• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuatan Politik Dan Proses Politik: Studi Kasus Perjuangan Kasus Tanah Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara Di Bandar Pasir Mandoge, Asahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kekuatan Politik Dan Proses Politik: Studi Kasus Perjuangan Kasus Tanah Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara Di Bandar Pasir Mandoge, Asahan"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

KEKUATAN POLITIK DAN PROSES POLITIK

(Studi Kasus: Perjuangan Kasus Tanah Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara di Bandar Pasir Mandoge, Asahan)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) dan memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

NURHAYATI 030906044

Departemen Ilmu Politik

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh

NAMA : NURHAYATI

NIM : 030906044

DEPARTEMEN : ILMU POLITIK

JUDUL : KEKUATAN POLITIK DAN GERAKAN PETANI ”

STUDI KASUS PERJUANGAN KASUS TANAH DEWAN PENGURUS WILAYAH SERIKAT PETANI INDONESIA SUMATERA UTARA DI BANDAR PASIR MANDOGE, ASAHAN.”

Medan, januari 2010.

Pembimbing Pembaca

(Warjio SS, MA) (Indra Kesuma S.I.P, Msi) NIP 132 316 810 NIP 132 313 749

Ketua Jurusan Dekan FISIP USU

(3)

KEKUATAN POLITIK DAN PROSES POLITIK

(Studi Kasus: Perjuangan Kasus Tanah Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara di Bandar Pasir Mandoge, Asahan)

Nurhayati

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Kata Kunci : Kekuatan Politik, Gerakan Petani, Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara

Penelitian dengan judul ” Kekuatan Politik Dan Proses Politik (Studi Kasus: Perjuangan Kasus Tanah Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani

Indonesia Sumatera Utara di Bandar Pasir Mandoge, Asahan)” bertujuan untuk

mengetahui karakteristik organisasi petani, pola gerakan yang dilakukan oleh

Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara sebagai sebuah kekuatan dalam

memperjuangkan kasus tanah di Bandar Pasir Mandoge, Asahan. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, yakni untuk

mengungkapkan fakta melalui pengumpulan data-data untik kemudian dipelajari,

diolah, dianalisa dan kemudian ditafsirkan yang disajikan secara deskriptif.

Untuk menggambarkan kekuatan sebuah gerakan petani dalam konteks

Serikat Petani Indonesia wilayah Sumatera Utara, penelitian ini menggunakan

kerangka kekuatan dan gerakan sosial petani . kekuatan yang di bangun Serikat

Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara dalam memperjuangkan kasus tanah di

bandar Pasir Mandoge, Asahan adalah dengan melakukan aksi massa; aksi

pendudukan lahan; kampanye dan membangun opini publik; lobby dan negosiasi;

gerakan politik; serta membangun aliansi gerakan.

Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa gerakan tani yang dijalankan

Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara telah berkembang menjadi

gerakan sosial yang memiliki jangkauan sasaran yang lebih luas, bersifat jangka

panjang dan mengglobal. Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara juga

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, sebagai ungkapan rasa syukur penulis kepada Allah SWT

atas selesainya penulisan skripsi ini, sebagai tanggungjawab akademis serta

persembahan sederhana bagi kedua orang tua penulis.

Penelitianini merupakan apresiasi bagi seluruh petani anggota Serikat

Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara, khususnya petani di Bandar Paris

Mandoge, Asahan yang masih terus memperjuangkan hak dan kedaulatan

petanidibawah ancaman teror dan tindak kekerasan. Serta apresiasi bagi kaum tani

di seluruh nusantara yang masih memperjuangkan pembaruan agraria sejati, serta

para pemuda, mahasiswa, organisasi miskin kota, buruh, nelayan, pers dan ornop

yang telah mendukung dan menjadi bagian dari gerakan petani.

Banyak pihak yang telah memberikan kontribusi bagi penyelesaian skripsi

ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh penyelenggara pendidkan di

FISIP USU, yakni Bapak Dekan Prof. DR. M. Arif Nasution, MA, Ketua

Departemen Ilmu Politik Drs. Heri Kusmanto, MA, para dosen penulis selama

perkuliahan, pegawai administrasi dan pendidikan, serta para guru yang

mengabdikandiri ditempat penulis menimbah ilmu, baik disekolah formal maupun

informal.

Terima kasih penulis terhadap dosen pembimbing dalam menyusun dan

menyelesaikan skripsi ini, Mas Warjio, SS, Maserta Bang Indra Kesuma, S.IP,

Msi yang telah memberikan banyak kritikan dan dorongan dengan kesabaran.

Serta terima kasih penulis kepada Drs. Heri Kusmanto, MA, selaku ketua penguji

(5)

Terima kasih yang tak ternilai pada kedua orang tua penulis, Ibunda

Munirah dan Ayahanda Alm. Saimun yang selalu gigih, ulet serta perhatian dan

sabar dalam mendidik anak. Sebagai single parents ibu terus berjuang untuk

mewujudkan cita-cita anakmu. Buat Ayahanda, ”ayah, apa yang engkau inginkan

dari anakmu, kini terwujud.” Permohonan maaf anakmu atas penantian panjang

yang melelahkan raga, fikiran dan hati kalian. Pada kakak-kakak penulis, Mbak

Dar dan Mas Adi yang selalu memberikan nasehat, Mbak Tik dan Mas Tris yang

juga selalu menasehati dan mengingatkan atas segala kesalahan yang adikmu

perbuat, Mbak Iyat yang selalu jadi teman berantem dan selalu cuek, sabarlah,

mbak masih diberi cobaan dan hadapilah dengan tegar. Buat kemenakan penulis,

Arry, Dimas, Intan, Vivi, yang menghabiskan waktu dengan penuh aktifitas dan

belajar, raihlah cita-cita kalian dan jadilah kebanggaan orang tua, Bagas, Aldo dan

Ocha yang masih lucu-lucu setiap ibu sedih melihat tingkah kalian, hilang semua

kesedihan itu.

Terima kasih juga buat Paklek dan Bulek yang selalu memberikan nasehat

dan selalu ingatkan penulis disaat penulis melakukan kesalahan. Buat Ipur,

makasih atas semua perhatianmu dan bantuanmu yang selalu mendorong penulis

untuk menyelesaikan skripsi ini, Aning yang selalu saja membantu penulis dalam

segala hal, terlebih saat penulis membuat skripsi ini, Fitri yang dengan

kesibukannya sendiri, dan Tutut yang sibuk dengan aktifitas dan belajarnya,

jangan cengeng ya.

Tempat penulis melakukan penelitian ini, Bang Wagimin, Kak Dewi, Kak

Santi, Kak Zubaidah, Kak Andrie yang terus menyemangati penulis, Bang Mana,

(6)

serta terima kasih kepada seluruh staf SPI wilayah Sumut yang tidak dapat penulis

sebut satu persatu.

Makasih juga buat Bang Didi yang selalu memarahi penulis dan terus

ingatin penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Serta makasih buat rekan-rekan

yang banyak memberi dukungan dan masukan, Zulfan, Awen, Ocan, Hendra,

Tina, Dayat, Anti, Sudawirahmi, dan seluruh teman-teman yang terlalu panjang

kalau penulis sebutkan satu persatu, penulis mohon maaf. Buat Alm. Endang,

semoga kamu mendapat tempat terbaik di sisinya. Semoga penulisan ini dapat

bermanfaat bagi semua orang, khususnya petani yang masih terus berjuang

menuntut keadilan atas hak-hak mereka yang telah dirampas.

Medan, Januari 2010

Nurhayati

(7)

DAFTAR ISI

1.5.Kerangka Dasar Pemikiran

1.5.1. Kekuatan Politik

1.5.2. Perubahan Politik dan Kekuatan Rakyat

1.5.3. Gerakan Sosial Petani

1.5.4. Pandangan Klasik Terhadap Gerakan Petani

1.6.Metodologi Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

1.6.2. Lokasi Penelitian

1.6.3. Informan

1.6.4. Teknik Pengumpulan Data

1.6.5. Analisis Data

1.6.6. Sistematika Penulisan

BAB II. GERAKAN PETANI DAN KONFLIK AGRARIA

2.1. Persoalan Agraria Dalam Kehidupan Masyarakat

2.2. Gerakan Petani di Sumatera Utara

2.3. Sejarah Perkembangan Serikat Petani Indonesia

2.3.1. Lahirnya Komite-Komite Aksi Petani

2.3.2. Konsolidasi Komite-Komite Aksi Petani Mendeklarasikan SPSU

2.3.3. Memperluas Basis Gerakan

2.3.4. Memperluas Jaringan Dan Gerakan Petani Menjadi Organisasi Unitaris

2.3.5. Dari Federatif Menuju Organisasi Nasional Berbentuk Unitaris

(8)

2.4.1. Bentuk Organisasi

2.4.2. Tujuan Di Dirikannya SPI

2.4.3. Prinsip Dan Strategi Perjuangan

2.4.4. Posisi, Peran Dan Fungsi Organisasi

2.4.5. Struktur Organisasi

2.5. Sengketa Tanah Antara SPI Basis Sei Kopas Dengan PT. Jaya Baru Pratama

2.5.1. Sejarah Berdirinya Perkampungan

BAB III. ANALISIS DATA

3.1. Pola Gerakan Serikat Petani Indonesia Sumut Sebagai Kekuatan Politik

3.1.1. Aksi Massa

3.1.2. Aksi Pendudukan Lahan

3.1.3. Kampanye Dan Membangun Opini Publik

3.1.4. Lobby Dan Negosiasi

3.1.5. Gerakan Politik

3.1.6. Aliansi Gerakan

BAB IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan

4.2. Saran

(9)

