PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK
TANGGUNGAN SEBAGAI ALTERNATIF
PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH DI PT.
BANK DANAMON
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
NADYA FEBRINA RITONGA
NIM : 090200347
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK
TANGGUNGAN SEBAGAI ALTERNATIF
PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH DI PT.
BANK DANAMON
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
NADYA FEBRINA RITONGA
NIM : 090200347
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
NIP. 196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum
Pembimbing I
NIP. 195008081980021001 Muhammad Hayat, SH
Pembimbing II
NIP. 196402161989111001 Syamsul Rizal, SH, M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai
tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat
beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.
Adapun skripsi ini berjudul : “Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak
Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah Di PT. Bank
Danamon”
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan
di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukkan dan
saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.
Didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami
kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari
dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing,
dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin,
SH. MH. DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Bapak Dr. O. K. Saidin, SH. M.Hum selaku Wakil Dekan
III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3. Ibu Rabiatul Syariah, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Muhammad Hayat, SH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan didalam penulisan
skripsi ini.
5. Bapak Syamsul Rizal, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang
telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan didalam penulisan
skripsi ini.
6. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
7. Kepada ayahanda Abdul Manan Ritonga dan ibunda Sadariah Purba, SH.
MM, atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya hingga
penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara
langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
9. Civitas Akademik Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala keterbatasan,
kesalahan dan kekurangan, saya bersedia untuk menerima teguran dan bimbingan.
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Medan, Januari 2015
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 10
C. Tujuan Penulisan ... 10
D. Manfaat Penulisan ... 10
E. Metode Penelitian ... 11
F. Keaslian Penulisan ... 13
G. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN ... 15
A. Pengertian Hak Tangungan ... 15
B. Ciri dan Sifat Hak Tanggungan... 17
C. Proses Pembebanan Hak Tanggungan... 19
D. Objek dan Subjek Hak Tanggungan... 21
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG EKSEKUSI ... 29
A. Pengertian Eksekusi... 29
B. Dasar Hukum Eksekusi ... 36
C. Asas-Asas Eksekusi ... 38
D. Eksekusi Hak Tanggungan ... 42
A. Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Bermasalah di Bank Danamon ... 45
B. Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah di Bank Danamon ... 57
C. Parate Eksekusi Hak Tangungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah di Bank Danamon ... 69
D. Hambatan Yang Dihadapi Bank Danamon Dalam Melaksanakan Parate Eksekusi Hak Tanggungan ... 77
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81
A. Kesimpulan ... 81
B. Saran ... 82
ABSTRAK
Lahirnya lembaga hak tanggungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, disambut baik oleh pelaku usaha perbankan di Indonesia. Lembaga Hak Tanggungan dinilai dapat membawa perubahan yang lebih baik dalam memberikan kepastian hukum bagi kreditur pemegang jaminan hak atas tanah dan bangunan yang sebelumnya menggunakan lembaga Hipotik. Perubahan tersebut diantaranya adalah adanya kemudahan yang diberikan oleh Undang-undang Hak Tanggungan dalam melakukan Eksekusi Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya. Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana faktor penyebab terjadinya kredit bermasalah di Bank Danamon, bagaimana alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon dan bagaimana eksekusi hak tanggungan sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah juridis normatif dengan mengadakan penelitian pada PT. Bank Danamon Medan.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan faktor penyebab terjadinya kredit bermasalah di Bank Danamon adalah ketidakmauan debitur dalam memenuhi kewajibannya, kedua ketidak mampuan debitur untuk membayar kewajibannya. Ketidakmampun debitur dalam memenuhi kewajibannya adalah kurangnya analisis pemberian kredit yang dilakukan oleh bank sewaktu permohonan kredit dimohonkan. Alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon dapat dilakukan dengan Penjadwalan Kembali (Rescheduling), Penataan Kembali (Restructuring), Persyaratan Kembali (Reconditioning) serta Penyerahan Jaminan Secara Sukarela. Apabila jalan tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah maka dapat dilakukan melalui Penyelesaian Melalui Pengadilan Negeri, Penyelesian Melalui Pengadilan Niaga, Penyelesaian Melalui Panitia Urusan Piutang Negara atau Penyelesaian Melalui Arbitrase. Eksekusi hak tanggungan sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon dilakukan sendiri oleh PT. Bank Danamon. Eksekusi hak tanggungan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan kredit bermasalah bank. Parate eksekusi Hak Tanggungan berperan sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang efektif dan efisien terutama dibandingkan dengan eksekusi melalui Pengadilan Negeri. Secara kuantitatif, parate eksekusi Hak Tanggungan telah berhasil mengurangi jumlah kredit bermasalah PT Bank Danamon.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting
dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, dan merupakan sarana bagi
pemerintah dalam menggalakkan pembangunan, khususnya dibidang material
melalui kegiatan perkreditan. Untuk menciptakan peranan tersebut, bank harus
mampu menjalankan fungsi intermediasinya dengan baik dengan cara
mempertahankan posisi likuiditasnya dan menjaga keseimbangan antara
sumber dana yang diperolehnya dari masyarakat dengan penyaluran dana
tersebut kembali kepada masyarakat.1
Bank memperoleh sumber dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk
kredit. Dalam pelaksanaannya, tidak semua pengembalian kredit yang
disalurkan kepada masyarakat dapat berjalan dengan lancar sebagaimana
mestinya. Adakalanya bank, karena suatu sebab tertentu harus menghadapi
resiko kerugian yang timbul sebagai akibat kegagalan dari debitur dalam
memenuhi kewajibannya berdasarkan Perjanjian Kredit. Resiko ini disebut
sebagai resiko kredit (credit risk). Apabila resiko ini tidak dimitigasi dengan
baik oleh bank, maka jumlah kredit bermasalah bank akan meningkat dan
1
Achmad Anwari, Bank Rekan Terpercaya dalam Usaha Anda, Jakarta, Balai Aksara, 1981, hal. 15.
selanjutnya akan meningkatkan persentase Non Performing Loan (NPL)
terhadap total pinjaman, dimana hal ini akan berpengaruh negatif terhadap
tingkat kesehatan bank tersebut.
