• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Pembebanan Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit (Studi Kasus pada PP No. 24 Tahun 1997)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Pembebanan Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit (Studi Kasus pada PP No. 24 Tahun 1997)"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT

(studi kasus pada PP No. 24 Tahun 1997)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

DIRGA SYAHPUTRA NIM : 080200404

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN Program Kekhususan Hukum Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINJAUAN YURIDIS PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT

(studi kasus pada PP No. 24 Tahun 1997)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

DIRGA SYAHPUTRA NIM : 080200404

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN Program Kekhususan Hukum Perdata BW

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum NIP. 19660303 198508 1 001

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum Rabiatul Syahriah SH, M.Hum NIP. 19660303 198508 1 001 NIP. 195902051986012001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil alamin, segala puji dan syukur Penulis ucapkan pada

Allah SWT sang Khalik, Sang Maha Pemberi Jalan kepada umat, yang telah

mencurahkan rahmat dan karunia yang begitu besar kepada Penulis sehingga

penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Begitu pula shalawat dan

salam Penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW semoga

kita mendapat syafaatnya di hari akhirat kelak.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan ialah “TINJAUAN YURIDIS PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT (studi kasus pada PP No. 24 Tahun 1997)” Skripsi ini membahas bagaimana syarat pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan. Skripsi ini

disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar

Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara, dimana hal tersebut merupakan

kewajiban setiap mahasiswa/I yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.

Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran dan kerja keras dalam

penyusunan skripsi ini. Namun penulis menyadari bahwa di dalam penulisan

skripsi ini masih banyak kekurangannya, baik isi maupun kalimatnya. Oleh sebab

itu skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan

(4)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM, selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.H, selaku Pembantu Dekan III, selaku

Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan dan dosen pembimbing I.

6. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan dan dosen pembimbing II.

7. Bapak Makdin Munte, selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih

atas perhatian, dukungan serta bimbingannya yang telah bapak berikan

selama ini.

8. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu penulis

selama menjalani perkuliahan.

9. Teristimewa kepada Orangtua tercinta, ayahanda Yuhartono SH dan ibunda

(5)

kasih sayang yang tak hentinya memberikan motivasi , semangat dan

mendo’akan setiap langkah Penulis dalam menggapai cita-cita.

10.Kepada abang dan adik Penulis Okki Hariyadi SH, Novita Rachmasari, dan

Dewi Juliani yang telah memberikan motivasi, semangat serta do’a kepada

Penulis.

11.Kepada Om Ismed Batubara SH, M.Hum dan Om Junaidi SH yang telah

banyak membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Spesial Thanks my girlfriend Ryan Pratiwi dan keluarga yang telah banyak

membantu dan mendukung Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini

13.Sahabat-sahabatku : Rida Maya Sari Nst SH, Devi Olisa Btr-Btr SH, Dwi

Nurul Amalia SH, Ariesya Amalia Hrp SH, dan Ari Wibowo, Zefri Zulfi

(Ujek), Wira Yudha Nugraha SH, Saleh, Tondi Black, Fandi Panjol, Afif

Badak, dan Budi Ponsel yang telah begitu banyak membantu, memberi

dorongan semangat selama penulis menjadi mahasiswa hingga penyelesaian

skripsi ini.

14.Semua pihak yang belum sempat penulis sebutkan dan telah banyak

membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan masih

jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik

yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat

(6)

mengahrapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Semoga Allah SWT selalu memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Allah

SWT selalu memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua. Amiin.

Medan, Januari 2013

penulis

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI……….. v

ABSTRAK………. vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……… 1

B. Perumusan Masalah……….. 4

C. Tujuan Penulisan...………...……..5

D. Manfaat Penulisan...………..5

E. Metode Penelitian ...……….….6

F. Keaslian Penulisan………...7

G. Sistematika Penulisan……….….8

BAB II ANALISIS PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT MENURUT UU NO. 10 TAHUN 1998 A. Analisis Dasar Hukum Pemberian Kredit…...…10

(8)

C. Prosedur Pemberian Kredit Menurut Undang-Undang No.10

Tahun 1998……...………...22

BAB III TINJAUAN SECARA UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN (UU NO.4 TAHUN 1996) A. Dasar Hukum Hak Tanggungan……….….…27

B. Subyek dan Objek Hak Tanggungan……….…..33

C. Tahapan Atas Pembebanan Hak Tanggungan…………...37

D. Pendaftaran Hak Tanggungan………...38

BAB IV TINJAUAN YURIDIS PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT (STUDI KASUS PP NO.24 TAHUN 1997) A. Kedudukan Hak Tanggungan dalam Suatu Perjanjian Kredit ....43

B. Perlindungan Hukum terhadap Kreditur dan Debitur dalam Pemberian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan...68

C. Tinjauan Yuridis Pembebanan Hak Tanggungan sebagai Jaminan Kredit (Studi Kasus PP No.24 Tahun 1997)...84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………..109

B. Saran………111

(9)

ABSTRAK

Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dan pembangunan nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam rangka

memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangna dan badan hokum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Meningkatnya keperluan dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkresitan, perbankan. Kredit perbankan merupakann salah satu usaha bank konvensional, yang telah salah satu bidang usaha dalam bidang perbankan yaitu diatur pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan).

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang mengutamakan bahan hokum sekunder dengan data yang diperoleh dari Bank Perkreditan Syariah (BPRS) Al Wasliyah. Adapun masalah-masalah yang diteliti adalah: 1). Prosedur pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak

Tanggungan, 2). Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dan cara mengatasi di Bank, 3).

Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur dan Debitur dalam Perjanjian Kredit dengan jaminan Hak Tanggungan.

Setelah dilakukan penelitian dan pengumpulan data maka pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan adalah dengan persyaratan permohonan nasabah dengan penyerahan beberapa dokumen pribadi dan jaminan hak tanggungan, bentuk perlindungan yang diberikan oleh hak tanggungan kepada kreditur berupa perindungan yang menyangkut kejelasan administrasi,

perlindungan yang dituangkan dalam asas-asas tanggungan dan perlindungan yang memberikan kepastian hukum kepada kreditur dalam hal penjualan objek hak tanggungan melalui pelaksanaan penjualan dibawah tangan.

(10)

ABSTRAK

Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dan pembangunan nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam rangka

memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangna dan badan hokum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Meningkatnya keperluan dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkresitan, perbankan. Kredit perbankan merupakann salah satu usaha bank konvensional, yang telah salah satu bidang usaha dalam bidang perbankan yaitu diatur pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan).

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang mengutamakan bahan hokum sekunder dengan data yang diperoleh dari Bank Perkreditan Syariah (BPRS) Al Wasliyah. Adapun masalah-masalah yang diteliti adalah: 1). Prosedur pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak

Tanggungan, 2). Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dan cara mengatasi di Bank, 3).

Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur dan Debitur dalam Perjanjian Kredit dengan jaminan Hak Tanggungan.

Setelah dilakukan penelitian dan pengumpulan data maka pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan adalah dengan persyaratan permohonan nasabah dengan penyerahan beberapa dokumen pribadi dan jaminan hak tanggungan, bentuk perlindungan yang diberikan oleh hak tanggungan kepada kreditur berupa perindungan yang menyangkut kejelasan administrasi,

perlindungan yang dituangkan dalam asas-asas tanggungan dan perlindungan yang memberikan kepastian hukum kepada kreditur dalam hal penjualan objek hak tanggungan melalui pelaksanaan penjualan dibawah tangan.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dan pembangunan

nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam rangka

memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi

baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangan dan badan hukum,

sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar.

