A. Sejarah Ekstradisi
Para penulis sejarah hukum internasional mengemukakan bahwa pada
awalnya ekstradisi bermula dari sebuah perjanjian tertua yang isinya juga mengenai
masalah penyerahan penjahat pelarian adalah perjanjian perdamaian antara Raja
Ramses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahu 1729 S.M.
Kedua pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan pelaku kejahatan yang
melarikan diri atau diketemukan di dalam wilayah pihak lain.24
Namun pada prakteknya, negara-negara dalam menyerahkan penjahat pelarian
tidak hanya bergantung kepada perjanjian tersebut semata. Kemungkinan besar jauh
sebelumnya terdapat negara-negara yang saling menyerahkan penjahat pelarian
walaupun kedua belah pihak belum mengadakan perjanjian. Meskipun bukti-bukti Tetapi perjanjian seperti ini tentulah bukan merupakan perjanjian ekstradisi
yang berdiri sendiri seperti halnya yang kita kenal pada saat ini. Melainkan soal
ekstradisi ini hanyalah merupakan salah satu bagian kecil saja dari keseluruhan materi
perjanjian. Biasanya perjanjian ini merupakan perjanjian perdamaian untuk menjalin
hubungan bersahabat antara pihak-pihak atau perjanjian perdamaian untuk
mengakhiri peperangan.
untuk memperkuat dugaan ini belum bisa ditunjukkan. Persahabatan dan hubungan
baik antara dua negara, akan lebih dapat mempermudah serta mempercepat
penyerahan penjahat pelarian. Namun hal yang sebaliknya dapat terjadi apabila
terjadi permusuhan antara dua negara, maka akan amat sulit bagi kedua belah pihak
untuk saling menyerahkan penjahat pelarian. Bahkan kedua belah pihak tersebut akan
membiarkan wilayah negaranya dijadikan sebagai tempat pelarian dan perlindungan
bagi penjahat–penjahat dari negara musuhnya tersebut.
Oleh karena itu, kesediaan menyerahkan para penjahat pelarian tidaklah
berdasar kepada kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dnn
dihukum. Hal ini juga berlaku pada pemberian perlindungan kepada seseorang atau
beberapa orang penjahat pelarian bukan dikarenakan dorongan kesadaran bahwa
orang tersebut layak untuk dilindungi. Apabila hubungan kedua negara yang semula
bersahabat namun kemudian berubah menjadi permusuhan, maka kerjasama saling
menyerahkan penjahat pelarian, dapat berubah menjadi saling melindungi penjahat
pelarian. Demikian pula sebaliknya. Selain itu, praktek-praktek penyerahan penjahat
pelarian belum berdasarkan atas keinginan untuk bekerja sama dalam mencegah dan
memberantas kejahatan. Hal ini mengingat kehidupan masyarakat umat manusia pada
jaman kuno masih jauh lebih sederhana dibandingkan dengan masyarakat pada masa
selama tiga abad belakangan ini.
Pada abad ke 17, 18, 19 hingga abad ke 20 dimana kehidupan bernegara sudah
tampak lebih maju terbukti dengan tumbuhnya negara-negara nasional, hubungan dan
Dimana negara-negara dalam melakukan perjanjian, sudah mulai mengkhususkan
bidang-bidang tertentu. Hal ini juga berlaku pada bidang ekstradisi yang telah lama
dikenal dalam praktek, turut pula mencari bentuknya sendiri yakni bentuk perjanjian
ekstradisi yang berdiri sendiri. Jadi ekstradisi tidak lagi memiliki kaitan ataupun
menjadi bagian dari masalah-masalah lainnya yang memiliki ruang lingkup yang
lebih luas.
Berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang politik,
ketatanegaraan, kemanusiaan serta semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi
turut memberikan warna tersendiri pada ekstradisi. Ilmu pengetahuan dan teknologi
dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, namun di sisi lain
menimbulkan berbagai efek negatif misalnya, timbulnya kejahatan baru yang
memiliki akibat yang cukup besar dan luas. Tindakan kejahatan serta
akibat-akibatnya tidak hanya menjadi urusan para korban dan kelompok masyarakat di
sekitarnya saja, namun kini sering melibatkan negara-negara bahkan terkadang
menjadi persoalan umat manusia. Oleh karena itu, demi mencegah dan
memberantasnya, maka diperlukan kerja sama antar negara. Misalnya, dengan
melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan yang melarikan diri kemudian
menyerahkannya kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili dan
menghukum pelaku kejahatan tersebut, disinilah fungsi ekstradisi sebagai sarana
ampuh untuk memberantas kejahatan tampak jelas.
