• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM POLIS STANDAR KEBAKARAN INDONESIA (PSKI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM POLIS STANDAR KEBAKARAN INDONESIA (PSKI)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASIDALAM POLIS STANDAR KEBAKARAN INDONESIA (PSKI)

(Skripsi)

Oleh

Jonathan Adi Biran Munandir

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASIDALAM POLIS STANDAR KEBAKARAN INDONESIA (PSKI)

Oleh

JONATHAN ADI BIRAN MUNANDIR

Klausula eksonerasi merupakan klausula yang isinya mengurangi bahkan membebaskan diri dari tanggung jawab. Klausula eksonerasi merupakan salah satu jenis klausula yang lazim digunakan dalam perjanjian asuransi. Penelitian ini, klausula eksonerasi terdapat dalam Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI). PSKI merupakan bentuk polis yang diwajibkan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan No.216/KMK.011/1981 bagi perusahaan asuransi.

Penelitian ini mengkaji tentang bagaimanakah strukturisasi dalam PSKI, bagaimanakah peran klausula eksonerasi dalam PSKI, dan bagaimanakah akibat hukum penerapan klausula eksonerasidalam PSKI.

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif terapan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan studi dokumen, dengan dianalisis secara kualitatif.

(3)

Jonathan Adi Biran Munandir

kemampuan tertanggung (Pasal 1245 KUHPerdata), atas cacat benda asuransi (Pasal249 KUHD), dan pemberatan risiko yang dilakukan oleh tertanggung (Pasal 293 KUHD). Akibat hukum penerapan klausula eksonerasi dalam PSKI tidak dilarang sejauh penerapan klausula eksonerasi tersebut melalui kesepakatan antara penanggung dan tertanggung (Pasal 1320 KUHPerdata), kesepakatan para pihak tersebut tidak berada di bawah kekhilafan, paksaan, penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata). Kesepakatan tersebut juga harus dibuat secara bebas (Pasal 1338 KUHPerdata), serta dilaksanakan dengan iktikad baik sesuai dengan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum, melanggar kesusilaan, ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata).

(4)

ANALISIS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASIDALAM POLIS STANDAR KEBAKARAN INDONESIA (PSKI)

Oleh

JONATHAN ADI BIRAN MUNANDIR

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Jonathan Adi Biran Munandir

penulis dilahirkan pada tanggal 23 Januari 1993 di Jakarta.

Penulis merupakan anak Keempat dari empat bersaudara,

dari pasangan Bapak Mulyadi dan (Almh) Ibu Tuti

Herawati.

Penulis menyelesaikan: Sekolah Dasar di SD Teladan Metro pada tahun 2004,

Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri I Metro pada tahun 2007 dan Sekolah

Menengah Atas di SMA Negeri I Metro pada Tahun 2010.

Pada tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Unila

melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB). Selama

menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi Pusat Studi

Bantuan Hukum (PSBH) dan HIMA Perdata Fakultas Hukum. Penulis menjabat

sebagai Hubungan Masyarakat HIMA Perdata kepengurusan tahun 2013-2014.

Pada tahun 2013 penulis mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik

(8)

MOTO

“Wa laa haula wa laa quwwata illa billahil „Aliyyil „Azhiim.”

Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah yang Maha Agung

“Resiko datang dari ketidaktahuan akan apa yang anda lakukan.”

(Warren Buffett)

“Hanya dengan bermodal kreativitas dan banyak membaca, cakrawala ilmu pengetahuan itu

akan berkembang dan bertambah jauh menatap ke hari depan yang lebih bermakna.

(9)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa puji dan syukur kehadirat Allah SWT dengan segala kerendahan hati kupersembahkan kepada :

Bapak Mulyadi dan Ibu Tuti Herawati (Almh)

Terima Kasih atas segala kasih sayang, pengorbanan dan doa dalam setiap langkah yang kujalani

Almamater Universitas Lampung

(10)

SANWACANA

Dengan mengucapkan syukur Subhanallah Walhamdulillah Barokallah, atas

kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkat, rahmat dan taufik serta

hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang

berjudul “Analisis Penerapan Klausula Eksonerasi Dalam Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan ilmu pengetahuan,

bimbingan, dan masukan yang bersifat membangun dari berbagai pihak, maka

pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum., Ketua Bagian Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Aprilianti, S.H., M.H., Sekretaris Bagian Hukum Keperdataan.

4. Bapak Dr. Hamzah, S.H, M.H., Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan

waktu untuk membimbing, memberikan masukan, motivasi dan mengarahkan

penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Yulia Kusuma Wardani, S.H., L.L.M., Dosen Pembimbing II yang telah

(11)

mencurahkan segenap pemikirannya untuk membimbing penulis dengan

penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Rilda Murniati, S.H., M.Hum., Dosen Pembahas I yang telah memberikan

kritik, saran dan masukan yang bermanfaat dalam penulisan skripsi ini.

7. Ibu Lindati Dwiatin, S.H., M.Hum., Dosen Pembahas II yang juga telah

memberikan kritik, saran dan masukan yang bermanfaat dalam penulisan

skripsi ini.

8. Bapak Eko Rahardjo, S.H., M.H., Pembimbing Akademik atas bimbingan dan

pengarahan kepada penulis selama menjalankan studi di Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

9. Seluruh Bapak/Ibu dosen dan karyawan/ti Fakultas Hukum Universitas

Lampung yang penuh ketulusan, dedikasi untuk memberikan ilmu yang

bermanfaat dan motivasi bagi penulis, serta segala kemudahan dan

bantuannya selama penulis menyelesaikan studi.

10. Teristimewa untuk Bapak Mulyadi, dan (Almh) Ibu Tuti Herawati. Orang tua

terhebat yang tiada henti memberikan kasih sayang, semangat dan doa untuk

kesuksesan dan kebahagian penulis.

11. Untuk ketiga kakakku Paulita Ratna Putri Herawati, S.Psi., Angga Kusuma

Wardani dan Filia Tri Susanti, S.E., yang telah memberikan semangat dan

doa.

12. Untuk semua kakak iparku Aditya Puntadewa S.KM, Santosa, Dr. Radityo

Kusumo, S.H., S.E., yang telah memberikan semangat dan do’a.

13. Semua teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2010: Ibnu, Silva, Vinda,

(12)

Devy, Nabila, Bela, Doni, Dendri, Rindi, Wana, Kelvin, Ardi, Rama, Itqoh,

Gilang, Bismar, Harsa dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan

satu persatu atas doa, dukungan, dan kerjasamanya.

14. Teman-teman seperjuangan saat bimbingan skripsi: Taufan, Ridwan, Triana,

Adit dan Abram. Terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya selama kita

bimbingan bersama.

15. Teman-teman KKN Kota Agung: Taufik, Ria, Feni, Ari, Lona, Nanda, Devi,

Bela, Elsa, Sri, atas kebersamaan selama 40 hari dan do’a dalam penulisan

skripsi ini.

16. Teman-teman di Metro: Sandi, Rahmat, Erdit, Fangky, Ginda, Bayu, Satria,

atas doa, dukungan dan kerjasamanya.

