• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi Konsep Tenses dalam Bahasa Arab Kontemporer (Analisis Linguistik terhadap Pemikiran Nahwu Tammâm Hassân)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi Konsep Tenses dalam Bahasa Arab Kontemporer (Analisis Linguistik terhadap Pemikiran Nahwu Tammâm Hassân)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Formulasi Konsep

Tenses

dalam Bahasa Arab Kontemporer

(Analisis Linguistik terhadap Pemikiran Nahwu Tammâm Hassân)

Oleh Muhbib Abdul Wahab

Abstract: The concept of tenses is one of interested grammatical issues. The usage of tenses is factual in contemporary Arabic language, but it hasn’t reformulated by nuhât (Arabic grammarian) yet. Tammâm Hassân, one of the prominent Eqyptian linguists and thinkers, has concerned with rethinking Arabic grammar. He pointed out significance of making Arabic in functional dan contextual form and meaning. Based on this

thought and theory of ta’lîq, he formulated tenses in contemporary Arabic language in different form and meaning from English grammar. Tenses in Arabic developed based on three times: past, present, and future. The variety of past tense is more than the same variant in English. This implies various meaning in semantical tenses.

Kata Kunci: Formulasi konsep, tenses, rekonstruksi pemikiran nahwu, bahasa Arab kontemporer, dan konteks kalimat.

A. Latar Belakang

Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa dunia yang memiliki posisi sangat penting bagi bangsa Arab dan umat Islam. Selain merupakan bahasa agama [bahasa kitab suci al-Qur‘an, al-Sunnah, bahasa sebagaian besar ibadah ritual seperti: azan, shalat, dzikir, manâsik haji, dan lainnya, bahasa sejumlah literatur keislaman], bahasa Arab juga merupakan bahasa persatuan [sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik] lebih dari 20 negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Bahasa Arab tidak hanya dianggap sebagai bahasa yang hidup (lughah hayyah)1:

Penulis adalah dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1

Sejak dijadikan oleh Allah Swt. sebagai media pewahyuan al-Qur‘an, bahasa Arab mengukuhkan dirinya menjadi bahasa berkembang dinamis. Di antara bukti dinamikanya adalah bahwa semula bahasa Arab hanya menjadi alat komunikasi masyarakat Hijâz (Arab Saudi sekarang), namun setelah Islam berkembang di kawasan Timur Tengah dan Afrika, banyak bangsa dan negara yang sebelumnya tidak mengenal bahasa Arab kemudian menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara. Pada masa keemasan Islam (antara abad ke-6 hingga ke-13 M), bahasa Arab tidak hanya menjadi bahasa agama, tetapi juga menjadi bahasa persatuan dan peradaban (ilmu pengetahuan dan teknologi). Di era modern, bahasa Arab tetap eksis dan tidak dapat digantikan dengan bahasa

‗Âmmiyah –seperti yang diinginkan oleh para orientalis—bahkan sejak tahun 1972, bahasa Arab menjadi bahasa resmi keenam setelah Inggris, Perancis, Spanyol, Rusia, dan Cina, dalam Perserikatan Bangsa-bangsa. ‗Alî Ahmad Madkûr, Tadrîs Funûn al-Lughah al-‘Arabiyyah, (Kairo: Dâr Fikr

(2)

dinamis dan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman, melainkan juga bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi bagi bangsa Arab di masa kini.

Salah satu karakteristik bahasa Arab adalah bahwa ia sangat kaya dengan bentuk kata (ghaniyyah bi al-shiyagh)2. Namun demikian, jika dibandingkan dengan bahasa Inggris, bahasa Arab terkadang dianggap tidak memiliki peta konsep tenses

yang jelas. Sebagian orientalis Barat juga berpendapat bahwa bahasa Arab hanya mempunyai dua macam tenses dalam dua bentuk verba, yaitu mâdli dan mudlâri’.3 Buku-buku tentang nahwu dan sharaf yang ada juga cenderung hanya mengklasifikasikan verba (fi’l) dari segi waktu kejadiannya menjadi dua: mâdli (past tense) dan mudlâri’ (present dan future tense). Benarkah demikian? Sebagai bahasa rumpun Semit yang paling tua dan tetap eksis hingga sekarang, bahasa Arab idealnya memiliki konsep tenses yang jelas dan fungsional. Permasalahannya kemudian adalah jika nahwu memiliki ragam tenses seperti dalam bahasa Inggris, maka seperti apakah formulasinya?

Adalah Tammâm Hassân (1918 hingga sekarang) salah seorang pemikir bahasa Arab kontemporer asal Mesir yang merasa ―gelisah‖ terhadap pentingnya reformulasi

tenses dalam sistem gramatika Arab (nahwu dan sharaf). Karena, menurutnya, konsep tenses dalam bahasa Arab masih ―berserakan‖ dalam khazanah ilmu bahasa Arab. Tenses sejauh ini sudah dipakai dalam komunikasi lisan maupun tulisan, tetapi belum terrumuskan dalam kaedah yang jelas dan praktis. Oleh sebab itu, ia tertantang untuk melakukan reformulasi dan resistematisasi konsep tenses, tidak sekedar adaptasi konsep tenses dalam bahasa Inggris, melainkan melakukan rekonstruksi pemikiran nahwu dan sharaf dalam bahasa Arab. Rekonstruksi pemikiran nahwu dan sharaf diformulasikannya dalam sebuah karya monumentalnya, yaitu Lughah

al-‘Arabiyyah Ma’nâhâ wa Mabnâhâ (1998).

2

Karakteristik bahasa Arab lainnya adalah: (1) lughat istiqâq, mempunyai banyak derivasi, (2)

lughat ghaniyyah bi ashwâtihâ, mempunyai banyak bunyi bahasa; (3) lughat I’râb, mempunyai ragam

perubahan bunyi akhir kata dalam struktur kalimat; (4) lughat tashrîf, mempunyai variasi perubahan kata/morfologis; (5) lughat ghaniyyah bi al-ta’bîr, mempunyai banyak ungkapan/ekspresi, (6) lughat mutanawwi’ah fi asâlib al-jumal, mempunyai gaya kalimat yang beragam. Lihat Rusydî Ahmad

Thu‘aimah dan Muhammad al-Sayyid Mannâ‘, Tadrîs al-‘Arabiyyah fi al-Ta’lîm al-‘Âmm:

Nazhariyyah wa Tajârib, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‗Arabî, 2000), Cet. I, h. 42-43.

3

(3)

Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, dipandang perlu diteliti

mengenai ―konsep tenses‖ dengan judul: ―Formulasi Konsep Tenses dalam Bahasa Arab Kontemporer (Analisis Linguistik Pemikiran Nahwu Tammâm Hassân)”. Bahasa Arab kontemporer4 dijadikan sebagai obyek penelitian karena konsep tenses

belum dirumuskan secara jelas dalam wacana gramatikal bahasa Arab klasik. Konsep

tenses mulai agar jelas dan sistematis setelah diformulasikan oleh pemikir bahasa Arab kontemporer, Tammâm Hassan.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Kata tenses, menurut Tammâm Hassan, dalam bahasa Arab disebut al-zaman al-nahwî (

يوحنلا نمزلا

); sedangkan menurut muridnya, Mushtafâ al-Nuhâs, disebut al-jihah(

ةهجلا

). Masalah tenses bukan semata-mata persoalan fi’l (verba), karena tenses

dapat diidentifikasi dan dimaknai dalam konteks kalimat. Dengan kata lain, konsep

tenses terkait dengan nizhâm sharfî (sistem morfologis) dan nizhâm nahwî (sistem sintaksis). Sementara itu, kedua sistem tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kalimat (siyâq al-kalâm)5.

