• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Strategi Food Coping Keluarga Dan Penetuan Indikator Kelaparan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Strategi Food Coping Keluarga Dan Penetuan Indikator Kelaparan"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS STRATEGI

FOOD COPING

KELUARGA

DAN PENENTUAN INDIKATOR KELAPARAN

 

ERLI MUTIARA 

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Strategi Food Coping Keluarga dan Penentuan Indikator Kelaparan adalah karya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2008

Penulis

Erli Mutiara

(3)

ABSTRACT

ERLI MUTIARA. Analysis of Strategies in Family Food Coping and Determination of Hunger Indicators. Under the Supervision of HIDAYAT SYARIEF, IKEU TANZIHA, and DADANG SUKANDAR.

The research objectives were to analyze strategies in family food coping and to determine hunger indicators. The research design was retrospective and it was conducted in two difference area representing rural community (Village of Suka Maju, Cibungbulang District, Bogor Regency) and urban community (Village of Suka Resmi, Tanah Sareal District, Bogor Municipality), both in West Java Province. Samples of 120 poor families were drawn randomly out of 3340 families from both areas. The primary data was collected from samples using questionnaire which consist of family’s characteristics, food coping strategy, hunger indicators, food scarcity, financial control, and food consumption. The multiple linear regression was applied to analyze affeat strategy family’s food coping to energy and protein consumption, and discriminant analysis to determine of hunger indicators.

The results showed that the proportion of family suffering from hunger was 29.2 %. There were the differences in food coping strategies between the group of hunger and non-hunger families. The energy adequacy was influenced by selling the underproductive family properties and the changing priority of food consumption from mother to their children (partially R2 = 0.3512 and R2 = 0.0375 respectively). The protein adequacy was determined by skipping eating for whole days and reducing the habitual of food frequency (partially R2 = 0.1311 and R2 = 0.0331 respectively).

The discriminant analysis based on the single variable showed that the family’s hunger indicator was skipping eating for whole days. By the two variables, the hunger indicators were skipping eating for whole days, and reducing the habitual of food frequency. By the three variables, the hunger indicators were skipping eating for whole days, reducing the habitual of food frequency, and changing priority of food consumption from mother to their children. However by applying the one, two, and three variables, the result of misclassifications were similar, 11.47% hungry families classified into non-hungry families and 24.71% non-hungry families categorized into hungry ones.

Key words : Food coping strategy, hunger indicator, family

(4)

RINGKASAN

ERLI MUTIARA. Analisis Strategi Food Coping Keluarga dan Penentuan

Indikator Kelaparan. Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF, IKEU TANZIHA dan DADANG SUKANDAR.

Kelaparan dan kemiskinan merupakan salah satu masalah kemanusiaan yang mendasar. Untuk memantau kelaparan di Indonesia perlu adanya indikator kelaparan sebagai acuan dalam melakukan upaya penanggulangan. Selama ini penelitian indikator kelaparan masih dilihat dari dimensi kesehatan, emosi, ekonomi dan konsumsi, sedangkan indikator kelaparan yang dilihat dari dimensi perilaku belum ada di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini penting dilakukan agar dapat digunakan sebagai instrumen pemantauan kelaparan nasional dan sebagai acuan untuk intervensi.

Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis strategi food coping dan menentukan indikator kelaparan. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasi karakteristik keluarga kelaparan dan tidak kelaparan, 2) menganalisis strategi food coping keluarga kelaparan dan tidak kelaparan, 3)

menganalisis pengaruh strategi food coping terhadap tingkat kecukupan energi dan protein, dan 4) menganalisis strategi food coping sebagai penentu indikator kelaparan. Disain penelitian adalah retrospective. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2006. Tempat penelitian di Desa Suka Maju Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor dan di Kelurahan Suka Resmi Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan berdasarkan tingkat kemiskinan tertinggi di kota dan kabupaten Bogor yaitu 50% (BPS 2005). Teknik penarikan contoh adalah Stratified random sampling. Kriteria contoh adalah keluarga yang termasuk dalam klasifikasi Pra-S, KS-1 dan KS-2, dan bersedia menjadi contoh. Responden adalah ibu rumahtangga. Jumlah contoh yang diambil 120 keluarga.

Jenis data yang dikumpulkan mencakup data sekunder dan data primer. Data sekunder mencakup data yang menggambarkan lokasi penelitian. Data primer meliputi data karakteristik keluarga yaitu usia KK dan ibu, lama pendidikan formal KK dan ibu, jumlah anggota keluarga, pekerjaan KK, pengeluaran keluarga, dukungan sosial, aset ekonomi, strategi food coping keluarga, ukuran kelaparan, dan konsumsi pangan keluarga dengan menggunakan kuesioner semi metode food frequency. Penentuan kelaparan apabila terjadi penurunan frekuensi dan atau penurunan porsi makan, serta penurunan berat badan karena alasan ekonomi.

(5)

mengelompokkan keluarga kedalam kategori kelaparan dan tidak kelaparan berdasarkan peubah strategi food coping.

Hasil penelitian menunjukkan proporsi kelaparan sebesar 29.2 persen. Rataan usia KK dari seluruh responden berkisar 43.60 ± 11.59 tahun dan rataan usia ibu dari seluruh responden berkisar 37.98 ± 10.90 tahun. Rataan pendidikan KK dari seluruh responden berkisar 7.22±3.77 tahun dan rataan pendidikan ibu dari seluruh responden berkisar 6.04±3.62 tahun. Jenis pekerjaan KK pada keluarga kelaparan sebagai buruh dan jasa angkutan, sedangkan pada keluarga tidak kelaparan lebih bervariasi yaitu sebagai pedagang, PNS, karyawan dan wiraswasta. Rataan jumlah anggota keluarga pada keluarga kelaparan 5.83 ± 1.89 orang, sedangkan pada keluarga tidak kelaparan 4.95 ± 2.08 orang. Rataan pengeluaran perkapita perbulan pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan masing-masing Rp 183.868,- dan Rp 312.287,- per bulan. Dukungan sosial pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan tergolong kategori sedang. Rataan tingkat kecukupan gizi baik kecukupan energi, protein, kalsium, zat besi, vitamin A berbeda nyata antara keluarga kelaparan dengan keluarga tidak kelaparan.

Pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan, sebanyak (100.0% dan 53.3%) pernah mengalami kekurangan pangan, (100% dan 51.1%) kekurangan

pangan terjadi hampir setiap bulan, dengan alasan karena pendapatan menurun (100.0% dan 95.7%). Pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan (100.0% dan 22.4%) tidak mempunyai persediaan pangan, namun demikian ada juga sebesar (77.6%) yang mempunyai persediaan pangan pada keluarga tidak kelaparan. Dari (77.6%) keluarga tidak kelaparan yang mempunyai persediaan pangan, (54.5%) hanya untuk sehari saja. Persediaan pangan yang dimiliki keluarga tidak kelaparan sebanyak (74.2%) cukup sampai punya uang berikutnya. Bentuk persediaan pangan keluarga tidak kelaparan (53.0%) dalam bentuk uang dan (47.0%) yang persediaannya dalam bentuk pangan (beras).

(6)

Strategi selanjutnya yaitu taraf 2. Pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan tidak pernah menggadaikan aset untuk membeli kebutuhan pangan (77.1% dan 91.8%). Keluarga kelaparan sering menjual aset yang tidak produktif (piring, gelas, lemari, pakaian) (68.6%), sedangkan tidak kelaparan tidak pernah (80.0%). Baik keluarga kelaparan maupun tidak kelaparan tidak pernah menjual aset yang produktif (hewan peliharaan, tanah sepeda dll) (88.6% dan 96.5%). Keluarga kelaparan kadang-kadang meminjam uang (60.0%), sedangkan tidak kelaparan tidak pernah (55.3%). Keluarga kelaparan sering membeli pangan dengan berhutang (48.6%), sedangkan tidak kelaparan tidak pernah (63.5%). Keluarga kelaparan selalu merubah distribusi makan (prioritas ibu untuk anak-anak) (88.6 %), sedangkan tidak kelaparan tidak pernah (55.3 %). Pada keluarga kelaparan selalu mengurangi frekuensi makan per hari (60.0%), sedangkan tidak kelaparan tidak pernah (78.8%). Keluarga kelaparan sering melewati hari-hari tanpa makan (80.0%), sedangkan tidak kelaparan tidak pernah melewati hari-hari tanpa makan (100.0%).

Berdasarkan hasil pengkategorian dari taraf strategi food coping yang dilakukan oleh keluarga, baik keluarga kelaparan maupun tidak kelaparan melakukan strategi food coping baru sampai taraf 1, 2, masing-masing (100.0 % dan 48.2%), namun demikian pada keluarga tidak kelaparan ada juga yang tidak melakukan strategi food coping sebesar 44.7% karena mereka tidak kekurangan pangan. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan nyata antara strategi food coping dengan pengeluaran per kapita (r=-0.609; p<0.01), pendidikan kepala keluarga (r=-0.347; p<0.01), pendidikan ibu (r=-0.315; p<0.01), jumlah anggota keluarga (r=0.331; p<0.01), umur KK (r=0.244; p<0.01), dan umur ibu (r=0.257; p<0.01). Hal ini berarti semakin rendah pengeluaran per kapita, pendidikan kepala keluarga, pendidikan ibu dan semakin besar jumlah anggota keluarga, umur KK, umur ibu, maka banyak tindakan dan kedalaman strategi food coping yang mereka lakukan.