17. Almamater tercinta Universitas Lampung.

18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu

penulis menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua doa, bantuan dan

dukungannya.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemuliaan, kebahagiaan yang telah

diberikan kepada penulis. Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih

jauh dari kesempurnaan, namun ada sedikit harapan semoga skripsi ini bermanfaat

bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan

mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, Oktober 2014 Penulis,

(13)

DAFTAR ISI Halaman ABSRAK JUDUL DALAM HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP MOTO PERSEMBAHAN SANWACANA DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 5

C.Tujuan Penelitian ... 5

D.Manfaat Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Tinjauan Umum mengenai Hukum Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian ... 7

2. Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian ... 8

3. Syarat Sahnya Perjanjian ... 13

4. Pengertian Perjanjian Baku ... 16

B.Tinjauan tentang Asuransi 1. Pengertian Perjanjian Asuransi ... 20

2. Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi ... 20

3. Prisnip Dasar dalam Perjanjian Asuransi ... 22

4. Jenis-Jenis Asuransi ... 26

5. Polis Asuransi ... 28

6. Jenis-Jenis Klausula dalam Polis Asuransi ... 29

C.Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI) ... 32

D.Kerangka Pikir ... 34

III. METODE PENELITIAN A.Jenis Penelitian ... 36

(14)

C.Pendekatan Masalah ... 37

D.Sumber Data ... 37

E. Pengumpulan Data ... 38

F. Pengelolaan Data ... 39

G.Analisis Data ... 39

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Strukturisasi Klausula Eksonerasidalam Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI) ... 40

B.Peran Klausula Eksonerasi dalam Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI) ... 49

C.Akibat Hukum Penerapan Klausula Eksonerasidalam Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI) ... 60

V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 64

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 28 huruf H ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Untuk mewujudkan hidup yang

sejahtera lahir dan batin ini kadang kala manusia dihadapkan dengan banyak

risiko serta keadaan-keadaan di luar batas kemampuannya. Risiko adalah segala

hal yang bisa terjadi pada diri manusia yang tidak diinginkan untuk terjadi, setiap

manusia memiliki risiko atas apapun yang dia lakukan, selain itu hidup manusia

juga mengandung banyak risiko.1

Risiko muncul dalam setiap kegiatan manusia, yang mengancam terhadap setiap

harta benda yang dimiliki bahkan mengancam pula keselamatan jiwa dan raga

seseorang. Untuk mengantisipasi terjadinya risiko tersebut, pada umumnya orang

perorangan/badan hukum bekerja sama dengan suatu perusahaan yang berperan

mengecilkan kerugian yang ditimbulkan oleh risiko atau mengambil alih risiko

seluruhnya, perusahaan tersebut dikenal dengan perusahaan asuransi.

1

(16)

2

Kerja sama yang dilakukan antara perusahaan asuransi dan orang

perorangan/badan hukum adalah pengalihan risiko dalam bentuk membagi beban

risiko baik sebagian maupun seluruhnya. Pengalihan risiko ini mengakibatkan

pemindahan risiko kepada perusahaan asuransi tersebut. Hal ini menjadikan

perusahaan asuransi sebagai penanggung, yaitu pihak yang menanggung sebagian

atau seluruh beban risiko yang terjadi, sedangkan orang perorangan/badan hukum

yang mengalihkan risiko tersebut dikenal sebagai tertanggung.

Penanggung yang merupakan pelaku usaha dibidang asuransi menerapkan metode

yang efektif dan efisien yaitu menyediakan surat perjanjian dalam bentuk baku

kepada calon tertanggung. Dikatakan bersifat baku karena, baik perjanjian

maupun klausula yang terdapat di dalamnya, tidak mungkin ditawar-tawar dan

tidak bisa dinegosiasikan untuk mengubah klausula-klausula yang dibuat oleh

penanggung, seperti ganti kerugian dan cara penyelesaian yang tidak dapat

ditawar lagi.

Dalam perjanjian baku juga terdapat default clauses yaitu klausula yang memberikan

hak salah satu pihak yang lebih kuat kedudukannya untuk memutuskan sebelum

waktunya dalam hal-hal tertentu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, hal tersebut

menjadikan kelebihan/keuntungan bagi penanggung dalam melakukan perjanjian

asuransi. Adapun kelebihan-kelebihan lain dari perjanjian baku khususnya

dibidang asuransi bagi penanggung antara lain:

1. Efisiensi dalam penggunaan biaya, tenaga, dan waktu.

2. Praktis karena sudah tersedia naskah yang tercetak berupa formulir atau blanko

(17)

3

3. Penyelesaian cepat, karena konsumen hanya menyetujui dan/atau

menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya.

4. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah banyak.2

Sedangkan kelemahan dari perjanjian baku adalah kurangnya kesempatan bagi

tertanggung untuk bernegosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam

perjanjian, karena tidak mempunyai kekuatan menawar (bargaining power),

sehingga perjanjian tersebut sangat berpotensi untuk menjadi klausula yang berat

sebelah. Perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausula dibakukan tersebut

hanya menonjolkan hak-hak yang ada pada pihak penanggung.

Dalam prakteknya, penanggung tidak hanya membuat perjanjian dalam bentuk

baku saja, akan tetapi penanggung juga tidak segan-segan menetapkan klausula

yang isinya mengurangi bahkan membebaskan diri penanggung dari tanggung

jawab. Klausula ini dikenal dengan istilah klausula eksonerasi. Penerapan

Klausula eksonerasi tersebut tidak hanya terdapat pada polis asuransi kebakaran

saja, tetapi terdapat juga pada semua polis asuransi di Indonesia. Pada penelitian

skripsi ini penulis hanya meneliti penerapan klausula eksonerasi pada asuransi

kebakaran.

Klausula eksonerasi tersebut dituangkan dalam polis khusus bagi asuransi

kebakaran yaitu dengan menggunakan Polis Standar Kebakaran Indnesia (PSKI)

yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan dengan Surat Keputusan

2

(18)

4

No.216/KMK.011/1981 tertanggal 23 april 1981.3 Dengan adanya penambahan

klausula eksonerasi yang dibakukan semakin membuat tertanggung dalam posisi

yang sangat lemah, yaitu terjadi perbedaan posisi tawar antara penanggung dan

tertanggung, akibatnya tertanggung memiliki kesempatan terbatas untuk

menentukan isi dari perjanjian yang dibuat oleh penanggung.

Untuk itu perlu adanya kajian-kajian mengenai penerapan klausula eksonerasi

dalam PSKI. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai klausula eksonerasi yang

tertuang dalam PSKI. Penulis tertarik melakukan penelitian tersebut yang akan

penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul “Analisis Penerapan Klausula Eksonerasidalam Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI)”.

B.Perumusan Masalah

Dari uraian yang terdapat dalam latar belakang di atas yang menjadi rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah strukturisasi dalam Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI)?

2. Bagaimanakah peran klausula eksonerasi dalam Polis Standar Kebakaran

Indonesia (PSKI)?

3. Bagaimanakah akibat hukum penerapan klausula eksonerasi dalam Polis

Standar Kebakaran Indonesia (PSKI)?

3

(19)

5

C.Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk memperoleh penjelasan secara

lengkap, rinci, jelas, dan sistematis mengenai:

1. Strukturisasi dari Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI) yang dijadikan

acuan dalam pembuatan polis kebakaran disetiap perusahaan asuransi

kebakaran di Indonesia.

2. Peran klausula eksonerasi dalam Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI)

bagi para pihak.

3. Akibat hukum yang ditimbulkan dari penerapan klausula eksonerasi dalam

Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI).

D.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan input baik secara teoritis

maupun secara praktis:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

kajian ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam penerapan Hukum Perdata

Ekonomi. Penelitian mengenai penerapan klausula eksonerasi dalam Polis

Standar Kebakaran Indonesia (PSKI) diharapkan dapat membantu para

akademisi, para dosen dan para mahasiswa hukum.

