• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transformasi hujan menjadi limpasan, erosi, dan sedimentasi di sub das berhutan dan tidak berhutan (studi kasus di hutan pendidikan gunung walat, Sukabumi Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Transformasi hujan menjadi limpasan, erosi, dan sedimentasi di sub das berhutan dan tidak berhutan (studi kasus di hutan pendidikan gunung walat, Sukabumi Jawa Barat)"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

TRANSFORMASI HUJAN MENJADI LIMPASAN, EROSI,

DAN SEDIMENTASI DI SUB DAS BERHUTAN DAN

TIDAK BERHUTAN

(STUDI KASUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT,

SUKABUMI JAWA BARAT)

MARIA C. L. HUTAPEA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

MARIA C. L. HUTAPEA (E14052994). Transformasi Hujan menjadi Limpasan, Erosi, dan Sedimentasi di Sub DAS Berhutan dan Tidak Berhutan (Studi Kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Jawa Barat). Dibimbing oleh HENDRAYANTO.

Dampak perubahan penggunaan hutan di suatu DAS dicerminkan oleh perilaku hidrologi seperti perubahan laju aliran permukaan dan debit sungai, erosi dan sedimentasi. Penelitian transformasi hujan, erosi, dan sedimentasi akibat perubahan penggunaan lahan dipandang perlu sebagai upaya pengendalian aliran permukaan, erosi dan sedimentasi, serta banjir.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui transformasi hujan menjadi limpasan, laju erosi permukaan, dan muatan sedimen aliran sungai di Sub DAS berhutan (Sub DAS Cipeureu) dan tidak berhutan (Sub DAS Cibadak) serta mengetahui perbedaan hasil pendugaan erosi permukaan menggunakan pendekatan USLE dan persamaan SDR. Penelitian ini dilaksanakan di Sub DAS Cipeureu dan Sub DAS Cibadak pada bulan Mei sampai dengan 1 Agustus 2010. Data yang dikumpulkan berupa data curah hujan, data debit aliran sungai, data konsentrasi sedimen aliran, data sifat fisik tanah, data kemiringan lereng, data penggunaan lahan dan konservasi tanah, serta data batas wilayah Sub DAS yang masing-masing diperoleh dari stasiun curah hujan, didapat dengan cara pengambilan sampel air sungai, pengambilan sampel tanah dengan ring sample, analisis digital, dan studi literatur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluktuasi debit Sub DAS Cipeureu lebih kecil dibandingkan dengan Sub DAS Cibadak, hasil pendugaan erosi permukaan dengan metode USLE di Sub DAS Cibadak lebih besar dari Sub DAS Cipeureu, yaitu di Sub DAS Cibadak sebesar 2857,46 ton/ha/thn dan di Sub DAS Cipeureu sebesar 3,49 ton/ha/thn. Hasil pendugaan erosi dengan perhitungan laju sedimen dan SDR di Sub DAS Cipeureu yaitu sebesar 6,57 ton/ha/thn dan 3,43 ton/ha/thn, sedangkan di Sub DAS Cibadak sebesar 9,46 ton/ha/thn dan 6,36 ton/ha/thn.

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu Sub DAS berhutan mentransformasikan hujan menjadi limpasan sebesar 35%, laju sedimen relatif lebih kecil (0,0015 mm/hari), erosi permukaan sangat ringan (SR). Sedangkan Sub DAS tidak berhutan, mentransformasikan hujan menjadi limpasan sebesar 52%, laju sedimen 0,02 mm/hari, dan erosi permukaan termasuk kelas berat (B). Hasil pendugaan erosi permukaan menggunakan pendekatan USLE, yang dibandingkan dengan laju sedimen, dan hasil pendugaan menggunakan SDR cenderung overestimate.

(3)

SUMMARY

MARIA C. L. HUTAPEA (E14052994). Rainfall-Surface Run Off Transformation, Erosion, and Sedimentation in the Forested Watershed and non Forested (Case Study in Gunung Walat Education Forest, Sukabumi West Java). Under Supervision of HENDRAYANTO.

Land use changes impacts of a watershed could be showed by hydrological behaviors, such as surface run off and discharge changes, surface erosion and sedimentation changes. Researches related to rainfall transformation, erosion, and sedimentation in the different land uses are necessary as an effort to control surface run-off, erosion, sedimentation and flood.

