TESIS
HUBUNGAN REAKTIVITAS UJI TUSUK KULIT PADA ANAK ATOPI DENGAN JUMLAH SAUDARA KANDUNG
BEATRIX SIREGAR 087103029/IKA
PROGRAM MAGISTER KLINIS – SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Penelitian : Hubungan Reaktivitas Uji Tusuk Kulit pada Anak Atopi dengan Jumlah Saudara Kandung
Nama Mahasiswa : Beatrix Siregar
NIM : 087103029
Program Magister : Magister Klinis Konsentrasi : Kesehatan Anak
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua
dr. Lily Irsa, Sp.A(K)
Anggota
dr. Supriatmo, Sp.A(K)
Ketua Program Magister Ketua TKP-PPDS
dr. Melda Deliana, Sp.A(K) dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K)
Telah diuji pada
Tanggal: 17 April 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua: dr. Lily Irsa, Sp.A(K) ……… Anggota:1. dr. Supriatmo, Sp.A(K) ………
2. Prof. dr. Darwin Dalimunthe, Ph.D ……… 3. Prof. dr. Hj. Bidasari Lubis, Sp.A(K) ………
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Pembimbing utama dr. Lily Irsa, SpA(K) dan dr. Supriatmo, SpA(K),yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.
3. dr. Beby Syofiani Hsb, M. Ked(Ped), Sp.A, sebagai Sekretaris Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anak FK-USU yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.
4. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan dan RS. dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini. 5. Teman-teman yang tidak mungkin bisa saya lupakan yang telah membantu
saya dalam keseluruhan penelitian maupun penyelesaian tesis ini.
6. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.
Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orangtua saya Ir. H. Gusnar Siregar dan Dra. Hj. Elisabeth Harahap, Apt atas pengertian serta dukungan yang sangat besar, terima kasih karena selalu mendo’akan saya dan memberikan bantuan moril dan materil. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 10 Januari 2012
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Tesis ii
Ucapan Terima Kasih iv
Daftar Isi vii
Daftar Tabel ix
Daftar Gambar x
Daftar Singkatan dan lambang xi
Abstrak xii
Bab 1. Pendahuluan
1.1. Latar belakang 1
1.2. Rumusan masalah 2
1.3. Hipotesis 3
1.4. Tujuan penelitian 3
1.4.1. Tujuan umum 3
1.4.2. Tujuan khusus 3
1.5. Manfaat penelitian 3
Bab 2. Tinjauan Pustaka
2.1. Hipotesis higiene 4
2.2. Uji tusuk kulit 12
reaktivitas uji tusuk kulit 13
2.3. Kerangka konseptual 15
Bab 3. Metode penelitian
3.1. Desain penelitian 16
3.2. Tempat dan waktu penelitian 16
3.3. Populasi dan sampel 16
3.4. Kriteria inklusi dan eksklusi 16
3.5. Besar sampel 17
3.6. Cara kerja dan alur penelitian 18
3.7. Identifikasi variabel 21
3.8. Analisa data 22
3.9. Definisi operasional 22
3.10. Masalah etika 23
Bab 4. Hasil 24
Bab 5. Pembahasan 30
Bab 6. Kesimpulan dan saran 38
Ringkasan 39
Daftar pustaka 43
Lampiran
2. Biaya Penelitian 46
3. Jadwal Penelitian 46
4. Kuisioner penelitian 47
5. Persetujuan Setelah Penjelasan 51 6. Lembar Penjelasan Kepada Orang Tua 52
7. Persetujuan Komite Etik 55
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Karakteristik sampel 26 Tabel 4.2. Hubungan jumlah saudara kandung dengan hasil 27
uji tusuk kulit
Tabel 4.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil uji tusuk 27 kulit
Tabel 4.4. Distribusi Hasil Uji Tusuk Kulit Setiap Alergen 28 terhadap Jumlah Saudara Kandung 29
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
IgE : Imunoglobulin E Th1 : T helper 1 Th2 : T helper 2 IL : Interleukin
AAP : American Academy of Pediatrics UKK : Unit Koordinasi Kerja
IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia BCG : Bacillus Calmette Guerin DPT : Diphteri Pertussis Tetanus ASI : Air susu ibu
Zα : Deviat baku normal untuk α Zβ : Deviat baku normal untuk β α : Kesalahan tipe I
β : Kesalahan tipe II
NaCl : Natrium chloride
SPSS : Statistical Package for Social Science
Kg : Kilogram
Cm : Centimeter Mm : Milimeter SD : Standar Deviasi
≥ : Lebih besar atau sama dengan
ABSTRAK
Latar Belakang. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa tingkat kelahiran yang rendah merupakan faktor risiko berkembangnya penyakit atopi, meskipun hasilnya masih menjadi pertentangan. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis higiene yang menyatakan adanya suatu hubungan yang terbalik antara jumlah anggota keluarga dengan berkembangnya kelainan atopi. Atopi dapat didiagnosis dengan riwayat individual atau keluarga yang dikonfirmasikan dengan adanya IgE alergen spesifik atau dengan hasil uji tusuk kulit yang positif.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah saudara kandung.
Metode. Studi cross sectional yang dilakukan pada bulan Mei - Juni 2010 pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Kampung Baru, Kotamadya Medan,
Propinsi Sumatera Utara. Uji tusuk kulit dilakukan pada anak usia 7-10 tahun
dengan riwayat asma, rhinitis alergi atau dermatitis atopi. Sampel dibagi
menjadi dua kelompok. Kelompok I merupakan anak dengan jumlah saudara
kandung < 3 orang dan kelompok II merupakan anak dengan jumlah saudara
kandung > 3 orang. Reaktivitas uji tusuk kulit dibandingkan antara kedua
kelompok dengan menggunakan uji
Hasil. Seratus sembilan puluh dua subjek dimasukkan dalam studi ini (kelompok I n= 96, kelompok II n=96). Terdapat hubungan antara reaktivitas uji tusuk kulit dengan jumlah saudara kandung dimana prevalensi uji tusuk kulit positif secara signifikan lebih tinggi pada anak dengan saudara kandung < 3 dibandingkan
chi-square.
Kesimpulan. Terdapat hubungan antara reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah saudara kandung.
≥ 3 (
75% and 64.1%, secara berturut-turut; P=0.003).
ABSTRACT
Background. Some studies have showed that low birth order was a risk factor to develop atopy although the results are still controversial. Those studies were appropriate with hygiene hypothesis which said that there was an inverse association between family numbers and atopy. Atopy can be diagnosed from the history of individual or families’ atopy which confirmed by specific IgE allergen or positive skin prick test.
Objective. To determine the association between skin prick test reactivity in atopic children and number of their siblings.
Methods. A cross sectional study was conducted on May - June 2010 among elementary school children at Kampung Baru District, Medan Regency, North Sumatera. Skin prick test was done in 7-10 year children with history of asthma, rhinitis allergy or atopic dermatitis. Sample was divided into two groups. Group I was children who have < 3 siblings and group II was children who have ≥ 3 siblings. Skin prick test reactivity was compared between two groups
Results. A total of 192 subjects were enrolled in this study (group I n= 96, group II n=96). There was an association between skin prick test reactivity and number of siblings where
using Chi-square test.
the prevalence of positive skin prick test was statistically significant
Conclusions. There was an association between skin prick test
higher in children who have sibling < 3 than ≥ 3 ( 75% and 64.1%,
respectively; P=0.003).
reactivity in atopic children and number of their siblings
KEYWORDS Skin prick test, number of siblings, atopy, children
ABSTRAK
Latar Belakang. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa tingkat kelahiran yang rendah merupakan faktor risiko berkembangnya penyakit atopi, meskipun hasilnya masih menjadi pertentangan. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis higiene yang menyatakan adanya suatu hubungan yang terbalik antara jumlah anggota keluarga dengan berkembangnya kelainan atopi. Atopi dapat didiagnosis dengan riwayat individual atau keluarga yang dikonfirmasikan dengan adanya IgE alergen spesifik atau dengan hasil uji tusuk kulit yang positif.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah saudara kandung.