Konsep tenses dalam bahasa Arab cukup kompleks. Di satu segi, tenses

melibatkan struktur kalimat (tarkîb al-jumal); tenses hanya dapat dipahami dalam struktur kalimat informatif (al-jumlah al-mufîdah) yang menunjukkan ciri-ciri

4

Istilah bahasa Arab kontemporer (ةرصاعملا ةيبرعلا ةغللا) adalah bahasa Arab fushha (resmi dan standar) yang digunakan pada masa sekarang, baik untuk penulisan literatur, jurnal, surat kabar, maupun dalam perkacakapan dan forum resmi, serta tetap mengikuti kaedah baku bahasa Arab. Istilah lain bahasa Arab kontemporer adalah al-fushha al-mu’âshirah, fushha al-‘Ashr, al-‘Arabiyyah al -mu’âshirah, al-‘Arabiyyah al-fushha al-hadîtsah, dan al-‘Arabiyyah al-fushha al-mu’âshirah. Karakteristik utama bahasa Arab kontemporer adalah: (1) akurasi penggunaan bahasa Arab pada semua level: bunyi, morfologi, sintaksis, dan semantik; (2) lebih banyak digunakan sebagai bahasa tulis (al-lughah al-maktûbah) daripada bahasa lisan; (3) kefasihan dan bebas ragam ‘âmmiyah (bahasa Arab pasaran); (4) bahasa standar yang disiapkan secara resmi. Lihat ‗Abbâs al-Sûsah, al-‘Arabiyyah al-Fushha al-Mu’âshirah, (Kairo: Dâr Gharîb, 2002), h.14; dan Muhammad Muhammad Dâwud, al-Dilâlah wa al-Harakah: Dirâsah li Af’âl al-Harakah fi al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah fi Ithâr al -Manâhij al-Hadîtsah, (Kairo: Dâr Gharîb, 2002), h. 42-44.

5

Oleh karena nahwu merupakan sistem interkoneksitas [struktur kata dalam kalimat] dalam

(4)

tenses-annya. Di lain segi, terutama jika dibandingkan dengan bahasa Inggris, struktur kalimat yang menunjukkan tenses terkait erat dengan kata kerja bantu (auxiliaries verbs) atau al-af’âl al-musâ’idah, kata keterangan waktu (zharaf al-zamân), dan qarâ’in6 (relasi penyerta dalam struktur kalimat) yang memberikan kejelasan makna kalimat atau dalam terminologi kajian nahwu disebut amn al-labs fi al-ma’nâ, sehingga penentuan kategori tenses berikut penamaannya menjadi mudah.

Masalah penelitian ini dibatasi pada formulasi dan kategorisasi tenses dalam pemikiran nahwu Tammâm Hassân yang terdapat dalam dua karyanya7: al-Lughah al-‘Arabiyyah Ma’nâhâ wa Mabnâhâ (1998) dan al-Khulâshah al-Nahwiyyah

(2000). Konteks kalimat dalam penelitian ini dibatasi pada al-siyâq al-lughawî atau

al-siyâq al-lafzhî karena persoalan tenses lebih dapat dipahami dari struktur kalimat daripada situasi yang menyertainya. Sedangkan dari al-af’âl al-musâ’idah (kata kerja bantu) dibatasi pada al-af’âl al-nâsikhah (

اهتاوخأ ضعبو ناك

) karena tenses tidak dapat ditentukan hanya dengan melihat bentuk fi’l secera independen, tanpa disandingkan (qarînah tadlâmm) dengan kata kerja bantu yang relevan berikut kata keterangan yang menyertainya. Adapun ragam kalimat yang mengandung tenses dibatasi hanya pada jumlah khabariyyah (kalimat berita); sedangkan kalimat perintah, larangan, pertanyaan, kondisional, dan lainnya tidak diteliti.

Oleh karena itu, rumusan masalah yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

6

Qarînah (jamaknya qarâin) dari segi bahasa artinya: relasi, penyerta, konteks, dan indikasi atau sesuatu yang menunjukkan kepada yang dikehendaki. Dalam kajian gramatika bahasa Arab,

Qarînah itu merupakan dalil yang menghendaki pemaknaan sesuatu sesuai dengan konteksnya.

Qarâin nahwu itu bersumber dari: sistem fonologi (nizhâm shawti), sistem morfologi (nizhâm sharfî), sistem sintaksis (nizhâm nahwî), penunjukan konteks (dilâlah al-siyâq), dan pragmatik (dilâlah hâliyyah). Qarînah shawtiyyah berkaitan dengan korelasi i’râb (infleksi); qarînah sharfiyyah

berkaitan dengan adawât dan huruf al-ma’nâ; qarînah nahwiyyah berhubungan dengan tadlâmm

(sanding kata), rabth (konjungsi), dan rutbah (urutan struktur); qarînah siyâqiyyah berhubungan dengan penunjukan konteks lafazh; dan qarînah hâliyyah berkaitan dengan penunjukkan situasi di mana kalimat itu terekspresikan. Tammâm Hassân, al-Khulâshah al-Nahwiyyah, (Kairo: ‗Âlam al -Kutub, 2000), Cet. I, h. 22-24.

7

Tammâm Hassân mewariskan kepada kita lebih dari 10 karya buku dan terjemahan yang cukup monumental dan lebih dari 50 artikel yang dimuat di berbagai jurnal internasional. Di antaranya adalah al-Ushûl: Dirâsat Epistemolojiyyah li al-Fikr al-Lughawî ‘inda al-‘Arab: al-Nahwu – Fiqh al-Lughah al-Balâghah (2000), al-Lughah Baina al-Mi’yâriyyah wa al-Washfiyyah (2001), al-Tamhîd fi Iktisâb al-Lughah li Ghair al-Nâthiqina Bihâ (1984), dan Manâhij al-Bahts fi al-Lughah (1979). Lihat

7‗Abd al

(5)

1. Apa kerangka teoritis yang melandasi formulasi konsep tenses dalam pemikiran nahwu Tammâm Hassân, sebagaimana tercermin dalam dua karyanya: al-Lughah al-‘Arabiyyah Ma’nâhâ wa Mabnâhâ dan al-Khulâshah al-Nahwiyyah?

2. Bagaimana Tammâm Hassân memformulasikan konsep tenses dalam bahasa Arab kontemporer dalam dua karyanya: al-Lughah al-‘Arabiyyah

Ma’nâhâ wa Mabnâhâ dan al-Khulâshah al-Nahwiyyah?

3. Apa implikasi semantik dari pemikiran nahwu Tammâm Hassân terhadap penggunaan bahasa Arab kontemporer?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kejelasan formulasi konsep tenses

dalam bahasa Arab kontemporer yang dirumuskan oleh Tammâm Hassân. Secara lebih rinci, penelitian ini berupaya menemukan jawaban faktual dan kontekstual mengenai hal-hal berikut:

1. Argumen dan kerangka teoritis yang melandasi formulasi konsep tenses

dalam pemikiran nahwu Tammâm Hassân;

2. Formulasi konsep dan kategorisasi tenses dalam bahasa Arab kontemporer yang dipahami dari dua karya Tammâm Hassân: al-Lughah al-‘Arabiyyah

Ma’nâhâ wa Mabnâhâ dan al-Khulâshah al-Nahwiyyah;

3. Elaborasi kontekstual mengenai implikasi semantik dari pemikiran nahwu Tammâm Hassân terhadap penggunaan bahasa Arab kontemporer.