The aim of this research is to know the differences of rainfall transformation, surface erosion, and sediment load of river in the forested watershed and non forested (bare land) watershed also to know the difference of USLE and SDR methods to estimate the soil loss (erosion). The research was conducted in Cipeureu sub watershed and Cibadak sub watershed in Sukabumi, West Java in the period of Mei-1 Agustus 2010. Collected data were daily rainfall, discharge, sediment concentration, physical soil properties, slope data, forest land use area and land conservation, also the data of boundaries of catchment area. The data were obtained from rainfall station, using ring samples for soil properties, digital analysis for slope, interview, and literature studies for additional data.

The research shows that discharge fluctuation of Cipeureu sub watershed is smaller than Cibadak sub watershed, the guess result of surface erosion with USLE method in Cibadak sub watershed is bigger than Cipeureu sub watershed, those are in Cibadak sub watershed is about 2857,46 ton/ha/year and in Cipeureu sub watershed is about 3,49 ton/ha/year. The guess result of erosion with sediment rate measurement and SDR in Cipeureu sub watershed is about 6,57 ton/ha/year and 3,43 ton/ha/year, while in Cibadak sub watershed is about 9,46 ton/ha/year and 6,36 ton/ha/year.

This research concludes that forest sub watershed transforms rainfall to surface run off is about 35%, sediment rate smaller (0,0015 mm/day), surface erosion is in the very small class. While non forest sub watershed transforms rainfall to surface run off is about 52%, sediment rate is about 0,02 mm/day, and surface erosion is in the heavy class. Besides, the guess result of surface erosion using USLE method, that compared with sediment rate, and guess result using SDR approach is overestimate.

(4)

TIDAK BERHUTAN

(STUDI KASUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT,

SUKABUMI JAWA BARAT)

MARIA C. L. HUTAPEA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi berjudul Transformasi Hujan menjadi Limpasan, Erosi, dan Sedimentasi di Sub DAS Berhutan dan Tidak Berhutan (Studi Kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Jawa Barat) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah di perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

(6)

iii

Judul Skripsi : Transformasi Hujan menjadi Limpasan, Erosi, dan Sedimentasi di Sub DAS Berhutan dan Tidak Berhutan (Studi Kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Jawa Barat)

Nama : Maria C. L. Hutapea

NIM : E14052994

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 19611126 198601 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor,

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001

(7)

iii

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yesus Kristus karena atas segala kasih, anugerah, dan kuasaNya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Transformasi Hujan menjadi Limpasan, Erosi, dan Sedimentasi di Sub DAS Berhutan dan Tidak Berhutan (Studi Kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Jawa Barat)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. Karya ilmiah ini merupakan tugas akhir (Skripsi) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Dalam karya ilmiah ini, penulis mencoba memaparkan hasil penelitian untuk mengetahui transformasi hujan menjadi limpasan, erosi permukaan, dan muatan sedimen aliran sungai di Sub DAS berhutan dan tidak berhutan. Selain itu untuk mengetahui perbedaan hasil pendugaan erosi permukaan menggunakan pendekatan USLE dan persamaan SDR menggunakan parameter luas DAS.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dampak dari perubahan penggunaan lahan yang penting diketahui sebagai masukan untuk tindakan pengelolaan lahan yang diperlukan agar perubahan tersebut tidak berdampak negatif.

Penulis berharap semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam Skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan.

Bogor, Agustus 2011 Penulis

(8)

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, Lampung pada tanggal 25 Maret 1987 sebagai anak pertama dari enam bersaudara pasangan S. Hutapea dan Nurliana Ompusunggu. Penulis dibesarkan dan menyelesaikan pendidikan formal di TK Xaverius 2 Bandar Lampung tahun 1991-1993, SD Fransiskus 1 Bandar Lampung tahun 1993-1999, SMP Fransiskus Bandar Lampung tahun 1999-2002 dan SMA Stella Duce 2 Yogyakarta pada tahun 2002-2005.

Pada tahun 2005, penulis lulus seleksi masuk IPB program strata satu melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) IPB. Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Komisi Pelayanan Siswa (KPS) PMK IPB tahun 2006-2009, menjadi asisten praktikum mata kuliah Hidrologi Hutan tahun 2009-2010. Selain itu penulis juga melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) jalur Indramayu-Linggarjati tahun 2007, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi-Tanggeung-Perhutani KPH Cianjur tahun 2008, dan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT Korintiga Hutani Kalimantan Tengah tahun 2009.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan Skripsi dengan judul “Transformasi Hujan menjadi Limpasan, Erosi, dan Sedimentasi di Sub DAS Berhutan dan Tidak Berhutan (Studi Kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Jawa Barat)” dibimbing oleh Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr.