Metode. Studi cross sectional yang dilakukan pada bulan Mei - Juni 2010 pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Kampung Baru, Kotamadya Medan,
Propinsi Sumatera Utara. Uji tusuk kulit dilakukan pada anak usia 7-10 tahun
dengan riwayat asma, rhinitis alergi atau dermatitis atopi. Sampel dibagi
menjadi dua kelompok. Kelompok I merupakan anak dengan jumlah saudara
kandung < 3 orang dan kelompok II merupakan anak dengan jumlah saudara
kandung > 3 orang. Reaktivitas uji tusuk kulit dibandingkan antara kedua
kelompok dengan menggunakan uji
Hasil. Seratus sembilan puluh dua subjek dimasukkan dalam studi ini (kelompok I n= 96, kelompok II n=96). Terdapat hubungan antara reaktivitas uji tusuk kulit dengan jumlah saudara kandung dimana prevalensi uji tusuk kulit positif secara signifikan lebih tinggi pada anak dengan saudara kandung < 3 dibandingkan
chi-square.
Kesimpulan. Terdapat hubungan antara reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah saudara kandung.
≥ 3 (
75% and 64.1%, secara berturut-turut; P=0.003).
ABSTRACT
Background. Some studies have showed that low birth order was a risk factor to develop atopy although the results are still controversial. Those studies were appropriate with hygiene hypothesis which said that there was an inverse association between family numbers and atopy. Atopy can be diagnosed from the history of individual or families’ atopy which confirmed by specific IgE allergen or positive skin prick test.
Objective. To determine the association between skin prick test reactivity in atopic children and number of their siblings.
Methods. A cross sectional study was conducted on May - June 2010 among elementary school children at Kampung Baru District, Medan Regency, North Sumatera. Skin prick test was done in 7-10 year children with history of asthma, rhinitis allergy or atopic dermatitis. Sample was divided into two groups. Group I was children who have < 3 siblings and group II was children who have ≥ 3 siblings. Skin prick test reactivity was compared between two groups
Results. A total of 192 subjects were enrolled in this study (group I n= 96, group II n=96). There was an association between skin prick test reactivity and number of siblings where
using Chi-square test.
the prevalence of positive skin prick test was statistically significant
Conclusions. There was an association between skin prick test
higher in children who have sibling < 3 than ≥ 3 ( 75% and 64.1%,
respectively; P=0.003).
reactivity in atopic children and number of their siblings
KEYWORDS Skin prick test, number of siblings, atopy, children
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada negara berkembang jumlah anggota keluarga rata-rata telah berkurang
selama beberapa dekade terakhir. Di New Zealand terdapat 1.98 kelahiran
pada tahun 2001 dibandingkan dengan 4.2 kelahiran pada tahun 1960 dan
3.1 kelahiran pada tahun 1920. Pada tahun 1966 terdapat rata-rata 2.5 anak
per keluarga, berkurang menjadi 1.95 anak per keluarga pada tahun 1996.1
Angka kejadian asma di Amerika Serikat berkisar antara 8-13% dengan
peningkatan sebesar 50% antara tahun 1964-1980.2 Demikian pula halnya
dengan prevalensi dermatitis atopi, diperkirakan angka kejadian di
masyarakat adalah sekitar 1-3% dan di Bristol pada anak < 5 tahun sebesar
3,1% dan prevalensi dermatitis atopi pada anak meningkat 5-10% pada
20-30 tahun terakhir.
Pada tahun-tahun belakangan ini, adanya penurunan paparan
terhadap infeksi karena penurunan jumlah anggota keluarga, perbaikan
higiene serta peningkatan intervensi medis seperti vaksinasi dan antibiotik
dapat berkontribusi terhadap peningkatan kejadian atopi. Jumlah anggota
keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian atopi
pada anak, remaja dan dewasa. Tingkat kelahiran yang rendah merupakan
faktor risiko berkembangnya atopi, meskipun hasilnya masih menjadi
pertentangan. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis higiene yang
menyatakan bahwa infeksi berulang yang didapat dari saudara kandung yang
lebih tua pada awal masa kanak-kanak dapat mencegah respons imun atopi.
Kelainan atopi dapat didiagnosis dengan riwayat individual atau
keluarga yang dikonfirmasikan dengan adanya Imunoglobulin(Ig)E alergen
spesifik atau dengan hasil uji tusuk kulit yang positif.
1
4
Uji tusuk kulit dapat
dilakukan dalam waktu singkat dan lebih sesuai untuk anak. Dengan teknik
dan interpretasi yang benar, alergen dengan kualitas yang baik maka uji ini
mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi disamping mudah, cepat,
murah, aman dan tidak menyakitkan.5 Sebuah penelitian yang dilakukan
terhadap 7653 anak di Jerman yang bertujuan untuk menilai hubungan
reaktivitas uji tusuk kulit pada anak dengan jumlah saudara kandung
menunjukkan bahwa penurunan jumlah anggota keluarga berkontribusi
terhadap peningkatan prevalensi atopi.6 Penelitian di Indonesia terhadap 92
individu atopi dan non atopi menunjukkan bahwa riwayat atopi merupakan
salah satu faktor predisposisi untuk lebih besar memberikan hasil positif pada
uji tusuk kulit dengan alergen tungau debu rumah.7
1.2. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi
dengan jumlah saudara kandung merupakan permasalahan yang akan dinilai
1.3. Hipotesis
Terdapat hubungan reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah
saudara kandung
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi
dengan jumlah saudara kandung
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui prevalensi anak Sekolah Dasar dengan riwayat atopi yang
mengalami reaktivitas uji tusuk kulit positif di Sekolah Dasar Negeri
060907, 064980 dan 064961 Kampung Baru, Kecamatan Medan Maimun,
Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara
2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi sensitivitas uji tusuk kulit pada
anak
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya
mengenai hubungan reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah
saudara kandung dan bermanfaat untuk meningkatkan pelayanan kesehatan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipotesis Higiene
Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi
yang terjadi pada tiga puluh sampai empat puluh tahun terakhir, terutama di
negara-negara industri/maju.8 Hipotesis higiene yang berkembang pada akhir
1980-an merupakan penjelasan terhadap peningkatan prevalensi asma di
seluruh dunia.1 Dalam hipotesis tersebut dinyatakan bahwa penyakit alergi
dapat dicegah dengan adanya infeksi pada awal kehidupan yang berasal dari
kontak dengan saudara kandung yang lebih tua. Selain itu juga dinyatakan
bahwa pada akhir abad ini adanya penurunan jumlah anggota keluarga,
peningkatan kebersihan individual telah menurunkan kesempatan terjadinya
infeksi silang dalam keluarga, hal ini akan meningkatkan gejala klinis
atopi.1,8,9
Pada hipotesis higiene peranan sel T regulator akan mempengaruhi
efek paparan terhadap infeksi pada keseimbangan T helper 1 (Th1) dan T
helper 2 (Th2). Berkurangnya paparan terhadap infeksi setelah kelahiran
dapat menggeser respons keseimbangan sel Th menuju Th2. Hasil dari
respons ketidakseimbangan akan menyebabkan respons eosinofil dan IgE
yang berlebihan, dimana kedua-duanya berhubungan dengan reaksi alergi
dan atopi.
8
Paparan terhadap mikroba dapat mempengaruhi keseimbangan
Th1 dan Th2 dengan meningkatkan respons Th1 dan menurunkan respons
Th2. Sel Th1 berhubungan dengan respons terhadap infeksi dan produksi
interferon-∂. Sel Th2 menginduksi produksi IgE dan maturasi sel mast, basofil
dan eosinofil sehingga sel Th2 secara umum berhubungan dengan respons
imun atopi.10
Pada model yang berasal dari Cookson dan Moffatt pada tahun 1997
(gambar 1) menunjukkan keuntungan adanya infeksi dalam pencegahan
atopi. Pada model ini atopi terutama berhubungan dengan imunitas terhadap
tuberkulosis, yang diukur dengan hipersensitivitas kulit tipe lambat terhadap
tes tuberkulin. Jika individu lebih dominan memiliki Th2, fenotip Th2 akan
berinteraksi dengan alergen lingkungan untuk menyebabkan atopi. Infeksi
ditunjukkan secara potensial dapat mengubah keseimbangan antara fenotip
Th1 dan Th2. Keseimbangan Th1 dan Th2 dipertahankan oleh kombinasi
sanitasi yang buruk dan lingkungan yang ramai sehingga menghasilkan
respons Th1, sementara IgE poliklonal yang dihasilkan sebagai respons
terhadap infeksi cacing akan menurunkan respons Th2 sehingga tercapai
keseimbangan Th1 dan Th2. Polusi dapat memperberat asma, sementara
alergen inhalan seperti kutu debu rumah dan bulu binatang dapat
memberikan sensitisasi spesifik yang berfungsi sebagai variabel intervensi.