Dengan meningkatkan kegiatan pembangunan, juga meningkatkan keperluan

akan tersedianya dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan

perkreditan, salah satu sarana yang mempunyai peran strategis1

Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional telah membantu

pemenuhan kebutuhan bagi kegiatan perekonomian dengan memberi pinjaman

uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Kredit perbankan merupakan

salah satu usaha bank konvensional, yang telah banyak dimanfaatkan oleh anggota

masyarakat yang memerlukan dana. Kredit merupakan salah satu bidang usaha

dalam bidang perbankan yaitu diatur pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 dalam pengadaan

dana tersebut adalah perbankan.

1

(12)

sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998

Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan).

Pada Pasal 4 butir 1 UU Perbankan menyatakan bahwa fungsi utama

perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang

bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan kearah peningkatan

kesejahteraan rakyat banyak.

Dalam menjalankan fungsi tersebut, maka bank melakukan usaha

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito

berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu. Dalam hal ini bank juga menyalurkan dana yang berasal dari

masyarakat dengan cara memberikan berbagai macam kredit.

Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah bukanlah tanpa risiko,

karena suatu risiko mungkin saja terjadi. Risiko yang pada umumnya terjadi

adalah risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan. Keadaan tersebut

sangatlah berpengaruh kepada kesehatan bank, karena uang yang disimpan kepada

bank itu, sehingga risiko tersebut sangat berpengaruh atas kepercayaan

masyarakat di bank yang sekaligus pada keamanan dana masyarakat tersebut.2

Karena kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko, maka dalam

pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat,

untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberi kredit dalam arti keyakinan

atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai

2

(13)

dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh

bank.Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit bank

harus melakukan penilaian seksama terhadap watak, kemampuan, modal, dan

prospek usaha dari debitor. Apabila unsur-unsur yang ada dapat menyakinkan

kreditur atas kemampuan debitor maka jaminan cukup hanya berupa jaminan

pokok dan bank tidak wajib meminta jaminan tambahan. Fungsi dan jaminan

kredit dalam pemberian kredit berkaitan dengan pihak peminjam adalah untuk

memenuhi kewajibannya untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan

dan menggunakan dana yang dimilikinya secara baik dan berhati-hati3

Selain fungsi jaminan kredit sebagai pengamanan atas kredit yang disalurkan,

diperlukan pengikatan yang sempurna atas objek jaminan kredit yang diterimanya.

Pengikatan yang sempurna dapat dilakukan dengan mengikuti dan mematuhi

ketentuan hukum yang berlaku terhadap suatu lembaga jaminan yang disebut

dengan jaminan hak tanggungan

.

Dengan demikian, jaminan kredit mempunyai peranan penting bagi

pengamanan pengembalian dana bank yang disalurkan kepada pihak peminjam

melalui pemberian kredit, untuk mengamankan kepentingan bank dalam

pemberian kredit salah satunya adalah jaminan, yaitu pengikatan objek jaminan

kredit melalui lembaga jaminan yang salah satunya adalah lembaga jaminan hak

tanggungan.

4

3

M. Bahsan, Hukum Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 5

4 Ibid

(14)

Lembaga jaminan hak tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan

hutang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang

bersangkutan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang

Hak Tanggungan (yang selanjutnya disebut UUHT) maka hipotik yang diatu oleh

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUH Perdata)

tidak berlaku lagi, kecuali hipotik pada kapal laut dan kapal terbang.

Adanya pelaksanaan pembebanan hak tanggungan dalam suatu perjanjian

kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi

semua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta benda-benda yang berkaitan

dengan tanah sebagai jaminan kredit. Untuk itu praktek pengikatan kredit dengan

jaminan hak tanggungan dalam kegiatan perbankan hendaknya dapat pula

dilaksanakan sesuai dengan yang telah diatur dalam UUHT.

Untuk mengetahui lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan

pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dan hambatan-hambatan yang

dihadapi dalam praktek maka penulis mengadakan penelitian dengan judul

“Tinjauan Yuridis Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan (Studi Kasus PP No. 21 Tahun 1997)”.

B. Permasalahan Masalah

Dengan memperhatikan alasan yang telah dikemukakan maka dirumuskan

masalah-masalah untuk dijadikan pedoman penelitian agar mencapai sasarannya.

Adapun masalah-masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

(15)

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditor dan debitor dalam perjanjian

kredit dengan jaminan hak tanggungan.

3. Bagaimanakah prosedur pelaksanaan hak tanggungan sebagai jaminan kredit

dikaitkan dengan PP No. 24 Tahun 1997.

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk menjawab permasalahan yang telah

ditetapkan , yaitu :

1. Untuk mengetahui kedudukan hak tanggungan dalam suatu perjanjian kredit.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap kreditor dan debitor dalam

perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan.

3. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan hak tanggungan sebagai jaminan

kredit dikaitkan dengan PP No. 24 Tahun 1997.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan ini antara lain :

1. Manfaat teoretis

Menambah wawasan dan cakrawala bagi penulis dalam kaitannya dengan

pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan dan

hambatan-hambatan yang dihadapi

2. Manfaat Praktis

Diharapkan hasil penulisan ini mempunyai kegunaan bagi semua pihak yang

(16)

E. Metode Penelitian

Metode adalah yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah

metode penelitian hukum yuridis (hukum) normatif 5

1. Bahan hukum primer

, yang menggunakan data

sekunder. Adapun data sekunder adalah data-data itu diperoleh melalui studi

kepustakaan dengan cara studi dokument, yang terdiri dari :

2. Bahan hukum sekunder

3. Bahan hukum tertier

a. Bahan hukum Primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya

mempunyai otoritas yang terdiri atas:

1). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2). Undang-Undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.

3). Undang-Undang No.10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

b. Bahan hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

terhadap bahan hukum primer antara lain buku, tulisan ilmiah, skripsi,

tesis, disertasi dan jurnal-jurnal hukum.

5

(17)

c. Bahan hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder antara lain berupa Kamus

hukum, Kamus umum Bahasa Indonesia.

Data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan kemudian didukung oleh

data yang diperoleh dari lapangan yaitu, dari Bank Perkreditan Rakyat Syariah

(BPRS) Al Washliyah.

F. Keaslian Penulisan

Bahwa penulisan skripsi yang berjudul Tinjauan yuridis Hak Tanggungan

sebagai Jaminan Kredit (Studi Kasus PP No.24 1997) adalah asli hasil karya

penulis dan dapat dipertanggung jawabkan materi penulisan yang ada di

dalamnya.

Tentang hak tanggungan telah diteliti oleh penulis sebelumnya, yaitu :

1. Skripsi P. Silaban dengan judul “ Perbandingan Pembebanan Hak Milik

Atas Tanah Sebagai Hak Tanggungan Menurut Ketentuan KUH Perdata

dan Ketentuan UU No.4 Tahun 1996 oleh P. Silaban, dengan

permasalahan :

a. Perbandingan Pembebanan Hak Atas Tanah sebagai Hak Tanggungan

Menurut KUH Perdata dan Ketentuan UU No.4 Tahun 1994, Hak

Tanggungan yang bagaimana yang dikehendaki oleh ketentuan KUH

Perdata.

b. Dimana letak perbedaan antara hak tanggungan yang diatur dalam

(18)

2. Skripsi Albert Pangaribuan dengan judul “Perjanjian Kredit serta

Kaitannya dengan Hak Tanggungan ( UU No.4 Tahun 1996), dengan

permasalahan :

a. Bagaimana penerapan asas hukum perjanjian dalam perjanjian kredit

b. Bagaimana kedudukan para pihak (kreditur/debitur) dalam perjanjian

kredit

c. Bagaimana pengaruh hak tanggungan terhadap perjanjian kredit.