Untuk memitigasi resiko kredit, bank melakukan berbagai upaya
diantaranya melakukan proses seleksi dan evaluasi yang ketat dalam
pemberian kredit kepada debitur, menutup asuransi terhadap kredit yang
diberikan, hingga mensyaratkan adanya agunan kepada debitur sebagai
jaminan atas kredit yang diberikan. Dalam praktek perbankan sehari-hari,
agunan tersebut dapat diikat dengan lembaga jaminan Gadai berdasarkan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata) dan
lembaga jaminan Fidusia berdasarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Fidusia, apabila agunan tersebut merupakan benda bergerak, atau
dengan lembaga Hak Tanggungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang
Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disingkat Undang-undang Hak
Tanggungan), apabila agunan tersebut berupa tanah dan atau bangunan. Akan
tetapi, lembaga jaminan yang disebutkan terakhir lebih disukai oleh bank,
karena nilai agunan berupa tanah dan atau bangunan mempunyai collateral
coverage yang relatif stabil dari pada lembaga jaminan lainnya. 2
2
Nilai agunan berupa tanah dan atau bangunan biasanya akan mengalami
peningkatan nilai jual (nilai ekonomis) dari tahun ke tahun terutama di
kota-kota besar. Berbeda dengan nilai agunan berupa barang bergerak yang
biasanya justru mengalami penurunan atau penyusutan seiring dengan
bertambahnya waktu. Bank juga beranggapan bahwa jaminan yang bersifat
kebendaan berupa tanah, akan lebih memberikan rasa aman dan kepastian
hukum dalam pelaksanaan eksekusinya apabila debitur cidera janji atau
wanprestasi terhadap kewajibannya.
Suatu kredit dapat digolongkan sebagai kredit bermasalah ketika kredit
tersebut termasuk ke dalam kategori Kurang Lancar, Diragukan dan Macet
dilihat berdasarkan prospek usaha, kinerja (performance), dan kemampuan
membayar yang dimiliki oleh debitur. Penggolongan kualitas kredit ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, sebagaimana
yang kemudian beberapa kali diubah melalui PBI Nomor 8/2/PBI/2006, PBI
Nomor 9/6/PBI/2007 dan terakhir kali diubah melalui PBI Nomor
11/2/PBI/2009.
Dalam praktiknya, bank mempunyai beberapa alternatif penyelesaian
kredit bermasalah yang dapat dilakukan berdasarkan kemampuan dan itikad
baik dari debitur. Alternatif penyelesaian tersebut dapat dikelompokkan
menjadi penyelesaian secara kompromi (compromised settlement) dan
contoh dari alternatif compromised settlement yang dapat dilakukan oleh bank
adalah restrukturisasi kredit (restructuring) atau penjadualan kembali
(rescheduling) untuk debitur yang masih memiliki prospek usaha dan
kemampuan membayar. Bank juga dapat melakukan pembaruan utang (novasi)
maupun pengalihan utang debitur kepada pihak ketiga (subrogasi) untuk
debitur yang masih bersifat kooperatif dalam menyelesaikan kreditnya.
Bank juga akan mempertimbangkan alternatif penyelesaian dengan
menerima penyerahan secara sukarela atas agunan milik debitur sebagai
pemenuhan atau pembayaran utangnya. Dalam dunia perbankan, penyerahan
agunan debitur tersebut dikenal dengan istilah Agunan Yang Diambil Alih
(AYDA). Akan tetapi apabila debitur sudah tidak mempunyai kemampuan
membayar dan tidak kooperatif kepada bank untuk menyelesaikan kredit
bermasalahnya, maka bank akan menempuh upaya non compromised
settlement dengan melakukan proses hukum berupa eksekusi terhadap agunan
yang diberikan oleh debitur. Upaya ini pada dasarnya merupakan upaya
terakhir yang dilakukan oleh bank, mengingat prosesnya memerlukan biaya
penanganan yang cukup besar dan waktu penyelesaian yang relatif lebih lama.
Lahirnya lembaga hak tanggungan berdasarkan Undang-undang Nomor
4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda
yang Berkaitan dengan Tanah, disambut baik oleh pelaku usaha perbankan di
Indonesia. Lembaga Hak Tanggungan dinilai dapat membawa perubahan yang
jaminan hak atas tanah dan bangunan yang sebelumnya menggunakan lembaga
Hipotik. Perubahan tersebut diantaranya adalah adanya kemudahan yang
diberikan oleh Undang-undang Hak Tanggungan dalam melakukan Eksekusi
Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji dalam melaksanakan
kewajibannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan,
apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai
hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut. Konsep ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya
dalam tulisan ini disebut KUHPerdata) dikenal sebagai Parate Eksekusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata.
Dengan konsep parate eksekusi, pemegang Hak Tanggungan tidak
perlu meminta persetujuan terlebih dahulu kepada pemberi Hak Tanggungan,
dan tidak perlu juga meminta penetapan pengadilan setempat apabila akan
melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang
debitur dalam hal debitur cidera janji.3
3
Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan, Bandung: Alumni, 1999, hal. 46.
Pemegang Hak Tanggungan dapat
langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan
pelelangan atas objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Konsep ini
merupakan terobosan atas proses eksekusi yang ada sebelum lahirnya
dapat dilakukan melalui eksekusi di Pengadilan Negeri yang memakan waktu
yang lama dan biaya eksekusi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan
Parate Eksekusi Hak Tanggungan. Namun demikian, dalam praktiknya segala
kemudahan dan kelebihan parate Eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal
6 Undang-undang Hak Tanggungan tersebut tidak selamanya dapat
dimanfaatkan oleh bank sebagai alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang
dijamin dengan Hak Tanggungan. Banyak faktor permasalahan yang
menyebabkan proses Parate Eksekusi Hak Tanggungan tersebut tidak dapat
berjalan sebagaimana mestinya. Faktor permasalahan tersebut meliputi
berbagai hal, antara lain adalah ketidaksesuaian substansi hukum
Undang-undang Hak Tanggungan yang mengatur tentang parate Eksekusi Hak
Tanggungan itu sendiri, tindakan dan paradigma dari aparat penegak hukum,
serta budaya hukum yang ada pada masyarakat termasuk juga paradigma
debitur sebagai pihak tereksekusi Hak Tanggungan.
Namun demikian, dalam praktiknya segala kemudahan dan kelebihan
parate Eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Hak
Tanggungan tersebut tidak selamanya dapat dimanfaatkan oleh bank sebagai
alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang dijamin dengan Hak
Tanggungan. Banyak faktor permasalahan yang menyebabkan proses Parate
Eksekusi Hak Tanggungan tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Faktor permasalahan tersebut meliputi berbagai hal, antara lain
yang mengatur tentang parate Eksekusi Hak Tanggungan itu sendiri, tindakan
dan paradigma dari aparat penegak hukum, serta budaya hukum yang ada pada
masyarakat termasuk juga paradigma debitur sebagai pihak tereksekusi Hak
Tanggungan.