(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atas atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan nama atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

ANALISIS STRATEGI

FOOD COPING

KELUARGA

DAN PENENTUAN INDIKATOR KELAPARAN

ERLI MUTIARA 

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S.

(10)

Judul Disertasi : Analisis Strategi Food Coping Keluarga dan Penentuan Indikator Kelaparan

Nama : Erli Mutiara

Nomor Pokok : A561040021

Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, M.S. Ketua

Dr. Ir. Ikeu Tanziha, M.S. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc.

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Gizi Masyarakat Dekan Sekolah Pascasarjana dan Sumberdaya Keluarga

Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

(11)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul “Analisis Strategi Food Coping Keluarga dan Penentuan Indikator Kelaparan. Penulisan disertasi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi Program Doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, dengan segala hormat dan kerendahan hati penulis ucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MSc, sebagai ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan nasehat, saran-saran, bimbingan dan senantiasa memberikan semangat dan dorongan dalam penyelesaian penelitian ini, Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan nasehat, saran-saran, bimbingan dan dorongan serta begitu berjasa yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi anggota peneliti untuk disertasi ini, dan kepada Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang penuh dengan kesabaran telah memberikan bimbingan, saran-saran dan selalu meluangkan waktu untuk berkonsultasi dengan segala kerendahan hati disampaikan terimakasih.

Ucapan terimakasih dan rasa hormat kepada Prof. Dr. Ir Hardinsyah, MS sebagai penguji pada saat prakualifikasi dan kolokium yang telah banyak memberikan masukan dalam penulisan disertasi ini. Kepada penguji luar komisi pada sidang tertutup Dr. Ir Budi Setiawan, MS, yang telah bersedia menguji dan memberikan saran-saran serta masukan dalam penyempurnaan disertasi ini, dengan rendah hati disampaikan terimakasih. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sudjana Royat, DEA dan Dr. Ir. Lala M Kolopaking, MS selaku penguji luar komisi pada sidang terbuka, yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan yang berarti bagi penyempurnaan disertasi ini.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputrao, M.S, Dekan Fakultas Ekologi Manusia Prof. Dr. Ir Hardinsyah, MS, Ketua Departemen Gizi Masyarakat Dr. Evy Damayanthi, MS, Ketua Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS, Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS selaku dosen wali, dan seluruh staf pengajar S3 dan S2 sekolah pascasarjana beserta jajarannya yang telah memberikan pelayanan, baik administrasi maupun proses pembelajaran disampaikan terimakasih.

Kepada Rektor, Dekan Fakultas Teknik serta Ketua Jurusan PKK Universitas Negeri Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di IPB dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS disampaikan terimakasih atas bantuan dana yang diberikan kepada penulis.

(12)

Kepada Ibu Ir. Megawati Simanjuntak, Utami dan Rina, Sp yang selalu membantu dan menjadi teman diskusi dalam pengolahan data.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada teman-teman seangkatan Dra. Mazarina Devi, M.Si, Dr. Bernatal Saragih, SP, M.Si, Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN, Ir. Heryuda Rini, Mkes, Dr. Ir. Priharnanto, M.Si, yang selalu menjadi teman diskusi dan telah banyak memberikan dorongan dalam penulisan disertasi, serta kebersamaan dalam menempuh studi di GMK selama ini. Kepada teman-teman staf pengajar di Jurusan PKK Universitas Negeri Medan yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menyelesaikan pendidikan disampaikan terimakasih.

Penghargaan khusus diberikan kepada suami penulis, Bapak Alfian, SP yang selalu memberikan kasih sayang, kesabaran, dorongan, motivasi, memberikan bantuan moril, material, tenaga dan waktu serta menunjukkan pengertian dan toleransi yang sangat luar biasa dalam segala hal. Kepada anak-anak kami tercinta Erfiani Humairah dan Muhammad Rendi Syaputra dengan penuh kasih sayang penulis mengucapkan terimakasih atas kesabaran dan pengertian yang tinggi yang diberikan selama ini.

Penghargaan khusus juga disampaikan kepada orang tua tercinta yang telah membesarkan, mendidik dan membimbing, serta menghantarkan penulis hingga mencapai kehidupan saat ini. Ibunda Salbiah Nasutian yang tercinta yang senantiasa mendoakan penulis setiap saat, serta ayahanda Panangian Lubis (alm) yang dari dulu menginginkan penulis mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya, penulis percaya walaupun almarhum tidak sempat menyaksikan semua ini, namun jiwa almarhum yang suci insya Allah mampu menyaksikan dari alam barzah. Kepada kedua orang tua mertua yaitu bapak H. Hasnan Khahar (alm) dan ibu Dra. Hj. Farida Hanum, yang selalu memberikan dorongan moril serta doa yang tidak putus-putusnya diberikan untuk keberhasilan penulis menyelesaikan studi ini. Kepada saudara-saudara penulis, kakanda Ahmad Soripada Lubis/Fauziah, Dra. Maswarni/Husin, SH, Leli Wanni, SE/Ahmad Ridwan Ginting, SE juga adinda Dra. Erni Darniati/Drs. Sahwan, Henny Hanifah, SP, Khairul Mahmud/Debi, serta kakak ipar Dra. Ana Rahmi, M.Pd/Fajar dan adik ipar Hasfini/Saiful, Eri/ucok, Hadi Darma, Sp,/Windi, Ashabi, Sp,/Neni, Rina, yang telah memberikan kasih sayang, dukungan moril dan material, serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Kepada adik Ika, Mimi yang setia membantu semua urusan keluarga dan merawat anak-anak dengan baik, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

Ucapan terimakasih ini juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan yang telah diberikan hingga selesainya disertasi ini, semoga mendapat keridhoanNya. Akhirnya dengan diiringi do’a, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dan penulis berharap semoga tulisan ini berguna bagi siapapun yang memerlukannya.Amin.

Penulis

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 23 Maret 1970 sebagai anak ke empat dari tujuh bersaudara, dari pasangan Panangian Lubis (alm) dan Salbiah Nasution. Pada Tahun 1997, penulis menikah dengan Alfian, SP dan dikarunia dua orang putra dan putri yaitu Erfiani Humairah dan Muhammad Rendi Syaputra.

Pendidikan Dasar dan Menengah pertama diselesaikan pada tahun 1984 dan 1987 di Kotanopan, dan Pendidikan Menengah Atas diselesaikan pada tahun 1990 di SMTK Negeri Medan. Kemudian penulis melanjutkan Pendidikan Sarjana di IKIP Negeri Medan Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga Program Studi Tata Boga dan lulus pada tahun 1995.

(14)

DAFTAR ISI

Pengertian dan Ukuran Kelaparan... Berbagai Indikator Kelaparan... Disain, Waktu dan Tempat... Teknik Penarikan Contoh... Jenis dan Cara Pengumpulan Data... Pengolahan dan Analisis Data... Definisi Operasional...

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein... Strategi Food Coping yang Berpengaruh terhadap Tingkat

(15)

DAFTAR TABEL 

1 Beberapa Ukuran Kelaparan dan Kesesuaian Penggunaannya... 2 Ukuran Contoh ... 3 Jenis Data dan Cara Pengumpulannya... 4 Strategi Food Coping Keluarga... 5 Sebaran Responden Berdasarkan Jawaban Ukuran Kelaparan ... 6 Sebaran Responden Berdasarkan Kelaparan Kualitatif... 7 Sebaran Keluarga Menurut Klasifikasi Keluarga...

8 Sebaran Keluarga Menurut Kelompok Usia Kepala Keluarga... 9 Sebaran Keluarga Menurut Kelompok Usia Ibu ... 10 Sebaran Keluarga Menurut Tingkat Pendidikan KK... 11 Sebaran Keluarga Menurut Tingkat Pendidikan Ibu... 12 Sebaran Keluarga Berdasarkan Jenis Pekerjaan Kepala Keluarga... 13 Sebaran Keluarga Menurut Kategori Jumlah Anggota Keluarga... 14 Sebaran Keluarga Menurut Dukungan Sosial ... 15 Sebaran Keluarga Menurut Rataan dan Sd Luas Bangunan dan

Tanah yang Dimiliki... 16 Sebaran Keluarga Menurut Kepemilikan Elektronik ... 17 Sebaran Keluarga Menurut Garis Kemiskinan BPS (2005)... 18 Sebaran Keluarga Menurut Garis Kemiskinan Bank Dunia (1990).. 19 Sebaran Keluarga Menurut Rataan (Rp) dan Standar Deviasi

Pengeluaran Perkapita Perbulan... 20 Sebaran Keluarga Menurut Persentase dan Standar Deviasi Jenis

Pengeluaran Pangan dan Non Pangan... 21 Sebaran Keluarga Menurut Pengambil Keputusan... 22 Sebaran Keluarga Menurut Kontrol Keuangan ... 23 Sebaran Keluarga Menurut Kekurangan Pangan... 24 Sebaran Keluarga Menurut Peningkatan Pendapatan dan

Perubahan Konsumsi Pangan... 25 Sebaran Keluarga Menurut Penyegeraan Akses terhadap Pangan.... 26 Sebaran Keluarga Menurut penyegeraan akses terhadap

Pembelian Tunai, Perubahan Distribusi dan Frekuensi Makan serta Melewati Hari-Hari Tanpa Makan... 27 Sebaran Keluarga Menurut Pelaku Food Coping... 28 Sebaran Taraf Strategi Food Coping Keluarga... 29 Sebaran Keluarga Menurut Rataan dan Standar Deviasi Frekuensi

Konsumsi Pangan (Kali/Minggu) ... 30 Rataan dan Sd Berat Pangan (Gram) Per Hari yang di Konsumsi

Pada Keluarga Kelaparan dan Tidak Kelaparan... 31 Rataan dan Standar Deviasi Tingkat Kecukupan Gizi Pada

Keluarga Kelaparan dan Tidak Kelaparan ... 32 Korelasi Karakteristik Keluarga dengan Tingkat Kecukupan

Energi dan Protein... 33 Strategi Food Coping yang Berpengaruh Terhadap Tingkat

Kecukupan Energi...