KEKUATAN POLITIK DAN PROSES POLITIK

(Studi Kasus: Perjuangan Kasus Tanah Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara di Bandar Pasir Mandoge, Asahan)

Nurhayati

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Kata Kunci : Kekuatan Politik, Gerakan Petani, Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara

Penelitian dengan judul ” Kekuatan Politik Dan Proses Politik (Studi Kasus: Perjuangan Kasus Tanah Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani

Indonesia Sumatera Utara di Bandar Pasir Mandoge, Asahan)” bertujuan untuk

mengetahui karakteristik organisasi petani, pola gerakan yang dilakukan oleh

Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara sebagai sebuah kekuatan dalam

memperjuangkan kasus tanah di Bandar Pasir Mandoge, Asahan. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, yakni untuk

mengungkapkan fakta melalui pengumpulan data-data untik kemudian dipelajari,

diolah, dianalisa dan kemudian ditafsirkan yang disajikan secara deskriptif.

Untuk menggambarkan kekuatan sebuah gerakan petani dalam konteks

Serikat Petani Indonesia wilayah Sumatera Utara, penelitian ini menggunakan

kerangka kekuatan dan gerakan sosial petani . kekuatan yang di bangun Serikat

Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara dalam memperjuangkan kasus tanah di

bandar Pasir Mandoge, Asahan adalah dengan melakukan aksi massa; aksi

pendudukan lahan; kampanye dan membangun opini publik; lobby dan negosiasi;

gerakan politik; serta membangun aliansi gerakan.

Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa gerakan tani yang dijalankan

Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara telah berkembang menjadi

gerakan sosial yang memiliki jangkauan sasaran yang lebih luas, bersifat jangka

panjang dan mengglobal. Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara juga

(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Bagi suatu Negara agraria, tanah mempunyai fungsi yang amat penting

untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Indonesia, dengan penduduk yang

sebagian besar hidup di sektor petani tentu membutuhkan tanah sebagai lahan

untuk tanaman pertanian. Sejarah pertanahan Indonesia adalah sejarah

penyimpangan. Ketika di negara-negara barat, pertanian dimulai dengan

membagi-bagikan lahan kepada petani, di Indonesia justru sebaliknya, tanah

rakyat dirampas untuk di bagi-bagikan kepada pengusaha swasta. Hal ini di awali

dengan di berlakukannya undang-undang agraria 1870 yang memberi kebebasan

kepada swasta asing dengan hak erfphacht dan konsep domein verklaring, yakni

pengusaha swasta asing diberi kesempatan untuk dapat menyewa tanah jangka

panjang dan murah. Para kapitalis ini memperoleh hak penguasaan tanah dengan

jangka waktu tidak terbatas di lingkungan kota (hak eigendom), hak sewa tanah

turun temurun untuk menjalankan usaha (hak erfphacht), hak konsensi maupun

hak sewa jangka pendek1

Paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan telah membawa

kondisi pertanian da pedesaan Indonesia menjadi terpuruk. Padahal pedesaan dan

pertanian merupakan dua wilayah vital dalam pembangunan. Dimulai dari

bergulirnya revolusi hijau yang justru telah menggadaikan kemandirian dan

kedaulatan petani. Saat ini arah pembangunan masih diarahkan semata-mata pada .

1

(11)

pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ekspor. Ujung-ujungnya, kondisi sosial

ekonomi menjadi keropos dan negara tidak mampu memenuhi hak sebagian besar

rakyatnya untuk hidup layak dan bermartabat2

Dalam hal ini para pengusaha dengan dibantu oleh orang-orang yang

bekerja di pemerintahan melumpuhkan rakyat dengan dalih pembangunan dan

kemakmuran rakyat. Akan tetapi semua itu merupakan hasil dari kapitalisme

internasional, dan pembangunan hanya di jadikan jargon politik rezim, sebaliknya

pemerintah sering melakukan penggusuran-penggusuran lahan hanya untuk

kepentingan investasi modal asing atau kroni kekuasaan .

Munculnya berbagai masalah tanah diakibatkan oleh ekspansi

perusahaan-perusahaan kapitalis, baik milik asing, pribumi, maupun milik negara.

Sengketa tanah yang terjadi merupakan ekspresi dari hukum ekonomi kapitalisme,

yaitu akumulasi modal primitif dimana petani kecil di ubah menjadi buruh upahan

dan tanah di ubah menjadi modal. Proses ini biasa di tandai dengan manipulasi

dan perampasan harta benda melalui kekerasan.

3

2

Pandangan Sikap Dasar SPI (http://www.fspi.or.id)

3

Mustain, Petani vs Negara, Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007. Hal. 16

. Rakyat semakin

sengsara karena tanah mereka di ambil alih tanpa ada ganti rugi dan kalaupun ada,

dibayar dengan harga yang sangat murah sekali. Rakyat tidak berdaya, apalagi

ketika mereka menolak untuk menyerahkan tanahnya kepada pemerintah, rakyat

di anggap sebagai pembangkang yang tidak mengikuti aturan pemerintah. Dengan

latar belakang pola kekuasaan yang militeristik dan birokratik maka rakyat yang

(12)

Proses transformasi sosial dan politik di Indonesia yang berlangsung pasca

runtuhnya rezim otoritarianisme orde baru ternyata masih meninggalkan sisa-sisa

otoritarianisme diberbagai institusi kenegaraan. Proses demokratisasi masih

berjalan ditempat. Hal tersebut dapat kita lihat dari berbagai kasus perampasan

tanah sepanjang orde baru berkuasa, hingga hari ini belum dapat diselesaikan oleh

pemerintah. Bahkan hingga hari ini berbagai bentuk pelanggaran dan perampasan

atas hak-hak warga negara masih terus berlangsung. Walaupun berbagai bentuk

perundang-undangan yang mensyaratkan terlaksananya demokratisasi dan

penegakan hukum telah di dibuat, ternyata tidak menjamin terwujudnya keadilan

dan perlindungan terhadap hak-hak petani.

Pasca 1998 hingga saat ini, akar masalah ini tak juga berubah. Indonesia

masih dikendalikan oleh nekolim (neokolonialisme-imperialisme) yakni

penjajahan gaya baru dan terikat pada mekanisme pasar yang berstruktur

kapitalistik-neoliberal. Jika dulu penjajahan menggunakan pasukan brsenjata yang

secara langsung merepresi rakyat, penjajahan gaya baru menyusup diam-diam dan

menindas secara struktural. Jika dulu onderneming-onderneming kolonial

merangsek lahan rakyat, pabrik-pabrik perkebunan kolonial, memberangus

hak-hak kemerdekaan, hak-hak-hak-hak berkumpul, dan hak-hak-hak-hak berserikat, ditekan

habis-habisan oleh penjajah maka sekarang belum tentu seperti itu. Dulu penjajahan

langsung menginfasi daerah-daerah asli benua Asia, Amerika, dan Afrika. Kaum

penjajah ini kemudian mengaduk-aduk bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya, lalu mengisap hasilnya untuk dialirkan langsung ke

negara penjajah. Sekarang penjajahannya sungguh berbeda, karena

(13)

seakan-akan ditegakkan, namun pada esensinya bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalam bumi kita tetap digunakan untuk kepentingan pemilik

kapital. Penjajahan gaya baru tidak terang-terangan, ia tidak dirasakan oleh

rakyat. Ia secara ekonomi-politik, sosial dan budaya mempengaruhi pola pikir dan

segala sendi kehidupan kita sehari-hari4

Seperti yang terjadi pada saat sekarangpun tanah dimiliki oleh

perusahaan-perusahaan asing, segelintir konglomerat dan tuan tanah. Tanah di obral melalui

perpanjangan tangan bank dunia dan pemerintah (land administration project,

LAP), air dijual (UU privatisasi Air No. 7/2004) dan sumber-sumber kekayaan

alam yang terkandung dalam tanah Indonesia(UU Penanaman Modal Tahun

2007)

.

5

4

Ibid. Pandangan Sikap Dasar SPI.

5

Dokumen Kongres III, SPI, 2009. .