Dalam aspek substansi hukum, konsistensi terhadap pengaturan tentang
Parate Eksekusi Hak Tanggungan yang diatur dalam Pasal 6 Undang-undang
Hak Tanggungan masih perlu dipertanyakan kembali, mengingat dalam
Penjelasan Umum Angka 9 dari Undang-undang Hak Tanggungan disebutkan
bahwa konsep Parate Eksekusi Hak Tanggungan yang dimaksud dalam
undang-undang tersebut tetap mengacu kepada Pasal 224 Herziene
Indonesisch Reglement (selanjutnya disingkat HIR). Pasal 26 Undang-undang
Hak Tanggungan menegaskan bahwa selama belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya (mengenai eksekusi dan hal lain dalam Pasal 14
Undang-undang Hak Tanggungan), peraturan mengenai eksekusi hypotheek
yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, berlaku
terhadap eksekusi Hak Tanggungan. Ketentuan ini akan menimbulkan
permasalahan tersendiri dalam praktik eksekusi Hak Tanggungan di lapangan,
mengingat apabila eksekusi Hak Tanggungan tetap mengacu kepada Pasal 224
HIR tersebut, maka eksekusi tersebut tetap harus berdasarkan penetapan dari
Ketua Pengadilan Negeri setempat (fiat pengadilan).4
4
A. Wahab Daud, H.I.R. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Pusbakum, 2002, hal. 64. Seharusnya pelaksanaan
Rechtsreglement Buiten Gewesten (selanjutnya disingkat RBG) seperti yang
disebutkan oleh Penjelasan Umum Angka 9 tersebut. 5
Faktor permasalahan tersebut pada akhirnya membuat perbankan tidak
dapat menjalankan eksekusi hak tanggungan dengan mudah sesuai dengan
cita-cita pembentukan Undang-undang Hak Tanggungan sebagaimana yang
tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-undang Hak Tanggungan.
Kondisi ini diperparah
lagi dengan adanya sikap pengadilan, dalam hal ini Mahkamah Agung yang
tidak membenarkan penjualan objek hipotik oleh kreditur melalui lelang tanpa
ada Penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Hal ini termuat dalam
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3021/K/Pdt/1984
tertanggal 30 Januari 1986. Putusan Mahkamah Agung ini malah membuat
rancu pelaksanaan eksekusi berdasarkan Parate Eksekusi Hak Tanggungan.
Dalam Putusan tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa berdasarkan
Pasal 214 HIR pelaksanaan lelang akibat grosse akte hipotik yang memakai
irah-irah seharusnya dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri.
Putusan ini juga menyatakan bahwa Parate Eksekusi yang dilakukan dengan
tanpa meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri meskipun didasarkan
pada Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata adalah perbuatan melawan hukum dan
mempunyai konsekuensi hukum batalnya hasil lelang yang telah dilakukan.
5
Padahal kemudahan untuk melakukan eksekusi terhadap jaminan sangat
membantu Bank dalam menyelesaikan kredit macet atau kredit bermasalahnya.
Bank akan semakin mengalami kerugian apabila kredit macet tersebut tidak
dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang relatif cepat. Hal ini disebabkan
karena selain harus menanggung kerugian atas kredit macet tersebut, Bank
juga harus mencadangkan sejumlah dana tertentu selama kredit macet tersebut
belum terselesaikan.
Berdasarkan Pasal 44 ayat 1 dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Bank wajib
membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) terhadap Aktiva Produktif
dan Aktiva Non Produktif. Khusus untuk kredit bermasalah dalam status
kolektibilitas macet, bank harus membuat cadangan PPA sebesar 100%
(seratus persen) dari total nilai kredit tersebut dikurangi dengan nilai agunan.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, Penulis
tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pelaksanaan Parate Eksekusi Hak
Tanggungan yang dilakukan oleh bank dalam rangka penyelesaian kredit
bermasalah. Dalam penelitian ini, penulis akan membatasi ruang lingkup
penelitian dalam pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan yang
dilakukan oleh PT Bank Danamon. Pembatasan ini dilakukan dengan tujuan
agar penulis dapat lebih fokus dalam melakukan analisa yang dilakukan.
Selanjutnya penulis menuliskannya dalam bentuk skripsi yang berjudul:
Penyelesaian Kredit Bermasalah di PT. Bank Danamon".
B. Permasalahan
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana faktor penyebab terjadinya kredit bermasalah di Bank
Danamon?
2. Bagaimana alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank Danamon?
3. Bagaimana eksekusi hak tanggungan sebagai alternatif penyelesaian kredit
bermasalah di Bank Danamon?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk :
1. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kredit bermasalah di Bank
Danamon.
2. Untuk mengetahui alternatif penyelesaian kredit bermasalah di Bank
Danamon.
3. Untuk mengetahui eksekusi hak tanggungan sebagai alternatif penyelesaian
kredit bermasalah di Bank Danamon.
D. Manfaat Penulisan
Sedangkan yang menjadi kegumanfaatpenelitian skripsi ini adalah :
keperdataan khususnya dalam pelaksanaan parate eksekusi hak
tanggungan.
2. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran dan masukan para pihak yang
berkepentingan yaitu pihak bank maupun debitur dalam kaitannya dengan
penyelesaian kredit bermasalah.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri
dari:
1. Sifat/materi penelitian
Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi
ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis
normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada
peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.6
2. Sumber data
Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data
sekunder didapatkan melalui:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni
seperti KUH Perdata, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,
6
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah serta
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum
dan sebagainya.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:
1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan
terhadap hukum primer dan sekunder.
2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang
hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan
sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.
3. Alat pengumpul data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.
4. Analisis data
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan,
studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini
menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya
teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan
kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.
F. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul "Pelaksanaan Parate Eksekusi
Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah di PT>
Bank Danamon" ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri.
Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga
penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara
moral dan akademik.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam
bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini
dibuat dalam bentuk uraian:
Bab I. Pendahuluan
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti
penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang, Permasalahan,
Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian
Penulisan, serta Sistematika Penulisan.
Bab II. Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan
Tanggungan, Ciri dan Sifat Hak Tanggungan, Proses Pembebanan
Hak Tanggungan, Obyek dan Subyek Hak Tanggungan.
Bab III. Tinjauan Umum Tentang Eksekusi
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian
Eksekusi, Dasar Hukum Eksekusi, Asas-Asas Eksekusi serta
Eksekusi Hak Tanggungan
Bab IV. Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Kredit Bermasalah
di PT. Bank Danamon
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap: Faktor
Penyebab Terjadinya Kredit Bermasalah di Bank Dadamon,
Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah di Bank Danamon,
Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian
Kredit Bermasalah di Bank Danamon serta Hambatan Yang
Dihadapi Bank Danamon Dalam Melaksanakan Parate Eksekusi
Hak Tanggungan.
