BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work-Familly Conflict)
2.1.1.1 Pengertian Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work-Familly Conflict)
Terdapat beberapa pengertian Work-Familly Conflict menurut para ahli,
diantaranya yaitu:
1. Menurut Greenhaus & Bautell (1985), Work-Familly Conflict adalah
bentuk konflik peran dimana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga secara
mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal.
2. Frone, Russel & Cooper (1992) mendefinisian konflik pekerjaan-keluarga
(Work-Familly Conflict) yang terjadi pada karyawan, dimana satu sisi ia
harus melakukan pekerjaan di kantor dan di satu sisi lain harus
memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan antara
pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. 3. Menurut Ching dalam Rantika dan Sunjoyo (2010) Work-Familly Conflict
(konflik pekerjaan-keluarga) adalah bentuk konflik peran dimana tuntutan
peran dari pekerjaan dan keluarga tidak dapat disejajarkan dalam beberapa
hal.
Berdasarkan beberapa definisi tentang Work-Familly Conflict diatas dapat disimpulkan bahwa Work-Familly Conflict adalah terjadinya konflik pada individu
yang memiliki peran ganda antara peran dalam pekerjaan dan peran dalam
2.1.1.2 Jenis-jenis Work-Familly Conflict
Greenhaus dan Bautel (1985) mengidentifikasikan tiga jenis konflik
pekerjaan-keluarga, yaitu:
1. Time-based conflict merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan dapat berasal dari keluarga maupun dari
pekerjaan yang dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan
lainnya.
2. Strain-based conflict, terjadi pada saat tekanan salah satu peran mempengaruhi peran yang lainnya.
3. Behavior-based conflict, berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (pekerjaan dan
keluarga).
Konflik pekerjaan-keluarga terbagi dalam 3 bagian, yaitu:
1. Job-spouse conflict: konflik antara tuntutan pekerjaan dengan tuntutan pasangan.
2. Job-parent conflict: konflik antara tuntutan pekerjaan dengan tuntutan dari fungsi pemeliharaan anak.
3. Job-homemaker conflict: konflik antara tuntutan pekerjaan dengan tuntutan dari tanggung jawab yang berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga.
1. Work Interfering With The Familly (WIF) merupakan konflik yang muncul ketika peran pekerjaan mengganggu peran seseorang dalam keluarga. 2. Familly Interfering With The Work (FTW) merupakan konflik yang muncul
ketika peran seseorang dalam keluarga mengganggu peran dalam
pekerjaan.
2.1.1.3 Prediktor Antara Konflik Pekerjaan-Keluarga
Menurut Ahmad (2008:60), terdapat prediktor dari work-familly conflict yang dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Faktor terkait pekerjaa, yaitu: a. Tipe pekerjaan
Karyawan profesional yang berada pada posisi manajerial dan tingkat atas
lainnya lebih berpotensi mengalami konflik antara pekerjaan-keluarga daripada
karyawan yang berada dilini bawah lainnya. Hal ini disebabkan karena karyawan
profesional pada posisi manajer biasanya memiliki tugas dan tanggung jawab
yang lebih besar dari pada karyawan lainnya, sehingga lebih berpotensi
mengalami konfik pekerjaan-keluarga.
b. Komitmen waktu kerja
Salah satu yang menjadi tolak ukur konflik antara pekerjaan-keluarga adalah
berbasis pada waktu. Konflik antara pekerjaan-keluarga akan terjadi ketika
sebagian besar waktu yang karyawan miliki hanya dihabiskan untuk memenuhi
satu peran dalam pekerjaan. Waktu berjam-jam yang digunakan karyawan untuk
memenuhi peran dalam pekerjaan akan menjadi konsekuensi negatif bagi
c. keterlibatan kerja
Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dalam peran pekerjaan akan membuat
karyawan menjadi semakin sibuk sehingga karyawan hanya akan menghabiskan
waktu hanya pada pekerjaan mereka dengan menyampingkan peran di dalam
keluarga, sehingga terjadilah konflik pekerjaan-keluarga.
d. Peran yang berlebihan
Ketika karyawan mengalami beban kerja berlebih sehingga menghabiskan
waktu dan energi yang terlalu besar pada perannya dalam pekerjaan, maka
karyawan akan mudah mengalami kelelahan emosional. Kelelahan emosional
yang dialami karyawan inilah yang akan memicu terjadinya konflik antara
pekerjaan-keluarga.
e. Fleksibilitas kerja
Mencegah terjadinya konflik antara pekerjaan-keluarga dengan mengatur
jadwal kerja secara fleksibel akan membantu membuat peran pekerjaan dan peran
keluarga menjadi sedikit seimbang.
2. Faktor terkait keluarga, yaitu: a. Jumlah anak
Semakin banyak anak yang karyawan miliki, maka akan semakin besar
tanggung jawab dan waktu yang akan dibutuhkan karyawan untuk dapat berada
b. Tahap siklus hidup
Karyawan yang memiliki anak balita akan lebih rentan mengalami konflik
antara pekerjaan-keluarga daripada karyawan yang memiliki anak diatas umur 5
tahun atau bahkan remaja. Hal ini disebabkan karena, anak balita membutuhkan
perawatan dan pengawasan yang ketat dari orang tuanya sehingga lebih menyita
waktu karyawan agar dapat berada dirumah.
c. Keterlibatan keluarga
Karyawan yang lebih terlibat atau tenggelam dalam domain keluarga akan
lebih mudah mengalami konflik antara pekerjaan-keluarga. Contohnya, karyawan
yang tidak dapat berhenti memikirkan anaknya yang sedang sakit meskipun harus
bekerja dan memenuhi tanggung jawabnya. Hal ini membuat karyawan menjadi
tidak fokus dalam menjalankan tugas pekerjaannya.
d. Pengaturan perawatan anak
Kualitas pengaturan perawatan anak menjadi hal yang sangat penting untuk
dipikirkan bagi para orang tua yang bekerja, agar kepentingan anak menjadi
kebutuhan yang sama pentingnya dengan kualitas kerja orang tua sehingga patut
untuk dapat diseimbangkan.
3. Faktor terkait individu, yaitu: a. Nilai peran
Nilai peran individu menjadi hal yang sangat penting untuk dapat mengatur
menyeimbangkan peran-peranya, memprioritaskan peran kehidupan mereka, dan
apa saja yang menjadi kepentingannya.
b. Orientasi peran gender
Adanya pandangan tradisional tentang tuntutan dan tanggung jawab yang
berbeda antara karyawan laki-laki dan karyawan perempuan akan membuat
karyawan perempuan menjadi lebih rentan dalam mengalami konflik antara
pekerjaan-keluarga.
c. Locus of control
Locus of control lebih mengacu pada faktor kepribadian seseorang, dimana seseorang akan memilih dimana tempat yang cocok agar dapat lebih efektif.
d. Perfeksionisme
Hal ini lebih didasarkan pada perasaan yang ingin menyempurnakan setiap
pekerjaan mereka sehingga menghabiskan sebagian besar waktu dan energinya
untuk pekerjaanya.
2.1.1.4 Indikator Konflik Pekerjaan-Keluarga
Menurut Netemeyer (1996:401), indikator-indikator konflik antara
pekerjaan-keluarga adalah:
1. Tekanan kerja
Tekanan kerja berkaitan dengan tekanan dari beberapa peran saling
kerja dan tanggung jawab dari peran dalam pekerjaan membuat seseorang menjadi
lebih sulit untuk menjalankan peran lainnya.
2. Banyaknya tuntutan tugas
Tuntutan umum dalam peran pekerjaan meliputi tanggung jawab, tugas, dan
komitmen. Untuk memenuhi tuntutan umum dalam peran pekerjaan ini membuat
seseorang mengkhususkan sejumlah waktunya hanya untuk pekerjaan, sehingga
mengabaikan perannya dalam keluarga.
3. Sibuk dengan pekerjaan
Banyaknya tuntutan tugas membuat seseorang lebih menghabiskan
waktunya untuk dapat lebih berdedikasi terhadap pekerjaanya. Hal ini
mengakibatkan pekerja lebih senang menghabiskan waktunya untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban dalam pekerjaanya.
4. Kurangnya kebersamaan keluarga
Waktu yang lebih banyak dihabiskan seorang pekerja untuk memenuhi dan
menyempurnakan tugas dan tanggung jawabnya dalam pekerjaan, membuat
pekerja mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya dalam keluarga.
5. Konflik komitmen dan tanggung jawab terhadap keluarga
Seseorang yang berdedikasi dalam pekerjaanya akan meenentukan seberapa
pekerjaan, akan membuat pekerja semakin sulit untuk menyeimbangkan tanggung
jawab perannya dalam keluarga.
2.1.2 Stres Kerja
2.1.2.1 Pengertian Stres Kerja
Terdapat beberapa pengertian stres kerja menurut para ahli, diantaranya
yaitu:
1. Menurut Ivancevich dan Matteson dalam Luthans (2006:442), stres
diartikan sebagai interaksi individu dengan lingkungan, tetapi kemudian
diperinci lagi menjadi respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan
individu dan atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi tindakan,
situasi, atau kejadian ekternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan
psikologis dan atau fisik secara berlebihan pada seseorang.
2. Menurut Beehr dan Newman dalam Luthans (2006:442) mendefinisikan
stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan
pekerjaan serta dikarakteristikan oleh perubahan manusia yang memaksa
mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka.
3. Menurut Cooper (1994) dalam Waluyo (2013:91) stres didefinisikan
sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai
tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi
batas kemampuan subjek.
4. Menurut Selye (1956) dalam Waluyo (2013:92) stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stresor kerja yang menyebabkan reaksi individu
Dari beberapa pengertian tentang stres, secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa stres merupakan suatu respon individu terhadap kondisi
lingkungan eksternal yang berupa peluang, kendala (contraints), atau tuntutan
(demands), yang menghasilkan respon psikologis dan respon fisiologis, sehingga
bisa berakibat pada penyimpangan fungsi normal atau pencapaian terhadap
sesuatu yang sangat diinginkan dan hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan
penting.
2.1.2.2 Penyebab Stres Kerja
Penyebab stres kerja tidak hanya disebabkan oleh satu faktor penyebab
saja, namun stres bisa saja terjadi karena penggabungan dari beberapa sebab
sekaligus. Seperti pendapat dari Luthans (2006:443) bahwa penyebab stres ada
beberapa faktor, yaitu:
1. Stresor Ekstraorganisasi
Yaitu penyebab stres yang berasal dari luar organisasi. Penyebab stres ini
dapat terjadi pada organisasi yang bersifat terbuka, yakni keadaan lingkungan
eksternal mempengaruhi organisasi. Misalnya perubahan sosial dan teknologi,
globalisasi, keluarga, dan lain-lain.
2. Stresor Organisasi
Yaitu penyebab stres yang berasal dari dalam organisasi tempat karyawan
bekerja. Penyebab ini lebih memfokuskan pada kebijakan atau peraturan
3. Stresor Kelompok
Yaitu penyebab stres yang berasal dari kelompok kerja yang setiap hari
berinteraksi dengan karyawan, misalnya rekan kerja atau supervisor atau atasan
langsung dari karyawan.
4. Stresor Individual
Yaitu penyebab stres yang berasal dari individu yang ada dalam organisasi.
Misalnya seorang karyawan lainnya, sehingga menimbulkan tekanan tersendiri
ketika karyawan tersebut menjalankan tugas dalam organisasi tersebut.
Menurut Handoko (2001) faktor yang mempengaruhi stres kerja adalah
segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan, yang bisa menimbulkan stres
pada karyawan. Hal-hal yang bisa menimbulkan stres yang berasal dari beban
pekerjaan antara lain:
a. Beban kerja yang berlebihan. b. Tekanan atau desakan waktu. c. Kualitas supervisi yang jelek. d. Iklim politis yang tidak aman.
e. Umpan balik tentang pelaksanaan kerjayang tidak memadai.
f. Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab. g. Kemenduaan peran (role ambiguity).
h. Frustasi.
i. Konflik antar pribadi dan antar kelompok.
j. Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan. k. Berbagai bentuk perubahan.
2.1.2.3 Jenis-jenis Stres Kerja
Quick dan Quick (1984) dalam waluyo (2013:92) mengkategorikan stres
1. Eustres, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk
kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan
pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance
yang tinggi.
2. Distres, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk
konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular
dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan
dengan keadaan sakit, penurunan dan kematian.
2.1.2.4 Dampak Stres Kerja
Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun
perusahaan. Arnold (1986) dalam waluyo (2013:94) menyebutkan bahwa ada
empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh
individu, yaitu:
1) Terganggunya kesehatan fisik. Stres yang dialami oleh seseorang akan
merubah cara kerja sistem kekebalan tubuh. Penurunan respon antibodi
tubuh disaat mood sedang negatif dan akan meningkat naik pada saat
mood seseorang sedang positif. Banyak sudah penelitian yang menemukan adanya kaitan sebab-akibat antara stres dan penyakit, seperti jantung,
gangguan pencernaan, darah tinggi, maag, alergi, dan beberapa penyakit
lainnya.
2) Terganggunya kesehatan psikis. Stres berkepanjangan akan menyebabkan
3) Kinerja terganggu. Pada tingkat kerja yang tinggi ataupun ringan akan
membuat menurunkan kinerja karyawan. Banyak karyawan yang tidak
masuk kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan yang tidak selesai
pada waktunya entah karena kelambanan ataupun karena banyaknya
kesalahan yang berulang.
4) Mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan. Seseorang yang
mengalami stres dalam bekerja tidak akan mampu menyelesaikan
pekerjaan dengan baik.
2.1.3 Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion)
2.1.3.1 Pengertian Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion)
Terdapat beberapa pengertian kelelahan emosional (emosional exhaustion) menurut para ahli, diantaranya yaitu:
1. Maslach dan Jackson (1981:101) mendefinisikan kelelahan emosional
sebagai kelelahan emosi yang terjadi ketika timbul perasaan tertekan dan
kelelahan yang diakibatkan suatu pekerjaan, yang ditantadai dengan
kehabisan sumber daya emosional dan kekurangan energi.
2. Suminar dan Yulianti (2013:164) memandang kelelahan emosional sebagai
kelelahan yang timbul karena seseorang yang bekerja terlalu intens,
berdedikasi, dan berkomitmen pada pekerjaannya, sehingga bekerja terlalu
banyak dengan waktu yang lama sehingga mereka mengesampingkan
kebutuhan dan keinginan (keluarga) dan menimbulkan perasaan tertekan. 3. Ahmad (2010:269) kelelahan emosinal adalah kelelahan yang disebabkan
oleh menipisnya sumber daya atau energi dan waktu yang diakibatkan
peran yang berlebihan sehingga seseorang tidak dapat melakukan peran
Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa kelelahan emosional (emotional exhaustion) adalah kelelahan yang terjadi
ketika karyawan dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang berlebihan dan tidak
dapat mengelola antara peran dan konflik yang terjadi pada pekerjaan dan
keluarga.
2.1.3.2 Aspek Kelelahan Emosional
Menurut Maslach dkk (2001:404) terdapat 3 aspek dalam kelelahan
emosional, yaitu:
1. Fisik
Fisik individu ditandai dengan meningkatnya detak jantung dan tekanan
darah, gangguan lambung, gangguan pernafasan, lebih sering berkeringat, kepala
pusing, kanker, ketegangan otot dan susah tidur.
2. Emosi
Emosi terdapat di dalam komponen afektif manusia. Kelelahan dalam emosi
yaitu: mudah lupa, sulit berkonsentrasi, mudah menangis, mengalami kebosanan,
tidak percaya diri, mudah putus asa, mudah cemas, gelisah, sulit beradaptasi,
mengurung diri, mudah marah dan kesepian.
3. Mental
Mental merupakan kelelahan yang berupa kecemasan, ketegangan, bingung,
kesepian, depresi, dan mengasingkan diri, ketidak puasan kerja, lelah mental,
menurunnya fungsi intelektual, kehilangan semangat hidup, serta menurunnya
harga diri dan rasa percaya diri.
2.1.3.3 Karakteristik Kelelahan Emosional
Menurut Maslach dan Jackson (1981:105) karakteristik yang
mempengaruhi kelelahan emosional adalah:
1. Terganggunya secara fisik
Ditandai dengan gangguan secar fisik seperti: kepala terasa pusing, lemas,
lesu, sulit tidur, tidak nafsu makan, tekanan darah, gangguan lambung, ketegangan
otot.
2. Terganggu secara Psikologis
Ditandai dengan turunnya kepercayaan diri, mudah frustasi, mudah
gugup, putus asa dan penurunan pencapaian pribadi.
3. Terganggu secara sosial
Ditandai dengan komunikasi tidak efektif, mengurung diri, kesepian,
tidak perduli dengan keadaan sekitar, dan mengasingkan diri.
2.1.3.4 Indikator yang Mempengaruhi Kelelahan Emosional
Menurut Maslach dan Jakson (1981:108) indikator yang mempengaruhi
1. Terganggunya secara emosional
Ditandai dengan habisnya sumber daya (waktu dan energi), tidak dapat
berkonsentrasi, susah berpikir, cenderung untuk lupa, tidak tekun dalam
pekerjaanya, kepercayaan diri berkurang dan sulit mengontrol sikap.
2. Merasa lelah pada akhir hari kerja
Disebabkan karena terlalu berat beban kerja dihari kerja sehingga karyawan
kurang beristirahat dan merasakan dampaknya pada akhir hari kerja.
3. Merasa lelah ketika bangun dipagi hari
Ditandai dengan adanya rasa nyeri di punggung, nyeri pada anggota badan,
kaku pada kelopak mata dikarenakan kurangnya waktu untuk istirahat.
4. Tertekan ketika menghadapi pekerjaan
Ditandai dengan perasaan tidak percaya diri, lebih mengurung diri dan
perasaan gugup.
5. Merasa lelah ketika menghadapi jadwal kerja
Ditandai dengan perasaan cemas saat memulai pekerjaan, lesu, kurang
semangat dan kurang bergairah.
6. Merasa frustasi ketika bekerja.
Ditandai dengan emosi yang kurang stabil, tidak dapat menyelesaikan tugas
7. Merasa telah bekerja terlalu keras
Ditandai dengan sikap menunda pekerjaan, merasa enggan menyelesaikan
tugas tepat waktu.
8. Merasa sudah pada batasnya
Ditandai dengan sikap yang cenderung untuk bermalas-malasan, kurang
perduli dengan keadaan sekitar dan cenderung mengurung diri.
2.1.4 Komitmen Organisasional (Organizational Commitment)
2.1.4.1 Pengertian Komitmen Organisasional (Organizational Commitment)
Terdapat beberapa pengertian komitmen organisasional menurut para ahli,
diantaranya yaitu:
1. Henkin & Marchiori (2004: 353) mendefinisikan komitmen organisasional
sebagai perasaan karyawan yang memaksa mereka untuk menjadi bagian
dari organisasi mereka dan mengakui tujuan, nilai, norma dan standar etika
di suatu organisasi.
2. Robbins (dalam Majorsy, 2007:64) menyatakan komitmen organisasional
sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu
organisasi tertentu serta berniat memelihara keanggotaanya dalam
organisasi tersebut.
3. Noe (2000:364) komitmen organisasional adalah tingkatan dimana
seseorang memposisikan dirinya pada organisasi dan kemauan untuk
4. Mahis dan Jackson (dalam Sopiah 2008:155) memberikan defininisi,
komitmen organisasional adalah derajat yang mana karyawan percaya dan
menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan
meninggalkan organisasi.
Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa komitmen organisasional adalah suatu kondisi dimana loyalitas karyawan
dibuktikan dengan berusaha tetap bertahan bersama organisasi yang ditempati dan
memberikan usaha yang terbaik untuk mencapai tujuan dan nilai organisasi.
2.1.4.2 Bentuk Komitmen Organisasional
Menurut Meyer, dkk (1998) mengemukakan tiga komponen komitmen
organisasional, yaitu:
1. Affective commitment, terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional.
2. Continuance commitment, muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan lain, atau
karena tidak menemukan pekerjaan lain.
3. Normative commitment, timbul dari nilai-nilai dalam diri karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota organisasi karena adanya kesadaran
bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang seharusnya
dilakukan.
Menurut David (1997) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi
komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:
1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pengalaman kerja, kepribadian, dll.
2. karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan,
konflik, peran, tingkat kesulitan dalam pekerjaan, dll.
3. Karakteristik struktur, misalnya besar/kecilnya organisasi, bentuk
organisasi (sentralisasi/desentralisasi), kehadiran serikat pekerja.
4. Pengalaman kerja, pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh
terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi.
2.1.5 Kinerja Karyawan
2.1.5.1 Pengertian Kinerja Karyawan
Terdapat beberapa pengertian Kinerja menurut para ahli, diantaranya yaitu:
1. Mangkunegara (2005:9) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh seseorang pegawai dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya.
2. Wibowo (2007) Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil
yang dicapai dari pekerjaan itu, tentang apa yang dikerjakan dan
bagaimana cara mengerjakan. Kinerja merupakan suatu prestasi kerja yang
tidak terlepas dari proses pelaksanaan pekerjaan.
3. Hasibuan (2001) kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang
kepada karyawan yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman,
kesungguhan dan waktu.
4. Brahmasari (2008:128) kinerja adalah pencapaian atas tujuan organisasi
yang dapat berbentuk output kuantitatif dan kualitatif, kreatifitas,
fleksibilitas, dapat diandalkan, atau hal-hal lain.
5. Simamora (2004:2009) kinerja adalah tingkatan dimana para karyawan
mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan. Kinerja mengacu pada kadar
pencapaian tugas-tugas yang membentuk sebuah pekerjaan karyawan.
Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang atau kelompok orang
sesuai dengan wewenang/tanggung jawab masing-masing karyawan selama
periode tertentu.
2.1.5.2 Karakteristik Karyawan yang memiliki Kinerja Yang Tinggi
Sebuah studi tentang kinerja menemukan beberapa karakteristik karyawan
yang memiliki kinerja tinggi. Mink dalam (Rahardjo:2005) Menyebutkan
beberapa karakteristik karyawan yang memiliki kinerja yang tinggi, meliputi:
1. Berorientasi Pada Prestasi
Karyawan yang memiliki kinerja yang tinggi, keinginan yang kuat
membangun sebuah mimpi tentang apa yang mereka inginkan untuk dirinya.
2. Percaya Diri
Karyawan yang kinerja tinggi memiliki sikap mental positif yang
3. Pengendalian Diri
Karyawan yang yang memiliki kinerja yang tinggi mempunyai rasa percaya
diri yang sangat mendalam.
4. Kompetensi
Karyawan yang kinerjanya tinggi telah mengembangkan kemampuan
spesifik atau kompetensi berprestasi dalam daerah pilihan mereka.
5. Persisten
Karyawan yang kinerjanya tinggi mempunyai piranti kerja, didukung oleh
suasana psikologis, dan pekerja keras terus-menerus.
2.1.5.3 Indikator Kinerja
Sebuah organisasi didirikan tentunya dengan suatu tujuan tertentu.
Sementara tujuan itu sendiri tidak sepenuhnya akan dapat dicapai jika karyawan
tidak memahami tujuan dari pekerjaan yang dilakukannya. Artinya, pencapaian
tujuan dari setiap pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan akan berdampak
secara menyeluruh terhadap tujuan organisasi. Oleh karena itu, seorang karyawan
harus memahami indikator-indikator kinerja sebagai bagian dari pemahaman
terhadap hasil akhir dari pekerjaanya.
Sementara itu, dalam kaitannya dengan indikator kinerja karyawan,
simamora (1995) mengemukakan bahwa kinerja karyawan dapat diukur dengan
1. Kualitas Kerja, yaitu meliputi jumlah produksi kegiatan yang dihasilkan. 2. Kuantitas Kerja, yaitu berlaku sebagai standar proses pelaksanaan kegiatan
rencana organisasi.
3. Ketepatan waktu penyelesaian pekerjaan, yaitu pemenuhan kesesuaian
waktu yang dibutuhkan atau diharapkan dalam pelaksanaan kegiatan.
Indikator-indikator kinerja karyawan sebagaimana disebutkan diatas
memberikan pengertian bahwa pekerjaan yang dilakukan karyawan dilandasi oleh
ketentuan-ketentuan dalam organisasi. Disamping itu, karyawan juga harus
mampu melaksanakan pekerjaanya secara benar dan tepat waktu.
2.1.5.4 Fator-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Para pemimpin organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja
antara satu karyawan dengan karyawan lainnya berada di bawah pengawasannya.
Walaupun karyawan-karyawan bekerja pada tempat yang sama namun
produktivitas mereka tidaklah sama. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
karyawan menurut Mangkuprawira dan Hubeis (2007:153) terdiri dari:
1. Faktor intrinsik
Faktor personal atau individual, yaitu pengetahuan, ketrampilan (skill),
kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki oleh setiap
individu karyawan.
2. Faktor ekstrinsik
a. Faktor kepemimpinan, meliputi aspek mutu manajer dan team leader
dalam memberikan dorongan, semangat arahan dan dukungan kerja pada
b. Faktor tim, meliputi aspek dukungan dan semangat yang diberikan oleh
rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim,
kekompakan dan keeratan anggota lain.
c. Faktor sistem, meliputi sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang
diberikan oleh proses organisasi dan kultur kerja dalam organisasi.
d. Faktor situasional, meliputi tekanan dan perubahan lingkungan internal
dan eksternal.
Gibson (2002:56), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja karyawan adalah sebagai berikut:
1. Atribut individu
Dengan adanya berbagai atribut yang melekat pada individu dan dapat
membedakan individu yang satu dengan yang lainnya. Faktor ini merupakan
kecakapan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas yang telah ditentukan,
terdiri dari:
a) Karakteristik demografi. Misalnya: umur, jenis kelamin, dan lain-lain. b) Karakteristik kompetensi. Misalnya: bakat, kecerdasan, kemampuan,
keterampilan, dan sebagainya.
c) Karakteristik psikologi. Misalnya: nilai-nilai yang dianut seperti sikap dan
perilaku.
2. Kemapuan untuk bekerja.
Dengan berbagai atribut yang melekat pada individu untuk menunjukan
adanya kesempatan yang sama untuk mencapai suatu prestasi. Untuk mencapai
kinerja yang baik diperlukan usaha dan kemauan untuk bekerja keras, karena
individu yang dapat memicu usaha kerja yang lebih terarah dalam melakukan
suatu pekerjaan.
3. Dukungan organisasi
Dalam mencapai tujuan karyawan yang tinggi diperlukan adanya dukungan
atas kesempatan dari organisasi/perusahaan. Hal ini untuk mengantisipasi
keterbatasan baik dari karyawan maupun dari perusahaan. Misalnya: perlengkapan
dan kelengkapan kejelasan dalam memberikan informasi.
2.1.6 Kepuasan Kerja
2.1.6.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Terdapat beberapa pengertian kepuasan kerja menurut para ahli,
diantaranya yaitu:
1. Robbins dan Timothy (2009:107) kepuasan kerja dapat didefinisikan
sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang
merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya.
2. Rivai (2012) kepuasan kerja adalah penilaian dari pekerja tentang
seberapa jauh pekerjaanya secara keseluruhan memuaskan
kebutuhannya. Kepuasan kerja juga adalah sikap umum yang
merupakan dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor
pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individu.
3. Waluyo (2013:2013) kepuasan kerja merupakan suatu sikap yang
positif yang menyangkut penyesuaian diri yang sehat dari para
karyawan terhadap kondisi dan situasi kerja, termasuk di dalamnya
4. Dipboye dalam munandar (2012:350) memandang kepuasan kerja
sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya
tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaanya.
5. Blum dalam As’ad (1995:104) kepuasan kerja adalah sikap umum
yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap
faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individu diluar
kerja.
Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa kepuasan kerja adalah hal positif yang dirasakan karyawan mengenai
pekerjaanya, yang akan ditunjukkan dengan sikap timbal balik karyawan kepada
perusahaan.
2.1.6.2 Aspek-aspek kepuasan kerja
Faktor-faktor kepuasan kerja menurut Blum (1956) dalam As’ad
(1995:112) adalah sebagai berikut:
1. Faktor individu seperti: umur, kesehatan, watak dan harapan.
2. Faktor sosial seperti hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat,
kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerjaan, kebebasan
berpolitik dan hubungan kemasyarakatan.
3. Faktor utama dalam pekerjaan seperti: upah, pengawasan, ketentraman
dalam kerja, kondisi kerja, kesempatan untuk maju, penghargaan terhadap
kecakapan, hubungan sosial, didalam pekerjaan, ketepatan dalam
menyelesaikan konflik antar manusia dan perasaan diperlukan adil dan
Banyak faktor yang dapat menjadi penentu bagi kepuasan pegawai, salah
satunya adalah pekerjaan itu sendiri. Hackman dan Oldham (1976) dalam Robbins
(2006), inti dari kepuasan kerja adalah sebagai berikut:
1. Skill Varienty, semakin banyak variasi tugas yang dilakukan oleh pegawai dalam pekerjaanya, semakin menantang pekerjaan bagi mereka.
2. Task Identity, sejauh mana pekerjaan menuntut diselesaikannya suatu pekerjaan yang utuh dan dapat dikenali.
3. Task Significane, besarnya dampak pekerjaan yang dilakukan dapat mempengaruhi pekerjaan atau bahkan kehidupan orang lain. Hal ini akan
membawa dampak penghargaan psikologis.
4. Autonomy, sejauh mana pekerjaan memberi kebebasan, ketidak-ketergantungan, dan keleluasaan untuk mengatur jadwal pekerjaannya,
membuat keputusan dan menentukan prosedur pekerjaan yang dipakai. 5. Feedback, sejauh mana pelaksanaan kegiatan pekerjaan menghasilkan
informasi bagi individu mengenai keefektifan kinerjanya. Kepuasan kerja
pegawai dipengaruhi oleh tanggapan terhadap nilai intrinsic dan extrinsic
reward. Yang dimaksud dengan nilai extrinsic reward yaitu timbulnya suatu perasaan dalam diri pegawai karena pekerjaan yang dilakukan.
Menurut Rivai (2004:475) teori mengenai kepuasan kerja terdiri dari tiga
macam:
1. Teori ketidaksesuaian (discrepancy theory)
Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih
antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga
menjadi lebih puas lagi, sehingga terdapat discrepancy, tetapi merupakan
discrepancy yang positif. Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai.
2. Teori keadilan (equity theory)
Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas,
tergantung pada ada atau tidaknya keadilan dalam suatu situasi, khususnya situasi
kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil,
keadilan, dan ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi karyawan yang
dianggap mendukung pekerjaanya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan,
jumlah tugas dan peralatan atau perlengkapan yang dipergunakan untuk
melaksanakan pekerjaanya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh
seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaanya, seperti: upah/gaji, keuntungan
sampingan, simbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil atau
aktualisasi diri. Sedangkan orang selalu membandingkan dapat berupa seseorang
di perusahaan yang sama, atau ditempat lain atau bisa pula dengan dirinya di masa
lalu.
3. Teori dua faktor (two factor theory)
Kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda.
Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang
kontinu. Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok
yaitu satisfies atau dissatisfies. Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang
menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan
memperoleh penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan
menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu
mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfies (hygiene factors) adalah faktor-faktor
yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: gaji/upah, pengawasan,
hubungan antar pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk
memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Jika tidak
terpenuhi faktor ini, karyawan tidak akan puas. Namun, jika besarnya faktor ini
memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan kecewa
meskipun belum terpuaskan.
Menurut Weiss et al., (1967) dalam Spector (2000), ada 20 (dua puluh) aspek
dari pekerjaan yang diukur untuk mengetahui kepuasan kerja yang dimiliki oleh
karyawan, adalah sebagai berikut:
1. Ability Utilizatian adalah kesempatan yang diperoleh karyawan untuk menggunakan semua kemampuan potensial yang dimilikinya untuk
bekerja di tempat kerja.
2. Activity adalah kesempatan yang dirasakan oleh karyawan untuk melakukan kesibukan setiap waktu sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan.
3. Achievment adalah kemampuan dari seorang karyawan untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan pekerjaan yang bersifat menantang.
5. Independence adalah kesempatan yang diperoleh karyawan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangannya sendiri dalam
menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan oleh atasannya.
6. Moral Values adalah kesempatan untuk melakukan hal-hal yang tidak bertentangan dengan paham yang dianut.
7. Responsibility adalah kewajiban dan kebebasan karyawan untuk melakukan pekerjaan tertentu atau melakukan pekerjaanya sendiri dari
atasan yang berwenang.
8. Security adalah indikasi-indikasi objektif yang menunjang rasa aman karyawan dalam melaksanakan pekerjannya, misalnya kestabilan
perusahaan, jaminan hari tua, dan lain-lain.
9. Creativity adalah keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul.
10.Social Service adalah perasaan karyawan terhadap kesempatan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain ditempat kerja baik fisik maupun
mental yang dapat mendorong semangat dan gairah karyawan untuk
bekerja.
11.Social Status adalah kesempatan untuk menjadi seseorang dalam masyarakat.
12.Variety adalah pelaksanaan pekerjaan aktual atau tugas-tugas dari pekerjaan, rutinitas atau variasi kerja, kreativitas, mudah atau sukarnya
pekerjaan yang dikerjakan.
13.Advancement adalah perubahan yang nampak secara objektif atau adanya situasi yang dirasakan karyawan untuk dapat mengembangkan
ketrampilan, profesi dan statusnya kearah yang lebih baik.
14.Company policy and practice adalah segala sesuatu yang menyangkut perusahaan, khususnya mengenai masalah-masalah kebijakan perusahaan
15.Compensation adalah gaji yang diterima karyawan.
16.Recognition adalah pengakuan yang diperoleh seseorang dalam bekerja meliputi penghargaan, pujian, dan perhatian baik dari atasan, teman
seprofesi, bawahan, klien, maupun masyarakat umum.
17.Supervision-human relation adalah cara pemimpin mengenai hubungan antar sesama karyawan.
18.Supervision-technical adalah teknik langsung yang digunakan oleh atasan untuk mengawasi karyawan dan melaksanakan pekerjaan.
19.Working Condition adalah semua aspek fisik kerja, psikologis kerja, dan peraturan kerja yang ada ditempat kerja.
20. Co-workers adalah kesempatan yang dimiliki oleh karyawan untuk bekerja sama dengan karyawan lainnya, sehingga mereka dapat bertukar pikiran