(9)

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa bantuan dari berbagai pihak sangat berarti bagi penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak dan mama tersayang (S. Hutapea dan Nurliana Ompusunggu) serta adik-adikku (Martha C. L. Hutapea, S.E, Roma Hutapea, Elizabeth Hutapea, Valentine Hutapea, dan Adelia Hutapea) yang senantiasa memberikan doa, dorongan, dukungan, dan semangat.

2. Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, bantuan, masukan, dan nasehat selama proses penyelesaian skripsi.

3. Staf dan manajemen Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) atas bantuan tempat, pengambilan data lapangan, penyediaan data dan kerjasamanya, khususnya kepada Ir. Budi Prihanto Siswosuwarno, MS selaku Direktur Eksekutif HPGW, Bapak Rizaldi, Bapak Alimi, Bapak Agung, Bapak Lilik, Bapak Efendi. 4. Staf Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Kabupaten Sukabumi, Jawa

Barat atas penyediaan data, informasi, dan kerjasamanya, khususnya kepada Kepala Dinas PSDA dan Bapak Adi S. N.

5. Staf Pemerintah Desa Karang Tengah, Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi atas bantuan penyediaan data dan kerjasamanya, khususnya kepada Kepala Desa Karang Tengah dan Bapak Azud Suamban.

6. Seluruh dosen dan staf administrasi (KPAP) Fakultas Kehutanan IPB terutama Departemen Manajemen Hutan, khususnya Prof. Dr. Ir Hardjanto, MS, Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr, Bapak Edi, Mas Saipul, Bapak Uus, Kak Edwine, dan laboran Fakultas Kehutanan atas ilmu dan bantuannya selama penulis melaksanakan kuliah. Juga kepada Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr selaku dosen penguji ujian komprehensif, Ir. Ahmad Hadjib, MS selaku ketua ujian komprehensif, dan Ir. Muhdin, M.Sc.F.Trop selaku moderator seminar skripsi. 7. Teman seperjuangan Popi Puspitasari dan Hangga Prihatmaja atas bantuan dan

kerjasamanya selama menyusun skripsi.

(10)

iii

8. Sahabat penulis Mega Indah, Mei Arista Sinaga, Maryani Payungallo, Victoria, Dessy Dameria, Siska Setianingsih, Catur Hertika, Ronald A. P. Siagian, Canny Mitra Caroline, Faqih Hudin. Terima kasih kalian telah mengukir hidupku dengan berbagai bentuk dan memberikan warna-warni kehidupan dalam hariku.

9. Teman-teman Civitas Fahutan IPB (MNH, SVK, KSH, dan THH seluruh angkatan khususnya FAHUTAN 42), kesebelasan MNH 42, dan KPS PMK IPB atas bantuan dan dukungannya.

10.Seluruh karya yang telah memberikan inspirasi dalam penulisan tugas akhir ini. Dunia adalah ilmu pengetahuan yang tidak akan pernah ada habisnya.

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah menemani, membantu, memberikan dukungan dan masukan.

(11)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 3

2.2 Erosi ... 3

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Erosi ... 5

2.4 Metode Pendugaan Erosi ... 6

2.5 Sedimentasi ... 18

2.6 Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 20

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

3.2 Alat dan Bahan ... 23

3.3 Pengumpulan Data ... 24

3.3.1 Jenis Data ... 24

3.3.2 Metode Pengumpulan Data ... 24

3.4 Pengolahan Data ... 32

3.4.1 Transformasi Hujan - Debit Aliran ... 32

3.4.2 Muatan Sedimen ... 32

3.4.3 Pendugaan Laju Erosi dengan Metode USLE ... 32

3.4.4 Perhitungan Erosi dengan Nisbah Pengangkutan Sedimen (Sediment Delivery Ratio) ... 33

3.4.5 Tingkat Bahaya Erosi ... 33

(12)

iii

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas ... 34

4.2 Iklim ... 34

4.3 Hidrologi ... 34

4.4 Topografi Lapangan ... 35

4.5 Jenis Tanah dan Geologi ... 35

4.5.1 Tanah Sub DAS Cipeureu ... 36

4.5.2 Tanah Sub DAS Cibadak ... 37

4.6 Tutupan Lahan... 37

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan ... 38

5.2 Transformasi Hujan – Debit Aliran ... 38

5.3 Muatan Sedimen ... 42

5.4 Pendugaan Laju Erosi dengan Metode USLE ... 43

5.5 Perhitungan Erosi dengan Nisbah Pengangkutan Sedimen (Sediment Delivery Ratio) ... 45

5.6 Tingkat Bahaya Erosi ... 46

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan... 47

6.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

LAMPIRAN ... 51

(13)

iii

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Nilai ukuran butir-butir tanah (M) untuk suatu kelas tekstur tanah... 11