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN
A. Pengertian Hak Tanggungan
Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960, maka Undang-Undang tersebut telah mengamanahkan untuk
terciptanya perangkat aturan tentang Hak Tanggungan, yang kemudian diikuti
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah
(UUHT). Dengan berlakunya UUHT lembaga jaminan hipotik dan
credietverband yang berkaitan dengan tanah, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Keberadaan UUHT sangat diperlukan dalam rangka menciptakan kepastian
hukum dalam lembaga jaminan yang berkaitan dengan tanah, sehingga
terdapat suatu lembaga jaminan yang kuat serta pasti pelaksanaan, yang
bersifat sangat pentingdalam mendukung sektor keuangan dan perbankan di
Indonesia.
Hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, adalah:
Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor- kreditor lainnya.
Dari rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu hak tanggungan
adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan
objek jaminannya berupa Hak-Hak Atas Tanah yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.7
Lahirnya Undang-undang Hak Tanggungan diharapkan akan
memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah
berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan
yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan-ketentuan
Creditverband dalam KUH Perdata.
Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang
Hak Tanggungan, pada dasarnya adalah hak jaminan yang dibebankan pada
hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda
berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu
kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan.
Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum
adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang menjelaskan bahwa
setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya
7
meliputi benda-benda tersebut.8
Penerapan asas tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan
dan memperhatikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam
masyarakat. Sehingga atas dasar itu Undang-undang Hak Tanggungan
memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi
benda-benda diatasnya sepanjang benda-benda-benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan
dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara
tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
B. Ciri dan Sifat Hak Tanggungan
Berdasarkan Angka 3 Penjelasan Umum dari Undang-undang Hak
Tanggungan disebutkan bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan
atas tanah yang kuat harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada
pemegangnya (droit de preference). Dalam batang tubuh Undang-undang
Hak Tanggungan, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20
ayat (1). Apabila debitur cidera janji (wanprestasi), maka kreditur
pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak
Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului
dari kreditur yang lain.
2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu
8
berada (droit de suite), hal ini ditegaskan dalam Pasal 7. Sifat ini
merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak
Tanggungan. Meskipun obyek Hak Tanggungan telah berpindah tangan
dan mejadi milik pihak lain, namun kreditur masih tetap dapat
menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitur cidera
janji (wanprestasi).
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, hal ini diatur dalam Pasal 6.
Apabila debitur cidera janji (wanprestasi), maka kreditur tidak perlu
menempuh acara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya
yang tidak sedikit. Kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat
menggunakan haknya untuk menjual obyek hak tanggungan melalui
pelelangan umum. Selain melalui pelelangan umum berdasarkan Pasal 6,
eksekusi obyek hak tanggungan juga dapat dilakukan dengan cara “parate
executie” sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 158 RBg
bahkan dalam hal tertentu penjualan dapat dilakukan dibawah tangan.9
Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dan
setiap bagian darinya. Dengan telah dilunasinya sebagian dari hutang yang
dijamin hak tanggungan tidak berarti terbebasnya sebagian obyek hak
9
tanggungan, melainkan hak tanggungan tersebut tetap membebani seluruh
obyek hak tanggungan untuk sisa hutang yang belum terlunasi. Dengan
demikian pelunasan sebagian hutang debitur tidak menyebabkan terbebasnya
sebagian obyek hak tanggungan.
Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan dijelaskan
bahwa hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi
(ondeelbaarheid). Sifat tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asalkan hal
tersebut telah diperjanjikan terlebih dahulu dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Hak
Tanggungan menyatakan bahwa hal yang telah diperjanjikan terlebih dahulu
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah pelunasan hutang
yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama
dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek
hak tanggungan. Sehingga hak tanggungan hanya membebani sisa dari obyek
hak tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi asalkan hak
tanggungan tersebut dibebankan kepada beberapa hak atas tanah yang terdiri
dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan yang
berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri.
C. Proses Pembebanan Hak Tanggungan
Tahap pembebanan hak tanggungan didahului dengan janji akan
Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari perjanjian utang piutang.
Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan dalam dua (2)
tahap, yaitu tahap pembebanan hak tanggungan dan tahap pendaftaran hak
tanggungan, yaitu sebagai berikut:10
1. Tahap Pembebanan Hak Tanggungan
Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan, “pemberian
hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku”. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang
berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam
rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu
mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.
2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, “pemberian
Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”. Pasal 13
ayat (2) menyatakan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah
penandatanganan APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang
bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
Warkah yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan
obyek hak tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan,
10
termasuk di dalamnya sertipikat hak atas tanah dan/atau surat-surat
keterangan mengenai obyek hak tanggungan. PPAT wajib melaksanakan
hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal tersebut
akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang jabatan PPAT.11
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan
membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak
atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut
pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Menurut ketentuan Pasal 14
ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai bukti
adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat hak
tanggungan. Hal ini berarti sertipikat hak tanggungan merupakan bukti adanya
hak tanggungan. Oleh karena itu maka sertipikat hak tanggungan dapat
membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada atau dengan
kata lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau
pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan12.
D. Objek dan Subjek Hak Tanggungan
1. Objek Hak Tanggungan
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
11
Ibid.
12
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah,
menyebutkan bahwa yang menjadi Objek Hak Tanggungan adalah:
a. Hak milik.
b. Hak guna usaha.
c. Hak guna bangunan.
d. Hak pakai atas tanah negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani
dengan hak tanggungan.
Walaupun tidak disebutkan secara tegas, tetapi mengingat hak
tanggungan merupakan bagian dari pengaturan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (vide Pasal 51
juncto Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria), maka kiranya bisa kita simpulkan, bahwa
hak-hak atas tanah yang menjadi objek hak-hak tanggungan, sebagaimana yang disebut
diatas, adalah hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Disamping itu, menurut
Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
berbunyi:
Jadi selain tanah, bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan
satu kesatuan dengan tanahnya dapat dijadikan objek hak tanggungan.
Perhatikan baik-baik syarat “merupakan satu-kesatuan” dengan tanahnya.
Namun, perlu diperhatikan dengan baik bahwa penyebutannya adalah: “juga
dapat dibebankan “pada hak atas tanah....”, dari cara penyebutan mana kita
tahu, bahwa bangunan, tanaman dan hasil karya itu hanya bisa menjadi objek
hak tanggungan kalau tanah diatas mana bangunan itu berdiri, tanaman itu
tumbuh dan hasil karya itu berada juga dijaminkan dengan hak tanggungan.
