, Intan, Vivi, yang menghabiskan waktu dengan penuh aktifitas dan
belajar, raihlah cita-cita kalian dan jadilah kebanggaan orang tua, Bagas, Aldo dan
Ocha yang masih lucu-lucu setiap ibu sedih melihat tingkah kalian, hilang semua
kesedihan itu.
Terima kasih juga buat Paklek dan Bulek yang selalu memberikan nasehat
dan selalu ingatkan penulis disaat penulis melakukan kesalahan. Buat Ipur,
makasih atas semua perhatianmu dan bantuanmu yang selalu mendorong penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini, Aning yang selalu saja membantu penulis dalam
segala hal, terlebih saat penulis membuat skripsi ini, Fitri yang dengan
kesibukannya sendiri, dan Tutut yang sibuk dengan aktifitas dan belajarnya,
jangan cengeng ya.
Tempat penulis melakukan penelitian ini, Bang Wagimin, Kak Dewi, Kak
Santi, Kak Zubaidah, Kak Andrie yang terus menyemangati penulis, Bang Mana,
serta terima kasih kepada seluruh staf SPI wilayah Sumut yang tidak dapat penulis
sebut satu persatu.
Makasih juga buat Bang Didi yang selalu memarahi penulis dan terus
ingatin penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Serta makasih buat rekan-rekan
yang banyak memberi dukungan dan masukan, Zulfan, Awen, Ocan, Hendra,
Tina, Dayat, Anti, Sudawirahmi, dan seluruh teman-teman yang terlalu panjang
kalau penulis sebutkan satu persatu, penulis mohon maaf. Buat Alm. Endang,
semoga kamu mendapat tempat terbaik di sisinya. Semoga penulisan ini dapat
bermanfaat bagi semua orang, khususnya petani yang masih terus berjuang
menuntut keadilan atas hak-hak mereka yang telah dirampas.
Medan, Januari 2010
Nurhayati
DAFTAR ISI
1.5.Kerangka Dasar Pemikiran
1.5.1. Kekuatan Politik
1.5.2. Perubahan Politik dan Kekuatan Rakyat
1.5.3. Gerakan Sosial Petani
1.5.4. Pandangan Klasik Terhadap Gerakan Petani
1.6.Metodologi Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
1.6.2. Lokasi Penelitian
1.6.3. Informan
1.6.4. Teknik Pengumpulan Data
1.6.5. Analisis Data
1.6.6. Sistematika Penulisan
BAB II. GERAKAN PETANI DAN KONFLIK AGRARIA
2.1. Persoalan Agraria Dalam Kehidupan Masyarakat
2.2. Gerakan Petani di Sumatera Utara
2.3. Sejarah Perkembangan Serikat Petani Indonesia
2.3.1. Lahirnya Komite-Komite Aksi Petani
2.3.2. Konsolidasi Komite-Komite Aksi Petani Mendeklarasikan SPSU
2.3.3. Memperluas Basis Gerakan
2.3.4. Memperluas Jaringan Dan Gerakan Petani Menjadi Organisasi Unitaris
2.3.5. Dari Federatif Menuju Organisasi Nasional Berbentuk Unitaris
2.4.1. Bentuk Organisasi
2.4.2. Tujuan Di Dirikannya SPI
2.4.3. Prinsip Dan Strategi Perjuangan
2.4.4. Posisi, Peran Dan Fungsi Organisasi
2.4.5. Struktur Organisasi
2.5. Sengketa Tanah Antara SPI Basis Sei Kopas Dengan PT. Jaya Baru Pratama
2.5.1. Sejarah Berdirinya Perkampungan
BAB III. ANALISIS DATA
3.1. Pola Gerakan Serikat Petani Indonesia Sumut Sebagai Kekuatan Politik
3.1.1. Aksi Massa
3.1.2. Aksi Pendudukan Lahan
3.1.3. Kampanye Dan Membangun Opini Publik
3.1.4. Lobby Dan Negosiasi
3.1.5. Gerakan Politik
3.1.6. Aliansi Gerakan
BAB IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
KEKUATAN POLITIK DAN PROSES POLITIK
(Studi Kasus: Perjuangan Kasus Tanah Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara di Bandar Pasir Mandoge, Asahan)
Nurhayati
Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara ABSTRAK
Kata Kunci : Kekuatan Politik, Gerakan Petani, Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara
Penelitian dengan judul ” Kekuatan Politik Dan Proses Politik (Studi Kasus: Perjuangan Kasus Tanah Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani
Indonesia Sumatera Utara di Bandar Pasir Mandoge, Asahan)” bertujuan untuk
mengetahui karakteristik organisasi petani, pola gerakan yang dilakukan oleh
Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara sebagai sebuah kekuatan dalam
memperjuangkan kasus tanah di Bandar Pasir Mandoge, Asahan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, yakni untuk
mengungkapkan fakta melalui pengumpulan data-data untik kemudian dipelajari,
diolah, dianalisa dan kemudian ditafsirkan yang disajikan secara deskriptif.
Untuk menggambarkan kekuatan sebuah gerakan petani dalam konteks
Serikat Petani Indonesia wilayah Sumatera Utara, penelitian ini menggunakan
kerangka kekuatan dan gerakan sosial petani . kekuatan yang di bangun Serikat
Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara dalam memperjuangkan kasus tanah di
bandar Pasir Mandoge, Asahan adalah dengan melakukan aksi massa; aksi
pendudukan lahan; kampanye dan membangun opini publik; lobby dan negosiasi;
gerakan politik; serta membangun aliansi gerakan.
Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa gerakan tani yang dijalankan
Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara telah berkembang menjadi
gerakan sosial yang memiliki jangkauan sasaran yang lebih luas, bersifat jangka
panjang dan mengglobal. Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara juga
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Bagi suatu Negara agraria, tanah mempunyai fungsi yang amat penting
untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Indonesia, dengan penduduk yang
sebagian besar hidup di sektor petani tentu membutuhkan tanah sebagai lahan
untuk tanaman pertanian. Sejarah pertanahan Indonesia adalah sejarah
penyimpangan. Ketika di negara-negara barat, pertanian dimulai dengan
membagi-bagikan lahan kepada petani, di Indonesia justru sebaliknya, tanah
rakyat dirampas untuk di bagi-bagikan kepada pengusaha swasta. Hal ini di awali
dengan di berlakukannya undang-undang agraria 1870 yang memberi kebebasan
kepada swasta asing dengan hak erfphacht dan konsep domein verklaring, yakni
pengusaha swasta asing diberi kesempatan untuk dapat menyewa tanah jangka
panjang dan murah. Para kapitalis ini memperoleh hak penguasaan tanah dengan
jangka waktu tidak terbatas di lingkungan kota (hak eigendom), hak sewa tanah
turun temurun untuk menjalankan usaha (hak erfphacht), hak konsensi maupun
hak sewa jangka pendek1
Paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan telah membawa
kondisi pertanian da pedesaan Indonesia menjadi terpuruk. Padahal pedesaan dan
pertanian merupakan dua wilayah vital dalam pembangunan. Dimulai dari
bergulirnya revolusi hijau yang justru telah menggadaikan kemandirian dan
kedaulatan petani. Saat ini arah pembangunan masih diarahkan semata-mata pada .
1
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ekspor. Ujung-ujungnya, kondisi sosial
ekonomi menjadi keropos dan negara tidak mampu memenuhi hak sebagian besar
rakyatnya untuk hidup layak dan bermartabat2
Dalam hal ini para pengusaha dengan dibantu oleh orang-orang yang
bekerja di pemerintahan melumpuhkan rakyat dengan dalih pembangunan dan
kemakmuran rakyat. Akan tetapi semua itu merupakan hasil dari kapitalisme
internasional, dan pembangunan hanya di jadikan jargon politik rezim, sebaliknya
pemerintah sering melakukan penggusuran-penggusuran lahan hanya untuk
kepentingan investasi modal asing atau kroni kekuasaan .
Munculnya berbagai masalah tanah diakibatkan oleh ekspansi
perusahaan-perusahaan kapitalis, baik milik asing, pribumi, maupun milik negara.
Sengketa tanah yang terjadi merupakan ekspresi dari hukum ekonomi kapitalisme,
yaitu akumulasi modal primitif dimana petani kecil di ubah menjadi buruh upahan
dan tanah di ubah menjadi modal. Proses ini biasa di tandai dengan manipulasi
dan perampasan harta benda melalui kekerasan.