(6)

Hanya saja dinamika perkembangan dan pengembangan nahwu sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh pengkajinya yang kritis dan kreatif seperti Tammâm Hassân.

D. Kerangka Teori

1. Konsep Fi’l (Verba)

Fi’l (verba, kata kerja) adalah kata yang menunjukkan suatu makna (peristiwa) yang disertai dengan salah satu dari tiga konsep kala (waktu): masa lampau, sekarang, dan mendatang.8 Fi’l merupakan unsur atau sendi penting dalam pengekspresian kalimat bahasa Arab sekaligus merupakan faktor paling kuat/penting (ahamm ‘âmil) yang mempengaruhi unsur-unsur kalimat.9 Keberadaan fi‘l dalam kalimat memungkinkan adalah fâ’il (pelaku, subyek), maf’ûl bih (obyek), maf’ûl fih atau zharaf zamân (keterangan waktu), hâl (keadaan), dan sebagainya.

Fi’l dalam bahasa Arab dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian. Menurut shîghat dan zaman, fi’l dibagi menjadi tiga, yaitu: fi’l mâdli, fi’l mudlâri’,

dan fi’l al-amr. Dari segi asalnya, fi’l dikelompokkan menjadi dua, yaitu: al-fi’l al -mujarrad (verba yang masih asli, belum berimbuhan) dan al-fi’l al-mazîd (verba berimbuhan). Dari segi kelengkapan pelaku dan tidaknya, fi’l dibagi menjadi dua, yaitu: al-fi’l al-tâmm dan al-fi’l al-nâqish. Menurut ada tidaknya huruf ‘illat, fi’l

dikategorikan menjadi al-fi’l al-shahîh dan al-fi’l al-mu’tall. Sedangkan menurut ada tidaknya perubahan, fi’l dibagi menjadi al-fi’l al-mu’rab dan al-fi’l al-mabnî. Dari segi ada tidaknya penguat, fi’l dikelompokkan menjadi al-fi’l al-Mu’akkad dan al-fi’l ghair al-mu’akkad. Dan dari segi peristiwa (al-hadats), fi’l dibedakan antara al-fi’l al-haqîqî dan al-fi’l al-lafzhî.10 Selain itu, dari segi perlu tidaknya obyek, fi’l dibagi menjadi dua: fi’l lâzim (intransitif) dan fi’l muta’addi (transitif).

Konsep kala (waktu) pada fi’l –yang dengannya fi’l berbeda dari ism (kata benda) yang tidak mengandung makna tala-- bukan semata-mata karena bentuk lafazh fi’l itu sendiri, melainkan karena posisi (maqâm) dan konteksnya dalam

8 ‗Abd al

-Ghanî al-Daqar, Mu’jam al-Qawâ’id al-‘Arabiyyah fi al-Nahwi wa al-Sharf wa Dzuyyila bi al-Imlâ’, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2001), Cet. III, h. 358-9.

9

Ibrâhîm al-Sâmirrâ‘î, al-Fi’l Zamânuhu wa Abniyatuhu, (Beirût: Mu‘assasah al-Risâlah, 1983), Cet. III, h. 15.

10

(7)

kalimat yang dapat dipahami untuk masa lampu, sekarang, atau mendatang11. Misalnya saja kata

َحَتَ ف

tidak secara langsung dapat diartikan ―telah membuka‖. Kata

ini baru berarti ―telah membuka‖ jika diletakkan dalam struktur yang mengindikasikan hal itu, seperti:

سمأا حابص بابلا دمحأ حتف

[Ahmad telah membuka pintu kemarin pagi].

Selain itu, berbeda pendapat dengan aliran Bashrah, para tokoh nahwu aliran Kûfah merumuskan konsep tala dengan istilah: mâdli (past), mustaqbal (future), dan

dâim (continous, konstan). Namun yang dimaksud dengan dâim oleh mereka adalah

ism fâ’il yang memerlukan obyek. Bahkan ism fâ’il itu sendiri disebut juga dengan fi’l dâim

)مئاد لعف(

karena bentuk ini dapat dialihkan pemaknaannya kepada al-hâl

(present) dan al-mustaqbal (future).12

2. Tenses dalam Bahasa Arab

Tenses dalam bahasa Arab terkait dengan jumlah fi’liyyah (kalimat verbal) atau jumlah ismiyyah (kalimat nominal) yang presiketnya berupa kata kerja. Dengan kata lain, tenses inhern dengan kalimat yang di dalamnya terdapat kata kerja. Selain itu, konsep tenses tidak dapat dipisahkan dari zharaf zamân (kata keterangan waktu) dan partikel lain yang menunjukkan salah satu dari ketiga tala tersebut. Berikut ini adalah zharafzamân13yang menunjukkan tala dimaksud.

لبقتسملا نمزلا

)لاحلا( رضاحلا نمزلا

يضاملا نمزلا

مقرلا

دغلا دعب ،ادغ

ايلاح ،مويلا ،نآا

سمأ لبق ،سمأاب ،سمأ

1

نحا دعب ،ليلق دعب

نحا اذه ،ةعاسلا ذه

...

نحا لبق ،ليلق لبق

2

عوبسأا

،يآا رهشلا

دْقِعلا ،ةمداقلا ة سلا

قلا

نر

لبقما

عوبسأا اذه

ذه ،رهشلا

دْقِعلا اذه ،ة سلا

نرقلا

احا ...عوبسأا وأ

عوبسأا

ة سلا ،يضاما رهشلا

دْقِعلا ،ةيضاما

يضاما نرقلا

3

...دغلا حابص ،دغلا ةليل

،اراه ،احابص ،ليللا اذه ،ايل

ءاسم ،ارهظ

...سمأا حابص ،ةحرابلا

4

ةلبقما مايأا

يآا رصعلا ،

،ةرخأا مايأا ذه ،ةنوآا

... ذ م ،نامز ذ م

5

11

Mushthafâ Jamâl al-Dîn, ―Ra‘y fi Taqsîm al-Kalimat‖, dalam www.islamonline.net, diakses pada 25 Oktober 2006.

12

Ibrâhîm al-Sâmirrâ‘î, al-Fi’l Zamânuhu…, h. 21.

13

Mushthafâ al-Ghalayainî, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, Juz III, (Beirût: Maktabah

(8)

رضاحا رصعلا

Sedangkan, adawât yang menjadi penunjuk tala dan menyertai jumlah yang bertenses adalah:

دقل ،دق

untuk masa lampau; sedangkan

فوس .. َس

untuk masa mendatang. Tidak ada adât (partikel) untuk masa kini (sekarang) secara spesifik; masa kini hanya ditunjukkan oleh fi’l al-mudlâri’ dan zharaf zamân yang relevan.

