SINTESIS SUPERKONDUKTOR YBCO DENGAN METODE
EVAPORASI DAN KARAKTERISASINYA
ANDRI PURNOMO PUTRO
DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SINTESIS SUPERKONDUKTOR YBCO DENGAN METODE
EVAPORASI DAN KARAKTERISASINYA
ANDRI PURNOMO PUTRO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Fisika
DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
Andri Purnomo Putro. Sintesis Superkonduktor YBCO Dengan Metode Evaporasi Dan Karakterisasinya. Dibimbing oleh Moh. Nur Indro dan Yustinus Purwamargapratala.
Telah berhasil dibuat pelet superkonduktor YBCO-123 dengan metode evaporasi dengan
menghasilkan Tc = 100 K. Sintesis dilakukan dengan mencampur garam-garam nitrat Y(NO3)2,
Ba(NO3), Cu(NO3)2 di dalam pelarut H2O pada suhu 150 oC. Setelah melalui proses pirolisis pada
350 oC selama 1 jam, prekursor dikalsinasi pada 900 oC selama 4 jam kemudian serbuk
dikompaksi dengan tekanan hidrolik 5 ton untuk membentuk pelet dengan diameter 1,5 cm dan
tebal 0,24 mm. Sintering dilakukan pada suhu 940 oC selama 20 jam. Efek meissner
menunjukkan fenomena levitasi pada temperatur sekitar 80 K. Hal ini menunjukkan fasa superkonduktor telah terbentuk. Data XRD memberi mengkonfirmasi bahwa fasa kristal 123 telah terbentuk. Nilai konduktivitas didapat dari hasil pengukuran dengan LCR pada temperatur 300 K
sebesar 4 x 10-5 S/cm. Pada penurunan temperatur dari 100 K ke 80 K terjadi kenaikan nilai
Judul : Sintesis Superkonduktor YBCO dengan Metode Evaporasi dan Karakterisasinya
Nama : Andri Purnomo Putro
NRP : G74052965
Menyetujui:
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Moh. Nur Indro, M.Sc Drs. Engkir Sukirman, M.Si
NIP 19561015 198703 1 001 NIP 19560712 198403 1 007
Mengetahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr. drh. Hasim, DEA
NIP 19610328 198601 1 002
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim…
Alhamdulillah, segala puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Sintesis dan Karakterisasi
Superkonduktor YBCO dengan Metode Evaporasi” dapat diselesaikan. Kegiatan penelitian ini
telah dilaksanakan pada bulan Juni 2009 sampai dengan bulan September 2009 di Laboratorium Bidang Karakterisasi dan Analisis Nuklir (BKAN) Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) BATAN, Kawasan PUSPITEK Serpong, Banten.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Moh. Nur Indro, M.Sc dan Bapak Drs. Engkir Sukirman, M.Si serta Bapak Yustinus Purwamargapratala S.T atas bimbingan dan petunjuk-petunjuknya yang dapat membantu kelancaran dalam penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ibu dan bapak tercinta (Sunarti dan Purnomo Adi), adik-adik tersayang (Erlin Purnomo Putri dan Galih Aziz Purnomo Putro), dan teman dekat Ange Nova Rilla yang selalu menumbuhkan semangat untuk penulis serta seluruh keluarga yang telah memberikan semangat dan dukungannya.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Irmansyah selaku kepala bidang Fisika Terapan, Bapak Setyo selaku pimpinan BKAN, Bapak Wisnu, Bapak Purnama, Bapak Purwanto, dan Bapak Didin selaku kelompok peneliti superkonduktor, dan Bapak Firman selaku karyawan Departemen Fisika yang telah banyak membantu hal-hal teknis.
Selain itu penulis mengucapkan terima kasih pada rekan kerja sekaligus sahabat Widya Purnama Aji yang telah bersama-sama meneliti dari awal hingga terselesaikannya penelitian ini. Saudara-saudara saya di Asrama Sylvasari IPB (Isron, Aris, Yogi, Heru, Zamrin, Yudo, Dadang, Naem, Roby, Iqbal, Ahmad, dan lain-lain) yang telah memberikan bantuan-bantuan serta pengetahuan yang sangat berharga sekali. Dan teman-teman Fisika 42 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Mei 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta 1 Juni 1987 dari pasangan Purnomo Adi dan Sunarti sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menjalankan pendidikan formal mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi (PT).
Tahun 1999 lulus di SDN Percontohan Kebagusan 03. Pada tahun 2002 menyelesaikan studi di SMPN 175 Jakarta, kemudian tahun 2002 sampai 2005 di SMA Negeri 49 Jakarta. Tahun 2005, penulis melanjutkan studi di Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
ABSTRAK... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
PRAKATA... iv
RIWAYAT HIDUP... v
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR GAMBAR... vii
DAFTAR TABEL... vii
DAFTAR LAMPIRAN... vii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Tujuan Penelitian... 1
1.3 Waktu dan Tempat... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Superkonduktivitas... 2
2.2 Sifat Listrik... 2
2.3 Sifat Magnet Superkonduktor... 3
2.4 Tipe Superkonduktor... 4
2.5 Parameter Kritis Superkonduktor... 5
2.6 Pengamatan Mikroskop Optik... 5
2.7 Difraksi Sinar-x... 6
2.8 Metode Analisis Rietveld... 7
2.9 Metode Analisis Data... 8
2.10 Pengamatan Struktur Mikro Dengan SEM... 8
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Bahan dan Alat... 9
3.2 Preparasi Sampel... 10
3.3 Pelarutan dan Pengendapan... 10
3.4 Pengeringan... 10
3.5 Pirolisis... 10
3.6 Kalsinasi... 10
3.7 Penghalusan dan Pembentukkan Pelet... 11
3.8 Sintering... 11
3.9 Pengujian Efek Meissner... 11
3.10 Pengamatan XRD... 11
3.11 Pengukuran Konduktivitas... 12
3.12 Pengamatan SEM... 12
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Efek Meissner... 13
4.2 Uji struktur kristal dengan XRD... 14
4.3 Pengukuran konduktivitas (σ) dan suhu kritis (Tc)... 18
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan... 20
5.2 Saran... 20
DAFTAR PUSTAKA... 21
LAMPIRAN... 22
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Superkonduktivitas Pada Merkuri... 2
Gambar 2. Eksklusi Fluks Magnetik... 3
Gambar 3. Diagram Fase H-T Untuk Superkonduktor... 4
Gambar 4. Struktur kristal YBa2C3O7-x Ortorombik dan Tetragonal... 5
Gambar 5. Skema Mikroskop Optik... 6
Gambar 6. Spektroskopi difraksi sinar-x... 7
Gambar 7. Skema Mikroskop Elektron... 9
Gambar 8. Proses evaporasi bahan... 10
Gambar 9. Grafik perlakuan panas proses kalsinasi... 11
Gambar 10. Proses kompaksi serbuk... 11
Gambar 11. Grafik perlakuan panas proses sintering... 11
Gambar 12.
Diagram alir sintesa sampel YBCO...
13Gambar 13. Fenomena levitasi sampel superkonduktor di atas magnet... 13
Gambar 14. Pola difraksi YBCO pirolisis... 15
Gambar 15. Pola difraksi YBCO kalsinasi... 16
Gambar 16. Fitting difraksi YBCO kalsinasi... 16
Gambar 17. Pola difraksi YBCO sintering... 17
Gambar 18. Fitting difraksi YBCO sintering... 17
Gambar 19. Konduktivitas sampel YBCO pada rata-rata frekuensi... 18
Gambar 20. Struktur mikro YBCO sampel perbesaran SEM 1000x... 19
Gambar 21. Struktur mikro YBCO sampel perbesaran SEM 3000x... 19
Gambar 22. Struktur mikro YBCO sampel perbesaran SEM 5000x... 19
Gambar 23. Kurva kandungan bahan dalam cuplikan SEM YBCO... 19
Gambar 24. Struktur mikro sampel YBCO perbesaran MO 100x... 19
Gambar 25. Struktur mikro sampel YBCO perbesaran MO 200x... 20
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Koordinat fraksi atom Y, Ba, Cu dan O literatur... 14
Tabel 2. Data parameter struktur fasa-123 produk kalsinasi... 14
Tabel 3. Data parameter struktur fasa-123 produk sintering... 15
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
JCPDF untuk menentukan puncak-puncak hasil sinar-x...
23Lampiran 2. Kurva kandungan bahan hasil SEM... 35
Lampiran 3. Data konduktansi sampel YBCO... 37
Lampiran 4. Grafik konduktivitas pada tiap frekuensi... 39
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Superkonduktor adalah bahan dengan konduktivitas tak hingga, karena sifat resistivitas nol yang dimilikinya dan dapat melayang dalam medan magnet. Kedua sifat ini tampak pada saat bahan ini berada di bawah kondisi parameter kritisnya, yaitu kondisi yang harus dipenuhi agar bahan
menampakkan kedua sifat tersebut.
Karenanya orang berlomba-lomba untuk meningkatkan parameter kritis dari bahan ini.
Gejala superkonduktivitas berhasil
diamati mula-mula pada tahun 1911 oleh fisikawan Belanda. Heike Kammerlingh Onnes. Onnes mengamati bahwa hambatan listrik pada merkuri tiba-tiba turun drastis menjadi nol saat didinginkan mendekati 4,2
K suhu dimana terjadi transisi
superkonduksi disebut suhu transisi kritis,
Tc(Kittel, 1996). Selama 75 tahun pertama
sejak ditemukan, perkembangan
superkonduktor sangat lambat dan kurang memuaskan, Tc tertinggi yang berhasil dicapai hanya sekitar 23,3 K yang
ditemukan pada Nb3Ge, sejenis alloy.
Superkonduktor ini dikenal dengan
superkonduktor suhu rendah (Tc < 30 K). baru pada tahun 1986 berhasil ditemukan superkonduktor baru berbasis keramik yaitu
La2-xBaxCuO4 dengan x = 0,15 oleh Karl
Alex Muller dan Johannes George Benorz dengan Tc sekitar 30 K, selanjutnya bahan ini sering disebut superkonduktor keramik. Penemuan ini memiliki arti yang sangat penting mengingat selama ini bahan superkonduktor hanya berbasis pada logam murni dan alloy.
Peristiwa ini menjadi pendorong dilakukannya penelitian untuk mendapatkan Tc tinggi dari bahan oksida keramik, maka
dimulailah masa penerobosan baru
superkonduktor. Terbukti tahun 1987, M.K Wu dan kawan-kawan mengganti Lantanum (La) dengan Ytrium (Y) sehingga terbentuk bahan superkonduktor baru dengan Tc yang
cukup tinggi, sekitar 93 K yaitu Yba2Cu3O7x.
Penemuan superkonduktor Tc tinggi ini
kemudian disusul dengan ditemukannya senyawa Bi-Sr-Ca-Cu-O (Tc = 110 K). Ti-Ba-Ca-Cu-O (Tc = 125 K), dan Hg-Ba-Ca-Cu-O (Tc = 133 K). Semua bahan ini
disebut superkonduktor suhu tinggi
(Bourdillon, 1994).
Untuk membuat superkonduktor
berkualitas tinggi, berbagai metode
pembuatan dilakukan diantaranya reaksi
padat (solid state reaction), presipitasi
(kontaminasi endapan oleh zat lain yang larut dalam pelarut), sol gel dan proses
pelelehan (melt-textured growth). Secara
konvensional pembuatan sistem keramik oksida dikerjakan dengan reaksi padat, reaksi ini selain berjalan lambat juga membutuhkan perlakuan suhu tinggi yang memungkinkan sebagian atau seluruh bahan-bahan penyusun meleleh sehingga mengakibatkan perubahan ke fase yang tidak diinginkan. Metode Evaporasi dikenal dapat menghasilkan butir keramik oksida dengan kemurnian tinggi sampai ukuran submikron, homogen, sinteraktif dan memberi peluang untuk skala produksi.
Keunggulan dari proses ini diantaranya kualitas cuplikan yang baik, waktu pembuatan yang singkat dan kehomogenan yang dapat terus ditingkatkan dengan kalsinasi berulang, terjadinya pengarahan butir ke suatu arah dan terjadinya pengendalian fasa non superkonduksi yang menjadi sumber pusat-pusat jepitan fluks sehingga Jc dapat meningkat. Dengan metode ini diharapkan dapat terbentuk
superkonduktor yang stoikiometris
berukuran butir sangat kecil dan
memperbaiki sifat fisisnya yaitu efek Meissner, konduktifitas, morfologi, struktur fasa, dan lain-lain. Untuk itu hasil sintesa dikarakterisasi dengan uji effek Meissner,
impedance conductance resistance meter (LCR), X-ray difractometer (XRD), dan scanning electron microscopy (SEM).
1.2 Tujuan Penelitian.
1. Mempelajari pembuatan superkonduktor
YBa2Cu3O7-x dengan metode evaporasi
2. Mengetahui sifat magnetik bahan melalui pengujian efek Meissner dan meneliti konduktivitas bahan melalui
penentuan Tc superkonduktor
YBa2Cu3O7-x.
1.3 Waktu dan Tempat.
Penelitian ini dilakukan selama bulan Juni 2009 sampai September 2009.
Bertempat di Laboratorium Bidang
Karakterisasi dan Analisis Nuklir PTBIN BATAN, Kawasan PUSPITEK Serpong.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Superkonduktivitas
Superkonduktivitas adalah suatu
fenomena hilangnya hambatan listrik pada suatu material dibawah temperatur kritis.
Superkonduktivitas dapat diamati
berdasarkan sifat listrik dan sifat magnetnya, yakni berturut-turut dapat menghantarkan arus listrik tanpa hambatan dan dapat menolak medan magnet. Jika sampel menampilkan kedua sifat tersebut maka
bahan tersebut merupakan bahan
superkonduktor.
2.2 Sifat Listrik
Resistivitas listrik dari bahan
superkonduktor turun drastis secara tiba-tiba jika bahan tersebut didinginkan menuju suhu yang sangat rendah, sekitar suhu helium cair untuk logam atau suhu nitrogen cair untuk oksida keramik. Gejala superkonduktivitas bahan mula-mula teramati oleh Heikke Kammerlingh Onnes tahun 1911 pada merkuri. Resistivitas listrik merkuri tiba-tiba menurun drastis menuju nol saat suhunya diturunkan mencapai 4,2 K yaitu suhu kritisnya (Kittel, 1996). Gambar 1 memperlihatkan fenomena tersebut.
Gambar 1. Resistivitas pada merkuri
Terjadinya resistansi nol adalah karena arus dibawa oleh elektron-elektron yang berpasangan (pasangan cooper). Teori pasangan cooper ini dikemukakan oleh Bardeen, Cooper dan Schrieffer pada tahun 1957 yang dikenal sebagai teori BCS. Pasangan cooper ini terbentuk karena adanya tarik menarik antara elektron yang disebabkan adanya ion positif dalam kristal yang merespon perjalanan elektron-elektron tersebut, dimana ketika sebuah elektron (elektron 1) lewat dekat sebuah ion positif maka akan ada tarikan sesaat antara elektron 1 dengan ion positif tersebut.sehingga memodifikasi vibrasi ion positif yang menghasilkan gelombang elastik berupa fonon. Fonon yang dirasakan oleh elektron 1 secara fisis akan dihapus oleh elektron 2, sehingga terjadi gaya tarik menarik diantara elektron-elektron tersebut. Energi tarik menarik ini lebih besar dari gaya tolak diantara keduanya tetapi cukup kecil terhadap gangguan energi termal pada saat suhu lebih kecil dari suhu kritisnya. Pasangan cooper ini bergerak dalam suatu gerak koheren tunggal, gangguan lokal seperti impuritas yang dalam keadaan normal menyebabkan timbulnya resistivitas tidak dapat berbuat demikian pada pasangan
cooper tersebut (dalam keadaan
mengalir tanpa mengalami disipasi energi sehingga tidak ada resistivitas (Engkir S, 1991).
2.3 Sifat Magnetik Superkonduktor
Sifat kemagnetan superkonduktor
diamati oleh Meissner dan Ochsenfeld pada tahun 1933, ternyata superkonduktor berkelakuan seperti bahan diamagnetik sempurna, ia menolak medan magnet sehingga ia pun dapat mengambang di atas sebuah magnet tetap. Jika suatu bahan superkonduktor ditempatkan pada suatu medan magnet eksternal (H) dan bahan tersebut didinginkan di bawah suhu kritisnya maka akan terjadi eksklusi fluks magnetik (penolakan garis-garis gaya magnet). Eksklusi dapat terjadi pula dengan cara
menurunkan suhu hingga T<Tc, baru
diberikan medan magnet padanya, fenomena magnetisasi bahan ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Eksklusi fluks magnetik a : saat
T>Tc dan b : saat T<Tc
Pada keadaan ini, London
mempostulatkan bahwa medan induksi magnetik di dalam bahan sama dengan nol (B=0) (Smitt, 1990). Jika postulat ini diterapkan pada persamaan medan induksi magnetik suatu bahan, yaitu
H
M
B
o
(1)B = medan magnet induksi (Wb/m2)
H = medan magnet eksternal (A/m) M = magnetisasi bahan (A/m)
µo=konstanta permeabilitas ruang hampa
(Wb/A.m)
dengan konstanta suseptibilitas
χ = M/H (2)
Sehingga dengan menerapkan postulat
London, maka 0 = µo (1+χ) dan didapat χ =
-1 yang menunjukkan sifat diamagnet sempurna dari superkonduktor artinya menolak semua medan-medan eksternal yang diberikan padanya.
Eksklusi fluks pada konduktor sempurna hanya terjadi jika konduktor diturunkan dahulu suhunya hingga lebih rendah dari Tc, baru diberikan medan magnet eksternal. Perubahan yang terjadi dari keadaan tanpa medan ke keadaan terdapat medan luar akan menginduksikan suatu arus pusar yang akan
tetap ada selama T<Tc (Dahl, 1992).
Sesuai hukum Bio-Savart arus pusar akan menginduksikan suatu medan magnet yang arahnya berlawanan dengan arah medan eksternal yang diberikan sehingga eksklusi fluks tetap terjadi.
Bertentangan dengan hasil percobaan
Meissner yang menunjukkan bahwa B = 0
di dalam bahan, Fritz dan Hans London
memberikan penyelesaian semi
fenomenologis untuk menjelaskan sifat magnetik bahan superkonduktor, mereka mengemukakan bahwa adanya arus super pada permukaan menyebabkan medan magnetik statik dapat masuk ke dalam superkonduktor, sehingga hanya akan terdapat medan magnet statik di sekitar permukaan sampai kedalaman tertentu. Kedalaman penetrasi magnet statik pada suatu superkonduktor disebut panjang
karakteristik. Medan magnetik akan
berkuarang dengan semakin dalam jarak penembusan dari permukaan (Kittel, 1996), jika dituliskan dalam persamaan
x
H
0
exp
x
/
H
(3)Dengan ,
H (x) = besarnya medan magnet eksternal pada jarak x dari permukaan
H (0) = besarnya medan magnet eksternal di permukaan bahan
x = rentang kedalaman dari permukaan
λ = konstanta kedalaman penembusan
dimana
2 2
/
4
e
n
mc
e
(4)Dengan, m = massa elektron e = muatan elektron c = kecepatan cahaya
ne = jumlah elektron per cm3 dalam
keadaan superkonduktif
2.4 Tipe Superkonduktor a. Superkonduktor Tipe I
Superkonduktor Tipe I adalah
superkonduktor dari unsur-unsur logam murni seperti Hg, Pb, Nb, In, Sn dan sebagainya. Superkonduktor Tipe I ini hanya memiliki satu nilai medan magnet
kritis (Hc) dan hanya mampu
mempertahankan superkonduktivitas dalam medan magnet yang lebih kecil dari 1000 Gauss (Van Vlack, 1991). Agar tetap superkonduktif bahan Tipe I harus menolak seluruh medan magnet internal. Untuk
menghalau fluks magnetik tersebut
diperlukan energi dan energi yang
dipergunakan adalah energi bebas
superkonduktor (the superconductor’s free
energy). Jika ”budget” energi bebas habis
terpakai atau tidak mencukupi, bahan tidak lagi ada dalam keadaan superkonduksi.
b. Superkonduktor Tipe II
Superkonduktor tipe II merupakan superkonduktor paduan logam (alloy), misalnya NbC, NbAlGe, YBCO, BSCCO dan lain-lain (E. H. Rhoderick, 1969). Superkonduktor Tipe II ini memiliki dua medan magnet kritis, yaitu medan magnet
kritis atas (Hc2) dan medan magnet kritis
bawah (Hc1). Hc1 didefinisikan sebagai
medan kritis yang memisahkan
superconducting state dan keadaan mixed state (keadaan campuran) dan Hc2 adalah
medan magnet luar maksimum sebelum terjadi peralihan ke keadaan normal. Untuk
H Hc1, superkonduktor Tipe II berada
dalam keadaan Meissner yang bersifat
diamagnet sempurna. Untuk H Hc1,
sebagian medan magnet eksternal sudah menembus bahan dan vorteks mulai terbentuk. Kehadiran vorteks tersebut menyebabkan medan magnet induksi dalam bahan superkonduktor tidak berharga nol. Pada keadaan ini disebut bahan dalam
keadaan tercampur (mixed state) dan masih
bersifat superkonduktif. Untuk H Hc2
penetrasi fluks medan magnet eksternal ke dalam bahan secara menyeluruh. Diagram
fase H – T untuk superkonduktor Tipe I dan
II ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram fase H-T untuk Superkonduktor a. Tipe I dan b. Tipe II
c. Superkonduktor Keramik
Superkonduktor YBCO memiliki
struktur kristal ortorombik, grup ruang
Pmmm No. 47 dengan kostanta kisi a =
3,886 Å, b = 3,825 Å dan c = 11,667 Å dan
tersusun dari lapisan CuO, BaO, CuO2, Y,
CuO2 dan BaO sepanjang sumbu-c sel
apakah superkonduktif atau non-superkonduktif. Bahan YBCO bersifat superkonduktif dicirikan oleh kedudukan atom oksigen sejajar sumbu-a dan
kekosongan berada sejajar sumbu-b pada lapisan CuO, sehingga panjang sumbu-a tidak sama dengan sumbu-b (Regnault, 1995).
Gambar 4. a) Struktur kristal YBCO ortorombik grup ruang Pmmm No. 47 dengan
konstanta kisi a = 3,886Å, b = 3,825Å dan c = 11,667Å dan b) struktur kristal YBCO
tetragonal (Regnault, 1995).
2.5 Parameter Kritis Superkonduktor
Ada tiga parameter kritis yang mempengaruhi keadaan superkonduksi yaitu
Jc, Tc dan Hc. Apabila ketiga parameter
tersebut terpenuhi maka bahan berada dalam keadaan superkonduksi, namun bila salah satu dari parameter kritis tersebut tidak terpenuhi, bahan dalam keadaan normal. Jc dan Tc adalah dua parameter terpenting bagi superkonduktor keramik agar bahan dapat diaplikasikan, keduanya sangat bergantung pada kemurnian bahan dan keberadaan cacat kristal (B Raveau, 1992).
Jc menunjukkan besarnya rapat arus per satuan luas yang masih dapat mengalir tanpa adanya resistansi dan tidak (belum) merusak bahan superkonduktor, dirumuskan sebagai
A Ic
jc / (5)
Dimana, Jc = rapat arus kritis (A/m2)
Ic = arus kritis (A)
A = luas bidang yang tegak lurus
dengan arah aliran arus (m2)
Arus kritis pada superkonduktor diukur secara eksperimental dengan menggunakan metode empat titik, yaitu metode yang digunakan untuk mengukur sifat-sifat listrik
suatu bahan seperti Jc, resistansi bahan (ρ),
konduktivitas bahan (σ), Tc dan lain-lain.
Prinsip pengukuran metode empat titik ini adalah bahwa dengan adanya aliran arus dari elektroda luar akan menimbulkan beda potensial pada elektroda dalam. Dari hukum Termodinamika, jika ada sebuah sumber medan pada permukaan akan terdapat bidang ekipotensial berbentuk setengah bola tepat dibawah sumber medan tersebut (M. Barmawi, 1998).
2.6 Pengamatan Mikroskop Optik
Mikroskop optik terdiri dari beberapa komponen utama ; lensa objektif, lensa okuler, kondensor, sumber cahaya dan filter cahaya. Pada mikroskop optik terjadi peningkatan perbesaran, gambar pertama dari lensa objektif dan gambar dari lensa objektif dibesarkan oleh lensa okuler.
Pada mikroskop cahaya, bayangan akhir mempunyai sifat yang sama seperti bayangan sementara, semu, terbalik, dan
lebih lagi diperbesar.
Baik lensa objektif
maupun
lensa
okuler
keduanya
merupakan lensa cembung. Secara garis
besar lensa objektif menghasilkan suatu
bayangan sementara yang mempunyai
sifat semu, terbalik, dan diperbesar
terhadap posisi benda mula-mula, lalu
yang menentukan sifat bayangan akhir
selanjutnya adalah lensa okuler.
Gambar 5. Skema Mikroskop Optik
2.7 Difraksi Sinar-x
Spektroskopi difraksi sinar-x (X-ray
difraction/XRD) merupakan salah satu
metoda karakterisasi material yang paling tua dan paling sering digunakan hingga sekarang. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel. Difraksi sinar-x terjadi pada hamburan elastis foton-foton sinar-x oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar-x dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang konstruktif
Keuntungan utama penggunaan sinar-x
dalam karakterisasi material adalah
kemampuan penetrasinya, sebab sinar-x memiliki energi sangat tinggi akibat panjang gelombangnya yang pendek. Sinar-x adalah gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 0,5-2,0 Å. Sinar ini dihasilkan dari penembakan logam dengan elektron berenergi tinggi. Elektron itu mengalami perlambatan saat masuk ke dalam logam dan menyebabkan elektron pada kulit atom logam tersebut terpental membentuk kekosongan. Elektron dengan energi yang lebih tinggi masuk ke tempat kosong dengan memancarkan kelebihan energinya sebagai foton sinar-x.
Metode difraksi sinar-x digunakan untuk mengetahui struktur dari lapisan tipis yang terbentuk. Sampel diletakkan pada sampel holder difraktometer sinar-x. Proses difraksi
sinar-x dimulai dengan menyalakan
difraktometer sehingga diperoleh hasil
difraksi berupa difraktogram yang
menyatakan hubungan antara sudut difraksi
2θ dengan intensitas sinar-x yang
dipantulkan. Untuk difraktometer sinar-x, sinar-x terpancar dari tabung sinar-x. Sinar-x didifraksikan dari sampel yang konvergen yang diterima slit dalam posisi simetris dengan respon ke fokus sinar-x. Sinar-x ini ditangkap oleh detektor sintilator dan diubah menjadi sinyal listrik. Sinyal tersebut, setelah dieliminasi komponen noisenya, dihitung sebagai analisa pulsa tinggi. Teknik difraksi sinar-x juga digunakan untuk menentukan ukuran kristal, regangan kisi, komposisi kimia dan keadaan lain yang memiliki orde yang sama.
Teknik difraksi sinar-x sangat penting untuk mengetahui sifat-sifat bahan seperti logam, keramik, polimer dan sebagainya.
Teknik ini digunakan untuk
mengidentifikasi fasa-fasa yang ada pada sampel, ukuran butir, textur, dan struktur kristal. Informasi yang dapat diperoleh berupa posisi puncak-puncak difraksi, intensitas dan bentuk puncak difraksi. Posisi spasial dari sinar-x yang didifraksikan oleh sampel mengandung semua informasi geometri dari kristal. Intensitas sinar-x berhubungan dengan jenis atom dan susunannya dalam kristal, ketajaman sinar-x yang didifraksikan merupakan ukuran dari kesempurnaan kristal.
Setiap bahan memiliki pola difraksi tertentu dengan intensitas dan sudut difraksi
(2
) yang berbeda-beda. Suatu kristal dapatmendifraksikan sinar-x karena panjang gelombang sinar-x berada di sekitar jarak antar bidang kristal. Sinar-x yang digunakan untuk difraksi memiliki panjang gelombang dalam range 0,3-2,5 Å. Difraksi terjadi jika interaksi antara sinar-x dengan kisi pada bidang kristal, menghasilkan interferensi yang konstruktif berupa puncak-puncak intensitas. Interferensi konstruktif ini terjadi jika panjang gelombang dan sudut difraksi memenuhi hukum Bragg (Van Vlack, 1991) yaitu,
2dsinn (6)
λ = panjang gelombang d(hkl) = jarak antar atom
= sudut difraksihkl = indeks miller
Untuk mengetahui bentuk struktur kristal, digunakan metode difraksi. Metode ini digunakan untuk menghasilkan pola intensitas difraksi sampel dan untuk mendapatkan data intensitas dan sudut difraksi (data XRD) dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. sampel superkonduktor digerus
hingga berbentuk serbuk halus dan kemudian dimasukkan ke dalam wadah sampel berbentuk lempeng tipis persegi panjang dengan kedalaman sekitar 1 mm yang telah diberi selotif di bagian dasarnya, hal ini dimaksudkan untuk melekatkan serbuk sampel. Perangkat ini
kemudian diletakkan pada
goniometer.
2. Sampel akan diradiasi oleh sinar-x
dan hasil pola difraksinya dicatat
langsung pada chart decoder.
Intensitas difraksi pada sudut 2
tertentu langsung dicetak oleh printer atau disimpan dalam bentuk numerik pada disket untuk dianalisis
dengan program Rietveld.
Gambar 6. Spektroskopi difraksi sinar-x
2.8 Metode Analisis Rietveld
Untuk menganalisa data XRD dengan metode Rietveld dilakukan langkah-langkah berikut :
1. Menyiapkan tiga buah file yaitu,
a. File data yang berisi data
numerik hasil XRD yang membentuk profil hasil observasi.
b. File input yang berisi
analisis teoritis yang dibuat
sesuai dengan metode
Rietveld yang membentuk profil kalkulasi.
c. File kosong yang berfungsi
sebagai input yang berharga untuk memperbaiki file input pada butir b.
2. Menjalankan program Rietan untuk
menghitung “pattern calculation” dan “refinement calculation”.
3. mendapatkan hasil olahan data dari
program Rietan dengan analisis, jika faktor R lebih kecil 20% maka file input yang dibuat sudah cukup mendekati harga yang sebenarnya (Sudiana, 1999).
Prinsip dasar analisis Rietveld adalah
pencocokan (fitting) profil puncak
perhitungan terhadap profil puncak
pengamatan. Pencocokan profil dilakukan dengan menerapkan prosedur perhitungan kuadrat terkecil non linear yang diberi syarat batas. Sehingga analisis Rietveld adalah problema optimasi fungsi non linear yang
diberi syarat batas (constraints). Dalam
bahasa matematika dinyatakan sebagai berikut :
meminimumkan fungsi objektif
20
w
y
0
y
c
x
x i ii i
(7)dengan, wi = 1/yi (0) = faktor bobot
yi (0) = intensitas pengamatan pada
sudut 2
yi (c) = intensitas perhitungan
pada sudut 2
difraksi pengamatan setelah terlebih dulu dipilih bentuk puncak yang paling sesuai. Pada setiap posisi sudut atau setiap titik pada profil pola difraksi, jumlah kontribusi
intensitas akibat “overlap” dapat dihitung
berdasarkan harga parameter-parameter
yang didapat dengan asas perhitungan “least
square” (Engkir S, 1991).
2.9 Metode Analisis Data
Data difraksi sinar-x dianalisis dengan bantuan perangkat lunak yang disebut RIETAN (Rietveld Analysis). Program ini memerlukan dua data masukan, yakni pasangan data intensitas (cacahan) hasil pengamatan terhadap sudut hamburan dan
parameter “least square”. Berdasarkan
fungsinya, parameter “least square” terbagi
dalam dua kelompok, yakni : a. Parameter profil
Parameter profil adalah parameter yang membangun kurva pola difraksi berupa parameter lebar puncak, titik nol detektor, parameter kisi, parameter asimetris dan parameter orientasi terpilih.
b. Parameter struktur
Parameter struktur adalah parameter yang menentukan besarnya harga faktor
struktur. Setiap refleksi Bragg terdiri
dari faktor skala, parameter suhu, koordinat fraksi atom, faktor hunian dan momen magnetik.
Parameter “least square”
dimasukkan dengan urutan sebagai berikut :
1. Parameter Global :
Z =Titik nol detektor
b0,…b5=Parameter intensitas latar
belakang
2. ParameterYang Tergantung Fasa: S = Faktor skala
U, V, W = Parameter lebar puncak A = Parameter asimetris
γ = Fraksi komponen Gauss
δ = Hk(G) / Hk(L)
p1, p2 = Parameter orientasi
“preferred”
a, b, c = Parameter Kisi
Q = Parameter suhu secara keseluruhan
G = Faktor hunian atom B = Parameter suhu isotropis x, y, z = Koordinat fraksi atom
Hasil pengolahan data dengan metode Rietveld berupa data parameter profil dan parameter struktur hasil penghalusan, faktor
R, data intensitas puncak Bragg hasil
pengamatan dan hasil perhitungan lengkap dengan indeks miller, posisi puncak-puncak Bragg, harga jarak antar bidang refleksi, harga faktor struktur dan lain-lain.
Ukuran yang menunjukkan kesesuaian antara profil difraksi hasil perhitungan dengan hasil pengamatan dinyatakan dengan faktor R yang dinyatakan sebagai berikut :
0 2
1/2/
0
2
i i ii i
wp w y y c w y
R (8)
i0
i
/
i
0
p
y
y
c
y
R
(9)
k0
k
/
k
0
I
I
I
c
I
R
(10)
1/2 1/2
1/2
0 /0 k k
k
f I I c I
R
(11)
Dimana,
Rwp = R-pola dengan pemberat
Rp = R-pola
Ik (0) = intensitas kurva percobaan yang
ditinjau pada refleksi Bragg ke-k diakhiri putaran penghalusan (cps)
Ik (c) = intensitas kurva teoritis yang
ditinjau pada refleksi Bragg ke-k diakhiri putaran penghalusan (cps)
yi (0) = intensitas kurva percobaan yang
ditinjau pada langkah ke-i
yi (c) = intensitas kurva teoritis yang
ditinjau pada langkah ke-i
Harga faktor R yang kecil menunjukkan baiknya persesuaian antar pola difraksi hasil pengamatan dan pola difraksi hasil perhitungan (Engkir S, 1991).
2.10 Pengamatan Struktur Mikro Dengan SEM
Superkonduktor sangat bergantung pada struktur mikronya. Untuk mengamati
struktur mikro digunakan Scanning Electron
adalah, berkas elektron yang dihasilkan oleh
electron gun akan menyapu permukaan
sampel dalam daerah yang sangat kecil, baris demi baris. SEM memiliki dua buah sinyal yang sangat umum digunakan yaitu
secondary electron signal dan back scattered signal. Secondary electron (SE)
adalah elektron berenergi rendah yang terhambur dari permukaan sampel, saat sampel tersebut dikenai berkas elektron yang dipercepat oleh suatu beda potensial antara 5 dan 40 kV. Di dalam detektor SE akan diubah menjadi sinyal listrik yang menghasilkan gambar pada layar monitor. Sinyal keluaran dari detektor akan berpengaruh terhadap intensitas cahaya di dalam tabung monitor, karena jumlah cahaya yang dipancarkan oleh monitor akan sebanding dengan jumlah elektron yang
berinteraksi dengan sampel. Proses
perekaman gambar dari monitor adalah
shutter penutup kamera dibuka pada saat
sapuan pertama dimulai dan ditutup kembali setelah permukaan sampel selesai disapu.
Back scattered electron (BSE) adalah
elektron berenergi tinggi yang dipantulkan kembali oleh sampel. Energi elektron yang dipantulkan hampir sama besarnya dengan energi saat elektron tersebut datang. Sinyal intensitas BSE bergantung pada jumlah nomor atom dari fasa-fasa yang ada pada sampel. BSE akan memberikan perbedaan ketajaman gambar berdasarkan nomor atomnya, fasa dengan nomor atom lebih besar akan lebih terang dibandingkan dengan fasa bernomor atom lebih kecil.
SEM juga memiliki fasilitas berupa
energy dispersive x-ray spectroscopy
(EDX), sinyal yang dihasilkannya dapat digunakan untuk menganalisis unsur-unsur yang terdapat pada sampel.
Gambar 7. Skema Mikroskop Elektron
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan terdiri dari garam-garam nitrat Yttrium nitrat, Barium nitrat, Tembaga nitrat, Asam oksalat, Urea, Ammonia dan Nitrogen cair.
Peralatan yang digunakan adalah :
1. Neraca analitik atau timbangan
electronic balance.
2. Peralatan gelas dan pengaduk.
3. pengaduk dan pemanas magnet.
4. Tungku pemanas (furnace) yang
dapat diprogram dengan
kemampuan jelajah hingga 12000 C.
5. Mortar agate dan penumbuknya
untuk penghalusan.
6. Cawan (crucible) tahan panas untuk
wadah sampel.
7. Pencetak pelet (dies) terbuat dari
besi crom yang telah dikeraskan.
3.2 Preparasi sampel
Untuk mensintesis senyawa oksida Y-Ba-Cu diperlukan penimbangan untuk mengetahui berapa gram bahan dasar untuk menghasilkan 10 gram YBCO, diantaranya :
YN
3O
9+ 6H
2O sebanyak : 5,7430 gram
dari perhitungan Y : mempunyai Mr 89,
maka dalam senyawa 10 gram
YBa
2Cu
3O
7-xdibutuhkan gram Y
sebanyak (89/660,3) x 10 gram = 1,3345
gram unsur. Karena Y diperoleh dari
senyawa YN
3O
9+ 6H
2O (Mr = 383,01),
maka dibutuhkan gram senyawa YN
3O
9+ 6H
2O sebanyak : 5,74299 gram
(dengan perhitungan (Mr YN
3O
9+
6H
2O/Ar Y) x 1,3345 gram).
Ba N
2O
6sebanyak : 7,8460 gram dari
perhitungan
Ba : mempunyai Ar 137,34,maka dalam senyawa 10 gram YBa2Cu3O7-x
dibutuhkan gram Ba sebanyak
((2x137,34)/660,3) x 10 gram = 4,1231 gram unsur. Karena Ba diperoleh dari
senyawa Ba N2 O6 (Mr = 261,35). Maka
dibutuhkan gram senyawa Ba N2 O6
sebanyak : 7,846018 gram (dengan
perhitungan (Mr Ba N2 O6 / Ar Ba) x 4,1231
gram).
Cu N2 O6 sebanyak : 10,8796 gram dari
perhitungan Cu : mempunyai Mr 63,54,
maka dalam senyawa 10 gram YBa2Cu3O7-x
dibutuhkan gram Cu sebanyak
((3x89)/660,3) x 10 gram = 2,8613 gram unsur. Karena Cu diperoleh dari senyawa
Cu N2 O6 (Mr = 241,60), maka dibutuhkan
gram senyawa Cu N2 O6 sebanyak : 10,8796
gram (dengan perhitungan (Mr + Cu N2
O6/Ar Cu) x 2,8613 gram).
3.3 Pelarutan
Bahan-bahan setelah ditimbang
kemudian masing-masing dilarutkan oleh aquades di dalam gelas beker hingga larut sempurna berdasarkan data hasil kali kelarutan masing-masing bahan mempunyai nilai :
Y(NO3)3 = larut sempurna
Ba(NO3)2 = 90 gram/liter
Cu(NO3)2 = 50 gram/liter
3.4 Pengeringan (Evaporasi)
Pengeringan dilakukan di lemari asam
menggunakan pemanasan dengan magnetic
steerer sekaligus dilakukan pengadukan
untuk menjaga homogenitas larutan selama proses pengeringan berlangsung. Pada proses pengeringan inilah terjadi evaporasi dimana garam-garam nitrat akan mengendap dan larutan akan mengering.
Gambar 8. Proses evaporasi bahan
menggunakan magnetic
steerer
3.5 Pirolisis
Pirolisis adalah dekomposisi kimia bahan organik melalui proses pemanasan tanpa atau sedikit oksigen atau reagen lainnya, di mana material mentah akan mengalami pemecahan struktur kimia menjadi fase gas. Bahan dimasukkan ke
dalam furnace untuk dipirolisis dalam suhu
3500C dan ditahan pada suhu tersebut
selama 1 jam.
3.6 Kalsinasi
Kalsinasi yang dilakukan berupa
pemanasan sampel pada suhu 900oC selama
Gambar 9. perlakuan panas proses kalsinasi
3.7 Penghalusan dan Pembentukan Pelet
Setelah mengalami proses kalsinasi, serbuk akan mengalami penggumpalan, sehingga harus dilakukan penghalusan dengan cara menggerus sampel sedikitnya 1 jam setiap selesai dilakukan kalsinasi. Setelah mengalami 3 kali kalsinasi serbuk sampel dicetak dengan tekanan 5 ton. Proses penekanan mempengaruhi kerapatan sampel. Penekanan yang terlalu lemah menyebabkan sampel kurang kerapatannya, pembebanan yang terlalu besar menyebabkan retak pada sampel.
3.8 Sintering
Sintering dilakukan dengan
memanaskan sampel sampai di bawah titik lelehnya. Proses pemanasan dilakukan pada
suhu 9500C selama 20 jam dengan laju
pemanasan dan pendinginan 300C/jam.
Setelah sintering sampel mengalami
pengurangan luas total permukaan, volume
dan pertumbuhan butir, partikel bersentuhan satu sama lain dan kontak antar partikel terjadi karena proses difusi atom-atom yang menghasilkan penyusutan sampel yang diiringi pengurangan porositas. Pada proses ini kekuatan bahan bertambah.
Gambar 11. perlakuan panas proses sintering
3.9 Pengujian Efek Meissner
Fenomena superkonduktivitas di dalam sebuah bahan dapat diketahui melalui pengukuran hambatan listrik dan atau Efek Meissner. Pengujian dilakukan dengan cara merendam sampel superkonduktor di dalam nitrogen cair. Setelah nitrogen cair tidak lagi mendidih suhu sampel sama dengan suhu nitrogen cair, kemudian magnet diletakkan di atas sampel, jika magnet melayang maka dapat dipastikan bahan tersebut telah menjadi bahan superkonduktor.
Pengujian dapat pula dilakukan dengan memberikan medan magnet pada sampel baru kemudian suhunya diturunkan. Magnet yang semula menempel pada sampel akan terangkat dan melayang di atas sampel saat suhu sampel sama dengan suhu nitrogen cair.
3.10 Pengamatan XRD
Dalam pengukuran difraksi sinar-x alat yang digunakan adalah SHIMADZU tipe XD-610. metode yang digunakan adalah metode serbuk, sebab bentuk serbuk akan memberikan puncak-puncak difraksi yang lebih banyak dibandingkan jika sampel tidak
diserbukkan. Prinsip difraksi adalah
interaksi antara sinar-x dengan materi akan menghasilkan interferensi konstruktif berupa
puncak-puncak intensitas jika sudut
memenuhi hukum Bragg. Target yang digunakan adalah target Cu dengan panjang
gelombang, λ = 150 Å. Filter yang
digunakan adalah filter Ni. Arus disetel pada 30 mA, sedangkan tegangan disetel pada 30 kV.
Pengukuran dilakukan selangkah demi
selangkah (step scan) sejalan dengan
berubahnya kedudukan detektor (2
) danposisi sampel (
). Sehingga selalu terjadiperubahan terhadap sudut
dan sudut 2
dengan perbandingan yang selalu tetap.
Lebar langkah (step width) disetel pada Δ
(2
) = 0,050. pengukuran diprogram dengandengan posisi awal detektor pada posisi
sudut 300 dan berhenti pada posisi 900.
preset time = 1 detik.
3.11 Pengukuran konduktivitas
Pengukuran konduktivitas sampel
menggunakan LCR meter. Fungsi dari alat
ini adalah untuk mengukur konduktivitas listrik suatu material, sebagai fungsi dari frekuensi dan temperatur pemanasan.
Konduktivitas YBCO ditentukan
menggunakan LCR meter (impedance, capacitance, resistance). Sampel YBCO di jempit dengan pengikat kaki konduktivitas LCR, lalu sampel diukur dengan LCR meter. Frekuensi yang digunakan pada penelitian ini adalah 0,1 Hz sampai 100 kHz dengan tegangan 20 mV. Pengukuran konduktivitas dilakukan pada berbagai suhu, mulai dari suhu ruang 300 K sampai pada suhu nitrogen cair 80 K dengan penurunan suhu tiap 20 K.
3.12 Pengamatan SEM
Cuplikan yang telah disiapkan kemudian dilekatkan pada sampel holder yang terlebih dahulu diberi selotif pada bagian dasarnya (sample holder berbentuk tabung silinder
terbuka terbuat dari paralon). Sebelum diberi resin dan gel pengeras, cuplikan tersebut harus ditandai dan digambar agar tidak tertukar. Resin yang sebelumnya telah diberi gel pengeras, dilakukan pengadukkan hingga kedua bahan tersebut tercampur. Campuran resin dan gel yang telah dipersiapkan tadi dimasukkan ke dalam
sample holder hingga sampel terendam
seluruhnya. Setalah mengeras kemudian selotif dibuka dan sampel kemudian dipoles (polishing) secara bertahap dengan
Pelet YBCO
Uji Meissner
Gambar 12. Diagram alir sintesa sampel YBCO
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Uji Efek Meissner
Pengujian efek Meissner dilakukan dengan dua metode. Yang pertama superkonduktor yang diletakkan di atas magnet dan yang kedua magnet diletakkan di atas superkonduktor. Pada pengujian metode yang pertama menunjukkan bahwa bahan tersebut telah berhasil menunjukkan sifat superkonduktor dengan melayang di
atas magnet permanen setelah
superkonduktor direndam nitrogen cair. Pada gambar 13 terlihat superkonduktor tersebut dapat melayang diatas magnet selama 15 detik dengan daya angkat yang cukup tinggi (2-3 mm). Kemudian pada
pengujian metode yang kedua,
superkonduktor direndam dalam nitrogen cair lalu magnet permanen diletakkan di atas
superkonduktor dan terlihat magnet
permanen dapat melayang di atas
superkonduktor dengan daya angkat yang tinggi (3-4 mm). Pada pengujian magnet di atas superkonduktor, terjadi penolakan garis-garis gaya magnet (ekslusi magnet). Magnet permanen cenderung terlempar keluar dari permukaan sampel, tetapi pada suatu posisi tertentu terlihat adanya fenomena penjepitan fluks sehingga magnet dapat melayang.
Gambar 13. Fenomena levitasi sampel superkonduktor melayang di atas magnet.
900
0C
10 jam
940
0C
20 jam
350
0C
1 jam
Sintering Pirolisis
Peletisasi Kalsinasi Pencampuran
Y(NO3)2
Pengendapan Pelarutan
Evaporasi
Ba(NO3)
Pelarutan
Pengendapan
Evaporasi
Cu(NO3)2
Pelarutan
Pengendapan
Evaporasi
Uji Konduktivitas
Terjadinya ekslusi fluks karena pada saat medan eksternal diberikan pada superkonduktor akan timbul arus pada
permukaan sampel, arus ini akan
menginduksikan medan magnet (B) di dalam sampel yang arahnya berlawanan dengan arah medan eksternal. Magnet akan jatuh saat T>Tc, saat ini bahan dalam keadaan normal.
4.2 Uji struktur kristal dengan XRD
Dengan mengetahui pola difraksi sinar-x dapat dilihat dan dipelajari perkembangan fase-fase yang terbentuk selama proses sebelumnya. Tujuan lainnya adalah menganalisis kemurnian fase dan jenis fase impuritas serta untuk menentukan struktur kristal berdasarkan identifikasi
intensitas sinar-x terhadap sudut 2θ. Sudut
difraksi 2θ diambil dari 10° sampai dengan
80°. Untuk uji struktur kristal
superkonduktor dilakukan berdasarkan data pola difraksi sinar x dari sampel YBCO. Puncak-puncak difraksi yang tajam dari pola difraksi menunjukkan bahwa sampel telah mengkristal dengan baik. Selanjutnya pola difraksi masing-masing sampel dianalisis dengan menganggap sampel berfasa tunggal, memiliki bentuk struktur kristal ortorombik dengan grup ruang Pmmm No.47. Koordinat fraksi atom-atom Y, Ba, Cu dan O ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. koordinat fraksi atom Y, Ba, Cu dan O di dalam sel satuan ortorombik, grup ruang Pmmm pada Tabel Internasional No.47
Atom Koordinat fraksi
Y (1/2, 1/2, 1/2)
Ba (1/2, 1/2, z) (1/2, 1/2, -z)
Cu (1) (0, 0, 0)
Cu (2) (0, 0, z) (0, 0, -z)
O (1) (1/2, 0, 0)
O (2) (0, 1/2, 0)
O (3) (0, 1/2, z) (0, 1/2, -z)
O (4) (0, 0, z) (0, 0, -z)
O (5) (1/2, 0, z) (1/2, 0, -z)
Pola pertumbuhan fasa kristal
YBa2Cu3O7-x dapat dilihat pada gambar 14,
15 dan 17 yang masing-masing adalah grafik XRD hasil cuplikan pirolisis, kalsinasi dan sintering.
Pada cuplikan hasil pirolisis adalah berupa oksida-oksida 123,
YBCO-211, Ba(NO3)2, BaO, dan CuO sedangkan
hasil proses yang berupa gas CO2, CO,
NO2, dan NO merupakan gas yang beracun
dihisap melalui instalasi pirolisis. Adanya
Ba(NO3)2 dalam cuplikan hasil pirolisis
mungkin terjadi karena titik leleh dari
Ba(NO3)2 810o C belum tercapai, dengan
demikian belum terjadi degradasi Ba(NO3)2.
Proses kalsinasi dilakukan pada suhu
puncak 900o C sebanyak
3
kalimasing-masing selama 4 jam. Hasil kalsinasi dianalisis dengan difraksi sinar-X dan diperlihatkan pada Gambar 15. Gambar 15 menunjukkan bahwa hasil kalsinasi terdiri dari fasa YBCO-123, CuO dan BaO. Keberadaan fasa BaO ini menunjukkan bahwa pada tahap kalsinasi belum semua komponen membentuk YBCO-123. Hal ini didukung oleh munculnya fase CuO.
Dari data tersebut disimpulkan bahwa
pada cuplikan hasil kalsinasi sudah
terbentuk fasa-123, walaupun belum
sempurna. Diperoleh
data parameter kisi: a = 3.88 (1) Å; b = 3.83 (1) Å; c = 11.60 (5) Å.Tabel 2. Data parameter struktur fasa-123 pada cuplikan produk kalsinasi
Atom
Faktor
hunian
atom,
g
jKoordinat fraksi
atom
x
y
z
Y
0,5
0,5 0,5
0,5
Ba
0,7
0,5 0,5 0,13(1)
Cu(1)
1,0
0,0 0,0
0,0
Cu(2)
1,0
0,0 0,0 0,30(2)
O(1)
0,63
0,5 0,0
0,0
O(2)
0,01
0,0 0,5
0,0
O(3)
1,0
0,0 0,0 0,20(9)
O(4)
1,0
0,0 0,5 0,74(8)
PIROLISIS
CuO Ba(NO3)2
Ba(NO3)2
YBa2Cu3O7-x
Y2BaCuO5
CuO CuO
Ba(NO3)2
BaO
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
10 20 30 40 50 60 70 80
deg 2θ
Int
e
ns
it
y
Pada hasil sinter cuplikan tersebut menunjukkan bahwa fasa yang muncul adalah YBCO-123, fasa lain tidak nampak, seperti diperlihatkan pada Gambar 16. Hasil ini menunjukkan bahwa fasa 211 telah bereaksi dengan BaO dan menghasilkan YBCO-123 sehingga fraksi fasa 123 meningkat. Ini berarti bahwa fasa tunggal fasa-123 telah terbentuk dengan sempurna. Unsur-unsur Y, Ba, Cu, dan O berturut-turut sebanyak 1, 2, 3, dan (7-x) mol per sel satuan, dimana 0,0 < x < 0,5; sistem kristal ortorombik, grup ruang :
Pmmm Nomor 47. Parameter kisi a = 3,886
(2) Å, b = 3,841 (2) Å, c = 11,680 (6) Å,
2
dan α = = = 90°.Gambar 14. Pola difraksi YBCO pirolisis
Tabel 3. Data parameter struktur fasa-123 pada cuplikan produk sintering
Atom
hunian
Faktor
atom,
g
jKoordinat fraksi
atom
x
y
z
Y
1,0
0,5 0,5
0,5
Ba
1,0
0,5 0,5 0,145(2)
Cu(1)
1,0
0,0 0,0
0,0
Cu(2)
1,0
0,0 0,0 0,305(5)
O(1)
0,63
0,5 0,0
0,0
O(2)
0,01
0,0 0,5
0,0
KALSINASI
YBa2Cu3O7-x YBa2Cu3O7-x
BaO YBa2Cu3O7-x BaO
CuO YBa2Cu3O7-x
YBa2Cu3O7-x
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900
10 20 30 40 50 60 70 80
deg 2θ
Int
ens
it
y
Gambar 15. Pola difraksi YBCO kalsinasi
SINTERING
YBa2Cu3O7-x YBa2Cu3O7-x
YBa2Cu3O7-x
YBa2Cu3O7-x
YBa2Cu3O7-x YBa2Cu3O7-x YBa2Cu3O7-x YBa2Cu3O7-x
YBa2Cu3O7-x
YBa2Cu3O7-x
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
10 20 30 40 50 60 70 80
deg 2θ
Int
ens
it
y
Gambar 17. Pola difraksi YBCO sintering
Gambar 18. Fitting difraksi YBCO sintering
average freq
0.00000 0.02000 0.04000 0.06000 0.08000 0.10000 0.12000 0.1400080 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300
average frek 4.3 Pengukuran konduktivitas (σ) dan
suhu kritis (Tc)
Suhu kritis merupakan sifat intrinsik dari superkonduktor dimana tidak akan banyak berubah dengan berbagai macam metode pembuatan sampel. Dari hasil pengukuran konduktivitas dapat dilihat bahwa nilai konduktivitas yang secara tajam melonjak pada suhu 100 K yang berarti pada
suhu itulah terjadinya fenomena
superkonduktor. Suhu 100 K itulah yang
didapat sebagai suhu kritis (Tc)
superkonduktor.
Gambar 19 menunjukkan kenaikan
konduktivitas sampel YBCO ketika
diturunkan suhunya sampai temperatur 100 K. Ada hubungan erat antara suhu dan nilai konduktivitas cuplikan. Pada suhu semakin rendah nilai konduktivitasnya semakin meningkat, hal ini menunjukkan
karakteristik dari superkonduktor.
Peningkatan nilai konduktivitas ini terjadi karena cuplikan mengarah pada suhu kritisnya, dimana pada suhu kritis maka resistansi superkonduktor adalah mendekati nol sehingga tercapai konduktivitas maksimumnya sebesar 0,00042 S/cm..
Dari hasil pengukuran konduktivitas, terlihat bahwa sampel YBCO menunjukkan
perilaku superkonduktif (ρ = 0) pada suhu
T<Tc, sampel kembali normal saat T>Tc. Panjang rantai ikatan Cu(2)-O(3) ditentukan sebagai selisih dari hasil perkalian fraksi kordinat atom (z) dengan besarnya parameter kisi, c. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan panjang rantai ikatan (d) dengan Tc, diketahui semakin besar harga d, Tc semakin menurun (dari majalah : Neutron News, 1990).
Gambar 19. Konduktivitas sampel YBCO pada rata-rata frekuensi
4.3 Uji struktur mikro dengan SEM dan MO
Pemeriksaan struktur mikro mempunyai peranan penting dalam pengujian bahan, karena bentuk struktur pada dasarnya menentukan sifat fisik, mekanis, kimia dan termal bahan. Dengan demikian melalui pengamatan terhadap struktur bahan dapat ditentukan tentang bidang patah, pemisahan, inklusi, pori-pori dan arah retak.
Gambar hasil pengukuran struktur mikro
permukaan cuplikan dengan SEM
ditunjukkan pada gambar 20, 21, 22 dengan masing-masing perbesaran 1000x, 3000x dan 5000x. Terlihat jelas bahwa cuplikan superkonduktor YBCO-123 memperlihatkan
struktur mikro yang rapat, fine-grined dan
terdistribusi secara acak dengan ukuran butir < 10 µm.
Pada sampel cuplikan SEM dengan ketiga perbesaran tersebut juga dapat diamati bahwa sampel YBCO produk evaporasi memperlihatkan mikrostruktur
yang rapat (dense microstructure) ini
dikarenakan tingkat kehomogenitasan
superkonduktor YBCO hasil evaporasi sangat baik.
Pada ketiga gambar cuplikan sampel
diatas terlihat grain allignment yang tidak
sempurna, terlihat pula batas butir yang lebih banyak, hal ini kemungkinan disebabkan laju pendinginan yang cepat
sehingga sampel belum terorientasi
dalam mengantarkan konduktivitas tanpa resistansi ini tidak hanya diakibatkan oleh perubahan struktur mikronya akan tetapi juga oleh terjadinya penumbuhan fasa non superkonduksi, yang mana fasa ini dapat
mempercepat terjadinya pemecahan
pasangan cooper (break pair).
Pada kurva kandungan bahan pada gambar 23 dalam cuplikan SEM YBCO dapat diketahui jumlah kandungan atom-atom pembentuk superkonduktor YBCO sudah mendekati fase superkonduktor ideal
YBa2Cu3O7-x.
Gambar 20. Struktur mikro YBCO sampel perbesaran SEM 1000x.
Gambar 21. Struktur mikroYBCO sampel perbesaran SEM 3000x.
Gambar 22. Struktur mikro YBCO sampel perbesaran SEM 5000x.
Gambar 23. Kurva hasil EDX YBCO
Gambar hasil pengukuran struktur mikro
YBCO pada bagian permukaan
menggunakan mikroskop optik masing-masing dengan perbesaran 100x dan 200x ditunjukkan oleh gambar 24 dan 25.
.Gambar 25. Struktur mikro sampel YBCO perbesaran MO 200x
Gambar 24 dan 25 belum menunjukkan dengan jelas struktur mikro dari YBCO. Terlihat ada beberapa celah pada bagian permukaan yang melintang pada sampel. Pada gambar tersebut terlihat matrix-matrix penyusun dengan warna hitam dan putih menyelimuti hampir seluruh bagian cuplikan
superkonduktor yang mengindikasikan
kehomogenitasan unsur-unsur pembentuk superkonduktor sudah tinggi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pada penelitian ini telah berhasil dibuat
superkonduktor YBa2Cu3O7-x dengan
metode evaporasi. Berdasarkan fenomena dan data-data yang diperoleh, dapat
disimpulkan bahwa superkonduktor
YBa2Cu3O7-x dapat disintesa dengan
metode evaporasi yaitu dengan menggunakan garam-garam nitrat yttrium, barium, dan tembaga.
Fenomena yang dapat dibuktikan adalah adanya efek Meissner dan diperolehnya konduktivitas yang menngkat tajam pada
suhu kritis (dari 4.2 x 10-4 S/cm ke nilai
1.309 x 10-1 S/cm). Suhu kritis
superkonduktor YBa2Cu3O7-x terletak pada
daerah 100 K. Hasil karakterisasi sinar-x menunjukkan bahwa sampel YBCO telah
mengkristal dengan baik, dari hasil grafik sinar-x produk sintering, sampel memiliki kemurnian yang tinggi dan telah membentuk fase YBCO-123. Data hasil mikroskop optik masih belum menunjukkan struktur mikro dengan jelas, namun dapat diketahui dari mikroskop optik bahwa sampel YBCO telah mencapai kehomogenitasan yang tinggi. Sedangkan hasil SEM memperlihatkan mikrostruktur yang rapat dan terdistribusi secara acak dengan ukuran butir < 10 µm.
Hal ini menunjukkan bahwa metode
evaporasi dapat digunakan untuk
mengoptimalisasi sintesa superkonduktor
YBa2Cu3O7-x.
Saran
Setelah melakukan penelitian ini masih didapatkan kekurangan-kekurangan untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka perlu dilakukan :
1. Penekanan dengan beban yang sesuai
yang tidak terlalu keras saat
pencetakan sampel, supaya didapatkan sampel dengan kerapatan tinggi dan tidak mudah pecah.
2. Untuk mendapatkan serbuk sampel
dengan kemurnian tinggi perlu
dilakukan proses kalsinasi yang lama
saat penahanan pada suhu 900o C dan
DAFTAR PUSTAKA
Abrikosov, AA. 1988. Fundamental of The Teory Of Metals. North-Holland,
Amsterdam.
Ari Adi, Wisnu, et al. 2000. Kontak Listrik
Resistivitas Rendah Pada “Bulk”
Superkonduktor Sistem YBa2Cu3O7-x.
Abstract hlm 3-4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Iptek Bahan, BATAN.
Ari Adi, Wisnu, et al. 2004. Jurnal Sains
Materi Indonesia, (Indonesian Journal of Materials Science), Volume 5, No.
2, Februari 2004, hal. 51 – 56.
Barmawi, M. 1998. Deposition on HTS
Thin Films, Work Shop on HTS, ITB-Bandung, 5-6 Oktober 1998.
Bourdillon, A. & Bourdillon, N. X. 1994.
High Temperatur Superconductor.
Academic Press, New York.
Dahl, P.F. 1992. Superconductivity, Its Historical Roots and Development From Mercury to the Ceramic Oxide.
American Institute of Physics, New York.
Kittel, C. 1996. Introduction to Solid State Physics. Seventh Edition. John Willey
& Sons Inc, New York.
Raveau, B. 1992. Devect and
Superconductivity in Layered
Cuprates. Physics Today hlm 53-58.
Regnault L. P, Press Physica B (1995)
166-175.
Rose-Innes, A. C. dan Rhoderick, E. H.
1969. Introduction To
Superconductivity, 1st Edition,
Pergamon Press Ltd., Oxford-London.
Smith, W. F. 1990. Principles Of Materials Science And Engineering. Second
Edition. McGraw-Hill Book Co, Singapore.
Sukirman, E. 1991. Pengaruh Distribusi
Kekosongan Oksigen Pada
Superkonduktivitas YBa2Cu3O7-x.
Tesis. Program Studi Ilmu Bahan Program Pascasarjana. Universitas Indonesia, Jakarta.
Sukirman, E, et al. 2000. Peragaan
Fenomena Superkonduktivitas untuk SMU dan Universitas, Petunjuk Pelaksanaan, Serpong 22 Agustus 2000.