Meskipun dalam UUPA diatur hak menguasai negara yang menempatkan

negara sebagai personifikasi seluruh rakyat untuk mengatur, menyelenggarakan,

peruntukan, mengatur dan menentukan hubungan rakyat dengan tanah, tetapi

hanya bersifat hukum publik. Sangat disayangkan pengakuan pemerintah terhadap

hak ulayat dan hak atas tanah kepada petani lebih pada law in book, karena

palaksanaannya tidak jarang terbentur pada persyaratan diakuinya keberadaan hak

itu sendiri yang mengharuskan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan

nasional dan negara. Pada tataran praktek pemanfaatan hak-hak petani terhadap

tanah, pemerintah melakukan mengambil kepentingan investor dengan pola

penguasaan tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB)

(14)

Dalam praktek penetapan HGU, HGB, HP melalui mekanisme pelepasan

hak, justru didahului dengan paksaan dan klaim sepihak dari negara, dengan

mengabaikan transparansi, akuntibilitas dan peran serta masyarakat dalam

pengambilan keputusan soal alokasi sumber-sumber agraria. Ini disebabkan oleh

masih belum berubahnya paradigma kebijakan penguasa yang berorientasi pada

invastasi yang menjadikan posisi pemerintah menjadi ambigu. Di satu sisi untuk

mewujudkan demokratisasi, penegakan hukum dan keadilan soaial terhadap

warga negara, tetapi di sisi lain pemerintah berusaha mempertahankan investasi

demi pertumbuhan ekonomi, sehingga aparatur negara tidak bisa mengambil

perannya sebagai pelaksana negara yang untuk keadilan kepada petani.

Tekanan-tekanan dari luar diperparah dengan sikap aparat pemerintah,

militer dan polisi yang mendukung langkah-langkah perusahaan besar di

lapangan. Aparat sering kali berhadapan langsung dengan petani demi melindungi

kepentingan perusahaan-perusahaan perkebunan. Yang terjadi di lapangan petani

harus berhadapan dengan kekuatan bersenjata.

Berbagai penindasan dan semakin maraknya perampasan tanah milik

rakyat, melahirkan beragam reaksi dari petani. Petani membentuk berbagai

macam organisasi-organisasi massa kaum tani sebagai wadah kekuatan untuk

mereka bisa merebut kembali tanah yang telah di rampas oleh pengusaha. Bukan

hanya di tingkat desa, gerakan-gerakan petani yang muncul lebih luas lagi

cakupannya dengan mengusung isu-isu yang lebih kompleks dan mengglobal.

Gerakan tani berkembang pesat sebagai keseluruhan melalui taktik

tindakan langsung, termasuk pendudukan kantor kongres dan bangunan-bangunan

(15)

banyak kasus, gerakan tani merupakan kombinasi dari berbagai bentuk perjuangan

dari tindakan langsung ke negosiasi dan politik praktis. ”Kohesi” petani datang

dari struktur komunitas habitat di pedesaan, pemeliharaan jaringan keluarga yang

luas dan ancaman bencana yang di tiupkan oleh kebijakan pasar bebas, serta

kampanye-kampanye pengurangan dan pengusiran petani dari tempat tinggalnya.

Alasan yang mendorong peneliti untuk memilih tema Kekuatan Politik dan

Gerakan Petani sebagai judul penelitian. Yaitu, adanya empati terhadap kondisi

dan persoalan yang di hadapi petani yang mengalami berbagai penindasan

panjang oleh kuasa dan modal. Meski mayoritas penduduk Indonesia hidup dalam

sektor petani , kebijakan negara atas sektor ini ternyata tidak mampu

meningkatkan kesejahteraan nasib petani. Petani yang sebagian besar merupakan

petani kecil dan tidak memiliki tanah jumlahnya semakin besar, akibat semakin

maraknya proses perampasan tanah milik petani oleh kekuatan penguasa dan

modal serta intervensi kekuatan pasar ke dalam kehidupan petani6

6

Pandangan Organisasi Rakyat Terhadap Reforma Agraria (http://www.fspi.or.id) .

Ada dua alasan peneliti dalam memilih SPI sebagai tempat untuk

melakukan penelitian. Pertama, SPI lahir dimasa rezim orde baru masih berkuasa.

Kelahiran SPI pada masa itu memperlihatkan bahwa perlawanan SPI sudah

dimulai dibawah kekuasaan yang otoriter dan represif. Kedua, keterlibatan SPI

dalam pergerakan petani ditingkat nasional maupun internasional dimana

perjuangan yang dilakukan SPI tidak bersifat lokal serta mengusung isu-isu lokal

(16)

1.2Perumusan Masalah

Penelitian ini memfokuskan perumusan masalah pada:

1. Bagaimana Pola Gerakan Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia

Sumut Sebagai Sebuah Kekuatan Politik Dalam Memperjuangkan Kasus

Sengketa Tanah di Bandar Pasir Mandoge, Asahan?

2. Apa Saja Yang Di Lakukan Oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani

Indonesia Sumut Dalam Memperjuangkan Tanah Di Bandar Pasir Mandoge,

Asahan?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih

baik mengenai pola kekuatan dan proses perjuangan kasus tanah dilakukan oleh

Serikat Petani Indonesia sebagai organisasi petani.

1.4 Manfaat Penelitian

a. penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan

bagi penulis dibidang politik khususnya tentang kekuatan dan proses

politik.

b. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terhadap

perjuangan dan perlawanan masyarakat pedesaan khususnya petani.

c. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi gerakan

(17)

1.5. Kerangka Dasar Pemikiran 1.5.1. Kekuatan Politik

Kekuatan politik dimanapun di atas dunia selalu mencerminkan

masalah-masalah mendalam kesejarahan dan struktural di mana kekuatan-kekuatan politik

itu tumbuh, berkembang dan melakukan peranan. Menurut Hannah Arendt

Kekuatan (strength) merupakan sifat atau karakter yang di miliki setiap individu.

Pada hakikatnya kekuatan berdiri sendiri, namun keberadaan kekuatan dapat

dilihat dari relasi antara individu terkait dengan orang lain. Karena itu, kekuatan

dapat dipengaruhi. Individu yang sangat kuat pun dapat terpengaruh. Pengaruh

yang masuk terkadang tampak seperti ingin memperkuat individu yang

bersangkutan, namun sesungguhnya memiliki potensi melakukan pengrusakan

terhadap kekuatan7

Pada masa orde baru, ketika ideologi developmentalism menjadi pilihan

paradigma pembangunan orde baru, ironisnya konsep ini bukan sepenuhnya

produk elit negara melainkan hasil kontruksi kekuatan kapital global .

8

7

Rieke Diah Pitaloka, Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat, Yogyakarta: Galang Press, 2004. Hal. 60.

8

Mustain, Petani VS Negara ; Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. Yogyakarta: Ar-ruzz Media,2007. Hal. 16.

. Sebagai

akibatnya, produk-produk kebijakan publik dan program pembangunan yang

dihasilkan oleh lembaga-lembaga demokrasi pada masa orde baru tidak lain suara

dari para wakil rakyat yang dibawah kontrol dan untuk kepentingan lembaga

birokrasi, militer, presiden dan kroni-kroninya. Kekuatan eksekutif birokrasi

menjadi representasi kekuatan negara sebagai agen kapitalisme global.

Implikasinya , strategi pertumbuhan ekonomi pada masa orde baru dengan prinsip

(18)

itu ke priuk rezim orde baru sendiri. Rakyat yang sudah tertindas oleh represi

politik pun menjadi lebih tertindas secara ekonomi politik9

9

Op. Cit. Pandangan Sikap Dasar SPI.

.

Penduduk Indonesia yang sebagian besar hidup di sektor pertanian, dengan

berlahan sempit dan tidak mempunyai tanah semakin besar jumlahnya. Dengan

maraknya proses perampasan tanah maka rakyat semakin miskin dan lemah.

Kekuatan yang di miliki oleh pengusaha dengan aparat negara menjadikan rakyat

semakin tersingkir dan menderita.

1.5.2. Perubahan Politik dan Kekuatan Rakyat

Perubahan politik yang digerakkan oleh berbagai kekuatan rakyat,

akhirnya mampu menumbangkan rezim orde baru dengan mewariskan kerusakan

politik dan ekonomi negara yang paarah, serta juga mewariskan pemimpin yang

berwatakkan mirip orde baru juga dengan tigkat penghambaan kepada kekuatan

neoliberalisme yang semakin telanjang.

Pada dasarnya perubahan politik belum mampu merubah keadaan seperti

yang di inginkan rakyat tani. Seperti yang terlihat dari beberapa hal, dengan

kelahiran multi partai, pada dasarnya belum memberikan manfaat secara langsung

bagi rakyat, dimana partai sebagai salah satu bentuk kekuatan dan wadah bagi

aspirasi rakyat justru didirikan untuk kepentingan tokoh-tokohnya semata dan

dalam perjalanannya justru lebih banyak melakukan perdebatan politik untuk

kepentingan mereka semata daripada merumuskan agenda menuntaskan persoalan

(19)

Pemerintah, parlemen, partai politik serta militer (bahkan orientasi

pertahanan masih memfokuskan diri pada musuh dari dalam) di penuhi para

pengusaha yang lahir dari tradisi yang di kembangkan oleh orde baru yaitu,

monopoli, oligopoli, nepotisme, kolusi dan korupsi. Banyak pengusaha yang

menjadi fungsionaris Golkar di masa Orba dan fenomena (kalangan politis,

militer, pengusaha) baru, menunjukkan mereka mengincar kursi legislatif dan

eksekutif yang berarti pembentukan kapital, akumulasi modal dan pencarian laba

tertinggi. Mereka dapat proyek negara dan hutang luar negeri atau modal asing

yang berarti melanggengkan ketergantungan lumpan borjuis terhadap borjuis

internasional.