Aplikasi dari konsep tala dan penggunaan partikel dalam penyusunan kalimat yang selama ini dirumuskan dalam buku-buku nahwu, dan belum diberikan istilah

tenses yang jelas, dapat diberikan contoh-contoh sebagai berikut:

لبقتسملا نمزلا

رضاحلا وأ يلاحلا نمزلا

يضاملا نمزلا

دغلا دعب ةرهاقلا إ بلاطلا رفاسي

ناضمر مايص نوملسما موصي

ة يدما إ ةكم نم ي لا رجاه

ناحتماا ي بلاطلا حج ي فوس

.ةلبقما ة سلا ي

ةليل لك نآرقلا باطلا أرقي

ة سلا ي ةكم إ يأ رفاس دق

ةيضاما

تيس

دغلا دعب ةيبرعلا ةغللا يخأ ملع

ايلاح ةيبرعلا ةغللا يخأ ملعتي

ىح ةيبرعلا ةغللا ملعتي يخأ ناك

نآا

عوبسأا ي ةيبرعلا ذيملتلا ملعتيس

مداقلا

مويلا ةيبرعلا ذيملتلا ملعتي

ةيبرعلا ملعتي ذيملتلا لازام

Dari kerangka teori (ithâr nazharî) tersebut, dapat ditegaskan bahwa secara faktual tenses sudah menjadi bagian dari bahasa Arab al-Qur‘an, bahasa Arab klasik maupun kontemporer. Hanya saja konsepnya belum dirumuskan secara jelas, karena para ulama nahwu selama ini cenderung melihat bentuk fi’l sebagai konsep sharaf, dan tidak melihatnya dari perspektif nahwu dan semantik. Penelusuran terhadap berbagai buku nahwu yang ada, seperti al-Jumal fi al-Nahwi karya al-Khalîl ibn Ahmad (100-170 H), al-Kitâb karya Sîbawaih (w. 180 H), al-Muqtadlab karya al-Mubarrid (210-285 H), al-Luma’ fi al-Lughah al-‘Arabiyyah karya Ibn Jinnî (321-392 H), Alfiyyah karya Ibn Mâlik (600-672 H), Qathr al-Nada fi Ball al-Shada karya Ibn Hisyâm al-Ansharî (708-761 H) hingga Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah karya Mushtafâ al-Ghalayaini, al-Kamil fi al-Nahwi wa al-Sharfi wa al-I’râb karya Ahmad Qabasy, al-Marji’ fi al-Lughah al-‘Arabiyyah Nahwihâ wa Sharfihâ karya ‗Alî

(9)

al-Wâdlih karya ‗Alî Jârim dan Mushthafâ Amîn, membuktikan bahwa konsep tenses

dalam bahasa Arab kontemporer belum diformulasikan sedemikian rupa seperti yang terdapat dalam al-Lughah al-‘Arabiyyah Ma’nâhâ wa Mabnâhâ karya Tammâm Hassân. Fakta lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa istilah tenses lebih merupakan ―ciri khas‖ gramatika bahasa Inggris daripada bahasa Arab. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa konsep tenses tidak dimiliki oleh bahasa Arab.

3. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang konsep tenses dalam bahasa Arab relatif belum banyak dilakukan. Satu-satunya karya hasil kajian yang membahas tentang tenses, meskipun topiknya mengenai fi’l, adalah

وحنلاو فيرصتلا نيب "ُلُعْفَ ي"و "َلَعَ ف"

karya Mushtafâ al-Nuhâs. Rumusan tenses dalam karya ini juga sama persis dengan karya gurunya, Tammâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah Ma’nâhâ wa Mabnâhâ.

Adapun penelitian mengenai pemikiran linguistik Tammâm Hassân relatif sudah banyak dilakukan. Ahmad ‗Ilm al-Dîn al-Jundî, salah seorang anggota

Lembaga Bahasa Arab di Kairo, menulis artikel tentang ―Min Qadlâya Fikr al-Ushûlî wa Atsarihi fi Taisîr al-Nahwi al-‘Arabî (Beberapa Persoalan Pemikiran

Ushûl al-Nahwi dan Pengaruhnya terhadap Pemudahan Nahwu) (2002). Kajian ini difokuskan pada upaya menghadirkan landasan epistemologis berdasarkan khazanah intelektual Arab dalam bentuk al-nahwu al-ta’lîmi (nahwu untuk pembelajaran), sebagai alternatif dari al-nahwu al-‘ilmî (nahwu sebagai ilmu).14

Selanjutnya, Husâm Tammâm juga menulis sebuah kajian mengenai profil Tammâm Hassân berjudul: ―Tammâm Hassân… Mujaddid al-‘Arabiyyah‖.

Menurutnya, ia layak diposisikan sebagai pembaharu bahasa Arab karena beberapa alasan. Pertama, Tammâm dianggap sebagai pakar bahasa Arab pertama yang mengkaji mu’jam (kamus, ensiklopedi) sebagai sebuah sistem linguistik integralistik yang dipertautkan oleh berbagai interkoneksi, bukan sekedar koleksi kosakata.

Kedua, ia juga dianggap ―berani‖ berbeda pendapat dengan aliran Bashrah dan Kûfah mengenai asal isytiqâq (derivasi). Jika aliran Bashrah berpendapat bahwa

mashdar” (infinitive) itu sebagai akar kata, sedangkan aliran Kûfah berpendapat bahwa akar kata itu fi’l mâdli, maka menurunya, akar itu adalah tiga huruf dominan

14

(10)

dari suatu kata: fâ’, ‘ain, dan lâm. Ketiga, ia juga mengkritisi pembagian kata dalam bahasa Arab. Selama ini ulama nahwu hingga abad 20 masih cenderung mengikuti pembagian lama, yaitu: ism, fi’l, dan harf; sementara itu, berdasarkan prinsip ma’na dan mabna, ia mengklasifikasikannya menjadi tujuh, yaitu: ism, fi’l, shifat, zharaf,

dlamîr, khâlifah, dan harf. 15

Selain itu, Muhammad Shalâhuddin al-Syarîf menulis tentang ―Nizhâm al-Lughawî Baina al-Syakl wa al-Ma’na min Khilal Kitâb Tammâm Hassân:

al-Lughah al-‘Arabiyyah Ma’nâhâ wa Mabnâhâ‖ yang dimuat dalam jurnal al-Jami’ah al-Tunisiyyah (1979). Sa‘d Mashlûh juga meneliti pemikiran Nahwu Tammâm Hassân dalam artikelnya yang dimuat dalam Jurnal Fakultas Adab Universitas Cairo,

yang berjudul: ―al-Mazhhab al-Nahwî ‘inda Tammâm Hassân min Nahwi al-Jumlah ila Nahwi al-Nashsh” (1999). Beberapa penelitian itu menunjukkan bahwa pemikiran nahwu Tammâm Hassân cukup menarik perhatian banyak kalangan. Dan sejauh ini, pemikiran nahwunya mengenai tenses belum diteliti secara memadai.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian teks. Yang diteliti adalah teks yang berisi hasil pemikiran Tammâm Hassân di bidang gramatika bahasa Arab. Sumber primer penelitian ini adalah dua karyanya: al-Lughah al-‘Arabiyyah Ma’nâhâ wa Mabnâhâ

dan al-Khulâshah al-Nahwiyyah. Pendekatan yang digunakan dalam memahami dan memaknai pemikirannya mengenai tenses adalah pendekatan kualitatif. Subyek

peneliti merupakan ―instrumen‖ yang berinteraksi langsung dengan ―wacana teks‖

yang ditelitinya. Teks diperlakukan sebagai sebuah sistem aktual (actual system) yang berkaitan dengan strategi (murtakazât), ekspektasi (tawaqqu’ât), dan pengetahuan (ma’ârif) kebahasaaraban. Ia hadir dalam konteks situasi tertentu (bahasa Arab kontemporer) atau mauqif al-siyâq dan mengandung struktur internal berupa koteks (co-text) atau siyâq al-binyah.16

Data penelitian ini dikumpulkan melalui studi teks (literatur) dan akses internet dengan keyword: al-zaman al-nahwî, al-fi’l, dan Tammâm Hassan melalui proses

15

Husâm Tammâm, ―Tammâm Hassân…Mujaddid al-‗Arabiyyah‖, diakses dari

www.islamonline.net melalui situs Google, pada 30 April 2006.