Sukirman, E. 2000. Superkonduktor Teori
dan Prospek Masa Depan. Puslitbang Ilmu Pengetahan dan Teknologi Bahan, BATAN.
S, Yayan. 1999. Analisis Struktur Kristal
Kalsit (CaCo3) Dengan Metode
Rietveld. Skripsi. Jurusan Fisika FMIPA, Bogor.
Uchimoto, T. & Miya, K. 1999.
Application of High-Temperature Superconductors to Enhance Nuclear Fusion Reactors, Japan, 92-103.
Van Vlack, L. H. 1991. Ilmu dan Teknologi Bahan (Ilmu Logam dan Bukan Logam). Edisi ke-5. Terjemahan
Lampiran
3. data konduktansi sampel YBCO
f G(S) G(S) G(S) G(S) G(S) G(S) G(S) G(S) G(S) G(S) G(S) G(S)
80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300
0.1 0,013593 2.974E-03 1.326E-02 3.465E-03 8.829E-03 3.601E-03 6.468E-03 4.836E-03 3.561E-03 3.026E-03 2.919E-04 2.919E-04
0.5 0,014560 3.136E-03 1.395E-02 3.620E-03 8.771E-03 3.727E-03 7.120E-03 4.983E-03 3.983E-03 3.363E-03 3.207E-04 3.207E-04
1 0,014467 3.149E-03 1.372E-02 3.614E-03 8.890E-03 3.762E-03 7.147E-03 4.950E-03 3.989E-03 3.385E-03 3.210E-04 3.210E-04
5 0,014635 3.499E-03 1.385E-02 3.623E-03 8.856E-03 3.784E-03 7.285E-03 4.961E-03 4.096E-03 3.434E-03 3.286E-04 3.286E-04
10 0,.014556 3.576E-03 1.372E-02 3.646E-03 8.831E-03 3.765E-03 7.400E-03 4.954E-03 4.087E-03 3.457E-03 3.298E-04 3.298E-04
25 0,014461 3.577E-03 1.356E-02 3.848E-03 8.720E-03 3.768E-03 6.873E-03 4.931E-03 4.070E-03 3.451E-03 3.284E-04 3.284E-04
50 0,013523 3.295E-03 1.337E-02 3.603E-03 8.158E-03 3.590E-03 6.826E-03 5.081E-03 4.032E-03 3.425E-03 3.237E-04 3.237E-04
75 0,014542 3.040E-03 1.308E-02 3.736E-03 8.516E-03 3.554E-03 6.796E-03 4.698E-03 3.960E-03 3.389E-03 3.180E-04 3.180E-04
100 0,013236 3.221E-03 1.277E-02 3.558E-03 8.326E-03 3.581E-03 6.701E-03 4.745E-03 3.889E-03 3.327E-03 3.145E-04 3.145E-04
200 0,014609 3.186E-03 1.300E-02 3.596E-03 8.437E-03 3.743E-03 6.917E-03 4.823E-03 3.978E-03 3.448E-03 3.289E-04 3.289E-04
400 0,.014162 3.230E-03 1.283E-02 3.595E-03 8.403E-03 3.703E-03 6.856E-03 4.813E-03 3.952E-03 3.434E-03 3.296E-04 3.296E-04
600 0,014335 3.195E-03 1.273E-02 3.562E-03 8.363E-03 3.746E-03 6.876E-03 5.184E-03 3.950E-03 3.418E-03 3.270E-04 3.270E-04
800 0,014181 3.188E-03 1.270E-02 3.533E-03 8.298E-03 3.703E-03 6.794E-03 5.123E-03 9.241E-03 3.379E-03 3.250E-04 3.250E-04
1000 0,.014240 3.177E-03 1.259E-02 3.558E-03 8.225E-03 2.714E-03 6.754E-03 5.110E-03 8.928E-03 3.361E-03 3.231E-04 3.231E-04
2500 0,014421 3.224E-03 1.215E-02 3.534E-03 7.777E-03 3.832E-03 6.666E-03 5.148E-03 7.115E-03 3.368E-03 3.270E-04 3.270E-04
5000 0,014557 3.197E-03 1.199E-02 3.522E-03 7.635E-03 3.796E-03 6.583E-03 5.053E-03 6.854E-03 3.341E-03 3.241E-04 3.241E-04
7500 0,014619 3.123E-03 1.184E-02 3.562E-03 7.541E-03 3.868E-03 6.467E-03 5.031E-03 6.229E-03 3.299E-03 3.202E-04 3.202E-04
10000 0,014722 3.267E-03 1.159E-02 3.543E-03 7.415E-03 3.936E-03 4.884E-03 5.067E-03 5.608E-03 3.042E-03 3.134E-04 3.134E-04
25000 0,015808 3.203E-03 9.265E-03 3.628E-03 7.793E-03 3.986E-03 4.933E-03 5.159E-03 3.388E-03 3.210E-03 3.300E-04 3.300E-04
50000 0,016380 3.213E-03 8.870E-03 3.565E-03 7.785E-03 3.974E-03 4.856E-03 5.128E-03 3.386E-03 3.206E-03 3.281E-04 3.281E-04
75000 0,016747 3.183E-03 8.840E-03 3.620E-03 7.733E-03 3.950E-03 4.817E-03 5.107E-03 3.153E-03 3.191E-03 3.282E-04 3.282E-04
f S/cm) S/cm) S/cm) S/cm) S/cm) S/cm) S/cm) S/cm) S/cm) S/cm) S/cm) S/cm) 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300
0.1 0.13090 0.00039 0.00174 0.00045 0.00116 0.00047 0.00085 0.00063 0.00047 0.00040 0.00004 0.00004
0.5 0.13090 0.00041 0.00174 0.00047 0.00115 0.00049 0.00093 0.00065 0.00052 0.00044 0.00004 0.00004
1 0.13090 0.00041 0.00180 0.00047 0.00116 0.00049 0.00094 0.00065 0.00052 0.00044 0.00004 0.00004
5 0.13090 0.00046 0.00181 0.00047 0.00116 0.00050 0.00095 0.00065 0.00054 0.00045 0.00004 0.00004
10 0.13090 0.00047 0.00180 0.00048 0.00116 0.00049 0.00097 0.00065 0.00053 0.00045 0.00004 0.00004
25 0.13090 0.00047 0.00177 0.00050 0.00114 0.00049 0.00090 0.00065 0.00053 0.00045 0.00004 0.00004
50 0.13090 0.00043 0.00175 0.00047 0.00107 0.00047 0.00089 0.00067 0.00053 0.00045 0.00004 0.00004
75 0.13090 0.00040 0.00171 0.00049 0.00111 0.00047 0.00089 0.00061 0.00052 0.00044 0.00004 0.00004
100 0.13090 0.00042 0.00167 0.00047 0.00109 0.00047 0.00088 0.00062 0.00051 0.00044 0.00004 0.00004
200 0.13090 0.00042 0.00170 0.00047 0.00110 0.00049 0.00091 0.00063 0.00052 0.00045 0.00004 0.00004
400 0.13090 0.00042 0.00168 0.00047 0.00110 0.00048 0.00090 0.00063 0.00052 0.00045 0.00004 0.00004
600 0.13090 0.00042 0.00167 0.00047 0.00109 0.00049 0.00090 0.00068 0.00052 0.00045 0.00004 0.00004
800 0.13090 0.00042 0.00166 0.00046 0.00109 0.00048 0.00089 0.00067 0.00121 0.00044 0.00004 0.00004
1000 0.13090 0.00042 0.00165 0.00047 0.00108 0.00036 0.00088 0.00067 0.00117 0.00044 0.00004 0.00004
2500 0.13090 0.00042 0.00159 0.00046 0.00102 0.00050 0.00087 0.00067 0.00093 0.00044 0.00004 0.00004
5000 0.13090 0.00042 0.00157 0.00046 0.00100 0.00050 0.00086 0.00066 0.00090 0.00044 0.00004 0.00004
7500 0.13090 0.00041 0.00155 0.00047 0.00099 0.00051 0.00085 0.00066 0.00082 0.00043 0.00004 0.00004
10000 0.13090 0.00043 0.00152 0.00046 0.00097 0.00052 0.00064 0.00066 0.00073 0.00040 0.00004 0.00004
25000 0.13090 0.00042 0.00121 0.00047 0.00102 0.00052 0.00065 0.00068 0.00044 0.00042 0.00004 0.00004
50000 0.13090 0.00042 0.00116 0.00047 0.00102 0.00052 0.00064 0.00067 0.00044 0.00042 0.00004 0.00004
75000 0.13090 0.00042 0.00116 0.00047 0.00101 0.00052 0.00063 0.00067 0.00041 0.00042 0.00004 0.00004
frek 0,1 0.00000 0.02000 0.04000 0.06000 0.08000 0.10000 0.12000 0.14000
80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300
T (K) K onduk ti v it a s
frek 0,1
frek 0.5 0.00000 0.02000 0.04000 0.06000 0.08000 0.10000 0.12000 0.14000
80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300
T (K) K onduk ti v it<