3
2
Pandangan Sikap Dasar SPI (http://www.fspi.or.id)
3
Mustain, Petani vs Negara, Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007. Hal. 16
. Rakyat semakin
sengsara karena tanah mereka di ambil alih tanpa ada ganti rugi dan kalaupun ada,
dibayar dengan harga yang sangat murah sekali. Rakyat tidak berdaya, apalagi
ketika mereka menolak untuk menyerahkan tanahnya kepada pemerintah, rakyat
di anggap sebagai pembangkang yang tidak mengikuti aturan pemerintah. Dengan
latar belakang pola kekuasaan yang militeristik dan birokratik maka rakyat yang
Proses transformasi sosial dan politik di Indonesia yang berlangsung pasca
runtuhnya rezim otoritarianisme orde baru ternyata masih meninggalkan sisa-sisa
otoritarianisme diberbagai institusi kenegaraan. Proses demokratisasi masih
berjalan ditempat. Hal tersebut dapat kita lihat dari berbagai kasus perampasan
tanah sepanjang orde baru berkuasa, hingga hari ini belum dapat diselesaikan oleh
pemerintah. Bahkan hingga hari ini berbagai bentuk pelanggaran dan perampasan
atas hak-hak warga negara masih terus berlangsung. Walaupun berbagai bentuk
perundang-undangan yang mensyaratkan terlaksananya demokratisasi dan
penegakan hukum telah di dibuat, ternyata tidak menjamin terwujudnya keadilan
dan perlindungan terhadap hak-hak petani.
Pasca 1998 hingga saat ini, akar masalah ini tak juga berubah. Indonesia
masih dikendalikan oleh nekolim (neokolonialisme-imperialisme) yakni
penjajahan gaya baru dan terikat pada mekanisme pasar yang berstruktur
kapitalistik-neoliberal. Jika dulu penjajahan menggunakan pasukan brsenjata yang
secara langsung merepresi rakyat, penjajahan gaya baru menyusup diam-diam dan
menindas secara struktural. Jika dulu onderneming-onderneming kolonial
merangsek lahan rakyat, pabrik-pabrik perkebunan kolonial, memberangus
hak-hak kemerdekaan, hak-hak-hak-hak berkumpul, dan hak-hak-hak-hak berserikat, ditekan
habis-habisan oleh penjajah maka sekarang belum tentu seperti itu. Dulu penjajahan
langsung menginfasi daerah-daerah asli benua Asia, Amerika, dan Afrika. Kaum
penjajah ini kemudian mengaduk-aduk bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, lalu mengisap hasilnya untuk dialirkan langsung ke
negara penjajah. Sekarang penjajahannya sungguh berbeda, karena
seakan-akan ditegakkan, namun pada esensinya bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalam bumi kita tetap digunakan untuk kepentingan pemilik
kapital. Penjajahan gaya baru tidak terang-terangan, ia tidak dirasakan oleh
rakyat. Ia secara ekonomi-politik, sosial dan budaya mempengaruhi pola pikir dan
segala sendi kehidupan kita sehari-hari4
Seperti yang terjadi pada saat sekarangpun tanah dimiliki oleh
perusahaan-perusahaan asing, segelintir konglomerat dan tuan tanah. Tanah di obral melalui
perpanjangan tangan bank dunia dan pemerintah (land administration project,
LAP), air dijual (UU privatisasi Air No. 7/2004) dan sumber-sumber kekayaan
alam yang terkandung dalam tanah Indonesia(UU Penanaman Modal Tahun
2007)
.
5
4
Ibid. Pandangan Sikap Dasar SPI.
5
Dokumen Kongres III, SPI, 2009. .
Meskipun dalam UUPA diatur hak menguasai negara yang menempatkan
negara sebagai personifikasi seluruh rakyat untuk mengatur, menyelenggarakan,
peruntukan, mengatur dan menentukan hubungan rakyat dengan tanah, tetapi
hanya bersifat hukum publik. Sangat disayangkan pengakuan pemerintah terhadap
hak ulayat dan hak atas tanah kepada petani lebih pada law in book, karena
palaksanaannya tidak jarang terbentur pada persyaratan diakuinya keberadaan hak
itu sendiri yang mengharuskan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara. Pada tataran praktek pemanfaatan hak-hak petani terhadap
tanah, pemerintah melakukan mengambil kepentingan investor dengan pola
penguasaan tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB)
Dalam praktek penetapan HGU, HGB, HP melalui mekanisme pelepasan
hak, justru didahului dengan paksaan dan klaim sepihak dari negara, dengan
mengabaikan transparansi, akuntibilitas dan peran serta masyarakat dalam
pengambilan keputusan soal alokasi sumber-sumber agraria. Ini disebabkan oleh
masih belum berubahnya paradigma kebijakan penguasa yang berorientasi pada
invastasi yang menjadikan posisi pemerintah menjadi ambigu. Di satu sisi untuk
mewujudkan demokratisasi, penegakan hukum dan keadilan soaial terhadap
warga negara, tetapi di sisi lain pemerintah berusaha mempertahankan investasi
demi pertumbuhan ekonomi, sehingga aparatur negara tidak bisa mengambil
perannya sebagai pelaksana negara yang untuk keadilan kepada petani.
Tekanan-tekanan dari luar diperparah dengan sikap aparat pemerintah,
militer dan polisi yang mendukung langkah-langkah perusahaan besar di
lapangan. Aparat sering kali berhadapan langsung dengan petani demi melindungi
kepentingan perusahaan-perusahaan perkebunan. Yang terjadi di lapangan petani
harus berhadapan dengan kekuatan bersenjata.
Berbagai penindasan dan semakin maraknya perampasan tanah milik
rakyat, melahirkan beragam reaksi dari petani. Petani membentuk berbagai
macam organisasi-organisasi massa kaum tani sebagai wadah kekuatan untuk
mereka bisa merebut kembali tanah yang telah di rampas oleh pengusaha. Bukan
hanya di tingkat desa, gerakan-gerakan petani yang muncul lebih luas lagi
cakupannya dengan mengusung isu-isu yang lebih kompleks dan mengglobal.
Gerakan tani berkembang pesat sebagai keseluruhan melalui taktik
tindakan langsung, termasuk pendudukan kantor kongres dan bangunan-bangunan
banyak kasus, gerakan tani merupakan kombinasi dari berbagai bentuk perjuangan
dari tindakan langsung ke negosiasi dan politik praktis. ”Kohesi” petani datang
dari struktur komunitas habitat di pedesaan, pemeliharaan jaringan keluarga yang
luas dan ancaman bencana yang di tiupkan oleh kebijakan pasar bebas, serta
kampanye-kampanye pengurangan dan pengusiran petani dari tempat tinggalnya.
Alasan yang mendorong peneliti untuk memilih tema Kekuatan Politik dan
Gerakan Petani sebagai judul penelitian. Yaitu, adanya empati terhadap kondisi
dan persoalan yang di hadapi petani yang mengalami berbagai penindasan
panjang oleh kuasa dan modal. Meski mayoritas penduduk Indonesia hidup dalam
sektor petani , kebijakan negara atas sektor ini ternyata tidak mampu
meningkatkan kesejahteraan nasib petani. Petani yang sebagian besar merupakan
petani kecil dan tidak memiliki tanah jumlahnya semakin besar, akibat semakin
maraknya proses perampasan tanah milik petani oleh kekuatan penguasa dan
modal serta intervensi kekuatan pasar ke dalam kehidupan petani6
6
Pandangan Organisasi Rakyat Terhadap Reforma Agraria (http://www.fspi.or.id) .
Ada dua alasan peneliti dalam memilih SPI sebagai tempat untuk
melakukan penelitian. Pertama, SPI lahir dimasa rezim orde baru masih berkuasa.
Kelahiran SPI pada masa itu memperlihatkan bahwa perlawanan SPI sudah
dimulai dibawah kekuasaan yang otoriter dan represif. Kedua, keterlibatan SPI
dalam pergerakan petani ditingkat nasional maupun internasional dimana
perjuangan yang dilakukan SPI tidak bersifat lokal serta mengusung isu-isu lokal
1.2Perumusan Masalah
Penelitian ini memfokuskan perumusan masalah pada:
1. Bagaimana Pola Gerakan Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia
Sumut Sebagai Sebuah Kekuatan Politik Dalam Memperjuangkan Kasus
Sengketa Tanah di Bandar Pasir Mandoge, Asahan?