G. Sistematika Penulisan.

Didalam penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yaitu sebagai berikut:

Bab I Tentang Pendahuluan menguraikan tentang latar belakang,

permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian,

keaslian penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II Menjelaskan tentang analisis dan dasar pelaksanaan pemberian kredit

menurut UU No.10 Tahun 1998 meliputi dasar hukum perjanjian kredit,

hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit dan

prosedur pemberian kredit menurut UU No.10 Tahun 1998.

Bab III Menjelaskan tentang tinjauan secara umum tentang hak tanggungan

(UU No.4 Tahun 1996) meliputi dasar hukum hak tanggungan, subjek

dan objek hak tanggungan, tahapan atas pembebanan hak tanggungan

dan pendaftaran hak tanggungan.

Bab IV Tinjauan Yuridis Pembebanan Hak Tanggungan Sebagai Jaminan

(19)

kedudukan hak tanggungan dalam suatu perjanjian kredit,

perlindungan hukum terhadap kreditor dan debitor dan hak tanggungan

sebagai jaminan kredit (studi kasus PP No.24 tahun 1997).

Bab V Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dan kesimpulan dan

saran-saran sehubungan dengan masalah yang dibahas.

(20)

BAB II

ANALISIS PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT

MENURUT UU NO.10 TAHUN 1998

A. Dasar Hukum Perjanjian Kredit.

Negara Indonesia merupakan Negara hukum, yang menganut sistem hukum

Eropa Kontinental, di dalam sistem hukum Eropa Kontinental peraturan

Perundang-undangan menduduki urutan yang sangat penting sebagai sumber

hukum. Setiap kegiatan dalam lalu lintas bisnis dan perbankan memerlukan

adanya suatu landasan hukum dalam pelaksanaannya. Demikian juga terhadap

perbuatan hukum pemberian kredit memerlukan adanya suatu dasar hukum yang

kuat.

Jika ditelusuri pasal demi pasal dalam Buku III KUH Perdata yang

mengatur tentang perikatan pada umumnya dan Perjanjian Khusus, tidak dijumpai

istilah kredit.6 Dalam kehidupan sehari-hari, kata kredit selalu diidentikkan dengan utang atau pinjaman apakah berupa uang atau barang. Orang yang

memperoleh kredit adalah orang yang mendapat kepercayaan7

6

Secara etimologi istilah kredit berasal dari bahasa Latin “credere”, bahasa Belanda “vertrouwen”, bahasa Inggris “believe” atau “trust of confidence”, yang berarti kepercayaan. Kata “credere” atau “creditum” berasal dari kata “credo” berarti mempercayakan. Lihat K. Prent, cm, dkk., Kamus Latin-Indonesia, Semarang: Yayasan Kanisius, 1969, hal. 102.

5

Mengapa orang dipercayai? Secara moral, orang tersebut memiliki tingkah laku dan kepribadian yang baik; secara ekonomi, orang tersebut mampu untuk membayar utangnya; secara yuridis, orang tersebut bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajibannya.

(21)

bank yang telah memberikan pinjaman untuk jangka waktu tertentu dan pihak

yang meminjam akan mengembalikan utangnya sesuai dengan perjanjian yang

disepakati. Dalam praktik bisnis, pengembalian utang diikuti dengan bunga atau

imbalan tertentu.

Berbeda dengan pengertian kredit dalam pandangan hukum, Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan rumusan “kredit adalah penyediaan

uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan

atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang

mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu

tertentu dengan pemberian bunga.”

Molenaar mengatakan kredit adalah “het verrichten van een prestatie in

ruil voor een uit gestelde tegen prestatie” (artinya memberikan prestasi untuk

ditukar dengan imbalan prestasi setelah jangka waktu tertentu). Johnson

mengatakan “credit is the power to obtain goods or service by givina promise to

pay money (or goods) on demand or at a specified date in thefuture.”8

Rumusan Molenaar lebih menekankan kepada aspek perikatan

(verbintenis) yaitu kredit sebagai obyek perikatan. Hal ini terlihat dalam Pasal

6

Lihat Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui

Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum USU, Medan: 2006, hal.14.

7

(22)

1234 BW yang berbunyi “Zij strekken om iets te geven, te doen, of niet te

doen”.9Jadi obyek perikatan atau disebut juga prestasi ada 3 (tiga) jenis yaitu memberikan sesuatu (iets te geven), berbuat sesuatu (iets te doen), dan tidak

berbuat sesuatu (iets niet te doen). Pengertian yang diberikan oleh Molenaar

masih bersifat umum, belum menunjukkan adanya hal-hal khusus dari kredit itu

sendiri termasuk ke dalam jenis prestasi yang mana. Menurut Tan Kamello, kredit

bank termasuk dalam jenis prestasi berbuat sesuatu.10

Rumusan yang lebih spesifik dapat dilihat dari Undang-Undang Perbankan

dengan menitik beratkan bahwa kredit merupakan suatu perjanjian antara bank

dengan nasabah debitor. Di sini secara jelas subyek hukumnya telah ditentukan

dan perjanjian tersebut lahir dari kesepakatan pinjam meminjam. Momentum

yuridis yang melatar belakangi hubungan hukum antara bank dengan nasabah

debitor adalah asas konsensualisme, yang tercermin dalam Pasal 1320 angka 1

KUH Perdata bahwa kata sepakat merupakan salah satu syarat subyektif untuk

melahirkan perjanjian, sedangkan uang atau yang dipersamakan dengan itu

merupakan obyek perjanjian yang tidak boleh bertentangan dengan Prestasi berbuat sesuatu

diatur dalam Pasal 1235 KUH Perdata berbunyi “Tiap-tiap perikatan berbuat

sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi

kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan

penggantian biaya, rugi, dan bunga”.

10

(23)

undang, kesusilaan atau ketertiban umum sebagaimana yang ditegaskan dalam

Pasal 1320. Persoalan hukum lainnya, apakah kata kredit dalam Undang-Undang

Perbankan dapat diidentikkan dengan kata pinjam meminjam atau pinjam

mengganti dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Dalam rumusan kredit yang tercantum

pada Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kata pinjam

meminjam merupakan elemen yang dikhususkan terjadi pada hubungan hukum

antara bank dengan nasabah debitor, sehingga maknanya lebih sempit dari

pengertian kredit.

Arti yuridis dari pinjam meminjam atau pinjam mengganti sebagai

terjemahan dari verbruikleening dalam Pasal 1754 B.W adalah: “Verbruikleening

is eene overeenkomst, waarbij de eene partij aan de andere eene zekere

hoeveelheid van verbruikbare zaken afgeeft, onder voorwaarde dat de laatst

gemelde haar even zo veel van gelijke soort en hoedanigheid terug geve.” 11

Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa sifat perjanjian, salah satunya

adalah perjanjian konsensuil. Suatu perjanjian dikatakan bersifat konsensuil

apabila perjanjian itu sudah tercipta dengan kata sepakat saja, sedangkan

perjanjian riil adalah perjanjian yang menghendaki di samping kata sepakat masih (Pinjam meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan

kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis

karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan

mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula).9

11

(24)

diperlukan suatu perbuatan nyata yaitu penyerahan barang yang menjadi

obyeknya.

Sifat hukum dari perjanjian pinjam meminjam atau pinjam mengganti

adalah konsensuil dan riil. Hal ini dapat dibuktikan dengan rumusan pada awal

kalimat “persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak

yang lain”. Pada prinsipnya yang terjadi baru kesepakatan untuk memberikan

sesuatu kepada pihak lain, sedangkan penyerahannya belum terjadi. Secara

teoretis, antara terciptanya kesepakatan dengan terjadinya penyerahan (levering)

dapat dipisahkan. Dapat saja terjadi penyerahan barang dilakukan belakangan.

