• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Reaktivitas Uji Tusuk Kulit pada Anak Atopi dengan Jumlah Saudara Kandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Reaktivitas Uji Tusuk Kulit pada Anak Atopi dengan Jumlah Saudara Kandung"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

HUBUNGAN REAKTIVITAS UJI TUSUK KULIT PADA ANAK ATOPI DENGAN JUMLAH SAUDARA KANDUNG

BEATRIX SIREGAR 087103029/IKA

PROGRAM MAGISTER KLINIS – SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Judul Penelitian : Hubungan Reaktivitas Uji Tusuk Kulit pada Anak Atopi dengan Jumlah Saudara Kandung

Nama Mahasiswa : Beatrix Siregar

NIM : 087103029

Program Magister : Magister Klinis Konsentrasi : Kesehatan Anak

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

dr. Lily Irsa, Sp.A(K)

Anggota

dr. Supriatmo, Sp.A(K)

Ketua Program Magister Ketua TKP-PPDS

dr. Melda Deliana, Sp.A(K) dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K)

(3)

Telah diuji pada

Tanggal: 17 April 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua: dr. Lily Irsa, Sp.A(K) ……… Anggota:1. dr. Supriatmo, Sp.A(K) ………

2. Prof. dr. Darwin Dalimunthe, Ph.D ……… 3. Prof. dr. Hj. Bidasari Lubis, Sp.A(K) ………

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Pembimbing utama dr. Lily Irsa, SpA(K) dan dr. Supriatmo, SpA(K),yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

(5)

3. dr. Beby Syofiani Hsb, M. Ked(Ped), Sp.A, sebagai Sekretaris Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anak FK-USU yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan dan RS. dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini. 5. Teman-teman yang tidak mungkin bisa saya lupakan yang telah membantu

saya dalam keseluruhan penelitian maupun penyelesaian tesis ini.

6. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.

Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orangtua saya Ir. H. Gusnar Siregar dan Dra. Hj. Elisabeth Harahap, Apt atas pengertian serta dukungan yang sangat besar, terima kasih karena selalu mendo’akan saya dan memberikan bantuan moril dan materil. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 10 Januari 2012

(6)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan Tesis ii

Ucapan Terima Kasih iv

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Singkatan dan lambang xi

Abstrak xii

Bab 1. Pendahuluan

1.1. Latar belakang 1

1.2. Rumusan masalah 2

1.3. Hipotesis 3

1.4. Tujuan penelitian 3

1.4.1. Tujuan umum 3

1.4.2. Tujuan khusus 3

1.5. Manfaat penelitian 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1. Hipotesis higiene 4

2.2. Uji tusuk kulit 12

(7)

reaktivitas uji tusuk kulit 13

2.3. Kerangka konseptual 15

Bab 3. Metode penelitian

3.1. Desain penelitian 16

3.2. Tempat dan waktu penelitian 16

3.3. Populasi dan sampel 16

3.4. Kriteria inklusi dan eksklusi 16

3.5. Besar sampel 17

3.6. Cara kerja dan alur penelitian 18

3.7. Identifikasi variabel 21

3.8. Analisa data 22

3.9. Definisi operasional 22

3.10. Masalah etika 23

Bab 4. Hasil 24

Bab 5. Pembahasan 30

Bab 6. Kesimpulan dan saran 38

Ringkasan 39

Daftar pustaka 43

Lampiran

(8)

2. Biaya Penelitian 46

3. Jadwal Penelitian 46

4. Kuisioner penelitian 47

5. Persetujuan Setelah Penjelasan 51 6. Lembar Penjelasan Kepada Orang Tua 52

7. Persetujuan Komite Etik 55

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Karakteristik sampel 26 Tabel 4.2. Hubungan jumlah saudara kandung dengan hasil 27

uji tusuk kulit

Tabel 4.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil uji tusuk 27 kulit

Tabel 4.4. Distribusi Hasil Uji Tusuk Kulit Setiap Alergen 28 terhadap Jumlah Saudara Kandung 29

(10)

DAFTAR GAMBAR

(11)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

IgE : Imunoglobulin E Th1 : T helper 1 Th2 : T helper 2 IL : Interleukin

AAP : American Academy of Pediatrics UKK : Unit Koordinasi Kerja

IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia BCG : Bacillus Calmette Guerin DPT : Diphteri Pertussis Tetanus ASI : Air susu ibu

Zα : Deviat baku normal untuk α Zβ : Deviat baku normal untuk β α : Kesalahan tipe I

β : Kesalahan tipe II

(12)

NaCl : Natrium chloride

SPSS : Statistical Package for Social Science

Kg : Kilogram

Cm : Centimeter Mm : Milimeter SD : Standar Deviasi

≥ : Lebih besar atau sama dengan

(13)

ABSTRAK

Latar Belakang. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa tingkat kelahiran yang rendah merupakan faktor risiko berkembangnya penyakit atopi, meskipun hasilnya masih menjadi pertentangan. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis higiene yang menyatakan adanya suatu hubungan yang terbalik antara jumlah anggota keluarga dengan berkembangnya kelainan atopi. Atopi dapat didiagnosis dengan riwayat individual atau keluarga yang dikonfirmasikan dengan adanya IgE alergen spesifik atau dengan hasil uji tusuk kulit yang positif.

Tujuan. Untuk mengetahui hubungan reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah saudara kandung.

Metode. Studi cross sectional yang dilakukan pada bulan Mei - Juni 2010 pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Kampung Baru, Kotamadya Medan,

Propinsi Sumatera Utara. Uji tusuk kulit dilakukan pada anak usia 7-10 tahun

dengan riwayat asma, rhinitis alergi atau dermatitis atopi. Sampel dibagi

menjadi dua kelompok. Kelompok I merupakan anak dengan jumlah saudara

kandung < 3 orang dan kelompok II merupakan anak dengan jumlah saudara

kandung > 3 orang. Reaktivitas uji tusuk kulit dibandingkan antara kedua

kelompok dengan menggunakan uji

Hasil. Seratus sembilan puluh dua subjek dimasukkan dalam studi ini (kelompok I n= 96, kelompok II n=96). Terdapat hubungan antara reaktivitas uji tusuk kulit dengan jumlah saudara kandung dimana prevalensi uji tusuk kulit positif secara signifikan lebih tinggi pada anak dengan saudara kandung < 3 dibandingkan

chi-square.

Kesimpulan. Terdapat hubungan antara reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah saudara kandung.

≥ 3 (

75% and 64.1%, secara berturut-turut; P=0.003).

(14)

ABSTRACT

Background. Some studies have showed that low birth order was a risk factor to develop atopy although the results are still controversial. Those studies were appropriate with hygiene hypothesis which said that there was an inverse association between family numbers and atopy. Atopy can be diagnosed from the history of individual or families’ atopy which confirmed by specific IgE allergen or positive skin prick test.

Objective. To determine the association between skin prick test reactivity in atopic children and number of their siblings.

Methods. A cross sectional study was conducted on May - June 2010 among elementary school children at Kampung Baru District, Medan Regency, North Sumatera. Skin prick test was done in 7-10 year children with history of asthma, rhinitis allergy or atopic dermatitis. Sample was divided into two groups. Group I was children who have < 3 siblings and group II was children who have ≥ 3 siblings. Skin prick test reactivity was compared between two groups

Results. A total of 192 subjects were enrolled in this study (group I n= 96, group II n=96). There was an association between skin prick test reactivity and number of siblings where

using Chi-square test.

the prevalence of positive skin prick test was statistically significant

Conclusions. There was an association between skin prick test

higher in children who have sibling < 3 than ≥ 3 ( 75% and 64.1%,

respectively; P=0.003).

reactivity in atopic children and number of their siblings

KEYWORDS Skin prick test, number of siblings, atopy, children

(15)

ABSTRAK

Latar Belakang. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa tingkat kelahiran yang rendah merupakan faktor risiko berkembangnya penyakit atopi, meskipun hasilnya masih menjadi pertentangan. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis higiene yang menyatakan adanya suatu hubungan yang terbalik antara jumlah anggota keluarga dengan berkembangnya kelainan atopi. Atopi dapat didiagnosis dengan riwayat individual atau keluarga yang dikonfirmasikan dengan adanya IgE alergen spesifik atau dengan hasil uji tusuk kulit yang positif.

Tujuan. Untuk mengetahui hubungan reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah saudara kandung.