Meski dengan keadaan tersebut, ada sisi optimisme bahwa perubahan

politik saat ini banyak menumbuhkan organisasi rakyat. Kesadaran rakyat

semakin meningkat. Aksi massa merupakan cara rakyat mengemukakan dan

menuntut kepentingannya. Meskipun kelembagaan politik formal masih

sepenuhnya di dominasi kekuatan politik yang pro-neoliberal, untuk merebutnya

di perlukan suatu jalan rakyat untuk dapat bangkit melawan dan merebut

ruang-ruang politik yang ada. Jalan itu melalui persatuan nasional gerakan rakyat dengan

melakukan penguatan dan kapasitas organisasi pokok secara mandiri, serta

meningkatkan kualitas dan kuantitas aksi.

1.5.3. Gerakan Sosial Petani

Studi tentang gerakan sosial mengalami perkembangan begitu pesat,

perkembangan ini di tandai dengan meningkatnya secara kuantitas publikasi dan

(20)

Studi gerakan sosial telah mengalami perkembangan dengan tidak hanya

memfokuskan pada negara-negara maju, akan tetapi juga pada negara-negara

dunia ketiga.

Gerakan sosial politik sering ditafsirkan sebagai gerakan yang menentang

kekuasaan dominan. Pemaknaan ini berangkat dari kenyataan, dalam banyak hal

gerakan sosial dan politik berwujud perlawanan, bersifat kontra hegemonik dalam

berbagai manifestasinya. Tak dapat disangkal, gerakan sosial politik umumnya

digerakkan oleh ideologi perlawanan yang dibutuhkan sebagai pembenaran dan

dirumuskan dalam tujuan gerakan dengan maksud agar gerakan tersebut

mempunyai landasan dan motivasi yang kuat, serta aspirasi yang tangguh, supaya

mampu melawan kekuatan lebih besar yang dihadapi. Dengan kata lain, gerakan

sosial politik umumnya menganut ideologi ekstorsi atau ideologi

anti-pemerasan, dan menekankan penolakan tarhadap sistem yang dianggap tidak adil

dan menindas.

Gerakan sosial politik sering pula diidentikkan dengan radikalisme yang

bermakna sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial

yang sedang berlaku, dan ditandai kejengkelan moral yang kuat untuk menentang

dan bermusuhan dengan kaum yang punya hak-hak istimewa dan berkuasa.

Karena itu, salah satu aspek paling menarik dari gerakan-gerakan sosial adalah

dimensi politiknya, di mana pada dasarnya semua gerakan tersebut merupakan

ekspresi protes terhadap keadaan sosial yang tidak adil atau berbagai kekacauan,

termasuk penghisapan dan penindasan oleh mereka yang menggunakan

(21)

Menurut Mansour Fakih, ada dua pendekatan dalam memandang

teori-teori gerakan sosial. Pertama, pendekatan fungsionalisme yang melihat

masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling

bergantung satu sama lain dan bekerjasama guna menciptakan keseimbangan.

Pendekatan konflik melihat Kedua,pendekatan konflik yang berakar dalam

Marxisme tradisional, yang didasarkan pada pendapat mereka bahwa revolusi

adalah suatu kebutuhan yang disebabkan oleh memburuknya hubungan produksi

yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan kehancuran.10

Teori konflik pada dasarnya menggunakan tiga asumsi dasar. Pertama,

rakyat dianggap memiliki sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan

berusaha secara keras untuk memenuhinya. Kedua, kekuasaan adalah inti dari

struktur sosial dan ini melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya. Ketiga,

nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok

untuk mencapai tujuan masing-masing, ketimbang sebagai alat mempertahankan

identitas dan menyatukan tujuan masyarakat.11

Dalam mendefenisikan gerakan sosial petani, pada umumnya

pendefenisian gerakan sosial oleh para ahli sosiologi telah memiliki pondasi yang

kuat, sementara perdebatan dan kontroversi masih terjadi terhadap pendefenisian

perkataan ‘petani’ (sebagai pelaku utama gerakan sosial itu sendiri) diantara ahli

sejarah dan antropologi. Pendefenisian mengenai petani dan gerakannya yang

dianggap memiliki kompetensi adalah yang dilakukan oleh Barrington Moore Jr

dan Eric R. Wolf. Keduanya secara kebetulan memiliki banyak persamaan

10

Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk transformasi sosial; Pergolakan Ideologi LSM

Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Hal 42-43.

11

(22)

sepanjang pandangan umum dan orientasi mereka terhadap masyarakat, serta

beberapa kekokohan mereka masing-masing.

Moore menjelaskan bahwa pendefenisian petani tidak mutlak karena

batasnya memang kabur pada ujung kenyataan sosial itu sendiri. Menurutnya,

kekhususan de facto dalam pemilikan tanah merupakan ciri-ciri pokok yang

membedakan seorang petani. Sementara Wolf mendefenisikan petani sebagai

penduduk yang secara ekstensial terlibat dalam proses cocok-tanam dan membuat

keputusan yang otonom tentang proses cocok-tanam. Kategori itu dengan

demikian mencakup penggarapan atau penerima bagi hasil maupun

pemilik-penggarap selama mereka ini berada pada posisi pembuat keputusan yang relevan

tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka 12

Terlepas dari pendefenisian petani yang telah dilakukan oleh beberapa

ahli, Serikat Petani Indonesia telah menggariskan defenisi petani yang menjadi

basis massanya secara jelas dalam Anggaran Rumah Tangganya. Organisasi ini

menegaskan bahwa yang disebut dengan petani adalah setiap perempuan maupun

laki-laki, yang mengolah tanah secara sendiri-sendiri dan atau secara

bersama-sama untuk kegiatan pertanian guna menghidupi diri dan keluarganya. Disamping

itu, SPI juga mengidentifikasikan petani yang menjadi basis massanya adalah

petani perempuan dan petani laki-laki yang berada di wilayah pedesaan, yang

berada pada posisi dan kondisi tertindas baik secara politik, ekonomi, sosial dan

budaya. Basis massa tersebut meliputi Petani kecil/berlahan sempit, Petani

penyewa lahan, Petani bagi hasil, Petani PIR, Petani penumpang lahan, Buruh .

12

Landsberger, Henry A. dan YU. G. Alexandrov. 1981. Pergolakan Petani dan Perubahan

(23)

tani, Buruh perkebunan, Masyarakat adat yang hidup dari pertanian dan hasil

hutan13

Untuk melihat penyebab yang melatar belakangi lahirnya gerakan petani,

Bates dan Popkin dengan melihat dari perspektif ekonomi-politik menyatakan,

bahwa penyebab atas terjadinya pemberontakan para petani tradisional datang dari

penetrasi kapitalisme yang imperialistik ke kawasan pedesaan yang dalam banyak

kasus melahirkan eksploitasi terhadap para petani oleh para tuan tanah, oleh

negara, dan kaum kapitalis .

14

Tidak banyak perubahan yang terjadi terhadap kondisi kehidupan petani di

pedesaan hingga hari ini. Mayoritas petani di Indonesia merupakan petani .

1.5.4. Pandangan klasik terhadap gerakan petani

Penindasan terhadap petani dipedesaan telah menghiasi wajah pedesaan

sejak dulu hingga sekarang. Setelah feodalisme ditaklukkan dan kehilangan kuasa

utama dipedesaan, para penguasa kapitalis dan negara kolonial telah menjadi

sumber penindasan baru. Kemerdekaan bangsa Indonesia tidak semerta-merta

memberikan kemerdekaan terhadap kaum tani di pedesaan. Pagelaran kekuasaan

yang menindas masih terus berjalan dalam bentuk penguasaan oleh negara dan

modal. Hingga hari ini masyarakat pedesaan, terutama petani masih dijadikan

sebagai objek eksploitasi dan korban dari bias pembangunan industrialisasi

perkotaan sebagai penyedia bahan pangan murah bagi masyarakat kota demi

(24)

berlahan sempit bahkan tidak bertanah (buruh tani). Tumbuh dan berkembangnya

cara produksi kapitalisme senantiasa bermula dengan proses ganda, yakni

melepaskan petani dari ikatan dengan tanahnya untuk menjadi sumber buruh

upahan dan mengintegrasikan tanah tersebut menjadi modal. Proses akumulasi

ganda ini disebut Marx sebagai akumulasi primitif. Ben Fine mendefinisikan

akumulasi primitif bahwa, karena hubungan produksi pra-kapitalis utamanya

bersifat pertanian, para petani yang memiliki alat produksi yang pokok (tanah),

maka kapitalisme hanya dapat diciptakan dengan cara melepaskan kepemilikan

petani atas tanahnya. Asal usul kapitalisme dimulai dari transformasi

hubungan-hubungan produksi yang terdapat pada tanah itu. Membebaskan ikatan petani dari

tanahnya adalah sumber bagi munculnya buruh upahan, baik untuk tenaga kerja

pertanian maupun industri.15

Dalam bukunya Peasant War in Twentieth Century, Wolf menyimpulkan

penyebaran kapitalisme dari Atlantik Utara sebagai pemaksa ekonomi pasar pada

masyarakat pra-kapitalis. Kapitalisme telah mengacau balaukan keseimbangan–

keseimbangan yang dahulu ada pada masyarakat petani. Petani telah

ditransformasi menjadi aktor ekonomi, terlepas dari komitmen sosial yang

terdahulu ada pada keluarga dan tetangga 16

15

Noer Fauzi, Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga,Yogyakarta: Insist Press, 2005. Halaman 138

16

Ibid. Halaman 16

. Meluasnya kekuatan pasar hingga

kepedesaan telah meretakkan hubungan eksploitatif antara petani dan tuan

tanahnya. Menyebarnya pasar yang sangat eksploitatif tersebut disertai dengan

(25)

pedagang, intelektual maupun aktifis politik. Dalam situasi peralihan yang

bergejolak tersebut, perlawanan petani mendapatkan momentumnya.

Menurut Scott, meluasnya peran negara dalam proses transformasi di

pedesaan mengakibatkan dampak yang mendorong munculnya perlawanan petani.

Pertama, kesenjangan hubungan antara petani kaya dan miskin. Kesenjangan

tersebut memicu perlawanan kaum miskin terhadap hegemoni kaum kaya maupun

negara. Kedua, munculnya pembelotan kultural dalam berbagai bentuk, akibat

lahirnya kesadaran petani terhadap realitas mereka. Ketiga, terbangunnya senjata

gerakan perlawanan menghadapi kaum kaya maupun negara. Senjata yang

digunakan khas dengan caranya sendiri, budaya perlawanan khas kaum lemah

seperti menghambat, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, perusakan, berlaku

tidak jujur, mencopet, masa bodoh, membuat skandal, membakar, memfitnah,

sabotase yang mengakhiri pertentangan secara kolektif. Bentuk-bentuk

perlawanan tersebut sangat sesuai dengan karakteristik petani yang lemah karena

tidak banyak membutuhkan koordinasi atau perencanaan17

17

Op. Cit. Mustain, Hal. 23

.

Menurut Scott, tujuan sebagian besar perlawanan petani bukanlah secara

langsung mengubah sistem dominasi yang mapan, melainkan lebih dimaksudkan

sebagai upaya untuk tetap hidup dalam sistem itu. Ada tiga hal yang menurutnya

perlu dijelaskan yakni, pertama, tidak ada keharusan bagi perlawanan untuk

mengambil bentuk aksi bersama. Kedua, perlawanan merupakan masalah yang

sangat pelik. Ketiga, perlawanan simbolis tersebut merupakan bagian yang tak

(26)

Bagi Scott masyarakat tradisional mempunyai tertib moral yang sudah

lama ada dan tidak dapat dipisahkan dari masalah subsistensi. Tatanan sosial dari

kehidupan petani telah menghasilkan sistem jaminan keamanan hidup internal

yang secara normatif dapat ditegakkan untuk memenuhi kebutuhan semua

masyarakat desa. Kolonialisme telah mengacau balaukan tatanan tersebut dengan

melakukan eksploitasi tanpa batas sehingga muncul diferensiasi sosial yang baru,

dislokasi agraria, kemerosotan moral kearah individualistis, dan kapitalisme

agraria yang rakus, yang mengancam kehidupan petani. Scott menekankan

moralitas dan kemarahan petani sebagai respon yang muncul atas hilangnya

jaminan keamanan subsistensi minimum. Baginya, pemberontakan petani pada

dasarnya bersifat konservatif dan restoratif (mempertahankan dan mengembalikan

tatanan yang terdahulu) 18

Menurut Scott, kehidupan petani ditandai oleh hubungan moral subsistensi

tersebut melahirkan moral ekonomi yang lebih mengutamakan “dahulukan

selamat’ dan menjauhkan diri dari garis bahaya. Moralitas inilah yang dijadikan

faktor kunci dalam menjelaskan gerakan perlawanan petani. Berdasarkan hasil

penelitiannya di Malaysia, Scott menunjukkan bahwa perlawanan sehari-hari

merupakan bentuk perlawanan terselubung (perlawanan secara simbolis) bagi

petani sebagai reaksi terhadap penindasan sehari-hari yang dilakukan para tuan

tanah, sebagai musuh bersama mereka, secara global berdiri sebagai perlawanan

terhadap dampak revolusi hijau yang dirasa mengancam kelangsungan

(27)

Berbeda dengan Popkin yang meyakini bahwa masyarakat tradisional

tidak kurang eksploitatifnya ketimbang kolonialisme, dan menganggap solidaritas

sosial dari pedesaan tradisional tidak pernah ada. Baginya tertib moral tersebut

merupakan ilusi para sarjana yang meromantisir kehidupan pedesaan.

Kolonialisme menyediakan kesempatan yang berbeda untuk berkompetisi.

Menghadapi hal itu, para petani mengambil sikap yang berbeda menurut

rasionalitasnya. Popkin menyebutkan bahwa para individu mengevaluasi apa yang

mungkin diperoleh akibat dari pilihan yang akan diambilnya berdasarkan

kecenderungan dan nilai yang dianutnya. Petani menanggapinya dengan

perhitungan untung rugi dan penuh cemas-harap, ketika menghadapi tekanan

kelembagaan baru yang datang menerpa, yakni kekuatan pasar. Menurutnya

gerakan petani bukanlah bersifat restoratif tetapi mencari jalan untuk menjinakkan

kapitalisme, lalu bekerja didalam kapitalisme yang telah dijinakkan tersebut 20

20

Log. Cit. Noer Fauzi, Hal. 23

.

1.6 Metodologi Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan

pendekatan kualitatif yang mencoba menggambarkan gerakan petani yang di

aktualisasikan oleh Serikat Petani Indonesia dalam memperjuangkan kasus tanah.

Penelitian ini merupakan fakta melalui pengumpulan data-data untuk kemudian

dipelajari, diolah, dianalisa dan kemudian ditafsirkan yang di sajikan secara

(28)

1.6.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Serikat Petani Indonesia Sumut dengan basis

desa simpang Sei Kopas Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, Asahan.

1.6.3 Informan

a. Pengurus aktif SPI Sumut. Informan yang dimaksud adalah anggota yang

sedang menjabat sebagai pengurus di struktur kepengurusan SPI Sumut.

b. Anggota SPI Sumut. Informan yang dimaksud adalah anggota SPI Sumut

yang memahami benar sejarah perjalanan dan perkembangan SPI Sumut serta

memahami kebijakan-kebijakan dan sikap organisasi.

c. Aktifis SPI Sumut. Yang dimaksud adalah aktifis yang terlibat dalam

pendirian organisasi massa SPI Sumut, serta terlibat dalam pendampingan,

pelatihan dan pengadvokasian SPI Sumut. Aktifis yang dimaksud adalah

aktifis Sintesa serta konsulat yang telah di angkat oleh SPI Sumut.21

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:

a. Observasi, melalui kegiatan ini peneliti diharapkan mampu mengamati

secara langsung bagaimana objek dalam penelitian, sehingga dalam

penelitian didapat gambaran mengenai kondisi objek penelitian.

b. Studi pustaka, yakni pengumpulan data yang berasal dari buku-buku yang

sesuai dengan objek kajian penelitian serta materi-materi yang berkaitan

21

(29)

dengan permasalahan, terutama permasalahan perlawanan petani secara

cultural dan secara politik yang memperjuangkan tanahnya.

c. Wawancara, dengan melakukan komunikasi secara langsung untuk

mendapatkan informasi secara mendalam dengan mengeksplorasi

pertanyaan-pertanyaan pada informan dengan mengacu pada interview

guide yang telah dirumuskan peneliti.

1.6.5 Analisa Data

Penelitian kualitatif ditandai dengan pengumpulan, pengolahan, analisis

dan penafsiran. Data yang telah diperoleh yang terkumpul dalam catatan

lapangan, gambar atau foto jika dibutuhkan,dipelajari dan ditelaah. Tahapan

selanjutnya adalah reduksi data yaitu pembuatan abstraksi yang merupakan

usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pertanyaan-pertanyaan yang

perlu dijaga sehingga tetap berada didalam kerangka penelitian.

1.6.6 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini diawali dengan Bab I sebagai Pendahuluan yang

memuat latar belakang dan tujuan penelitian, yang berimplikasi dalam metodologi

dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian. Dalam bab ini

juga diuraikan kerangka dasar pemikiran sebagai perspektif penelitian, dan diakhir

bab ini digambarkan sistematika penulisan yang digunakan.

Bab kedua merupakan pendiskripsian subjek penelitian beserta

aspek-aspek yang memiliki relevansi dengan subjek penelitian. Bab ini diawali dengan

(30)

reaksi petani atas kondisi tersebut yang digambarkan sebagai kekuatan politik

dalam mempengaruhi proses politik organisasi gerakan petani. Bab ini diakhiri

dengan pendiskripsian secara singkat sejarah dan profil Serikat Petani Indonesia

Sumatera Utara.

Bab ketiga merupakan uraian deskriptif atas penafsiran dan penganalisaan

data-data yang diperoleh. Bab keempat berupa uraian yang berusaha menyimpulkan

temuan-temuan penelitian yang telah dianalisis pada bab sebelumnya. Bab ini

akan diakhiri dengan kritik, saran atau masukan yang memiliki relevansi dengan

(31)

BAB II

GERAKAN PETANI DAN KONFLIK AGRARIA

2.1. Persoalan Agraria Dalam Kehidupan Masyarakat

Persoalan agraria memiliki dua arah kecenderungan,pertama adalah

penguatan politik rakyat dalam lapangan kehidupan agraria dan pengakuan

kedaulatan rakyat dalam pengolahan sumber-sumber agraria. Yang kedua justru

melemahkan rakyat dan mengalihkan penguasaan pengolahan sumber-sumber

agraria kepada entitas lain, negara ataupun modal bahkan keduanya.