Pemikiran-pemikiran baru dalam bidang ketatanegaraan, politik serta
subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Negara-negara dalam membuat
dan merumuskan perjanjian-perjanjian ekstradisi disamping memperhatikan
aspek-aspek pemberantasan kejahatannya juga memperhatikan aspek-aspek-aspek-aspek kemanusiaan
dimana individu-individu pelaku kejahatan tetap diberikan/diakui hak-hak dan
kewajibannya.
Pada akhirnya, isi dan bentuk perjanjian ekstradisi pada dewasa ini,
memberikan jaminan keseimbangan antara tujuan memberantas kejahatan dan
perlindungan/penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip tidak
menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah sebagai konsekuensi dari pengakuan
hak-hak asasi untuk menganut keyakinan politik atau hak politik sesorang, untuk
pertama kalinya dicantumkan dalam perjanjian ekstradisi antara Perancis dan Belgia
pada tahun 1824. Juga prinsip non bis in idem dan prinsip kewarganegaraan erat
pertaliannya dengan individu sebagai subjek hukum dengan segala hak dan
kewajibannya.
Abad ke 19 dan 20 adalah merupakan masa stabil dan kokohnya ekstradisi ini,
yang dapat dibuktikan dengan banyaknya terdapat perjanjian ekstradisi dan
perundang-undangan nasional negara-negara mengenai ekstradisi dengan asas-asas
yang sama.25
B. Asas-asas Ekstradisi
Perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh negara-negara didunia pada dasarnya
dilakukan dengan cara merumuskan kembali kaidah-kaidah hukum mengenai
ekstradisi yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Perjanjian ekstradisi
yang dibuat oleh negara-negara di dunia sebenarnya memiliki beberapa kesamaan
dalam pengaturan tentang substansi pokok masalah yang diperjanjikan.
Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya perumusan perjanjian
ekstradisi dilakukan dengan cara meniru dan mengikuti substansi
perjanjian-perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya. Namun dalam perumusan tersebut,
tentu diperlukan penambahan unsur-unsur baru sesuai dengan perkembangan zaman
dan kesepakatan para pihak. Pada saat ini, asas-asas ekstradisi yang telah diakui
secara umum adalah:
1. Asas Kejahatan Ganda (Double Criminality Principle);
2. Asas Kekhususan (Principle of Speciality);
3. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non-Extradition of Nationals);
4. Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non-Extradition of
Political Criminal);
5. Asas ne/non bis idem;
1. Asas Kejahatan Ganda (Double Criminality Principle)
Asas ini mensyaratkan bahwa kejahatan yang dapat dijadikan alasan dalam
permohonan ekstradisi atas orang yang diminta adalah kejahatan yang telah diancam
hukuman baik hukum pidana dari negara-peminta ataupun hukum dari negara yang
diminta. Hal ini dapat terjadi dikarenakan suatu perbuatan atau peristiwa mungkin
merupakan peristiwa pidana atau kejahatan menurut sistem hukum negara tertentu,
sedangkan menurut sistem hukum negara lain tidak dipandang sebagai peristiwa
pidana. Terdapat perbedaan dalam penilaian atas suatu perbuatan atau peristiwa.
Perbedaan penilaian itu juga membawa akibat perbedaan penilaian terhadap si pelaku
perbuatan atau peristiwa tersebut.26
Oleh karena sistem huku m tiap-tiap negara yang berbeda, maka tidak
diperlukan nama ataupun unsur-unsur semuanya harus sama. Apabila kedua negara
telah sama-sama mengklasifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan atau tindak
pidana, hal itu dianggap sudah cukup. Apabila ternyata perbuatan itu hanya
merupakan kejahatan menurut sistem hukum salah satu negara saja, sedangkan
menurut sistem hukum negara lainnya tidak, negara-peminta sudah sepatutnya
mengurungkan maksud untuk mengajukan permintaan penyerahan. Atau jika
permintaan penyerahan sudah disampaikan, dan ternyata negara yang diminta
berkesimpulan bahwa kejahatan itu hanya merupakan kejahatan atau peristiwa pidana
menurut sistem hukum salah satu pihak saja, permintaan negara-peminta harus
ditolak. Asas inilah yang disebut dengan asas kejahatan ganda atau double
criminality principle.