3 4 Strategi Food Coping yang Berpengaruh Terhadap Tingkat

(16)

DAFTAR GAMBAR

2 3 4

5

Kerangka Pemikiran Analisis Strategi Food Coping Keluarga dan Penentuan Indikator Kelaparan... Sebaran Keluarga Menurut Kategori Skor Dukungan Sosial... Sebaran Keluarga Menurut Kepemilikan Rumah... Grafik Persamaan Diskriminan Satu Peubah Peringkat Pertama (Melewati Hari-Hari Tanpa Makan)... Grafik Persamaan Diskriminan Dua Peubah (Mengurangi Frekuensi Makan Per hari dan Melewati Hari-Hari Tanpa Makan)...

Halaman

34 61 62

101

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 2 3

4

5

6 7 8

Kuesioner Penelitian... Hasil Analisis Regresi Linier Berganda... Analisis Diskriminan Satu Peubah Peringkat Pertama Melewati Hari-Hari Tanpa Makan... Analisis Diskriminan Dua Peubah : Mengurangi Frekuensi Makan Perhari dan Melewati Hari-Hari Tanpa Makan... Analisis Diskriminan Tiga peubah : Perubahan Distribusi Makan (Prioritas Ibu untuk Anak-Anak), Mengurangi Frekuensi Makan Perhari dan Melewati Hari-Hari Tanpa Makan... Tabel Kombinasi Dua Peubah... Tabel Kombinasi Tiga Peubah... Daftar Nama-Nama yang Menerima dan Tidak Menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) Sesuai dengan Data dari Pemerintah...

Halaman

115 127

128

128

129 130 131

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelaparan dan kemiskinan merupakan salah satu masalah kemanusiaan yang mendasar. Berdasarkan data World Food Summit (WFS) pada tahun 2002, sebanyak 815 juta manusia di negara berkembang masih menghadapi kelaparan, 300 juta diantaranya adalah anak-anak. Kelaparan tersebut mengakibatkan timbulnya berbagai penyakit akibat kurang gizi, bahkan ancaman kematian (Witoro 2003).

Kelaparan dan kemiskinan merupakan dua masalah serius dalam pembangunan dunia terutama di dunia ketiga atau negara-negara sedang berkembang. Berdirinya lembaga pangan dan pertanian (FAO) di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) salah satunya diilhami oleh perlunya upaya mengatasi kelaparan yang merebak setelah perang dunia pertama dan krisis pangan dunia.

Di Indonesia ancaman kelaparan dan kekurangan gizi pada bayi dan balita telah menjadi persoalan yang sampai hari ini belum bisa diselesaikan oleh pemerintah. Kelaparan paling banyak terjadi di NTT, NTB, Yahukimo (Papua), dan berbagai tempat lainnya. Kasus busung lapar dan gizi buruk, terutama pada anak-anak dan kaum perempuan, ditemukan hampir pada setiap pelosok Indonesia (Siswono 2006).

(19)

Apabila masalah kelaparan tidak ditanggulangi dan dibiarkan terus terjadi, maka dapat berakibat buruk terhadap masyarakat, diantaranya gangguan pertumbuhan dan kecerdasan anak, rentan terhadap penyakit, dan tingginya tingkat kematian bayi (Cook et al 2004).

Untuk memantau kelaparan di Indonesia perlu adanya indikator kelaparan. Di Indonesia ukuran kelaparan secara kualitatif yang telah dikembangkan oleh Badan Bimas Ketahanan pangan Deptan, bekerja sama dengan IPB, BPS, Depkes dan BKKBN, hasilnya valid untuk dijadikan ukuran kelaparan kualitatif di Indonesia (Hardinsyah et al. 2003), namun demikian masih membutuhkan kompetensi yang tinggi. Hasil penelitian Tanziha (2005) yang dilakukan di Jawa Barat, sebagai indikator kelaparan adalah peubah sosial ekonomi dan frekuensi konsumsi pangan. Di Amerika Serikat (1995) pengukuran kelaparan dengan metode kualitatif yang dikembangkan oleh Eillen Kennedy dinilai valid dan reliable untuk menilai kondisi ketahanan pangan di USA. Selama ini penelitian indikator kelaparan masih dilihat dari dimensi kesehatan, emosi, ekonomi dan konsumsi, sedangkan indikator kelaparan yang dilihat dari dimensi perilaku belum ada di Indonesia. Oleh karena itu masih perlu dilakukan penelitian indikator kelaparan secara spesifik dilihat dari strategi food coping yang dilakukan oleh keluarga.

(20)

kekurangan pangan yang dialami keluarga. Oleh karena itu diharapkan strategi food coping dapat dijadikan indikator penentu keluarga kelaparan.

Berdasarkan hal tersebut yang menjadi pertanyaan penelitiannya adalah : (1) Bagaimana strategi food coping keluarga kelaparan dan keluarga tidak kelaparan?; (2) Apakah strategi food coping yang dilakukan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi, dan (3) Apakah strategi food coping bisa dijadikan sebagai indikator kelaparan?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi food coping keluarga dan menentukan indikator kelaparan.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga (usia ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu, pekerjaan ayah, jumlah anggota keluarga, dukungan sosial, aset ekonomi dan pengeluaran keluarga) pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan.

2. Menganalisis strategi food coping keluarga kelaparan dan tidak kelaparan. 3. Menganalisis strategi food coping yang berpengaruh terhadap tingkat

kecukupan energi dan protein.

4. Menganalisis indikator strategi food coping sebagai penentu kelaparan.

Manfaat Penelitian

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Ukuran Kelaparan

Pengertian Kelaparan

Kelaparan dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi hasil dari kurangnya konsumsi pangan, yang disebabkan oleh ketidakmampuan mendapatkan pangan yang cukup (Lenhart dan Read 1989). Konsep kelaparan berdasarkan FAO (2003) adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan energi (secara rata-rata sepanjang tahun) untuk hidup sehat, produktif dan mempertahankan berat badan sehat. Kelaparan juga didefinisikan sebagai kekurangan pangan yang mengakibatkan kekurangan gizi (Mason 2003), atau perasaan tak tenang/gelisah disebabkan kurangnya akses terhadap pangan (Kennedy 2003).

Berdasarkan hasil rumusan lokakarya instrumen kelaparan (Hardinsyah 2002), kelaparan merupakan ketidakmampuan seseorang memenuhi pangan minimal untuk hidup sehat, cerdas dan produktif, serta mempertahankan berat badan sehat karena masalah daya beli atau ketersediaan pangan. Secara operasional kelaparan adalah apabila seseorang dalam dua bulan terakhir terjadi penurunan frekuensi dan atau porsi makan, disertai penurunan berat badan karena masalah daya beli dan/atau ketersediaan pangan.

Definisi/pengertian kelaparan yang diusulkan untuk dipakai di Indonesia adalah “kelaparan merupakan kondisi seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam jangka waktu tertentu karena ketersediaan pangan dan ekonomi” dalam hal ini orang berpuasa, diet, menderita penyakit tidak termasuk dalam batasan ini.

(22)

adalah kelaparan kronis, dimana seorang individu dikatakan kelaparan apabila dalam dua bulan berturut-turut konsumsi energinya kurang dari 70 persen kebutuhan. Dua bulan dipakai sebagai ukuran waktu kelaparan, karena diasumsikan apabila seorang dewasa tingkat konsumsi energinya < 70 persen dalam jangka waktu dua bulan, maka individu tersebut akan mengalami penurunan berat badan sebesar tiga sampai dengan lima kilogram, yang dapat dirasakan langsung oleh individu tersebut. Apabila individu ditanyakan apakah terjadi penurunan berat badan karena kurang makan, maka responden dapat menjawab dengan benar, walaupun hanya dengan ukuran persepsi berdasarkan terasa baju atau celana yang semakin longgar (Hardinsyah 2002).

Menurut Carlson, Andrews dan Bickel (1999) dalam Tanziha (2005), dalam keadaan kekurangan pangan atau pada suatu situasi dimana seseorang tidak bisa memperoleh cukup pangan, maka kelaparan bisa terjadi, sekalipun kekurangan pangan tersebut tidak dalam jangka panjang tetapi cukup menjadikan permasalahan kesehatan dan penurunan berat badan. Dalam hal ini seseorang dapat dikatakan kelaparan meskipun tidak menunjukkan gejala klinis dari kelaparan itu sendiri. Apabila memandang kelaparan dari pandangan sosial, kelaparan sudah terjadi pada saat : (1) seorang anak yang tidur dalam keadaan lapar karena orang tuanya tidak mampu menyediakan pangan; (2) orang tua khususnya ibu tidak makan agar anggota keluarga lainnya bisa makan; (3) seorang tunawisma yang tergantung pada pemberian derma atau terpaksa meminta-minta untuk mendapatkan makanan; atau (4) orang yang tidak makan dengan baik supaya dapat menabung untuk membayar sewa dan lainnya. Orang tersebut mengalami kekurangan pangan yang secara klinis mungkin tidak menunjukkan malnutrition atau kurang gizi/buruk, tetapi mereka dalam keadaan kelaparan sehingga disebut juga kelaparan tak kentara atau hidden hunger. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekirman (2002), bahwa kelaparan dapat terjadi meskipun secara klinis tidak terlihat berstatus gizi kurang.