2. Apa Saja Yang Di Lakukan Oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani
Indonesia Sumut Dalam Memperjuangkan Tanah Di Bandar Pasir Mandoge,
Asahan?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih
baik mengenai pola kekuatan dan proses perjuangan kasus tanah dilakukan oleh
Serikat Petani Indonesia sebagai organisasi petani.
1.4 Manfaat Penelitian
a. penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
bagi penulis dibidang politik khususnya tentang kekuatan dan proses
politik.
b. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terhadap
perjuangan dan perlawanan masyarakat pedesaan khususnya petani.
c. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi gerakan
1.5. Kerangka Dasar Pemikiran 1.5.1. Kekuatan Politik
Kekuatan politik dimanapun di atas dunia selalu mencerminkan
masalah-masalah mendalam kesejarahan dan struktural di mana kekuatan-kekuatan politik
itu tumbuh, berkembang dan melakukan peranan. Menurut Hannah Arendt
Kekuatan (strength) merupakan sifat atau karakter yang di miliki setiap individu.
Pada hakikatnya kekuatan berdiri sendiri, namun keberadaan kekuatan dapat
dilihat dari relasi antara individu terkait dengan orang lain. Karena itu, kekuatan
dapat dipengaruhi. Individu yang sangat kuat pun dapat terpengaruh. Pengaruh
yang masuk terkadang tampak seperti ingin memperkuat individu yang
bersangkutan, namun sesungguhnya memiliki potensi melakukan pengrusakan
terhadap kekuatan7
Pada masa orde baru, ketika ideologi developmentalism menjadi pilihan
paradigma pembangunan orde baru, ironisnya konsep ini bukan sepenuhnya
produk elit negara melainkan hasil kontruksi kekuatan kapital global .
8
7
Rieke Diah Pitaloka, Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat, Yogyakarta: Galang Press, 2004. Hal. 60.
8
Mustain, Petani VS Negara ; Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. Yogyakarta: Ar-ruzz Media,2007. Hal. 16.
. Sebagai
akibatnya, produk-produk kebijakan publik dan program pembangunan yang
dihasilkan oleh lembaga-lembaga demokrasi pada masa orde baru tidak lain suara
dari para wakil rakyat yang dibawah kontrol dan untuk kepentingan lembaga
birokrasi, militer, presiden dan kroni-kroninya. Kekuatan eksekutif birokrasi
menjadi representasi kekuatan negara sebagai agen kapitalisme global.
Implikasinya , strategi pertumbuhan ekonomi pada masa orde baru dengan prinsip
itu ke priuk rezim orde baru sendiri. Rakyat yang sudah tertindas oleh represi
politik pun menjadi lebih tertindas secara ekonomi politik9
9
Op. Cit. Pandangan Sikap Dasar SPI.
.
Penduduk Indonesia yang sebagian besar hidup di sektor pertanian, dengan
berlahan sempit dan tidak mempunyai tanah semakin besar jumlahnya. Dengan
maraknya proses perampasan tanah maka rakyat semakin miskin dan lemah.
Kekuatan yang di miliki oleh pengusaha dengan aparat negara menjadikan rakyat
semakin tersingkir dan menderita.
1.5.2. Perubahan Politik dan Kekuatan Rakyat
Perubahan politik yang digerakkan oleh berbagai kekuatan rakyat,
akhirnya mampu menumbangkan rezim orde baru dengan mewariskan kerusakan
politik dan ekonomi negara yang paarah, serta juga mewariskan pemimpin yang
berwatakkan mirip orde baru juga dengan tigkat penghambaan kepada kekuatan
neoliberalisme yang semakin telanjang.
Pada dasarnya perubahan politik belum mampu merubah keadaan seperti
yang di inginkan rakyat tani. Seperti yang terlihat dari beberapa hal, dengan
kelahiran multi partai, pada dasarnya belum memberikan manfaat secara langsung
bagi rakyat, dimana partai sebagai salah satu bentuk kekuatan dan wadah bagi
aspirasi rakyat justru didirikan untuk kepentingan tokoh-tokohnya semata dan
dalam perjalanannya justru lebih banyak melakukan perdebatan politik untuk
kepentingan mereka semata daripada merumuskan agenda menuntaskan persoalan
Pemerintah, parlemen, partai politik serta militer (bahkan orientasi
pertahanan masih memfokuskan diri pada musuh dari dalam) di penuhi para
pengusaha yang lahir dari tradisi yang di kembangkan oleh orde baru yaitu,
monopoli, oligopoli, nepotisme, kolusi dan korupsi. Banyak pengusaha yang
menjadi fungsionaris Golkar di masa Orba dan fenomena (kalangan politis,
militer, pengusaha) baru, menunjukkan mereka mengincar kursi legislatif dan
eksekutif yang berarti pembentukan kapital, akumulasi modal dan pencarian laba
tertinggi. Mereka dapat proyek negara dan hutang luar negeri atau modal asing
yang berarti melanggengkan ketergantungan lumpan borjuis terhadap borjuis
internasional.
Meski dengan keadaan tersebut, ada sisi optimisme bahwa perubahan
politik saat ini banyak menumbuhkan organisasi rakyat. Kesadaran rakyat
semakin meningkat. Aksi massa merupakan cara rakyat mengemukakan dan
menuntut kepentingannya. Meskipun kelembagaan politik formal masih
sepenuhnya di dominasi kekuatan politik yang pro-neoliberal, untuk merebutnya
di perlukan suatu jalan rakyat untuk dapat bangkit melawan dan merebut
ruang-ruang politik yang ada. Jalan itu melalui persatuan nasional gerakan rakyat dengan
melakukan penguatan dan kapasitas organisasi pokok secara mandiri, serta
meningkatkan kualitas dan kuantitas aksi.
1.5.3. Gerakan Sosial Petani
Studi tentang gerakan sosial mengalami perkembangan begitu pesat,
perkembangan ini di tandai dengan meningkatnya secara kuantitas publikasi dan
Studi gerakan sosial telah mengalami perkembangan dengan tidak hanya
memfokuskan pada negara-negara maju, akan tetapi juga pada negara-negara
dunia ketiga.
Gerakan sosial politik sering ditafsirkan sebagai gerakan yang menentang
kekuasaan dominan. Pemaknaan ini berangkat dari kenyataan, dalam banyak hal
gerakan sosial dan politik berwujud perlawanan, bersifat kontra hegemonik dalam
berbagai manifestasinya. Tak dapat disangkal, gerakan sosial politik umumnya
digerakkan oleh ideologi perlawanan yang dibutuhkan sebagai pembenaran dan
dirumuskan dalam tujuan gerakan dengan maksud agar gerakan tersebut
mempunyai landasan dan motivasi yang kuat, serta aspirasi yang tangguh, supaya
mampu melawan kekuatan lebih besar yang dihadapi. Dengan kata lain, gerakan
sosial politik umumnya menganut ideologi ekstorsi atau ideologi
anti-pemerasan, dan menekankan penolakan tarhadap sistem yang dianggap tidak adil
dan menindas.
Gerakan sosial politik sering pula diidentikkan dengan radikalisme yang
bermakna sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial
yang sedang berlaku, dan ditandai kejengkelan moral yang kuat untuk menentang
dan bermusuhan dengan kaum yang punya hak-hak istimewa dan berkuasa.
Karena itu, salah satu aspek paling menarik dari gerakan-gerakan sosial adalah
dimensi politiknya, di mana pada dasarnya semua gerakan tersebut merupakan
ekspresi protes terhadap keadaan sosial yang tidak adil atau berbagai kekacauan,
termasuk penghisapan dan penindasan oleh mereka yang menggunakan
Menurut Mansour Fakih, ada dua pendekatan dalam memandang
teori-teori gerakan sosial. Pertama, pendekatan fungsionalisme yang melihat
masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling
bergantung satu sama lain dan bekerjasama guna menciptakan keseimbangan.