Benda-benda di luar tanah, yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tidak bisa dijaminkan dengan
Hak Tanggungan terlepas dari tanahnya.13
Penyebutan “yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah tersebut”
mengingatkan kita pada syarat “dipersatukan secara permanen atau nagelvast”
dan “dengan akar tertancap dalam tanah atau wortelvast” pada hipotik. Jadi,
walaupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria menganut asas hukum adat dan karenanya menganut
asas pemisahan horisontal, namun disini disyaratkan harus merupakan
satu-kesatuan dengan tanahnya. Kalau kita biasa membayangkan apa yang menjadi
satu-kesatuan dengan tanah adalah apa yang berada di atas tanah, maka
13
menurut penjelasan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah ternyata meliputi juga bangunan yang ada di permukaan tanah,
seperti basement. Jadi, yang ada dibawah tanah hanya meliputi bangunan, atau
bagian dari bangunan, yang ada dibawah tanah, dan ada hubungannya dengan
tanah yang ada diatasnya. Karenanya, tambang dan mineral tidak termasuk di
dalamnya.
2. Subjek Hak Tanggungan
Subjek Hak Tanggungan adalah:
a. Pemberi Hak Tanggungan
Pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
objek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat
pendaftaran hak tanggungan dilakukan. Penyebutan “orang perseroangan”
atau “badan hukum” adalah berlebihan, karena dalam pemberian hak
tanggungan objek yang dijaminkan pada pokoknya adalah tanah, dan
menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, yang bisa mempunyai hak atas tanah adalah baik
orang perserorangan maupun badan hukum -vide Pasal 21, Pasal 30, Pasal
Dasar Pokok-Pokok Agraria. Untuk masing-masing hak atas tanah, sudah
tentu pemberi hak tanggungan sebagai pemilik hak atas tanah harus
memenuhi syarat pemilikan tanahnya, seperti ditentukan sendiri-sendiri
dalam undang-undang.
Selanjutnya syarat, bahwa pemberi hak tanggungan harus mempunyai
kewenangan untuk mengambil tindakan hukum atas objek yang dijaminkan
adalah kurang lengkap, karena yang namanya tindakan hukum bisa
meliputi, baik tindakan pengurusan atau beschikkingsdaden, padahal
tindakan menjaminkan merupakan tindakan pemilikan bukan pengurusan,
yang tercakup oleh tindakan pengurusan. Jadi, lebih baik disebutkan,
bahwa syaratnya adalah pemberi hak tanggungan harus mempunyai
kewenangan tindakan pemilikan atas benda jaminan.
Kewenangan tindakan pemilikan itu baru disyaratkan pada saat pendaftaran
hak tanggungan menurut Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, bahwa orang
menjanjikan hak tanggungan pada saat benda yang akan dijaminkan belum
menjadi miliknya, asal nanti pada saat pendaftaran hak tanggungan, benda
jaminan telah menjadi milik pemberi hak tanggungan. Ini merupakan
upaya pembuat undang-undang untuk menampung kebutuhan praktik,
dimana orang bisa menjaminkan persil, yang masih akan dibeli dengan
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah banyak Kantor Pertanahan yang
ragu-ragu atau menolak pendaftaran hipotik jika kreditor merupakan orang
perorangan. Hal ini rupanya diantisipasi oleh pembentuk Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, sehingga kini orang perorangan
dimungkinkan secara tegas sebagai penerima hak tanggungan. Walaupun
demikian sejauh mungkin harus dicegah adanya praktik renternir, yang
menyalahgunakan peraturan hak tanggungan ini.14
b. Pemegang Hak Tanggungan
Pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum
yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Penerima hak
tanggungan, yang sesudah pemasangan hak tanggungan akan menjadi
pemegang hak tanggungan, yang adalah juga kreditor dalam perikatan
pokok, juga bisa orang perseorangan maupun badan hukum. Di sini tidak
ada kaitannya dengan syarat pemilikan tanah, karena pemegang hak
tanggungan memegang jaminan pada asasnya tidak dengan maksud untuk
nantinya, kalau debitor wanprestasi, memiliki persil jaminan.
Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai pemegang hak
14
tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum, yang
berkedudukan sebagai kreditor. Menentukan siapa yang bisa menjadi
pemegang hak tanggungan tidak sesulit menentukan siapa yang bisa
bertindak sebagai pemberi hak tanggungan. Karena seorang pemegang hak
tanggungan tidak berkaitan dengan pemilikan tanah dan pada asasnya
bukan orang yang bermaksud untuk memiliki objek hak tanggungan
bahkan memperjanjikan. Bahwa objek hak tanggungan akan menjadi milik
pemegang hak tanggungan, kalau debitor wanprestasi adalah batal demi
hukum sesuai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah.
Dari penegasan bahwa yang bisa bertindak sebagai pemegang hak
tanggungan adalah “orang-perseorangan” atau “badan hukum”, kita bisa
menyimpulkan bahwa yang bisa menjadi pemegang hak tanggungan adalah
orang alamiah ataupun badan hukum. Yang namanya badan hukum bisa
Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Perkumpulan yang telah memperoleh
status sebagai badan hukum ataupun yayasan. Diatas tidak disebutkan
Perseroan Komanditer atau commanditer venootschap. Ini membawa
persoalan lain, yaitu apakah Perseroan Komanditer bisa bertindak sebagai
pemegang hak tanggungan, mengingat bahwa Perseroan Komanditer di
indonesia belum secara resmi diakui sebagai badan hukum, sekalipun harus
tidak resmi dari anggota masyarakat, seakan-akan Perseroan Komanditer
bisa mempunyai hak dan kewajiban sendiri.15
15
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG EKSEKUSI
A. Pengertian Eksekusi
Tartib, mengatakan bahwa :
Eksekusi adalah merupakan tahap akhir dari penyelesaian suatu perkara perdata di Pengadilan. Ini berarti, bahwa dengan diputusnya suatu perkara di Pengadilan, maka suatu sengketa itu masih belum berakhir. Sengketa itu baru dikatakan berakhir, apabila putusan yang berkekuatan hukum tetap (BHT) itu telah selesai dieksekusi secara sempurna.16
Menurut M. Yahya Harahap “eksekusi ialah tindakan yang dilakukan
secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara, biasanya tindakan
eksekusi baru merupakan masalah apabila pihak yang kalah ialah pihak
tergugat”.17
Eksekusi adalah upaya paksa. Dikatakan demikian, karena merupakan
upaya untuk melaksanakan putusan hakim yang bersifat condemnatoir (baik
putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap maupun putusan hakim
dengan perintah uitvoerbaar bij voorrad, yang telah memperoleh izin atau
persetujuan pelaksanaan dari Ketua pengadilan Tinggi atau Ketua Mahkamah
Agung dan akta dengan secara paksa, karena pihak yang kalah perkara
tidak mau memenuhi bunyinya putusan secara sukarela atau debitur tidak
membayar hutang pokok beserta bunganya.