Ukuran Kelaparan

(23)

Semakin banyak dimensi yang diukur, maka akan semakin mendekati ukuran dari kelaparan itu sendiri. Mason (2003) mengemukakan bahwa ada 4 dimensi pengukuran kelaparan yaitu: 1) Dimensi kesehatan: dengan melihat fisik dari malnutrition yang ditunjukkan oleh wasting (BB/TB yang rendah), underweight (BB/U yang rendah), dan stunting (TB/U yang rendah), 2) Dimensi penderitaan (suffering): tidak nyaman dan stres karena kurang pangan, kekhawatiran anak tidak tercukupi pangannya, 3) Dimensi prilaku (behaviour) yang dilihat dari mekanisme coping dalam jangka pendek, dan 4) Dimensi ekonomi: penurunan produktifitas karena kurangnya energi yang tersedia untuk bekerja.

Pengukuran dapat diartikan sebagai pemberian nilai terhadap aspek, obyek atau kejadian melalui aturan yang telah ditentukan (Singarimbun dan Effendi 1985). Pengukuran penting karena dapat menghubungkan konsep-konsep penelitian yang abstrak dengan realitas. Kelaparan merupakan suatu konsep yang tidak dapat diukur secara langsung. Oleh karena itu, perlu suatu ukuran yang dapat mengkonkritkan kelaparan sehingga dapat diukur secara langsung. Tujuan dari pengukuran adalah untuk kategorisasi atau klasifikasi.

Menurut Singarimbun dan Effendi (1985), proses pengukuran merupakan rangkaian dari empat aktifitas pokok yaitu: 1) penentuan dimensi variabel penelitian, 2) perumusan ukuran untuk masing-masing dimensi, 3) penentuan tingkat ukuran yang akan digunakan dalam pengukuran, dan 4) menguji tingkat validitas dan reliabilitas dari alat ukur.

(24)

dalam penggunaannya apakah untuk advokasi, analisis kebijakan dan keputusan, serta penelitian. Kesesuaian kelima metode tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 (Jahari 2002).

Tabel 1 Beberapa ukuran kelaparan dan kesesuaian penggunaannya.

Metode Kesesuaian untuk Analisis Dimensi Kelaparan yang diukur

1. FAO/DES Hanya merefleksikan perubahan Dietary Energy Supply (DES); metode ini untuk level negara/tahun

Dimensi konsumsi

2. Survey pendapatan/ pengeluaran RT

Memiliki kesesuaian yang potensial terutama bila ada survei berulang dalam skala besar yang serupa (comparable)

Dimensi konsumsi

3. Survey konsumsi pangan individu

Survey berulang yang serupa dalam skala besar, sangat jarang, sangat mahal

Dimensi konsumsi

4. Antropometri Sesuai dan digunakan secara luas untuk menilai”trends” tetapi tidak hanya mengukur ketahanan pangan

Dimensi konsumsi

5. Metode kualitatif Mungkin sangat sesuai untuk keperluan dalam negeri, tetapi

perbandingan antar negara sulit dilakukan

Dimensi perilaku

Sumber : Jahari (2002).

Metode FAO adalah menghitung suplay energi perkapita yang dapat digunakan untuk konsumsi (Dietary Energy Supply per capita/DES) yang diturunkan dari NBM dan kemudian dihubungkan dengan konsumsi pangan penduduk yang dilihat dari survei pendapatan atau pengeluaran rumahtangga.

(25)

seminggu yang lalu. Dengan demikian kita dapat menghitung proporsi rumahtangga yang konsumsi energinya dibawah level minimum.

Metode yang ketiga adalah survei pengukuran konsumsi pangan aktual pada tingkat individu, biasanya dilakukan melalui recall 24 jam yang lalu. Kemudian dihitung tingkat konsumsinya dengan membandingkan kandungan energi dari konsumsi aktual dengan kecukupan energi yang dianjurkan. Survei ini jarang dilakukan karena biayanya mahal dan membutuhkan sumberdaya manusia yang terlatih. Alternatif lain dalam pengukuran kerawanan pangan dan kelaparan adalah melalui pengukuran status gizi kurang (Underweight, wasting atau stunted), melalui antropometri. Dari data tersebut dapat diestimasi proporsi penduduk yang kurang pangan. Metode ke lima adalah metode pengukuran kerawanan pangan dan kelaparan secara kualitatif. Pengukuran ini merupakan penilaian diri akan kondisi kelaparan yang dialaminya.

Kelima metode tersebut saling mengisi, karena masing-masing metode mempunyai kelemahan yaitu : (1) Perhitungan ketersediaan untuk umbi-umbian pada NBM biasanya tidak seakurat perhitungan untuk padi-padian; (2) Pengukuran survei pengeluaran, kadang-kadang mengabaikan perhitungan makan diluar rumah; (3) Tingkat kegiatan individu untuk menghitung kebutuhan energi pada umumnya tidak diketahui;(4) Pengukuran umur pada masyarakat, kadang tidak tepat.

Kelaparan berhubungan erat dengan ketahanan pangan yang mengarah pada “akses semua individu, setiap saat untuk mendapatkan pangan/gizi yang cukup, aman agar dapat hidup aktif dan sehat”. Definisi kelaparan itu sendiri menurut FAO (2003) adalah ”ketidakmampuan memenuhi kebutuhan energi (secara rataan sepanjang tahun) untuk hidup sehat, produktif dan mempertahankan berat badan sehat” sehingga beberapa kunci pengukuran dari konsep ini sama. Pengukuran kelaparan dapat dilakukan baik melalui pengukuran kualitatif maupun kuantitatif.

1. Pengukuran Kuantitatif (Quantitatif Measurement)

(26)

2) tingkat ketidakcukupan energi, 3) keanekaragaman makanan (dietary diversity), dan 4) persen pengeluaran untuk makanan (% food expenditure) (Smith 2003).

Ketidakcukupan energi keluarga diukur dengan membandingkan ketersediaan energi di keluarga dengan kecukupan energi yang seharusnya untuk setiap anggota di keluarga tersebut yang didasarkan pada komposisi umur dan jenis kelamin. Tingkat ketidakcukupan energi menunjukkan keparahan defisit energi yang ditunjukkan dengan defisit jumlah kalori pada suatu keluarga dibawah energi yang dianjurkan. Keragaman makanan menunjukkan kemampuan menyediakan makanan bagi keluarga. Persen pengeluaran untuk makanan menunjukkan keluarga yang rawan (vulnerable) jika persentase pengeluaran untuk makanan dari pendapatan sebesar 70 persen atau lebih, sedangkan pada keluarga berpendapatan tinggi, proporsi pengeluaran pangan tidak lebih dari 30 persen pendapatan (den Hartog, van Staveren dan Broower 1995; Berhman 1995).

Ada 4 jenis kondisi yang hampir sama untuk menilai kelaparan baik pada tingkat keluarga maupun individu yaitu : 1) Ketersediaan pangan (dietary energy supply), 2) Konsumsi energi, 3) Status gizi secara antropometri, dan 4) Persen pengeluaran untuk makanan (% food expenditure) (FAO 2002).

2. Pengukuran Kualitatif (Qualitative Measurement)

Pada kenyataannya pengukuran kualitatif ini yang sudah dilaksanakan di Amerika dari mulai tahun 1995, sangat bermanfaat bagi kepentingan advokasi, analisis kebijakan dan penelitian. Pengukuran kualitatif kelaparan pada hakekatnya mengukur persepsi kelaparan dari individu atau keluarga yang mengalami kelaparan. Pengukuran kualitatif ini bertujuan untuk mengembangkan pengukuran standar bagi pengukuran kelaparan yang lebih sederhana. Meskipun pengukuran ini dilakukan secara kualitatif, tetapi tidak subyektif, karena pengukuran ini dikorelasikan dengan pengukuran kelaparan lainnya yang bersifat kuantitatif (Mason 2003).

(27)

kebutuhan pangan anggotanya secara keseluruhan yang dialami selama satu tahun terakhir. Adapun ke 18 pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Saya khawatir apakah makanan saya akan habis sebelum saya punya uang untuk membeli lagi?

2. Makanan yang saya beli tidak cukup dan saya tidak punya uang untuk membelinya lagi?

3. Saya tidak mampu untuk makan-makanan yang seimbang?

4. Saya bergantung pada beberapa jenis makanan yang murah untuk anak-anak saya karena saya tidak punya uang untuk membeli makanan?

5. Saya tidak dapat memberikan makanan seimbang untuk anak-anak saya karena saya tidak dapat membelinya?

6. Anak-anak saya tidak memperoleh makanan yang cukup karena saya tidak mampu membelinya?

7. Dalam 12 bulan terakhir dari bulan ini apakah anda pernah mengurangi makanan karena tidak ada cukup uang untuk membelinya?

8. Berapa sering hal tersebut terjadi : hampir setiap bulan, hanya beberapa bulan tetapi tidaksetiap bulan, atau hanya 1 sampai 2 bulan?

9. Dalam 12 bulan terakhir apakah anda pernah makan lebih sedikit dari yang seharusnya anda makan karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan?

10.Dalam 12 bulan terakhir apakah anda pernah merasa lapar tetapi tidak makan karena tidak mampu membeli cukup makanan?

11.Dalam 12 bulan terakhir apa berat badan anda turun karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan?

Jika semua pertanyaan berikut tidak mau dijawab maka wawancara diberhentikan (SELESAI)

12.Dalam 12 bulan terakhir, apakah anda pernah tidak makan sepanjang hari karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan?

13.(Jika ya), berapa sering hal ini terjadi: hampir setiap bulan, beberapa bulan tetapi tidak setiap bulan, atau hanya 1 sampai 2 bulan?

(28)

14. Dalam 12 bulan terakhir dari bulan ini , apakah anda pernah mengurangi makanan anak-anak anda karena tidak punya cukup uang untuk membelinya?

15. Dalam 12 Bulan terakhir apakah (nama anak) pernah tidak makan karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan?

16. (Jika ya), berapa sering hal tersebut terjadi: hampir setiap bulan, beberapa bulan tetapi tidak setiap bulan, atau hanya I sampai 2 bulan?

17. Dalam 12 bulan terakhir, apakah anak anda pernah merasa lapar tetapi tidak mampu membeli cukup makanan?

18. Dalam 12 bulan terakhir, apakah anak anda pernah tidak makan sepanjang hari karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan?

Pertanyaan yang diajukan dalam pengukuran kualitatif ini adalah untuk mengukur 4 kondisi atau perilaku di keluarga: 1) kegelisahan mengenai budget untuk pangan dan suplai pangan/ketiadaan pangan, 2) persepsi ketidakcukupan pangan baik kuantitas maupun kualitas, 3) penurunan konsumsi pangan orang dewasa, dan 4) penurunan konsumsi pada anak-anak (Kennedy 2003). Hasil pengukuran kemudian diklasifikasikan kedalam 4 kategori, yaitu: food secure

(tahan pangan) terjadi apabila menjawab “tidak” pada semua item pertanyaan kecuali pertanyaan kehawatiran; food insecure hunger not evident (rawan ketahanan pangan tanpa kelaparan) terjadi pada saat keluarga menurunkan kualitas makanan (tidak mampu memberikan makanan seimbang) dan mengganti makanan menjadi jenis makanan yang lebih murah karena daya beli menurun, dan terjadi pengurangan porsi makan pada orang dewasa; food insecure with moderate hunger (rawan ketahanan pangan dengan kelaparan sedang) terjadi pada saat orang dewasa mengalami penurunan porsi makan dan merasakan lapar karena tidak mendapatkan cukup makan; food insecure with severe hunger

(rawan ketahanan pangan dengan kelaparan akut) terjadi pada saat ada penurunan porsi makan untuk anak-anak dan anak-anak merasakan lapar karena kekurangan makanan, dan orang dewasa merasakan lapar berat karena seharian tidak makan yang disebabkan oleh ketiadaan makanan.

(29)

pangan di USA. Sejak tahun 1995, setiap tahunnya Amerika Serikat melakukan evaluasi terhadap ketahanan pangan keluarga dan kelaparan dengan menggunakan US National Qualitative Measure of Food Security and Hunger module. Data yang diperoleh selama periode 1995 – 1999 menunjukkan bahwa mayoritas keluarga di Amerika Serikat termasuk tahan pangan dengan prevalensi berkisar antara 89.7% sampai dengan 91.3%. Prevalensi keluarga rawan pangan berkisar antara 8.7% sampai dengan 10.4%, dengan sebagian besar keluarga rawan pangan tanpa kelaparan.

Di Venezuela, kelaparan diukur secara kualitatif melalui 12 pertanyaan, sebagai berikut (Lorenzana dan Sanjur 1999) :

1. Rumah tangga kekurangan uang untuk membeli makanan.

2. Membeli sedikit pangan yang sangat dibutuhkan oleh anak karena kurang uang.

3. Mengurangi makanan yang biasa dimakan karena kurang uang.

4. Setiap orang makan lebih sedikit dari yang diinginkan karena kurang uang. 5. Orang dewasa mengurangi porsi makannya karena kurang uang.

6. Orang dewasa mengkonsumsi makanan pokok karena kurang uang. 7. Orang dewasa merasa lapar karena kurang uang.

8. Anak-anak mengurangi makanan yang biasa dikonsumsi karena kurang uang. 9. Orang dewasa pergi tidur dengan perasaan lapar karena kurang uang.

10.Anak-anak mengkonsumsi sedikit makanan pokok karena kurang uang. 11.Anak-anak merasa lapar karena kurang uang.

12.Anak-anak pergi tidur dengan perasaan lapar karena kurang uang.

Pengukuran kelaparan dengan metode kualitatif tersebut diatas, dinilai valid dan reliable untuk menilai kondisi ketahanan pangan di Venezuela.

Di Bangladesh juga mengembangkan ukuran kelaparan kualitatif. Dari 40 pertanyaan yang diujikan di masyarakat hanya 11 pertanyaan yang sensitif dalam mengukur kelaparan dan stress pangan (Web, Coates dan Houser 2002). Kesebelas pertanyaan tersebut adalah :

(30)

2. Melakukan peminjaman pangan untuk melakukan kewajiban sosial (seperti untuk menjamu tamu).

3. Ngutang pangan (biasanya beras atau kacang-kacangan) kewarung untuk konsumsi.

4. Sering merasa cemas memikirkan bagaimana memperoleh pangan untuk konsumsi berikutnya.

5. Sering membeli beras karena gagal panen 6. Keluarga hanya makan sedikit setiap hari.

7. Orang dewasa makan lebih sedikit karena ketersediaan makanan kurang. 8. Pinjam pangan pada tetangga untuk makan.

9. Orang dewasa kadang tidak makan karena makanan yang ada tidak cukup. 10.Ada waktu dimana tidak punya persediaan makanan dan juga tidak punya

uang untuk membeli.

11.Selain orang dewasa, anak-anak juga kadang tidak makan.

Pengukuran kelaparan dengan metode kualitatif tersebut diatas, dinilai valid dan reliable untuk menilai kondisi ketahanan pangan di Bangladesh.

Masithah (2002) melakukan penelitian ketahanan pangan di Bogor dengan menggunakan ukuran kuantitatif dan kualitatif (mengadopsi pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan oleh Eillen Kennedi). Hasilnya menunjukkan bahwa pengukuran ketahanan pangan secara kualitatif mempunyai korelasi yang tinggi dengan pengukuran kuantitatif konsumsi energi. Hasil uji korelasi Spearman antara ketahanan pangan (kuantitaif) dengan persepsi responden terhadap ketahanan pangan rumahtangga (kualitatif) menunjukkan terdapat hubungan yang nyata keduanya (P<0,01). Kondisi ini bermakna bahwa persepsi responden mengenai ketahanan pangan rumahtangganya mewakili keadaan ketahanan pangan rumahtangga yang sebenarnya.

(31)

sehingga apabila kesembilan pertanyaan tersebut hendak dijadikan ukuran kelaparan di Indonesia, maka harus dilakukan uji coba terlebih dahulu. Dalam hal ini Badan Bimas Ketahanan pangan Deptan bekerja sama secara lintas sektor dengan IPB, BPS, Depkes dan BKKBN melakukan uji coba tersebut yang sebelumnya telah dilakukan penyederhanaan pertanyaan, dan valid untuk dijadikan ukuran kelaparan kualitatif yang dapat digunakan untuk monitoring dan evaluasi kelaparan di Indonesia (Hardinsyah et al. 2003).

Hasil penelitian Badan Bimas Ketahanan pangan Deptan bekerja sama secara lintas sektor dengan IPB, BPS, Depkes dan BKKBN (2003) melakukan uji coba penelitian dengan 9 pertanyaan yang diadopsi dari Eillen Kennedy (1995) yang sebelumnya telah dilakukan penyederhanaan pertanyaan. Adapun pertanyaan kualitatif untuk mengukur kelaparan tersebut yaitu:

1. Dalam setahun terakhir, berapa kali sehari biasanya saudara makan?

2. Dalam dua bulan terakhir biasanya berapa kali sehari biasanya saudara makan? 3. Bila frekuensi makan berkurang (jawaban 2 < jawaban 1), mengapa?

Penurunan daya beli 1 Sulit diperoleh atau langka 2 Anggota keluarga bertambah 3 lainnya (sebutkan) ………… 4

4. Bila frekuensi makan berkurang (jawaban 2 < jawaban 1), berapa kali kejadian serupa dialami selama setahun terakhir? … kali

5. Dalam dua bulan terakhir, apakah jumlah/porsi makan saudara semakin sedikit atau berkurang dibanding biasanya?

6. Bila berkurang, mengapa?

Penurunan daya beli 1 Sulit diperoleh atau langka 2 Anggota keluarga bertambah 3 lainnya (sebutkan) ………… 4

7. Bila porsi makan berkurang, berapa kali kejadian yang serupa dialami selama setahun terakhir? … kali

(32)

Makanan berkurang 1

Sakit 2

Semakin sibuk 3

lainnya (sebutkan)……… 4

9. Bila berat badan berkurang, berapa kali kejadian yang serupa dialami selama setahun terakhir? … kali

Berdasarkan pertanyaan diatas, seorang individu dikatakan lapar apabila terjadi penurunan frekuensi dan atau penurunan porsi disertai penurunan berat badan. Dikatakan rawan pangan apabila hanya terjadi penurunan frekuensi atau porsi makan, serta dikatakan tahan pangan apabila tidak terjadi penurunan baik frekuensi maupun porsi konsumsi.

Berbagai Indikator Kelaparan

Indikator adalah suatu informasi yang dapat diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif, yang dapat memberikan indikasi tentang suatu keadaan (yang dalam hal ini adalah keadaan kelaparan). Suatu informasi dapat dijadikan sebagai indikator bila memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) sensitif dan spesifik untuk keadaan yang ingin dijelaskan atau dengan kata lain harus memiliki validitas yang tinggi; 2) Sederhana, mudah dikumpulkan oleh siapa saja dengan bekal latihan sederhana; dan 3) mudah dianalisis dan diinterpretasikan (Jahari 2002). Indikator ketersediaan pangan dapat berupa faktor input pertanian, seperti pemilikan lahan/aset, kesuburan lahan, dan praktek pengelolaan lahan. Indikator akses terhadap pangan meliputi akses terhadap kredit, kesempatan kerja, daya beli, harga, pendidikan dan pendapatan juga meliputi strategi keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan (coping strategy).

(33)

Project millenium yang lebih dikenal dengan Millenium Development Goals (MDG) (http//www.unmilleniumproject.org/html) dalam memantau kelaparan dunia menggunakan indikator proses berhubungan dengan pendapatan dan konsumsi, juga indikator dampak yang berhubungan dengan pendapatan dan kesehatan/gizi yang juga digunakan pada berbagai negara termasuk Indonesia yaitu : 1) proporsi populasi yang mempunyai pendapatan dibawah 1 dolar per hari, 2) rasio kedalaman kemiskinan (poverty gap ratio) merupakan ukuran rataan kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin, 3) prevalensi underweight anak balita, dan 4) proporsi penduduk dengan konsumsi energi dibawah level minimum (<70%).

Menurut Wilson dan Sapanuchart (1993) dalam Dinkes (2004), definisi indikator sebagai suatu ukuran tidak langsung dari suatu kejadian atau kondisi. Demikian pula menurut Green (1992) dalam Dinkes (2004), indikator adalah peubah-peubah yang mengindikasikan atau memberi petunjuk tentang suatu keadaan tertentu, sehingga dapat digunakan untuk mengukur perubahan. Indikator-indikator diatas banyak digunakan dalam memprediksi kelaparan.

Carlson, Andrews and Bickel (1999) dalam Tanziha (2005), mengembangkan indikator kualitatif yang dapat memprediksi kelaparan. Menurutnya apabila dalam suatu keluarga orang tua memikirkan bagaimana makan selanjutnya dan bagaimana makanan itu bisa diperoleh, sudah merupakan indikator adanya kelaparan dikeluarga itu.

Beberapa Hasil Penelitian Kelaparan

(34)

penelitian ini ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden dan kesungguhan serta kesabaran dari pewawancara.

Hasil penelitian Tanziha (2005) di Jawa Barat pengukuran kelaparan dengan indikator peubah sosial ekonomi (persen pengeluaran untuk pangan pokok/beras) dan konsumsi pangan (frekuensi konsumsi nasi, ayam dan ikan). Hasil penelitian ini menemukan indikator kelaparan yaitu frekuensi konsumsi pangan. Ukuran kelaparan kualitatif valid dan dapat digunakan untuk memprediksi kelaparan. Kelebihan dari penelitian ini adalah 1) Data yang terkumpul dapat menggambarkan kondisi kelaparan dan tidak kelaparan dalam keluarga. Kelemahan penelitian ini : 1) belum dapat mengidentifikasi tingkat keparahan kelaparan yang dialami oleh keluarga. 2) ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden dan kesungguhan serta kesabaran dari pewawancara. 3) tidak menimbang berat badan responden selama terjadi kekurangan pangan dalam keluarga.

Hasil penelitian Welch, Mock dan Netrebenko (1998) di Rusia, pengukuran kelaparan dengan menggunakan indikator sosial ekonomi. Hasil penelitian ini menemukan indikator kelaparan yaitu sosial ekonomi. Hasilnya dapat menentukan keluarga kedalam kelompok keluarga yang kelaparan dan tidak kelaparan. Kelebihan dari penelitian ini adalah 1) Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden; 2) Data yang terkumpul dapat menggambarkan kondisi kelaparan dan tidak kelaparan dalam keluarga. 3) biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas untuk wawancara; 4) cepat sehingga dapat mencakup banyak responden. Kelemahannya belum dapat mengidentifikasi tingkat keparahan kelaparan yang dialami oleh keluarga.

(35)

relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas untuk wawancara; 4) cepat sehingga dapat mencakup banyak responden. Kelemahannya ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden dan kesungguhan serta kesabaran dari pewawancara.

Penelitian kelaparan juga dilakukan oleh Leyna, Mmbaga, Mnyika, dan Klepp (2005) di perdesaan Kilimanjaro, Tanzania. Disain penelitian cross sectional survei. Pengambilan sampel secara random. Sampel terdiri dari 530 responden. Respondennya adalah ibu usia 15-44 tahun yang mempunyai anak balita. Indikator pengukuran kelaparan yang digunakan adalah sosial demografi. Hasil penelitian menemukan indikator kelaparan sosial demografi. Indikator yang diperoleh dapat mengidentifikasi kelaparan pada tingkat dewasa dan anak-anak. Kelebihan dari penelitian ini adalah 1) pengumpulan data dilapang dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Dengan demikian data tersebut dapat segera dianalisis untuk membuat strategi perbaikan ketahanan pangan berikutnya. 2) Data yang terkumpul dapat menggambarkan kondisi kelaparan dan tidak kelaparan dalam keluarga. Kelemahan penelitian ini tidak menimbang berat badan responden selama terjadi kekurangan pangan dalam keluarga.

Konsep Strategi Food Coping

Teori yang mendasari strategi food coping adalah teori perilaku. Dalam kehidupan sosial banyak tradisi yang menggambarkan kegotong royongan misalnya adanya lumbung paceklik, pinjam meminjam yang didasarkan rasa saling percaya serta para tetangga dan saudara bersama-sama memberikan bantuan, baik berupa tenaga maupun bahan makanan (Herutomo 1991 dalam Lukman 2002).

(36)

Menurut Ancok (1987) dalam Lukman (2002) perilaku adalah niat yang sudah direalisasikan dalam bentuk tingkah laku yang tampak, sedangkan menurut Bruno (1980) dalam Lukman (2002) mendefinisikan perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh makhluk hidup berbentuk tindakan seperti berbicara, menulis, berlari, makan dan memegang. Serta menurut Yusuf (2002) pengertian perilaku adalah segenap manifestasi hayati individu dalam berinteraksi dengan lingkungan, mulai dari perilaku yang paling nampak sampai yang tidak tampak, dari yang paling dirasakan sampai yang paling tidak dirasakan.

Ada beberapa faktor yang memotivasi terjadinya perilaku, antara lain : keadaan lingkungan, dorongan pribadi (keinginan, perasaan, emosi, naluri, kebutuhan, hasrat dan minat), dan tujuan yang ingin dicapai. Selain adanya motivasi yang mendorong terjadinya perilaku, ada dua faktor lain yang mendorong terjadinya perilaku yaitu : faktor internal yakni dari dalam individu yang bersangkutan, berdasarkan keturunan dan dorongan kebutuhan kecenderungan yang memotivasi. Yang kedua faktor eksternal yakni pengaruh lingkungan/ dari luar individu. Hal ini mempengaruhi individu sehingga timbul unsur-unsur dan dorongan (motivasi) untuk berbuat sesuatu.

(37)

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia ada dua yaitu : faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal terdiri dari faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Faktor biologis menekankan pada pengaruh struktur biologis terhadap perilaku manusia. Pengaruh biologis ini dapat berupa instink atau motif biologis. Perilaku yang dipengaruhi instink disebut juga species characteristic behavior misalnya agresivitas, merawat anak dan lain-lain. Sedangkan yang bisa dikelompokkan dalam motif biologis adalah kebutuhan makan, minum dan lain-lainnya. Faktor personal lainnya adalah faktor sosiopsikologis. Menurut pendekatan ini proses sosial seseorang akan membentuk beberapa karakter yang akhirnya mempengaruhi perilakunya. Karakter ini terdiri dari tiga komponen yaitu komponen afektif, kognitf dan komponen konatif. Komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis. Dalam komponen ini tercakup motif sosiogenesis, sikap dan emosi. Komponen kognitif berkaitan dengan aspek intelektual yaitu apa yang diketahui manusia. Komponen kognitif terdiri dari faktor sosiopsikologis adalah kepercayaan, yaitu suatu keyakinan benar atau salah terhadap sesuatu atas dasar pengalaman intuisi atau sugesti otoritas. Komponen konatif berkaitan dengan aspek kebiasaan dan kemauan bertindak. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang relatif. Faktor-faktor Situsional. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku manusia adalah faktor situasional. Menurut pendekatan ini, perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan/situasi. Faktor-faktor situasional ini berupa : faktor ekologis, misal kondisi alam atau iklim, faktor rancangan dan arsitektural misal penataan ruang, faktor temporal misal keadaan emosi, suasana perilaku misal cara berpakaian dan cara berbicara, teknologi, faktor sosial mencakup sistem peran, struktur sosial dan karakteristik sosial individu, lingkungan psikososial yaitu persepsi seseorang terhadap lingkungannya, stimuli yang mendorong dan memperteguh perilaku (Sofa 2008).

(38)

masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.

Secara umum coping adalah sebuah strategi yang dapat membantu seseorang untuk mengurangi stres dan membantu menyelesaikan masalah. Perbedaan budaya mempengaruhi upaya coping seseorang. Perlu dimengerti bahwa strategi coping tidak dapat dinyatakan efektif atau tidak efektif tanpa mempertimbangkan keadaan individu. Strategi coping masing-masing individu sebaiknya dilihat dan diukur dengan konteks sosial, budaya dan situasional (Donnelly 2003).

Dalam mengatasi masalah yang dihadapi, keluarga perlu mengembangkan strategi adaptasi yang memadai, yang salah satunya adalah strategi food coping. Menurut Maxwell et al (1999) strategi food coping dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan seseorang dalam mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan termasuk pada saat menurunnya akses terhadap pangan. Dalam situasi seperti ini seseorang dapat berupaya dengan mengandalkan kemampuan intelektual, kemampuan fisik maupun material. Strategi food coping tersebut biasanya dilakukan untuk mendayagunakan alat tukar (exchange properties) sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dalam mendapatkan pangan untuk menjamin kelangsungan individu atau anggota keluarga (Maxwell et al. 1999; Anonymous 2003a; Davies 1993 dalam Usfar 2002). Strategi coping pangan yang biasa dilakukan adalah melalui pemanfaatan aset, atau simpanan yang dimiliki.

Tujuan strategi food coping adalah untuk mempertahankan berbagai tujuan keluarga yaitu pemenuhan konsumsi pangan, kesehatan, status dan mata pencaharian. Konsumsi pangan dan kesehatan merupakan tujuan yang lebih disegerakan daripada tujuan lainnya, karena kecukupan pangan sangatlah perlu untuk mendapatkan kesehatan dan pemenuhan zat gizi yang dibutuhkan oleh anggota keluarga.

(39)

(pendistribusian), pencarian pangan yang dalam keadaan normal jarang dikonsumsi, pencarian pendapatan sebagai buruh, dan peminjaman uang/pangan dari sanak famili. Jika kekurangan pangan berlanjut atau bertambah buruk, keluarga akan melakukan mekanisme kedua, seperti menjual aset-aset yang tidak produktif (perhiasan dan hewan ternak), meminjam kepada selain keluarga, untuk sementara waktu pindah pekerjaan atau mengurangi makan sepanjang hari. Pada bentuk mekanisme ketiga, jika situasi buruk terus berlanjut maka akan menjual tanah, peralatan, binatang dan aset–aset produktif. Selanjutnya tingkatan keempat, berpindah secara permanen dan kemungkinan untuk mencari bantuan pangan.

Food Coping Strategies dalam Anonymous (2003a) dan Davies (1993) dalam Usfar (2002) menyebutkan bahwa frekuensi dan tingkat kerumitan strategi food coping keluarga dapat digunakan untuk menghadapi kondisi kerawanan pangan dalam jangka waktu pendek. Frekuensi dan bentuk-bentuk strategi food coping (yang berhubungan dengan indikator konsumsi, pengeluaran, pembagian makanan dan status gizi) merupakan metode yang digunakan untuk mengidentifikasi kerawanan pangan keluarga atau daerah (Anonymous 2003a). Untuk selanjutnya, strategi food coping menyediakan informasi tentang berbagai upaya yang dilakukan pada saat mempertahankan situasi ketahanan pangan. Informasi dapat berupa kritik/saran untuk penanganan program intervensi bantuan pangan serta berbagai indikator, pentargetan dan pengembangan ketahanan pangan yang lebih bersifat khusus untuk suatu tempat/wilayah (Davies 1993 dalam Usfar 2002; Anonymous 2003b, 2003c).

(40)

pekerjaan lain bahkan sampai keluar dari daerah tempat tinggal, anggota keluarga lain ikut terlibat membantu mencari pekerjaan, dan yang ketiga adalah menjual sebagian ternak dan aset keluarga seperti peralatan elektronik.

Usfar (2002) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk strategi food coping juga dilakukan pada saat terjadi kondisi yang tidak menguntungkan masyarakat, seperti yang dicontohkan selama kondisi kerawanan pangan di Benin dan Mali pada masa kekeringan di Namibia dan konflik perang saudara di Sudan dan Somalia. Selama masa kekeringan dan perang tersebut, tercatat bahwa wild food (jenis pangan yang pada kondisi normal jarang dikonsumsi) mempunyai peranan penting untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Sementara migrasi juga merupakan alternatif coping yang dilakukan masyarakat di Benin dan Namibia untuk mengatasi kondisi ketidaktahanan pangan. Kegiatan lain yang juga diupayakan untuk menghasilkan pendapatan adalah penjualan aset dan perubahan konsumsi pangan seperti terjadi di Benin, Mali, Burkino Faso dan Nigeria.

Hasil penelitian Harefa (2001), dalam penelitiannya tentang konsumsi dan ketahanan pangan keluarga di pedesaan Jawa Barat menyimpulkan bahwa cara keluarga mengatasi kekurangan pangan dalam keluarga dengan kategori cukup tahan pangan adalah mendapatkan bantuan dari keluarga atau tetangga. Sementara pada keluarga rawan pangan adalah dengan membeli secara kredit (utang) dan mengurangi frekuensi makan.

(41)

dapat dimanfaatkan sampai mendapat penghasilan berikutnya. Disamping itu, mengurangi porsi makan dan mengumpulkan makanan liar (daun-daunan yang bisa diambil dari pinggiran sawah/kebun) merupakan upaya yang dilakukan apabila kesulitan keuangan berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama.

Upaya selanjutnya yang dilakukan keluarga adalah penyegeraan akses terhadap pangan yaitu menerima bantuan pangan dari pemerintah, menerima makanan dari saudara dan menerima kupon untuk raskin. Berbagai upaya yang dilakukan belum juga dapat memenuhi kebutuhan pangan sehingga upaya yang akan dilakukan oleh keluarga dalam menghadapi kesulitan ekonomi melakukan taraf 2.

Pada taraf 2, penyegeraan akses terhadap pembelian tunai seperti menggadaikan aset untuk membeli kebutuhan pangan, menjual aset produktif (hewan peliharaan, sepeda, tanah), dimana hal tersebut sangat tepat dilakukan untuk pemenuhan konsumsi pangan keluarga. Meminjam uang dari saudara dekat, meminjam uang dari saudara jauh dan membeli pangan dengan berhutang merupakan upaya yang lebih baik dilakukan oleh keluarga daripada meminta-minta. Disamping itu, berhutang ke warung merupakan langkah yang lebih praktis dan mudah yang akan dibayar pada saat mendapat upah mingguan atau bulanan. Upaya selanjutnya yaitu perubahan distribusi makan (prioritas ibu untuk anak-anak), mengurangi frekuensi makan per hari, menjalani hari-hari tanpa makan (puasa). Namun jika pada taraf ini belum berhasil maka selanjutnya keluarga akan melakukan taraf 3. Pada taraf 3, yaitu langkah drastis : melakukan migrasi, memberikan anak pada saudara, keluarga berpisah atau bercerai, merupakan taraf terakhir yang dilakukan oleh keluarga pada saat terjadi kekurangan pangan.

(42)

kesejahteraannya selama krisis ekonomi berlangsung yaitu : menambah penghasilan, menjual aset dan meminjam/berhutang.

Menurut hasil penelitian Jayaputra (2001), dalam melakukan upaya food coping mechanism rumahtangga miskin di Nusa Tenggara Barat yaitu merubah kebiasaan makan, mencari pekerjaan tambahan, meminjam dalam bentuk uang dan pangan dan menjual aset yang dimiliki.

Hasil penelitian Prasetyo (2004) Strategi food coping yang dilakukan untuk menanggulangi perubahan kebutuhan yang dihadapi keluarga nelayan di kota Pekalongan Jawa Timur terdiri dari 2 strategi yaitu strategi berhemat dengan cara mengurangi pengeluaran keluarga dan strategi penambahan pendapatan keluarga.

Hasil penelitian Maxwell at al (1999) strategi food coping yang dilakukan oleh keluarga yang kekurangan pangan adalah mencari pekerjaan tambahan, mengubah prioritas pembelian makanan, membeli makanan dengan hutang, perubahan disteribusi makan, mengurangi frekuensi makan/porsi perhari dan melewati hari-hari tanpa makan. Hasil penelitian Tanziha (2006), upaya food coping yang dilakukan rumahtangga miskin di perkotaan dan perdesaan Bogor yaitu membeli makanan yang murah, mengutang di warung dan mengurangi porsi atau frekuensi makan perhari.

Hasil penelitian Hoddinott (1999), strategi food coping yang dilakukan oleh keluarga di USA pada saat kekurangan pangan yaitu mengurangi porsi makan, mengurangi frekuensi makan, tidak makan seharian dan mengurangi makan anak-anak.

Kaitan Karakteristik Keluarga dengan Strategi Food Coping

Keputusan keluarga dalam memilih upaya yang akan ditempuh dalam menghadapi kekurangan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi food coping keluarga dalam menghadapi kekurangan pangan dilihat dari karakteristik sosial ekonomi yaitu jumlah anggota keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga, aset keluarga, pengeluaran keluarga dan dukungan sosial.