Pendekatan konflik melihat Kedua,pendekatan konflik yang berakar dalam
Marxisme tradisional, yang didasarkan pada pendapat mereka bahwa revolusi
adalah suatu kebutuhan yang disebabkan oleh memburuknya hubungan produksi
yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan kehancuran.10
Teori konflik pada dasarnya menggunakan tiga asumsi dasar. Pertama,
rakyat dianggap memiliki sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan
berusaha secara keras untuk memenuhinya. Kedua, kekuasaan adalah inti dari
struktur sosial dan ini melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya. Ketiga,
nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok
untuk mencapai tujuan masing-masing, ketimbang sebagai alat mempertahankan
identitas dan menyatukan tujuan masyarakat.11
Dalam mendefenisikan gerakan sosial petani, pada umumnya
pendefenisian gerakan sosial oleh para ahli sosiologi telah memiliki pondasi yang
kuat, sementara perdebatan dan kontroversi masih terjadi terhadap pendefenisian
perkataan ‘petani’ (sebagai pelaku utama gerakan sosial itu sendiri) diantara ahli
sejarah dan antropologi. Pendefenisian mengenai petani dan gerakannya yang
dianggap memiliki kompetensi adalah yang dilakukan oleh Barrington Moore Jr
dan Eric R. Wolf. Keduanya secara kebetulan memiliki banyak persamaan
10
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk transformasi sosial; Pergolakan Ideologi LSM
Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Hal 42-43.
11
sepanjang pandangan umum dan orientasi mereka terhadap masyarakat, serta
beberapa kekokohan mereka masing-masing.
Moore menjelaskan bahwa pendefenisian petani tidak mutlak karena
batasnya memang kabur pada ujung kenyataan sosial itu sendiri. Menurutnya,
kekhususan de facto dalam pemilikan tanah merupakan ciri-ciri pokok yang
membedakan seorang petani. Sementara Wolf mendefenisikan petani sebagai
penduduk yang secara ekstensial terlibat dalam proses cocok-tanam dan membuat
keputusan yang otonom tentang proses cocok-tanam. Kategori itu dengan
demikian mencakup penggarapan atau penerima bagi hasil maupun
pemilik-penggarap selama mereka ini berada pada posisi pembuat keputusan yang relevan
tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka 12
Terlepas dari pendefenisian petani yang telah dilakukan oleh beberapa
ahli, Serikat Petani Indonesia telah menggariskan defenisi petani yang menjadi
basis massanya secara jelas dalam Anggaran Rumah Tangganya. Organisasi ini
menegaskan bahwa yang disebut dengan petani adalah setiap perempuan maupun
laki-laki, yang mengolah tanah secara sendiri-sendiri dan atau secara
bersama-sama untuk kegiatan pertanian guna menghidupi diri dan keluarganya. Disamping
itu, SPI juga mengidentifikasikan petani yang menjadi basis massanya adalah
petani perempuan dan petani laki-laki yang berada di wilayah pedesaan, yang
berada pada posisi dan kondisi tertindas baik secara politik, ekonomi, sosial dan
budaya. Basis massa tersebut meliputi Petani kecil/berlahan sempit, Petani
penyewa lahan, Petani bagi hasil, Petani PIR, Petani penumpang lahan, Buruh .
12
Landsberger, Henry A. dan YU. G. Alexandrov. 1981. Pergolakan Petani dan Perubahan
tani, Buruh perkebunan, Masyarakat adat yang hidup dari pertanian dan hasil
hutan13
Untuk melihat penyebab yang melatar belakangi lahirnya gerakan petani,
Bates dan Popkin dengan melihat dari perspektif ekonomi-politik menyatakan,
bahwa penyebab atas terjadinya pemberontakan para petani tradisional datang dari
penetrasi kapitalisme yang imperialistik ke kawasan pedesaan yang dalam banyak
kasus melahirkan eksploitasi terhadap para petani oleh para tuan tanah, oleh
negara, dan kaum kapitalis .
14
Tidak banyak perubahan yang terjadi terhadap kondisi kehidupan petani di
pedesaan hingga hari ini. Mayoritas petani di Indonesia merupakan petani .
1.5.4. Pandangan klasik terhadap gerakan petani
Penindasan terhadap petani dipedesaan telah menghiasi wajah pedesaan
sejak dulu hingga sekarang. Setelah feodalisme ditaklukkan dan kehilangan kuasa
utama dipedesaan, para penguasa kapitalis dan negara kolonial telah menjadi
sumber penindasan baru. Kemerdekaan bangsa Indonesia tidak semerta-merta
memberikan kemerdekaan terhadap kaum tani di pedesaan. Pagelaran kekuasaan
yang menindas masih terus berjalan dalam bentuk penguasaan oleh negara dan
modal. Hingga hari ini masyarakat pedesaan, terutama petani masih dijadikan
sebagai objek eksploitasi dan korban dari bias pembangunan industrialisasi
perkotaan sebagai penyedia bahan pangan murah bagi masyarakat kota demi
berlahan sempit bahkan tidak bertanah (buruh tani). Tumbuh dan berkembangnya
cara produksi kapitalisme senantiasa bermula dengan proses ganda, yakni
melepaskan petani dari ikatan dengan tanahnya untuk menjadi sumber buruh
upahan dan mengintegrasikan tanah tersebut menjadi modal. Proses akumulasi
ganda ini disebut Marx sebagai akumulasi primitif. Ben Fine mendefinisikan
akumulasi primitif bahwa, karena hubungan produksi pra-kapitalis utamanya
bersifat pertanian, para petani yang memiliki alat produksi yang pokok (tanah),
maka kapitalisme hanya dapat diciptakan dengan cara melepaskan kepemilikan
petani atas tanahnya. Asal usul kapitalisme dimulai dari transformasi
hubungan-hubungan produksi yang terdapat pada tanah itu. Membebaskan ikatan petani dari
tanahnya adalah sumber bagi munculnya buruh upahan, baik untuk tenaga kerja
pertanian maupun industri.15
Dalam bukunya Peasant War in Twentieth Century, Wolf menyimpulkan
penyebaran kapitalisme dari Atlantik Utara sebagai pemaksa ekonomi pasar pada
masyarakat pra-kapitalis. Kapitalisme telah mengacau balaukan keseimbangan–
keseimbangan yang dahulu ada pada masyarakat petani. Petani telah
ditransformasi menjadi aktor ekonomi, terlepas dari komitmen sosial yang
terdahulu ada pada keluarga dan tetangga 16
15
Noer Fauzi, Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga,Yogyakarta: Insist Press, 2005. Halaman 138
16
Ibid. Halaman 16
. Meluasnya kekuatan pasar hingga
kepedesaan telah meretakkan hubungan eksploitatif antara petani dan tuan
tanahnya. Menyebarnya pasar yang sangat eksploitatif tersebut disertai dengan
pedagang, intelektual maupun aktifis politik. Dalam situasi peralihan yang
bergejolak tersebut, perlawanan petani mendapatkan momentumnya.
Menurut Scott, meluasnya peran negara dalam proses transformasi di
pedesaan mengakibatkan dampak yang mendorong munculnya perlawanan petani.
Pertama, kesenjangan hubungan antara petani kaya dan miskin. Kesenjangan
tersebut memicu perlawanan kaum miskin terhadap hegemoni kaum kaya maupun
negara. Kedua, munculnya pembelotan kultural dalam berbagai bentuk, akibat
lahirnya kesadaran petani terhadap realitas mereka. Ketiga, terbangunnya senjata
gerakan perlawanan menghadapi kaum kaya maupun negara. Senjata yang
digunakan khas dengan caranya sendiri, budaya perlawanan khas kaum lemah
seperti menghambat, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, perusakan, berlaku
tidak jujur, mencopet, masa bodoh, membuat skandal, membakar, memfitnah,
sabotase yang mengakhiri pertentangan secara kolektif. Bentuk-bentuk
perlawanan tersebut sangat sesuai dengan karakteristik petani yang lemah karena
tidak banyak membutuhkan koordinasi atau perencanaan17
17
Op. Cit. Mustain, Hal. 23
.