Jadi yang dimaksud dengan asas kejahatan ganda adalah kejahatan yang
dijadikan sebagai dasar permintaan penyerahan adalah merupakan kejahatan atau
peristiwa pidana menurut sistem hukum kedua belah pihak. Jika asas ini tidak
terpenuhi, maka penyerahan tidak dapat dilakukan. Penolakan itu juga berarti bahwa
si pelaku atau orang yang diminta itu mendapatkan perlindungan dari negara yang
diminta. Hal ini sudah sepantasnya, sebab seseorang tidak boleh ditindak atau
dihukum terhadap perbuatan yang tidak melanggar hukum negara tempatnya
berada.27
2. Asas Kekhususan (Principle of Speciality)
Asas ini mewajibkan negara-peminta untuk hanya menuntut, mengadili
maupun menghukum orang yang diminta berdasarkan kejahatan yang dijadikan
alasan untuk permintaan penyerahan ekstradisinya. Jadi ia tidak boleh diadili, dan
atau dihukum atas kejahatan lain, selain dari pada kejahatan yang dijadikan sebagai
alasan untuk meminta ekstradisinya.
Oleh karena itu, negara-peminta dalam mengajukan permintaan
penyerahannya itu haruslah menegaskan, atas kejahatan atau kejahatan-kejahatan apa
sajakah orang yang diminta itu dimintakan penyerahannya, dengan kata lain,
permintaan penyerahan tersebut haruslah secara tegas dan terperinci menyebutkan
jenis atau macam kejahatan yang dijadikan sebagai dasar alasan untuk meminta
penyerahan. Atas dasar permintaan penyerahan itu pulalah negara yang diminta akan
mempertimbangkan apakah penyerahan akan dilakukan atau ditolak. Apabila oleh
negara yang diminta diputuskan bahwa orang yang diminta itu akan diserahkan,
negara yang diminta juga harus menegaskan atas dasar kejahatan atau
kejahatan-kejahatan apa sajakah orang diminta itu diserahkan .28
Asas ini memberikan perlindungan kepada si pelaku kejahatan atau orang
yang diminta, sebab asas ini membatasi hak dan wewenang negara-peminta untuk
mengadili dan menghukumnya, yaitu hanya terbatas pada kejahatan yang dijadikan
alasan penyerahan. Apabila negara-peminta juga mengadili dan menghukum orang
yang diminta itu atas kejahatan lain selain daripada kejahatan yang dijadikan dasar
tersebut, maka orang yang bersangkutan atau negara-diminta (negara yang
menyerahkan orang tersebut) dapat mengajukan protes dan meminta kembali orang
tersebut.29
28Ibid, Hal. 42. 29Ibid, Hal. 43.
Meskipun pada dasarnya asas kekhususan (principle of speciality) ini
membatasi hak dan wewenang negara-peminta untuk mengadili dan menghukum
orang yang bersangkutan, tetapi dalam beberapa hal asas ini dapat dikesampingkan.
Artinya, negara-peminta boleh mengadili dan menghukum orang yang diminta itu
atas kejahatan lain selain daripada kejahatan yang dijadikan dasar penyerahannya
oleh negara yang diminta. Asas kekhususan ini dapat dikesampingkan, dalam hal-hal
a. Apabila diminta menyatakan persetujuannya atas maksud
negara-peminta untuk mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan itu atas
kejahatan lain selain daripada kejahatan yang dijadikan dasar penyerahannya
oleh negara yang diminta.
b. Apabila orang atau si pelaku kejahatan itu sendiri menyatakan persetujuannya
untuk diadili dan dihukum atas kejahatan lain selain daripada kejahatan yang
dijadikan sebagai dasar penyerahannya oleh negara yang diminta.
c. Negara-peminta juga dapat mengadili dan menghukum orang yang diminta
atau si pelaku kejahatan atas kejahatan lain selain daripada kejahatan yang
dijadikan dasar penyerahannya apabila setelah dia diberi kesempatan dalam
suatu jangka waktu tertentu untuk meninggalkan wilayah negara-peminta,
tetapi dia tidak menggunakan kesempatan tersebut.30
Asas kekhususan (principle of speciality) baru dapat berfungsi apabila orang
yang diminta telah diekstradisi oleh negara yang diminta kepada negara-peminta. Hal
ini berarti, Permintaan negara-peminta untuk mengekstradisi orang yang diminta
tersebut dikabulkan oleh negara yang diminta.
3. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non-Extradition of Nationals)
Asas ini pada dasarnya memberikan kekuasaan pada negara-negara untuk
tidak menyerahkan warga negaranya sendiri yang melakukan kejahatan didalam
wilayah negara lain. Apabila orang yang diminta oleh negara-peminta ternyata
merupakan warga negara dari negara yang diminta, maka negara yang diminta berhak
menolak permintaan ekstradisi dari negara-peminta tersebut. Hal ini dilandasi oleh
pemikiran, bahwa negara wajib untuk melindungi setiap warga negaranya dan warga
negara juga memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara asalnya.
Namun penolakan tersebut tidak berarti menghapus kesalahan warga negara tersebut.
Warga negara tersebut wajib untuk diadili dan dihukum oleh negara yang diminta
berdasarkan hukum nasionalnya.
Asas ini penting untuk dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian ataupun
peraturan-peraturan perundang-undangan tentang ekstradisi. Hal ini disebabkan
karena kewarganegaraan seseorang memiliki peranan penting yakni mengenai status,
jati diri dan identitas personal orang yang bersangkutan. Hal ini juga berarti bahwa
hukum yang berlaku atas orang tersebut adalah hukum dimana dirinya terdaftar
sebagai warga negara.
Tetapi jika warga negara dari negara-diminta melakukan kejahatan di wilayah
negara lain atau diluar wilayah negaranya, kemudian negara yang merasa memiliki
yurisdiksi untuk mengadili atas kejahatannya tersebut meminta penyerahan maka
negara yang diminta diwajibkan untuk mempertimbangkan apakah warga negaranya
tersebut diserahkan atau tidak.
4. Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non-Extradition of
Political Criminal)
Asas ini bermula pada abad ke-18, yang menunjukkan bahwa yang dapat
diserahkan hanyalah para penjahat politik dan pasukan yang melakukan tindakan
mengintroduksi secara tegas untuk tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik,
sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian dengan Belgia dan kemudian dengan
negara lain.31
Pada hal ini, negara yang diminta memiliki peranan dalam penentuan apakah
kejahatan yang dijadikan sebagai dasar permintaan penyerahan orang yang diminta
oleh negara-peminta tergolong sebagai kejahatan politik atau tidak. Jika sebagai Apabila negara-diminta berpendapat bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai
alasan untuk permintaan ekstradisi oleh negara-peminta adalah tergolong sebagai
kejahatan politik, maka negara-diminta harus menolak permintaan tersebut. Hal ini
dikarenakan kejahatan politik bersifat subjektif serta definisi kejahatan politik yang
berlaku secara umum bagi hukum internasional juga tidak ada. Suatu kejahatan
digolongkan sebagai kejahatan politik atau tidak memang merupakan sebuah masalah
poltik yang didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan politik yang tentu saja
sangat subjektif.
Oleh karena sukarnya menentukan kriteria objektif tentang kejahatan politik
maka dalam perkembangan dari lembaga ekstradisi ini, negara-negara baik perjanjian
maupun dalam peraturan perundang-undangan mengenai ekstradisinya, menggunakan
sistem negatif yaitu dengan menyatakan secara tegas bahwa kejahatan-kejahatan
tertentu secara tegas dinyatakan sebagai bukan merupakan kejahatan politik, atau
dinyatakan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta maupun
mengekstradisikan orang yang diminta (extraditable crime).
kejahatan politik, maka negara yang diminta harus menolak permintaan
negara-peminta bahwa orang yang diminta tidak akan diekstradisikan oleh negara yang
diminta kepada negara-peminta
Walaupun tidak sependapat dengan negara-diminta, negara-peminta tetap
harus menghormati keputusan dari negara yang diminta. Hal ini sesuai dengan prinsip
kesamaan derajat negara-negara dan prinsip saling menghormati kedaulatan
masing-masing negara. Bagaimanapun juga, keputusan negara-diminta adalah sebuah
keputusan dari negara yang berdaulat yang tentunya harus dihormati oleh
negara-peminta yang merupakan sesama negara berdaulat.32
5. Asas ne/non bis in idem
Menurut asas ini, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk permintaan
ekstradisi atas orang yang diminta, ternyata telah diadili dan/atau telah dijatuhi
hukuman yang telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat, maka negara yang
diminta diharuskan menolak permintaan dari negara-peminta tersebut.
Apabila orang yang diminta telah mendapat keputusan akhir (final judgement)
atas kejahatan yang dimintakan penyerahan oleh badan yang berwenang dari negara
yang diminta, maka permintaan penyerahan tersebut harus ditolak. Hendaknya, final
judgement ditafsirkan sebagai keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
mengikat yang pasti. Adanya kekuatan mengikat yang pasti ini perlu ditekankan
karena dengan demikian keputusan ini telah diterima oleh orang yang bersangkutan.
Dalam hukum pidana, asas ini dikenal pada intinya menyatakan bahwa
seseorang tidak boleh diadili dan/atau dihukum lebih dari satu kali atas suatu
kejahatan yang dilakukannya. Larangan untuk mengadili dan/atau menghukum
seseorang atas suatu jenis kejahatan lebih dari satu kali inilah yang dikenal sebagai
asas ne/non bis in idem. Apabila ada negara yang mengadili dan/atau menghukum
seseorang atas suatu kejahatan lebih dari satu kali, maka tindakan itu dianggap
sebagai pelanggaran atas asas ne/non bis in idem.
Maksud dan tujuan yang terkandung dalam asas ini adalah memberikan
jaminan kepastian hukum bagi orang yang pernah dijatuhi putusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan mengikat yang pasti, baik putusan itu merupakan putusan
pembebasan ataupun pelepasan dari tuntutan pidana maupun putusan yang berupa
penghukuman atas dirinya.
Asas ne/non bis in idem ini secara umum telah dianut dalam hukum ataupun
peraturan perundang-undangan pidana negara-negara di dunia. Asas ini diakui
sebagai bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana dapat dijumpai dalam
instrument-instrumen hukum nasional maupun internasional mengenai hak asasi
manusia. Oleh karena asas ini telah diakui sebagai hak asasi maanusia, maka dapat
dikatakan bahwa asas ini berlaku secara universal.
Sebagai hak asasi manusia dan asas yang berlaku secara universal, asas ini
juga diakui dalam ekstradisi. Hal ini dapat dilihat dengan tercantumnya asas ini dalam
namun dengan formulasi yang tidak sama persis tetapi jiwa dan semangatnya tetaplah
sama.
6. Asas Daluwarsa
Asas ini dikenal juga dengan asas lewat waktu (lapse of time). Asas ini
menyatakan bahwa seseorang tidak dapat diserahkan oleh negara yang diminta
kepada negara-peminta dikarenakan hak untuk menuntut atau hak untuk
melaksanakan putusan pidana telah daluwarsa atau lewat waktu menurut hukum dari
salah satu maupun hukum dari kedua belah pihak.
Daluwarsa atau lewat waktu (lapse of time) telah dikenal dalam hampir semua
sistem hukum negara-negara di dunia. Daluwarsa memiliki makna sebagai pengakuan
atas suatu fakta dimana fakta tersebut diakui sebagai suatu yang sah (legal) setelah
terlampaui suatu jangka waktu tertentu, meskipun pada mulanya fakta tersebut tidak
sah (illegal). Bahwa suatu fakta (dimana dapat berupa benda ataupun peristiwa
hukum) yang sebenarnnya tidak sah tetapi sudah sedemikian lama terjadinya dan
dibiarkan saja demikian tanpa diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku sehingga
masyarakat dianggap sudah melupakannya, maka fakta itu yang semula tidak sah
berubah menjadi sah. Tentu saja semakin lama jangka waktu terjadinya fakta tersebut
dan masyarakat juga sudah melupakannya, maka semakin kuatlah keabsahannya.
Tujuan dari diakui daluwarsa ini adalah demi memberikan jaminan kepastian
hukum bagi semua pihak. Bahwa suatu fakta yang sudah demikian lamanya terjadi
dan tidak pernah dipersoalkan selama jangka waktu tersebut,dipandang sebagai suatu
pihak, senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju haruslah secara ikhlas
menerimanya. Mengenai berapa lama jangka waktu tersebut, hal ini berbeda-beda
atau tidak selalu sama pengaturannya di dalam sistem hukum nasional negara-negara
di dunia ini.33
C. Pengaturan Hukum Internasional tentang Ekstradisi
Hingga saat ini, hukum Internasional belum memiliki suatu peraturan yang
mengatur tentang ekstradisi secara khusus. Pada umumnya, ekstradisi dalam dunia
internasional diatur dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh negara-negara baik
dalam bentuk bilateral maupun multilateral. Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa
telah mengeluarkan resolusi yang mengatur tentang model perjanjian ekstradisi yang
dinamakan The United Nations Model Treaty on Extradition. Model perjanjian yang
dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa ini hanya memuat framework yang
tidak bersifat mengikat dan dapat diikuti oleh negara-negara dalam membentuk
perjanjian ekstradisinya.34
The United Nations Model Treaty on Extradition dikeluarkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 14 Desember 1990 berdasarkan
Resolusi Majelis Umum PBB no.45/117. Meskipun hanya bersifat model hukum
namun The United Nations Model Treaty on Extradition dapat dijadikan pedoman
bagi negara-negara dalam membuat perjanjian ekstradisi. Pada prinsipnya, komposisi
33Ibid, Hal. 147.
Model Treaty on Extradition ini tidak jauh berbeda dengan perjanjian-perjanjian
ekstradisi pada umumnya dimana terdapat ketentuan-ketentuan yang sudah berlaku
secara umum didalamnya seperti, Ketentuan mengenai kewajiban untuk
mengekstradisikan.35
a. Pasal 1 tentang kewajiban untuk melakukan ekstradisi (Obligation to
Extradite)
Komposisi aturan dalam perjanjian ekstradisi berdasarkan Model Treaty on
Extradition tahun 1990, antara lain :
b. Pasal 2 tentang kejahatan-kejahatan yang dapat dijadikan sebagai alasan
untuk pengekstradisian (Extradite Offences)
c. Pasal 3 tentang alasan-alasan yang bersifat wajib untuk menolak ekstradisi
(Mandatory Grounds for Refusal)
d. Pasal 4 tentang alasan-alasan pilihan untuk menolak pengekstradisian
(Optional Grounds for Refusal)
e. Pasal 5 tentang saluran untuk berkomunikasi dan memperoleh dokumen
(Channels of communication and required documents)
f. Pasal 6 tentang prosedur ekstradisi yang disederhanakan (Simplified
Extradition Procedure)
g. Pasal 7 tentang pengesahan dan pembentukan akta otentik (Certification and
Authentication)
h. Pasal 8 tentang informasi tambahan (Additional Information)
i. Pasal 9 tentang penahanan sementara (Provisional Arrest)
j. Pasal 10 tentang keputusan terhadap negara-peminta (Decision on the
Request)
k. Pasal 11 tentang penyerahan orang yang diminta (Surrender of the Person)
l. Pasal 12 tentang penundaan untuk melakukan penyerahan bersyarat
(Postponed or Conditional Surrender)
m. Pasal 13 tentang penyerahan barang-barang (Surrender of Property)
n. Pasal 14 tentang aturan khusus (Rule of Speciality)
o. Pasal 15 tentang transit
p. Pasal 16 tentang permintaan lebih dari satu negara-peminta (Concurrent
Requests)
q. Pasal 17 tentang biaya-biaya (Costs)
r. Pasal 18 tentang ketentuan akhir (Final Provisions)
Model Treaty ini dapat dipandang sebagai soft law apabila ditinjau dari segi
kandungan kaidah hukumnya. Namun Model Treaty ini memiliki konsekuensi dimana
menyebabkan model ini dapat diadopsi baik seluruh, sebagian, atau bahkan ditolak
oleh negara-negara. Sebenarnya sebagian besar substansi dari Model Treaty ini telah
merupakan sumber hukum yakni, hukum kebiasaan internasional, terutama yang
diakui sebagai asas ekstradisi namun sudah umum dijumpai pada perjanjian ekstradisi
di negara-negara.36
Pada saat ini, Model Treaty ini telah banyak diterapkan dalam
perjanjian-perjanjian ekstradisi negara-negara baik secara bilateral (antara dua negara) ataupun
multilateral regional (lebih dari dua negara dalam suatu kawasan tertentu). Pada
perjanjian ekstradisi bilateral, aturan-aturan dalam perjanjian tersebut hanya berlaku
kepada negara-negara yang mengikat pada perjanjian tersebut dan berdasarkan atas
asas dan kesepakatan tertentu antara kedua negara tersebut. Beberapa perjanjian
ekstradisi bilateral antara lain37
a. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Malaysia 7 Juni 1974 (Treaty
between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of
Malaysia Relating to Extradition) :
b. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Filipina 10 Februari 1976
(Extradition Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic of
Philippines)
c. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Thailand 29 Juni 1978 (Treaty
between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of
the Kingdom of Thailand)
d. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia 22 April 1992
(Extradition Treaty between Australia and the Republic of Indonesia)
36Ibid, Hal 82
e. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Korea Selatan 28 November 2000
f. Perjanjian Ekstradisi antara Polandia dan Chekoslowakia 1961
g. Perjanjian Ekstradisi antara Austria dan Israel 1961
h. Perjanjian Ekstradisi antara Amerika Serikat dan Jepang, 3 Maret 1978
(Treaty on Extradition between the United States of America and Japan,
March 3,1978)
i. Perjanjian Ekstradisi antara Amerika Serikat dan Meksiko, 4 Mei 1978
(Treaty on Extradition between the United States of America and the United
Mexican States, May 4, 1978)
j. Perjanjian Ekstradisi antara Republik Demokrasi Rakyat Laos dan Thailand, 5
Maret 1999 (Treaty on Extradition between the Lao People’s Democratic
Republic and the Kingdom of Thailand, March 5,1999)
k. Perjanjian Ekstradisi antara Republik Demokrasi Rakyat Laos dan Kamboja,
21 Oktober 1999 (Treaty between the Lao People’s Democratic Republic and
the Kingdom of Cambodia on Extradition, October 21, 1999)
l. Perjanjian Ekstradisi antara Republik Demokrasi Rakyat Laos dan Republik
Rakyat Cina, 4 Februari 2002 (Treaty between the Lao People’s Democratic
Republic and the People’s Republic of China, February 4, 2002)
Sedangkan pada perjanjian ekstradisi multilateral, aturan-aturan dalam
perjanjian tersebut merupakan hasil kesepakatan dari negara-negara yang
mengadakan perjanjian melalui suatu pertemuan (konferensi) ataupun melalui suatu
organisasi tersebut. Perjanjian ekstradisi multilateral ini umumnya berlaku pada
negara-negara yang secara geografis berada pada suatu kawasan tertentu. Beberapa
perjanjian ekstradisi multilateral, antara lain38
a. Konvensi Ekstradisi Liga Arab (The Arab League Extradition Treaty) 14
September 1952;
:
b. Konvensi Ekstradisi Eropa (European Convention on Extradition) 13
September 1957;
c. Konvensi Ekstradisi Antar Negara-Negara Amerika (Intern-American
Convention on Extradition) 25 Februari 1981;
d. Konvensi tentang Prosedur Ekstradisi yang Disederhanakan (Convention on
Simplified Extradition Procedure between the Member States of the European
Union, 1995);
e. Konvensi tentang Ekstradisi antara Negara – Negara Anggota Uni Eropa 1996
(Convention Relating to Extradition between the Member of States of
European Union, 1996).