Jumlah Anggota Keluarga

(43)

besarnya atau banyaknya jumlah anggota keluarga mempengaruhi besarnya belanja keluarga. Kondisi ini menjadi pertimbangan keluarga dalam melakukan strategi coping. Menurut Sumarwan (2003) pendapatan per kapita atau belanja pangan keluarga akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga. Dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga, maka konsumsi pangan hewani akan berkurang dan makanan pokok diganti dengan yang lebih murah, atau dapat pula berkurang, sehingga asupan energi dan protein tiap anggota keluarga akan berkurang pula (Hartog dan Steveren 1985).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chaudhury (1984) di Bangladesh, menunjukkan bahwa pertambahan jumlah keluarga akan memberikan dampak merugikan terhadap status gizi, sebab akan berhubungan dengan menurunnya alokasi makanan seiring dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga. Suhardjo (1989) juga mengemukakan bahwa meningkatnya jumlah anggota keluarga tanpa diimbangi dengan strategi coping untuk meningkatkan pendapatan, maka pendistribusian konsumsi pangan akan semakin sedikit, sehingga konsumsi pangan keluarga tersebut tidak cukup untuk mencegah kejadian kurang gizi.

Pendidikan Orang Tua

(44)

Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga

Suhardjo (1989) menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Jenis pekerjaan individu akan berpengaruh terhadap besar pendapatan yang diterimanya. Kemampuan individu untuk melakukan strategi food coping dipengaruhi oleh pekerjaan dan pendapatan yang dimilikinya. Pekerjaan dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku dari masing-masing anggota keluarga yang bekerja. Perbedaan jenis pekejaan, tempat bekerja serta jam kerja dapat mempengaruhi perilaku dari anggota keluarga (Martianto dan Ariani 2004).

Pendapatan merupakan salah satu faktor ekonomi yang mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan kemampuan membeli beragam pangan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas. Biasanya keluarga yang memiliki pendapatan rendah, alokasi pengeluaran untuk pangannya lebih besar daripada non pangan. Sebaliknya, pendapatan yang tinggi akan menurunkan alokasi pengeluaran untuk pangan dan meningkatkan pengeluaran non pangan (Suhardjo 1989).

Aset Keluarga

(45)

Pengeluaran Keluarga

Pada hakekatnya kebutuhan dasar manusia dapat dibagi dalam dua golongan besar. Pertama kebutuhan primer yang terdiri dari gizi, perumahan, pelayanan, pengobatan, pendidikan dan sandang. Kebutuhan primer ini sebagai perangkat kebutuhan dasar yang sangat diperlukan sekali agar dapat hidup secara layak. Kedua, kebutuhan sekunder terdiri dari waktu luang, ketenangan hidup dan lingkungan hidup. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut didalam suatu keluarga dilakukan dengan menggunakan sumberdaya keluarga yang ada (Guhardja 1992).

Pola pengeluaran rumahtangga dapat mencerminkan tingkat kehidupan suatu masyarakat. Indikator yang dipakai untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk adalah komposisi pengeluaran untuk makanan dan non makanan. Kesejahteraan dikatakan makin baik apabila persentase pengeluaran untuk makanan semakin kecil dibandingkan dengan total pengeluaran. Dinegara-negara maju, persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran biasanya dibawah 50 persen. Sementara dinegara yang sedang berkembang seperti Indonesia, pengeluaran untuk pangan masih merupakan bagian terbesar (lebih besar dari 50%). Bagi Indonesia nampaknya masih berada diatas angka tersebut. Menurut Soekirman (1991) umumnya keluarga berpendapatan rendah di Indonesia membelanjakan sekitar 60-80 persen dari pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan 61.52 persen dari pengeluaran total rumahtangga adalah pengeluaran pangan untuk seluruh penduduk di Indonesia. Umumnya keluarga miskin, sebagian besar pendapatannya dipakai untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan perumahan.

(46)

Pengeluaran makanan adalah nilai pengeluaran untuk konsumsi selama seminggu yang lalu baik berasal dari pembelian, produksi sendiri atau pemberian. Sementara pengeluaran untuk barang bukan makanan adalah barang yang dikonsumsi rumahtangga/anggota rumahtangga selama 12 bulan yang lalu dan sebulan yang lalu, baik berasal dari pembelian, produksi sendiri atau pemberian/pembagian. Mangkuprawira (2002) membagi jenis pengeluaran rumahtangga menjadi dua kelompok besar, yaitu pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Secara naruliah setiap individu keluarga lebih dahulu memanfaatkan setiap pengeluarannya untuk pangan, baru kemudian untuk non pangan. Namun demikian, perilaku ini tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, pendidikan, lokasi tempat tinggal dan musim.

Dukungan Sosial

Manusia sebagai individu dalam kehidupannya dihadapkan dengan berbagai hal yang menyangkut kepentingan terutama dalam pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap orang memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain atau sumber-sumber dukungan sosial. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni keluarga, saudara atau masyarakat dimana orang itu berada. Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh setiap orang dalam menjalani kehidupannya. Gottlieb (1985) dalam Tati (2004) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan tindakan alamiah sebagai sumberdaya lingkungan yang secara erat berkaitan dengan interaksi sosial.

(47)

interaksi diantara anggota dan saling membantu, sehingga tetap terjalin hubungan dan menghasilkan kepuasan batin seseorang.

Pengukuran Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah salah satu cara untuk mengetahui tingkat kesejahteraan dan secara langsung dapat mempengaruhi status gizi. Pengukuran konsumsi makanan sangat penting untuk mengetahui kenyataan apa yang dimakan oleh masyarakat dan hal ini dapat berguna untuk mengukur status gizi dan menemukan faktor diet yang dapat menyebabkan malnutrisi. Hasil pengukuran konsumsi makanan juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat kecukupan konsumsi gizi masyarakat, sebagai dasar perencanaan program gizi, pendidikan gizi, dan sebagainya (Supriasa, Bakri dan Fajar 2002).

Menurut Hardinsyah dan Martianto (1989) konsumsi pangan pada tingkat individu atau keluarga dapat diterjemahkan kedalam bentuk energi, protein, lemak, vitamin dan mineral perorang per hari. Rasio energi dan gizi lainnya terhadap kecukupan yang dianjurkan menggambarkan tingkat konsumsi individu atau keluarga agar dapat hidup sehat sekaligus mempertahankan kesehatan. Manusia memerlukan sejumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan yang harus mencukupi kebutuhan untuk melakukan kegiatan, pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan serta aktivitas sehari-hari.

Kebutuhan energi dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat, protein dan lemak. Mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam sangat bermanfaat bagi kesehatan, sebab kekurangan zat gizi tertentu pada satu jenis makanan akan dilengkapi oleh zat gizi serupa dari makanan yang lain. Dengan mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam akan menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan seseorang.

(48)

Penilaian konsumsi dapat dilakukan pada tingkat individu, keluarga maupun masyarakat. Beberapa metode yang dapat digunakan pada survei konsumsi pangan di tingkat keluarga antara lain : metode inventaris (inventory method), metode pendaftaran (food list-recall method), metode frekuensi pangan (food frequency method), food account method dan food record method. Terdapat dua kelompok metode yang dapat digunakan untuk mengukur konsumsi pangan, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Penilaian secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi, sedangkan penilaian secara kualitatif dimaksudkan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut janis pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta cara memperoleh pangan (Supariasa, Bakri & Fajar 2002).

Pemilihan metode yang akan digunakan dalam suatu penelitian ditentukan oleh pertimbangan dari tujuan penelitian, jumlah responden yang akan diteliti, ketersediaan dana dan tenaga, tingkat pendidikan responden dan pertimbangan logistik pengumpulan data serta presisi dan akurasi dari metode terpilih (Supriasa, Bakri & Fajar 2002). Dalam melakukan penilaian konsumsi pangan atau survei diet, sering terjadi kesalahan atau bias terhadap hasil yang diperoleh. Kecenderungan kesalahan adalah pada perhitungan komposisi zat gizi dengan menggunakan tabel komposisi pangan atau pedoman gizi (Gibson 1993).

Gambar

Tabel 1 Beberapa ukuran kelaparan dan kesesuaian penggunaannya.
Gambar 1 Kerangka pemikiran analisis strategi food coping keluarga dan
Tabel 3 Jenis data dan cara pengumpulannya.
Tabel 4 Strategi food coping keluarga.
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hasil penelitian ini diarahkan pada pembinaan kepribadian terhadap manajemen keuangan setiap rumah tangga muslim, pengembangan manajemen keuangan secara Islami,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi reaksi yang optimum pada reaksi konversi senyawa dalam tanaman selasih hijau dengan metode MAOS dengan pelarut etilen

Menyimak Bertanya  Menjawab  Pertanyaan . Papan Tulis 

1) Nilai (harga dan kualitas), penggunaan sepatu “specs“ dalam waktu yang lama akan mengarahkan pada loyalitas, karena itu pihak perusahaan harus bertanggung jawab untuk menjaga

Metode berbasis lexicon umumnya menggunakan kamus yang berisi kata-kata opini untuk menentukan suatu sentimen atau polaritas (positif atau negatif) dari suatu data teks,

Jenis garam yang diimpor dari luar negeri merupakan garam yang dipasok dari luar negeri hanya dalam jumlah kecil dan pengimpornya dilakukan bila produksi dalam negeri

[r]