2. Manfaat Praktis

Manfaat secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk

(20)

6

Ekonomi, dan menjadi masukan bagi para pembaca, serta dapat digunakan

dalam pelaku usaha sebagai refrensi dalam penerapan klausula eksonerasi

dalam polis dengan baik. Hal ini diharapkan sejalan dengan penerapan klausula

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjauan Umum mengenai Hukum Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi: ”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Jika dalam KUHPerdata ini

pengertian perjanjian diartikan hanya mengikatkan diri terhadap satu orang atau

lebih, berbeda dengan pendapat dari Soebekti yang mengemukakan pengertian

perjanjian yang lebih luas, yaitu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang

berjanji kepada seseorang lain atau dimana orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal.4 Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad

berpendapat bahwa perjanjian itu adalah suatu persetujuan dengan mana dua

orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal di lingkungan

lapangan harta kekayaan.5 Dari ketiga definisi tentang perjanjian tersebut, dapat

diartikan bahwa perjanjian adalah perbuatan/tindakan yang dilakukan dua orang

atau lebih untuk melakukan suatu hal hingga tercapainya kata sepakatan dari para

pihak di lingkungan harta kekayaan, yang dimaksud harta kekayaan dalam suatu

4

Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermesa, Jakarta, 2002, hlm. 1. 5

(22)

8

perjanjian tidak hanya harta benda, tetapi kesehatan pun dapat dimaksudkan

sebagai harta kekayaan. Karena kesehatan merupakan salah satu unsur

kesejahteraan manusia dalam menjalani hidup.

Untuk melihat apakah kita berhadapan dengan suatu perjanjian atau bukan,

perlunya mengenali unsur-unsur perjanjian, menurut Herlien Budion unsur-unsur

dari perjanjian tersebut ialah, sebagai berikut:

a. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih;

b. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak;

c. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum;

d. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain

atau timbal balik; dan

e. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.6

2. Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian

Asas yang dianut dalam membuat suatu perjanjian, yaitu:

a. Asas Konsensualisme;

Dalam suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat dari mereka yang

membuat perjanjian tanpa diikuti oleh perbuatan hukum lain, kecuali

perjanjian itu bersifat formil. Ini berarti bahwa perjanjian itu telah dianggap

ada dan mempunyai akibat hukum yang mengikat sejak tercapainya kata

sepakat.

6

(23)

9

b. Asas Kekuatan Mengikat (Asas Pacta Sun Servanda);

Merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan keterikatan

suatu perjanjian oleh para pihak. Jadi, setiap perjanjian yang dibuat secara

sah oleh para pihak akan mengikat bagi mereka yang membuatnya.

c. Asas Kebebasan Berkontrak (Partij Autonomie);

Asas ini mengandung beberapa unsur, yaitu:

1) Seseorang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian,

2) Seseorang bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun juga; dan

3) Isi, syarat, dan luasnya perjanjian bebas ditentukan sendiri oleh para

pihak.

Asas kebebasan berkontrak ini dapat dijumpai pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang merumuskan: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Berdasarkan perumusan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut, dapat disimpulkan bahwa dari kata “semua” pada hakekatnya setiap orang dapat

melaksanakan perjanjian tentang apa saja, sepanjang perjanjian yang di buat

tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban

umum.7

Subekti menyatakan bahwa asas ini berpangkal pada adanya kedudukan

kedua belah pihak sama kuatnya dalam membuat perjanjian Subekti juga

mengatakan asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam KUHPerdata,

yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) itu telah memungkinkan

7

(24)

10

berkembangnya hukum perjanjian, karena masyarakat diberikan kebebasan

menciptakan atau membuat sendiri bermacam-macam perjanjian khusus

disamping perjanjian-perjanjian umum yang telah diatur dalam

KUHPerdata. Kebebasan yang diberikan kepada para pihak yang

menciptakan perjanjian-perjanjian khusus itu para pihak tidak terlepas dari

aturan-aturan yang ada dalam KUHPerdata, dengan kata lain para pihak

juga harus berpedoman pada aturan-aturan yang ada dalam KUHPerdata,

maka hal ini merupakan suatu fakta yang menunjukkan bahwa Buku III

KUHPerdata yang berjudul tentang perikatan, menganut sistem terbuka

(openbaar system), berarti pasal-pasal hukum perjanjian merupakan hukum

pelengkap, karena hukum perjanjian itu merupakan hukum pelengkap, maka

pasal-pasal yang terkandung dalam Buku III KUHPerdata itu dapat

dikesampingkan apabila dikehendaki oleh para pihak yang membuat

perjanjian, akan tetapi tidak terlepas pada hal-hal telah dibatasi dan

ditetapkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata itu.

Sistem terbuka yang dimiliki oleh hukum perjanjian tersebut justru

memberikan kebebasan sedemikian rupa sehingga setiap orang berhak dan

bebas untuk membuat atau mengadakan perjanjian yang segala sesuatunya

sesuai dengan kehendak para pihak yang berjanji. Untuk itu terbuka

kebebasan yang seluas-luasnya (beginsel der contractsvrijheid) untuk

mengatur dan menentukan isi suatu perjanjian asalkan tidak melanggar

(25)

11

sesuatu hal dengan cara yang berbeda atau menyimpang dari ketentuan yang

telah diatur yang terdapat di dalam pasal-pasal hukum perjanjian.8

d. Asas Kepercayaan;

Para pihak yang mengadakan perjanjian harus dapat menumbuhkan

kepercayaan diantara mereka. Artinya pihak yang satu percaya bahwa pihak

yang lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari, dan begitu juga

sebaliknya. Perjanjian dapat diadakan dengan baik apabila para pihak saling

percaya.

e. Asas Persamaan Hak;

Menurut asas ini, para pihak mempunyai derajat yang sama, tidak ada

perbedaan dan wajib untuk dihormati.

f. Asas Keseimbangan;

Asas ini menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan

melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan

dari asas persamaan hak. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut

pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula

beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Dapat dilihat

bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk

memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur

menjadi seimbang.

8

(26)

12

g. Asas Moral;

Berdasarkan asas ini hukum mewajibkan perjanjian yang dibuat oleh para

pihak harus berdasarkan tatanan susila (moral) yang pelaksanaannya tidak

merusak perikehidupan yang berlangsung baik dalam masyarakat.

h. Asas Kepatutan;

Berdasarkan Pasal 1339 KUHPerdata dimana dinyatakan bahwa asas

kepatutan ini sangat berkaitan erat dengan isi perjanjian. Kesepakatan yang

dituangkan dalam isi perjanjian menurut asas kepatutan ini harus melahirkan

rasa keadilan baik kepada pihak yang mengadakan perjanjian maupun rasa

keadilan yang ada dalam masyarakat.

i. Asas Kebiasaan;

Asas ini diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata jo. Pasal 1347 KUHPerdata,

yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya

mengikat pada hal-hal yang di atur secara tegas dalam isi perjanjian, tetapi

juga pada hal-hal yang berlaku sebagai kebiasaan dalam masyarakat, dimana

selalu mengalami perkembangan.

j. Asas Kepastian Hukum;

Asas ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai

undang-undang bagi para pihak.

Asas-asas yang telah dijelaskan di atas, satu sama lain merupakan pendukung bagi

terciptanya harmonisasi dalam hukum perjanjian dalam hubungan para pihak yang

(27)

13

keseimbangan antara tanggungjawab masing-masing pihak yang terkait atas suatu

perjanjian.