Menurut Scott, tujuan sebagian besar perlawanan petani bukanlah secara
langsung mengubah sistem dominasi yang mapan, melainkan lebih dimaksudkan
sebagai upaya untuk tetap hidup dalam sistem itu. Ada tiga hal yang menurutnya
perlu dijelaskan yakni, pertama, tidak ada keharusan bagi perlawanan untuk
mengambil bentuk aksi bersama. Kedua, perlawanan merupakan masalah yang
sangat pelik. Ketiga, perlawanan simbolis tersebut merupakan bagian yang tak
Bagi Scott masyarakat tradisional mempunyai tertib moral yang sudah
lama ada dan tidak dapat dipisahkan dari masalah subsistensi. Tatanan sosial dari
kehidupan petani telah menghasilkan sistem jaminan keamanan hidup internal
yang secara normatif dapat ditegakkan untuk memenuhi kebutuhan semua
masyarakat desa. Kolonialisme telah mengacau balaukan tatanan tersebut dengan
melakukan eksploitasi tanpa batas sehingga muncul diferensiasi sosial yang baru,
dislokasi agraria, kemerosotan moral kearah individualistis, dan kapitalisme
agraria yang rakus, yang mengancam kehidupan petani. Scott menekankan
moralitas dan kemarahan petani sebagai respon yang muncul atas hilangnya
jaminan keamanan subsistensi minimum. Baginya, pemberontakan petani pada
dasarnya bersifat konservatif dan restoratif (mempertahankan dan mengembalikan
tatanan yang terdahulu) 18
Menurut Scott, kehidupan petani ditandai oleh hubungan moral subsistensi
tersebut melahirkan moral ekonomi yang lebih mengutamakan “dahulukan
selamat’ dan menjauhkan diri dari garis bahaya. Moralitas inilah yang dijadikan
faktor kunci dalam menjelaskan gerakan perlawanan petani. Berdasarkan hasil
penelitiannya di Malaysia, Scott menunjukkan bahwa perlawanan sehari-hari
merupakan bentuk perlawanan terselubung (perlawanan secara simbolis) bagi
petani sebagai reaksi terhadap penindasan sehari-hari yang dilakukan para tuan
tanah, sebagai musuh bersama mereka, secara global berdiri sebagai perlawanan
terhadap dampak revolusi hijau yang dirasa mengancam kelangsungan
Berbeda dengan Popkin yang meyakini bahwa masyarakat tradisional
tidak kurang eksploitatifnya ketimbang kolonialisme, dan menganggap solidaritas
sosial dari pedesaan tradisional tidak pernah ada. Baginya tertib moral tersebut
merupakan ilusi para sarjana yang meromantisir kehidupan pedesaan.
Kolonialisme menyediakan kesempatan yang berbeda untuk berkompetisi.
Menghadapi hal itu, para petani mengambil sikap yang berbeda menurut
rasionalitasnya. Popkin menyebutkan bahwa para individu mengevaluasi apa yang
mungkin diperoleh akibat dari pilihan yang akan diambilnya berdasarkan
kecenderungan dan nilai yang dianutnya. Petani menanggapinya dengan
perhitungan untung rugi dan penuh cemas-harap, ketika menghadapi tekanan
kelembagaan baru yang datang menerpa, yakni kekuatan pasar. Menurutnya
gerakan petani bukanlah bersifat restoratif tetapi mencari jalan untuk menjinakkan
kapitalisme, lalu bekerja didalam kapitalisme yang telah dijinakkan tersebut 20
20
Log. Cit. Noer Fauzi, Hal. 23
.
1.6 Metodologi Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif yang mencoba menggambarkan gerakan petani yang di
aktualisasikan oleh Serikat Petani Indonesia dalam memperjuangkan kasus tanah.
Penelitian ini merupakan fakta melalui pengumpulan data-data untuk kemudian
dipelajari, diolah, dianalisa dan kemudian ditafsirkan yang di sajikan secara
1.6.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Serikat Petani Indonesia Sumut dengan basis
desa simpang Sei Kopas Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, Asahan.
1.6.3 Informan
a. Pengurus aktif SPI Sumut. Informan yang dimaksud adalah anggota yang
sedang menjabat sebagai pengurus di struktur kepengurusan SPI Sumut.
b. Anggota SPI Sumut. Informan yang dimaksud adalah anggota SPI Sumut
yang memahami benar sejarah perjalanan dan perkembangan SPI Sumut serta
memahami kebijakan-kebijakan dan sikap organisasi.
c. Aktifis SPI Sumut. Yang dimaksud adalah aktifis yang terlibat dalam
pendirian organisasi massa SPI Sumut, serta terlibat dalam pendampingan,
pelatihan dan pengadvokasian SPI Sumut. Aktifis yang dimaksud adalah
aktifis Sintesa serta konsulat yang telah di angkat oleh SPI Sumut.21
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
a. Observasi, melalui kegiatan ini peneliti diharapkan mampu mengamati
secara langsung bagaimana objek dalam penelitian, sehingga dalam
penelitian didapat gambaran mengenai kondisi objek penelitian.
b. Studi pustaka, yakni pengumpulan data yang berasal dari buku-buku yang
sesuai dengan objek kajian penelitian serta materi-materi yang berkaitan
21
dengan permasalahan, terutama permasalahan perlawanan petani secara
cultural dan secara politik yang memperjuangkan tanahnya.
c. Wawancara, dengan melakukan komunikasi secara langsung untuk
mendapatkan informasi secara mendalam dengan mengeksplorasi
pertanyaan-pertanyaan pada informan dengan mengacu pada interview
guide yang telah dirumuskan peneliti.
1.6.5 Analisa Data
Penelitian kualitatif ditandai dengan pengumpulan, pengolahan, analisis
dan penafsiran. Data yang telah diperoleh yang terkumpul dalam catatan
lapangan, gambar atau foto jika dibutuhkan,dipelajari dan ditelaah. Tahapan
selanjutnya adalah reduksi data yaitu pembuatan abstraksi yang merupakan
usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pertanyaan-pertanyaan yang
perlu dijaga sehingga tetap berada didalam kerangka penelitian.
1.6.6 Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini diawali dengan Bab I sebagai Pendahuluan yang
memuat latar belakang dan tujuan penelitian, yang berimplikasi dalam metodologi
dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian. Dalam bab ini
juga diuraikan kerangka dasar pemikiran sebagai perspektif penelitian, dan diakhir
bab ini digambarkan sistematika penulisan yang digunakan.
Bab kedua merupakan pendiskripsian subjek penelitian beserta
aspek-aspek yang memiliki relevansi dengan subjek penelitian. Bab ini diawali dengan
reaksi petani atas kondisi tersebut yang digambarkan sebagai kekuatan politik
dalam mempengaruhi proses politik organisasi gerakan petani. Bab ini diakhiri
dengan pendiskripsian secara singkat sejarah dan profil Serikat Petani Indonesia
Sumatera Utara.
Bab ketiga merupakan uraian deskriptif atas penafsiran dan penganalisaan
data-data yang diperoleh. Bab keempat berupa uraian yang berusaha menyimpulkan
temuan-temuan penelitian yang telah dianalisis pada bab sebelumnya. Bab ini
akan diakhiri dengan kritik, saran atau masukan yang memiliki relevansi dengan
BAB II
GERAKAN PETANI DAN KONFLIK AGRARIA
2.1. Persoalan Agraria Dalam Kehidupan Masyarakat
Persoalan agraria memiliki dua arah kecenderungan,pertama adalah
penguatan politik rakyat dalam lapangan kehidupan agraria dan pengakuan
kedaulatan rakyat dalam pengolahan sumber-sumber agraria. Yang kedua justru
melemahkan rakyat dan mengalihkan penguasaan pengolahan sumber-sumber
agraria kepada entitas lain, negara ataupun modal bahkan keduanya.
Yang menjadi latar belakang konflik pertanahan umumnya bersumber dari
perebutan tanah antara perkebunan (baik yang difasilitasi negara maupu swasta)
dan rakyat petani. Akar persoalan konflik perkebunan di satu sisi di dapat dari
sejarah lahirnya hak erfpacht yang kemudian di konversi menjadi Hak Guna
Usaha (HGU) pada tanah perkebunan. Bermula dari adanya kebijakan erfpacht,
lahan produktif di kuasai oleh pengusaha swasta kolonial semakin meluas. Selain
munculnya kebijakan nasionalisasi aset kolonial (yang sebenarnya terdapat pula
tanah rakyat di dalamnya), juga terjadi konversi hak erfpacht yang diperebutkan
dengan rakyat menjadi HGU untuk diberikan kepada perusahaan swasta (PTP)
maupun pemerintah (PTPN) dalam bentuk perusahaan daerah perkebunan.
Tidak banyak perubahan yang terjadi terhadap kondisi kehidupan petani di
pedesaan hingga hari ini. Mayoritas petani di Indonesia merupakan petani
berlahan sempit bahkan tidak bertanah (buruh tani). Tumbuh dan berkembangnya
melepaskan petani dari ikatan dengan tanahnya untuk menjadi sumber buruh
upahan dan mengintegrasikan tanah tersebut menjadi modal. Proses akumulasi
ganda ini disebut Marx sebagai akumulasi primitif. Ben Fine mendefinisikan
akumulasi primitif bahwa, karena hubungan produksi pra-kapitalis utamanya
bersifat pertanian, para petani yang memiliki alat produksi yang pokok (tanah),
maka kapitalisme hanya dapat diciptakan dengan cara melepaskan kepemilikan
petani atas tanahnya. Asal-usul kapitalisme dimulai dari transformasi
hubungan-hubungan produksi yang terdapat pada tanah itu. Membebaskan ikatan petani dari
tanahnya adalah sumber bagi munculnya buruh upahan, baik untuk tenaga kerja
pertanian maupun industri.