Adapun pendapat ahli hukum tentang pinjam meminjam , antara lain

adalah :

1. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa peminjaman uang lazimnya

dianggap sebagai suatu persetujuan yang bersifat “reel”, tidak

consensueel”.12

2. Mariam Darus mengatakan bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian

pendahuluan yang bersifat konsensuil sedangkan penyerah uangnya bersifat

riil. Dalam aspek konsensuil dan riil perjanjian kredit memiliki identitas

12

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Bandung, Sumur, 1981, hal. 137.

11

(25)

sendiri dengan sifat-sifat umum sebagai berikut:13

3. Asser-Kleyn mengatakan bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian

pendahuluan dari perjanjian pinjam uang. Windscheid mengemukakan bahwa

perjanjian kredit adalah perjanjian dengan syarat tangguh (condition

potestative). Felt berpendapat bahwa perjanjian pinjam mengganti adalah

bersifat riil. Perjanjian kredit baru lahir pada saat dilakukannya realisasi

kredit. Konsekuensinya, perjanjian kredit bersifat riil. Goudeket mengatakan

bahwa perjanjian kredit yang di dalamnya terdapat perjanjian pinjam uang

adalah perjanjian yang bersifat konsensuil.

pertama, merupakan

perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari perjanjian penyerahan uang;

kedua, perjanjian kredit bersifat konsensuil; ketiga, perjanjian penyerahan

uangnya bersifat riil; keempat, perjanjian kredit termasuk dalam jenis

perjanjian standar; kelima, perjanjian kredit banyak dicampuri pemerintah;

keenam, perjanjian kredit lazimnya dibuat secara rekening koran; ketujuh,

perjanjian kredit harus mengandung perjanjian jaminan; kedelapan, perjanjian

kredit dalam aspek riil adalah perjanjian sepihak; kesembilan, perjanjian

kredit dalam aspek konsensuil adalah perjanjian timbal balik.

14

4. Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa perjanjian kredit tidak identik dengan

perjanjian pinjam uang dalam KUH Perdata. Ada ciri khusus dari perjanjian

kredit yang membedakannya dari perjanjian pinjam uang biasa. Ciri khusus

tersebut adalah: ada beberapa bank yang memuat dalam perjanjian kreditnya

14

(26)

klausul yang dinamakan condition precedent yakni peristiwa atau kejadian

yang harus dipenuhi atau terjadi terlebih dahulu setelah perjanjian

ditandatangani oleh para pihak sebelum penerima kredit dapat menggunakan

kreditnya. Perjanjian kredit yang mengandung condition precedent adalah

perjanjian konsensuil dan bukan perjanjian riil, sedangkan perjanjian kredit

yang tidak memuat condition precedent dikatakan perjanjian riil.15

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ajaran tentang

sifat perjanjian kredit bank terbagi atas 3 (tiga) yaitu: pertama, ajaran yang

mengatakan perjanjian kredit bank dan perjanjian pinjam uang merupakan satu

perjanjian yang bersifat konsensuil-obligatoir; kedua, ajaran yang mengatakan

perjanjian kredit bank dan perjanjian pinjam uang merupakan dua perjanjian yang

bersifat konsensuil dan riil; ketiga, ajaran yang mengatakan perjanjian kredit bank

merupakan perjanjian dengan syarat tangguh.

Pandangan Tan Kamello mengutip pendapat Mariam Darus 16

13

St.Remy Sjahdeini, Beberapa Masalah Hukum di Sekitar Perjanjian Kredit Bank, Simposium Perbankan, Medan, 1990, hal. 10.

14

Lihat Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan II, Bandung: Aditya Bhakti, 2001, hal.36 – 41.

mengenai

hal ini adalah bahwa perjanjian kredit bank adalah suatu proses perjanjian untuk

(27)

permufakatan dan diakhiri dengan penyerahan. Momentum terjadinya 2 (dua)

hubungan hukum tersebut berbeda. Perjanjian kredit lahir pada saat

ditandatangani formulir perjanjian kredit bank, yang memiliki sifat

konsensuil-obligatoir, sedangkan penyerahan uang (levering) menyusul kemudian setelah ada

pernyataan dari bank bahwa nasabah debitor dibolehkan mengambil uang

(pinjaman), yang sifatnya riil. Jadi, antara permufakatan dengan penyerahan uang

terdapat waktu tunggu yang menangguhkan untuk kesempurnaan perjanjian kredit

bank seperti yang diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata tentang perikatan

bersyarat dan Pasal 1263 KUH Perdata tentang perikatan dengan syarat tangguh.

Dalam Pasal 1253 KUH Perdata ditentukan syaratnya adalah peristiwa yang

masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, sedangkan dalam Pasal

1263 KUH Perdata, pemenuhan perikatan hanya dapat dituntut oleh kreditor

apabila syarat tangguh itu telah terpenuhi. Selama syarat itu belum terpenuhi,

maka kewajiban berprestasi oleh debitor belum lagi ada, walaupun hubungan

hukum antara para pihak tetap ada.

Dilihat dari jenis perjanjian, perjanjian kredit bank merupakan perjanjian

timbal balik, artinya jika pihak bank dan nasabah debitor tidak memenuhi isi

perjanjian maka salah satu pihak dapat menuntut pihak lainnya sesuai dengan

jenis prestasinya. Penyerahan uang dalam perjanjian kredit bank merupakan

perjanjian sepihak, artinya jika pihak tidak merealisasikan pinjaman uang maka

nasabah debitor tidak dapat menuntut bank dengan alasan ingkar janji, demikian

juga sebaliknya kalau nasabah debitor tidak mau mengambil pinjaman uang

(28)

Secara yuridis normatif, perjanjian kredit bank yang sudah disepakati

menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolg) yang mengikat dan harus dijalankan

dengan itikad baik. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1320 jo Pasal

1338 KUH Perdata. Dilihat dari aspek jenis perjanjian lainnya, perjanjian kredit

bank tergolong dalam jenis perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst,

innominaat contracten). Hal ini didasarkan pada Pasal 1319 KUH Perdata,

sedangkan perjanjian pinjam mengganti merupakan perjanjian bernama.

Dilihat dari bentuk perjanjian, KUH Perdata hanya menentukan pedoman

umum bahwa perjanjian harus dibuat dengan kata sepakat kedua belah pihak. Kata

sepakat tersebut dapat berbentuk isyarat, lisan, dan tertulis. Dalam bentuk tertulis,

perjanjian dapat dilakukan dengan akta di bawah tangan dan akta otentik. Dalam

praktik bank, bentuk perjanjian kredit dapat dibuat dengan akta otentik (akta

notaris). Kedua bentuk perjanjian kredit tersebut dibuat dalam bentuk perjanjian

baku, yaitu suatu perjanjian yang sebelumnya telah dipersiapkan isi atau

klausul-klausulnya oleh bank dalam suatu formulir tercetak.17

17

Lihat St. Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993, hal. 182.