16
Tartib, Catatan Tentang Parete Eksekusi, Varia Peradilan tahun XI - No. 124 Januari 1996, hal. 148.
17
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 6.
Oleh karena itu maka perkataan "eksekusi" atau pelaksanaan sudah
mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan itu
secara sukarela sehingga putusan itu harus dipaksakan dengan bantuan
“kekuatan umum". Dengan "kekuatan umum" ini dimaksudkan polisi, kalau
perlu militer (angkatan bersenjata).
Sebagaimana juga telah diterangkan, maka putusan pengadilan yang
perlu dieksekusi atau dilaksanakan itu hanyalah putusan-putusan yang amar
atau diktumnya adalah "condemnatoir" saja, artinya mengandung suatu
"penghukuman" atau "konstitutif", tidak perlu dieksekusi atau dilaksanakan,
karena begitu putusan-putusan yang demikian itu diucapkan, maka keadaan
yang dinyatakan sah oleh putusan deklaratoir mulai berlaku pada saat itu juga,
atau dalam halnya putusan konstitutif, keadaan baru sudah tercipta pada detik
itu pula.
Putusan condemnatoir bisa berupa penghukuman untuk :
1. Menyerahkan suatu barang 2. Mengosongkan sebidang tanah 3. Melakukan suatu perbuatan tertentu 4. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan 5. Membayar sejumlah uang.18
Eksekusi atau pelaksanaan terhadap diktum-diktum tersebut di atas,
yang tidak berupa pembayaran sejumlah uang sering juga dinamakan eksekusi
riel.
18
Pelaksanaan atau eksekusi suatu putusan yang menghukum seseorang
untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, mendapatkan pengaturan secara
khusus dalam Pasal 225 HIR dengan judul “tentang beberapa acara khusus"
(Van enige bijzondere rechtsplegingen).
Disini diterangkan, bahwa apabila seseorang dihukum untuk
melakukan suatu perbuatan tertentu, maka apabila pihak yang dihukum untuk
melakukan perbuatan tersebut tidak suka melakukannya, pihak yang
berkepentingan harus menghadap kepada hakim lagi untuk meminta agar
perbuatan tersebut dinilai dengan sejumlah uang. Menurut ketentuan ayat 2
dari Pasal 225 itu, maka Ketua Pengadilan Negeri membawa persoalan itu ke
sidang pengadilan lagi dan setelah mendengar atau setelah si berutang
dipanggil dengan patut, pengadilan menolak permohonan atau
mengabulkannya untuk sejumlah uang yang diminta atau untuk suatu jumlah
uang yang kurang dari itu dan selanjutnya menghukum si berutang untuk
membayar uang tersebut. Dengan demikian maka diktum yang tadinya
berbunyi : "menghukum si tergugat untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu", sekarang diganti dengan diktum yang berbunyi : "menghukum si
tergugat untuk membayar sejumlah uang kepada penggugat".
Sebagaimana kita telah melihat, kalau diktum sudah berupa
penghukuman untuk membayar sejumlah uang itu, maka diktum yang
demikian itu dapat diwujudkan, artinya itu dapat dilakukan eksekusinya
penyitaan terhadap harta benda si tergugat, pelelangan harta benda tersebut,
dan seterusnya, sampai penggugat menerima jumlah uang yang menjadi
haknya menurut putusan pengadilan.
Sebenarnya, hakim yang mengabulkan gugatan dengan menghukum si
tergugat untuk melakukan perbuatan yang disebutkan dalam amar (diktum) itu,
sudah harus memperhitungkan kemungkinan tentang tidak akan
dilaksanakannya secara sukarela perbuatan tersebut dan di dalam amar
(diktum) putusan tersebut sudah harus memberikan pula penghukuman
membayar sejumlah uang sebagai gantinya, sekedar hal itu diminta oleh
penggugat. Kalau perbuatan yang menurut diktum putusan harus dilaksanakan
oleh si tergugat itu berupa suatu perbuatan yang dengan mudah dapat
dilakukan juga dikuasakan (dalam diktum putusan) untuk melaksanakannya
sendiri atas biaya si tergugat. Namun juga disini, kalau si tergugat kemudian
tidak mau membayar biaya tersebut, masih juga diperlukan putusan hakim lagi
yang menghukumnya untuk membayar biaya tersebut. Suatu perbuatan yang
dengan mudah dapat dilakukan orang lain (artinya tidak usah oleh tergugat
sendiri) adalah misalnya membuat sebuah kandang ayam. Lain halnya dengan
membuat sebuah lukisan.
Suatu perkara perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan
kepada pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian.
Pemeriksaan perkara memang diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan
dilaksanakan atau dijalankan. Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya
apabila tidak dapat dilaksanakan, oleh karena itu putusan hakim mempunyai
kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan
dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Adapun yang memebri
kekuatan eksekutorial pada putusan hakim ialah kepala putusan yang berbunyi
“Demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.
Tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan dalam arti kata yang
sebenarnya, yaitu secara paksa oleh pengadilan. Hanya putusan comdemnatoir
sajalah yang dapat dilaksanakan. Putusan declaratoir dan constitutif tidaklah
memerlukan sarana-sarana pemaksa untuk melaksanakannya. Karena tidak
dimuat adanya hak atas suatu prestasi, maka terjadinya akibat hukum tidak
tergantung pada bantuan atau kesediaan dari pihak yang dikalahkan, maka oleh
karena itu tidak diperlukan sarana-sarana pemaksa untuk menjalankannya.
Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
pasti dapat dilaksanakan secara sukarela oleh yang bersangkutan, yaitu oleh
pihak yang dikalahkan. Apabila suatu perkara telah diputus dan telah
memperoleh kekuatan hukum yang pasti, maka pihak yang dikalahkan secara
sukarela dapat melaksanakan putusan tersebut. Dengan demikian maka
selesailah perkaranya tanpa bantuan dari Pengadilan dalam melaksanakan
putusan tersebut. Tetapi terkadang ditemui suatu keadaan pihak yang kalah
tidak menjalankan keputusan pengadilan sehingga dalam kapasitas ini
Akan tetapi mungkin bahkan sering terjadi bahwa pihak yang
dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela sehingga
diperlukan bantuan dari pengadilan untuk melaksanakan putusan tersebut
secara paksa. Pihak yang dimenangkan dalam putusan dapat mohon
pelaksanaan (eksekusi) kepada pengadilan yang akan melaksanakannya secara
paksa (execution forcee).
Pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakekatnya tidak lain
ialah realisasi dari pada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi
prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.