8
Gambar 1. Keuntungan infeksi dalam pencegahan atopi8
Terdapat beberapa faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kejadian
alergi yaitu :
1. Imunisasi/vaksinasi
Oleh karena vaksinasi merupakan pemberian mikroorganisme yang
dilemahkan atau dimatikan untuk menginduksi respons imun,
hipotesis higiene memprediksi vaksinasi dapat mempengaruhi
kerentanan terhadap terjadinya atopi. Akan tetapi, beberapa studi
Ig E Poliklonal
Infeksi cacing Polusi
menunjukkan data yang tidak konsisten mengenai keuntungan atau
efek samping vaksinasi terhadap kemungkinan terjadinya atopi.9
Penelitian di Inggris yang dilakukan terhadap 6811 anak,
menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara vaksinasi pertusis
pada bayi dengan peningkatan risiko wheezing atau asma di kemudian
hari.
11 Pada penelitian yang dilakukan terhadap 82 anak berusia 0-3
tahun di Jepang, menemukan bahwa vaksinasi DPT memiliki beberepa
efek dalam meningkatkan kejadian atopi, sementara vaksinasi BCG
(Bacillus Calmette Guerin) menghambat perkembangan kejadian atopi
meskipun efek pencegahannya akan berakhir setelah beberapa
tahun.12 Penelitian pada 14.893 anak di lima negara Eropa
menunjukkan tidak terdapat hubungan antara vaksinasi campak
dengan penyakit alergi.13
2. Menyusui
Pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan akan banyak memberikan
pengaruh pada respons imun. Bermacam-macam antigen yang masuk
ke dalam tubuh tidak secara dini dapat merangsang respons imun.
Sistem imun akan berkembang bersamaan dengan tumbuh kembang.
Meskipun ASI akan dapat mencegah asma dan atopi, atau
kedua-duanya, tetapi hal ini masih merupakan kontroversi. Pada beberapa
mencegah timbulnya atopi dan asma pada anak.14 Penelitian di
Denmark menunjukkan tidak terdapat efek yang kuat dari menyusui
secara eksklusif atau partial pada dermatitis atopi, meskipun riwayat
alergi pada keluarga juga dapat mempengaruhi risiko. Bagaimanapun
juga, efek protektif menyusui pada anak dengan riwayat alergi pada
keluarga dapat terjadi.15
Menyusui merupakan faktor yang lebih penting bila
dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya dalam berkembangnya
toleransi terhadap alergen terutama karena adanya toleransi oral yang
diperantarai oleh jaringan lymphoid yang berhubungan dengan saluran
pencernaan.
8 Lamanya menyusui merupakan faktor yang penting
dimana menyusui kurang dari 3 bulan hanya memiliki sedikit efek
protektif atau bahkan tidak dijumpai efek protektif terhadap atopi.9
Pengaruh menyusui selain berhubungan dengan lamanya menyusui
juga berhubungan dengan adanya kombinasi dengan susu sapi dan
adanya predisposisi genetik terhadap atopi.8
3. Jumlah saudara kandung
Strachan, dalam hipotesis higienenya melaporkan adanya suatu
hubungan yang terbalik antara jumlah anggota keluarga dengan
berkembangnya kelainan atopi.9 Penelitian di Australia melaporkan
yang lebih tua pada anak usia 3-5 tahun terhadap penyakit asma.4
Adanya saudara kandung yang lebih tua memiliki efek yang lebih kuat
dibandingkan saudara kandung yang lebih muda, oleh karena itu
faktor-faktor seperti infeksi virus di awal kehidupan dapat mencegah
perkembangan sensitisasi alergi.6
Setiap kehamilan dapat menurunkan respons atopi ibu dengan
menginduksi toleransi imun dan dapat menurunkan risiko pada
keturunan berikutnya untuk menjadi atopi. Hal ini mengacu pada
hipotesis berikut ini :
a. Kadar IgE maternal menurun dengan jumlah kelahiran ( hipotesis
toleransi induksi). Oleh karena itu toleransi imun maternal yang
ditunjukkan oleh rendahnya kadar IgE penting untuk respons atopi
pada anak sehingga ditemukan penurunan dalam IgE serum tali
pusat seiring dengan meningkatnya jumlah saudara kandung yang
hidup, hal ini dapat dijelaskan oleh adanya penurunan IgE
maternal.
16
b. Penurunan IgE maternal dengan meningkatnya jumlah keturunan
yang hidup dapat ditransmisikan ke keturunan berikutnya. Hal ini
dapat menjelaskan penurunan IgE serum tali pusat dapat dijumpai
pada jumlah saudara kandung yang lebih banyak ( hipotesis
Sebuah penelitian di Inggris dan New Zealand melaporkan
bahwa perubahan dalam jumlah keluarga pada tiga puluh tahun
terakhir tidak dapat banyak menjelaskan mengenai peningkatan
prevalensi asma dan hay fever.17
Penelitian terhadap 1456 bayi baru lahir di Inggris
menunjukkan kadar IgE tali pusat menurun seiring dengan
meningkatnya jumlah kelahiran. Peningkatan IgE tali pusat yang
diukur saat lahir dapat meningkatkan prevalensi sensitisasi alergi
pada usia 4 tahun. Selain itu juga dilaporkan bahwa kadar IgE tali
pusat ditentukan oleh hasil interaksi fetal maternal selama periode
prenatal sehingga dikatakan bahwa efek saudara kandung terhadap
kejadian alergi sudah berasal dari uterus.
18
4. Infeksi mikroba
Para ahli alergi-imunologi telah melakukan eksplorasi lebih jauh dan
didapatkan bahwa berkurangnya paparan terhadap mikroba
merupakan faktor penyebab utama meningkatnya insidens atopi.8,19
Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan berkurangnya paparan
terhadap mikroba diantaranya berkurangnya jumlah kelahiran, air dan
makanan yang bersih, sanitasi, penggunaan antibiotika dan vaksin,
dan juga faktor insidental seperti perpindahan tempat tinggal dari
Mikroba yang dapat mempengaruhi outcome alergi dan asma dapat
dibagi menjadi beberapa kategori:
- Infeksi bakteri, virus, parasit
20
- Komponen mikroba seperti endotoksin, Staphylococcus aureus
- Kolonisasi saluran cerna seperti lactobacillus, bacteroides dan
parasit
- Mikrobiota tanah
- Hal-hal yang dapat menurunkan jumlah mikroba seperti
penggunaan antibiotik, imunisasi, meningkatnya kebersihan
individu.
Beberapa faktor yang menentukan outcome akibat infeksi mikroba
adalah jenis mikroba dan komponennya, fenotip penyakit, waktu
paparan, jumlah dan kombinasi paparan, genetik serta rute
paparan.
Beberapa penelitian epidemiologi menyatakan adanya efek
protektif agen infeksius tunggal atau multipel dan atau produk mikroba
terhadap berkembangnya sensitisasi alergi atau penyakit alergi. Hal
ini mencakup infeksi campak, malaria, infeksi saluran pencernaan
seperti virus hepatitis A dan Helicobacter pylori, flora normal usus,
endotoksin lingkungan dan produk mikroba lainnya di lingkungan dan
kecacingan.
20
2.2. Uji Tusuk Kulit
Uji kulit terhadap alergen pertama kali digunakan oleh Dr. Charles Blackley
untuk mendiagnosis serbuk sari sebagai penyebab hay fever pada tahun
1873. Uji tusuk kulit pertama kali diperkenalkan pada tahun 1924 dan pada
tahun 1975 Prof. Jack Pepys mengajukan modifikasi metode uji tusuk kulit.
Uji tusuk kulit adalah salah satu jenis tes kulit yang digunakan sebagai alat
diagnosis alergi yang diperantarai IgE dalam waktu singkat. Tidak ada batas
usia untuk dilakukan uji tusuk kulit, konsensus menunjukkan bahwa uji tusuk
kulit mulai dapat dinilai sejak usia 4 bulan. Bayi cenderung memiliki kulit yang
kurang reaktif dengan jumlah sel mast yang jauh lebih sedikit dibandingkan
anak yang lebih tua dan dewasa.22 Uji kulit terhadap alergen yang paling baik
dilakukan setelah usia 3 tahun.5
Tempat uji tusuk kulit yang paling baik adalah pada daerah volar
lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 cm dari lipat siku dan pergelangan
tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin ( 50% gliserol) diletakkan
pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkil ke atas
memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi atau dengan menggunakan
jarum khusus untuk uji tusuk. Dengan menggunakan setetes ekstrak alergen
pada kulit, diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat
rendah.