Dalam bentuk perjanjian

kredit yang demikian, pada hakikatnya kehendak yang sebenarnya belum

terwujud dalam perjanjian kredit. Kehendak nasabah debitor hanya diberikan

secara formal disebabkan adanya ketergantungan akan kebutuhan kredit. Di

sinilah letaknya kedudukan nasabah debitor menjadi lemah secara

(29)

nasabah debitor tidak mempunyai pilihan lain dan terpaksa untuk menerima

persyaratan perjanjian yang disodorkan kepadanya.18Menurut Ruitinga, kekuasaan ekonomis itu terdiri dari 2 (dua) unsur yaitu, pertama, terdapatnya kebutuhan bagi

salah satu pihak untuk bertransaksi; kedua, kekuatan posisi ekonomis dari pihak

lainnya.19J.M. van Dunne dan Gr. van der Burght mengatakan bahwa kedudukan ekonomis yang lebih kuat ini sering tampak pada perjanjian-perjanjian baku.20 Dilihat dari sisi perlindungan hukum konsumen, perjanjian baku yang ditetapkan

bank sebagai pelaku usaha, maka klausul yang diperlakukan terhadap debitor

(nasabah debitor) dalam perjanjian tersebut adalah batal demi hukum (nietig, null

and void).21

Di dalam pelaksanaan perjanjian kredit akan menimbulkan hak dan

kewajiban bagi masing-masing pihak yaitu kreditur dan debitur memiliki beberapa

hak dan terikat pada beberapa kewajiban yang wajib dipenuhi guna menjamin rasa

B. Hak dan Kewajiban Kreditur dan Debitur dalam Perjanjian Kredit

16

Wahyono Hardjo, Masalah Kedudukan Pihak yang Lemah Secara Ekonomis dalam Perjanjian, Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Perdata Tahun 1982/1983 dan 1983/1984, Jakarta, BPHN, 1985, hal. 139.

17

Ibid., hal. 140. 18

Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan antara Bank dengan Nasabah, opcit, hal.18.

19

Lihat Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

(30)

saling percaya oleh para pihak serta kegiatan perkreditan dapat dilaksanakan

dengan lancar. Beberapa hak dan kewajiban tersebut antara lain sebagai berikut :

a. Hak Kreditur antara lain :

1) Menerima jumlah pinjaman nasabah

2) Menerima bunga sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati

bersama;

3) Menetapkan nilai jaminan nasabah

4) Mengadakan pengawasan terhadap perusahan atau nasabah.

5) Menegur atau memperingatkan apabila dalam pembayaran angsuran

kredit dinyatakan kurang lancar atau diragukan.

6) Menerima administrasi dan provisi.

7) Membatalkan perjanjian sepihak apabila kewajiban nasabah tidak

dipenuhi.

8) Masuk ketempat di mana nasabah telah menyerahkan hak miliknya

oleh nasabah.

b. Kewajiban Kreditur antara lain :

1) Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada debitur.

2) Memberikan informasi mengenai kredit

(31)

4) Menyerahkan kembali hak milik debitur apabila telah melunasi hutangnya.

5) Mematuhi segala ketentuan yang termuat di dalam perjanjian kredit.

c. Hak Debitur antara lain:

1) Menerima kredit yang diberikan oleh Kreditur

2) Menerima tabungan di akhir pelunasan

3) Berhak mendapat kembali hak miliknya yang telah diserahkan kepada

bank apabila peminjaman telah melunasi hutangnya.

4) Debitur diasuransikan. Artinya, kredit yang ditanggung oleh pihak

asuransi. Yang dijaminkan adalah jumlah plafon kreditnya. Apabila

debitur meninggal dunia sebelum jatuh tempo pembayaran kredit maka

kredit dapat diklaim oleh pihak asuransi.

d. Kewajiban Debitur antara lain :

1) Melunasi jumlah hutang pokok berikut bunga atau denda

2) Menyerahkan jaminan kebendaan

3) Membayar biaya administrasi kredit

4) Membayar kredit tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang telah

diperjanjikan.

5) Membayar pajak, iuran, pungutan yang dikenakan pada jaminan

(32)

7) Membayar biaya sehubungan dengan penagihan pinjaman

8) Menjaga dan memelihara segala sesuatu yang diserahkan hak miliknya

9) Mematuhi segala ketentuan yang termuat di dalam perjanjian kredit 22

Dalam setiap pemberian kredit akan timbul hak dan kewajiban. Bank

hanya dapat mempertimbangkan pemberian kredit bila calon nasabah tersebut

merupakan subjek hukum karena subjek hukum merupakan pendukung hak dan

kewajiban artinya dapat menerima hak dan dibebankan kewajiban.

.

Di dalam Pasal 1131 KUH Perdata terdapat asas umum seorang kreditur

terhadap debiturnya, yang ditentukan bahwa : “segala kebendaan si berhutang,

baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun akan

ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya

perseorangan”. Jadi hak tagih seorang kreditur dijamin dengan :

1. Semua barang-barang debitor yang sudah ada, yang artinya sudah ada pada

saat hutang dibuat.

2. Semua barang yang akan ada disini berarti barang-barang yang pada saat

pembuatan hutang belum menjadi kepunyaan debitor, tetapi kemudian

menjadi miliknya. Dengan kata lain hak kreditur meliputi barang-barang

yang akan menjadi milik debitor, asal kemudian benar-benar jadi miliknya,

baik barang bergerak maupun tidak bergerak.

C. Prosedur Pemberian Kredit Menurut UU No. 10 Tahun 1998

22

(33)

Sebelum memberikan kredit, bank melakukan analisa yang dikenal dengan

istilah The fives of credit atau 5 c,23

Watak atau character adalah sifat dasar yang ada dalam hati seseorang.

Watak dapat berupa baik dan jelek bahkan ada yang terletak diantara baik dan

jelek. Watak merupakan bahan pertimbangan untuk mengetahui risiko. Tidak

mudah untuk menentukan watak seorang debitur apalagi debitur yang baru

pertama kali mengajukan permohonan kredit. Untuk mengetahui watak seseorang

dapat mengetahui ciri-ciri orang tersebut seperti misalnya peminum minuman

keras, suka berjudi, suka menipu, dan lain sebagainya. Untuk petugas analis perlu

melakukan penyelidikan atau mencari berbagai informasi mengenai watak

seorang pemohon kredit karena watak dan tabiat menjadi dasar penilaian utama.

Meskipun analisa dari berbagai aspek baik tetapi kalau watak seorang pemohon

kredit jelek maka akibatnya risiko kredit menjadi besar. Watak dapat diartikan

sebagai kepribadian, moral dan kejujuran pemohon kredit. Debitor yang

mempunyai watak suka minuman keras, berjudi dan tidak jujur kemungkinan

besar akan melakukan penyimpangan dalam menggunakan kredit. Kredit

digunakan tidak sesuai sesuai tujuan yang ditetapkan dalam perjanjian kredit

akibatnya proyek yang dibiayai dengan kredit tidak menghasilkan pendapatan

sehingga mengakibatkan kredit macet. Oleh karena itu seorang analis perlu

menyelidiki dan mencari informasi tentang asal-usul kehidupan pribadi pemohon

kredit.

yaitu :

1. Character (Watak)

23

(34)

2. Capital (Modal)

Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha atau bisnis

sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya. Seorang yang

akan mengajukan permohonan kredit baik untuk kepentingan produktif atau

konsumtif maka orang itu harus memiliki modal. Misalnya orang yang akan

mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR) untuk membeli sebuah rumah maka

pemohon kredit harus memiliki modal untuk membayar uang muka. Uang muka

itulah sebagai modal sendiri yang dimiliki pemohon kredit sedangkan kredit

berfungsi sebagai tambahan.