Dalam RV ada juga suatu kemungkinan untuk menetapkan uang
paksa, yang dimaksudkan untuk mendorong si tergugat melakukan perbuatan
yang harus dilakukannya menurut diktum putusan (Pasal 606 RV). Apabila
perbuatan yang diperintahkan dalam putusan itu tidak dilakukan, maka
penggugat tinggal langsung menuntut pembayaran jumlah uang paksa yang
telah menjadi haknya untuk dieksekusikan menurut cara yang berlaku untuk
melaksanakan penghukuman membayar sejumlah uang.
Dalam Pasal 606 a RV itu ditegaskan juga bahwa lembaga uang paksa
itu tidak dapat diterapkan dalam suatu putusan yang mengandung diktum
penghukuman membayar sejumlah uang.
Oleh karena penghukuman untuk membayar sejumlah uang itu selalu
dapat diwujudkan, maka sudah semestinya bahwa tidaklah perlu ia disertai
membayar sejumlah uang dan mencantumkan uang paksa untuk penghukuman
itu, putusan tersebut adalah keliru.
Suatu persoalan lagi yang menyangkut eksekusi suatu putusan
pengadilan adalah masalah “ penyanderaan “ atau gijzeling “ yang oleh HIR
diperbolehkan dan diatur dalam hal tidak terdapatnya sama sekali/tidak
terdapatnya cukup barang-barang kepunyaan si tergugat (si terhukum) untuk
menjamin pelaksanaan putusan (Pasal 209). Penyanderaan terhadap seorang
terhukum yang tidak mempunyai apa-apa lagi itu, dimaksudkan untuk
memaksa sanak keluarganya membayar apa yang harus dibayar menurut
putusan pengadilan itu.
Mengenai lembaga penyanderaan atau gijzeling itu, dapat diterangkan
bahwa Mahkamah Agung dengan surat edarannya tertanggal 22 Januari 1964
kepada semua Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh
Indonesia telah menyatakan pendapatnya, bahwa penyanderaan seseorang
adalah bertentangan dengan rasa kemanusiaan dan oleh karena itu
menginstruksikan para hakim untuk tidak menggunakan peraturan-peraturan
mengenai penyanderaan (gijzeling) itu sebagaimana yang dimaksudkan dalam
Pasal-Pasal 209 sampai dengan 224 HIR (258 Rbg).
Meskipun telah timbul pendapat-pendapat pro dan kontra terhadap
surat edaran Mahkamah Agung tersebut, dimana pihak yang tidak menyetujui
pendapat Mahkamah Agung mengemukakan bahwa ketidak mampuan si
bahwa masih ada peraturan-peraturan tentang penyanderaan itu di berbagai
negara lain.
Meskipun demikian dapatlah dikatakan bahwa penyanderaan yang
dilaksanakan tersebut bertentangan dengan perikemanusiaan.
B. Dasar Hukum Eksekusi
Ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum
yang tercantum dalam putusan pengadilan, eksekusi itu dapat diklasifikasikan
menjadi dua bentuk, yaitu eksekusi riil dan eksekusi pembayaran hutang.
Disebut eksekusi riil apabila sasaran hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar putusan atau diktum putusan itu ialah melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan rill, dan disebut eksekusi pembayaran uang apabila hubungan hukum yang mesti dipenuhi sesuai dengan amar putusan itu ialah melakukan pembayaran sejumlah uang.19
Eksekusi pembayaran uang diatur dalam Pasal 195 sampai dengan
Pasal 208, plus Pasal 224 HIR/Pasal 206 sampai dengan Pasal 240, plus Pasal
258 RBg. Pada umumnya eksekusi bentuk ini bersumber dari perjanjian
hutang atau penghukuman membayar ganti kerugian berdasarkan wanprestasi.
Namun secara kwantitatif, eksekusi ini hampir bersumber dari penghukuman
membayar hutang. Apabila tergugat sebagai debitur enggan melunasi
pembayaran sejumlah uang yang dihukumkan kepadanya secara sukarela,
19
terbukalah kewenangan pengadilan menjalankan putusan secara paksa melalui
eksekusi, dengan jalan penjualan lelang harta kekayaan tergugat di depan
umum. dari hasil penjualan lelang secara nyata, masih diperlukan berbagai
tata cara dan pentahapan yang dibarengi dengan berbagai macam persyaratan.
“Boleh dikatakan, penjualan lelang dan penyerahan uang hasil penjualan
lelang kepada pihak penggugat (pihak yang menang) merupakan tahap akhir
proses eksekusi pembayaran sejumlah uang”.20
Untuk eksekusi bentuk ini, telah ditentukan prosedur dan formalitas
yang agak rumit, dan hal ini memang diperlukan agar jangan sampai terjadi
penyalahgunaan yang merugikan penggugat pada pihak yang lain.
Apalagi ditinjau dari segi praktek, eksekusi bentuk ini pada umumnya
tetap melalui proses penjualan lelang terhadap harta benda kekayaan tergugat,
sehingga diperlukan tata cara yang cermat dalam pelaksanaannya. Aturan
rincian tata tertib eksekusi bentuk ini, dapat dilihat dalam Pasal 195 sampai
dengan 208 HIR/206 sampai dengan 240 RBg.
Sedangkan Tartib, mengatakan :
Eksekusi terhadap putusan Hakim ada 3 macam yakni :
a. Eksekusi terhadap putusan Hakim, yang menghukum pihak yang kalah perkara untuk membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR, 208 RBg).
b. Eksekusi terhadap putusan Hakim, yang menghukum pihak yang kalah perkara untuk melakukan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR, 259 RBg).
c. Eksekusi terhadap putusan Hakim, yang menghukum pihak yang kalah perkara untuk mengosongkan barang tak bergerak (eksekusi
20 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit
riil, Pasal 1033 RV).21
C. Asas-Asas Eksekusi
Asas-Asas eksekusi meliputi:
1. Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Putusan pengadilan tidak semuanya mempunyai kekuatan hukum
eksekutorial, sehingga tidak semua putusan pengadilan dapat dieksekusi.
Meski dalam kasus-kasus tertentu undang-undang memperbolehkan eksekusi
terhadap putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam
konteks ini ekskusi dilaksanakan bukan sebagai tindakan menjalankan putusan
pengadilan, tetapi menjalankan eksekusi terhadap bentuk-bentuk hukum yang
dipersamakan undang-undang sebagai putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Beberapa bentuk pengecualian eksekusi yang
dibenarkan undang-undang tersebut meliputi : pelaksanaan putusan terlebih
dahulu, pelaksanaan putusan provisi, akta perdamaian, dan eksekusi terhadap
grose akta.