2. Nilai bahan organik (b) untuk setiap kisaran kandungan bahan organik... 11

3. Nilai struktur tanah ... 11

4. Nilai permeabilitas tanah ... 11

5. Penilaian faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) ... 12

6. Besaran faktor C untuk aneka bentuk pengelolaan tanaman/ tumbuhan ... 13

7. Besaran faktor P untuk aneka teknik konservasi tanah ... 15

8. Klasifikasi tingkat bahaya erosi ... 33

9. Penyebaran luas areal Sub DAS Cipeureu HPGW dan Sub DAS Cibadak berdasarkan kelas kemiringan lahan ... 35

10. Luas penutupan lahan Sub DAS Cipeureu berdasarkan kelas kemiringan Lahan ... 37

11. Statistik hujan dan debit langsung Sub DAS Cipeureu dan Sub DAS Cibadak selama pengamatan ... 40

12. Statistik laju sedimen di Sub DAS Cipeureu dan Sub DAS Cibadak selama pengamatan ... 43

13. Rekap nilai faktor-faktor yang mempengaruhi erosi di Sub DAS Cipeureu ... 44

14. Rekap nilai faktor-faktor yang mempengaruhi erosi di Sub DAS Cibadak ... 44

15. Perhitungan erosi dengan nilai Sediment Delivery Ratio (SDR) berdasarkan pendekatan fisik Sub DAS ... 45

(14)

iii

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Nomograf erodibilitas tanah ... 10

2. Peta lokasi penelitian ... 22

3. Kontur Kecamatan Cibadak ... 27

4. TIN dari shapefile ... 28

5. Digital Elevation Model (DEM) dalam bentuk grid ... 28

6. Halaman depan tampilan software ArcView SWAT... 29

7. Kolom pengisian data yang akan ditampilkan ... 29

8. Menu dan kolom pengisian proyeksi ... 30

9. Kolom pengisian angka untuk menentukan jaringan sungai ... 30

10. Jaringan sungai beserta outlet di tiap Sub DAS di Kecamatan Cibadak ... 31

11. Batas Sub DAS Cipeureu beserta jaringan sungai ... 31

12. Grafik curah hujan bulanan Sub DAS Cipeureu dan Cibadak Januari 2005-Juli 2010 ... 38

13. Hyetograph dan hidrograph debit total Sub DAS Cipeureu dan Sub DAS Cibadak hasil pengukuran di lapangan ... 39

14. Hyetograph dan hidrograph debit langsung Sub DAS Cipeureu dan Sub DAS Cibadak hasil pengukuran di lapangan ... 39

15. Diagram pencar hubungan antara curah hujan dengan debit langsung di Sub DAS Cipeureu dan Sub DAS Cibadak ... 41

16. Hubungan jumlah muatan sedimen dengan debit langsung dan curah hujan di lokasi pengamatan ... 42

17. Hubungan debit dan muatan sedimen di (a) Sub DAS Cipeureu dan (b) Sub DAS Cibadak ... 43

(15)

iii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Data curah hujan bulanan Stasiun Hujan Sekarwangi

Kecamatan Cibadak ... 52

2. Data curah hujan Stasiun Sekarwangi selama pengamatan di Sub DAS Cipeureu dan Sub DAS Cibadak ... 53

3. Data debit dan Tinggi Muka Air (TMA) Sub DAS Cipeureu ... 53

4. Data debit dan Tinggi Muka Air (TMA) Sub DAS Cibadak... 56

5. Data sedimentasi Sub DAS Cipeureu ... 59

6. Data sedimentasi Sub DAS Cibadak ... 62

7. Peta topografi Sub DAS Cipeureu ... 65

8. Peta topografi Sub DAS Cibadak ... 66

9. Peta jenis tanah Sub DAS Cipeureu ... 67

10. Peta jaringan sungai Sub DAS Cipeureu ... 68

11. Peta tutupan lahan Sub DAS Cipeureu ... 69

12. Hasil analisis sifat fisik tanah Sub DAS Cipeureu dan Sub DAS Cibadak ... 70

13. Nilai faktor erodibilitas (K) di Sub DAS Cipeureu ... 71

14. Nilai faktor erodibilitas (K) di Sub DAS Cibadak... 71

15. Hasil analisis bahan organik dan tekstur tanah ... 72

16. Rekapitulasi faktor-faktor yang mempengaruhi erosi dengan metode Universal Soil Loss Equation (USLE) ... 73

(16)