16

(11)

pembacaan ulang, pemahaman (versetehen), kategorisasi, dan sistematisasi. Pembacaan teks dari dua karya tersebut difokuskan pada topik bahasan mengenai al-zaman nahwî (tenses). Analisis yang digunakan dalam memahami data bibliografis penelitian ini adalah analisis linguistik dan analisis wacana (tahlîl al-khithâb). Prosedur analisis linguistik (al-tahlîl al-lughawî) ditempuh melalui langkah-langkah berikut:

1. Penentuan area (ruang lingkup) topik penelitian: teks yang berisi wacana mengenai al-jumal al-‘Arabiyyah al-lati tatadlamman al-zaman al-nahwi

(kalimat Arab yang mengandung tenses);

2. Pemahaman terhadap al-‘alâqat baina al-kalimât fi al-jumal (interkoneksi antar kata dalam kalimat);

3. Penentuan ragam al-qarâ’in (relasi penyerta) pada struktur kalimat; 4. Pemahaman siyâq al-kalâm (konteks pembicaraan);

5. Interpretasi terhadap al-ma’ânî al-wadlîfiyyah al-nahwiyyah (makna fungsi-onal gramatikal);

6. Penyimpulan dan formulasi al-zaman al-nahwi (tenses).17

Sedangkan analisis wacana digunakan untuk mengungkap isi teks, tetapi juga untuk memahami bagaimana teks itu dibuat (dimunculkan), karena teks bukan merupakan sesuatu yang datang dari langit, juga bukan ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi, teks dibentuk oleh praktik wacana, berupa kognisi sosial dan konteks yang melingkupinya. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan [tentang tenses], analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks. 18 Dan untuk pengayaan konseptualisasi tenses, konsep tenses dalam bahasa Inggris juga dijadikan sebagai perbandingan.

Penelitian ini dilandasi oleh sebuah asumsi dasar bahwa konsep tenses

terdapat dalam bahasa Arab. Formulasi konsep ini dimatangkan oleh Tammâm Hassân berdasarkan kerangka teoritis yang berakar dari warisan khazanah intelektual Arab yang dipadukan dengan sistem linguistik modern. Konsep tenses dalam bahasa Arab kontemporer relevan untuk pengembangan dan pengayaan materi ilmu nahwu.

17

Khalîl Ahmad ‗Amâyirah, Fi al-Tahlil al-Lughawi: Manhaj Washfî Tahlîlî, (al-Zarqâ‘: Maktabah al-Manâr, 1987), Cet. I, h. 83.

18

(12)

Dan konsep ini mempunyai implikasi semantik yang signifikan, baik untuk pengembangan empat keterampilan berbahasa maupun untuk studi naskah dan proses penerjemahan dari dan ke dalam bahasa Arab.

F. Hasil Penelitian dan Analisis

1. Biografi Intelektual Tammâm Hassân

Nama lengkapnya adalah Tammâm Hassân Omar Muhammad Dâwud, lahir di

desa Karnak, propinsi Qanâ, Mesir pada 27 Januari 1918. Mula-mula ia belajar membaca al-Qur‘an di lingkungan keluarganya. Ia telah mampu meyelesaikan hafalan al-Qur‘an dengan bacaan Hafs pada usia 11 tahun, tetapnya pada 1929.19

Setelah itu, ia pergi ke Kairo untuk melanjutkan studinya di Ma‘had al-Qâhirah al-Dîni al-Azharî pada tahun ajaran 1930-1931. Di lembaga pendidikan ini, ia meraih ijazah Ibtidâiyyah Azhriyyah pada tahun 1934, kemudian menyelesaikan MTs dan MA. pada 1939. Kemudian ia melanjutkan ke Madrasah Dâr al-‗Ulûm al-Ulyâ (Kini Fakultas Dâr al-‗Ulûm Universitas Kairo). Di madrasah ini ia memperoleh Diploma Bahasa Arab pada 1943. Ketika belajar di Madrasah ini, ia juga terlibat dalam latihan kemiliteran, di mana ia masuk dalam pelatihan penyiapan perwira cadangan. Ia lulus dalam pelatihan ini pada 1842 dengan pangkat letnan dua.

Pada tahun 1945 ia memperoleh ranking pertama ijâzah tadrîs (Setingkat S1) di bidang pendidikan dan psikologi dari Dâr al-‗Ulûm, setelah menyelesaikan pendidikannya selama 2 tahun. Setamat dari perguruan ini, ia langsung diangkat oleh Departemen Pendidikan Mesir untuk menjadi guru pada Madrasah Model ―al

-Niqrasyî‖, namun ia tidak lama mengemban tugas ini karena ia segera dipilih

menjadi asisten dosen pada Dâr al-‗Ulûm. Tak lama setelah itu, pada Pebruari 1946, ia dipilih menjadi salah satu utusan pemerintah Mesir untuk melanjutkan studi ke London Inggris untuk mendalami linguistik. Pengirimannya itu atas usul dan masukan dari Ibrâhîm Mushthafâ, penggagas dan salah seorang penulis al-Mu’jam al-Wasîth.

Sesampai di London, ia belajar bahasa Inggris selama satu tahun, dan setelah itu, ia berstudi pada Institute of Oriental and African Studies pada Universitas

19‗Abd al

(13)

London. Pada 1949 ia menyelesaikan program Masternya, dan memperoleh gelar

Magister (MA.) dalam bidang linguistik, konsentrasi fonologi, dengan tesis: ―The Phonetics of el-Karnak Dialect Upper Egypt‖ (Dirâsah Shawtiyyah li Lahjah

al-Karnak fi Sha’îd Mishr). Ia langsung melanjutkan studinya pada Program Doktor (S3) di Universitas yang sama. Tiga tahun kemudian ia meraih gelar doktor di bidang

yang sama, dengan disertasi berjudul: ―Dirâsah Shawtiyyah wa Fûnulûjiyyah li

Lahjat ‘Aden fi Janûb Bilâd al-‘Arab” (The Phonetics and Phonology of an Aden of Arabic [South Arabia]).20

Dalam menyiapkan disertasinya, ia melakukan penelitian selama enam bulan di Aden (Mei hingga Nopember 1951) bergumul dengan suku-suku yang ada di daerah tersebut. Seperti al-Khalîl ibn Ahmad (100-170 H)21 ketika meneliti dan mengumpulkan materi kebahasaaraban bagi penyusunan kamusnya, Mu’jam al-‘Ain,

Tammâm ―memotret‖ dari dekat kehidupan kebahasaan warga Aden dengan

pendekatan grounded research-nya.

Sebulan setelah meraih gelar doktor, Tammâm kembali ke tanah airnya, dan diangkat menjadi dosen (asisten dosen) pada Agustus 1952 pada Fakultas Dâr

al-‗Ulûm Jurusan Fiqh al-Lughah (sekarang: Jurusan Linguistik dan Studi Semitik dan Orientalistik).

Ketika terjadi konflik segitiga (Mesir-Suriah-Israel) pada 1956, secara suka rela ia ikut serta dalam kemiliteran. Ia bergabung dalam kesatuan militer dari

Agustus 1956 hingga Maret 1957. Namanya baru ―terhapus‖ dari absensi

kesatuannya pada 1962. Pada 1957, ia ditugasi oleh Dâr al-‗Ulûm pergi ke Amerika Serikat untuk memilih media modern untuk pengembangan Laboratorium Bahasa, dan juga untuk berlatih menggunakan media itu.

20‗Abd al

-Rahmân Husn al-‗Ârif (Ed.), Tammâm Hassân..., h. 14.