Pada individu yang telah tersensitisasi oleh alergen tertentu,
pemberian sejumlah kecil alergen cair yang ditusukkan dengan jarum pada
epidermis superfisial fleksor lengan bawah, cukup untuk menyebabkan
terjadinya reaksi sensitivitas berupa bengkak kemerahan yang terlihat 15- 20
menit sesudah pemberian alergen, yang dibandingkan dengan kontrol positif
(1% Histamin) dan kontrol negatif (saline). Nilai prediktif uji tusuk kulit telah
dipublikasikan dan dinyatakan dapat digunakan untuk memeriksa sensitisasi.
Uji tusuk kulit dinyatakan positif apabila terdapat rasa gatal dan eritema yang
dikonfirmasi dengan adanya urtikaria yang khas. Urtikaria yang khas tersebut
dapat dilihat dan diraba dengan diameter ≥ 3 mm yang muncul 15 -20 menit
setelah aplikasi uji tusuk kulit. Reaksi lambat juga dapat terjadi 4-8 jam
setelah uji tusuk kulit.5
2
2..22..11.. FFaakkttoorr--ffaakkttoorryyaannggmmeemmppeennggaarruuhhiirreeaakkttiivviittaassuujjiittuussuukkkkuulliitt
Anti histamin dapat mengurangi reaktivitas kulit, maka penggunaan obat yang
mengandung anti histamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari sebelum uji
tusuk kulit, sedangkan obat kortikosteroid sistemik, dikarenakan pengaruhnya
yang lebih kecil maka cukup hanya dihentikan selama 1 hari sebelum uji
tusuk kulit dilakukan. Dermatografisme akan membuat hasil uji tusuk kulit sulit
untuk diinterpretasikan karena seluruh tempat uji tusuk kulit akan bereaksi
non spesifik dengan adanya reaksi kemerahan. Respons uji tusuk kulit lebih
rendah pada pagi hari dibandingkan sore hari karena adanya irama
semakin tua usia maka reaktivitas uji tusuk kulit semakin berkurang. Siklus
menstruasi juga mempengaruhi hasil uji tusuk kulit dan dapat terjadi
peningkatkan respons indurasi pada hari ke 12 sampai 16 siklus menstruasi.
Kontra-indikasi uji tusuk kulit adalah orang yang memiliki riwayat anafilaksis
2.3. Kerangka Konseptual
Yang diamati dalam penelitian
Jumlah saudara kandung ↓
Lingkungan/higiene yang bersih
Paparan terhadap mikroorganisme ↓
Proliferasi sel Th1 ↓
Sekresi interleukin & interferon ∂ ↓
Proliferasi sel Th2 & produksi sitokin ↑
Produksi Ig E ↑
Reaktivitas uji tusuk kulit ↑ Konsentrasi IgE
maternal ↑
Konsentrasi Ig E tali pusat ↑
Kejadian atopi ↑
Imunisasi DPT (+)
Hewan peliharaan (-)
ASI (-)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional untuk menilai hubungan
reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah saudara kandung.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 060907, 064980 dan 064961
Kampung Baru, Kecamatan Medan Maimun, Kotamadya Medan, Propinsi
Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-November 2010.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi target adalah anak usia 7-10 tahun dengan riwayat atopi. Populasi
terjangkau adalah anak usia 7-10 tahun dengan riwayat atopi yang bertempat
tinggal di kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Sampel adalah populasi
terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria Inklusi :
1. Anak yang berusia 7-10 tahun dengan riwayat dan penyakit atopi asma,
2. Orangtua bersedia mengisi kuisioner
3. Orang tua bersedia mengisi informed consent
Kriteria Eksklusi :
1. Anak yang sedang menggunakan obat-obatan yang mengandung
antihistamin dalam 3 hari terakhir.
2. Anak yang sedang menggunakan obat-obatan yang mengandung
kortikosteroid dalam 1 hari terakhir.
3. Anak yang sakit berat, mempunyai kelainan kongenital dan
mempunyai kelainan dermatografisme.
3.5. Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus uji hipotesis terhadap
2 proporsi independen :
n1 = jumlah subjek yang memiliki saudara kandung < 3 orang
2
n2 = jumlah subjek yang memiliki saudara kandung ≥ 3 orang
α = kesalahan tipe I = 0,05 → Tingkat kepercayaan 95%
dengan hasil uji tusuk kulit positif = 0,36.
prevalensi anak yang memiliki saudara kandung ≥ 3 orang
Q2 = 1 – P2
Dengan menggunakan rumus di atas didapat jumlah sampel untuk
masing-masing kelompok sebanyak 96 orang.
3.6. Cara Kerja dan Alur Penelitian
- Peneliti memberikan penjelasan mengenai penelitian dan pemeriksaan
yang akan dilakukan
- Kepada subjek penelitian diberikan kuisioner dan lembar persetujuan
penelitian yang diserahkan kepada orang tua untuk dikembalikan
kepada peneliti
- Orang tua sampel menanda tangani informed consent sebagai
bukti kesediaan anaknya diikutsertakan dalam penelitian ini
pengambilan sampel secara consecutive yaitu sebanyak 96 orang
untuk kelompok anak dengan jumlah saudara kandung < 3 orang dan
96 orang untuk kelompok anak dengan jumlah saudara kandung ≥ 3
orang
- Dilakukan penimbangan berat badan dengan menggunakan
timbangan Camry. Sebelum dilakukan timbangan ditera terlebih
dahulu dengan kapasitas maksimal 125 kg. Pada waktu penimbangan
anak memakai pakaian tipis atau seminimal mungkin tanpa memakai
alas kaki
- Untuk pengukuran tinggi badan adalah dengan menggunakan
stadiometer. Anak berdiri pada lantai yang datar tanpa memakai alas
kaki dengan kaki sejajar dengan tumit, bokong, tangan dan belakang
kepala menyentuh dinding tegak lurus
- Pada kedua kelompok dilakukan tes uji tusuk kulit dengan prosedur
sebagai berikut :
1. Daerah volar lengan bawah tiap sampel dibersihkan dengan
larutan alkohol 70%
2. Alergen yang pertama ditusukkan adalah kontrol negatif (NaCl
0,9%) diikuti oleh kontrol positif (histamin 1 %)
3. Setetes alergen diteteskan pada bagian volar lengan bawah
subjek, kemudian jarum (Blood Lancets GEA®) ditusukkan
4. Setiap alergen diteteskan sebanyak 1 tetes dengan jarak 2 cm
dan pada setiap alergen diberikan tanda berupa angka
5. Alergen yang diujikan kepada masing-masing subjek adalah
kutu debu rumah, debu rumah, kapuk, bulu ayam, bulu kucing,
kecoa, jamur. Alergen yang digunakan diproduksi oleh Instalasi
Farmasi RSUP dr. Soetomo, Surabaya
6. Setiap jarum hanya digunakan satu kali
7. Sisa alergen pada kulit dikeringkan dengan kertas hisap
8. Sensitisasi dinilai 15-20 menit setelah aplikasi uji tusuk kulit
9. Sensitisasi positif jika didapati indurasi kemerahan ф ≥ 3 mm
setelah dibandingkan dengan kontrol negatif
10. Sensitisasi negatif jika didapati indurasi kemerahan ф < 3 mm
- Antisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis dilakukan
Dengan menyediakan epinefrin 1:1.000 yang telah dimasukkan ke
dalam jarum suntik. Epinefrin tersebut disiapkan terlebih dahulu
sebelum uji tusuk kulit dilakukan.
- Pelaksanaan dan penilaian terhadap reaksi yang timbul oleh dokter
PPDS dan spesialis anak yang telah mengikuti pelatihan uji tusuk
kulit
Alur Penelitian
3.7. Identifikasi variabel
Variabel bebas Skala
Jumlah saudara kandung Nominal
Variabel tergantung Skala
Reaktivitas uji tusuk kulit Nominal
Uji tusuk kulit Uji tusuk kulit
Uji tusuk kulit (+)
Uji tusuk kulit (-) Uji tusuk
kulit (+)
Uji tusuk kulit (-)
Populasi terjangkau yang memenuhi
kriteria inklusi
96 anak dengan jumlah saudara kandung < 3 orang
96 anak dengan jumlah saudara kandung ≥ 3 orang Pembagian kuesioner
Pengembalian kuesioner
Pengambilan sampel secara
3.8. Analisa Data
Data diolah dengan uji chi-square untuk melihat hubungan reaktivitas uji
tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah saudara kandung. Pengolahan
data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS versi 14.0 dengan tingkat
kemaknaan P <0,05.
3.9. Definisi Operasional
1. Uji tusuk kulit adalah uji untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang
terikat pada sel mastosit kulit terhadap alergen yang diuji.5
2. Reaktivitas uji tusuk kulit adalah reaksi yang timbul setelah 15-20
menit dilakukan uji tusuk kulit terhadap satu atau lebih alergen
3. Sensitisasi positif jika didapati indurasi kemerahan ф ≥ 3 mm setelah
dibandingkan dengan kontrol negatif yang muncul 15-20 menit
sesudah dilakukan uji tusuk kulit.21
4. Sensitisasi negatif jika didapati indurasi kemerahan ф < 3 mm yang
muncul 15-20 menit sesudah dilakukan uji tusuk kulit.
5. Saudara kandung adalah individu yang memiliki ayah dan ibu yang
sama
21
6. Riwayat atopi diketahui dari risiko atopi yang diperoleh dariTrace card
UKK Alergi-Imunologi IDAI dan dikonfirmasi dengan uji tusuk kulit
7. Riwayat pemberian ASI eksklusif diperoleh dari anamnesa terhadap
orang tua
8. Riwayat Imunisasi DPT diketahui dari Kartu Menuju Sehat (KMS) dan
anamnesa terhadap orang tua
9. Keberadaan hewan peliharaan diperoleh dari anamnesa terhadap
orang tua
10. Paparan asap rokok diketahui dari anamnesa terhadap orang tua
11. Dermatografisme adalah gambaran yang tampak pada kulit yang
timbul akibat goresan pada kulit yang ditandai dengan adanya eritema
yang diikuti munculnya urtikaria
3.10. Masalah Etika
- Persetujuan setelah penjelasan (Informed consent) dari orang tua
BAB 4 HASIL
Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri 060907, 064980 dan
064961 Kampung Baru, Kecamatan Medan Maimun, Kotamadya Medan,
Propinsi Sumatera Utara. Anak sekolah dasar yang dibagikan kuisioner untuk
skrining pemeriksaan uji tusuk kulit sebanyak 910 anak, dimana 135 anak
diantaranya tidak mengembalikan kuisioner. Dari 775 anak yang
mengembalikan kuisioner, terdapat 210 anak yang memiliki riwayat atopi.
Dari 210 anak tersebut dilakukan pengambilan sampel secara consecutive
yaitu 96 anak dengan jumlah saudara kandung < 3 orang dan 96 anak
dengan jumlah saudara kandung ≥ 3 orang. Dari 96 anak dengan jumlah
saudara kandung < 3 orang, 72 anak dengan hasil uji tusuk kulit positif dan
24 anak dengan hasil uji tusuk kulit negatif. Sedangkan dari 96 anak dengan
jumlah saudara kandung ≥ 3 orang, 50 anak dengan hasil uji tusuk kulit
positif dan 46 anak dengan hasil uji tusuk kulit negatif.
Gambar 4.1 Profil Penelitian 910 anak dibagikan kuisioner
775 anak mengembalikan kuisioner
135 anak tidak mengembalikan kuisioner
210 anak dengan riwayat atopi
Kelompok I : 96 anak dengan jumlah saudara kandung < 3 orang
Kelompok II : 96 anak dengan jumlah saudara kandung ≥ 3 orang
Uji tusuk kulit Uji tusuk kulit
Tabel 4.1. Karakteristik sampel
Variabel Jumlah Saudara Kandung < 3 orang
Pada tabel 4.1 terlihat kedua kelompok sampel penelitian sebagian besar berjenis kelamin perempuan dengan rerata umur 9 tahun. Rerata berat badan
adalah 24 kg dan 25 kg dan tinggi badan 121 cm dan 128 cm masing-masing
untuk kelompok subjek dengan jumlah saudara kandung < 3 orang dan ≥ 3
orang. Mayoritas pekerjaan ayah adalah wiraswasta dan ibu adalah ibu
rumah tangga. Mayoritas pendidikan ayah dan ibu adalah SMA dan
sederajat.
Tabel 4.2. Hubungan jumlah saudara kandung dengan hasil uji tusuk kulit
Jumlah Saudara Kandung Uji Tusuk Kulit Nilai P Positif Negatif
< 3 orang 72 (75) 24 (25) 0.003 ≥ 3 orang 50 (64.1) 46 (35.9)
Dari tabel 4.2 Terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah saudara
kandung dengan hasil uji tusuk kulit (P= 0.003, P < 0.05). Dari tabel ini
terlihat bahwa semakin banyak jumlah saudara kandung maka reaktivitas uji
tusuk kulit akan semakin berkurang.
Tabel 4.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil uji tusuk kulit
Karakteristik Uji Tusuk Kulit P Positif Negatif
Riwayat Imunisasi DPT
Ya 75 (63.6) 43 (36.4) 0.977 Tidak 48 (64.9) 26 (35.1)
Hewan peliharaan (kucing,anjing), n (%)
Ada 101 (78.9) 27 (21.1) 0.0001* Tidak ada 22 (34.4) 42 (65.6)
Riwayat pemberian ASI eksklusif, n (%)
Ya 20 (24.4) 62 (75.6) 0.006*
Pada tabel 4.3 diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan hasil uji tusuk kulit (P =
tusuk kulit, terdapat hubungan yang signifikan (P = 0.0001). Sehingga
terdapat dua faktor yang mempengaruhi reaktivitas uji tusuk kulit yaitu riwayat
pemberian ASI eksklusif dan keberadaaan hewan peliharaan.
Tabel 4.4. Distribusi hasil uji tusuk kulit setiap alergen terhadap jumlah saudara kandung
Pada Tabel 4.4 diperoleh hasil bahwa dari ketujuh alergen, hanya alergen
kutu debu rumah yang menunjukkan hubungan yang bermakna dengan
jumlah saudara kandung (P=0.004).
BAB 5 PEMBAHASAN
Pada penelitian ini ditemukan hubungan yang signifikan antara jumlah
saudara kandung dengan hasil uji tusuk kulit dimana 72 anak dengan jumlah
saudara kandung < 3 orang memiliki hasil uji tusuk kulit positif (P= 0.003).
Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 7653 anak di Jerman yang
bertujuan untuk menilai hubungan reaktivitas uji tusuk kulit pada anak dengan
jumlah saudara kandung menunjukkan bahwa penurunan jumlah anggota
keluarga berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi atopi.6 Penelitian di
United Kingdom mengenai infeksi dan eczema pada awal kehidupan
menyatakan bahwa anak pertama meningkatkan risiko eczema dibandingkan
dengan anak kedua atau anak selanjutnya oleh karena adanya infeksi yang
diperoleh dari saudara sebelumnya pada anak kedua atau selanjutnya.24
Penelitian prospektif di Oslo mengenai hubungan antara infeksi saluran
nafas pada awal kehidupan dengan asma, rhinitis alergi dan sensitisasi uji
tusuk kulit menemukan bahwa infeksi saluran nafas tersebut tidak melindungi
terhadap perkembangan asma, rhinitis alergi atau sensitisasi terhadap
alergen selama sepuluh tahun pertama kehidupan tetapi meningkatkan risiko
gejala asma pada usia sepuluh tahun.
25
Penelitian ini sesuai dengan
penelitian di Jerman, United Kingdom dan hipotesis higiene yang
yang berusia lebih tua terhadap pencegahan atopi. Dalam hipotesis tersebut
dinyatakan bahwa penyakit alergi dapat dicegah dengan adanya infeksi pada
awal kehidupan yang berasal dari kontak dengan saudara kandung yang
lebih tua. Selain itu juga dinyatakan bahwa pada akhir abad ini adanya
penurunan jumlah anggota keluarga, peningkatan kebersihan individual telah
menurunkan kesempatan terjadinya infeksi silang dalam keluarga, hal ini
akan meningkatkan gejala klinis atopi.1,8,9
Pada penelitian ini didapati 75 anak dengan riwayat imunisasi DPT
memiliki hasil uji tusuk kulit positif namun tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara keduanya (P= 0.977). Penelitian di Swedia pada 9829 anak
menemukan bahwa vaksinasi pertussis pada bayi tidak berhubungan dengan
manifestasi alergi pada usia 7 tahun, terlepas dari tingginya prevalensi hasil
uji tusuk kulit positif setelah pemberian vakisnasi dengan 2 komponen vaksin
pertussis acellular.