Adanya konsep pembangunan orde baru, peran negara seolah mempunyai
legitimasi kewenangan untuk melakukan segala upaya penaklukan dan penindasan
terhadap rakyat. Seluruh tindak dan tanduk negara menaklukan atau menindas
rakyat selalu di klaim sebagai bagian upaya negara untuk menegakkan stabilitas
politik dan keamanan agar proses pembangunan bangsa dan negara berlangsung
terus. Hal ini terlihat dalam corak penaklukan yang di lakukan oleh negara orde
baru dalam kasus-kasus sengketa agraria yang terjadi selama ini, yaitu22
a. Delegitimasi bukt i-bukti yang di miliki oleh rakyat atas tanah dan
sumber-sumber agraria lainnya sehingga rakyat kehilangan kepastian hukum yang
seharusnya sudah ada di tangan mereka.
:
b. Penetapan garis demarkasi property atau hak guna secara hukum di atas
tanah atau kawasan yang sesungguhnya merupakan kawasan bebas
22
sehingga pelanggar batas-batas ini akan mendapatkan tekanan yang di
landasi pada hukum tertentu.
c. Penetapan ganti rugi secara sepihak yang seringkali tidak memberikan
ruang sedikitpun bagi proses tawar menawar yang seimbang.
d. Memanipulasi persetujuan rakyat, sehingga seolah-olah rakyat bersedia
melepas hak mereka atas tanah-tanahnya yang digunakan bagi kepentingan
lain, yang acap kemudian menjadi ajang perpecahan di kalangan rakyat
sendiri.
e. Tuduhan sebagai pembangkang atau pengacau, atau anti pembangunan
bagi tokoh-tokoh atau orang-orang yang mencoba bertahan dan menolak
desakan-desakan yang datang dari pihak negara atau pengusaha.
f. Manipulasi makna pengorbanan yang seringkali membuat rakyat jadi
merelakan pelepasan hak atas tanah-tanah mereka karena beranggapan
mereka sedang melakukan perjuangan sosial dengan mengorbankan milik
mereka yang sangat berharga, yaitu tanah-tanah atau akses mereka
terhadap sumber-sumber agraria tertentu.
g. Diskriminasi administratif selalu di terapkan untuk kelompok orang yang
berusaha bertahan atau memberikan perlawanan ketika proses sengketa
terjadi. Diskriminasi ini akan membuat orang-orang yang mengalaminya
kehilangan akses terhadap fungsi-fungsi birokrasi atau fungsi lembaga
sosial ekonomi yang dapat menunjang kelangsungan hidup mereka.
Kehingaran kasus-kasus sengketa tanah ini pada dasarnya menunjukkan
posisi rakyat yang lemah dan sebaliknya posisi negara dan modal sangat kuat
dinyatakan atas nama pembangunan. Dalam hal ini rakyat dipaksa untuk
menerima segala hal yang hendak dilakukan negara, baik dalam bentuk
kepentingannya secara langsung maupun untuk kepentingan pemodal.
2.2. Gerakan Petani di Sumatera Utara
Sepanjang sejarah yang merentang dari masa kolonialisme hingga
sekarang, penindasan petani di pedesaan selalu memunculkan bentuk perlawanan
petani. Sebagian golongan petani mengambil jalan untuk menentang kehadiran
dan bekerjanya bentuk-bentuk penguasaan baru yang menindas mereka. Jika pada
masa kolonialisme penindasan petani dilakukan oleh kuasa tuan tanah dan kaum
penjajah, maka pada saat ini yang mereka hadapi adalah kuasa negara dan modal.
Gerakan-gerakan rakyat di pedesaan yang muncul, baik pada masa kolonial
maupun pada masa sekarang adalah bentuk perlawanan yang berkelanjutan atas
berbagai kekuasaan yang menindas masyarakat di pedesaan yang datang dalam
kuasa dan bentuk yang berbeda-beda. Perlawanan–perlawanan yang mengacaukan
dan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan tersebut pada mulanya
merupakan suatu tanggapan kolektif atas terpuruknya kondisi hidup dan
kemerdekaan mereka atas penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan para
pemegang kuasa ekonomi maupun kuasa politik.
Di Sumatera Utara sendiri, kondisi petani tidak lepas dari berbagai bentuk
penindasan dan masih berada pada posisi yang dimarginalkan. Dalam struktur
tatanan agraria masyarakat tradisional di Sumatera Utara (dahulu Sumatera
Timur), kepemilikan tanah menjadi otoritas penguasa tradisional. Sepanjang masa
Belanda. Arus masuknya penetrasi kapitalisme dalam bentuk modal dimulai pada
tahun 1863, saat Jacobus Nienhuys (investor pertama dalam sejarah perkebunan di
Sumatera Utara) menanamkan modalnya dalam perkebunan tembakau. Sejak saat
itu, perusahaan perkebunan milik pemodal Hindia Belanda tumbuh di Sumatera
Utara hingga daerah ini menjadi primadona karena tanah-tanah yang subur untuk
perkebunan.
Perkebunan yang marak berkembang di Sumatera Utara pada waktu itu
mengakibatkan tersingkirnya petani penggarap yang telah menggarap lahan secara
adat. Gelombang migrasi buruh kebun dari Pulau Jawa dan China meningkat,
sebagai akibat meningkatnya kebutuhan perusahaan perkebunan akan buruh
kebun. Hingga pasca Perang Dunia II disaat terjadi ketidakpastian kondisi sosial
politik dan krisis pangan, para buruh kebun beramai-ramai menggarap lahan
perkebunan milik perusahaan Hindia Belanda yang ditelantarkan. Penggarapan
lahan perkebunan oleh petani terjadi sekitar tahun 1948 hingga jatuhnya Orde
Lama23
Pasca Konfrensi Meja Bundar, penyerahan kedaulatan dari Hindia Belanda
membawa perubahan besar terhadap tatanan struktur agraria di Republik
Indonesia. Terciptanya negara kesatuan merupakan revolusi kedua yang ditandai
dengan perubahan revolusioner terhadap situasi agraria dan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing. Arus besar revolusi kedua tersebut membawa . Kondisi tersebut dilatarbelakangi oleh ketimpangan kepemilikan lahan
ditengah-tengah meningkatnya buruh kebun yang didatangkan oleh perusahaan
perkebunan dan maraknya aktifitas partai politik yang mengusung semangat
revolusioner.
23
pengaruh terhadap lahirnya berbagai organisasi gerakan petani di Sumatera Timur
pada waktu itu.
Pada awal tahun 1950, di Sumatera Utara (dulu Sumatera Timur) terdapat
delapan organisasi petani, yang bersaing satu sama lain dalam usahanya untuk
mendapatkan basis massa. Kebanyakan organisasi petani itu menjalin hubungan
dengan partai politik bahkan ada yang didirikan oleh partai politik untuk
memperoleh pengikut dikalangan petani. Sumatera Utara menjadi lahan yang
sangat menarik perhatian organisasi-organisasi petani yang lahir di Jawa. Namun
ada beberapa organisasi petani yang lahir di Sumatera Utara dan tidak
memperluas basisnya keluar Sumatera Utara. Petani (Persatuan Tani Nasional
Indonesia) yang bernaung dibawah Partai Nasional Indonesia (PNI) lahir di
Sumatera Utara pada tahun 1951, dan memperoleh kedudukan sangat penting
Tabel 2.1.
Partai Politik dan Organisasi-Organisasi Petani dan Buruh di bawahnya 24
Organisasi Petani Partai Politik
PETANI
(Persatuan Tani Nasional Indonesia)
PNI
(Partai Nasional Indonesia)
PETANU
(Persatuan Tani Nahdhatul Ulama)
NU
(Nahdhatul Ulama)
STII
(Sarekat Tani Islam Indonesi)
Masyumi
(Majelis Syuro Muslimin Indonesia)
BTI
(Barisan Tani Indonesia)
RTI
(Rukun Tani Indonesia)
PKI
(Partai Komunis Indonesia)
GTI
Gerakan Tani Indonesia)
PSI
(Partai Sosialis Indonesia)
BPRPI
(Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia)
PRN
(Partai Rakyat Nasional)
Organisasi-organisasi petani yang muncul sangat berbeda satu sama lain,
terutama menyangkut aktifitas dan sikap militansi organisasi. Pada tahun 1950-an
organisasi petani yang paling agresif di Sumatera Utara adalah BTI dan RTI.