2. Putusan hakim yang akan dieksekusi harus bersifat menghukum
(condemnatoir)
Eksekusi dapat dijalankan hanya untuk putusan yang bersifat
condemnatoir, yakni putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur
penghukuman. Adapun ciri yang dijadikan indikator menentukan suatu
21
putusan bersifat condemnatoir, dalam amar atau diktum putusan terdapat
perintah yang menghukum pihak yang kalah, yang dirumuskan dalam kalimat
sebagai berikut:
a. Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan” suatu barang.
b. Menghukum atau memerintahkan “pengosongan” sebidang tanah dan
rumah.
c. Menghukum atau memerintahkan “melakukan” suatu perbuatan tertentu.
d. Menghukum atau memerintahkan “penghentian” suatu perbuatan atau
keadaan.22
3. Putusan tidak dijalankan secara sukarela
Pelaksanaan isi putusan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
jalan sukarela dan dengan jalan eksekusi. Pada prinsipnya eksekusi sebagai
tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah
(tergugat) tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela.
Jika tergugat bersedia memenuhi dan menaati putusan secara sukarela,
tindakan eksekusi tidak perlu dilakukan.
Bentuk menjalankan putusan secara sukarela, pihak yang kalah
memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Tergugat tanpa
paksaan dari pihak manapun menjalankan pemenuhan hubungan hukum yang
dijatuhkan padanya. Eksekusi dalam suatu perkara baru tampil dan berfungsi
22
apabila pihak tergugat tidak bersedia menaati dan menjalankan putusan secara
sukarela. Keengganan tergugat menjalankan pemenuhan putusan secara
sukarela akan menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang
disebut “eksekusi”.23
4. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan yang
dilaksanakan oleh Panitera dan Jurusita pengadilan yang bersangkutan.
Kewenangan menjalankan eksekusi terhadap putusan pengadilan
mutlak hanya diberikan kepada instansi peradilan tingkat pertama. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 195 ayat (1) HIR atau Pasal 206 Ayat (1) RBg.
Menurut ketentuan Pasal 195 Ayat (1) HIR disebutkan : “hal menjalankan
putusan hakim oleh pengadilan dalam perkara yang mula-mula diperiksa oleh
Pengadilan Negeri, dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri yang mula-mula memeriksa perkara itu”.
Kewenangan Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan dan memimpin
eksekusi merupakan kewenangan formal secara ex officio. Kewenangan Ketua
secara ex officio meliputi : sejak melakukan sita eksekusi dan pelaksanaan
lelang, yaitu sejak dari proses pertama sampai dengan tindakan pengosongan
dan penjualan barang yang dilelang kepada pembeli atau sampai penyerahan
dan penguasaan barang kepada para penggugat/pemohon eksekusi pada
eksekusi riil.
Kewenangan secara ex officio dapat dibaca dalam Pasal 197 Ayat HIR
atau Pasal 209 RBg. Gambaran konstruksi hukum kewenangan menjalankan
23
eksekusi dengan singkat adalah sebagai berikut:24
1) Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi
;
2) Kewenangan memerintahkan dan memimpin eksekusi yang ada pada Ketua
Pengadilan Negeri adalah secara ox officio;
3) Perintah eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri berbentuk surat
penetapan ;
4) Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah panitera atau jurusita
Pengadilan Negeri.
5. Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan
Eksekusi tidak boleh menyimpang dari amar putusan, karena jika
terjadi penyimpangan dari amar putusan, maka ada hak tereksekusi untuk
menolak pelaksanaannya. Keberhasilan eksekusi antara lain salah satunya
ditentukan oleh kesempurnaan dan kelengkapan amar putusan yang
baik/sempurna dapat dilihat dari pertimbangan-pertimbangan hukum yang kuat
dan hasil pemeriksaan yang lengkap dan teliti terhadap bukti-bukti, saksisaksi
serta pihak berdasarkan gugatan yang baik.
24
D. Eksekusi Hak Tanggungan
Eksekusi Hak Tanggungan sendiri diatur dalam Pasal 20
Undang-undang Hak Tanggungan, yang menyatakan sebagai berikut :
Pasal 20 Ayat (1) :
Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.
Pasal 20 Ayat (2):
Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek
Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian
itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang meng-untungkan semua pihak.
Pasal 20 Ayat (3):
Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-undang Hak Tanggungan
tersebut, Eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara,
yaitu :
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan.
2. Eksekusi atas titel eksekutorial yang terdapat pada Sertifikat Hak
Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).
Irah-irah (kepala putusan) yang dicantumkan pada Sertipikat Hak Tanggungan
memuat kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG YAHA ESA", dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan
eksekutorial pada sertifikat hak tanggungan, sehingga apbaila debitur
cidera janji, siap untuk di eksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan
dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan Hukum
Acara Perdata, atau
3. Eksekusi dibawah tangan, yaitu penjualan objek hak tanggungan yang
dilakukan oleh Pemberi Hak Tanggungan, berdasarkan kesepakatan dengan
pemegang hak tanggungan, jika dengan cara ini akan diperoleh harga yang
tertinggi.
Berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) huruf b Undang-undang Hak
Tanggungan dijelaskan bahwa titel eksekutorial pada sertifikat Hak
Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-undang Hak
Tanggungan dapat dijadikan dasar penjualan obyek Hak Tanggungan melalui
pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan
Tanggungan dikemukakan tiga jenis eksekusi Hak Tanggungan yaitu :
1. Apabila debitur cidera janji, maka kreditur berdasarkan hak pemegang Hak
Tanggungan Pertama dapat menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan, obyek Hak
Tanggungan dijual melalui pelelangan umum;
2. Apabila debitur cidera janji, berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat
dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
Ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan
umum;
3. Atas kesepakatan pemberi dan pemenang Hak Tanggungan, penjualan
obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan
BAB IV
PELAKSANAAN PARATE ESEKUSI HAK TANGGUNGAN KREDIT
BERMASALAH DI PT. BANK DANAMON
A. Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Bermasalah di Bank Danamon
Istilah penggolongan kredit bermasalah merupakan istilah yang lazim
digunakan untuk menunjukkan penggolongan kolektibilitas kredit yang
menggambarkan kualitas kredit itu sendiri.25
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/68/KEP/DIR tentang
penggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan
atas Aktiva. peraturan tersebut telah beberapa kali diubah, yaitu dengan
Surat Keputusan Direkstur Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal
29 Mei 1993 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.
Semula pengaturan mengenai
penggolongan kolektibilitas kredit terdapat dalam ketentuan sebagai berikut:
b. Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal
20 Februari 1998 Tentang Kualitas Aktiva Produktif.
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/148/KEP/DIR tanggal
12 November 1998 Tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif.
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/6/PBI/2002 tentang Perubahan atas
25
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 552.