Yang menjadi latar belakang konflik pertanahan umumnya bersumber dari

perebutan tanah antara perkebunan (baik yang difasilitasi negara maupu swasta)

dan rakyat petani. Akar persoalan konflik perkebunan di satu sisi di dapat dari

sejarah lahirnya hak erfpacht yang kemudian di konversi menjadi Hak Guna

Usaha (HGU) pada tanah perkebunan. Bermula dari adanya kebijakan erfpacht,

lahan produktif di kuasai oleh pengusaha swasta kolonial semakin meluas. Selain

munculnya kebijakan nasionalisasi aset kolonial (yang sebenarnya terdapat pula

tanah rakyat di dalamnya), juga terjadi konversi hak erfpacht yang diperebutkan

dengan rakyat menjadi HGU untuk diberikan kepada perusahaan swasta (PTP)

maupun pemerintah (PTPN) dalam bentuk perusahaan daerah perkebunan.

Tidak banyak perubahan yang terjadi terhadap kondisi kehidupan petani di

pedesaan hingga hari ini. Mayoritas petani di Indonesia merupakan petani

berlahan sempit bahkan tidak bertanah (buruh tani). Tumbuh dan berkembangnya

(32)

melepaskan petani dari ikatan dengan tanahnya untuk menjadi sumber buruh

upahan dan mengintegrasikan tanah tersebut menjadi modal. Proses akumulasi

ganda ini disebut Marx sebagai akumulasi primitif. Ben Fine mendefinisikan

akumulasi primitif bahwa, karena hubungan produksi pra-kapitalis utamanya

bersifat pertanian, para petani yang memiliki alat produksi yang pokok (tanah),

maka kapitalisme hanya dapat diciptakan dengan cara melepaskan kepemilikan

petani atas tanahnya. Asal-usul kapitalisme dimulai dari transformasi

hubungan-hubungan produksi yang terdapat pada tanah itu. Membebaskan ikatan petani dari

tanahnya adalah sumber bagi munculnya buruh upahan, baik untuk tenaga kerja

pertanian maupun industri.

Adanya konsep pembangunan orde baru, peran negara seolah mempunyai

legitimasi kewenangan untuk melakukan segala upaya penaklukan dan penindasan

terhadap rakyat. Seluruh tindak dan tanduk negara menaklukan atau menindas

rakyat selalu di klaim sebagai bagian upaya negara untuk menegakkan stabilitas

politik dan keamanan agar proses pembangunan bangsa dan negara berlangsung

terus. Hal ini terlihat dalam corak penaklukan yang di lakukan oleh negara orde

baru dalam kasus-kasus sengketa agraria yang terjadi selama ini, yaitu22

a. Delegitimasi bukt i-bukti yang di miliki oleh rakyat atas tanah dan

sumber-sumber agraria lainnya sehingga rakyat kehilangan kepastian hukum yang

seharusnya sudah ada di tangan mereka.

:

b. Penetapan garis demarkasi property atau hak guna secara hukum di atas

tanah atau kawasan yang sesungguhnya merupakan kawasan bebas

22

(33)

sehingga pelanggar batas-batas ini akan mendapatkan tekanan yang di

landasi pada hukum tertentu.

c. Penetapan ganti rugi secara sepihak yang seringkali tidak memberikan

ruang sedikitpun bagi proses tawar menawar yang seimbang.

d. Memanipulasi persetujuan rakyat, sehingga seolah-olah rakyat bersedia

melepas hak mereka atas tanah-tanahnya yang digunakan bagi kepentingan

lain, yang acap kemudian menjadi ajang perpecahan di kalangan rakyat

sendiri.

e. Tuduhan sebagai pembangkang atau pengacau, atau anti pembangunan

bagi tokoh-tokoh atau orang-orang yang mencoba bertahan dan menolak

desakan-desakan yang datang dari pihak negara atau pengusaha.

f. Manipulasi makna pengorbanan yang seringkali membuat rakyat jadi

merelakan pelepasan hak atas tanah-tanah mereka karena beranggapan

mereka sedang melakukan perjuangan sosial dengan mengorbankan milik

mereka yang sangat berharga, yaitu tanah-tanah atau akses mereka

terhadap sumber-sumber agraria tertentu.

g. Diskriminasi administratif selalu di terapkan untuk kelompok orang yang

berusaha bertahan atau memberikan perlawanan ketika proses sengketa

terjadi. Diskriminasi ini akan membuat orang-orang yang mengalaminya

kehilangan akses terhadap fungsi-fungsi birokrasi atau fungsi lembaga

sosial ekonomi yang dapat menunjang kelangsungan hidup mereka.

Kehingaran kasus-kasus sengketa tanah ini pada dasarnya menunjukkan

posisi rakyat yang lemah dan sebaliknya posisi negara dan modal sangat kuat

(34)

dinyatakan atas nama pembangunan. Dalam hal ini rakyat dipaksa untuk

menerima segala hal yang hendak dilakukan negara, baik dalam bentuk

kepentingannya secara langsung maupun untuk kepentingan pemodal.

2.2. Gerakan Petani di Sumatera Utara

Sepanjang sejarah yang merentang dari masa kolonialisme hingga

sekarang, penindasan petani di pedesaan selalu memunculkan bentuk perlawanan

petani. Sebagian golongan petani mengambil jalan untuk menentang kehadiran

dan bekerjanya bentuk-bentuk penguasaan baru yang menindas mereka. Jika pada

masa kolonialisme penindasan petani dilakukan oleh kuasa tuan tanah dan kaum

penjajah, maka pada saat ini yang mereka hadapi adalah kuasa negara dan modal.

Gerakan-gerakan rakyat di pedesaan yang muncul, baik pada masa kolonial

maupun pada masa sekarang adalah bentuk perlawanan yang berkelanjutan atas

berbagai kekuasaan yang menindas masyarakat di pedesaan yang datang dalam

kuasa dan bentuk yang berbeda-beda. Perlawanan–perlawanan yang mengacaukan

dan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan tersebut pada mulanya

merupakan suatu tanggapan kolektif atas terpuruknya kondisi hidup dan

kemerdekaan mereka atas penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan para

pemegang kuasa ekonomi maupun kuasa politik.

Di Sumatera Utara sendiri, kondisi petani tidak lepas dari berbagai bentuk

penindasan dan masih berada pada posisi yang dimarginalkan. Dalam struktur

tatanan agraria masyarakat tradisional di Sumatera Utara (dahulu Sumatera

Timur), kepemilikan tanah menjadi otoritas penguasa tradisional. Sepanjang masa

(35)

Belanda. Arus masuknya penetrasi kapitalisme dalam bentuk modal dimulai pada

tahun 1863, saat Jacobus Nienhuys (investor pertama dalam sejarah perkebunan di

Sumatera Utara) menanamkan modalnya dalam perkebunan tembakau. Sejak saat

itu, perusahaan perkebunan milik pemodal Hindia Belanda tumbuh di Sumatera

Utara hingga daerah ini menjadi primadona karena tanah-tanah yang subur untuk

perkebunan.

Perkebunan yang marak berkembang di Sumatera Utara pada waktu itu

mengakibatkan tersingkirnya petani penggarap yang telah menggarap lahan secara

adat. Gelombang migrasi buruh kebun dari Pulau Jawa dan China meningkat,

sebagai akibat meningkatnya kebutuhan perusahaan perkebunan akan buruh

kebun. Hingga pasca Perang Dunia II disaat terjadi ketidakpastian kondisi sosial

politik dan krisis pangan, para buruh kebun beramai-ramai menggarap lahan

perkebunan milik perusahaan Hindia Belanda yang ditelantarkan. Penggarapan

lahan perkebunan oleh petani terjadi sekitar tahun 1948 hingga jatuhnya Orde

Lama23

Pasca Konfrensi Meja Bundar, penyerahan kedaulatan dari Hindia Belanda

membawa perubahan besar terhadap tatanan struktur agraria di Republik

Indonesia. Terciptanya negara kesatuan merupakan revolusi kedua yang ditandai

dengan perubahan revolusioner terhadap situasi agraria dan nasionalisasi

perusahaan-perusahaan asing. Arus besar revolusi kedua tersebut membawa . Kondisi tersebut dilatarbelakangi oleh ketimpangan kepemilikan lahan

ditengah-tengah meningkatnya buruh kebun yang didatangkan oleh perusahaan

perkebunan dan maraknya aktifitas partai politik yang mengusung semangat

revolusioner.

23

(36)

pengaruh terhadap lahirnya berbagai organisasi gerakan petani di Sumatera Timur

pada waktu itu.