3. Syarat Sah Perjanjian

Hal yang perlu diperhatikan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah, yaitu harus

memenuhi syarat seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri;

Syarat pertama untuk terjadinya perjanjian ialah “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Sepakat tersebut mencakup pengertian tidak saja “sepakat” untuk mengikatkan diri, tetapi juga “sepakat” untuk mendapatkan

prestasi.

Undang-undang tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan kata “sepakat”. Akan tetapi, ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata justru

menyebutkan hal-hal “sepakat” tidak terbentuk, yaitu jika sepakat diberikan karena “kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

b. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perjanjian;

Sepanjang oleh hukum positif seseorang diakui sebagai subjek hukum, maka ia akan memiliki kewenangan hukum. Dengan kata lain, setiap subjek hukum memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan hukum. Sedangkan, yang dapat dan boleh bertindak dan mengikatkan diri adalah mereka yang cakap bertindak dan mampu untuk melakukan suatu tindakan hukum (handelingsbekwaam) yang membawa akibat hukum.

(28)

14

c. Suatu hal tertentu;

Sebagaimana yang disebutkan di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata bahwa yang dimaksud dengan “suatu hal tertentu” tidak lain adalah apa

yang menjadi hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.

d. Suatu sebab yang halal.

Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang

undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak

bertentangan dengan kesusilaan.

Suatu sebab yang halal dikaitkan dengan muatan isi kontrak. Kebebasan

berkontrak akan dibatasi apabila pelaksanaan kebebasan berkontrak dalam

situasi konkret ternyata bertentangan dengan kepentingan dalam tataran

yang lebih tinggi. Undang-undang menghargai asas kebebasan berkontrak.

Namun, kebebasan tersebut dibatasi karena perjanjian harus memiliki kausa

yang halal.

Pada umumnya, suatu tindakan hukum akan dinyatakan dilarang dalam hal

perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau

ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata).

Menjadi masalah adalah kausa menakah yang sebenarnya dilarang oleh

undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum dan kemudian

menyebabkan batalnya perbuatan hukum tersebut. Ini menjadi persoalan

karena hukum perdata memuat ketentuan perundang-undangan, baik yang

(29)

15

(regelend recht). Tidaklah mudah untuk menetapkan apakah suatu ketentuan

bersifat memaksa atau sekedar mengatur melengkapi.

Syarat sahnya suatu perjanjian yang di atur dalam Pasal 1320 KUHPerdata,

Subekti juga menyatakan sebagai berikut:

“Keempat syarat-syarat itu secara umum dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu: syarat yang pertama dan kedua disebut dengan syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut juga syarat objektif. Digolongkannya empat syarat pada Pasal 1320 BW itu menjadi dua, karena syarat yang pertama dan kedua mengenai orang-orang yang membuat perjanjian (para pihak dalam suatu perjanjian), sehingga disebut syarat subjektif, sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat objektif karena mengenai perjanjian yang dilakukan.”9

Syarat pertama dan kedua disebut juga dengan syarat subjektif karena

menyangkut orang-orang atau pihak yang membuat perjanjian. Apabila syarat

subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian yang telah dibuat itu dapat dibatalkan,

dan salah satu pihak dapat meminta kepada hakim supaya perjanjian yang telah

dibuat itu dapat dibatalkan (voidable atau vernietigbaar).

Syarat ketiga dan keempat disebut dengan syarat Objektif, karena terkait

mengenai perjanjian yang dilakukan. Apabila syarat objektif ini tidak terpenuhi,

maka perjanjian yang dibuat akan berakibat batal demi hukum (null and void atau

nietig verklaard), maksudnya perjanjian yang dibuat itu dianggap tidak pernah

ada. Jika syarat objektif ini tidak terpenuhi, maka dapat dianggap bahwa sudah

sejak awal tidak pernah lahir suatu perjanjian sehingga tidak pernah ada perikatan

karena tidak pernah lahir perjanjian.

9

(30)

16

4. Pengertian Perjanjian Baku

Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract, baku berarti

patokan dan acuan. Mariam Daurus mendefinisikan perjanjian baku adalah

perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam formulir.10 Adapun

menurut Salim HS mengungkapkan bahwa Perjanjian baku yang berasal dari

terjemahan bahasa inggris, yaitu standard contract, perjanjian yang telah

ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir yang telah ditentukan

secara sepihak oleh satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi

lemah.11 Perjanjian baku adalah perjanjian yang diterapkan secara sepihak oleh

produsen/pelaku usaha/penjual yang mengandung ketentuan yang berlaku umum

(massal) sehingga pihak konsumen hanya mempunyai 2 pilihan saja yaitu

menyetujui atau menolaknya.

Adapun karakteristik utama dari perjanjian baku adalah:

a. Dibuat agar suatu industri atau bisnis dapat melayani transaksi-transaksi

tertentu secara efisien, khususnya untuk digunakan dalam aktifitas

transaksional yang diperkirakan akan berfrekuensi tinggi;

b. Dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang cepat bagi pembuatnya

dan/atau pihak-pihak yang akan mengikatkan diri di dalamnya;

c. Demi pelayanan yang cepat, sebagian besar atau seluruh persyaratan

didalamnya ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis dan dipersiapkan untuk

digandakan dan ditawarkan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan;

10

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1978, hlm. 48.

11

(31)

17

d. Biasanya isi dan persyaratannya distandarisasi atau dirumuskan terlebih

dahulu secara sepihak oleh pihak yang langsung berkepentingan dalam

memasarkan produk barang atau layanan jasa tertentu kepada masyarakat;

e. Dibuat untuk ditawarkan kepada publik secara masal dan tidak

memperhatikan kondisi dan/atau kebutuhan-kebutuhan khusus dari setiap

konsumen dan konsumen hanya perlu menyetujui atau menolak sama sekali

seluruh persyaratan yang ditawarkan.12

Dengan menggunakan perjanjian baku maka perusahaan akan mendapatkan

keuntungan berupa:

a. Efisiensi dalam penggunaan biaya, tenaga, dan waktu;

b. Praktis karena sudah tersedia naskah yang tercetak berupa formulir atau

blanko yang siap diisi dan ditandatangani;

c. Penyelesaian cepat, karena konsumen hanya menyetujui dan/atau

menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya;

d. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah banyak.13

Keuntungan yang didapat oleh perusahaan asuransi dengan adanya perjanjian

baku adalah bahwa perjanjian tersebut lebih efisien dann hemat waktu. Mariam

Darus Badrulzaman mengemukakan ciri-ciri secara umum perjanjian bakusebagai

berikut:

a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;

b. Masyarakat (konsumen) sama sekali tidak bersama-sama menetukan

perjanjian;

12

Laboratorium Hukum FH Unpad, Keterampilan Perancangan Hukum, PT Citra Aditya Bakti,Bandung, 1999, hlm. 182.

13

(32)

18

c. Terdorong oleh kebutuhannya konsumen terpaksa menerima perjanjian;

d. Bentuk tertentu (tertulis); dan

e. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.14

Sutan Remy Sjahdeini juga memberikan pengertian tentang perjanjian baku.

Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul yang

dibakukkan oleh pemakainya dan pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai

peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan, yang belum dibakukan

hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah,

warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang

diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian

tersebut tetapi klausul-klausulnya.

Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh

notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul

yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak lain tidak

mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas

klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian baku.”15

Ada juga yang menyebutkan bahwa perjanjian itu dikatakan persetujuan yang

dibuat oleh para pihak mengenai sesuatu hal yang telah ditentukan secara baku

serta dituangkan secara tertulis.16

14

Salim H.S, op.cit, hlm. 146. 15

Sutan Remy Sjahdeini, dikutipdalamSalim HS, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUHPerdata, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2006, hlm. 147.