Metode. Studi cross sectional yang dilakukan pada bulan Mei - Juni 2010 pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Kampung Baru, Kotamadya Medan,

Propinsi Sumatera Utara. Uji tusuk kulit dilakukan pada anak usia 7-10 tahun

dengan riwayat asma, rhinitis alergi atau dermatitis atopi. Sampel dibagi

menjadi dua kelompok. Kelompok I merupakan anak dengan jumlah saudara

kandung < 3 orang dan kelompok II merupakan anak dengan jumlah saudara

kandung > 3 orang. Reaktivitas uji tusuk kulit dibandingkan antara kedua

kelompok dengan menggunakan uji

Hasil. Seratus sembilan puluh dua subjek dimasukkan dalam studi ini (kelompok I n= 96, kelompok II n=96). Terdapat hubungan antara reaktivitas uji tusuk kulit dengan jumlah saudara kandung dimana prevalensi uji tusuk kulit positif secara signifikan lebih tinggi pada anak dengan saudara kandung < 3 dibandingkan

chi-square.

Kesimpulan. Terdapat hubungan antara reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah saudara kandung.

≥ 3 (

75% and 64.1%, secara berturut-turut; P=0.003).

(16)

ABSTRACT

Background. Some studies have showed that low birth order was a risk factor to develop atopy although the results are still controversial. Those studies were appropriate with hygiene hypothesis which said that there was an inverse association between family numbers and atopy. Atopy can be diagnosed from the history of individual or families’ atopy which confirmed by specific IgE allergen or positive skin prick test.

Objective. To determine the association between skin prick test reactivity in atopic children and number of their siblings.

Methods. A cross sectional study was conducted on May - June 2010 among elementary school children at Kampung Baru District, Medan Regency, North Sumatera. Skin prick test was done in 7-10 year children with history of asthma, rhinitis allergy or atopic dermatitis. Sample was divided into two groups. Group I was children who have < 3 siblings and group II was children who have ≥ 3 siblings. Skin prick test reactivity was compared between two groups

Results. A total of 192 subjects were enrolled in this study (group I n= 96, group II n=96). There was an association between skin prick test reactivity and number of siblings where

using Chi-square test.

the prevalence of positive skin prick test was statistically significant

Conclusions. There was an association between skin prick test

higher in children who have sibling < 3 than ≥ 3 ( 75% and 64.1%,

respectively; P=0.003).

reactivity in atopic children and number of their siblings

KEYWORDS Skin prick test, number of siblings, atopy, children

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada negara berkembang jumlah anggota keluarga rata-rata telah berkurang

selama beberapa dekade terakhir. Di New Zealand terdapat 1.98 kelahiran

pada tahun 2001 dibandingkan dengan 4.2 kelahiran pada tahun 1960 dan

3.1 kelahiran pada tahun 1920. Pada tahun 1966 terdapat rata-rata 2.5 anak

per keluarga, berkurang menjadi 1.95 anak per keluarga pada tahun 1996.1

Angka kejadian asma di Amerika Serikat berkisar antara 8-13% dengan

peningkatan sebesar 50% antara tahun 1964-1980.2 Demikian pula halnya

dengan prevalensi dermatitis atopi, diperkirakan angka kejadian di

masyarakat adalah sekitar 1-3% dan di Bristol pada anak < 5 tahun sebesar

3,1% dan prevalensi dermatitis atopi pada anak meningkat 5-10% pada

20-30 tahun terakhir.

Pada tahun-tahun belakangan ini, adanya penurunan paparan

terhadap infeksi karena penurunan jumlah anggota keluarga, perbaikan

higiene serta peningkatan intervensi medis seperti vaksinasi dan antibiotik

dapat berkontribusi terhadap peningkatan kejadian atopi. Jumlah anggota

keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian atopi

pada anak, remaja dan dewasa. Tingkat kelahiran yang rendah merupakan

faktor risiko berkembangnya atopi, meskipun hasilnya masih menjadi

pertentangan. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis higiene yang

(18)

menyatakan bahwa infeksi berulang yang didapat dari saudara kandung yang

lebih tua pada awal masa kanak-kanak dapat mencegah respons imun atopi.

Kelainan atopi dapat didiagnosis dengan riwayat individual atau

keluarga yang dikonfirmasikan dengan adanya Imunoglobulin(Ig)E alergen

spesifik atau dengan hasil uji tusuk kulit yang positif.

1

4

Uji tusuk kulit dapat

dilakukan dalam waktu singkat dan lebih sesuai untuk anak. Dengan teknik

dan interpretasi yang benar, alergen dengan kualitas yang baik maka uji ini

mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi disamping mudah, cepat,

murah, aman dan tidak menyakitkan.5 Sebuah penelitian yang dilakukan

terhadap 7653 anak di Jerman yang bertujuan untuk menilai hubungan

reaktivitas uji tusuk kulit pada anak dengan jumlah saudara kandung

menunjukkan bahwa penurunan jumlah anggota keluarga berkontribusi

terhadap peningkatan prevalensi atopi.6 Penelitian di Indonesia terhadap 92

individu atopi dan non atopi menunjukkan bahwa riwayat atopi merupakan

salah satu faktor predisposisi untuk lebih besar memberikan hasil positif pada

uji tusuk kulit dengan alergen tungau debu rumah.7

1.2. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi

dengan jumlah saudara kandung merupakan permasalahan yang akan dinilai

(19)

1.3. Hipotesis

Terdapat hubungan reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah

saudara kandung

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi

dengan jumlah saudara kandung

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui prevalensi anak Sekolah Dasar dengan riwayat atopi yang

mengalami reaktivitas uji tusuk kulit positif di Sekolah Dasar Negeri

060907, 064980 dan 064961 Kampung Baru, Kecamatan Medan Maimun,

Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara

2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi sensitivitas uji tusuk kulit pada

anak

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya

mengenai hubungan reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah

saudara kandung dan bermanfaat untuk meningkatkan pelayanan kesehatan

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipotesis Higiene

Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

yang terjadi pada tiga puluh sampai empat puluh tahun terakhir, terutama di

negara-negara industri/maju.8 Hipotesis higiene yang berkembang pada akhir

1980-an merupakan penjelasan terhadap peningkatan prevalensi asma di

seluruh dunia.1 Dalam hipotesis tersebut dinyatakan bahwa penyakit alergi

dapat dicegah dengan adanya infeksi pada awal kehidupan yang berasal dari

kontak dengan saudara kandung yang lebih tua. Selain itu juga dinyatakan

bahwa pada akhir abad ini adanya penurunan jumlah anggota keluarga,

peningkatan kebersihan individual telah menurunkan kesempatan terjadinya

infeksi silang dalam keluarga, hal ini akan meningkatkan gejala klinis

atopi.1,8,9

Pada hipotesis higiene peranan sel T regulator akan mempengaruhi

efek paparan terhadap infeksi pada keseimbangan T helper 1 (Th1) dan T

helper 2 (Th2). Berkurangnya paparan terhadap infeksi setelah kelahiran

dapat menggeser respons keseimbangan sel Th menuju Th2. Hasil dari

respons ketidakseimbangan akan menyebabkan respons eosinofil dan IgE

yang berlebihan, dimana kedua-duanya berhubungan dengan reaksi alergi

dan atopi.

8

Paparan terhadap mikroba dapat mempengaruhi keseimbangan

(21)

Th1 dan Th2 dengan meningkatkan respons Th1 dan menurunkan respons

Th2. Sel Th1 berhubungan dengan respons terhadap infeksi dan produksi

interferon-∂. Sel Th2 menginduksi produksi IgE dan maturasi sel mast, basofil

dan eosinofil sehingga sel Th2 secara umum berhubungan dengan respons

imun atopi.10

Pada model yang berasal dari Cookson dan Moffatt pada tahun 1997

(gambar 1) menunjukkan keuntungan adanya infeksi dalam pencegahan

atopi. Pada model ini atopi terutama berhubungan dengan imunitas terhadap

tuberkulosis, yang diukur dengan hipersensitivitas kulit tipe lambat terhadap

tes tuberkulin. Jika individu lebih dominan memiliki Th2, fenotip Th2 akan

berinteraksi dengan alergen lingkungan untuk menyebabkan atopi. Infeksi

ditunjukkan secara potensial dapat mengubah keseimbangan antara fenotip

Th1 dan Th2. Keseimbangan Th1 dan Th2 dipertahankan oleh kombinasi

sanitasi yang buruk dan lingkungan yang ramai sehingga menghasilkan

respons Th1, sementara IgE poliklonal yang dihasilkan sebagai respons

terhadap infeksi cacing akan menurunkan respons Th2 sehingga tercapai

keseimbangan Th1 dan Th2. Polusi dapat memperberat asma, sementara

alergen inhalan seperti kutu debu rumah dan bulu binatang dapat

memberikan sensitisasi spesifik yang berfungsi sebagai variabel intervensi.

8

(22)

Gambar 1. Keuntungan infeksi dalam pencegahan atopi8

Terdapat beberapa faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kejadian

alergi yaitu :

1. Imunisasi/vaksinasi

Oleh karena vaksinasi merupakan pemberian mikroorganisme yang

dilemahkan atau dimatikan untuk menginduksi respons imun,

hipotesis higiene memprediksi vaksinasi dapat mempengaruhi

kerentanan terhadap terjadinya atopi. Akan tetapi, beberapa studi

Ig E Poliklonal

Infeksi cacing Polusi

(23)

menunjukkan data yang tidak konsisten mengenai keuntungan atau

efek samping vaksinasi terhadap kemungkinan terjadinya atopi.9

Penelitian di Inggris yang dilakukan terhadap 6811 anak,

menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara vaksinasi pertusis

pada bayi dengan peningkatan risiko wheezing atau asma di kemudian

hari.

11 Pada penelitian yang dilakukan terhadap 82 anak berusia 0-3

tahun di Jepang, menemukan bahwa vaksinasi DPT memiliki beberepa

efek dalam meningkatkan kejadian atopi, sementara vaksinasi BCG

(Bacillus Calmette Guerin) menghambat perkembangan kejadian atopi

meskipun efek pencegahannya akan berakhir setelah beberapa

tahun.12 Penelitian pada 14.893 anak di lima negara Eropa

menunjukkan tidak terdapat hubungan antara vaksinasi campak

dengan penyakit alergi.13

2. Menyusui

Pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan akan banyak memberikan

pengaruh pada respons imun. Bermacam-macam antigen yang masuk

ke dalam tubuh tidak secara dini dapat merangsang respons imun.

Sistem imun akan berkembang bersamaan dengan tumbuh kembang.

Meskipun ASI akan dapat mencegah asma dan atopi, atau

kedua-duanya, tetapi hal ini masih merupakan kontroversi. Pada beberapa

(24)

mencegah timbulnya atopi dan asma pada anak.14 Penelitian di

Denmark menunjukkan tidak terdapat efek yang kuat dari menyusui

secara eksklusif atau partial pada dermatitis atopi, meskipun riwayat

alergi pada keluarga juga dapat mempengaruhi risiko. Bagaimanapun

juga, efek protektif menyusui pada anak dengan riwayat alergi pada

keluarga dapat terjadi.15

Menyusui merupakan faktor yang lebih penting bila

dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya dalam berkembangnya

toleransi terhadap alergen terutama karena adanya toleransi oral yang

diperantarai oleh jaringan lymphoid yang berhubungan dengan saluran

pencernaan.

8 Lamanya menyusui merupakan faktor yang penting

dimana menyusui kurang dari 3 bulan hanya memiliki sedikit efek

protektif atau bahkan tidak dijumpai efek protektif terhadap atopi.9

Pengaruh menyusui selain berhubungan dengan lamanya menyusui

juga berhubungan dengan adanya kombinasi dengan susu sapi dan

adanya predisposisi genetik terhadap atopi.8

3. Jumlah saudara kandung

Strachan, dalam hipotesis higienenya melaporkan adanya suatu

hubungan yang terbalik antara jumlah anggota keluarga dengan

berkembangnya kelainan atopi.9 Penelitian di Australia melaporkan

(25)

yang lebih tua pada anak usia 3-5 tahun terhadap penyakit asma.4

Adanya saudara kandung yang lebih tua memiliki efek yang lebih kuat

dibandingkan saudara kandung yang lebih muda, oleh karena itu

faktor-faktor seperti infeksi virus di awal kehidupan dapat mencegah

perkembangan sensitisasi alergi.6

Setiap kehamilan dapat menurunkan respons atopi ibu dengan

menginduksi toleransi imun dan dapat menurunkan risiko pada

keturunan berikutnya untuk menjadi atopi. Hal ini mengacu pada

hipotesis berikut ini :

a. Kadar IgE maternal menurun dengan jumlah kelahiran ( hipotesis

toleransi induksi). Oleh karena itu toleransi imun maternal yang

ditunjukkan oleh rendahnya kadar IgE penting untuk respons atopi

pada anak sehingga ditemukan penurunan dalam IgE serum tali

pusat seiring dengan meningkatnya jumlah saudara kandung yang

hidup, hal ini dapat dijelaskan oleh adanya penurunan IgE

maternal.

16

b. Penurunan IgE maternal dengan meningkatnya jumlah keturunan

yang hidup dapat ditransmisikan ke keturunan berikutnya. Hal ini

dapat menjelaskan penurunan IgE serum tali pusat dapat dijumpai

pada jumlah saudara kandung yang lebih banyak ( hipotesis

(26)

Sebuah penelitian di Inggris dan New Zealand melaporkan

bahwa perubahan dalam jumlah keluarga pada tiga puluh tahun

terakhir tidak dapat banyak menjelaskan mengenai peningkatan

prevalensi asma dan hay fever.17

Penelitian terhadap 1456 bayi baru lahir di Inggris

menunjukkan kadar IgE tali pusat menurun seiring dengan

meningkatnya jumlah kelahiran. Peningkatan IgE tali pusat yang

diukur saat lahir dapat meningkatkan prevalensi sensitisasi alergi

pada usia 4 tahun. Selain itu juga dilaporkan bahwa kadar IgE tali

pusat ditentukan oleh hasil interaksi fetal maternal selama periode

prenatal sehingga dikatakan bahwa efek saudara kandung terhadap

kejadian alergi sudah berasal dari uterus.

18

4. Infeksi mikroba

Para ahli alergi-imunologi telah melakukan eksplorasi lebih jauh dan

didapatkan bahwa berkurangnya paparan terhadap mikroba

merupakan faktor penyebab utama meningkatnya insidens atopi.8,19

Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan berkurangnya paparan

terhadap mikroba diantaranya berkurangnya jumlah kelahiran, air dan

makanan yang bersih, sanitasi, penggunaan antibiotika dan vaksin,

dan juga faktor insidental seperti perpindahan tempat tinggal dari

(27)

Mikroba yang dapat mempengaruhi outcome alergi dan asma dapat

dibagi menjadi beberapa kategori:

- Infeksi bakteri, virus, parasit

20

- Komponen mikroba seperti endotoksin, Staphylococcus aureus

- Kolonisasi saluran cerna seperti lactobacillus, bacteroides dan

parasit

- Mikrobiota tanah

- Hal-hal yang dapat menurunkan jumlah mikroba seperti

penggunaan antibiotik, imunisasi, meningkatnya kebersihan

individu.

Beberapa faktor yang menentukan outcome akibat infeksi mikroba

adalah jenis mikroba dan komponennya, fenotip penyakit, waktu

paparan, jumlah dan kombinasi paparan, genetik serta rute

paparan.

Beberapa penelitian epidemiologi menyatakan adanya efek

protektif agen infeksius tunggal atau multipel dan atau produk mikroba

terhadap berkembangnya sensitisasi alergi atau penyakit alergi. Hal

ini mencakup infeksi campak, malaria, infeksi saluran pencernaan

seperti virus hepatitis A dan Helicobacter pylori, flora normal usus,

endotoksin lingkungan dan produk mikroba lainnya di lingkungan dan

kecacingan.

20

(28)

2.2. Uji Tusuk Kulit

Uji kulit terhadap alergen pertama kali digunakan oleh Dr. Charles Blackley

untuk mendiagnosis serbuk sari sebagai penyebab hay fever pada tahun

1873. Uji tusuk kulit pertama kali diperkenalkan pada tahun 1924 dan pada

tahun 1975 Prof. Jack Pepys mengajukan modifikasi metode uji tusuk kulit.

Uji tusuk kulit adalah salah satu jenis tes kulit yang digunakan sebagai alat

diagnosis alergi yang diperantarai IgE dalam waktu singkat. Tidak ada batas

usia untuk dilakukan uji tusuk kulit, konsensus menunjukkan bahwa uji tusuk

kulit mulai dapat dinilai sejak usia 4 bulan. Bayi cenderung memiliki kulit yang

kurang reaktif dengan jumlah sel mast yang jauh lebih sedikit dibandingkan

anak yang lebih tua dan dewasa.22 Uji kulit terhadap alergen yang paling baik

dilakukan setelah usia 3 tahun.5

Tempat uji tusuk kulit yang paling baik adalah pada daerah volar

lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 cm dari lipat siku dan pergelangan

tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin ( 50% gliserol) diletakkan

pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkil ke atas

memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi atau dengan menggunakan

jarum khusus untuk uji tusuk. Dengan menggunakan setetes ekstrak alergen

pada kulit, diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat

rendah.

Pada individu yang telah tersensitisasi oleh alergen tertentu,

pemberian sejumlah kecil alergen cair yang ditusukkan dengan jarum pada

(29)

epidermis superfisial fleksor lengan bawah, cukup untuk menyebabkan

terjadinya reaksi sensitivitas berupa bengkak kemerahan yang terlihat 15- 20

menit sesudah pemberian alergen, yang dibandingkan dengan kontrol positif

(1% Histamin) dan kontrol negatif (saline). Nilai prediktif uji tusuk kulit telah

dipublikasikan dan dinyatakan dapat digunakan untuk memeriksa sensitisasi.

Uji tusuk kulit dinyatakan positif apabila terdapat rasa gatal dan eritema yang

dikonfirmasi dengan adanya urtikaria yang khas. Urtikaria yang khas tersebut

dapat dilihat dan diraba dengan diameter ≥ 3 mm yang muncul 15 -20 menit

setelah aplikasi uji tusuk kulit. Reaksi lambat juga dapat terjadi 4-8 jam

setelah uji tusuk kulit.5

2

2..22..11.. FFaakkttoorr--ffaakkttoorryyaannggmmeemmppeennggaarruuhhiirreeaakkttiivviittaassuujjiittuussuukkkkuulliitt

Anti histamin dapat mengurangi reaktivitas kulit, maka penggunaan obat yang

mengandung anti histamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari sebelum uji

tusuk kulit, sedangkan obat kortikosteroid sistemik, dikarenakan pengaruhnya

yang lebih kecil maka cukup hanya dihentikan selama 1 hari sebelum uji

tusuk kulit dilakukan. Dermatografisme akan membuat hasil uji tusuk kulit sulit

untuk diinterpretasikan karena seluruh tempat uji tusuk kulit akan bereaksi

non spesifik dengan adanya reaksi kemerahan. Respons uji tusuk kulit lebih

rendah pada pagi hari dibandingkan sore hari karena adanya irama

(30)

semakin tua usia maka reaktivitas uji tusuk kulit semakin berkurang. Siklus

menstruasi juga mempengaruhi hasil uji tusuk kulit dan dapat terjadi

peningkatkan respons indurasi pada hari ke 12 sampai 16 siklus menstruasi.

Kontra-indikasi uji tusuk kulit adalah orang yang memiliki riwayat anafilaksis

(31)

2.3. Kerangka Konseptual

Yang diamati dalam penelitian

Jumlah saudara kandung ↓

Lingkungan/higiene yang bersih

Paparan terhadap mikroorganisme ↓

Proliferasi sel Th1 ↓

Sekresi interleukin & interferon ∂ ↓

Proliferasi sel Th2 & produksi sitokin ↑

Produksi Ig E ↑

Reaktivitas uji tusuk kulit ↑ Konsentrasi IgE

maternal ↑

Konsentrasi Ig E tali pusat ↑

Kejadian atopi ↑

Imunisasi DPT (+)

Hewan peliharaan (-)

ASI (-)

(32)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional untuk menilai hubungan

reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah saudara kandung.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 060907, 064980 dan 064961

Kampung Baru, Kecamatan Medan Maimun, Kotamadya Medan, Propinsi

Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-November 2010.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi target adalah anak usia 7-10 tahun dengan riwayat atopi. Populasi

terjangkau adalah anak usia 7-10 tahun dengan riwayat atopi yang bertempat

tinggal di kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Sampel adalah populasi

terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi :

1. Anak yang berusia 7-10 tahun dengan riwayat dan penyakit atopi asma,

(33)

2. Orangtua bersedia mengisi kuisioner

3. Orang tua bersedia mengisi informed consent

Kriteria Eksklusi :

1. Anak yang sedang menggunakan obat-obatan yang mengandung

antihistamin dalam 3 hari terakhir.

2. Anak yang sedang menggunakan obat-obatan yang mengandung

kortikosteroid dalam 1 hari terakhir.

3. Anak yang sakit berat, mempunyai kelainan kongenital dan

mempunyai kelainan dermatografisme.

3.5. Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus uji hipotesis terhadap

2 proporsi independen :

n1 = jumlah subjek yang memiliki saudara kandung < 3 orang

2

n2 = jumlah subjek yang memiliki saudara kandung ≥ 3 orang

α = kesalahan tipe I = 0,05 → Tingkat kepercayaan 95%

(34)

dengan hasil uji tusuk kulit positif = 0,36.

prevalensi anak yang memiliki saudara kandung ≥ 3 orang

Q2 = 1 – P2

Dengan menggunakan rumus di atas didapat jumlah sampel untuk

masing-masing kelompok sebanyak 96 orang.

3.6. Cara Kerja dan Alur Penelitian

- Peneliti memberikan penjelasan mengenai penelitian dan pemeriksaan

yang akan dilakukan

- Kepada subjek penelitian diberikan kuisioner dan lembar persetujuan

penelitian yang diserahkan kepada orang tua untuk dikembalikan

kepada peneliti

- Orang tua sampel menanda tangani informed consent sebagai

bukti kesediaan anaknya diikutsertakan dalam penelitian ini

(35)

pengambilan sampel secara consecutive yaitu sebanyak 96 orang

untuk kelompok anak dengan jumlah saudara kandung < 3 orang dan

96 orang untuk kelompok anak dengan jumlah saudara kandung ≥ 3

orang

- Dilakukan penimbangan berat badan dengan menggunakan

timbangan Camry. Sebelum dilakukan timbangan ditera terlebih

dahulu dengan kapasitas maksimal 125 kg. Pada waktu penimbangan

anak memakai pakaian tipis atau seminimal mungkin tanpa memakai

alas kaki

- Untuk pengukuran tinggi badan adalah dengan menggunakan

stadiometer. Anak berdiri pada lantai yang datar tanpa memakai alas

kaki dengan kaki sejajar dengan tumit, bokong, tangan dan belakang

kepala menyentuh dinding tegak lurus

- Pada kedua kelompok dilakukan tes uji tusuk kulit dengan prosedur

sebagai berikut :

1. Daerah volar lengan bawah tiap sampel dibersihkan dengan

larutan alkohol 70%

2. Alergen yang pertama ditusukkan adalah kontrol negatif (NaCl

0,9%) diikuti oleh kontrol positif (histamin 1 %)

3. Setetes alergen diteteskan pada bagian volar lengan bawah

subjek, kemudian jarum (Blood Lancets GEA®) ditusukkan

(36)

4. Setiap alergen diteteskan sebanyak 1 tetes dengan jarak 2 cm

dan pada setiap alergen diberikan tanda berupa angka

5. Alergen yang diujikan kepada masing-masing subjek adalah

kutu debu rumah, debu rumah, kapuk, bulu ayam, bulu kucing,

kecoa, jamur. Alergen yang digunakan diproduksi oleh Instalasi

Farmasi RSUP dr. Soetomo, Surabaya

6. Setiap jarum hanya digunakan satu kali

7. Sisa alergen pada kulit dikeringkan dengan kertas hisap

8. Sensitisasi dinilai 15-20 menit setelah aplikasi uji tusuk kulit

9. Sensitisasi positif jika didapati indurasi kemerahan ф ≥ 3 mm

setelah dibandingkan dengan kontrol negatif

10. Sensitisasi negatif jika didapati indurasi kemerahan ф < 3 mm

- Antisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis dilakukan

Dengan menyediakan epinefrin 1:1.000 yang telah dimasukkan ke

dalam jarum suntik. Epinefrin tersebut disiapkan terlebih dahulu

sebelum uji tusuk kulit dilakukan.

- Pelaksanaan dan penilaian terhadap reaksi yang timbul oleh dokter

PPDS dan spesialis anak yang telah mengikuti pelatihan uji tusuk

kulit

(37)

Alur Penelitian

3.7. Identifikasi variabel

Variabel bebas Skala

Jumlah saudara kandung Nominal

Variabel tergantung Skala

Reaktivitas uji tusuk kulit Nominal

Uji tusuk kulit Uji tusuk kulit

Uji tusuk kulit (+)

Uji tusuk kulit (-) Uji tusuk

kulit (+)

Uji tusuk kulit (-)

Populasi terjangkau yang memenuhi

kriteria inklusi

96 anak dengan jumlah saudara kandung < 3 orang

96 anak dengan jumlah saudara kandung ≥ 3 orang Pembagian kuesioner

Pengembalian kuesioner

Pengambilan sampel secara

(38)

3.8. Analisa Data

Data diolah dengan uji chi-square untuk melihat hubungan reaktivitas uji

tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah saudara kandung. Pengolahan

data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS versi 14.0 dengan tingkat

kemaknaan P <0,05.

3.9. Definisi Operasional

1. Uji tusuk kulit adalah uji untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang

terikat pada sel mastosit kulit terhadap alergen yang diuji.5

2. Reaktivitas uji tusuk kulit adalah reaksi yang timbul setelah 15-20

menit dilakukan uji tusuk kulit terhadap satu atau lebih alergen

3. Sensitisasi positif jika didapati indurasi kemerahan ф ≥ 3 mm setelah

dibandingkan dengan kontrol negatif yang muncul 15-20 menit

sesudah dilakukan uji tusuk kulit.21

4. Sensitisasi negatif jika didapati indurasi kemerahan ф < 3 mm yang

muncul 15-20 menit sesudah dilakukan uji tusuk kulit.

5. Saudara kandung adalah individu yang memiliki ayah dan ibu yang

sama

21

6. Riwayat atopi diketahui dari risiko atopi yang diperoleh dariTrace card

UKK Alergi-Imunologi IDAI dan dikonfirmasi dengan uji tusuk kulit

(39)

7. Riwayat pemberian ASI eksklusif diperoleh dari anamnesa terhadap

orang tua

8. Riwayat Imunisasi DPT diketahui dari Kartu Menuju Sehat (KMS) dan

anamnesa terhadap orang tua

9. Keberadaan hewan peliharaan diperoleh dari anamnesa terhadap

orang tua

10. Paparan asap rokok diketahui dari anamnesa terhadap orang tua

11. Dermatografisme adalah gambaran yang tampak pada kulit yang

timbul akibat goresan pada kulit yang ditandai dengan adanya eritema

yang diikuti munculnya urtikaria

3.10. Masalah Etika

- Persetujuan setelah penjelasan (Informed consent) dari orang tua

(40)

BAB 4 HASIL

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri 060907, 064980 dan

064961 Kampung Baru, Kecamatan Medan Maimun, Kotamadya Medan,

Propinsi Sumatera Utara. Anak sekolah dasar yang dibagikan kuisioner untuk

skrining pemeriksaan uji tusuk kulit sebanyak 910 anak, dimana 135 anak

diantaranya tidak mengembalikan kuisioner. Dari 775 anak yang

mengembalikan kuisioner, terdapat 210 anak yang memiliki riwayat atopi.

Dari 210 anak tersebut dilakukan pengambilan sampel secara consecutive

yaitu 96 anak dengan jumlah saudara kandung < 3 orang dan 96 anak

dengan jumlah saudara kandung ≥ 3 orang. Dari 96 anak dengan jumlah

saudara kandung < 3 orang, 72 anak dengan hasil uji tusuk kulit positif dan

24 anak dengan hasil uji tusuk kulit negatif. Sedangkan dari 96 anak dengan

jumlah saudara kandung ≥ 3 orang, 50 anak dengan hasil uji tusuk kulit

positif dan 46 anak dengan hasil uji tusuk kulit negatif.

(41)

Gambar 4.1 Profil Penelitian 910 anak dibagikan kuisioner

775 anak mengembalikan kuisioner

135 anak tidak mengembalikan kuisioner

210 anak dengan riwayat atopi

Kelompok I : 96 anak dengan jumlah saudara kandung < 3 orang

Kelompok II : 96 anak dengan jumlah saudara kandung ≥ 3 orang

Uji tusuk kulit Uji tusuk kulit

(42)

Tabel 4.1. Karakteristik sampel

Variabel Jumlah Saudara Kandung < 3 orang

Pada tabel 4.1 terlihat kedua kelompok sampel penelitian sebagian besar berjenis kelamin perempuan dengan rerata umur 9 tahun. Rerata berat badan

adalah 24 kg dan 25 kg dan tinggi badan 121 cm dan 128 cm masing-masing

untuk kelompok subjek dengan jumlah saudara kandung < 3 orang dan ≥ 3

orang. Mayoritas pekerjaan ayah adalah wiraswasta dan ibu adalah ibu

(43)

rumah tangga. Mayoritas pendidikan ayah dan ibu adalah SMA dan

sederajat.

Tabel 4.2. Hubungan jumlah saudara kandung dengan hasil uji tusuk kulit

Jumlah Saudara Kandung Uji Tusuk Kulit Nilai P Positif Negatif

< 3 orang 72 (75) 24 (25) 0.003 ≥ 3 orang 50 (64.1) 46 (35.9)

Dari tabel 4.2 Terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah saudara

kandung dengan hasil uji tusuk kulit (P= 0.003, P < 0.05). Dari tabel ini

terlihat bahwa semakin banyak jumlah saudara kandung maka reaktivitas uji

tusuk kulit akan semakin berkurang.

Tabel 4.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil uji tusuk kulit

Karakteristik Uji Tusuk Kulit P Positif Negatif

Riwayat Imunisasi DPT

Ya 75 (63.6) 43 (36.4) 0.977 Tidak 48 (64.9) 26 (35.1)

Hewan peliharaan (kucing,anjing), n (%)

Ada 101 (78.9) 27 (21.1) 0.0001* Tidak ada 22 (34.4) 42 (65.6)

Riwayat pemberian ASI eksklusif, n (%)

Ya 20 (24.4) 62 (75.6) 0.006*

Pada tabel 4.3 diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan hasil uji tusuk kulit (P =

(44)

tusuk kulit, terdapat hubungan yang signifikan (P = 0.0001). Sehingga

terdapat dua faktor yang mempengaruhi reaktivitas uji tusuk kulit yaitu riwayat

pemberian ASI eksklusif dan keberadaaan hewan peliharaan.

Tabel 4.4. Distribusi hasil uji tusuk kulit setiap alergen terhadap jumlah saudara kandung

Pada Tabel 4.4 diperoleh hasil bahwa dari ketujuh alergen, hanya alergen

kutu debu rumah yang menunjukkan hubungan yang bermakna dengan

jumlah saudara kandung (P=0.004).

(45)

BAB 5 PEMBAHASAN

Pada penelitian ini ditemukan hubungan yang signifikan antara jumlah

saudara kandung dengan hasil uji tusuk kulit dimana 72 anak dengan jumlah

saudara kandung < 3 orang memiliki hasil uji tusuk kulit positif (P= 0.003).

Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 7653 anak di Jerman yang

bertujuan untuk menilai hubungan reaktivitas uji tusuk kulit pada anak dengan

jumlah saudara kandung menunjukkan bahwa penurunan jumlah anggota

keluarga berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi atopi.6 Penelitian di

United Kingdom mengenai infeksi dan eczema pada awal kehidupan

menyatakan bahwa anak pertama meningkatkan risiko eczema dibandingkan

dengan anak kedua atau anak selanjutnya oleh karena adanya infeksi yang

diperoleh dari saudara sebelumnya pada anak kedua atau selanjutnya.24

Penelitian prospektif di Oslo mengenai hubungan antara infeksi saluran

nafas pada awal kehidupan dengan asma, rhinitis alergi dan sensitisasi uji

tusuk kulit menemukan bahwa infeksi saluran nafas tersebut tidak melindungi

terhadap perkembangan asma, rhinitis alergi atau sensitisasi terhadap

alergen selama sepuluh tahun pertama kehidupan tetapi meningkatkan risiko

gejala asma pada usia sepuluh tahun.

25

Penelitian ini sesuai dengan

penelitian di Jerman, United Kingdom dan hipotesis higiene yang

(46)

yang berusia lebih tua terhadap pencegahan atopi. Dalam hipotesis tersebut

dinyatakan bahwa penyakit alergi dapat dicegah dengan adanya infeksi pada

awal kehidupan yang berasal dari kontak dengan saudara kandung yang

lebih tua. Selain itu juga dinyatakan bahwa pada akhir abad ini adanya

penurunan jumlah anggota keluarga, peningkatan kebersihan individual telah

menurunkan kesempatan terjadinya infeksi silang dalam keluarga, hal ini

akan meningkatkan gejala klinis atopi.1,8,9

Pada penelitian ini didapati 75 anak dengan riwayat imunisasi DPT

memiliki hasil uji tusuk kulit positif namun tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara keduanya (P= 0.977). Penelitian di Swedia pada 9829 anak

menemukan bahwa vaksinasi pertussis pada bayi tidak berhubungan dengan

manifestasi alergi pada usia 7 tahun, terlepas dari tingginya prevalensi hasil

uji tusuk kulit positif setelah pemberian vakisnasi dengan 2 komponen vaksin

pertussis acellular.

Namun penelitian ini tidak sesuai

dengan penelitian di Oslo yang menyatakan bahwa infeksi yang diperoleh di

awal kehidupan tidak melindungi sensitisasi terhadap alergen dan

meningkatkan risiko terjadinya penyakit atopi.

26

Penelitian di Netherlands menemukan bahwa risiko

eczema atau wheezing berulang pada usia 1 tahun tidak berbeda antara bayi

yang diberikan vaksinasi DPT, polio dan Haemophylus influenza tipe B pada

usia 6 bulan dengan bayi yang mendapat vaksinasi tidak lengkap.27

Penelitian di Inggris yang dilakukan terhadap 6811 anak, menemukan bahwa

(47)

peningkatan risiko wheezing atau asma di kemudian hari.11 Penelitian ini

sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan tidak terdapat

hubungan antara vaksinasi DPT dengan manifestasi alergi meskipun

dijumpai hasil uji tusuk kulit yang positif. Oleh karena vaksinasi merupakan

pemberian mikroorganisme yang dilemahkan atau dimatikan untuk

menginduksi respons imun, hipotesis higiene memprediksi vaksinasi dapat

mempengaruhi kerentanan terhadap terjadinya atopi. Akan tetapi, beberapa

penelitian menunjukkan data yang tidak konsisten mengenai keuntungan

atau efek samping vaksinasi terhadap kemungkinan terjadinya atopi.9

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 82 anak berusia 0-3 tahun di

Jepang, menemukan bahwa vaksinasi DPT memiliki beberepa efek dalam

meningkatkan kejadian atopi, sementara vaksinasi BCG (Bacillus Calmette

Guerin) menghambat perkembangan kejadian atopi meskipun efek

pencegahannya akan berakhir setelah beberapa tahun.12

Pada penelitian ini didapati hubungan yang bermakna antara

keberadaan binatang peliharaan (anjing, kucing) dengan reaktivitas uji tusuk

kulit dimana terdapat 101 anak yang memiliki binatang peliharaan

(anjing,kucing) memiliki hasil uji tusuk kulit positif (P= 0.0001). Penelitian di

New Zealand pada 1037 subjek yang dilakukan uji tusuk kulit menemukan

bahwa terdapat interaksi yang sinergis antara paparan terhadap anjing dan Penelitian ini hanya

meneliti hubungan antara vaksinasi DPT terhadap kejadian atopi dan tidak

(48)

kucing yang berhubungan dengan rendahnya risiko untuk menjadi atopi pada

anak dan dewasa.

Penelitian lainnya di Chicago mengenai efek paparan hewan

peliharaan dan genotype pada perkembangan imunologi dan insidens atopic

markers dan penyakit pada tahun pertama kehidupan menyatakan bahwa

paparan terhadap anjing pada waktu bayi berhubungan dengan

meningkatnya sekresi IL-10 dan IL-13 serta penurunan sensitisasi alergi dan

dermatitis atopi sehingga dikatakan bahwa paparan terhadap anjing setelah

kelahiran dapat mempengaruhi perkembangan imun dalam genotype khusus

dan mengurangi berkembangnya atopi pada anak yang berisiko.

28

29

Pada penelitian ini didapati adanya hubungan bermakna antara hasil

uji tusuk kulit dengan riwayat pemberian ASI eksklusif (p= 0,006). Penelitian

prospektif terhadap 4089 bayi di Swedia menemukan bahwa ASI eksklusif

memiliki efek pencegahan terhadap perkembangan penyakit alergi di awal

kehidupan seperti dermatitis atopi, asma, rhinitis alergi sampai di atas usia 2

tahun.

Penelitian

ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana keberadaan binatang

peliharaan (anjing, kucing) berhubungan dengan rendahnya risiko untuk

menjadi atopi, namun pada penelitian ini tidak dinilai efek waktu terjadinya

paparan terhadap atopi. dan tidak dilakukan pengukuran kadar 10 dan

IL-13.

30

Namun, penelitian pada 200 bayi baru lahir di Finland menemukan

(49)

dermatitis atopi dan gejala hipersensitifitas terhadap makanan pada anak.31

Penelitian di Denmark menunjukkan tidak terdapat efek yang kuat dari

menyusui secara eksklusif atau partial pada dermatitis atopi, meskipun

riwayat alergi pada keluarga juga dapat mempengaruhi risiko.15

Pada penelitian ini didapati 72 anak yang mengalami paparan asap

rokok memiliki hasil uji tusuk kulit positif namun tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara keduanya (P= 1.000). Penelitian di Sao Paulo, Brazil

pada 183 anak usia 4-9 tahun yang dilakukan uji tusuk kulit menemukan

bahwa asma dan infeksi saluran nafas tidak berhubungan dengan adanya

orang tua yang merokok tetapi berhubungan dengan riwayat atopi pada

orang tua.

Penelitian ini

sesuai dengan penelitian di Swedia yang menyatakan adanya efek

pemberian ASI eksklusif terhadap pencegahan penyakit alergi namun

penelitian ini hanya menilai efek pemberian ASI selam 6 bulan sehingga tidak

dapat dinilai efek dari menyusui > 6 bulan. Meskipun ASI akan dapat

mencegah atopi tetapi hal ini masih merupakan kontroversi.

32

Penelitian mengenai efek paparan asap rokok di lingkungan

terhadap atopi dan wheezing pada anak prasekolah di Austria menemukan

bahwa paparan asap rokok pranatal merupakan faktor risiko wheezing dan

asma pada anak prasekolah.33 Penelitian ini berbeda dengan penelitian di

Brazil dimana pada penelitian ini paparan asap rokok tidak berperan terhadap

terjadinya penyakit atopi pada anak. Pada penelitian ini juga ditanyakan

(50)

berhubungan dengan paparan asap rokok dan penyakit atopi pada anak.

Penelitian ini tidak membahas mengenai waktu paparan asap rokok sehingga

tidak dapat diketahui hubungannya dengan penyakit atopi.

Penelitian ini menggunakan riwayat keluarga (trace card) sebagai

acuan risiko atopi. American Academy of Pediatrics (AAP) dan European

committees telah merekomendasikan penggunaan riwayat keluarga atopi

untuk mengidentifikasi bayi / anak risiko tinggi yang layak mendapat

pencegahan alergi.34 Pada penelitian ini dilakukan uji tusuk kulit pada anak

usia tujuh hingga sepuluh tahun dimana sensitivitas dinilai dalam 15-20 menit

setelah aplikasi uji tusuk kulit. Kelainan atopi dapat didiagnosis dengan

riwayat individual atau keluarga yang dikonfirmasikan dengan adanya IgE

alergen spesifik atau dengan hasil uji tusuk kulit yang positif.4 Uji tusuk kulit

adalah salah satu jenis tes kulit yang digunakan sebagai alat diagnosis alergi

yang diperantarai IgE dalam waktu singkat. Tidak ada batas usia untuk

dilakukan uji tusuk kulit, konsensus menunjukkan bahwa uji tusuk kulit mulai

dapat dinilai sejak usia 4 bulan.22 Uji kulit terhadap alergen yang paling baik

dilakukan setelah usia 3 tahun.5

Alergen hirup yang digunakan pada penelitian ini yaitu kutu debu

rumah, debu rumah, kapuk, bulu ayam, bulu kucing, kecoa, jamur serta

kontrol positif dan negatif. Uji tusuk kulit merupakan metode pendekatan

diagnostik yang tepat untuk mendeteksi sensitisasi IgE oleh alergen hirup,

(51)

paling baik dan mempunyai hasil paling prediktif diantara uji kulit. Uji ini juga

mempunyai keamanan dan sensitifitas yang baik, dengan hasil yang dapat

dipercaya karena sudah sering diteliti secara luas.35 Alasan menggunakan

alergen hirup pada penelitian ini yaitu alergen hirup memiliki nilai prediksi

negatif yang tinggi dan juga untuk mendiagnosa alergi makanan lebih baik

dengan oral challenge test. Efek samping uji tusuk kulit tidak dijumpai pada

(52)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

Dari penelitian ini didapati bahwa terdapat hubungan antara reaktivitas uji

tusuk kulit dengan jumlah saudara kandung pada anak atopi. Prevalensi anak

Sekolah Dasar dengan riwayat atopi yang mengalami reaktivitas uji tusuk kulit

positif di Sekolah Dasar Negeri 060907, 064980 dan 064961 Kampung Baru,

Kecamatan Medan Maimun, Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara

adalah 63.5%. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi reaktivitas uji tusuk

kulit yaitu riwayat pemberian ASI eksklusif dan keberadaaan hewan

peliharaan.

6.2. SARAN

Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel yang

lebih besar untuk melihat hubungan reaktivitas uji tusuk kulit dengan jumlah

saudara kandung dan penilaian terhadap faktor-faktor lainnya yang dapat

(53)

DAFTAR PUSTAKA

1. McRae WM. Asthma, allergy and the hygiene hypothesis. NZFP. 2002; 2:317

2. Santosa H. Asma bronchial. Dalam: Akib AA, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi- imunologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2007.h.253-66

3. Santosa H. Dermatitis Atopik. Dalam: Akib AA, Munasir Z, Kurniati N, Penyunting. Buku ajar alergi- imunologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2007.h.235-45

4. Arshad SH, Tariq SM, Matthews S, Hakim E. Sensitization to common allergens and its association with allergic disorders at age 4 years: a whole population birth cohort study. Pediatrics. 2001; 108:1-8

5. Munasir Z. Pemeriksaan penunjang klinis : uji kulit terhadap alergen. Dalam: Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi- imunologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2007.h.445-7

6. Mutius EV, Martinez FD, Fritzsch C, Nicolai T, Reitmeir P, Thiemann HH. SkinTest Reactivity and Number of Siblings. BMJ. 1994; 308:692-5

7. Noval A, Irawan D. Hubungan riwayat atopi dengan hasil uji tusuk kulit menggunakan alergen tungau debu rumah. KTI (Karya Tulis Ilmiah). 2011(cited 2011 April 7). Available from: http://lib.fkuii.org/index.php? 8. Smith RS, Bloomfield S. The hygiene hypothesis and implications for

home hygiene. Italy: NextHealth Srl, P.le Türr; 2004.h.45-87

9. Bloomfield SF, Smith RS, Crevel RWR, Pickup J. Too clean, or not too clean : the hygiene hypothesis and home hygiene. Clin Exp Allergy. 2006; 36:402-25

10. Naleway AL. Asthma and atopy in rural children : is farmingprotective?. CM&R. 2004; 2:5-12

11. Spycher BD, Silverman M, Egger M, Zwahlen M, Kuehni CE. Routine vaccination againts pertussis and the risk of childhood asthma: A population-based cohort study. Pediatrics. 2009; 123:944-50

12. Yoneyama H, Suzuki M, Fujii K, Odajima Y. The effect of DPT and BCG vaccinations on atopic disorders. Arerugi. 2000; 49:585-92

13. Rosenlund H, Bergstorm A, Alm JS, Swartz J, Scheynius A, Vanhage M, et al. Allergic disease and atopic sensitization in children in relation to measles vaccination and measles infection. Pediatrics. 2009; 123:771-8

(54)

15. Benn CS, Wohlfahrt J, Aaby P, Westergaard T, Benfeldt E, Michaelsen KF. Breastfeeding and risk of atopic dermatitis by parental history of allergy, during the first 18 months of life. Am J Epidemiol. 2004; 160:217-223

16. Karmaus W, Arshad SH, Sadeghnejad A, Twiselton R. Does maternal immunoglobulin E decrease with increasing order of live offspring? Investigation into maternal immune tolerance. Clin Exp Allergy. 2004; 34:853-9

17. K Wickens, J Crane, N Pierce, R Beasley. The magnitude of the effect of smaller family size on the increase in the prevalence of asthma and hay fever in the United Kingdom and New Zealand. J Allergy Clin Immunol. 1999; 104:554-8

18. Karmaus W, Arshad H, Mattes J. Does the sibling effect have its origin inutero? Investigating birth order, cord blood immunoglobulin E concentration, and allergic sensitization at age 4 years. AM J Epidemiol. 2001; 154:909-15

19. Bodner C, Godden D, Seaton A. Family Size, Childhood Infections and Atopic Diseases. Thorax. 1998; 53:28-32

20. Liu AH, Leung DY. Reneissance of the hygiene hypothesis. J Allergy Clin Immunol. 2006; 117:1063-6

21. Cooper PJ. Intestinal worms and human allergy. Parasite Immunology. 2004; 26:455-67

22. Morris A, Potter P, Lockey R. ALLSA position statement : allergen skin- prick testing. Curr Allergy Clin Immunol. 2006; 19:22-5

23. Madiyono M, Moeslichan Mz S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SP. Perkiraan besar sampel. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis, edisi ke-3. Jakarta : Sagung seto; 2008.h.302-31

24. Hughes AM, Crouch S, Lightfoot T, Ansell P, Simpson J, Roman E. Eczema, birth order and infection. Am J Epidemiol. 2008;1-6

25. Nafstad P, Brunekreef B, Skrondal A, Nystad W. Early respiratory infections, asthma, and allergy:10-Year follow-up of the Oslo birth cohort. Pediatrics. 2005; 116:255-62

26. Nilsson L, Kjellman M, Bjorksten B. Allergic disease at the age of 7 years after pertussis vaccination in infancy. Arch Pediatr Adolesc Med. 2003; 157:1184-89

(55)

28. Mandhane PJ, Sears MR, Poulton R, Greene JM, DipcomSys, Lou WY, T et al. Cats and dogs and the risk of atopy in childhood and adulthood. J Allergy Clin Immunol. 2009; 124:745-50

29. Gern JE, Reardon CL, Hoffjan S, Nicolae D, Li Z, Roberg KA et al. Effects of dog ownership and genotype on immnune development and atopy in infancy. J Allergy Clin Immunol. 2004; 113:307-14

30. Kull I, Wickman M, Lilja G, Nordvall SL, Pershagen G. Breastfeeding and allergic diseases in infants-a prospective birth cohort study. Arch Dis Child. 2002; 87:478-81

31. Pesonen M, Kallio M, Ranki A, Siimes M. Prolonged exclusive breastfeeding is associated with increased atopic dermatitis: a prospective follow-up study of unselected healthy newborns from birth to age 20 years. Clinical and Experimental Allergy. 2006; 36:1011-18 32. Riberro SA, Furuyama T, Schenkman S, De Brito Jardim JR. Atopy,

passive smoking, respiratory infections and asthma among children from kindergarten and elementary school. Sao Paolo Med J. 2002; 120(4):109-12

33. Horak E, Morass B, Ulmer H. Association between environmental tobacco smoke exposure and wheezing disorders in Australian preschool children. Swiss Med WKLY. 2007; 137:608-13

34. Zeiger RS. Food allergen avoidance in the prevention of food allergy in infants and children. Pediatrics. 2003; 111:1662-71

(56)

LAMPIRAN 1

Lampiran 1

I. Personalia Penelitian 1. Ketua penelitian

Nama : dr. Beatrix Siregar

Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSHAM 2. Supervisor penelitian

1. Prof. dr. H. M. Sjabaroeddin Loebis, SpAK 2. dr. Lily Irsa, SpAK

3. dr. Rita Evalina, SpA 3. Anggota penelitian

1. dr. Johan El Hakim Siregar

(57)

Lampiran 2

4.Tempat / Tanggal Lahir: ………..………...……... 5. Berat / Tinggi badan :...kg / ...cm

1. Risiko Atopi (Trace-card UKK Alergi – Imunologi IDAI)

Berikan nilai terhadap semua anggota keluarga dengan tanda-tanda

alergi : Dermatitis/ Eksim/ Kemerahan/ Diare/ Muntah/ Kolik/

Pilek/ Nafas berbunyi/ Asma sesuai dengan petunjuk berikut :

Nilai Kondisi

2  ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung anak yang

dinyatakan terkena alergi

1  ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung anak diduga

terkena alergi

0  ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung anak tanpa

(58)

Jumlahkan nilai tersebut, kemudian gunakan tabel di bawah ini untuk

memeriksa tingkat risiko alergi : (berilah tanda  pada kolom yang

sesuai)

Keluarga Dinyatakan Diduga Tanpa

riwayat

NILAI

Ibu

Bapak

Saudara

sekandung

Tingkat risiko : ...

Tabel 1

Nilai keluarga yang diprediksikan digunakan untuk menentukan

kemungkinan terkena alergi

Nilai Keluarga Tingkat Risiko terkena alergi

0

1 – 3

4 – 6

Risiko Kecil (5-15%)

Risiko Sedang (20 – 40%)

Risiko Tinggi (40 – 60%)

(59)

2. Riwayat klinis atopi

1. Pernahkah anak Bapak / Ibu mengalami ruam kemerahan yang terasa gatal pada pipi, leher atau lipatan kulit siku atau antara paha dan betis?

2. Terjadi pada usia : …... tahun / bulan, dan apakah berulang?

3. Apakah kini sedang kambuh ?

4. Pernahkah diperiksa / diobati dokter atas keluhan tersebut?

Rinitis Alergi

5. Pernahkah anak Bapak / Ibu mengalami pilek, hidung berair, tersumbat atau perasaan gatal di hidung atau mata yang terjadi terutama pada saat malam atau pagi hari ?

6. Terjadi pada usia : ...… tahun / bulan, dan apakah berulang?

7. Apakah kini sedang kambuh ?

8. Pernahkah diperiksa / diobati dokter atas keluhan tersebut?

Asma Tidak

pernah

Kadang kadang

Sering 9. Pernahkah anak Bapak / Ibu mengalami

batuk, sesak dengan adanya suara nafas yang berbunyi (mengi) yang muncul jika berhubungan dengan perubahan suhu udara (hujan) atau terhirup debu dan lain-lain?

10. Terjadi pada usia : ...… tahun / bulan, dan apakah berulang?

11. Apakah kini sedang kambuh ?

(60)

3. Riwayat makanan anak :

• Makanan padat diberikan mulai usia ... bulan / tahun 4. Riwayat Imunisasi :

5. Paparan hewan peliharaan dan ternak

Apakah di rumah Bapak / Ibu terdapat hewan peliharaan ? ... (ya / tidak)

Apakah hewan tersebut sudah dipelihara saat usia anak < 1 tahun ? (ya / tidak)

7. Paparan asap rokok

Apakah di rumah terdapat anggota keluarga yang merokok? (ya/tidak) 8. Penggunaan obat-obatan

Apakah anak bapak/ibu pernah/sedang mengkonsumsi obat-obatan?...(Ya/tidak)

Jika ya, sebutkan nama obatnya ... Sudah berapa lama mengkonsumsi obat tersebut ?

(61)

Lampiran 3

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ... Umur : ... tahun (L / P) Alamat : ... dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan

PERSETUJUAN

untuk dilakukan pemeriksaan uji tusuk kulit terhadap anak saya :

Nama : ... Umur : ... tahun (L / P) Alamat rumah : ... Alamat sekolah : ...

yang tujuan, sifat, dan perlunya pemeriksaan tersebut di atas, serta risiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya.

Demikianlah pernyataan persetujuan ini saya perbuat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.

Medan, ... 2010 Yang memberikan penjelasan Yang membuat pernyataan

dr. ... ...

Saksi-saksi : Tanda tangan

1. ... ...

(62)

Lampiran 4

LEMBAR PENJELASAN KEPADA ORANGTUA Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Selamat pagi bapak dan ibu...

Saya dr. Beatrix Siregar, saat ini saya sedang menjalani pendidikan dokter spesialis anak di FK USU dan saat ini saya sedang melakukan penelitian dengan judul Hubungan Reaktivitas Uji Tusuk Kulit Pada Anak Dengan Jumlah Saudara Kandung. Adapaun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara reaktivitas uji tusuk kulit dengan jumlah saudara kandung. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai penelitian awal sebagai dasar penelitian selanjutnya mengenai hubungan uji tusuk kulit pada anak dengan jumlah saudara kandung dan bermanfaat untuk meningkatkan pelayanan kesehatan anak khususnya pelayanan di bidang alergi-imunologi. Bersama ini saya akan memberi sedikit keterangan kepada ibu/bapak.

Asma dan penyakit alergi lainnya telah menjadi suatu penyakit yang umum yang cenderung meningkat. Peningkatan insiden pada beberapa dekade terakhir ini dikaitkan dengan polusi udara dan terjadinya gangguan sistem kekebalan tubuh anak.

Alergi adalah kelainan keturunan yang mempunyai gejala klinis seperti rinitis alergi (pilek), asma (bengek) dan dermatitis atopik (ruam susu). Namun alergi dapat juga bersifat tanpa gejala. Anak yang lahir dari keluarga dengan riwayat alergi pada kedua orang tua mempunyai resiko hingga 50-80% untuk terkena penyakit alergi dibanding dengan anak tanpa riwayat keluarga (resiko hanya sebesar 20%). Resiko akan jadi lebih tinggi jika penyakit alergi diderita oleh ibu dibanding ayah.

Untuk mengurangi keparahan penyakit alergi pada anak, zat-zat/bahan yang disangkakan dapat menimbulkan penyakit tersebut harus dihindari.

Kelainan atopi atau kecenderungan untuk menderita alergi pada anak dapat diperiksa dengan pemeriksaan uji tusuk (cungkit) kulit yang merupakan bentuk pemeriksaan yang mudah dilaksanakan, memiliki akurasi yang baik, murah dan tak menimbulkan rasa sakit dan mempunyai hasil yang cepat diperoleh.

(63)

1. Daerah lengan bawah dibersihkan dengan larutan alkohol 70%

2. Alergen yang pertama ditusukkan adalah kontrol negatif (NaCl 0,9%) diikuti oleh kontrol positif (histamin 1 %)

3. Setetes alergen diteteskan pada bagian volar lengan bawah subjek, kemudian jarum (Blood Lancets GEA®) dimasukkan pada tetesan alergen dengan posisi 45

4. Setiap alergen diteteskan sebanyak 1 tetes dengan jarak 2 cm 0

5. Alergen yang diujikan kepada masing-masing subjek adalah kutu debu rumah, debu rumah, kapuk, bulu ayam, bulu kucing, kecoa, jamur. Alergen yang digunakan diproduksi oleh Instalasi Farmasi RSUP dr. Soetomo, Surabaya

6. Setiap jarum hanya digunakan satu kali

7. Sisa alergen pada kulit dikeringkan dengan kertas hisap 8. Sensitisasi dinilai 15-20 menit setelah aplikasi uji tusuk kulit

9. Sensitisasi positif jika didapati indurasi kemerahan ф ≥ 3 mm setelah dibandingkan dengan kontrol negatif

10. Sensitisasi negatif jika didapati indurasi kemerahan ф < 3 mm

(64)

Agar hasil pemeriksaan ini tidak terganggu oleh obat-obatan maka tiga hari sebelum pemeriksaan sampai hari pelaksanaan diharapkan putra/putri Bapak/Ibu tidak mengkonsumsi obat/jamu-jamuan apapun juga.

Jika dari pemeriksaan tersebut terdapat keluhan berkelanjutan pada putra/putri Bapak/Ibu, silahkan menghubungi :

dr. Beatrix Siregar (HP: 061-77771531 / 081361534631) dr. Lily Irsa, SpAK (HP : 0811 636 456)

dr. Rita Evalina, SpA (HP : 0816 3131 981)

Demikian informasi ini kami sampaikan. Atas bantuan dan partisipasinya kami ucapkan terima kasih. Kerahasiaan data penelitian ini dapat dijamin dan biaya yang digunakan tidak akan dibebankan kepada bapak dan ibu.

Wassalam,

(65)
(66)

Lampiran 5

RIWAYAT HIDUP Nama Lengkap : dr. Beatrix Siregar Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 30 Oktober 1983 Alamat : Jln. Jermal VII No.6

Medan, Indonesia

PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : SD Ahmad Yani Binjai, tamat tahun 1995 Sekolah Menengah Pertama : SLTP Ahmad Yani Binjai, tamat tahun 1998 Sekolah Menengah Umum : SMU Negeri 1 Binjai, tamat tahun 2001 Dokter Umum : Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat

tahun 2007

Magister Kedokteran Klinik : Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat tahun 2011

RIWAYAT PEKERJAAN : -

PERTEMUAN ILMIAH / PELATIHAN

1. Deteksi Dini dan Pemantauan Tumbuh Kembang di Medan, 17 Februari 2007, sebagai peserta.

PENELITIAN

1. Hubungan reaktivitas uji tusuk kulit pada anak atopi dengan jumlah saudara kandung

ORGANISASI

Gambar

Gambar 1. Keuntungan  infeksi dalam pencegahan  atopi8
Gambar 4.1 Profil Penelitian
Tabel 4.1. Karakteristik sampel
Tabel 4.2.  Hubungan jumlah saudara kandung dengan hasil uji tusuk kulit
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pengamatan terhadap aktivitas siswa dilakukan oleh dua pengamat menggunakan instrumen lembar aktivitas siswa yang telah tersedia. Berdasarkan hasil analisis diperoleh

Menurut pernyataan Menteri Perindustrian MS Hidayat (2012), tantangan yang dihadapi sektor industri manufaktur masih berkisar pada minimnya infrastruktur dan

tentu tidak ditemukan begitu saja, pasti terdapat sejarah dari bahasa pemrograman sehingga dapat berevolusi menjadi bahasa tingkat tinggi yang kita kenal saat ini3.

Social Choice and Individual Values, Kenneth Joseph Arrow Masalah 12 dari University of Yale. Department of Economics. Cowles Foundation for Research in Economics. Arrow, The Limits

Dari hasil pengukuran terlihat bahwa nilai kapasitansi yang ditunjukkan oleh alat ukur yang dibuat tidak jauh berbeda dengan nilai kapasitansi yang ditunjukkan

Tujuan dari penelitian ini adalah yang pertama untuk mendiskripsikan tipe tindak ilokusi yang terdiri dari representative or assertive, directive, commisive, expressive,

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi / karya ilmiah saya, dengan judul : VALIDASI METODE ANALISIS CAMPURAN VITAMIN B 1 , B 2 , DAN B 6 DALAM SEDIAAN

Revolusi digerakkan secara menyelurh dan bersama-sama oleh suatu konsorium yang terdiri dari para tokoh nasional (birokrasi pemerintah, dunia usaha, tokoh agama,