21

al-Khalîl ibn Ahmad ibn ‗Amr ibn Tamîm al-Farâhîdî al-Azdî adalah pelopor studi bahasa Arab secara akademik. Ia adalah penulis pertama ensiklopedi bahasa Arab, Kitâb al-‘Ain, dengan pendekatan fonologis. Selain merupakan tokoh utama nahwu aliran Bashrah, ia adalah penemu tanda bunyi Arab (fathah, dlammah, dan kasrah), istilah-istilah nahwu (mubtada’, khabar, fâ’il, dan sebagainya. Ia tidak hanya menguasai ‘ilm al-Qirâ’ah, tetapi juga penemu dan perumus ‘ilm al-‘arûdl

(14)

Tammâm Hassân tergolong cukup produktif. Setidak-tidaknya ia telah menulis 9 buah buku, 5 karya terjemahan buku dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Arab, lebih dari 50 artikel dan hasil penelitian yang dipublikasikan di berbagai jurnal internasional seperti: al-Lisân al-‘Arabî. Berikut ini adalah sebagai karya akademiknya yang sangat monumental.

1. Manâhij al-Bahts fi al-Lughah (1955).

2. al-Lughah al-Mi’yariyyah wa al-Washfiyyah (1958 dan 2001) 3. al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ (1973, 1985, 1998)

4. al-Ushûl: Dirâsah Epistemolojiyyah li al-Fikr al-Lughawi ‘Inda al-‘Arab (al -Nahwu – Fiqh al-Lughah – al-Balâghah) (1981 dan 2000).

5. al-Tamhîd fi Iktisâb al-Lughah al-‘Arabiyyah li Ghair al-Nâthiqîn bihâ (1984).

6. Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab (dua Jilid) (1985 dan 2005) 7. al-Bayân fi Rawa’i al-Qur’ân (1993 dan 2000).

8. al-Khulâshah al-Nahwiyyah (2000)

9. Khawâthir min Ta’ammul Lughat al-Qur’ân(2006) 10. Atsar al-‘Ilm fi al-Mujtama’ (terjemahan)

11. al-Lughah fi al-Mujtama’ (terjemahan)

12. al-Fikr al-‘Arabi wa Makânatuhi fi al-Târîkh (terjemahan) 13. al-Nashsh wa al-Khithâb wa al-Ijrâ’(terjemahan).

14. Masâlik al-Tsaqâfah al-Ighriqiyyah ila al-‘Arab (terjemahan)

Beberapa prestasi akademik juga telah diraihnya. Ia pernah meraih Juara I dalam sebuah lomba karya ilmiah yang diselenggarakan oleh Dewan Koordinasi

Arabisasi di Rabath Marokko dengan judul: ―al-Qarâ’in al-Nahwiyyah wa iththirâh al-‘Âmil wa al-I’rabain al-Taqdîrî wa al-Mahallî‖ (1972). Dengan karyanya, al-Ushul, ia meraih penghargaan internasional di bidang karya sastra dan linguistik dari

‗Âli Bashîr untuk Dedikasi Islam, Sastra Arab dan Sains (1984). Pada tahun 1987, ia

juga meraih hadian dari Saddâm Husain di bidang kajian linguistik, dan pada 2005 ia meraih hadiah dan penghargaan dari King Faisal Awards di bidang yang sama.22

22‗Abd al

(15)

2. Kerangka Koseptual dan Kategorisasi Tenses

Tammâm Hassân membedakan antara makna

نمزلا

dan

نام

ز

لا

. Yang pertama berarti time (waktu), sedangkan yang kedua berarti tense (masa) yang terkait dengan formula morfologis (al-shiyagh al-sharfiyyah) dan konteks kebahasaan23. Berdasarkan pembedaan ini, ia mengklasifikasikan zaman menjadi tiga, yaitu:

pertama, al-zaman al-nahwî (tense), tala yang pemaknaannya ditentukan oleh struktur dan konteks kalimat. Hal ini berbeda dengan al-zaman al-sharfî, tala yang pemaknaannya ditentukan oleh bentuk kata, terlepas dari konteksnya. Misalnya saja,

لعف

menunjukkan al-zaman al-mâdlî; dan

لعفي

menunjukkan al-zaman al-hâli atau al-istiqbâl.24 Masing-masing bentuk kata ini dapat saja makna kontekstualnya berubah jika diletakkan dalam struktur tertentu, seperti: نآرقلا تمهف ةيبرعلا ةغللا تسرد اذإ. Kata

سرد

dan

مهف

dalam contoh ini bentuknya adalah mâdli, namun tensesnya menunjukkan

futuretense karena ketika dinyatakan, perbuatan yang disyaratkan belum terjadi atau baru akan terjadi.

Kedua, zamân al-iqtirân (tala penyerta) berada di antara dua peristiwa (aksi), dan tala ini dipahami dari kata keterangan waktu yang masih mubham (belum jelas) penunjukannya, apakah past, present, atau future, kecuali jika disertakan dalam struktur kalimat, seperti:

...ذنم ،نايأ ،ىتم ،دعب ،لبق ،ادبأ

. Makna yang dikandung oleh tala ini bersifat fungsional seperti al-zaman al-nahwî. Bedanya dengan zaman al-nahwî adalah disertakan atau tidaknya dalam struktur kalimat. Jika disertakan, maka maknanya kemungkinan menyesuaikan dengan konteks kalimatnya. Misalnya, kata

ادبأ

dapat berarti istighrâq al-nafyi (menafikan sama sekali) atau itsbât fi al-mustaqbal wa istimrarih (penetapan dan keberlangsungan di masa depan). Contohnya:

)

42

:ةدئاملا( ...ا

هيف اوماد ام ادبأ اهلخدن نل ىسوم اي اولاق

(Mereka berkata: Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada

di dalamnya…).25

Ketiga, zaman al-awqât adalah waktu yang dipahami dari kata benda yang ditransformasikan ke dalam [dan digunakan sebagai] makna zharaf (kata keterangan). Kata benda yang dimaksud adalah: (1) mashdar yang digunakan untuk

23

Tammâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah…, h. 240.

24

Tammâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah…, h. 240.

25

(16)

menjelaskan waktu seperti:

ج

ا

حلا مودق كيتآ

(Saya akan mendatangimu waktu orang yang naik haji itu datang); (2) shîghat ism al-zamân (bentuk kata yang menunjukkan waktu), seperti:

سمشلا برغم كروزأ

(Saya akan mengunjungimu pada waktu matahari terbenam); dan (3) beberapa ism mubham yang menunjukkan waktu atau kata yang ditambahkan kepada ism mubham itu seperti: kata yang menunjukkan ukuran, contohnya:

؟كانه تي

قب ةعاس مك

(Berapa jam Anda tinggal di sana?); kata bilangan, seperti:

لايل ثاثو مايأ ةسمخ

atau ism al-awqât, seperti:

،دعب ،لبق ،موي ،ةعاس ،تقو ،نيح

...نيب

dan lain sebagainya.26

Konsep zaman tersebut terkait dengan konsep fi’l (verba). Fi’l, menurut Tammâm Hassân, menunjukkan penyertaan dua hal, yaitu: peristiwa sebagai makna dari tiga huruf dasar dari fi’l, dan masa (waktu) yang ditunjukkan oleh bentuk fi’l (mâdli dan mudlâri’). Makna dari bentuk fi’l disebut zaman sharfî. Ketika bentuk fi’l itu diletakkan dalam konteks kalimat, maka makna zaman itu boleh jadi berubah karena masa yang ditunjukkan oleh struktur kalimat itu tidak lagi terikat oleh hanya bentuk fi’l. Makna dari bentuk fi’l yang berada dalam konteks kalimat disebut zaman nahwi. Berikut ini adalah contoh-contoh perubahan zaman sharfî menjadi zaman nahwî sesuai dengan konteks masing-masing27:

تاظحام

يوحنلا نمزلا

لاثملا

يفرصلا اهنمز

ةغيصلا

ثدحي مل ءيش بلط ءاعدلا )ءاعد( لبقتسم

كيف ها كراب

ضام

كراب

يف رخآ ىلع رمأ قيلعت طرشلا

لبقتسملا لابقتسا

كمركأ ينرز

ت نإ

لاح

روزي

ىلع لدي ملب عراضملا يفن

يضملا يضم

اذه ثدحي مل

لاح

ثدحي

رضاح لاعفنا نع ريبعت بجعتلا )بجعت( رضاح

ادمحم نسحأ ام

ضام

نسحأ

ثادحإ ىلع ثح ضيضحتلا

عقي مل ءيش )ضيضحت( لابقتسا

تمق اه

ضام

ماق

ةقباس ةبرجت ىلإ فرصني ينمتلا

انه ) نمت( ضام

ُتمق ي

نتيل

ضام

ماق

ثدح عانتما نع تربع ول

يضاملا يف ثدح عانتما )عانتما( ضام

ماقل دلاخ ماق ول

يلع

ضام

ماق

26

Tammâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah…, h. 241.

27

(17)

Dengan demikian, konseptualisasi tenses dalam bahasa Arab dilandasi oleh bentuk fi’l di satu pihak –meskipun bukan faktor determinan, dan oleh siyâq lughawî

(konteks kebahasaan), seperti: struktur dan ragam kalimat, keberadaan zharaf zamân,

penggunaan adawât (partikel), dan qarâ’in lafziyyah (relasi kata yang menjadi penyerta dalam kalimat). Jadi, interkoneksitas berbagai kata dalam kalimat adalah penentu makna tenses.

3. Formulasi Tenses Menurut Tammâm Hassân

Dengan meminjam teori ta’lîq28 yang pernah digagas oleh ‗Abd al-Qahir al-Jurjânî (w. 471 H) dalam karya master piece-nya Dalâ’il al-I’jâz, Tammâm Hassân memformulasikan konsep tenses dalam gramatika bahasa Arab. Pembagian dasar

tenses diformulasikan menjadi tujuh kategori sebagai berikut29:

لاثملا

ةغيصلا

نمزلا

مقرلا

.سمأ نآرقلا دلولا أرق

لعف

يضاملا

1

.معلص دمحم ىلإ لزنأ نآرقلا ناك

لعف+ناك

يضاملا لبق

4

.ةيعماجلا هتسارد يف حجن دق يخأ ناك

لعف

دق +ناك

يضاملا دعب

3

سرد بلاطلا بتكي

ةيبرعلا ةغللا

.نآا

لعفي

رضاحلا

2

.عوبسأ دعب ةكم ىلإ جاجحلا رفاسي

لعفي

لبقتسملا

5

ةنس دعب هتسارد يف يقيدص حجنيس

.

لعفيس

لبقتسملا لبق

6

ةرخآا يف ةنجلا نوملسملا لخدي فوس

.

لعفي فوس

لبقتسملا دعب

7

Kategorisasi tersebut dalam aplikasinya dilengkapi dengan zharaf zamân

yang relevan. Dengan dikombinasikan dengan adawât dan diperkuat dengan qarâ’in lafzhiyyah dan fakta yang dikandung oleh kalimat, maka formulasi tenses dapat dikembangkan menjadi enam belas (16) kategori, yaitu: (1) peristiwa yang sudah berakhir di masa sangat lampau (al-mâdli al-ba’îd al-munqathi’), (2) peristiwa yang terjadi di masa lampau yang belum terlalu lama (al-mâdli al-qarîb al-munqathi’), (3) masa lampau yang terus berlanjut (al-mâdli al-mutajaddid), (4) masa lampau yang berakhir pada masa kini (al-mâdli al-muntahî bi al-hâdlir), (5) masa lampau yang berlanjut hingga masa sekarang (al-mâdli al-muttashil bi al-hâdlir), (6) yang sedang

28 Ta’lîq

artinya pengaitan atau perelasian; dapat juga berarti komentar. Dalam hal ini yang dimaksud dengan ta’lîq adalah pengaitan satu kata dengan lainnya dalam struktur kalimat sehingga makna jumlah (kalimat) dapat dipahami, termasuk makna tenses yang terkandung di dalamnya. Muhammad Hamasah ‗Abd al-Lathîf, al-Nahwu wa al-Dilâlah: Madkhal li Dirâsah al-Ma’na al -Nahwi al-Dilâlî, (Beirut: Dâr al-Syurûq, 2000), Cet. I, h. 12-13.

29

(18)

terjadi di masa lampau (al-mâdli al-mustamirr), (7) masa lampau biasa (mâdli al-basîth), (8) masa lampau yang mendekati masa kini (al-mâdli al-muqârib), (9) masa lampau yang sudah dimulai (al-mâdli al-syurû’î), (10) al-hâl al-‘âdî (masa sekarang biasa), (11) masa sekarang yang masih berlanjut (al-hâl al-mutajaddid), (12) masa sekarang yang sedang berlangsung (al-hâl al-mustamirr), (13) masa mendatang biasa (al-mustaqbal al-basîth), (14) masa mendatang jangka pendek (mustaqbal al-qarîb), (15) masa mendatang jangka panjang (al-mustaqbal al-ba’îd), dan (16) masa depan yang tetap/terus terjadi (al-mustaqbal al-istimrârî).

Berikut ini adalah formulasi tenses dalam bahasa Arab yang dibuat oleh Tammâm Hassân30:

ديكأتلا

يفنلا

ابثإا

هجلا

نمزلا

مقرلا

لعف ناك دقل لعف نكي مل لعف ناك عطقنملا ديعبلا يضاملا 1

لعف دق ناك هنإ لعف دق نكي مل لعف دق ناك عطقنملا بيرقلا يضاملا 4

لعفي ناك دقل لعفي نكي مل لعفي ناك ددجتملا يضاملا 3

لعف دقل لعف ام لعف دق رضاحلاب يهتنملا يضاملا 2

لعفي لاز ام هنإ لعفي امل لعفي لازام رضاحلاب لصتملا يضاملا 5

لعفي لظ دقل لعفي مل لعفي لظ رمتسملا يضاملا 6

لعف هنإ لعفي مل لعف طيسبلا يضاملا 7

لعفي داك دقل لعفي دكي مل لعفي داك براقملا يضاملا 8

لعفي قفط دقل لعفي سيل لعفي قفط يعورشلا يضاملا 9

نإ

لعفي ه لعفي ام لعفي يداعلا لاحلا 11

لعفي هنإ لعفي ام لعفي ددجتملا وأيددجتلا لاحلا 11

لعفي هنإ لعفي ام لعفي يرارمتساا لاحلا 14

نلعفيل لعفي ا لعفي طيسبلا لبقتسملا 13

نلعفيل لعفي نل لعفيس بيرقلا لبقتسملا 12

لعفي فوسل لعفي نل لعفي فوس ديعبلا لبقتسملا 15

لعفي لظي فوسل لعفي نل لعفي لظيس يرارمتساا لبقتسملا 16

Berdasarkan formulasi dalam tabel tersebut, dapat ditegaskan bahwa past tense dalam bahasa Arab memiliki ragam yang cukup banyak (9 bentuk), karena Tammâm Hassân mengaitkan penggunaan fi’l mâdhi tidak hanya dengan kâna dan beberapa saudaranya, melainkan juga menyandingkannya dengan salah satu af’âl al

30

(19)

syurû’ (verba yang berkonotasi mulai) dan af’âl al-muqârabah (verba yang berkonotasi hampir, nyaris) dan zharaf zamân yang mendukung pemaknaan masing-masing tenses tersebut.