16

(33)

19

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa hakikat perjanjian baku merupakan perjanjian

yang telah distandarisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya

hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur/konsumen

menerima isinya perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi

apabila ia menolak, perjanjian itu diangap tidak ada karena konsumen tidak

menandatangani perjanjian tersebut.

B.Tinjauan tentang Asuransi

Pada Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha

Perasuransian menjelaskan bahwa:

” pengertian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”

Asuransi merupakan suatu bagian dari perjanjian dikarenakan pihak-pihak yang

bertindak aktif mengamalkan perjanjian asuransi tersebut, yaitu pihak penanggung

dan tertanggung. Pengertian perjanjian secara otentik yang dirumuskan oleh

pembentuk undang-undang sebagaimana terdapat dalam Pasal 1313 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyebutkan, bahwa perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih.17 Mengikatnya antara satu dengan yang lain

17

(34)

20

juga terjadi dalam perjanjian asuransi yaitu mengikat terhadap penanggung atau

perusahaan asuransi dengan tertanggung. Oleh karena itu kontrak atau perjanjian

asuransi juga merupakan persetujuan yang dapat dilaksanakan berdasarkan

hukum.

1. Pengertian Perjanjian Asuransi

Perjanjian asuransi adalah perjanjian di mana satu pihak dengan menerima sesuatu

nilai yang disebut premi, memikul suatu resiko kerugian yang menimpa pihak

lain, menurut suatu rencana pendistribusian resiko itu.18 Tujuan perjanjian ini

adalah untuk mengalihkan beban resiko dari tertanggung kepada perusahaan

asuransi (penanggung).

2. Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi

Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Sebagai perjanjian, maka ketentuan

syarat sahnya suatu perjanjian dalam KUHPerdata berlaku juga bagi perjanjian

asuransi. Karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus, maka di

samping ketentuan syarat sahnya suatu perjanjian, berlaku juga syarat khusus

yang diatur dalam KUHD. Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320

KUHPerdata. Menurut ketentuan pasal tersebut, ada 4 (empat) syarat sah suatu

perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan

kausa yang halal.

18

(35)

21

Kemudian syarat khusus yang diatur dalam KUHD untuk perjanjian asuransi

adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam Pasal 251 KUHD19 yaitu

setiap pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau penyembunyian hal-hal

yang diketahui oleh tertanggung walaupun dengan iktikad baik, sehingga

seandainya penanggung setelah mengetahui keadaan sebenarnya tidak akan

mengadakan asuransi itu, atau dengan syarat-syarat yang demikian itu,

mengakibatkan asuransi batal. Kewajiban pemberitahuan merupakan realisasi

penerapan teori objektivitas mengenai identitas dan sifat benda objek asuransi.

Penjelasan teori tersebut sebagai berikut:

a. Teori Objektivitas (Objectivity Theory);

Salah satu teori ilmu hukum yang dikenal dalam hukum asuransi adalah

teori objektivitas. Menurut teori ini, setiap asuransi harus mempunyai objek

tertentu. Objek tertetu artinya jenis, identitas, dan sifat yang dimiliki objek

tersebut harus jelas dan pasti. Jenis, identitas, dan sifat objek asuransi wajib

diberitahukan oleh tertanggung kepada penanggung, tidak boleh ada yang

disembunyikan.

b. Pengaturan Pemberitahuan dalam KUHD.

Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan

objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat mengadakan asuransi.

Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya asuransi batal. Menurut

ketentuan Pasal 251 KUHD, semua pemberitahuan yang salah, atau tidak

19

(36)

22

benar, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung

tentang objek asuransi, mengakibatkan asuransi batal.20

3. Prinsip Dasar dalam Perjanjian Asuransi

Perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD.

Sebagai perjanjian khusus, maka selain asas-asas hukum perjanjian pada

umumnya, dalam perjanjian asuransi mengharuskan diterapkannya prinsip-prinsip

perjanjian asuransi sebagai berikut:

a. Prinsip Kepentingan yang Dapat Diasuransikan (Insurable Interest);

b. Prisnip Iktikad Baik (Utmost Goodfaith);

c. Prinsip Keseimbangan (Idemniteit Principle);

d. Prinsip Subrogasi (Subrogation Principle);

e. Prinsip Sebab Akibat (Causaliteit Principle);

f. Prinsip Kontribusi (Contribution Principle);

g. Prinsip Mengikuti Keberuntungan Penanggung Pertama (Follow of Fortune

of The Ceding Company).21

Adapun penjelasan dari prinsip-prinsip di atas sebagai berikut:

a. Prinsip Kepentingan yang Dapat Diasuransikan (Insurable Interest);

Tertanggung dikatakan memiliki kepentingan atas objek yang

diasuransikan, apabila tertanggung akan menderita kerugian keuangan

(finansial) seandainya terjadi musibah yang menimbulkan kerugian atau

kerusakan atas objek tersebut. Kepentingan keuangan (finansial) ini

memungkinkan tertanggung mengasuransikan harta benda atau

20

Ibid, hlm. 54. 21

(37)

23

kepentingannya. Apabila terjadi musibah atas objek yang diasuransikan dan

terbukti bahwa, tertanggung tidak memiliki kepentingan keuangan atas

objek tesebut, maka tertanggung tidak berhak menerima ganti rugi.

b. Prinsip Iktikad Baik (Utmost Goodfaith);

Prinsip utmost goodfaith, sering pula dipadankan dengan kalimat kejujuran

yang sempurna. Pelaksanaan prinsip ini membebankan kewajiban kepada

tertanggung untuk memberitahukan sejelas-jelasnya dan teliti mengenai

segala fakta-fakta penting yang berkaitan dengan objek yang diasuransikan.

Prinsip ini pun berlaku bagi perusahaan asuransi, yaitu menjelaskan

risiko-risiko yang dijamin maupun yang dikecualikan, segala persyaratan dan

kondisi pertanggungan secara jelas serta teliti.

Dalam perjanjian asuransi unsur saling percaya antara penanggung dan

tertanggung akan memberikan segala keterangannya dengan benar. Dilain

pihak, tertanggung juga percaya bahwa kalau terjadi peristiwa penanggung

akan membayar ganti rugi. Saling percaya ini dasarnya adalah iktikad baik.

Prinsip iktikad baik harus dilaksanakan dalam setiap perjanjian (Pasal 1338

Ayat (3) KUHPerdata).

Dalam perjanjian asuransi banyak pasal-pasal yang dapat disimpulkan

mengandung unsur iktikad baik. Pasal-pasal itu antara lain Pasal 251, Pasal

(38)

24

c. Prinsip Keseimbangan (Idemniteit Principle);

Memberikan ganti rugi kepada tertanggung sesuai dengan besarnya kerugian

yang dialaminya, sesaat sebelum terjadinya kerugian (Pasal 246 KUHD).

d. Prinsip Subrogasi (Subrogation Principle);

Pada umunya seseorang yang menyebabkan suatu kerugian bertanggung

jawab atas kerusakan atau kerugian tersebut. Dalam hubungannya dengan

asuransi, pihak penanggung mengambil alih hak menagih ganti kerugian

kepada pihak yang mengakibatkan kerugian, setelah penanggung melunasi

kewajibannya pada tertanggung. Dengan kata lain apabila tertanggung

mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak ketiga, maka

penanggung setelah memberikan ganti rugi kepada tertanggung, akan

menggatikan kedudukan tertanggung dalam mengajukan tuntutan kepada

pihak ketiga tersebut.

e. Prinsip Sebab Akibat (Causaliteit Principle);