Sikap agresif dalam setiap organisasi petani berbeda-beda tergantung dari
kepemimpinan dalam organisasinya. Militansi organisasi petani di Sumatera Utara
pada waktu itu berhasil mempengaruhi jalannya dinamika politik di Sumatera
Utara melalui aksi-aksi sabotase, pemogokan, politik non-koperasi, pelanggaran
peraturan secara hukum sehingga mekanisme pelaksanaan hukum pada waktu itu
sama sekali terhenti 25
Bahkan organisasi-organisasi yang militan seperti BTI yang memiliki
klaim sebagai organisasi petani dengan basis massa terbesar, mampu mendorong
aksi-aksi pendudukan lahan yang merepotkan pemerintah dan pengusaha .
24
Ibid. Pelzer, Karl J. Halaman 83.
25
perkebunan di Sumatera Utara. BTI dikenal sebagai organisasi petani yang sangat
radikal dibawah asuhan Partai Komunis Indonesia. Dengan basis massa yang
besar dan kuat, BTI mampu memberikan kemenangan pada PKI dalam Pemilu
195526
Keuntungan ekonomis ini dapat dilihat dari keuntungan negara yang
diperoleh dari biaya pajak dan nonpajak yang disetor oleh pengusaha swasta
maupun BUMN sebagai hasil penjualan produk-produk sarana peningkatan
produksi (pupuk, bibit, herbisida, pestisida, mesin-mesin pertanian, dll.).
Peningkatan produksi ini juga ditujukan agar sektor pertanian dapat mensubsidi . Kemenangan tersebut memperlebar jalan BTI dan PKI untuk
mengesahkan UU Pokok Agraria yang menjadi tameng perjuangan dan
perlindungan hak-hak kaum tani. Kebesaran organisasi petani seperti BTI ini
nyaris tidak ditemukan kembali setelah penghancuran PKI seiring lahirnya Orde
Baru.
Pembangunan sektor pertanian dilakukan melalui program-program
kapitalistik. Pada sektor tanaman pangan, negara memperkenalkan dan
memaksakan konsep revolusi hijau terhadap petani. Pilihan revolusi hijau oleh
Negara merupakan cermin dari kebijakan yang berorientasi pada peningkatan
produksi bukan keadilan dan keuntungan bagi petani. Dengan revolusi hijau,
negara memperoleh keuntungan berlipat ganda yaitu keuntungan ekonomis,
keuntungan politis, dan ideologis.
26
sektor industri (baik industri disektor pertanian/agribisnis maupun industri
nonpertanian) yang sedang dikembangkan27
Untuk meredam kekuatan politik petani dan di pedesaan pada umunya,
pemerintahan Suharto mengeluarkan kebijakan politik Floating Mass (Massa
Mengambang) tahun 1971 menjelang Pemilu. Kebijakan ini ditujukan untuk
memotong hubungan antara massa pedesaan/petani dengan partai-partai politik.
Partai Politik tidak boleh lagi mempunyai cabang-cabang di daerah kecamatan ke
bawah. Pada tahun 1973 pemerintah memfusikan partai politik yang banyak
jumlahnya itu menjadi tiga wadah: Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kedua partai
politik ini (PPP dan PDI) tidak boleh memiliki organisasi massa berdasarkan
sektor (buruh dan petani misalnya). Tetapi Golkar menempatkan HKTI sebagai .
Keuntungan politik bagi Orde Baru adalah terjaminnya stabilitas politik
melalui pengendalian harga dan pemenuhan stock bagi pemenuhan kebutuhan
subsistensi dari rakyat (terutama rakyat miskin). Sedangkan keuntungan ideologis:
negara memperoleh legitimasi sebagai negara yang memperhatikan kebutuhan
rakyat banyak dalam hal kemampuan memenuhi stock pangan dalam negeri.
Sophistifikasi program kapitalis ini juga dilakukan di sektor Kehutanan dan
Perkebunan. Di sektor perkebunan bentuk mutakhirnya adalah PIR/contract
farming. Untuk mem-back up berhasilnya program kapitalisasi pertanian di
berbagai sektor ini dijalankan pula sistem politik otoritarian yang semakin
canggih (repressi fisik dan ideologis).
27
underbouw-nya. Sementara HKTI dinyatakan sebagai satu-satunya organisasi
petani yang resmi sebagai organisasi petani. HKTI kemudian menjadi organisasi
yang dipergunakan sebagai wadah mengkontrol petani sekaligus sebagai
representasi penyaluran aspirasi politik dari petani. Jalur kekuatan organisasi
produksi petani juga dikooptasi oleh pemerintah. KUD untuk pelembagaan
kepentingan permodalan dan penyaluran saprodi bagi petani (KUD ini sendiripun
harus bersaing secara tidak sehat dengan berbagai macam koperasi dan Yayasan
yang didirikan oleh militer). Sedangkan berbagai kelompok tani (KTNA,
Kelompok Tani binaan Departemen Pertanian, P3A di kawasan irigasi,
Kelompencapir untuk penyaluran pesan-pesan pembangunan) diperlakukan
Tabel 2.2
Karakteristik Organisasi Petani yang lahir dimasa Orde Baru 28
Organisasi Petani Nonpemerintah
Organisasi Petani yang didirikan dan dipersiapkan sejak awal sebagai ORMAS petani.
Selain berusaha menjawab kebutuhan praktis juga untuk berusaha memenuhi kepentingan
strategis (politik) petani. Misalnya SPJB, SPSU, PITL, HPMJT, dll. Tidak mempunyai
afiliasi politik terhadap partai politik manapun. Biasanya mempunyai kolektivitas yang
kental tetapi mempunyai apresiasi/respek yang tinggi terhadap masyarakat adat.
Organisasi-organisasi Petani yang lahir dari masalah nonpertanahan, khususnya ekonomi
dan budidaya/teknik pertanian. Berbentuk KSM, Usaha Bersama, Simpan Pinjam, dll.
Biasanya lahir hasil pendampingan LSM yang berorientasi pada aktivitas Community
Development.
Organisasi Masyarakat Adat yang telah “dimodernisir”. Beberapa diantaranya adalah
BPRPI dan Yayasan-Yayasan yang didirikan oleh Masyarakat Adat. Kebanyakan
organisasi masyarakat adat ini tidak mempunyai kolektivitas kesadaran kelas yang kental,
tetapi lebih pada keasadarn teritorial dan kekerabatan.
Organisasi-organisasi Aksi yang lahir dari hasil advokasi pertanahan. Biasanya bersifat
Ad Hoc. Sangat banyak terbentuk, namun sangat longga r & mudah bubar. Pembentukan
organisasi aksi ini tidak diiringi proses pengorganisasian dan kaderisasi yang baik.
Organisasi-organisasi di pedesaan yang mempunyai akar tradisi. Biasanya berhubungan
erat dengan kegiatan budi-daya pertanian/produksi. Misalnya Adat Bondang di Silau
Lama, Asahan, Marsiadapari di Tapanuli Utara & Tapanuli Selatan, dll.
Berdirinya serikat tani yang menjadi underbouw dari Parpol, namun belum mempunyai
anggota yang banyak (STN – PRD).
28
Direkrutnya kalangan petani dalam struktur organisasi aktivis kelas menengah. Organisasi
seperti ini dapat dikategorikan sebagai organisasi “campuran”. Biasanya keterlibatan
petani di tubuh LSM lebih sebagai upaya kalangan LSM untuk ber-“demokrasi”
2.3. Sejarah Perkembangan SPI
Fase gerakan rakyat yag acap diterjemahkan oleh Organisasai
Non-pemerintah/ Ornop maupun Ormas tampaknya tidak luput dari diskursus
pemikiran, baik menyangkut konsep, metode maupun alat yang digunakan.
Sementara di tingkat praksis, stagnasi dan kejenuhan bagi terwujudnya sebuah
idealisasi tentang proses perubahan, pun tak kunjung menampilkan bentuk yang
konkrit. Kesenjangan antara idealisasi tentang sebuah perjuangan dengan
kenyataan yang ditemui di lapangan ternyata semakin menganga lebar.