G. Kesimpulan

Berdasarkan temuan dan analisis di atas dapat diambil kesimpulan berikut:

Pertama, formulasi konsep tenses dalam pemikiran nahwu Tammâm Hassân dilandasi oleh kerangka teori yang melihat bahasa Arab sebagai sebuah sistem bahasa yang elastis dan kaya ragam ungkapan. Tenses dalam bahasa Arab kontemporer tidak dipengaruhi oleh konsep serupa dalam bahasa Inggris, karena penggunaan tenses dalam bahasa Arab telah memiliki akar historis dan bukti faktual dalam berbagai khazanah intelektual Arab klasik maupun kontemporer, terutama teori ta’liq dan al-nazhamyang dicetuskan oleh ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî.

Kedua, Tammâm Hassân memformulasikan konsep tenses dalam bahasa Arab kontemporer dengan tetap mendasarkan pada pembagian konsep waktu (tala) yang melekat pada bentuk fi’l, lalu dihubungkan dengan konteks kalimat di mana fi’l distrukturkan dan dirangkai dengan: af’âl nâsikhah, af’âl sl-syurû’, af’al muqârabah, dan zharaf zamân serta adawât lain yang menyertainya. Formulasi tenses menghasilkan bentuk (binyah) dan makna fungsional dan kontekstual sesuai dengan

siyâq al-kalâm yang menjadi penyertanya (al-qarâ’in al-lafzhiyyah) dan konteks sosial budaya yang melingkupi pemaknaannya (al-qarâ’in ghair al-lafzhiyyah).

Ketiga, pemikiran nahwu Tammâm Hassân mengenai penggunaan bahasa Arab kontemporer memberikan implikasi semantik yang sangat penting dan menarik. Implikasi tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan semantik dalam memahami teks, terutama teks al-Qur‘an. Implikasi internal dari pemikiran Tammâm memberinya inspirasi untuk menghadirkan keindahan gaya bahasa dan kedalaman makna al-Qur‘an dalam karya monumentalnya, al-Bayân fi Rawâ’i’ al-Qur’ân: Dirâsah Lughawiyyah wa Uslûbiyyah li al-Nashsh al-Qur’ânî (2000).

Daftar Pustaka

(20)

‗Amâyirah, Khalîl Ahmad, Fi al-Tahlîl al-Lughawî: Manhaj Washfî Tahlîlî,

al-Zarqâ‘-Yordania: Maktabah al-Manâr, Cet. I, 1987.

Beaugrande, Robert de, al-Nashsh wa al-Khithâb, wa al-Ijrâ’, Terj. dari Text, Discourse, and Process toward a Multidiciplinary Science of Texts oleh Tammâm Hassân, Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 1998.

al-Daqar, ‗Abd al-Ghanî, Mu’jam al-Qawâ’id al-‘Arabiyyah fi al-Nahwi wa al-Sharf wa Dzuyyila bi al-Imlâ’, Damaskus: Dâr al-Qalam, Cet. III, 2001.

Dâwud, Muhammad Muhammad, al-Dilâlah wa al-Harakah: Dirâsah li Af’âl al -Harakah fi al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah fi Ithâr al-Manâhij al-Hadîtsah,

Kairo: Dâr Gharîb, 2002.

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LkiS, Cet. I, 2001.

al-Ghalayainî, Mushthafâ, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, Juz III, (Beirût: al-Maktabah al-‗Ashriyyah, Cet. XIII, 1984.

Husâm al-Dîn, Karîm Zakî, Zamân Dilâlî: Dirâsah Lughawiyyah li Mafhûm al-Zaman wa Alfâzhihi fi al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah, Kairo: Dâr Gharîb, 2002. Hassân, Tammâm, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ,(Kairo: ‗Âlam

al-Kutub, Cet. III, 1998.

Hassân, Tammâm, al-Khulâshah al-Nahwiyyah,Kairo: ‗Âlam al-Kutub, Cet. I, 2000. Husn al-‗Ârif (Ed.), ‗Abd al-Rahmân, Tammâm Hassân Râidan Lughawiyyan, Kairo:

‗Âlam al-Kutub, Cet. I, 2002.

‗Ikâwî, Rihab Khudlar, Mawsu’ah ‘Abâqirat al-Islâm fi al-Nahwi wa al-Lughah wa al-Fiqh, Beirût: Dâr al-Fikr al-‗Arabi, Cet. I, 1993.

Jamâl al-Dîn, Mushthafâ, ―Ra‘y fi Taqsîm al-Kalimat‖, dalam www.islamonline.net,

diakses pada 25 Oktober 2006.

Madkûr, ‗Ali Ahmad, Tadrîs Funûn al-Lughah al-‘Arabiyyah, Kairo: Dâr Fikr

al-‗Arabî, 2000.

al-Nuhâs, Mushthafâ, Min Qadlâyâ al-Lughah, al-Kuwait: Mathbû‘ât Jâmi‘ah al -Kuwait, Cet. I, 1995.

al-Sâmirrâ‘î, Ibrâhîm, al-Fi’l Zamânuhu wa Abniyatuhu, Beirût: Mu‘assasah al -Risâlah, Cet. III, 1983.

al-Sûsah, ‗Abbâs, al-‘Arabiyyah al-Fushha al-Mu’âshirah, Kairo: Dâr Gharîb, 2002. Tammâm, Husâm, ―Tammâm Hassân…Mujaddid al-‗Arabiyyah‖, diakses dari

www.islamonline.netmelalui situs Google, pada 30 April 2006

al-Thanthâwî, Muhammad, Nasy’at al-Nahwi wa Târîkh Asyhar al-Nuhât, Tahqîq Abû Muhammad ‗Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn Ismâ‘îl, Mekkah: Maktabah Ihyâ‘ al-Turâts al-Islâmî, Cet. I, 2002.

Thu‘aimah, Rusydî Ahmad, dan Muhammad al-Sayyid Mannâ‘, Tadrîs

al-‘Arabiyyah fi al-Ta’lîm al-‘Âmm: Nazhariyyah wa Tajârib, Kairo: Dâr al-Fikr

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan sistem full day school di lembaga pendidikan di Indonesia secara spesifik belum diatur dalam undang-undang yang mengatur tentang pendidikan di Indonesia. Pelakasanaan

Salah satu kelainan peradangan yang paling serius dari system musculoskeletal adalah osteomielitis hematogen akut, infeksi bakteri melalui darah yang berkembang secara cepat

Kodifikasi terkait dalam penyusunan zonasi, terkait dengan substansi dasar Peraturan Zonasi, adalah untuk menyesuaikan standar pada kondisi lokal merujuk kode zonasi

Sasaran penyuluhan pertanian di tingkat WKPP adalah seluruh masyarakat kelurahan Palangga Baik yang tergabung dalam kelompok tani maupun belum tergabung1. Pembangunan pertanian

Hasil uji time series nilai mean absolute persentage error (MAPE) pada kelompok intervensi pre hari ke 1 sebelum afirmasi 15,182, post hari ke 1 sesudah afirmasi 18,121,

Untuk mencapainya, dibutuhkan beberapa faktor,antara lain dengan menganalisa beban panas pada selubung bangunan, pencahayaan buatan, sistem penghawaan udara dan

(Make sure to notice He uses Scripture. You could ask ‘Why do you think He used God’s Word to respond to temptation?”) What are some things that we can learn about temptation

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan akan dilakukan penelitian dengan judul Pengaruh Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik terhadap Kemampuan