Apabila kepentingan yang diasuransikan mengalami musibah atau

kecelakaan, maka pertama-tama penanggung akan mencari sebab-sebab

yang aktif dan efisien yang menggerakkan suatu rangkaian peristiwa tanpa

terputus sehingga pada akhirnya terjadilah musibah atau kecelakaan

tersebut. Ada tiga pendapat untuk menentukan tentang peristiwa-peristiwa

yang menjadikan dasar penanggung bertanggung jawab atau tidak

(penyebab timbulnya kerugian dalam perjanjian asuransi). Adapun

(39)

25

1) Pendapat yang dianut peradilan di Inggris, sebab dari kerugian itu adalah

peristiwa yang mendahului kerugian itu secara urutan kronologis terletak

terdekat kepada kerugian itu. Inilah yang disebut Causa Prima;

2) Pendapat yang kedua menurut pengertian hukum asuransi, sebab itu

tiap-tiap peristiwa yang tidak dapat ditiadakan tanpa juga akan melenyapkan

kerugian itu. Dengan perkataan lain ialah tiap-tiap peristiwa yang

dianggap sebagai condition sinequanon terhadap kerugian itu;

3) Causa remota bahwa, peristiwa yang menjadi sebab dari timbulnya

kerugian itu ialah peristiwa yang terjauh. Ajaran ini merupakan lanjutan dari pemecahan suatu ajaran yang disebut ”sebab adequate” yang

mengemukakan; bahwa dipandang sebagai sebab yang menimbulkan

kerugian itu ialah peristiwa yang pantas berdasarkan ukuran pengalaman

harus menimbulkan kerugian itu.22

Dengan demikian berdasarkan sebab itulah timbul kerugian yang menjadi

tanggungan penanggung. Akan tetapi tidak semua sebab dapat menjadi

tanggungan penanggung, kecuali kalau polis dengan klausul All Risks, yaitu

polis yang menanggung semua risiko. Dalam hal ini juga terdapat

kekecualian yaitu, apabila sebab itu terjadi karena kesalahan sendiri dari

tertanggung, sebagimana yang diatur dalam Pasal 276 KUHD dan Pasal 249

KUHD.

22

(40)

26

f. Prinsip Kontribusi (Contribution Principle);

Apabila dalam suatu polis ditandatangani oleh beberapa penanggung, maka

masing-masing penanggung itu menurut imbangan dari jumlah untuk mana

mereka menandatangani polis, memikul hanya harga yang sebenarnya dari

kerugian itu yang diderita oleh tertanggung. Prinsip kontribusi ini terjadi

apabila ada asuransi berganda (double insurance) sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 278 KUHD.

g. Prinsip Mengikuti Keberuntungan Penanggung Pertama (Follow of Fortune

of The Ceding Company);

Prinsip ini tidak boleh diartikan secara luas dan tanpa batas tanggung jawab

penanggung ulang. Dalam hal reasuransi hanyalah terbatas pada klaim yang

sah dan wajib dibayar oleh penanggung pertama sesuai dengan jumlah

kerugian sebenarnya sekalipun berdasarkan teori maupun praktik

penanggung ulang dapat diminta persetujuannya untuk menyetujui

penyelesaian klaim atas dasar kompromi (ex-gratia). Penanggung pertama

harus mempunyai agrumentasi dan pertimbangan komersial bahwa,

kebijaksanaan itu berlandaskan pada perhitungan untung rugi demi

kepentingan bersama.

4. Jenis-Jenis Asuransi

UU Perasuransian menyebutkan bahwa penyelenggara usaha perasuransian atau

pihak yang bertindak sebagai pihak penanggung hanya boleh dilakukan oleh

badan hukum yang berbentuk Perusahaan Perseroan (persero), Koperasi,

(41)

27

Pasala 3 huruf a UU Perasuransian menggolongkan jenis-jenis asuransi yaitu:

a. Asuransi Jiwa;

Asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang

dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang

dipertanggungkan;

b. Asuransi Kerugian;

Asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian,

kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang

timbul dari peristiwa tidak pasti. Kemudia Abdulkadir Muhammad

mendefinikan arti dari asuransi kerugian adalah asuransi yang objek

perlindungannya adalah harta kekayaan milik seseorang yang diancam

risiko atau bahaya yang dapat menimbulkan kerugian. Termasuk asuransi

kerugian adalah asuransi kerugian konvensional, asuransi takaful umum (asuransi syari’ah).23

c. Asuransi Reasuransi

Asuransi yang memberikan jasa dalam asuransi ulang terhadap risiko yang

dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan/atau Perusahaan asuransi

Jiwa.

Dalam hal ini penulis akan meneliti tentang salah satu asuransi kerugian

yaitu asuransi kebakaran. Asuransi kebakaran merupakan pertanggungan

yang menjamin kerugian/kerusakan atas harta benda (harta tetap dan harta

bergerak) yang disebabkan oleh kebakaran, yang terjadi karena api sendiri

23

(42)

28

atau api dari luar, karena udara jelek, kurang hati-hati, kesalahan atau

perbuatan tidak pantas dari pelayanan tertanggung, tetangga, musuh,

perampok, dan apa saja dan dengan cara bagaimana pun sebab timbulnya

kebakaran (Pasal 290 KUHD).24

5. Polis Asuransi

Pasal 255 KUHD menetapkan bahwa: “Suatu tanggungan harus dibuat secara

tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis”. Polis asuransi adalah dokumen

yang memuat perjanjian antara pihak yang ditanggung dengan perusahaan

asuransinya.

Polis sebagai suatu akta yang yang formalitasnya diatur di dalam undang-undang,

mempunyai arti yang sangat penting pada perjanjian asuransi, baik pada tahap

awal, selama perjanjian berlaku dan dalam masa pelaksanaan perjanjian.

Meskipun bukan merupakan syarat bagi sahnya perjanjian, tetapi polis merupakan

bukti yang sempurna dan satu-satunya alat bukti tentang apa yang mereka

(penanggung dan tertanggung) perjanjikan dalam perjanjian pertanggungan. Jadi

bagi tertanggung polis itu mempunyai nilai yang sangat menentukan bagi

pembuktian haknya. Tanpa polis maka pembuktian akan menjadi sulit dan

terbatas.

Sedangkan syarat-syarat formal polis diatur lebih lanjut pada Pasal 256 KUHD.

Didalam pasal tersebut diatur mengenai syarat-syarat umum yang harus dipenuhi

agar suatu akta dapat disebut sebagai suatu polis. Menurut ketentuan Pasal 256

24

(43)

29

KUHD, setiap polis kecuali mengenai asuransi jiwa, harus memuat syarat-syarat

khusus berikut ini:

a. Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi;

b. Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau untuk pihak ketiga;

c. Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan;

d. Jumlah yang diasuransikan;

e. Bahaya-bahaya/evenemen yang ditanggung oleh penanggung;

f. Saat bahaya/evenemen mulai berjalan dan berakhir yang menjadi

tanggungan penanggung;

g. Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala

janji-janji khusus yang diadakan antara para pihak.

Syarat-syarat di atas merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi penanggung

dalam pembuatan suatu polis asuransi, hal tersebut yang menjadikan polis

asuransi sebagai perjanjian baku atau sudah terlebih dahulu dibuat oleh

penanggung, dikarenakan tertanggung tidak mempunyai kekuatan untuk

mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi perjanjian tersebut.

6. Jenis-Jenis Klausula dalam Polis Asuransi

Dalam perjanjian asuransi sering dimuat janji-janji khusus yang dirumuskan

secara tegas dalam polis, yang lazim disebut klausula asuransi yang maksudnya

untuk mengetahui batas tanggung jawab penanggung dalam pembayaran ganti

kerugian apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Jenis-jenis

asuransi tersebut ditentukan oleh sifat objek asuransi itu ataupun bahaya yang

(44)

30

a. Klausula Premier Risque;

Klausula ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi di bawah nilai benda

terjadi kerugian, penanggung akan membayar ganti kerugian seluruhnya

sampai maksimum jumlah yang diasuransikan (Pasal 253 ayat 3 KUHD).

Klausula ini biasa digunakan pada asuransi pembongkaran dan pencurian

serta asuransi tanggung jawab.

b. Klausula All Risk;

Klausula ini menentukan bahwa penanggung memikul segala risiko atau

benda yang diasuransikan. Ini berarti penanggung akan mengganti semua

kerugian yang timbul akibat peristiwa apapun, kecuali kerugian yang timbul

karena kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) dan karena cacat

sendiri bendanya (Pasal 249 KUHD).

c. Klausula Total Loss Only (TLO);

Klausula ini menentukan bahwa penanggung hanya menanggung kerugian

yang merupakan kerugian keseluruhan/total atas benda yang diasuransikan.

d. Klausula Sudah Diketahui (All Seen);

Klausula ini digunakan pada asuransi kebakaran. Klausula ini menentukan

bahwa penanggung sudah mengetahui keadaan, konstruksi, letak, dan cara

pemakaian bangunan yang diasuransikan.

e. Klausula Renunsiasi (Renunciation);

Menurut klausula, penanggung tidak akan menggugat tertanggung, dengan

(45)

31

tersebut harus diberlakukan secara jujur atau iktikad baik dan sesuai dengan

kebiasaan. Berarti apabila timbul kerugian akibat evenemen, tertanggung

tidak memberitahukan keadaan benda objek asuransi kepada penanggung,

maka penanggung tidak akan mengajukan Pasal 251 KUHD dan

penanggung akan membayar klaim ganti kerugian kepada tertanggung.

f. Klausula Free Particular Average (FPA);

Bahwa penanggung dibebaskan dari kewajban membayar ganti kerugian

yang timbul akibat peristiwa khusus di laut (particular average) seperti

ditentukan dalam Pasal 709 KUHD dengan kata lain penanggung menolak

pembayaran ganti kerugian yang diklaim oleh tertanggung yang sebenarnya

timbul dari akibat peristiwa khusus yang sudah dibebaskan klausula FPA.

g. Klausula Riot, Strike & Civil Commotion (RSCC);

Riot (kerusuhan), Strike (pemogokan) dan Civil Commotion (huru-hara)

adalah klausula yang menyatakan apabila pada asuransi terjadi keadaan

yang menimbulkan suasana gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat

dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta rentetan pengrusakan

sejumlah besar harta benda.

h. Klausula Bank (Banker’s Clause);

Banker’s Clause atau Klausula Bank adalah klausula ini muncul sebagai

(46)

32

objek pertanggungn adalah menjadi jaminan bank; sehingga klausula ini

bukan merupakan standar yang umumnya tercantum dalam polis.25

i. Klausula Eksonerasi.

Klausula eksonerasi adalah klausul yang dicantumkan dalam suatu

perjanjian, dimana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi

kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi

karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.26

Perjanjian dengan klausula eksonerasi sering disebut pula dengan

syarat-syarat untuk pembatasan, berupa penghapusan ataupun pengalihan tanggung

jawab.

C.Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI)

Mulai 1 Januari 1982 Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI), atau Indonesian

Standar Fire Policy menjadi satu-satunya polis untuk asuransi kebakaran yang

digunakan di Indonesia berdasarkan pada Surat Keputusan Menteri Keuangan

dengan No.216/KMK.011/1981 tertanggal 23 April 1981. Oleh karena itu, mulai 1

Januari 1982, setiap perusahaan asuransi yang menutup asuransi kebakaran di

wilayah Indonesia wajib menggunakan Polis Standar Kebakaran Indonesia

(PSKI), atau Indonesian Standar Fire Policy.27

Latar belakang Dewan Asuransi Indonesi (DAI) menyusun polis standar

kebakaran antara lain;

25

Tuti Rastuti, op.cit, hlm. 81. 26

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung, Alumni, 1994, hlm. 47. 27

(47)

33

1. Menjalin dan memelihara persatuan dan kesatuan yang erat antara semua

perusahaan asuransi dengan mengindahkan ciri-ciri khusus masing-masing

sektor perasuransian;

2. Mempertinggi mutu dan kedudukan perusahaan-perusahaan asuransi khusus

nya perusahaan asuransi kebakaran;

3. Menghindari persaingan perusahaan asuransi nasional maupun perusahaan

asuransi asing;

4. Mengurangi penanggung-penanggung yang berbuat curang dalam pembuatan

polis standar kebakaran.28

Latar belakang di atas menempatkan PSKI sebagai pedoman dalam pembuatan

polis kebakaran karena apabila dalam pembuatan polis tidak mempunyai pedoman

dan terjadi penyimpangan-penyimpangan dari polis standar yang sudah tertuang

dalam PSKI dinyatakan tidak berlaku.29

28

Ibid, hlm. 9. 29

(48)

34

D.Kerangka Pemikiran

Tertanggung Penanggung

Perjanjian Asuransi

Berklausula eksonerasi

Akibat hukum penerapan

klausula eksonerasidalam

(PSKI). Strukturisasi dalam

(PSKI)

Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI)

(49)

35

Penjelasan:

Dari kerangka pemikiran di atas dapat dijabarkan sebagai berikut; penanggung

dan tertanggung melakukan suatu perjanjian asuransi kebakaran dimana perjanjian

tersebut sudah dibuat terlebih dahulu oleh penanggung. Perusahaan asuransi

kebakaran tersebut menerbitkan sebuah polis sebagai bukti tertulis bahwa telah

terjadinya suatu perjanjian asuransi antara kedua belah pihak, dimana polis

tersebut megacu pada Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI) tentang isi polis

asuransi kebakaran yang tertuang dalam PSKI, yang mana isi polis tersebut sudah

disahkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan dengan

mengesahkan Surat Keputusan No.216/KMK.011/1981 yaitu kewajiban untuk

menggunakan PSKI dalam pembuatan polis standar asuransi kebakaran. Dalam

PSKI tersebut juga dicantumkannya klausula eksonerasi yang artinya

mengalihkan dan bahkan menghapuskan tanggung jawab penanggung terhadap

tertanggung. Dalam penelitian ini penulis ingin memberikan gambaran guna

menjawab perumusan masalah yang telah disebutkan pada awal usulan penelitian

skripsi ini, yakni bagaimana strukturisasi dalam Polis Standar Kebakaran

Indonesia (PSKI), bagaimana peran klausula eksonerasi dalam Polis Standar

Kebakaran Indonesia (PSKI), dan bagaimana akibat hukum penerapan klausula

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau metode penelitian

hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang digunakan di dalam penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.31

B.Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif. Menurut

Abdulkadir Muhammad, penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan

bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan

hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu.32 Untuk itu,

penelitian ini akan mendeskripsikan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis

mengenai bagaimana strukturisasi dalam Polis Standar Kebakaran Indonesia

(PSKI), bagaimana peran klausula eksonerasi yang terdapat dalam PSKI,

bagaimana akibat hukum penerapan klausula eksonerasi yang terdapat dalam

PSKI.

31

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 13.