3. Capacity (Kemampuan)

Seorang debitor yang mempunyai karakter atau watak baik selalu akan

memikir kan mengenai pembayaran kembali hutangnya sesuai waktu yang

ditentukan. Untuk dapat memenuhi kewajiban pembayaran debitor harus

memiliki kemampuan yang memadai yang berasal dari pendapatan pribadi jika

debitur perorangan atau pendapatan perusahaan bila debitur berbentuk badan

usaha. Seorang analis harus mampu menganalisa kemampuan debitur untuk

membayar kembali hutangnya. Bagi debitor perorangan analis harus mendapat

informasi yang benar penghasilan atau pendapatan debitor. Apa pekerjaan, usaha

debitor yang mengindikasikan debitor memperoleh pendapatan sehingga

(35)

4. Collateral (Jaminan)

Jaminan berarti harta kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan guna

menjamin kepastian pelunasan hutang jika dikemudian hari debitor tidak melunasi

hutangnya dengan jalan menjual jaminan dan mengambil pelunasan dari penjualan

harta kekayaan yang dijadikan jaminan itu. Jaminan meliputi jaminan yang

bersifat materiil berupa barang atau benda (materiil) yang tidak bergerak seperti

tanah, bangunan, atau benda tidak bergerak misalnya mobil, motor, saham, dan

jaminan yang bersifat inmateriil merupakan jaminan yang secara fisik tidak dapat

dikuasai langsung oleh bank misalnya jaminan pribadi (Borgtocht), Garansi

Bank (Bank lain).

Fungsi jaminan guna memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk

mendapatkan pelunasan dari barang-barang jaminan tersebut bilamana debitur

tidak dapat melunasi hutangnya pada waktu yang ditentukan dalam perjanjian.

5. Condition of Economy (Kondisi ekonomi)

Selain faktor-faktor diatas, yang perlu mendapat perhatian penuh dari analis

adalah kondisi ekonomi negara. Kondisi ekonomi adalah situasi ekonomi pada

waktu dan jangka waktu tertentu dimana kredit itu diberikan oleh bank kepada

pemohon. Apakah kondisi ekonomi pada kurun waktu kredit dapat

mempengaruhi usaha dan pendapatan pemohon kredit untuk melunasi hutangnya.

(36)

1) Dewasa. Ketentuan kedewasaan pada Bank adalah ketentuan dewasa

menurut batas umur 21 tahun untuk yang belum menikah dan 17 tahun jika

sudah kawin dengan persetujuan suami-istri.

2) Cakap hukum, dalam arti tidak berada atau dibawah pengampuan.

3) Ada jaminan, baik berupa jaminan benda maupun jaminan perorangan24

b) Untuk kepentingan Pemerintahan, bermanfaat untuk menjaring wajib pajak .

Syarat adminitrasi yang harus dipenuhi bagi calon debitur antara lain :

1) Identitas para pihak, dalam bentuk KTP, SIM, Paspor

2) Kartu keluarga, kegunaannya yakni :

a) Untuk mengetahui status kawin.

b) Untuk mengetahui dimana ia berada

c) Untuk mengetahui status dalam keluarga

NPWP dengan dilampiri KTP, ini bertujuan untuk kepentingan :

a) Untuk Kepentingan Bank, sebagai syarat permulaan sejarah kredit calon

debitur, ini dilakukan melalui online sistem.

25

24

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal .69

25

Edy Putra Aman. Kredit Perbankan, suatu Yuridis, Liberty, Yogyakarta, Cet ketiga. 2001, hal. 45.

24 Ibid.

(37)

Adapun syarat badan hukum untuk calon debitur yaitu :

1) Surat Izin Pendirian Perusahaan (SIPP).

2) Akte Pendirian Perusahaan

3) Surat Izin Tempat Usaha (SITU)

4) Tanda Daftar Perusahaan (TDP)

5) NPWP Perusahaan

6) Identitas Pengelola Perusahaan (KTP Pengurus)

7) Struktur Organisasi Perusahaan

8) SPT Perusahaan

9) Dokumen Pendukung lainnya 26

(38)

BAB III

TINJAUAN SECARA UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN (UU NO. 4 TAHUN 1996)

A. Dasar Hukum Hak Tanggungan

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan ,

Pasal 1 butir 1 adalah :

“Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.”

Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu hak

tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu,

dengan objek jaminannya berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.27

27

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal.13.

26

Penjelasan Umum angka 3 UUHT

(39)

memberikan kepastian hukum bagi para pihak, mempunyai dengan ciri-ciri

sebagai berikut :28

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada

pemegangnya (kreditor tertentu).

Dari definisi mengenai hak tanggungan sebagaimana dikemukakan di

atas, diketahui bahwa hak tanggungan memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada kreditor terhadap kreditor-kreditor lain. Yang

dimaksud dengan “kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu

terhadap kreditor-kreditor lain”, dapat dijumpai dalam Penjelasan Umum

angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan,

yaitu :

“…. Bahwa jika debitur cidera janji, maka kreditor pemegang Hak

Tanggungan berhak menjual tanah yang dijadikan jaminan melalui

pelelangan umum, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lain….”

Ciri ini dalam ilmu hukum dikenal dengan istilah droit de preference.

2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan ditangan siapapun objek itu

berada.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan menyatakan bahwa hak tanggungan tetap mengikuti objeknya

dalam tangan siapapun objek tersebut berada, sehingga hak tanggungan

(40)

tidak akan berakhir sekalipun objek hak tanggungan itu beralih ke pihak

lain oleh sebab apa pun juga. Asas yang disebut droit de suite memberikan

kepastian kepada kreditur mengenai haknya untuk memperoleh pelunasan

dari hasil penjualan atas tanah-penguasaan fisik atau Hak Atas Tanah

penguasaan yuridis, yang menjadi objek hak tanggungan bila debitor

wanprestasi, sekalipun tanah atau hak atas tanah yang menjadi objek hak

tanggungan itu dijual oleh pemiliknya atau pemberi hak tanggungan

kepada pihak ketiga.

3. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas, sehingga dapat mengikat

pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak yang

berkepentingan.

Asas spesialitas diaplikasikan dengan cara pembuatan Akta Pemberian

Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan asas

publisitas diterapkan pada saat pendaftaran pemberian hak tanggungan di

Kantor Pertanahan. Pendaftaran tersebut merupakan syarat mutlak untuk

lahirnya hak tanggungan tersebut dan mengikatnya hak tanggungan

terhadap pihak ketiga.29

Keistimewaan lain dari hak tanggungan yaitu bahwa hak tanggungan

merupakan hak jaminan atas tanah yang mudah dan pasti pelaksanaan

eksekusinya. Apabila debitor wanprestasi tidak perlu ditempuh cara gugatan 4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

29

(41)

perdata biasa yang memakan waktu dan biaya. Bagi kreditor pemegang hak

tanggungan disediakan cara-cara khusus, sebagaimana yang telah diatur

dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan.

Menurut Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, S.H., MLI, dengan ciri-ciri tersebut,

maka diharapkan sektor perbankan yang mempunyai pangsa kredit yang paling

besar dapat terlindungi dalam menyalurkan dana kepada masyarakat dan secara

tidak langsung dapat menciptakan iklim yang kondusif dan lebih sehat dalam

pertumbuhan dan perkembangan perekonomian.30

Maksud dari hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, yaitu hak

tanggungan membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian dari padanya Disamping memiliki empat ciri di atas Hak Tanggungan juga mempunyai

beberapa sifat, seperti :

a. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi

31

30

Arie. S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan ekonomi, Suatu Kumpulan Karangan, , Badan Penerbit Fakultas Hukum Uniersitas Indonesia, Cetakan Kedua, Depok , 2002, hal.255.

29

Op. Cit., Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UUHT. 30

Boedi Harsono,”Upaya Badan Pertanahan Nasional Dalam Mempercepat Penyelesaian Kredit Macet Perbankan”, Kumpulan Makalah dan Hasil Diskusi Panel I sampai IV Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, Dep. Keu. RI. BUPLN, Jakarta, 1998, hal 420.