Namun penelitian ini tidak sesuai
dengan penelitian di Oslo yang menyatakan bahwa infeksi yang diperoleh di
awal kehidupan tidak melindungi sensitisasi terhadap alergen dan
meningkatkan risiko terjadinya penyakit atopi.
26
Penelitian di Netherlands menemukan bahwa risiko
eczema atau wheezing berulang pada usia 1 tahun tidak berbeda antara bayi
yang diberikan vaksinasi DPT, polio dan Haemophylus influenza tipe B pada
usia 6 bulan dengan bayi yang mendapat vaksinasi tidak lengkap.27
Penelitian di Inggris yang dilakukan terhadap 6811 anak, menemukan bahwa
peningkatan risiko wheezing atau asma di kemudian hari.11 Penelitian ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan tidak terdapat
hubungan antara vaksinasi DPT dengan manifestasi alergi meskipun
dijumpai hasil uji tusuk kulit yang positif. Oleh karena vaksinasi merupakan
pemberian mikroorganisme yang dilemahkan atau dimatikan untuk
menginduksi respons imun, hipotesis higiene memprediksi vaksinasi dapat
mempengaruhi kerentanan terhadap terjadinya atopi. Akan tetapi, beberapa
penelitian menunjukkan data yang tidak konsisten mengenai keuntungan
atau efek samping vaksinasi terhadap kemungkinan terjadinya atopi.9
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 82 anak berusia 0-3 tahun di
Jepang, menemukan bahwa vaksinasi DPT memiliki beberepa efek dalam
meningkatkan kejadian atopi, sementara vaksinasi BCG (Bacillus Calmette
Guerin) menghambat perkembangan kejadian atopi meskipun efek
pencegahannya akan berakhir setelah beberapa tahun.12
Pada penelitian ini didapati hubungan yang bermakna antara
keberadaan binatang peliharaan (anjing, kucing) dengan reaktivitas uji tusuk
kulit dimana terdapat 101 anak yang memiliki binatang peliharaan
(anjing,kucing) memiliki hasil uji tusuk kulit positif (P= 0.0001). Penelitian di
New Zealand pada 1037 subjek yang dilakukan uji tusuk kulit menemukan
bahwa terdapat interaksi yang sinergis antara paparan terhadap anjing dan Penelitian ini hanya
meneliti hubungan antara vaksinasi DPT terhadap kejadian atopi dan tidak
kucing yang berhubungan dengan rendahnya risiko untuk menjadi atopi pada
anak dan dewasa.
Penelitian lainnya di Chicago mengenai efek paparan hewan
peliharaan dan genotype pada perkembangan imunologi dan insidens atopic
markers dan penyakit pada tahun pertama kehidupan menyatakan bahwa
paparan terhadap anjing pada waktu bayi berhubungan dengan
meningkatnya sekresi IL-10 dan IL-13 serta penurunan sensitisasi alergi dan
dermatitis atopi sehingga dikatakan bahwa paparan terhadap anjing setelah
kelahiran dapat mempengaruhi perkembangan imun dalam genotype khusus
dan mengurangi berkembangnya atopi pada anak yang berisiko.
28
29
Pada penelitian ini didapati adanya hubungan bermakna antara hasil
uji tusuk kulit dengan riwayat pemberian ASI eksklusif (p= 0,006). Penelitian
prospektif terhadap 4089 bayi di Swedia menemukan bahwa ASI eksklusif
memiliki efek pencegahan terhadap perkembangan penyakit alergi di awal
kehidupan seperti dermatitis atopi, asma, rhinitis alergi sampai di atas usia 2
tahun.
Penelitian
ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana keberadaan binatang
peliharaan (anjing, kucing) berhubungan dengan rendahnya risiko untuk
menjadi atopi, namun pada penelitian ini tidak dinilai efek waktu terjadinya
paparan terhadap atopi. dan tidak dilakukan pengukuran kadar 10 dan
IL-13.
30
Namun, penelitian pada 200 bayi baru lahir di Finland menemukan
dermatitis atopi dan gejala hipersensitifitas terhadap makanan pada anak.31
Penelitian di Denmark menunjukkan tidak terdapat efek yang kuat dari
menyusui secara eksklusif atau partial pada dermatitis atopi, meskipun
riwayat alergi pada keluarga juga dapat mempengaruhi risiko.15
Pada penelitian ini didapati 72 anak yang mengalami paparan asap
rokok memiliki hasil uji tusuk kulit positif namun tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara keduanya (P= 1.000). Penelitian di Sao Paulo, Brazil
pada 183 anak usia 4-9 tahun yang dilakukan uji tusuk kulit menemukan
bahwa asma dan infeksi saluran nafas tidak berhubungan dengan adanya
orang tua yang merokok tetapi berhubungan dengan riwayat atopi pada
orang tua.
Penelitian ini
sesuai dengan penelitian di Swedia yang menyatakan adanya efek
pemberian ASI eksklusif terhadap pencegahan penyakit alergi namun
penelitian ini hanya menilai efek pemberian ASI selam 6 bulan sehingga tidak
dapat dinilai efek dari menyusui > 6 bulan. Meskipun ASI akan dapat
mencegah atopi tetapi hal ini masih merupakan kontroversi.
32
Penelitian mengenai efek paparan asap rokok di lingkungan
terhadap atopi dan wheezing pada anak prasekolah di Austria menemukan
bahwa paparan asap rokok pranatal merupakan faktor risiko wheezing dan
asma pada anak prasekolah.33 Penelitian ini berbeda dengan penelitian di
Brazil dimana pada penelitian ini paparan asap rokok tidak berperan terhadap
terjadinya penyakit atopi pada anak. Pada penelitian ini juga ditanyakan
berhubungan dengan paparan asap rokok dan penyakit atopi pada anak.
Penelitian ini tidak membahas mengenai waktu paparan asap rokok sehingga
tidak dapat diketahui hubungannya dengan penyakit atopi.
Penelitian ini menggunakan riwayat keluarga (trace card) sebagai
acuan risiko atopi. American Academy of Pediatrics (AAP) dan European
committees telah merekomendasikan penggunaan riwayat keluarga atopi
untuk mengidentifikasi bayi / anak risiko tinggi yang layak mendapat
pencegahan alergi.34 Pada penelitian ini dilakukan uji tusuk kulit pada anak
usia tujuh hingga sepuluh tahun dimana sensitivitas dinilai dalam 15-20 menit
setelah aplikasi uji tusuk kulit. Kelainan atopi dapat didiagnosis dengan
riwayat individual atau keluarga yang dikonfirmasikan dengan adanya IgE
alergen spesifik atau dengan hasil uji tusuk kulit yang positif.4 Uji tusuk kulit
adalah salah satu jenis tes kulit yang digunakan sebagai alat diagnosis alergi
yang diperantarai IgE dalam waktu singkat. Tidak ada batas usia untuk
dilakukan uji tusuk kulit, konsensus menunjukkan bahwa uji tusuk kulit mulai
dapat dinilai sejak usia 4 bulan.22 Uji kulit terhadap alergen yang paling baik
dilakukan setelah usia 3 tahun.5
Alergen hirup yang digunakan pada penelitian ini yaitu kutu debu
rumah, debu rumah, kapuk, bulu ayam, bulu kucing, kecoa, jamur serta
kontrol positif dan negatif. Uji tusuk kulit merupakan metode pendekatan
diagnostik yang tepat untuk mendeteksi sensitisasi IgE oleh alergen hirup,
paling baik dan mempunyai hasil paling prediktif diantara uji kulit. Uji ini juga
mempunyai keamanan dan sensitifitas yang baik, dengan hasil yang dapat
dipercaya karena sudah sering diteliti secara luas.35 Alasan menggunakan
alergen hirup pada penelitian ini yaitu alergen hirup memiliki nilai prediksi
negatif yang tinggi dan juga untuk mendiagnosa alergi makanan lebih baik
dengan oral challenge test. Efek samping uji tusuk kulit tidak dijumpai pada
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
Dari penelitian ini didapati bahwa terdapat hubungan antara reaktivitas uji
tusuk kulit dengan jumlah saudara kandung pada anak atopi. Prevalensi anak
Sekolah Dasar dengan riwayat atopi yang mengalami reaktivitas uji tusuk kulit
positif di Sekolah Dasar Negeri 060907, 064980 dan 064961 Kampung Baru,
Kecamatan Medan Maimun, Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara
adalah 63.5%. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi reaktivitas uji tusuk
kulit yaitu riwayat pemberian ASI eksklusif dan keberadaaan hewan
peliharaan.