Perdebatanpun acap muncul di tataran praktis dan teoritis. Implikasi semua ini
akhirnya menggiring arah dan konsep gerakan rakyat ke dalam satu keadaan yang
goyah, baik secara metodologis maupun idiologis. Suasana yang demikian ini
akhirnya juga menjadikan para aktivis dan organisasi gerakan rakyat mencoba
melihat perspektif lain yang lebih realistis untuk diaktualisasikan. Penetapan
pilihan-pilihan inilah yang akhirnya melahirkan berbagai organisasi dan
perkumpulan yang mencoba mendekonstruksi apa-apa yang sudah dilakukan
selama ini di tengah-tengah rakyat.
Dalam sejarah dan konteks gerakan rakyat khususnya di sektor agraria,
misalnya, greget atau maksimalisasi perjuangan yang dilakukan selama Orde Baru
bagi terbaikinya nasib petani. Reformasi agraria yang dicanangkan sejak tahun
1960 pun akhirnya cuma hanya sekedar dibahas tanpa suatu implementasi yang
berarti. Banyak organisasi non pemrintah yang lahir dan mengatasnamakan petani
akhirnya frustrasi manakala berhadapan dengan strategsi rezim Orde Baru yang
sangat otoritarian – birokratif dan represif. Kehadiran Ornop/LSM nyatanya tak
begitu banyak merubah nasib petani secara keseluruhan. Eskalasi perjuangan
Ornop (yang mengurusi petani) mengalami pasang surut seirama dengan
perkembangan konstalasi sosial politik yang berlangsung.
Di tengah situasi yang demikian ini kemudian muncul gagasan untuk
melahirkan suatu wadah organisasi yang benar-benar genuine muncul dari rakyat
itu sendiri. Hal ini kemudian menggejala dan akhirnya menjadi suatu pilihan yang
dianggap strategis. Pada momentum inilah lahir Serikat Petani Sumatera Utara
(SPSU) sebagai suatu sintesis antara kalangan aktivis dan grass root (petani)
yang ada di tingkat lokal, Sumatera Utara. Perkembangan SPSU (di kemudian
hari menjadi Serikat Petani Indonesia) dengan demikian adalah perkembangan
respon petani dan organisasi petani terhadap situasi yang menindas.
Perkembangan SPSU tidak terlepas dari perkembangan situasi politik dan
ekonomi lokal, nasional maupun internasional yang mempengaruhinya.
2.3.1. Lahirnya komite-komite aksi petani
Embrio SPSU (Sebelum berubah menjadi Serikat Petani Indonesia) berasal
dari komite-komite aksi petani yang tersebar di beberapa desa di berbagai
pendampingan yang dilakukan oleh aktifis Sintesa 29
Pada awalnya sintesa memulai pendampingannya dengan proyek
Teknologi Tepat Guna (TTG) berupa pembangunan pembangkit listrik tenaga
mycrohydro didesa Lobu Rappa yang terpinggirkan dibawah mega proyek PLTA
Asahan. Dalam perjalanan selanjutnya Sintesa memasuki arah baru dalam
perkembangan visi dan misinya yang mulai terfokus pada masalah penguatan
petani. Persoalan perampasan lahan petani yang marak terjadi dimasa
meningkatnya pembangunan perusahaan-perusahaan perkebunan Sumatera Utara
mendorong Sintesa terlibat dalam advokasi persoalan tanah petani. Dimasa
tersebut, cikal bakal SPSU (Sebelum berubah menjadi Serikat Petani Indonesia)
mulai lahir dari komite-komite aksi petani sebagai wadah perjuangan ditingkat
lokal yang muncul atas dampingan yang dilakukan aktifis Sintesa. Komite-komite
aksi tersebut menyebar di beberapa Kabupaten yang memiliki basis konflik . Sintesa sendiri muncul dari
gagasan-gagasan di forum diskusi menjadi lembaga pengembangan masyarakat.
Sintesa atau Yayasan Sintesa (Sinar Tani Indonesia) didirikan pada tahun 1987.
Embrio Sintesa dimulai dari suatu kelompok studi mahasiswa Universitas
Sumatera Utara di Medan bernama “Sintesa Forum Studi” yang sudah aktif sejak
1985 dibawah sistem NKK/BKK yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru. Dalam
perjalanan mereka mengalami kejenuhan dengan serangkaian diskusi-diskusi
problematika sosial masyarakat, tanpa ada tindakan yang dapat dilakukan didalam
ruang aktifitas kampus yang dibatasi. Dalam kondisi tersebut, mereka
memunculkan gagasan untuk mengimbangi rangkaian diskusi intelektual mereka
dengan melakukan pengorganisasian dan pendampingan masyarakat di pedesaan.
29
agraria di 16 desa di 3 Kabupaten (Asahan, L. Batu dan Tapanuli Selatan) telah
melahirkan beberapa Sejalan dengan terbentuknya komite-komite aksi di tingkat
lokal tersebut, juga terindentifikasi beberapa calon kader petani yang sering
dilibatkan oleh sintesa dalam pertemuan petani baik di tingkat kabupaten, propinsi
maupun tingkat nasional. Pelibatan petani dalam pertemuan dimaksudkan sebagai
proses pendidikan bagi calon kader petani agar lebih memahami
persoalan-persoalan petani secara menyeluruh.
2.3.2. Konsolidasi komite-komite aksi petani mendeklarasikan SPSU
Dalam upaya memperkuat perjuangan petani ditingkat wilayah,
komite-komite aksi yang diorganisir aktifis Sintesa didorong untuk melakukan konsolidasi
melalui pertemuan-pertemuan yang bertujuan menyamakan persepsi dan keinginan
bersama untuk membentuk organisasi petani ditingkat Propinsi. Pertemuan untuk
mempersiapkan pembentukan organisasi petani tingkat propinsi secara intensif
dilakukan pada tanggal 1 sampai tanggal 3 Juni 1994 di Pesantren KH Ahmad
Basyir Parsariran, Batang Toru, Tapanuli Selatan. Pertemuan diikuti oleh 53 peserta
terbagi atas: Petani 30 orang dari 6 Kabupaten (Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah,
Tapaanuli Utara, Asahan, Labuhan Batu dan Deli Serdang), Mahasiswa 5 orang dan
dari aktifis LSM sekaligus fasilitator dan moderator sebanyak 15 orang. Di akhir
pertemuan pada tanggal 3 Juni 1994, utusan-utusan dari komite-komite aksi petani
yang hadir berhasil membuat deklarasi yang bunyinya sebagai berikut ; "Dengan
rahmat Tuhan Yang Maha Esa Kami Petani Sumatera Utara dengan ini menyatakan
Setelah mengikrarkan bersama deklarasi pembentukan organisasi petani,
peserta pertemuan tersebut langsung membentuk panitia pekerja yang akan
mempersiapkan nama dan AD/ART sekaligus mempersiapkan kongres
pertamanya. Hasil pembahasan di panitia pekerja yang bersidang pada tanggal 28
Agustus s/d 1 September 1994 di Kisaran menyepakati nama organisasi petani
yang akan didirikan, dengan nama Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) yang
pada Kongres ke-V memutuskan untuk mendorong Federasi Serikat Petani
Indonesia ditingkat nasional menjadi organisasi unitaris dengan nama Serikat
Petani Indonesia (SPI). Panitia pekerja juga telah menyelesaikan draft AD/ART
yang akan dibawa ke Kongres SPSU yang pertama. Sedangkan menurut hasil
musyawarah panitia, kongres SPSU ke-I akan diadakan pada tanggal 1 s/d 3
Nopember 1994 di tempat yang ditentukan kemudian. Panitia Pekerja ini
kemudian membentuk Panitia Penyelenggara Kongres. Panitia Pekerja dan Panitia
Penyelenggara secara bersama mengadakan konsolidasi ke daerah-daerah dan
mengadakan pertemuan-pertemuan untuk persiapan kongres.
Akibat situasi politik yang tidak memungkinkan pada masa itu,
mengakibatkan penundaan beberapa kali. Salah satu penyebab penundaan kongres
pertamanya adalah penggrebegan kantor Sintesa oleh Kodim dan Polres Asahan
akibat aktifitas pengorganisiran petani yang dilakukan Sintesa. Pengawasan ketat
oleh rezim penguasa juga dilakukan terhadap aktifitas yang dilakukan oleh
komite-komite aksi dibeberapa desa. Kondisi tersebut memaksa Panitia Pekerja