Pada awal tahun 1950, di Sumatera Utara (dulu Sumatera Timur) terdapat

delapan organisasi petani, yang bersaing satu sama lain dalam usahanya untuk

mendapatkan basis massa. Kebanyakan organisasi petani itu menjalin hubungan

dengan partai politik bahkan ada yang didirikan oleh partai politik untuk

memperoleh pengikut dikalangan petani. Sumatera Utara menjadi lahan yang

sangat menarik perhatian organisasi-organisasi petani yang lahir di Jawa. Namun

ada beberapa organisasi petani yang lahir di Sumatera Utara dan tidak

memperluas basisnya keluar Sumatera Utara. Petani (Persatuan Tani Nasional

Indonesia) yang bernaung dibawah Partai Nasional Indonesia (PNI) lahir di

Sumatera Utara pada tahun 1951, dan memperoleh kedudukan sangat penting

(37)

Tabel 2.1.

Partai Politik dan Organisasi-Organisasi Petani dan Buruh di bawahnya 24

Organisasi Petani Partai Politik

PETANI

(Persatuan Tani Nasional Indonesia)

PNI

(Partai Nasional Indonesia)

PETANU

(Persatuan Tani Nahdhatul Ulama)

NU

(Nahdhatul Ulama)

STII

(Sarekat Tani Islam Indonesi)

Masyumi

(Majelis Syuro Muslimin Indonesia)

BTI

(Barisan Tani Indonesia)

RTI

(Rukun Tani Indonesia)

PKI

(Partai Komunis Indonesia)

GTI

Gerakan Tani Indonesia)

PSI

(Partai Sosialis Indonesia)

BPRPI

(Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia)

PRN

(Partai Rakyat Nasional)

Organisasi-organisasi petani yang muncul sangat berbeda satu sama lain,

terutama menyangkut aktifitas dan sikap militansi organisasi. Pada tahun 1950-an

organisasi petani yang paling agresif di Sumatera Utara adalah BTI dan RTI.

Sikap agresif dalam setiap organisasi petani berbeda-beda tergantung dari

kepemimpinan dalam organisasinya. Militansi organisasi petani di Sumatera Utara

pada waktu itu berhasil mempengaruhi jalannya dinamika politik di Sumatera

Utara melalui aksi-aksi sabotase, pemogokan, politik non-koperasi, pelanggaran

peraturan secara hukum sehingga mekanisme pelaksanaan hukum pada waktu itu

sama sekali terhenti 25

Bahkan organisasi-organisasi yang militan seperti BTI yang memiliki

klaim sebagai organisasi petani dengan basis massa terbesar, mampu mendorong

aksi-aksi pendudukan lahan yang merepotkan pemerintah dan pengusaha .

24

Ibid. Pelzer, Karl J. Halaman 83.

25

(38)

perkebunan di Sumatera Utara. BTI dikenal sebagai organisasi petani yang sangat

radikal dibawah asuhan Partai Komunis Indonesia. Dengan basis massa yang

besar dan kuat, BTI mampu memberikan kemenangan pada PKI dalam Pemilu

195526

Keuntungan ekonomis ini dapat dilihat dari keuntungan negara yang

diperoleh dari biaya pajak dan nonpajak yang disetor oleh pengusaha swasta

maupun BUMN sebagai hasil penjualan produk-produk sarana peningkatan

produksi (pupuk, bibit, herbisida, pestisida, mesin-mesin pertanian, dll.).

Peningkatan produksi ini juga ditujukan agar sektor pertanian dapat mensubsidi . Kemenangan tersebut memperlebar jalan BTI dan PKI untuk

mengesahkan UU Pokok Agraria yang menjadi tameng perjuangan dan

perlindungan hak-hak kaum tani. Kebesaran organisasi petani seperti BTI ini

nyaris tidak ditemukan kembali setelah penghancuran PKI seiring lahirnya Orde

Baru.

Pembangunan sektor pertanian dilakukan melalui program-program

kapitalistik. Pada sektor tanaman pangan, negara memperkenalkan dan

memaksakan konsep revolusi hijau terhadap petani. Pilihan revolusi hijau oleh

Negara merupakan cermin dari kebijakan yang berorientasi pada peningkatan

produksi bukan keadilan dan keuntungan bagi petani. Dengan revolusi hijau,

negara memperoleh keuntungan berlipat ganda yaitu keuntungan ekonomis,

keuntungan politis, dan ideologis.

26

(39)

sektor industri (baik industri disektor pertanian/agribisnis maupun industri

nonpertanian) yang sedang dikembangkan27

Untuk meredam kekuatan politik petani dan di pedesaan pada umunya,

pemerintahan Suharto mengeluarkan kebijakan politik Floating Mass (Massa

Mengambang) tahun 1971 menjelang Pemilu. Kebijakan ini ditujukan untuk

memotong hubungan antara massa pedesaan/petani dengan partai-partai politik.

Partai Politik tidak boleh lagi mempunyai cabang-cabang di daerah kecamatan ke

bawah. Pada tahun 1973 pemerintah memfusikan partai politik yang banyak

jumlahnya itu menjadi tiga wadah: Partai Persatuan Pembangunan (PPP),

Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kedua partai

politik ini (PPP dan PDI) tidak boleh memiliki organisasi massa berdasarkan

sektor (buruh dan petani misalnya). Tetapi Golkar menempatkan HKTI sebagai .

Keuntungan politik bagi Orde Baru adalah terjaminnya stabilitas politik

melalui pengendalian harga dan pemenuhan stock bagi pemenuhan kebutuhan

subsistensi dari rakyat (terutama rakyat miskin). Sedangkan keuntungan ideologis:

negara memperoleh legitimasi sebagai negara yang memperhatikan kebutuhan

rakyat banyak dalam hal kemampuan memenuhi stock pangan dalam negeri.

Sophistifikasi program kapitalis ini juga dilakukan di sektor Kehutanan dan

Perkebunan. Di sektor perkebunan bentuk mutakhirnya adalah PIR/contract

farming. Untuk mem-back up berhasilnya program kapitalisasi pertanian di

berbagai sektor ini dijalankan pula sistem politik otoritarian yang semakin

canggih (repressi fisik dan ideologis).

27

(40)

underbouw-nya. Sementara HKTI dinyatakan sebagai satu-satunya organisasi

petani yang resmi sebagai organisasi petani. HKTI kemudian menjadi organisasi

yang dipergunakan sebagai wadah mengkontrol petani sekaligus sebagai

representasi penyaluran aspirasi politik dari petani. Jalur kekuatan organisasi

produksi petani juga dikooptasi oleh pemerintah. KUD untuk pelembagaan

kepentingan permodalan dan penyaluran saprodi bagi petani (KUD ini sendiripun

harus bersaing secara tidak sehat dengan berbagai macam koperasi dan Yayasan

yang didirikan oleh militer). Sedangkan berbagai kelompok tani (KTNA,

Kelompok Tani binaan Departemen Pertanian, P3A di kawasan irigasi,

Kelompencapir untuk penyaluran pesan-pesan pembangunan) diperlakukan

(41)

Tabel 2.2

Karakteristik Organisasi Petani yang lahir dimasa Orde Baru 28

Organisasi Petani Nonpemerintah

Organisasi Petani yang didirikan dan dipersiapkan sejak awal sebagai ORMAS petani.

Selain berusaha menjawab kebutuhan praktis juga untuk berusaha memenuhi kepentingan

strategis (politik) petani. Misalnya SPJB, SPSU, PITL, HPMJT, dll. Tidak mempunyai

afiliasi politik terhadap partai politik manapun. Biasanya mempunyai kolektivitas yang

kental tetapi mempunyai apresiasi/respek yang tinggi terhadap masyarakat adat.

Organisasi-organisasi Petani yang lahir dari masalah nonpertanahan, khususnya ekonomi

dan budidaya/teknik pertanian. Berbentuk KSM, Usaha Bersama, Simpan Pinjam, dll.

Biasanya lahir hasil pendampingan LSM yang berorientasi pada aktivitas Community

Development.

Organisasi Masyarakat Adat yang telah “dimodernisir”. Beberapa diantaranya adalah

BPRPI dan Yayasan-Yayasan yang didirikan oleh Masyarakat Adat. Kebanyakan

organisasi masyarakat adat ini tidak mempunyai kolektivitas kesadaran kelas yang kental,

tetapi lebih pada keasadarn teritorial dan kekerabatan.

Organisasi-organisasi Aksi yang lahir dari hasil advokasi pertanahan. Biasanya bersifat

Ad Hoc. Sangat banyak terbentuk, namun sangat longga r & mudah bubar. Pembentukan

organisasi aksi ini tidak diiringi proses pengorganisasian dan kaderisasi yang baik.

Organisasi-organisasi di pedesaan yang mempunyai akar tradisi. Biasanya berhubungan

erat dengan kegiatan budi-daya pertanian/produksi. Misalnya Adat Bondang di Silau

Lama, Asahan, Marsiadapari di Tapanuli Utara & Tapanuli Selatan, dll.

Berdirinya serikat tani yang menjadi underbouw dari Parpol, namun belum mempunyai

anggota yang banyak (STN – PRD).