31

Undang-undang Hak Tanggungan Pasal 2 Ayat (2).

.

(42)

dari beban hak tanggungan. Hak tanggungan yang bersangkutan tetap

membebani seluruh objek untuk sisa utang yang belum dilunasi.32

Hak tanggungan diberikan untuk menjamin pelunasaan hutang debitor

kepada kreditor, oleh karena itu hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir

pada suatu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang

sebagai perjanjian pokok. Kelahiran, eksistensi, peralihan, eksekusi, berakhir

dan hapusnya hak tanggungan dengan sendirinya ditentukan oleh peralihan dan

hapusnya piutang yang dijamin pelunasannya. Tanpa ada suatu piutang tertentu

yang secara tegas dijamin pelunasannya, maka menurut hukum tidak akan ada

hak tanggungan.

b. Hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir.

33

1. Hak milik;

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah,

menyebutkan bahwa yang menjadi Objek Hak Tanggungan adalah :

33

Boedi Harsono,Op.Cit., hal.423. 33

Di dalam Penjelasan dikatakan, bahwa sekalipun dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ditentukan, bahwa untuk memindahtangankan hak pakai atas tanah negara diperlukan izin dari pejabat yang berwenang, namun menurut sifatnya hak pakai itu memuat hak untuk memindah tangankan kepada pihak lain. Izin yang diperlukan hanyalah berkaitan dengan persyaratan apakah penerima hak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak pakai.

34

(43)

2. Hak guna usaha;

3. Hak guna bangunan;

4. Hak pakai atas tanah negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib

didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani

dengan hak tanggungan. 34

Walaupun tidak disebutkan secara tegas, tetapi mengingat hak tanggungan

merupakan bagian dari pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (vide Pasal 51 juncto Pasal 57

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria),

maka dapat disimpulkan, bahwa hak-hak atas tanah yang menjadi objek hak

tanggungan adalah hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 35

35

J. Satrio, Op.Cit., hal.275.

Disamping itu, menurut

Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

yang menyatakan bahwa :

(44)

Jadi selain tanah, bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu

kesatuan dengan tanahnya dapat dijadikan objek hak tanggungan. Perlu

diperhatikan baik-baik syarat “merupakan satu-kesatuan” dengan tanahnya.

Namun, perlu diperhatikan dengan baik bahwa penyebutannya adalah: “juga dapat

dibebankan “pada hak atas tanah....”, dari cara penyebutan tersebut , bahwa

bangunan, tanaman dan hasil karya itu hanya bisa menjadi objek hak tanggungan

kalau tanah di atas mana bangunan itu berdiri, tanaman itu tumbuh dan hasil karya

itu berada juga dijaminkan dengan hak tanggungan. Benda-benda di luar tanah,

yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan tidak bisa dijaminkan dengan Hak Tanggungan terlepas

dari tanahnya.36

Penyebutan “yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah tersebut”

mengingatkan kita pada syarat “dipersatukan secara permanen atau nagelvast” dan

“dengan akar tertancap dalam tanah atau wortelvast” pada hipotik. Jadi, walaupun

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria menganut asas hukum adat dan karenanya menganut asas pemisahan

horisontal, namun disini disyaratkan harus merupakan satu-kesatuan dengan

tanahnya. 37

36

Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 5.

.

Apa yang menjadi satu-kesatuan dengan tanah adalah apa yang

berada di atas tanah, maka menurut penjelasan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan ternyata meliputi juga bangunan

(45)

hanya meliputi bangunan, atau bagian dari bangunan, yang ada di bawah tanah,

dan ada hubungannya dengan tanah yang ada di atasnya. Karenanya, tambang dan

mineral tidak termasuk di dalamnya.

B. Subjek dan Objek Hak Tanggungan

Subjek Hak Tanggungan adalah:

1. Pemberi Hak Tanggungan

Pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum

yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap

objek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan

perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran

hak tanggungan dilakukan.38

Penyebutan “orang perseroangan” atau “badan hukum” adalah

berlebihan, karena dalam pemberian hak tanggungan objek yang dijaminkan

pada pokoknya adalah tanah, dan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang bisa mempunyai

hak atas tanah adalah baik orang perserorangan maupun badan hukum-vide

Pasal 21, Pasal 30, Pasal 36, dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Untuk masing-masing

hak atas tanah, sudah tentu pemberi hak tanggungan sebagai pemilik hak

(46)

atas tanah harus memenuhi syarat pemilikan tanahnya, seperti ditentukan

sendiri-sendiri dalam undang-undang. Selanjutnya syarat, bahwa pemberi

hak tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan

hukum atas objek yang dijaminkan adalah kurang lengkap, karena yang

namanya tindakan hukum bisa meliputi, baik tindakan pengurusan atau

beschikkingsdaden, padahal tindakan menjaminkan merupakan tindakan

pemilikan-bukan pengurusan, yang tercakup oleh tindakan pengurusan. Jadi,

lebih baik disebutkan, bahwa syaratnya adalah pemberi hak tanggungan

harus mempunyai kewenangan tindakan pemilikan atas benda jaminan.

Kewenangan tindakan pemilikan itu baru disyaratkan pada saat pendaftaran

hak tanggungan menurut Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, bahwa orang

menjanjikan hak tanggungan pada saat benda yang akan dijaminkan belum

menjadi miliknya, asal nanti pada saat pendaftaran hak tanggungan, benda

jaminan telah menjadi milik pemberi hak tanggungan. Ini merupakan upaya

pembuat undang-undang untuk menampung kebutuhan praktik, dimana orang bisa

menjaminkan persil, yang masih akan dibeli dengan uang kredit dari kreditor.

Praktiknya, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan banyak Kantor Pertanahan yang ragu-ragu atau menolak

pendaftaran hipotik jika kreditor merupakan orang perorangan. Hal ini rupanya

diantisipasi oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

(47)

penerima hak tanggungan. Walaupun demikian sejauh mungkin harus dicegah

adanya praktik rentenir, yang menyalahgunakan peraturan hak tanggungan ini.39

Pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum

yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. 2. Pemegang Hak Tanggungan

40

Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai pemegang hak

tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum, yang berkedudukan

sebagai kreditor. Menentukan siapa yang bisa menjadi pemegang hak tanggungan

tidak sesulit menentukan siapa yang bisa bertindak sebagai pemberi hak

tanggungan. Karena seorang pemegang hak tanggungan tidak berkaitan dengan

pemilikan tanah dan pada asasnya bukan orang yang bermaksud untuk memiliki Penerima hak tanggungan,

yang sesudah pemasangan hak tanggungan akan menjadi pemegang hak

tanggungan, yang adalah juga kreditor dalam perikatan pokok, juga bisa orang

perseorangan maupun badan hukum.Di sini tidak ada kaitannya dengan syarat

pemilikan tanah, karena pemegang hak tanggungan memegang jaminan pada

asasnya tidak dengan maksud untuk nantinya, kalau debitor wanprestasi, memiliki

persil jaminan.