6.2. SARAN
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel yang
lebih besar untuk melihat hubungan reaktivitas uji tusuk kulit dengan jumlah
saudara kandung dan penilaian terhadap faktor-faktor lainnya yang dapat
DAFTAR PUSTAKA
1. McRae WM. Asthma, allergy and the hygiene hypothesis. NZFP. 2002; 2:317
2. Santosa H. Asma bronchial. Dalam: Akib AA, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi- imunologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2007.h.253-66
3. Santosa H. Dermatitis Atopik. Dalam: Akib AA, Munasir Z, Kurniati N, Penyunting. Buku ajar alergi- imunologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2007.h.235-45
4. Arshad SH, Tariq SM, Matthews S, Hakim E. Sensitization to common allergens and its association with allergic disorders at age 4 years: a whole population birth cohort study. Pediatrics. 2001; 108:1-8
5. Munasir Z. Pemeriksaan penunjang klinis : uji kulit terhadap alergen. Dalam: Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi- imunologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2007.h.445-7
6. Mutius EV, Martinez FD, Fritzsch C, Nicolai T, Reitmeir P, Thiemann HH. SkinTest Reactivity and Number of Siblings. BMJ. 1994; 308:692-5
7. Noval A, Irawan D. Hubungan riwayat atopi dengan hasil uji tusuk kulit menggunakan alergen tungau debu rumah. KTI (Karya Tulis Ilmiah). 2011(cited 2011 April 7). Available from: http://lib.fkuii.org/index.php? 8. Smith RS, Bloomfield S. The hygiene hypothesis and implications for
home hygiene. Italy: NextHealth Srl, P.le Türr; 2004.h.45-87
9. Bloomfield SF, Smith RS, Crevel RWR, Pickup J. Too clean, or not too clean : the hygiene hypothesis and home hygiene. Clin Exp Allergy. 2006; 36:402-25
10. Naleway AL. Asthma and atopy in rural children : is farmingprotective?. CM&R. 2004; 2:5-12
11. Spycher BD, Silverman M, Egger M, Zwahlen M, Kuehni CE. Routine vaccination againts pertussis and the risk of childhood asthma: A population-based cohort study. Pediatrics. 2009; 123:944-50
12. Yoneyama H, Suzuki M, Fujii K, Odajima Y. The effect of DPT and BCG vaccinations on atopic disorders. Arerugi. 2000; 49:585-92
13. Rosenlund H, Bergstorm A, Alm JS, Swartz J, Scheynius A, Vanhage M, et al. Allergic disease and atopic sensitization in children in relation to measles vaccination and measles infection. Pediatrics. 2009; 123:771-8
15. Benn CS, Wohlfahrt J, Aaby P, Westergaard T, Benfeldt E, Michaelsen KF. Breastfeeding and risk of atopic dermatitis by parental history of allergy, during the first 18 months of life. Am J Epidemiol. 2004; 160:217-223
16. Karmaus W, Arshad SH, Sadeghnejad A, Twiselton R. Does maternal immunoglobulin E decrease with increasing order of live offspring? Investigation into maternal immune tolerance. Clin Exp Allergy. 2004; 34:853-9
17. K Wickens, J Crane, N Pierce, R Beasley. The magnitude of the effect of smaller family size on the increase in the prevalence of asthma and hay fever in the United Kingdom and New Zealand. J Allergy Clin Immunol. 1999; 104:554-8
18. Karmaus W, Arshad H, Mattes J. Does the sibling effect have its origin inutero? Investigating birth order, cord blood immunoglobulin E concentration, and allergic sensitization at age 4 years. AM J Epidemiol. 2001; 154:909-15
19. Bodner C, Godden D, Seaton A. Family Size, Childhood Infections and Atopic Diseases. Thorax. 1998; 53:28-32
20. Liu AH, Leung DY. Reneissance of the hygiene hypothesis. J Allergy Clin Immunol. 2006; 117:1063-6
21. Cooper PJ. Intestinal worms and human allergy. Parasite Immunology. 2004; 26:455-67
22. Morris A, Potter P, Lockey R. ALLSA position statement : allergen skin- prick testing. Curr Allergy Clin Immunol. 2006; 19:22-5
23. Madiyono M, Moeslichan Mz S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SP. Perkiraan besar sampel. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis, edisi ke-3. Jakarta : Sagung seto; 2008.h.302-31
24. Hughes AM, Crouch S, Lightfoot T, Ansell P, Simpson J, Roman E. Eczema, birth order and infection. Am J Epidemiol. 2008;1-6
25. Nafstad P, Brunekreef B, Skrondal A, Nystad W. Early respiratory infections, asthma, and allergy:10-Year follow-up of the Oslo birth cohort. Pediatrics. 2005; 116:255-62
26. Nilsson L, Kjellman M, Bjorksten B. Allergic disease at the age of 7 years after pertussis vaccination in infancy. Arch Pediatr Adolesc Med. 2003; 157:1184-89
28. Mandhane PJ, Sears MR, Poulton R, Greene JM, DipcomSys, Lou WY, T et al. Cats and dogs and the risk of atopy in childhood and adulthood. J Allergy Clin Immunol. 2009; 124:745-50
29. Gern JE, Reardon CL, Hoffjan S, Nicolae D, Li Z, Roberg KA et al. Effects of dog ownership and genotype on immnune development and atopy in infancy. J Allergy Clin Immunol. 2004; 113:307-14
30. Kull I, Wickman M, Lilja G, Nordvall SL, Pershagen G. Breastfeeding and allergic diseases in infants-a prospective birth cohort study. Arch Dis Child. 2002; 87:478-81
31. Pesonen M, Kallio M, Ranki A, Siimes M. Prolonged exclusive breastfeeding is associated with increased atopic dermatitis: a prospective follow-up study of unselected healthy newborns from birth to age 20 years. Clinical and Experimental Allergy. 2006; 36:1011-18 32. Riberro SA, Furuyama T, Schenkman S, De Brito Jardim JR. Atopy,
passive smoking, respiratory infections and asthma among children from kindergarten and elementary school. Sao Paolo Med J. 2002; 120(4):109-12
33. Horak E, Morass B, Ulmer H. Association between environmental tobacco smoke exposure and wheezing disorders in Australian preschool children. Swiss Med WKLY. 2007; 137:608-13
34. Zeiger RS. Food allergen avoidance in the prevention of food allergy in infants and children. Pediatrics. 2003; 111:1662-71
LAMPIRAN 1
Lampiran 1
I. Personalia Penelitian 1. Ketua penelitian
Nama : dr. Beatrix Siregar
Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSHAM 2. Supervisor penelitian
1. Prof. dr. H. M. Sjabaroeddin Loebis, SpAK 2. dr. Lily Irsa, SpAK
3. dr. Rita Evalina, SpA 3. Anggota penelitian
1. dr. Johan El Hakim Siregar
Lampiran 2
4.Tempat / Tanggal Lahir: ………..………...……... 5. Berat / Tinggi badan :...kg / ...cm
1. Risiko Atopi (Trace-card UKK Alergi – Imunologi IDAI)
Berikan nilai terhadap semua anggota keluarga dengan tanda-tanda
alergi : Dermatitis/ Eksim/ Kemerahan/ Diare/ Muntah/ Kolik/
Pilek/ Nafas berbunyi/ Asma sesuai dengan petunjuk berikut :
Nilai Kondisi
2 ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung anak yang
dinyatakan terkena alergi
1 ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung anak diduga
terkena alergi
0 ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung anak tanpa
Jumlahkan nilai tersebut, kemudian gunakan tabel di bawah ini untuk
memeriksa tingkat risiko alergi : (berilah tanda pada kolom yang
sesuai)
Keluarga Dinyatakan Diduga Tanpa
riwayat
NILAI
Ibu
Bapak
Saudara
sekandung
Tingkat risiko : ...
Tabel 1
Nilai keluarga yang diprediksikan digunakan untuk menentukan
kemungkinan terkena alergi
Nilai Keluarga Tingkat Risiko terkena alergi
0
1 – 3
4 – 6
Risiko Kecil (5-15%)
Risiko Sedang (20 – 40%)
Risiko Tinggi (40 – 60%)
2. Riwayat klinis atopi
1. Pernahkah anak Bapak / Ibu mengalami ruam kemerahan yang terasa gatal pada pipi, leher atau lipatan kulit siku atau antara paha dan betis?
2. Terjadi pada usia : …... tahun / bulan, dan apakah berulang?
3. Apakah kini sedang kambuh ?
4. Pernahkah diperiksa / diobati dokter atas keluhan tersebut?
Rinitis Alergi
5. Pernahkah anak Bapak / Ibu mengalami pilek, hidung berair, tersumbat atau perasaan gatal di hidung atau mata yang terjadi terutama pada saat malam atau pagi hari ?
6. Terjadi pada usia : ...… tahun / bulan, dan apakah berulang?
7. Apakah kini sedang kambuh ?
8. Pernahkah diperiksa / diobati dokter atas keluhan tersebut?
Asma Tidak
pernah
Kadang kadang
Sering 9. Pernahkah anak Bapak / Ibu mengalami
batuk, sesak dengan adanya suara nafas yang berbunyi (mengi) yang muncul jika berhubungan dengan perubahan suhu udara (hujan) atau terhirup debu dan lain-lain?
10. Terjadi pada usia : ...… tahun / bulan, dan apakah berulang?
11. Apakah kini sedang kambuh ?
3. Riwayat makanan anak :
• Makanan padat diberikan mulai usia ... bulan / tahun 4. Riwayat Imunisasi :
5. Paparan hewan peliharaan dan ternak
Apakah di rumah Bapak / Ibu terdapat hewan peliharaan ? ... (ya / tidak)
Apakah hewan tersebut sudah dipelihara saat usia anak < 1 tahun ? (ya / tidak)
7. Paparan asap rokok
Apakah di rumah terdapat anggota keluarga yang merokok? (ya/tidak) 8. Penggunaan obat-obatan
Apakah anak bapak/ibu pernah/sedang mengkonsumsi obat-obatan?...(Ya/tidak)
Jika ya, sebutkan nama obatnya ... Sudah berapa lama mengkonsumsi obat tersebut ?
Lampiran 3
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ... Umur : ... tahun (L / P) Alamat : ... dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan
PERSETUJUAN
untuk dilakukan pemeriksaan uji tusuk kulit terhadap anak saya :
Nama : ... Umur : ... tahun (L / P) Alamat rumah : ... Alamat sekolah : ...
yang tujuan, sifat, dan perlunya pemeriksaan tersebut di atas, serta risiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya.
Demikianlah pernyataan persetujuan ini saya perbuat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.
Medan, ... 2010 Yang memberikan penjelasan Yang membuat pernyataan
dr. ... ...
Saksi-saksi : Tanda tangan
1. ... ...
Lampiran 4
LEMBAR PENJELASAN KEPADA ORANGTUA Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Selamat pagi bapak dan ibu...
Saya dr. Beatrix Siregar, saat ini saya sedang menjalani pendidikan dokter spesialis anak di FK USU dan saat ini saya sedang melakukan penelitian dengan judul Hubungan Reaktivitas Uji Tusuk Kulit Pada Anak Dengan Jumlah Saudara Kandung. Adapaun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara reaktivitas uji tusuk kulit dengan jumlah saudara kandung. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai penelitian awal sebagai dasar penelitian selanjutnya mengenai hubungan uji tusuk kulit pada anak dengan jumlah saudara kandung dan bermanfaat untuk meningkatkan pelayanan kesehatan anak khususnya pelayanan di bidang alergi-imunologi. Bersama ini saya akan memberi sedikit keterangan kepada ibu/bapak.
Asma dan penyakit alergi lainnya telah menjadi suatu penyakit yang umum yang cenderung meningkat. Peningkatan insiden pada beberapa dekade terakhir ini dikaitkan dengan polusi udara dan terjadinya gangguan sistem kekebalan tubuh anak.
Alergi adalah kelainan keturunan yang mempunyai gejala klinis seperti rinitis alergi (pilek), asma (bengek) dan dermatitis atopik (ruam susu). Namun alergi dapat juga bersifat tanpa gejala. Anak yang lahir dari keluarga dengan riwayat alergi pada kedua orang tua mempunyai resiko hingga 50-80% untuk terkena penyakit alergi dibanding dengan anak tanpa riwayat keluarga (resiko hanya sebesar 20%). Resiko akan jadi lebih tinggi jika penyakit alergi diderita oleh ibu dibanding ayah.
Untuk mengurangi keparahan penyakit alergi pada anak, zat-zat/bahan yang disangkakan dapat menimbulkan penyakit tersebut harus dihindari.
Kelainan atopi atau kecenderungan untuk menderita alergi pada anak dapat diperiksa dengan pemeriksaan uji tusuk (cungkit) kulit yang merupakan bentuk pemeriksaan yang mudah dilaksanakan, memiliki akurasi yang baik, murah dan tak menimbulkan rasa sakit dan mempunyai hasil yang cepat diperoleh.
1. Daerah lengan bawah dibersihkan dengan larutan alkohol 70%
2. Alergen yang pertama ditusukkan adalah kontrol negatif (NaCl 0,9%) diikuti oleh kontrol positif (histamin 1 %)
3. Setetes alergen diteteskan pada bagian volar lengan bawah subjek, kemudian jarum (Blood Lancets GEA®) dimasukkan pada tetesan alergen dengan posisi 45
4. Setiap alergen diteteskan sebanyak 1 tetes dengan jarak 2 cm 0
5. Alergen yang diujikan kepada masing-masing subjek adalah kutu debu rumah, debu rumah, kapuk, bulu ayam, bulu kucing, kecoa, jamur. Alergen yang digunakan diproduksi oleh Instalasi Farmasi RSUP dr. Soetomo, Surabaya
6. Setiap jarum hanya digunakan satu kali
7. Sisa alergen pada kulit dikeringkan dengan kertas hisap 8. Sensitisasi dinilai 15-20 menit setelah aplikasi uji tusuk kulit
9. Sensitisasi positif jika didapati indurasi kemerahan ф ≥ 3 mm setelah dibandingkan dengan kontrol negatif
10. Sensitisasi negatif jika didapati indurasi kemerahan ф < 3 mm
Agar hasil pemeriksaan ini tidak terganggu oleh obat-obatan maka tiga hari sebelum pemeriksaan sampai hari pelaksanaan diharapkan putra/putri Bapak/Ibu tidak mengkonsumsi obat/jamu-jamuan apapun juga.
Jika dari pemeriksaan tersebut terdapat keluhan berkelanjutan pada putra/putri Bapak/Ibu, silahkan menghubungi :
dr. Beatrix Siregar (HP: 061-77771531 / 081361534631) dr. Lily Irsa, SpAK (HP : 0811 636 456)
dr. Rita Evalina, SpA (HP : 0816 3131 981)
Demikian informasi ini kami sampaikan. Atas bantuan dan partisipasinya kami ucapkan terima kasih. Kerahasiaan data penelitian ini dapat dijamin dan biaya yang digunakan tidak akan dibebankan kepada bapak dan ibu.
Wassalam,
Lampiran 5
RIWAYAT HIDUP Nama Lengkap : dr. Beatrix Siregar Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 30 Oktober 1983 Alamat : Jln. Jermal VII No.6
Medan, Indonesia
PENDIDIKAN
Sekolah Dasar : SD Ahmad Yani Binjai, tamat tahun 1995 Sekolah Menengah Pertama : SLTP Ahmad Yani Binjai, tamat tahun 1998 Sekolah Menengah Umum : SMU Negeri 1 Binjai, tamat tahun 2001 Dokter Umum : Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat
tahun 2007
Magister Kedokteran Klinik : Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat tahun 2011
RIWAYAT PEKERJAAN : -
PERTEMUAN ILMIAH / PELATIHAN
1. Deteksi Dini dan Pemantauan Tumbuh Kembang di Medan, 17 Februari 2007, sebagai peserta.
PENELITIAN
1. Hubungan reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah saudara kandung
ORGANISASI