32

(51)

37

C.Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

normatif terapan. Pokok kajian dalam normatif-terapan adalah pelaksanaan atau

implementasi ketentuan hukum positif dan kontrak secara faktual pada setiap

peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan

yang telah ditentukan.33 Dalam normatif-terapan terdapat gabungan 2(dua) tahap

kajian, yaitu:

1. Tahap pertama adalah kajian mengenai hukum normatif yang berlaku;

2. Tahap kedua adalah penerapan pada peristiwa in concreto guna mencapai

tujuan yang telah ditentukan. Penerapan tersebut dapat diwujudkan melalui

perbuatan nyata dan dokumen hukum. Hasil penerapan akan menciptakan

pemahaman realisasi pelaksanaan ketentuan hukum normatif yang telah

dijalankan secara patut atau tidak.34

Untuk itu penelitian ini akan mengkaji tentang bagaimana strukturisasi dalam

Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI), bagaimana peran klausula eksonerasi

yang terdapat dalam PSKI, bagaimana akibat hukum penerapan klausula

eksonerasi yang terdapat dalam PSKI.

D.Sumber Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang

diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.

Adapun dalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat dalam membahas

33

Ibid, hlm. 52. 34

(52)

38

skripsi ini, serta sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan dalam

penelitian ini maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan bahan-bahan hukum yang

terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu data normatif yang bersumber dari

perundang-undangan yang menjadi tolak ukur terapan. Bahan hukum primer meliputi:

a. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD);

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha

Perasuransian (UU Perasuransian);

c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);

d. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD);

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan

bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami

bahan hukum primer, seperti literatur seperti Polis Standar Kebakaran

Indonesia (PSKI) dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan dengan

masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

E.Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Studi Kepustakaan (Library Research), yang dilakukan dengan cara

melakukan pendalaman, mencermati, menelaah, dan mengidentifikasi

pengetahuan yang ada dalam kepustakaan (sumber bacaan, buku-buku

(53)

39

2. Studi Dokumen, yang dilakukan dengan melakukan pengkajian informasi

tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum, tetapi dapat

diketahui oleh pihak tertentu.

F. Pengolahan Data

Data yang diperoleh selanjutnya akan diolah melalui tahap-tahap, sebagai berikut:

1. Seleksi data, yaitu memeriksa kembali apakah data yang diperoleh itu relevan

dan sesuai dengan bahasan, selanjutnya apabila data ada yang salah akan

dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang lengkap akan dilengkapi;

2. Klasifikasi data, yaitu pengelompokan data sesuai dengan pokok bahasan agar

memudahkan pembahasan;

3. Sistematika data, yaitu penelusuran data berdasarkan urutan data yang telah

ditentukan sesuai dengan ruang lingkup pokok bahasan secara sistematis.35

G.Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan cara penafsiran hukum terhadap rumusan masalah

yang menjadi pokok penelitian penulis. Selanjutnya metode analisis yang

dilakukan yaitu metode kualitatif, yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan

dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dimengerti

untuk ditarik kesimpulan sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai

jawaban dari permasalahan yang dibahas.

35

(54)

BAB V PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat

dibuat kesimpulan sebagai berikut:

A.Kesimpulan

1. Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya diketahui bahwa strukturisasi dari

PSKI sebagai berikut:

a. Judul Polis (Heading);

b. Pembukaan (Preambule & Operative Clause);

c. Ikhtisar Pertanggungan (Schedule Polis);

d. Luas Jaminan (Risk Covered);

e. Pengecualian (Exclusion);

f. Harta Benda dan Kepentingan yang Dikecualikan.

Klausula eksonerasi terdapat dalam pengecualian pada Bab II PSKI, yang

isinya membatasi atau melepaskan tanggung jawab penanggung dari kerugian

yang disebabkan oleh: hal yang timbul di luar objek yang dipertanggungkan,

kesalahan yang dilakukan oleh tertanggung, keadaan memaksa di luar

(55)

64

2. Peran klausula eksonerasi dalam PSKI adalah tidak memberatkan dan

merugikan tertanggung, dikarenakan bentuknya hanya membatasi tanggung

jawab pihak penanggung terhadap tertanggung dalam hal kesalahan

tertanggung itu sendiri (Pasal 276 KUHD), keadaan memaksa di luar

kemampuan tertanggung (Pasal 1245 KUHPerdata), atas cacat benda asuransi

(Pasal249 KUHD), dan yang terakhir adalah pemberatan risiko yang dilakukan

oleh tertanggung (Pasal 293 KUHD). Apabila ingin tetap dipertanggungkan

oleh penanggung, semua hal yang ingin dipertanggungkan harus dipertegaskan

di dalam polis.

3. Akibat hukum penerapan klausula eksonerasi dalam PSKI adalah tidak

dilarang sejauh penerapan klausula eksonerasi tersebut melalui kesepakatan

antara penanggung dan tertanggung (Pasal 1320 KUHPerdata), kesepakatan

para pihak tersebut tidak berada di bawah kekhilafan, paksaan, penipuan

berdasarkan Pasal 1321 KUHPerdata. Kesepakatan tersebut juga harus dibuat

secara bebas (Pasal 1338 KUHPerdata), serta dilaksanakan dengan iktikad baik

sesuai dengan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dan selama tidak bertentangan

dengan prinsip-prinsip hukum, melanggar kesusilaan, ketertiban umum (Pasal

1337 KUHPerdata).

B.Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis

(56)

65

1. Tertanggung harus lebih hati-hati dalam melakukan suatu perjanjian, dan harus

memperhatikan klausula demi klausula dalam perjanjian agar tidak merugikan

dikemudian hari.

2. Para pelaku usaha harus berpedoman kepada KUHPerdata dan KUHD untuk

melihat sudut pandang dari masing-masing pihak apakah tidak merugikan

(57)

DAFTAR PUSTAKA

A.Literatur:

Ali, A Hasyim. Pengantar Asuransi. Cetakan ke II. Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Budiono, Herlien. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

Kenotariatan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011.

Darus, Mariam Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni, 1994. ---. Perjanjian Kredit Bank. Bandung: Alumni, 1978.

G. I Rai Widjaya. Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) dan Praktik, Jakarta: Mega poin, 2003

H.S, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006.

Laboratorium Hukum FH Unpad. Keterampilan Perancangan Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999.

Miru Ahmadi & Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Muhammad, Abdulkadir. Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992.

---. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000. ---. Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan, Bandung: PT Citra Aditya

Referensi

Dokumen terkait

Tidak jauh be da dengan penelitia n yang di atas, pe nelitian yang ditulis ole h Noviar (2000) dengan judul “E valua si Strategi Pem asaran Hotel Jaya karta

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah hasil belajar akuntansi yang diajar

Pada tugas akhir ini akan dirancang suatu software untuk mendeteksi penyakit kelainan jantung PACs mengunakan RR interval dan algoritma QRS Detection Pan and

Selain itu, juga ada penelitian oleh Elsas dan Carbonell [2] yang membahas mengenai mesin pencari di user forum, namun bukan pada strukturnya, akan tetapi pada

Dalam hal ini yang menjadi kajian peneliti adalah yang berkaitan dengan objek jaminan fidusia yang disita oleh Negara akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan debitur

Praktik pengalaman lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh dalam

Dimaksudkan evaluasi disini adalah mengetahui sejauh mana langkah konseling yang telah dilakukan telah mencapai hasilnya. Dapat dilihat pada perkembangan selanjutnya

Nilai Book Value yang tinggi akan menjamin keamanan investasi pada perusahaan, jika harga pasar saham lebih tinggi dari pada nilai Book Value , maka hal ini