39

H. M. Ridhwan Indra, Mengenal Undang-Undang Hak Tanggungan, Cetakan Pertama Penerbit Cv Trisula, Jakarta, 1997, hal. 22.

39

(48)

objek hak tanggungan bahkan memperjanjikan. Bahwa objek hak tanggungan

akan menjadi milik pemegang hak tanggungan, kalau debitor wanprestasi adalah

batal demi hukum sesuai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan. Dari penegasan bahwa yang bisa bertindak sebagai pemegang

hak tanggungan adalah “orang-perseorangan” atau “badan hukum”, kita bisa

menyimpulkan bahwa yang bisa menjadi pemegang hak tanggungan adalah orang

alamiah ataupun badan hukum. Yang namanya badan hukum bisa Perseroan

Terbatas, Koperasi, dan Perkumpulan yang telah memperoleh status sebagai

badan hukum ataupun yayasan. Diatas tidak disebutkan Perseroan Komanditer

atau commanditer venootschap. Ini membawa persoalan lain, yaitu apakah

Perseroan Komanditer bisa bertindak sebagai pemegang hak tanggungan,

mengingat bahwa Perseroan Komanditer di Indonesia belum secara resmi diakui

sebagai badan hukum, sekalipun harus diakui, dalam praktik sehari-hari kita

melihat adanya pengakuan secara tidak resmi dari anggota masyarakat,

seakan-akan Perseroan Komanditer bisa mempunyai hak dan kewajiban sendiri. 41

C. Tahapan Atas Pembebanan Hak Tanggungan

Pembebanan hak tanggungan merupakan suatu proses yang terdiri atas dua

tahap, yaitu diawali dengan tahap pemberian hak tanggungan dan akan diakhiri

dengan tahap pendaftaran. Tata cara pembebanan hak tanggungan ini wajib

memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 4

41

(49)

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang

Berkaitan Dengan Tanah.

Tahap pemberian hak tanggungan dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat

Akta Tanah yang berwenang, dengan pembuatan Akta Pemberian Hak

Tanggungan, untuk memenuhi syarat spesialitas. Sedangkan tahap pendaftaran

hak tanggungan dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten

setempat, dengan pembuatan buku tanah hak tanggungan dan Sertipikat Hak

Tanggungan, untuk memenuhi syarat publisitas.

D. Pendaftaran Hak Tanggungan

Pendaftaran Akte Pembebanan Hak Tangungan (APHT) bertujuan untuk

mendaftarkan hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan agar kepastian

hukumnya terjamin, baik itu meliputi kepastian tentang subjek maupun objek

haknya.

Pendaftaran APHT dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum antara

pihak kreditur sebagai pemegang hak tanggungan dan pihak debitur sebagai

pemberi hak hak tanggungan serta mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Adapun fungsi pendaftaran hak tanggungan adalah sebagai berikut :

1. Untuk membuktikan saat lahirnya dan mengikatnya hak tanggungan

terhadap para pihak dan pihak ketiga.

2. Untuk menciptakan alat bukti adanya hak bagi yang berhak atau

(50)

3. Hak tanggungan yang lahir lebih dahulu merupakan kedudukan yang

lebih tinggi daripada yang lahir kemudian.

4. Untuk menciptakan kepastian hukum bagi kreditur bahwa manakala

debitur cidera janji, maka kreditur mendapatkan hak preferen sehingga

sehingga mendahului kreditur-kreditur lain.

5. Untuk menciptakan perlindungan hukum bagi kreditur terhadap

gangguan pihak ketiga.

6. Apabila Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) itu didaftarkan

dalam register umum, maka janji yang terdapat dalam Akta Pembebanan

Hak Tanggungan.42

Melihat fungsi pendaftaran hak tanggungan tersebut, melambangkan bahwa

kreditur pemegang hak tanggungan mendapatkan perlindungan serta kepastian

hukum bahwa tanah yang dijaminkan oleh pemberi jaminan kepada pemegang

jaminan mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak dan pihak ketiga, serta

sebagai alat bukti bagi pemegang hak bahwa tanah yang telah dibebankan dengan

hak tanggungan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lahir

kemudian.

Untuk menjamin kepastian hukum maka pemerintah mengadakan

pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut

ketentuan-ketentuan yang diatur oleh PP Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

salah satu tujuan pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan kepastian dan

perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan

42

(51)

rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat

membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

Kepastian tentang obyek tanah apabila telah didaftarkan akan berguna bagi

masyarakat pengguna khususnya yang berkaitan dengan kepemilikan atau

manakala tanah tersebut akan dijaminkan. Pendaftaran atas hak-hak tanah

dilakukan dengan mencatat dengan rinci identitas subyek pemilik dan obyek

haknya, termasuk cara perolehannya, riwayat peralihan dan pembebanan haknya

termasuk royanya. Kemudian obyeknya juga disebutkan jenis haknya, lamanya

atau umur haknya dan dalam daftar surat ukur digambarkan secara rinci luas dan

batas-batasnya. Kesemuanya itu tidak dapat dilepaskan dan upaya UUPA untuk

memberikan kepastian hukum atas hak-hak atas tanah. Prinsip seperti itu mestinya

mempunyai efeknya pada pelaksanaan pendaftaran hak tanggungan.

Menurut Pasal 13 UUHT, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan ke

kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah

penandatanganan APHT, PPAT wajib memberikan APHT yang bersangkutan dan

berkas lainnya yang diperlukan pada kantor Pertanahan.

Dengan pengiriman oleh PPAT, berarti akta dan berkas lain yang diperlukan

itu disampakan ke kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos

tercatat. PPAT wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman dengan

memperhatikan kondisi di daerah dan fasilitas yang ada, serta selalu berpedoman

pada tujuannya untuk didaftarkannya hak tanggungan itu secepat mungkin. Berkas

(52)

petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat. PPAT wajib menggunakan cara yang

paling baik dan aman dengan memperhatikan kondisi di daerah dan fasilitas yang

ada, serta selalu berpedoman pada tujuannya untuk didaftarkannya hak

tanggungan itu secepat mungkin. Berkas lain yang dimaksud disini adalah

meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek hak tanggungan dan

identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk didalamnya sertifikat hak atas

tanah dan surat-surat keterangan mengenai objek hak tanggungan. PPAT wajib

melaksanakan ketentuan tersebut karena kewajibannya. Sanksi atas

pelanggarannya akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang

mengatur jabatan PPAT.

Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh kantor Pertanahan atas dasar

data di dalam APHT serta berkas pendaftaran yang diterimanya dan PPAT,

dengan dibuatkan buku tanah hak tanggungan. Bentuk dan isi buku tanah hak

tanggungan telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 3

tahun 1997 tentang penjelasan UUHT. Dengan dibuatnya buku tanah tersebut,

hak tanggungan lahir dan kreditur menjadi kreditur pemegang hak tanggungan,

dengan kedudukan mendahului dari kreditor-kreditor lain.

Menurut pasal 13 angka (4) UUHT tanggal pembuatan buku tanah hak

tanggungan adalah hari ke-7 setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang

diperlukan bagi pendaftaran hak tanggungan. Jika hari ke-7 jatuh pada hari libur,

buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Kepastian

(53)

tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan

dan mengurangi jaminan kepastian hukum.

Untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hakim

yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sertifikat hak tanggungan

diberi irah-irah dengan dengan membubuhkan pada sampulnya kalimat “ DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, (Pasal 14

angka 2 dan 3 UUHT). Dengan pencantuman irah-irah tersebut pada sertifikat

hak tanggungan, maka untuk itu dapat dipergunakan lembaga Parate Eksekusi

sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 HIR dan 258 RBG.

Setelah sertifikat hak tanggungan selesai dibuat, kemudian sertifikat hak

Referensi

Dokumen terkait

“Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda -benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjunya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang ber- kaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah

Menurut Pasal 1 ayat 1 UUHT, Hak Tanggungan atas tanah beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah jaminan yang dibebankan

³+DN 7DQJJXQJDQ DWDV WDQDK EHVHUWD benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjurnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah