• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek-Aspek Hukum Internasional Tentang Ekstradisi Alberto Fujimori (Mantan Presiden Peru)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek-Aspek Hukum Internasional Tentang Ekstradisi Alberto Fujimori (Mantan Presiden Peru)"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK-ASPEK HUKUM INTERNASIONAL TENTANG EKSTRADISI ALBERTO FUJIMORI (MANTAN PRESIDEN PERU)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH: GILBERT SINAGA

NIM: 100200124

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan karunia-Nya

selama Penulis menuntut ilmu dan menyelesaikan Skripsi ini. Skripsi ini dibuat

untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana

Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun yang Penulis

pilih sebagai judul Skripsi adalah “Aspek-Aspek Hukum Internasional Tentang Ekstradisi Alberto Fujimori (Mantan Presiden Peru)”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,

dikarenakan berbagai keterbatasan Penulis, baik keterbatasan pengetahuan,

pengalaman Penulis dalam menulis karya ilmiah, maupun segi ketersediaan

literatur. Oleh karena itu, Penulis dengan besar hati mengharapkan kritik dan

saran yang bersifat membangun dari pembaca sekalian.

Pada kesempatan ini Penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada semua

pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuannya secara moril maupun

materil dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih

yang tak terhingga kepada Papa Ir. Tumpal Sinaga dan Mama Julia Elfrida

Panggabean yang telah memberikan doa, motivasi, saran, dan dukungan baik

secara moril maupun materil. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I

(4)

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak O.K. Saidin, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. Tan Kamelo, SH, MS, selaku dosen Pembimbing Akademik Penulis.

6. Ibu Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Internasional Fakultas Huku m Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Bachtiar Hamzah, SH, MH selaku Dosen Pembimbing I, terimakasih

atas segala dukungan, bimbingan, dan nasihat yang sangat bermanfaat bagi

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Makdin Munthe, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II,

terimakasih atas nasihat, motivasi, bimbingan, dan nasihat yang sangat

bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

membimbing Penulis selama masa perkuliahan.

10.Seluruh civitas Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, staf administrasi

dan seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Kakak Penulis dan Suami, Robintang Evelyn Gavriella Sinaga dan Rudy

Octavius Sihombing yang selalu menjadi semangat bagi Penulis.

12.Laurentia Ayu Kartika Putri, SH. , Devi Silvia Hutapea, SH. , Andreas Gayus

Sinulingga, Nidea Novresia Hutabarat, Anastasya Mariska Silitonga, SH. ,

(5)

Theopilus Sembiring terimakasih atas segala semangat, motivasi, bantuan, dan

selalu setia menemani Penulis dalam suka duka.

13.Perdawira Gabriel Basama Siregar dan Arnold Nicolas Hutajulu sahabat yang

selalu setia menemani Penulis dalam suka duka sedari kanak-kanak,

terimakasih atas segala dukungan, bantuan, semangat, dan doa yang telah

diberikan kepada Penulis.

14.Andriana Vinky Nancy Sipayung, Tamba Parulian Saragih, Muhammad Fajar,

Muhammad Kolan Nasution, Yonatan Sirait, Horasman Saragih, Teguh

Melias Sinulingga, Cici Meliani Harahap terimakasih atas segala dukungan,

motivasi, bantuan, doa yang telah diberikan kepada Penulis serta selalu setia

menemani Penulis dalam suka maupun duka.

15.Seluruh teman-teman Grup E dan ILSA ‘Hidup Mahasiswa!’, terimakasih atas

semua memori selama Penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum USU.

16.Semua pihak yang telah membantu Penulis baik secara moril maupun materil

yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

Demikian yang dapat Penulis sampaikan, semoga kita semua selalu

diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, September 2014

Penulis,

(6)

ABSTRAK Gilbert Sinaga Bachtiar Hamzah, SH

*

Makdin Munthe, SH, M.Hum

**

***

Semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan,tentu membuat modus kejahatan dan pelarian dalam dunia kejahatan semakin beragam. Dampak dari perkembangan teknologi infomasi adalah lingkup kejahatan tidak hanya terbatas pada lingkup lokal atau nasional saja, tetapi telah menjangkau lingkup internasional. Proses penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional pada dasarnya amat sulit dilakukan karena memerlukan kerja sama antarnegara berupa perjanjian ekstradisi.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan hukum internasional tentang ekstradisi, bagaimana pelaksanaan ekstradisi menurut hukum internasional, bagaimana penyelesaian ekstradisi Alberto Fujimori menurut hukum internasional.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian yuridis normatif karena sasaran penelitian adalah meninjau peraturan hukum yang terkait dengan Ekstradisi Alberto Fujimori (Mantan Presiden Peru) dengan menggunakan studi kepustakaan melalui bahan-bahan berupa buku, dokumen, artikel, peraturan yang berkaitan, koran, dan majalah dengan tujuan yang termaksud dalam penyusunan penelitian ini.

Hukum Internasional belum memiliki suatu peraturan yang mengatur tentang ekstradisi secara khusus. Pada umumnya, ekstradisi dalam dunia internasional diatur dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh negara-negara baik dalam bentuk bilateral maupun multilateral. Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan resolusi yang mengatur tentang model perjanjian ekstradisi yang dinamakan The United Nations Model Treaty on Extradition. Mekanisme pelaksanaan ekstradisi dalam praktiknya memiliki suatu peraturan yang mengatur tentang prosedur yang harus ditempuh oleh kedua belah pihak dalam menuntut haknya serta melaksanakan kewajibannya. Alberto Fujimori dituduh melakukan beberapa kejahatan. Demi menghindari tuntutan atas kejahatan tersebut, Alberto Fujimori memilih mengundurkan diri dan menetap di Jepang sehingga memperoleh kewarganegaraan dari negara tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari permintaan ekstradisi dari Peru. Namun, akhirnya Alberto Fujimori ditangkap di Chile dalam usahanya untuk kembali memperoleh kekuasaannya. Saat ini, Alberto Fujimori sedang menjalani masa hukumannya setelah diekstradisi dari Chile. Saat ini dibutuhkan peraturan internasional yang mengatur tentang ekstradisi secara khusus.

Kata Kunci : Alberto Fujimori, Ekstradisi, Hukum Internasional, The United Nations Model Treaty on Extradition

*

Mahasiswa Departemen Huku m Internasional Fakultas Huku m USU

**

Dosen Pembimbing I

***

(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar... i

Abstrak.. ... iv

Daftar Isi... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

A.Latar Belakang... 1

B.Rumusan Masalah... 10

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan... 10

D.Keaslian Penulisan... 11

E.Tinjauan Kepustakaan... 12

F. Metode Penelitian... 16

G.Sistematika penulisan... 18

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EKSTRADISI... 20

A.Sejarah Ekstradisi... 20

B.Asas-Asas Ekstradisi... 24

C.Pengaturan Hukum Internasional Tentang Ekstradisi... 34

BAB III PROSES PELAKSANAAN EKSTRADISI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL... 40

A.Jenis-Jenis Kejahatan yang dapat diekstradisi... 40

B.Syarat-Syarat Pelaksanaan Ekstradisi... 50

(8)

BAB IV KASUS ALBERTO FUJIMORI DITINJAU DARI HUKUM

INTERNASIONAL... 62

A.Latar Belakang Kasus Alberto Fujimori... 62

B.Penolakan Ekstradisi Alberto Fujimori oleh Jepang ditinjau dari Hukum Internasional………... 69

C.Penyelesaian Kasus Ekstradisi Alberto Fujimori ditinjau dari Hukum Internasional………... 77

BAB V PENUTUP... 83

A.Kesimpulan... 83

B.Saran... 84

(9)

ABSTRAK Gilbert Sinaga Bachtiar Hamzah, SH

*

Makdin Munthe, SH, M.Hum

**

***

Semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan,tentu membuat modus kejahatan dan pelarian dalam dunia kejahatan semakin beragam. Dampak dari perkembangan teknologi infomasi adalah lingkup kejahatan tidak hanya terbatas pada lingkup lokal atau nasional saja, tetapi telah menjangkau lingkup internasional. Proses penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional pada dasarnya amat sulit dilakukan karena memerlukan kerja sama antarnegara berupa perjanjian ekstradisi.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan hukum internasional tentang ekstradisi, bagaimana pelaksanaan ekstradisi menurut hukum internasional, bagaimana penyelesaian ekstradisi Alberto Fujimori menurut hukum internasional.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian yuridis normatif karena sasaran penelitian adalah meninjau peraturan hukum yang terkait dengan Ekstradisi Alberto Fujimori (Mantan Presiden Peru) dengan menggunakan studi kepustakaan melalui bahan-bahan berupa buku, dokumen, artikel, peraturan yang berkaitan, koran, dan majalah dengan tujuan yang termaksud dalam penyusunan penelitian ini.

Hukum Internasional belum memiliki suatu peraturan yang mengatur tentang ekstradisi secara khusus. Pada umumnya, ekstradisi dalam dunia internasional diatur dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh negara-negara baik dalam bentuk bilateral maupun multilateral. Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan resolusi yang mengatur tentang model perjanjian ekstradisi yang dinamakan The United Nations Model Treaty on Extradition. Mekanisme pelaksanaan ekstradisi dalam praktiknya memiliki suatu peraturan yang mengatur tentang prosedur yang harus ditempuh oleh kedua belah pihak dalam menuntut haknya serta melaksanakan kewajibannya. Alberto Fujimori dituduh melakukan beberapa kejahatan. Demi menghindari tuntutan atas kejahatan tersebut, Alberto Fujimori memilih mengundurkan diri dan menetap di Jepang sehingga memperoleh kewarganegaraan dari negara tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari permintaan ekstradisi dari Peru. Namun, akhirnya Alberto Fujimori ditangkap di Chile dalam usahanya untuk kembali memperoleh kekuasaannya. Saat ini, Alberto Fujimori sedang menjalani masa hukumannya setelah diekstradisi dari Chile. Saat ini dibutuhkan peraturan internasional yang mengatur tentang ekstradisi secara khusus.

Kata Kunci : Alberto Fujimori, Ekstradisi, Hukum Internasional, The United Nations Model Treaty on Extradition

*

Mahasiswa Departemen Huku m Internasional Fakultas Huku m USU

**

Dosen Pembimbing I

***

(10)

A. Latar Belakang

Semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, tentu membuat modus

kejahatan dan pelarian dalam dunia kejahatan semakin beragam. Bentuk-bentuk

kejahatan mengalami berbagai perkembangan, baik dari segi kuantitas maupun

kualitas. Banyak jenis kejahatan yang semula sukar untuk dilakukan, dengan

kemajuan teknologi informasi menjadi hal yang mudah dilakukan oleh siapa saja.

Pada saat ini para pelaku kejahatan dapat melakukan kejahatan dan pelarian dari

suatu negara menuju ke negara lainnya dengan sangat mudah.

Kondisi yang mengkhawatirkan sebagai dampak dari perkembangan

teknologi infomasi adalah lingkup kejahatan tidak hanya terbatas pada lingkup lokal

atau nasional saja, tetapi telah menjangkau lingkup internasional. Kejahatan yang

menjangkau lingkup internasional inilah yang disebut dengan kejahatan

transnasional. Dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional pada

dasarnya amat sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan dalam proses penegakan hukum

terhadap kejahatan transnasional memerlukan kerjasama antar negara yang terlibat

dalam kasus kejahatan transnasional yang bersangkutan.

Kerjasama antar negara tersebut dapat berupa perjanjian. Kerjasama antar

negara dalam bentuk perjanjian disebut perjanjian internasional. Dalam hal ini

(11)

2

kejahatan transnasional antara lain adalah perjanjian ekstradisi. Perjanjian ekstradisi

merupakan dasar dari permintaan dan penyerahan seorang tersangka kejahatan

transnasional oleh negara yang mengajukan permohonan ekstradisi. Ekstradisi sendiri

adalah penyerahan seorang tertuduh atau seorang terhukum oleh suatu negara di

wilayah mana ia suatu waktu berada kepada negara tempat ia disangka melakukan

atau telah dihukum karena berbuat kejahatan.1

Selain itu ekstradisi bertujuan untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat

tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan dan pemidanaan karena seringkali

suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seorang penjahat

tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya semata-mata disebabkan

oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi atas

penjahat tersebut. Penjahat harus dipidana oleh negara tempat ia berlindung atau

diserahkan kepada negara yang dapat dan mau memidananya (aut punier aut dedere). Kecuali dari itu negara yang wilayahnya merupakan tempat dilakukannya kejahatan

adalah yang termampu mengadili penjahat karena di tempat tersebut bukti-bukti

dapat diperoleh dengan lebih bebas, dan negara tersebut mempunyai kepentingan

terbesar dalam memidana penjahat tersebut serta mempunyai fasilitas terbesar untuk

mencapai kebenaran.

2

1 Fika Habbina, Urgensi Pembentukan Konvensi Ekstradisi ASEAN Sebagai Upaya Preventif dan Represif Kejahatan Transnasional di Asia Tenggara, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2012, Hal. 4.

2 J. G. Starke, An Introduction to International Law, (London,Butterwordhs & Co (Publisher), 4th Edition)) 1958, Hal. 261.

Pada umumnya, ekstradisi sebagai tujuan politik dan

(12)

dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana

negara pemohon ekstradisi tersebut dapat diterapkan terhadap para penjahat yang

melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang

penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan.3

Secara umum terdapat dua alasan bagi suatu negara untuk melakukan

ekstradisi, pertama goodwill dan keprihatinan internasional. Suatu perjanjian ekstradisi yang terjadi antara negara yang tidak mempunyai perjanjian hanya terjadi

karena komitmen internasional, kedua, komitmen dimungkinkan karena adanya

perjanjian antar negara.4 Dalam ekstradisi, penyerahan seorang tersangka kejahatan

transnasional hanya dapat terjadi apabila telah ada pengajuan permohonan untuk

menyerahkan oleh negara pemohon kepada negara yang dimohonkan. Penyerahan

dan permohonan itu haruslah berdasarkan pada perjanjian ekstradisi antara

masing-masing pihak, karena menurut hukum internasional jika tidak ada perjanjian,maka

negara tidak mempunyai kewajiban untuk mengekstradisi pelaku kejahatan5

3 Rakmad Saddam, Lembaga Ekstradisi sebagai Suatu Sarana dalam Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Korupsi Ditinjau dari Hukum internasional, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2012, Hal. 9.

4 Shaufy Rahmi, Tinjauan Yuridis terhadap Persetujuan antara Republik Indonesia dan Hongkong Special Administrative Region di Bidang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana ,Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010, Hal. 22.

5 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Pidana Internasional (Ekstradisi), PT TataNusa, Jakarta, 2010, Hal. 4.

.

Penyerahan ini merupakan intervensi yang cukup besar terhadap kebebasan dari

(13)

4

kepentingan umum setiap negara dalam memerangi kejahatan dan menghapuskan

perlindungan terhadap buronan.6

Sifat dari ekstradisi merupakan proses hukum yang dilakukan oleh dan antara dua atau lebih negara berdasarkan hukum internasional, dan hukum nasional dari setiap negara yang terlibat. Hal tersebut hanya merupakan bagian dari proses politik antar pemerintah. Implikasi dari konsepsi itu adalah bahwa individu hanya merupakan objek dan bukan subjek dari proses hukum. Sebagai konsekuensi dari konsepsi ini, individu yang menjadi subjek dari proses tersebut tidak akan memiliki hak untuk mengklaim terhadap negara masing-masing (negara-peminta dan negara yang diminta) kecuali masing-masing negara yang bersangkutan akan mengakui pandangan modern, bagaimanapun juga, bahwa individu adalah subjek hukum yang berhak untuk mengklaim dan menegaskan hak-hak yang diberlakukan untuk keuntungan mereka dari hukum internasional, perjanjian yang berlaku, termasuk perjanjian ekstradisi, dan huku m nasional termasuk hak konstitusional.

Selain itu, Menurut Cherif Bassiouni,

7

Oleh karena itu dapat diakui bahwa ekstradisi adalah merupakan suatu

lembaga atau sarana yang ampuh untuk dapat memberantas suatu tindak kejahatan.

Hal ini hanya dapat diwujudkan jika adanya hubungan yang baik antara

negara-negara di dunia, sehingga dapat lebih memudahkan di dalam pelaksanaan kerjasama

antar negara dan dapat mempercepat penyerahan penjahat pelarian dari suatu negara

ke negara lain. Namun bukanlah tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya,

dimana antara negara si pelaku kejahatan dengan negara dimana ia melarikan diri

saling bermusuhan, sehingga akan sangat sulit untuk melakukan suatu perjanjian dan

penyerahan penjahat yang melarikan diri ke negara tersebut.8

6 Robert Cryer, An Introduction to International Criminal Law and Procedure, Cambridge University Press, New York, 2007. Hal. 79.

7 M.Cherif Bassiouni, International Criminal Law, Volume II: Procedure, Transnational Publisher, New York, 1986. Hal 406.

8 Rakhmad Saddam, Op. Cit. Hal. 8.

(14)

Perjanjian ekstradisi sendiri tidak hanya dikenal dalam bentuk hubungan

bilateral antara dua negara saja. Ada juga perjanjian ekstradisi yang bersifat regional

meliputi suatu kawasan yang terdiri dari beberapa negara atau sering juga disebut

multi-regional. Beberapa negara di dunia sudah menerapkan konvensi ekstradisi

untuk kawasannya. European Union telah menerapkan European Convention on Extradition, 1957. Amerika juga menerapkan melalui Inter-American Convention on Extradition, 1981.9

Mutual Legal Assistance atau Perjanjian Saling Bantuan Hukum adalah perjanjian antara dua negara asing untuk tujuan informasi dan bertukar informasi

dalam upaya menegakkan hukum pidana. Bantuan ini dapat berlangsung berupa

memeriksa dan mengidentifikasi orang, tempat dan sesuatu, transfer custody, dan memberikan bantuan dengan immobilization dari alat-alat kegiatan kriminal. Bantuan mungkin ditolak oleh salah satu negara (sesuai dengan perjanjian rincian) untuk

politik atau alasan keamanan, atau jika pelanggaran pidana dalam pertanyaan tidak Namun apabila penyerahan pelaku kejahatan transnasional yang bersangkutan

tidak dapat dilakukan oleh karena tidak adanya perjanjian ekstradisi yang dapat

dijadikan dasar dalam pelaksanaan proses penyerahan tersebut maka proses

penyerahan tersebut dapat didasarkan pada asas timbal balik yang telah disepakati.

Asas timbal balik yang telah disepakati tersebut disebut Mutual Legal Assistance.

(15)

6

dihukum sama di kedua negara. Beberapa perjanjian dapat mendorong bantuan

dengan bantuan hukum bagi warga negara di negara-negara lain.10

Mutual Legal Assistance pada dasarnya merupakan suatu bentuk perjanjian timbal balik dalam masalah pidana. Pembentukan Mutual Legal Assistance dilatarbelakangi adanya kondisi faktual bahwa sebagai akibat adanya perbedaan

sistem hukum pidana diantara beberapa negara mengakibatkan timbulnya

kelambanan dalam pemeriksaan kejahatan. Seringkali masing-masing negara

menginginkan penggunaan sistem hukumnya sendiri secara mutlak dalam

penanganan kejahatan, hal yang sama terjadi pula pada negara lain sehingga

penahanan kejahatan menjadi lambat dan berbelit-belit.

11

Objek Mutual Legal Assistance antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi

keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan

penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan hasil aset hasil kejahatan, serta

mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau

membantu penyidikan di negara-peminta Mutual Legal Assistance. Terdapat tiga alasan bagi suatu negara untuk melaksanakan Mutual Legal Assistance yaitu dua diantaranya sama dengan ekstradisi, dan yang ketiga adalah adanya persetujuan

10 Mekar Sinurat, “Perbandingan Ekstradisi dan MLA”, http://mekar-sinurat.blogspot.com /2009/10/perbandingan-ekstradisi-dan-mla.html , diakses pada 18 April 2014

(16)

internasional dengan interpol yang dilakukan oleh pihak kepolisian suatu negara.12

Dalam prakteknya, pelaksanaan Mutual Legal Assistance di antara negara-negara didasari pada beberapa prinsip penting, antara lain: prinsip kerjasama, prinsip

reciprocity (timbal balik) atas dasar hubungan baik, instrumen hukum Mutual Legal Assistance.13

Mutual Legal Assistance muncul sebagai salah satu upaya dalam mengatasi dan memberantas berbagai kejahatan yang sifatnya lintas batas (transnasional). Hal

ini sangat wajar terjadi, mengingat terhadap kejahatan yang dimensinya nasional,

dalam pengertian dampak dari kejahatan tersebut sifatnya nasional, dan pelaku

kejahatan hanya warga negara setempat, cukup ditangani secara nasional tanpa perlu

melibatkan negara lain.14 Mutual Legal Assistance ini sangat dianjurkan dalam berbagai pertemuan internasional dan konvensi PBB misalnya, dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Negara penandatangan dianjurkan untuk memiliki kerjasama internasional antara lain dalam bentuk Mutual Legal Assistance guna memberantas korupsi.15

Mutual Legal Assistance pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral, Mutual Legal Assistance bilateral ini didasarkan pada perjanjian Mutual

12 Mekar Sinurat, Loc. Cit.

13 Nathania Dea Myrilla, “Penggunaan Mutual Legal Assistance dalam Upaya Ekstradisi”, sebagaimana dimuat dalam

14 Shaufy Rahmi, Op. Cit. Hal. 23.

(17)

8

Legal Assistance atau dasar hubungan timbal balik dua negara.16 Frasa timbal balik mengindikasikan bahwa bantuan hukum tersebut diberikan dengan harapan bahwa

akan adanya timbal balik bantuan dalam suatu kondisi tertentu meskipun tidak selalu

timbal balik tersebut menjadi prasyarat untuk pemberian bantuan. Supaya bantuan

hukum timbal balik itu berjalan efektif dalam hal pelacakan, pembekuan, penyitaan,

konfiskasi dan pengembalian aset seyogyanya hal tersebut didasarkan konvensi atau

perjanjian internasional yang memungkinkan terjadinya bantuan hukum timbal balik.

Untuk maksud ini, dorongan pada negara agar mengikatkan diri pada suatu perjanjian

dan/atau melakukan perjanjian regional atau bilateral.17

“ States Parties shall afford one another the widest measure of Mutual Legal Assistance in investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation to the offences covered by this Convention. Mutual Legal Assistance shall be afforded to the fullest extent possible under relevant laws, treaties, agreements and arrangements of the requested State Party with respect to Instrumen hukum terkait dengan bantuan timbal balik yang akan dielaborasi

lebih lanjut adalah sebagai berikut :

1. United Nation Convention Against Transnational Organized crime (TOC) 2. United Nation Convention Against Corruption 2003

3. Article 46

16 Yunus Husein, Loc. Cit.

(18)

investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation to the offences for which a legal person maybe held liable in accordance with article 26 of this Convention in therequesting State Party.”

4. Treaty on Mutual Legal Assistance

5. International Convention for The Suppression of The Financing of The Terrorism.

Mutual Legal Assistance merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dibentuk di antara negara-negara dalam upaya mengatasi maraknya kejahatan

transnasional terorganisasi, seperti kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan

pencucian uang (money laundering), dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap kejahatan memerlukan penanganan melalui Mutual Legal Assistance, hanya kejahatan yang berdimensi internasional serta kejahatan yang memenuhi asas

kejahatan ganda18 (double criminality) saja yang memerlukan penanganan melalui Mutual Legal Assistance. Mutual Legal Assistance memiliki cakupan/ruang lingkup yang sangat luasmulai dari proses pencarian bukti-bukti atau keterangan-keterangan

berkaitan dengan kejahatan yang sedang diperiksa hingga pelaksanaan

putusan,sehingga hal ini akan memudahkan dalam pengungkapan berbagai bentuk

kejahatan.19

18 Asas kejahatan ganda (double criminality) adalah kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta penyerahan (ekstradisi) adalah merupakan kejahatan atau peristiwa pidana menurut sistem hukum kedua pihak (negara yang meminta dan negara yang diminta), sebagaimana dimuat dalam I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990, Hal. 29.

(19)

10

Dalam pelaksanaan MLA, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai

otoritas sentral (central authority) dapat meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian. Hal ini berupa penggeledahan, pemblokiran,

penyitaan, pemeriksaan surat, dan pengambilan keterangan. Sebaliknya, Menteri

Hukum dan HAM dapat menolak permintaan kerja sama MLA dari negara lain dalam

hal tindakan yang diajukan itu dapat mengganggu kepentingan nasional atau

berkaitan dengan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama,

ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang. Komunikasi dalam kerja sama MLA

dapat dilakukan, baik melalui jalur diplomatik maupun melalui jalur Central Authority. Ada juga negara yang melakukan kerja sama MLA hanya melalui jalur diplomatik, seperti Malaysia.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan hukum internasional tentang ekstradisi?

2. Bagaimana pelaksanaan ekstradisi menurut hukum internasional?

3. Bagaimana penyelesaian ekstradisi Alberto Fujimori menurut hukum

internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

(20)

2. Untuk mengetahui pelaksanaan ekstradisi menurut hukum internasional.

3. Untuk mengetahui penyelesaian ekstradisi Alberto Fujimori menurut hukum

internasional.

Manfaat penulisan skripsi ini adalah :

a. Manfaat teoritis

1. Untuk memberikan informasi mengenai aspek hukum internasional dalam

penyelesaian kasus ekstradisi Alberto Fujimori.

2. Untuk menambah bahan pustaka bagi penelitian di bidang yang sama yakni

pengaturan hukum internasional tentang pelaksanaan ekstradisi, khususnya

dalam masalah penyelesaian kasus ekstradisi Alberto Fujimori.

b. Manfaat praktis

Untuk menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam memahami upaya

penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional serta menjadi upaya preventif

bagi masyarakat untuk tidak meniru Alberto Fujimori sebagai pelaku kejahatan

transnasional

D. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “Aspek-Aspek Hukum Internasional Tentang Ekstradisi Alberto Fujimori (Mantan Presiden Peru)”.

Penulisan skripsi tentang ekstradisi telah beberapa kali dilakukan oleh

mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul yang

(21)

12

Ekstradisi Augusto Pinochet (Mantan Presiden Chili). Persamaan dengan penulisan

ini adalah bahwa objek penulisan sama-sama mengenai aspek-aspek hukum

internasionnal tentang seseorang. Perbedaannya adalah pada orang yang dijadikan

subjek penulisan. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa penulisan ini

berbeda dengan penulisan sebelumnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

Kejahatan Transnasional (Transnational Crime) adalah tindakan yang memiliki dampak lebih dari satu negara, melibatkan atau memberikan dampak

terhadap warga negara lebih dari satu negara,sarana dan prasarana serta metode yang

digunakan melampaui batas territorial suatu negara. Jenis kejahatan yang bersifat

lintas batas negara berkembang mulai dari kejahatan internasional (international crimes), kejahatan transnasional (transnational crimes), sampai kejahatan lintas batas yang terorganisir (transnational organized crimes).

Kejahatan Internasional adalah setiap tindakan yang ditetapkan di dalam

konvensi-konvensi multilateral dan diakui oleh sejumlah negara-negara peserta,

sekalipun didalamnya terkandung salah satu.

Transnational Organized Crimes adalah kejahatan terorganisir yang dilakukan lintas batas negara dimana kejahatan tersebut dilakukan lebih dari satu

negara; dilakukan di satu negara namun bagian penting seperti persiapan,

(22)

dari negara lain di lebih dari satu negara atau dilaksanakan di satu negara tetapi

berdampak pada negara lain.

Oleh karena setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada

dalam batas negaranya berdasarkan prinsip sovereignty, maka dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional diperlukan kerja sama antar

negara untuk menanggulanginya. Kerja sama ini diperlukan karena setiap negara

tidak memiliki kewajiban untuk menyerahkan tersangka pelaku kejahatan kepada

negara asing. Kerjasama antar negara ini disebut perjanjian internasional.

Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu,

yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan

hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

Salah satu jenis perjanjian internasional yang dapat dipergunakan untuk

menanggulangi kejahatan transnasional adalah perjanjian mengenai ekstradisi. .

Menurut I Wayan Parthiana SH:

”Ekstradisi adalah penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik atas, atas seseorang yang tertuduh (terdakwa) atau atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang telah dilakukannya (terhukum,terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut,dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumnya.”20

(23)

14

Sedangkan menurut L.Oppenheim :

Ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan.”21

“Mutual Legal Assistance adalah Perjanjian yang bertumpu pada pada permintaan bantuan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan lain-lain, dari negara-diminta dengan negara-peminta.”

Secara sederhana, ekstradisi merupakan bentuk kerja sama antar negara

berkaitan dengan pemberantasan kejahatan lintas batas negara (transnasional) dengan

cara pengembalian tersangka, terdakwa, terpidana kepada negara yang memiliki

yurisdiksi terhadap tersangka, terdakwa maupun terpidana tersebut. Hal ini

merupakan bentuk dari aspek formal prosedural dari hukum internasional. Tujuan

utama dari lembaga ekstradisi adalah mempelajari perilaku masyarakat internasional,

yaitu perilaku para aktor (negara maupun non-negara) di dalam area transaksi

internasional.

Selain ekstradisi, Mutual Legal Assistance juga dapat dipergunakan untuk menanggulangi kejahatan transnasional. Mutual Legal Assistance merupakan perjanjian saling bantuan hukum antar negara dalam masalah pidana dimana

negara-negara dapat bertukar informasi dalam upaya menegakkan hukum pidana.

Menurut Siswanto Sunarso:

22

(24)

Dalam Chapter VIII International Legal Cooperation-United Nations of Drugs and Crime (UNODC) Toolkit, Mutual Legal Assistance diartikan sebagai proses kerjasama internasional dimana negara-negara meminta dan menyediakan

bantuan dalam mengumpulkan bukti yang akan digunakan dalam penyelidikan dan

pengadilan kasus pidana, dan dalam melacak, membekukan, menyita dan akhirnya

menyita kekayaan yang berasal dari perbuatan pidana.

Dalam prakteknya pelaksanaan Mutual Legal Assistance diantara negara-negara didasari beberapa prinsip penting antara lain prinsip kerjasama dan prinsip

reciprocity (timbal balik) atas dasar hubungan baik. Prinsip kerjasama atau kerjasama internasional dalam kasus-kasus khusus merujuk pada kerjasama hukum atau

kerjasama peradilan. Prinsip kerjasama biasanya diatur oleh perjanjian atau instrumen

hukum legal diantara beberapa negara, atau pengaturan khusus diantara dua negara.

Kerjasama yang diatur dalam perjanjian berbeda-beda, terkadang hanya menetapkan

hal-hal umum, namun juga berkemungkinan untuk mengatur masalah pidana khusus

seperti narkotika, korupsi sesuai kesepakatan negara-negara.

Prinsip reciprocity (timbal balik) atas dasar hubungan baik pada umumnya didasarkan pada hukum acara pidana, perjanjian yang dibuat antar negara, konvensi

serta kebiasaan internasional. Namun, kesepakatan serta kerjasama negara-negara

dalam memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana tidak selalu dituang

dalam sebuah perjanjian formal, hubungan baik antara negara-negara sering kali

dijadikan dasar diberikannnya bantuan timbal balik, walaupun sebelumnya belum ada

(25)

16

Dalam melaksanakan bantuan timbal balik dalam masalah pidana, terdapat

aspek-aspek penting yang mendasari dilakukan kerjasama negara-negara, yakni:

sistem bantuan timbal balik sebagai sistem yang mendukung proses penegakan

hukum, sistem bantuan timbal balik sebagai sistem yang lahir dari hubungan antar

negara yang menekankan pada prinsip kerjasama, hubungan antara kewenangan

penegak hukum yang lebih sistematik dan upaya untuk menerapkan sistem bantuan

timbal balik sebagai upaya pemberantasan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sistem bantuan timbal balik yang menekankan pelaksanaannya pada perjanjian dan

resiprositas sebagai perwujudan good governance.23

F. Metode Penelitian

Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan suatu metode

yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami

objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah

pedoman-pedoman, cara seseorang mempelajari dan memahami

lingkungan-lingkungan yang dihadapi sebagaimana suatu tulisan yang bersifat ilmiah dan untuk

mendapatkan data yang valid dan relevan dengan judul dan tujuan penulisan skripsi

ini, maka penulis berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan data-data yang valid

dan relevan sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam

penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:

(26)

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

melalui metode penelitian hukum yuridis normatif atau disebut juga dengan studi

kepustakaan (library research) yang berhubungan dengan penulisan ini. Penelitian hukum yuridis normatif adalah penelitian hukum dengan hanya mengolah dan

menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan ekstradisi Alberto Fujimori.

Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif (cara berpikir

dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang

sudah dibuktikan kebenarannya dan kesimpulan itu ditujukkan untuk sesuatu yang

sifatnya khusus). Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yang

bersifat deskriptif, yaitu peneltian untuk memberikan data yang seteliti mungkin

tentang suatu gejala atau fenomena, dalam hal ini adalah kasus ekstradisi Alberto

Fujimori.

2. Sumber Data

Data yang diperlukan adalah data sekunder. Bahan hukum sekunder yaitu

bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti

hasil-hasil penelitian dan tulisan para ahli hukum, buku-buku, pendapat para sarjana

yang berhubungan dengan skripsi ini. Materi skripsi ini diambil dari data-data

(27)

18

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan dasar, dan

yurisprudensi tentang ekstradisi.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer seperti buku-buku tentang ekstradisi dan peraturannya, jurnal-jurnal,

majalah dan surat kabar serta media internet yang memuat artikel tentang ekstradisi

Alberto Fujimori.

c. Bahan Huku m Tertier

Yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Analisis Data

Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisis data secara

kualitatif, yakni data yang ada adalah data yang digambarkan dalam kalimat, tidak

ada unsur angka tetapi tidak mengurangi validitas data tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan atau gambaran isi yang dimaksud adalah

mengemukakan garis-garis besar dari uraian skripsi. Pembahasan skripsi ini, secara

garis besar akan dibagi dalam 5 (lima) bab. Setiap bab menguraikan masalah-masalah

(28)

bab dengan bab lainnya. Masing-masing bab dibagi lagi dalam sub bab sesuai dengan

kebutuhan penulisan skripsi ini. Maka akan mempermudah pemahaman pembaca

untuk mengetahui inti pembahasan secara keseluruhan. Sistematika penulisan skripsi

ini, yakni:

BAB I : Bab pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang

pemilihan judul skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Menguraikan tentang sejarah ekstradisi, asas-asas ekstradisi, dan

pengaturan hukum internasional tentang ekstradisi.

BAB III : Menjelaskan mengenai jenis-jenis kejahatan yang dapat diekstradisi,

syarat-syarat pelaksanaan ekstradisi, dan pelaksanaan ekstradisi

menurut hukum internasional.

BAB IV : Membahas tentang latar belakang kasus Alberto Fujimori, penolakan

ekstradisi Alberto Fujimori oleh Jepang ditinjau dari hukum

internasional, dan penyelesaian kasus ekstradisi Alberto Fujimori

ditinjau dari hukum internasional.

Bab V : Berisi kesimpulan dari uraian jawaban rumusan masalah yang

dibahas dalam skripsi ini dan berisi saran dari penulis terhadap

(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG EKSTRADISI

A. Sejarah Ekstradisi

Para penulis sejarah hukum internasional mengemukakan bahwa pada

awalnya ekstradisi bermula dari sebuah perjanjian tertua yang isinya juga mengenai

masalah penyerahan penjahat pelarian adalah perjanjian perdamaian antara Raja

Ramses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahu 1729 S.M.

Kedua pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan pelaku kejahatan yang

melarikan diri atau diketemukan di dalam wilayah pihak lain.24

Namun pada prakteknya, negara-negara dalam menyerahkan penjahat pelarian

tidak hanya bergantung kepada perjanjian tersebut semata. Kemungkinan besar jauh

sebelumnya terdapat negara-negara yang saling menyerahkan penjahat pelarian

walaupun kedua belah pihak belum mengadakan perjanjian. Meskipun bukti-bukti Tetapi perjanjian seperti ini tentulah bukan merupakan perjanjian ekstradisi

yang berdiri sendiri seperti halnya yang kita kenal pada saat ini. Melainkan soal

ekstradisi ini hanyalah merupakan salah satu bagian kecil saja dari keseluruhan materi

perjanjian. Biasanya perjanjian ini merupakan perjanjian perdamaian untuk menjalin

hubungan bersahabat antara pihak-pihak atau perjanjian perdamaian untuk

mengakhiri peperangan.

(30)

untuk memperkuat dugaan ini belum bisa ditunjukkan. Persahabatan dan hubungan

baik antara dua negara, akan lebih dapat mempermudah serta mempercepat

penyerahan penjahat pelarian. Namun hal yang sebaliknya dapat terjadi apabila

terjadi permusuhan antara dua negara, maka akan amat sulit bagi kedua belah pihak

untuk saling menyerahkan penjahat pelarian. Bahkan kedua belah pihak tersebut akan

membiarkan wilayah negaranya dijadikan sebagai tempat pelarian dan perlindungan

bagi penjahat–penjahat dari negara musuhnya tersebut.

Oleh karena itu, kesediaan menyerahkan para penjahat pelarian tidaklah

berdasar kepada kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dnn

dihukum. Hal ini juga berlaku pada pemberian perlindungan kepada seseorang atau

beberapa orang penjahat pelarian bukan dikarenakan dorongan kesadaran bahwa

orang tersebut layak untuk dilindungi. Apabila hubungan kedua negara yang semula

bersahabat namun kemudian berubah menjadi permusuhan, maka kerjasama saling

menyerahkan penjahat pelarian, dapat berubah menjadi saling melindungi penjahat

pelarian. Demikian pula sebaliknya. Selain itu, praktek-praktek penyerahan penjahat

pelarian belum berdasarkan atas keinginan untuk bekerja sama dalam mencegah dan

memberantas kejahatan. Hal ini mengingat kehidupan masyarakat umat manusia pada

jaman kuno masih jauh lebih sederhana dibandingkan dengan masyarakat pada masa

selama tiga abad belakangan ini.

Pada abad ke 17, 18, 19 hingga abad ke 20 dimana kehidupan bernegara sudah

tampak lebih maju terbukti dengan tumbuhnya negara-negara nasional, hubungan dan

(31)

22

Dimana negara-negara dalam melakukan perjanjian, sudah mulai mengkhususkan

bidang-bidang tertentu. Hal ini juga berlaku pada bidang ekstradisi yang telah lama

dikenal dalam praktek, turut pula mencari bentuknya sendiri yakni bentuk perjanjian

ekstradisi yang berdiri sendiri. Jadi ekstradisi tidak lagi memiliki kaitan ataupun

menjadi bagian dari masalah-masalah lainnya yang memiliki ruang lingkup yang

lebih luas.

Berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang politik,

ketatanegaraan, kemanusiaan serta semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi

turut memberikan warna tersendiri pada ekstradisi. Ilmu pengetahuan dan teknologi

dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, namun di sisi lain

menimbulkan berbagai efek negatif misalnya, timbulnya kejahatan baru yang

memiliki akibat yang cukup besar dan luas. Tindakan kejahatan serta

akibat-akibatnya tidak hanya menjadi urusan para korban dan kelompok masyarakat di

sekitarnya saja, namun kini sering melibatkan negara-negara bahkan terkadang

menjadi persoalan umat manusia. Oleh karena itu, demi mencegah dan

memberantasnya, maka diperlukan kerja sama antar negara. Misalnya, dengan

melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan yang melarikan diri kemudian

menyerahkannya kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili dan

menghukum pelaku kejahatan tersebut, disinilah fungsi ekstradisi sebagai sarana

ampuh untuk memberantas kejahatan tampak jelas.

Pemikiran-pemikiran baru dalam bidang ketatanegaraan, politik serta

(32)

subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Negara-negara dalam membuat

dan merumuskan perjanjian-perjanjian ekstradisi disamping memperhatikan

aspek-aspek pemberantasan kejahatannya juga memperhatikan aspek-aspek-aspek-aspek kemanusiaan

dimana individu-individu pelaku kejahatan tetap diberikan/diakui hak-hak dan

kewajibannya.

Pada akhirnya, isi dan bentuk perjanjian ekstradisi pada dewasa ini,

memberikan jaminan keseimbangan antara tujuan memberantas kejahatan dan

perlindungan/penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip tidak

menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah sebagai konsekuensi dari pengakuan

hak-hak asasi untuk menganut keyakinan politik atau hak politik sesorang, untuk

pertama kalinya dicantumkan dalam perjanjian ekstradisi antara Perancis dan Belgia

pada tahun 1824. Juga prinsip non bis in idem dan prinsip kewarganegaraan erat pertaliannya dengan individu sebagai subjek hukum dengan segala hak dan

kewajibannya.

Abad ke 19 dan 20 adalah merupakan masa stabil dan kokohnya ekstradisi ini,

yang dapat dibuktikan dengan banyaknya terdapat perjanjian ekstradisi dan

perundang-undangan nasional negara-negara mengenai ekstradisi dengan asas-asas

yang sama.25

(33)

24

B. Asas-asas Ekstradisi

Perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh negara-negara didunia pada dasarnya

dilakukan dengan cara merumuskan kembali kaidah-kaidah hukum mengenai

ekstradisi yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Perjanjian ekstradisi

yang dibuat oleh negara-negara di dunia sebenarnya memiliki beberapa kesamaan

dalam pengaturan tentang substansi pokok masalah yang diperjanjikan.

Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya perumusan perjanjian

ekstradisi dilakukan dengan cara meniru dan mengikuti substansi

perjanjian-perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya. Namun dalam perumusan tersebut,

tentu diperlukan penambahan unsur-unsur baru sesuai dengan perkembangan zaman

dan kesepakatan para pihak. Pada saat ini, asas-asas ekstradisi yang telah diakui

secara umum adalah:

1. Asas Kejahatan Ganda (Double Criminality Principle); 2. Asas Kekhususan (Principle of Speciality);

3. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non-Extradition of Nationals); 4. Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non-Extradition of

(34)

1. Asas Kejahatan Ganda (Double Criminality Principle)

Asas ini mensyaratkan bahwa kejahatan yang dapat dijadikan alasan dalam

permohonan ekstradisi atas orang yang diminta adalah kejahatan yang telah diancam

hukuman baik hukum pidana dari negara-peminta ataupun hukum dari negara yang

diminta. Hal ini dapat terjadi dikarenakan suatu perbuatan atau peristiwa mungkin

merupakan peristiwa pidana atau kejahatan menurut sistem hukum negara tertentu,

sedangkan menurut sistem hukum negara lain tidak dipandang sebagai peristiwa

pidana. Terdapat perbedaan dalam penilaian atas suatu perbuatan atau peristiwa.

Perbedaan penilaian itu juga membawa akibat perbedaan penilaian terhadap si pelaku

perbuatan atau peristiwa tersebut.26

Oleh karena sistem huku m tiap-tiap negara yang berbeda, maka tidak

diperlukan nama ataupun unsur-unsur semuanya harus sama. Apabila kedua negara

telah sama-sama mengklasifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan atau tindak

pidana, hal itu dianggap sudah cukup. Apabila ternyata perbuatan itu hanya

merupakan kejahatan menurut sistem hukum salah satu negara saja, sedangkan

menurut sistem hukum negara lainnya tidak, negara-peminta sudah sepatutnya

mengurungkan maksud untuk mengajukan permintaan penyerahan. Atau jika

permintaan penyerahan sudah disampaikan, dan ternyata negara yang diminta

berkesimpulan bahwa kejahatan itu hanya merupakan kejahatan atau peristiwa pidana

menurut sistem hukum salah satu pihak saja, permintaan negara-peminta harus

(35)

26

ditolak. Asas inilah yang disebut dengan asas kejahatan ganda atau double criminality principle.

Jadi yang dimaksud dengan asas kejahatan ganda adalah kejahatan yang

dijadikan sebagai dasar permintaan penyerahan adalah merupakan kejahatan atau

peristiwa pidana menurut sistem hukum kedua belah pihak. Jika asas ini tidak

terpenuhi, maka penyerahan tidak dapat dilakukan. Penolakan itu juga berarti bahwa

si pelaku atau orang yang diminta itu mendapatkan perlindungan dari negara yang

diminta. Hal ini sudah sepantasnya, sebab seseorang tidak boleh ditindak atau

dihukum terhadap perbuatan yang tidak melanggar hukum negara tempatnya

berada.27

2. Asas Kekhususan (Principle of Speciality)

Asas ini mewajibkan negara-peminta untuk hanya menuntut, mengadili

maupun menghukum orang yang diminta berdasarkan kejahatan yang dijadikan

alasan untuk permintaan penyerahan ekstradisinya. Jadi ia tidak boleh diadili, dan

atau dihukum atas kejahatan lain, selain dari pada kejahatan yang dijadikan sebagai

alasan untuk meminta ekstradisinya.

Oleh karena itu, negara-peminta dalam mengajukan permintaan

penyerahannya itu haruslah menegaskan, atas kejahatan atau kejahatan-kejahatan apa

sajakah orang yang diminta itu dimintakan penyerahannya, dengan kata lain,

permintaan penyerahan tersebut haruslah secara tegas dan terperinci menyebutkan

jenis atau macam kejahatan yang dijadikan sebagai dasar alasan untuk meminta

(36)

penyerahan. Atas dasar permintaan penyerahan itu pulalah negara yang diminta akan

mempertimbangkan apakah penyerahan akan dilakukan atau ditolak. Apabila oleh

negara yang diminta diputuskan bahwa orang yang diminta itu akan diserahkan,

negara yang diminta juga harus menegaskan atas dasar kejahatan atau

kejahatan-kejahatan apa sajakah orang diminta itu diserahkan .28

Asas ini memberikan perlindungan kepada si pelaku kejahatan atau orang

yang diminta, sebab asas ini membatasi hak dan wewenang negara-peminta untuk

mengadili dan menghukumnya, yaitu hanya terbatas pada kejahatan yang dijadikan

alasan penyerahan. Apabila negara-peminta juga mengadili dan menghukum orang

yang diminta itu atas kejahatan lain selain daripada kejahatan yang dijadikan dasar

tersebut, maka orang yang bersangkutan atau negara-diminta (negara yang

menyerahkan orang tersebut) dapat mengajukan protes dan meminta kembali orang

tersebut.29

28Ibid, Hal. 42. 29Ibid, Hal. 43.

Meskipun pada dasarnya asas kekhususan (principle of speciality) ini membatasi hak dan wewenang negara-peminta untuk mengadili dan menghukum

orang yang bersangkutan, tetapi dalam beberapa hal asas ini dapat dikesampingkan.

Artinya, negara-peminta boleh mengadili dan menghukum orang yang diminta itu

atas kejahatan lain selain daripada kejahatan yang dijadikan dasar penyerahannya

oleh negara yang diminta. Asas kekhususan ini dapat dikesampingkan, dalam hal-hal

(37)

28

a. Apabila diminta menyatakan persetujuannya atas maksud

negara-peminta untuk mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan itu atas

kejahatan lain selain daripada kejahatan yang dijadikan dasar penyerahannya

oleh negara yang diminta.

b. Apabila orang atau si pelaku kejahatan itu sendiri menyatakan persetujuannya

untuk diadili dan dihukum atas kejahatan lain selain daripada kejahatan yang

dijadikan sebagai dasar penyerahannya oleh negara yang diminta.

c. Negara-peminta juga dapat mengadili dan menghukum orang yang diminta

atau si pelaku kejahatan atas kejahatan lain selain daripada kejahatan yang

dijadikan dasar penyerahannya apabila setelah dia diberi kesempatan dalam

suatu jangka waktu tertentu untuk meninggalkan wilayah negara-peminta,

tetapi dia tidak menggunakan kesempatan tersebut.30

Asas kekhususan (principle of speciality) baru dapat berfungsi apabila orang yang diminta telah diekstradisi oleh negara yang diminta kepada negara-peminta. Hal

ini berarti, Permintaan negara-peminta untuk mengekstradisi orang yang diminta

tersebut dikabulkan oleh negara yang diminta.

3. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non-Extradition of Nationals) Asas ini pada dasarnya memberikan kekuasaan pada negara-negara untuk

tidak menyerahkan warga negaranya sendiri yang melakukan kejahatan didalam

wilayah negara lain. Apabila orang yang diminta oleh negara-peminta ternyata

merupakan warga negara dari negara yang diminta, maka negara yang diminta berhak

(38)

menolak permintaan ekstradisi dari negara-peminta tersebut. Hal ini dilandasi oleh

pemikiran, bahwa negara wajib untuk melindungi setiap warga negaranya dan warga

negara juga memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara asalnya.

Namun penolakan tersebut tidak berarti menghapus kesalahan warga negara tersebut.

Warga negara tersebut wajib untuk diadili dan dihukum oleh negara yang diminta

berdasarkan hukum nasionalnya.

Asas ini penting untuk dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian ataupun

peraturan-peraturan perundang-undangan tentang ekstradisi. Hal ini disebabkan

karena kewarganegaraan seseorang memiliki peranan penting yakni mengenai status,

jati diri dan identitas personal orang yang bersangkutan. Hal ini juga berarti bahwa

hukum yang berlaku atas orang tersebut adalah hukum dimana dirinya terdaftar

sebagai warga negara.

Tetapi jika warga negara dari negara-diminta melakukan kejahatan di wilayah

negara lain atau diluar wilayah negaranya, kemudian negara yang merasa memiliki

yurisdiksi untuk mengadili atas kejahatannya tersebut meminta penyerahan maka

negara yang diminta diwajibkan untuk mempertimbangkan apakah warga negaranya

tersebut diserahkan atau tidak.

4. Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non-Extradition of Political Criminal)

Asas ini bermula pada abad ke-18, yang menunjukkan bahwa yang dapat

diserahkan hanyalah para penjahat politik dan pasukan yang melakukan tindakan

(39)

30

mengintroduksi secara tegas untuk tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik,

sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian dengan Belgia dan kemudian dengan

negara lain.31

Pada hal ini, negara yang diminta memiliki peranan dalam penentuan apakah

kejahatan yang dijadikan sebagai dasar permintaan penyerahan orang yang diminta

oleh negara-peminta tergolong sebagai kejahatan politik atau tidak. Jika sebagai Apabila negara-diminta berpendapat bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai

alasan untuk permintaan ekstradisi oleh negara-peminta adalah tergolong sebagai

kejahatan politik, maka negara-diminta harus menolak permintaan tersebut. Hal ini

dikarenakan kejahatan politik bersifat subjektif serta definisi kejahatan politik yang

berlaku secara umum bagi hukum internasional juga tidak ada. Suatu kejahatan

digolongkan sebagai kejahatan politik atau tidak memang merupakan sebuah masalah

poltik yang didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan politik yang tentu saja

sangat subjektif.

Oleh karena sukarnya menentukan kriteria objektif tentang kejahatan politik

maka dalam perkembangan dari lembaga ekstradisi ini, negara-negara baik perjanjian

maupun dalam peraturan perundang-undangan mengenai ekstradisinya, menggunakan

sistem negatif yaitu dengan menyatakan secara tegas bahwa kejahatan-kejahatan

tertentu secara tegas dinyatakan sebagai bukan merupakan kejahatan politik, atau

dinyatakan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta maupun

mengekstradisikan orang yang diminta (extraditable crime).

(40)

kejahatan politik, maka negara yang diminta harus menolak permintaan

negara-peminta bahwa orang yang diminta tidak akan diekstradisikan oleh negara yang

diminta kepada negara-peminta

Walaupun tidak sependapat dengan negara-diminta, negara-peminta tetap

harus menghormati keputusan dari negara yang diminta. Hal ini sesuai dengan prinsip

kesamaan derajat negara-negara dan prinsip saling menghormati kedaulatan

masing-masing negara. Bagaimanapun juga, keputusan negara-diminta adalah sebuah

keputusan dari negara yang berdaulat yang tentunya harus dihormati oleh

negara-peminta yang merupakan sesama negara berdaulat.32

5. Asas ne/non bis in idem

Menurut asas ini, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk permintaan

ekstradisi atas orang yang diminta, ternyata telah diadili dan/atau telah dijatuhi

hukuman yang telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat, maka negara yang

diminta diharuskan menolak permintaan dari negara-peminta tersebut.

Apabila orang yang diminta telah mendapat keputusan akhir (final judgement) atas kejahatan yang dimintakan penyerahan oleh badan yang berwenang dari negara

yang diminta, maka permintaan penyerahan tersebut harus ditolak. Hendaknya, final judgement ditafsirkan sebagai keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti. Adanya kekuatan mengikat yang pasti ini perlu ditekankan

karena dengan demikian keputusan ini telah diterima oleh orang yang bersangkutan.

(41)

32

Dalam hukum pidana, asas ini dikenal pada intinya menyatakan bahwa

seseorang tidak boleh diadili dan/atau dihukum lebih dari satu kali atas suatu

kejahatan yang dilakukannya. Larangan untuk mengadili dan/atau menghukum

seseorang atas suatu jenis kejahatan lebih dari satu kali inilah yang dikenal sebagai

asas ne/non bis in idem. Apabila ada negara yang mengadili dan/atau menghukum seseorang atas suatu kejahatan lebih dari satu kali, maka tindakan itu dianggap

sebagai pelanggaran atas asas ne/non bis in idem.

Maksud dan tujuan yang terkandung dalam asas ini adalah memberikan

jaminan kepastian hukum bagi orang yang pernah dijatuhi putusan pengadilan yang

telah memiliki kekuatan mengikat yang pasti, baik putusan itu merupakan putusan

pembebasan ataupun pelepasan dari tuntutan pidana maupun putusan yang berupa

penghukuman atas dirinya.

Asas ne/non bis in idem ini secara umum telah dianut dalam hukum ataupun peraturan perundang-undangan pidana negara-negara di dunia. Asas ini diakui

sebagai bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana dapat dijumpai dalam

instrument-instrumen hukum nasional maupun internasional mengenai hak asasi

manusia. Oleh karena asas ini telah diakui sebagai hak asasi maanusia, maka dapat

dikatakan bahwa asas ini berlaku secara universal.

Sebagai hak asasi manusia dan asas yang berlaku secara universal, asas ini

juga diakui dalam ekstradisi. Hal ini dapat dilihat dengan tercantumnya asas ini dalam

(42)

namun dengan formulasi yang tidak sama persis tetapi jiwa dan semangatnya tetaplah

sama.

6. Asas Daluwarsa

Asas ini dikenal juga dengan asas lewat waktu (lapse of time). Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat diserahkan oleh negara yang diminta

kepada negara-peminta dikarenakan hak untuk menuntut atau hak untuk

melaksanakan putusan pidana telah daluwarsa atau lewat waktu menurut hukum dari

salah satu maupun hukum dari kedua belah pihak.

Daluwarsa atau lewat waktu (lapse of time) telah dikenal dalam hampir semua sistem hukum negara-negara di dunia. Daluwarsa memiliki makna sebagai pengakuan

atas suatu fakta dimana fakta tersebut diakui sebagai suatu yang sah (legal) setelah terlampaui suatu jangka waktu tertentu, meskipun pada mulanya fakta tersebut tidak

sah (illegal). Bahwa suatu fakta (dimana dapat berupa benda ataupun peristiwa hukum) yang sebenarnnya tidak sah tetapi sudah sedemikian lama terjadinya dan

dibiarkan saja demikian tanpa diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku sehingga

masyarakat dianggap sudah melupakannya, maka fakta itu yang semula tidak sah

berubah menjadi sah. Tentu saja semakin lama jangka waktu terjadinya fakta tersebut

dan masyarakat juga sudah melupakannya, maka semakin kuatlah keabsahannya.

Tujuan dari diakui daluwarsa ini adalah demi memberikan jaminan kepastian

hukum bagi semua pihak. Bahwa suatu fakta yang sudah demikian lamanya terjadi

dan tidak pernah dipersoalkan selama jangka waktu tersebut,dipandang sebagai suatu

(43)

34

pihak, senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju haruslah secara ikhlas

menerimanya. Mengenai berapa lama jangka waktu tersebut, hal ini berbeda-beda

atau tidak selalu sama pengaturannya di dalam sistem hukum nasional negara-negara

di dunia ini.33

C. Pengaturan Hukum Internasional tentang Ekstradisi

Hingga saat ini, hukum Internasional belum memiliki suatu peraturan yang

mengatur tentang ekstradisi secara khusus. Pada umumnya, ekstradisi dalam dunia

internasional diatur dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh negara-negara baik

dalam bentuk bilateral maupun multilateral. Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa

telah mengeluarkan resolusi yang mengatur tentang model perjanjian ekstradisi yang

dinamakan The United Nations Model Treaty on Extradition. Model perjanjian yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa ini hanya memuat framework yang tidak bersifat mengikat dan dapat diikuti oleh negara-negara dalam membentuk

perjanjian ekstradisinya.34

The United Nations Model Treaty on Extradition dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 14 Desember 1990 berdasarkan

Resolusi Majelis Umum PBB no.45/117. Meskipun hanya bersifat model hukum

namun The United Nations Model Treaty on Extradition dapat dijadikan pedoman bagi negara-negara dalam membuat perjanjian ekstradisi. Pada prinsipnya, komposisi

33Ibid, Hal. 147.