28

(42)

Direkrutnya kalangan petani dalam struktur organisasi aktivis kelas menengah. Organisasi

seperti ini dapat dikategorikan sebagai organisasi “campuran”. Biasanya keterlibatan

petani di tubuh LSM lebih sebagai upaya kalangan LSM untuk ber-“demokrasi”

2.3. Sejarah Perkembangan SPI

Fase gerakan rakyat yag acap diterjemahkan oleh Organisasai

Non-pemerintah/ Ornop maupun Ormas tampaknya tidak luput dari diskursus

pemikiran, baik menyangkut konsep, metode maupun alat yang digunakan.

Sementara di tingkat praksis, stagnasi dan kejenuhan bagi terwujudnya sebuah

idealisasi tentang proses perubahan, pun tak kunjung menampilkan bentuk yang

konkrit. Kesenjangan antara idealisasi tentang sebuah perjuangan dengan

kenyataan yang ditemui di lapangan ternyata semakin menganga lebar.

Perdebatanpun acap muncul di tataran praktis dan teoritis. Implikasi semua ini

akhirnya menggiring arah dan konsep gerakan rakyat ke dalam satu keadaan yang

goyah, baik secara metodologis maupun idiologis. Suasana yang demikian ini

akhirnya juga menjadikan para aktivis dan organisasi gerakan rakyat mencoba

melihat perspektif lain yang lebih realistis untuk diaktualisasikan. Penetapan

pilihan-pilihan inilah yang akhirnya melahirkan berbagai organisasi dan

perkumpulan yang mencoba mendekonstruksi apa-apa yang sudah dilakukan

selama ini di tengah-tengah rakyat.

Dalam sejarah dan konteks gerakan rakyat khususnya di sektor agraria,

misalnya, greget atau maksimalisasi perjuangan yang dilakukan selama Orde Baru

(43)

bagi terbaikinya nasib petani. Reformasi agraria yang dicanangkan sejak tahun

1960 pun akhirnya cuma hanya sekedar dibahas tanpa suatu implementasi yang

berarti. Banyak organisasi non pemrintah yang lahir dan mengatasnamakan petani

akhirnya frustrasi manakala berhadapan dengan strategsi rezim Orde Baru yang

sangat otoritarian – birokratif dan represif. Kehadiran Ornop/LSM nyatanya tak

begitu banyak merubah nasib petani secara keseluruhan. Eskalasi perjuangan

Ornop (yang mengurusi petani) mengalami pasang surut seirama dengan

perkembangan konstalasi sosial politik yang berlangsung.

Di tengah situasi yang demikian ini kemudian muncul gagasan untuk

melahirkan suatu wadah organisasi yang benar-benar genuine muncul dari rakyat

itu sendiri. Hal ini kemudian menggejala dan akhirnya menjadi suatu pilihan yang

dianggap strategis. Pada momentum inilah lahir Serikat Petani Sumatera Utara

(SPSU) sebagai suatu sintesis antara kalangan aktivis dan grass root (petani)

yang ada di tingkat lokal, Sumatera Utara. Perkembangan SPSU (di kemudian

hari menjadi Serikat Petani Indonesia) dengan demikian adalah perkembangan

respon petani dan organisasi petani terhadap situasi yang menindas.

Perkembangan SPSU tidak terlepas dari perkembangan situasi politik dan

ekonomi lokal, nasional maupun internasional yang mempengaruhinya.

2.3.1. Lahirnya komite-komite aksi petani

Embrio SPSU (Sebelum berubah menjadi Serikat Petani Indonesia) berasal

dari komite-komite aksi petani yang tersebar di beberapa desa di berbagai

(44)

pendampingan yang dilakukan oleh aktifis Sintesa 29

Pada awalnya sintesa memulai pendampingannya dengan proyek

Teknologi Tepat Guna (TTG) berupa pembangunan pembangkit listrik tenaga

mycrohydro didesa Lobu Rappa yang terpinggirkan dibawah mega proyek PLTA

Asahan. Dalam perjalanan selanjutnya Sintesa memasuki arah baru dalam

perkembangan visi dan misinya yang mulai terfokus pada masalah penguatan

petani. Persoalan perampasan lahan petani yang marak terjadi dimasa

meningkatnya pembangunan perusahaan-perusahaan perkebunan Sumatera Utara

mendorong Sintesa terlibat dalam advokasi persoalan tanah petani. Dimasa

tersebut, cikal bakal SPSU (Sebelum berubah menjadi Serikat Petani Indonesia)

mulai lahir dari komite-komite aksi petani sebagai wadah perjuangan ditingkat

lokal yang muncul atas dampingan yang dilakukan aktifis Sintesa. Komite-komite

aksi tersebut menyebar di beberapa Kabupaten yang memiliki basis konflik . Sintesa sendiri muncul dari

gagasan-gagasan di forum diskusi menjadi lembaga pengembangan masyarakat.

Sintesa atau Yayasan Sintesa (Sinar Tani Indonesia) didirikan pada tahun 1987.

Embrio Sintesa dimulai dari suatu kelompok studi mahasiswa Universitas

Sumatera Utara di Medan bernama “Sintesa Forum Studi” yang sudah aktif sejak

1985 dibawah sistem NKK/BKK yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru. Dalam

perjalanan mereka mengalami kejenuhan dengan serangkaian diskusi-diskusi

problematika sosial masyarakat, tanpa ada tindakan yang dapat dilakukan didalam

ruang aktifitas kampus yang dibatasi. Dalam kondisi tersebut, mereka

memunculkan gagasan untuk mengimbangi rangkaian diskusi intelektual mereka

dengan melakukan pengorganisasian dan pendampingan masyarakat di pedesaan.

29

(45)

agraria di 16 desa di 3 Kabupaten (Asahan, L. Batu dan Tapanuli Selatan) telah

melahirkan beberapa Sejalan dengan terbentuknya komite-komite aksi di tingkat

lokal tersebut, juga terindentifikasi beberapa calon kader petani yang sering

dilibatkan oleh sintesa dalam pertemuan petani baik di tingkat kabupaten, propinsi

maupun tingkat nasional. Pelibatan petani dalam pertemuan dimaksudkan sebagai

proses pendidikan bagi calon kader petani agar lebih memahami

persoalan-persoalan petani secara menyeluruh.

2.3.2. Konsolidasi komite-komite aksi petani mendeklarasikan SPSU

Dalam upaya memperkuat perjuangan petani ditingkat wilayah,

komite-komite aksi yang diorganisir aktifis Sintesa didorong untuk melakukan konsolidasi

melalui pertemuan-pertemuan yang bertujuan menyamakan persepsi dan keinginan

bersama untuk membentuk organisasi petani ditingkat Propinsi. Pertemuan untuk

mempersiapkan pembentukan organisasi petani tingkat propinsi secara intensif

dilakukan pada tanggal 1 sampai tanggal 3 Juni 1994 di Pesantren KH Ahmad

Basyir Parsariran, Batang Toru, Tapanuli Selatan. Pertemuan diikuti oleh 53 peserta

terbagi atas: Petani 30 orang dari 6 Kabupaten (Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah,

Tapaanuli Utara, Asahan, Labuhan Batu dan Deli Serdang), Mahasiswa 5 orang dan

dari aktifis LSM sekaligus fasilitator dan moderator sebanyak 15 orang. Di akhir

pertemuan pada tanggal 3 Juni 1994, utusan-utusan dari komite-komite aksi petani

yang hadir berhasil membuat deklarasi yang bunyinya sebagai berikut ; "Dengan

rahmat Tuhan Yang Maha Esa Kami Petani Sumatera Utara dengan ini menyatakan

(46)

Setelah mengikrarkan bersama deklarasi pembentukan organisasi petani,

peserta pertemuan tersebut langsung membentuk panitia pekerja yang akan

mempersiapkan nama dan AD/ART sekaligus mempersiapkan kongres

pertamanya. Hasil pembahasan di panitia pekerja yang bersidang pada tanggal 28

Agustus s/d 1 September 1994 di Kisaran menyepakati nama organisasi petani

yang akan didirikan, dengan nama Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) yang

pada Kongres ke-V memutuskan untuk mendorong Federasi Serikat Petani

Indonesia ditingkat nasional menjadi organisasi unitaris dengan nama Serikat

Petani Indonesia (SPI). Panitia pekerja juga telah menyelesaikan draft AD/ART

yang akan dibawa ke Kongres SPSU yang pertama. Sedangkan menurut hasil

musyawarah panitia, kongres SPSU ke-I akan diadakan pada tanggal 1 s/d 3

Nopember 1994 di tempat yang ditentukan kemudian. Panitia Pekerja ini

kemudian membentuk Panitia Penyelenggara Kongres. Panitia Pekerja dan Panitia

Penyelenggara secara bersama mengadakan konsolidasi ke daerah-daerah dan

mengadakan pertemuan-pertemuan untuk persiapan kongres.

Akibat situasi politik yang tidak memungkinkan pada masa itu,

mengakibatkan penundaan beberapa kali. Salah satu penyebab penundaan kongres

pertamanya adalah penggrebegan kantor Sintesa oleh Kodim dan Polres Asahan

akibat aktifitas pengorganisiran petani yang dilakukan Sintesa. Pengawasan ketat

oleh rezim penguasa juga dilakukan terhadap aktifitas yang dilakukan oleh

komite-komite aksi dibeberapa desa. Kondisi tersebut memaksa Panitia Pekerja

Gambar

Tabel 2.1.

Referensi

Dokumen terkait