(44)

Model Treaty on Extradition ini tidak jauh berbeda dengan perjanjian-perjanjian ekstradisi pada umumnya dimana terdapat ketentuan-ketentuan yang sudah berlaku

secara umum didalamnya seperti, Ketentuan mengenai kewajiban untuk

mengekstradisikan.35

a. Pasal 1 tentang kewajiban untuk melakukan ekstradisi (Obligation to Extradite)

Komposisi aturan dalam perjanjian ekstradisi berdasarkan Model Treaty on Extradition tahun 1990, antara lain :

b. Pasal 2 tentang kejahatan-kejahatan yang dapat dijadikan sebagai alasan

untuk pengekstradisian (Extradite Offences)

c. Pasal 3 tentang alasan-alasan yang bersifat wajib untuk menolak ekstradisi

(Mandatory Grounds for Refusal)

d. Pasal 4 tentang alasan-alasan pilihan untuk menolak pengekstradisian

(Optional Grounds for Refusal)

e. Pasal 5 tentang saluran untuk berkomunikasi dan memperoleh dokumen

(Channels of communication and required documents)

f. Pasal 6 tentang prosedur ekstradisi yang disederhanakan (Simplified Extradition Procedure)

g. Pasal 7 tentang pengesahan dan pembentukan akta otentik (Certification and Authentication)

h. Pasal 8 tentang informasi tambahan (Additional Information)

(45)

36

i. Pasal 9 tentang penahanan sementara (Provisional Arrest)

j. Pasal 10 tentang keputusan terhadap negara-peminta (Decision on the Request)

k. Pasal 11 tentang penyerahan orang yang diminta (Surrender of the Person) l. Pasal 12 tentang penundaan untuk melakukan penyerahan bersyarat

(Postponed or Conditional Surrender)

m. Pasal 13 tentang penyerahan barang-barang (Surrender of Property) n. Pasal 14 tentang aturan khusus (Rule of Speciality)

o. Pasal 15 tentang transit

p. Pasal 16 tentang permintaan lebih dari satu negara-peminta (Concurrent Requests)

q. Pasal 17 tentang biaya-biaya (Costs)

r. Pasal 18 tentang ketentuan akhir (Final Provisions)

Model Treaty ini dapat dipandang sebagai soft law apabila ditinjau dari segi kandungan kaidah hukumnya. Namun Model Treaty ini memiliki konsekuensi dimana menyebabkan model ini dapat diadopsi baik seluruh, sebagian, atau bahkan ditolak

oleh negara-negara. Sebenarnya sebagian besar substansi dari Model Treaty ini telah merupakan sumber hukum yakni, hukum kebiasaan internasional, terutama yang

(46)

diakui sebagai asas ekstradisi namun sudah umum dijumpai pada perjanjian ekstradisi

di negara-negara.36

Pada saat ini, Model Treaty ini telah banyak diterapkan dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi negara-negara baik secara bilateral (antara dua negara) ataupun

multilateral regional (lebih dari dua negara dalam suatu kawasan tertentu). Pada

perjanjian ekstradisi bilateral, aturan-aturan dalam perjanjian tersebut hanya berlaku

kepada negara-negara yang mengikat pada perjanjian tersebut dan berdasarkan atas

asas dan kesepakatan tertentu antara kedua negara tersebut. Beberapa perjanjian

ekstradisi bilateral antara lain37

a. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Malaysia 7 Juni 1974 (Treaty between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Malaysia Relating to Extradition)

:

b. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Filipina 10 Februari 1976

(Extradition Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic of Philippines)

c. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Thailand 29 Juni 1978 (Treaty between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Kingdom of Thailand)

d. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia 22 April 1992

(Extradition Treaty between Australia and the Republic of Indonesia)

36Ibid, Hal 82

(47)

38

e. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Korea Selatan 28 November 2000

f. Perjanjian Ekstradisi antara Polandia dan Chekoslowakia 1961

g. Perjanjian Ekstradisi antara Austria dan Israel 1961

h. Perjanjian Ekstradisi antara Amerika Serikat dan Jepang, 3 Maret 1978

(Treaty on Extradition between the United States of America and Japan, March 3,1978)

i. Perjanjian Ekstradisi antara Amerika Serikat dan Meksiko, 4 Mei 1978

(Treaty on Extradition between the United States of America and the United Mexican States, May 4, 1978)

j. Perjanjian Ekstradisi antara Republik Demokrasi Rakyat Laos dan Thailand, 5

Maret 1999 (Treaty on Extradition between the Lao People’s Democratic Republic and the Kingdom of Thailand, March 5,1999)

k. Perjanjian Ekstradisi antara Republik Demokrasi Rakyat Laos dan Kamboja,

21 Oktober 1999 (Treaty between the Lao People’s Democratic Republic and the Kingdom of Cambodia on Extradition, October 21, 1999)

l. Perjanjian Ekstradisi antara Republik Demokrasi Rakyat Laos dan Republik

Rakyat Cina, 4 Februari 2002 (Treaty between the Lao People’s Democratic Republic and the People’s Republic of China, February 4, 2002)

Sedangkan pada perjanjian ekstradisi multilateral, aturan-aturan dalam

perjanjian tersebut merupakan hasil kesepakatan dari negara-negara yang

mengadakan perjanjian melalui suatu pertemuan (konferensi) ataupun melalui suatu

(48)

organisasi tersebut. Perjanjian ekstradisi multilateral ini umumnya berlaku pada

negara-negara yang secara geografis berada pada suatu kawasan tertentu. Beberapa

perjanjian ekstradisi multilateral, antara lain38

a. Konvensi Ekstradisi Liga Arab (The Arab League Extradition Treaty) 14 September 1952;

:

b. Konvensi Ekstradisi Eropa (European Convention on Extradition) 13 September 1957;

c. Konvensi Ekstradisi Antar Negara-Negara Amerika (Intern-American Convention on Extradition) 25 Februari 1981;

d. Konvensi tentang Prosedur Ekstradisi yang Disederhanakan (Convention on Simplified Extradition Procedure between the Member States of the European Union, 1995);

e. Konvensi tentang Ekstradisi antara Negara – Negara Anggota Uni Eropa 1996

(Convention Relating to Extradition between the Member of States of European Union, 1996).

(49)

BAB III

PROSES PELAKSANAAN EKSTRADISI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Jenis-Jenis Kejahatan yang dapat Diekstradisi

Pada proses pelaksanaan ekstradisi, negara-peminta memerlukan sebuah

alasan dalam permohonan penyerahan ekstradisi seseorang yakni berupa kejahatan

yang telah dilakukan oleh orang tersebut, agar orang tersebut dapat diserahkan

kepada negara-peminta. Setiap negara umumnya memiliki ketentuan tersendiri

mengenai jenis-jenis kejahatan yang dapat diekstradisi. Dalam prosesnya, daftar

kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisi dalam tiap-tiap perjanjian ekstradisi

tidak sama. Hal ini bergantung kepada materi perjanjian secara bilateral antara

tiap-tiap negara.

Penentuan jenis-jenis kejahatan yang dapat diekstradisi oleh setiap negara

dapat digunakan melalui beberapa sistem, yakni:

1. Sistem Enumeratif atau Sistem Daftar (List System)

Suatu sistem yang memuat dalam perjanjian suatu daftar yang mencantumkan

nama satu persatu kejahatan mana yang dapat diserahkan. Misalnya perjanjian

ekstradisi Indonesia-Malaysia yang dalam lampirannya menentukan 27 jenis

kejahatan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta penyerahan pelaku kejahatan.

(50)

Dalam sistem enumeratif, ditentukan secara tegas jenis-jenis kejahatan yang

dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan permintaan ekstradisi kepada

negara-diminta, dimana hal ini dicantumkan dalam salah satu

Referensi

Dokumen terkait