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan terutama hutan hujan tropis merupakan sumberdaya alam yang memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup manusia. Salah satu peran penting dari hutan yaitu memperkecil resiko terjadinya banjir, erosi dan tanah longsor. Peran hutan dalam pengendalian aliran permukaan, banjir, erosi dan tanah longsor sangat ditentukan oleh kerapatan penutupan lahan, struktur tajuk, dan interaksi dengan sifat tanah dan batuan serta iklim tempat tumbuh hutan.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk, pemanfaatan dan pengelolaan hutan tanpa memperhatikan aspek kelestarian fungsinya, telah mengakibatkan kerusakan hutan yang sangat mengkhawatirkan. Kementerian Kehutanan menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan Indonesia telah mencapai 1,17 juta ha per tahun (Kementerian Kehutanan 2009). Salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan adalah perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan non hutan untuk berbagai tujuan. Dampak perubahan penggunaan hutan di dalam suatu DAS dicerminkan oleh perilaku hidrologi, antara lain: perubahan laju aliran permukaan, debit sungai, erosi dan sedimentasi.

Perubahan perilaku hidrologi, erosi dan sedimentasi dapat diketahui melalui pengukuran langsung terhadap besaran perubahan tersebut, maupun melalui pendugaan menggunakan parameter-parameter klimatik dan bio-fisik DAS. Pendugaan erosi umumnya menggunakan persamaan umum kehilangan tanah yang dikenal dengan USLE (Universal Soil Loss Equation) yang pertama kali diperkenalkan oleh Wischmeir dan Smith (1965), kemudian mengalami pengembangan metode pendugaan komponen USLE (MUSLE, RUSLE). Penelitian tentang USLE telah banyak dilakukan (Nugraha 2003, Bhestari 2005, Hermiawati 2006) yang umumnya memberikan hasil lebih besar dibandingkan dengan hasil pengukuran secara langsung.

(17)

2

mempengaruhi nisbah pengangkutan sedimen tidak hanya faktor luas, namun juga faktor-faktor lain,antara lain: geomorfologi, faktor lingkungan, lokasi sumber sedimen, karakteristik relief dan kemiringan, pola drainase dan kondisi saluran, penutup lahan, tata guna lahan, dan tekstur tanah (Williams dan Berndt 1972 dalam Suripin 2001), dengan demikian hasil pendugaan perlu dikaji keakuratannya.

Kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada saat ini ditutupi oleh hutan campuran sebagai hasil kegiatan penanaman lahan kosong (bare land). Kondisi ini berbeda dengan kondisi di sekitar kawasan HPGW terutama di bagian Utara, berupa lahan kosong.

Perubahan lahan kosong menjadi hutan dan sebaliknya lahan berhutan menjadi lahan kosong berdampak pada aliran permukaan, debit, erosi dan sedimentasi, dan besaran dampaknya dipengaruhi oleh tingkat perubahan tersebut. Upaya mengetahui besaran dampak dari perubahan penggunaan lahan penting untuk diketahui sebagai masukan tindakan pengelolaan lahan yang diperlukan agar perubahan tersebut tidak berdampak negatif.

1.2. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui transformasi hujan menjadi limpasan, erosi permukaan, dan muatan sedimen aliran sungai di Sub DAS berhutan dan tidak berhutan. 2. Mengetahui perbedaan hasil pendugaan erosi permukaan menggunakan

pendekatan USLE dan persamaan SDR menggunakan parameter luas DAS.

1.3. Manfaat Penelitian

1. Memperkaya informasi transformasi hujan-limpasan, erosi, dan sedimentasi di DAS berhutan dan tidak berhutan

2. Memberikan informasi bagi pengelola hutan, khususnya pengelola HPGW, pemerintah, dan pihak lainnya, tentang peran hutan dalam transformasi hujan-limpasan, mengendalikan erosi dan sedimen, dan sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola HPGW dalam perencanaan pengelolaan hutan di HPGW

(18)

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut kamus Webster (1976) yang dikutip oleh Manan (1976), daerah aliran sungai adalah a region or area bounded peripherally by a water parting (topographic devide) and draining ultimately to a particular watercourse or body of water, yang berarti Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau ke lautan. Pemisah topografi adalah bukit dan di bawah tanah juga terdapat pemisah bawah tanah yang berupa batuan. Sebuah DAS merupakan kumpulan dari banyak Sub DAS yang lebih kecil.

Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis dalam Sub DAS-Sub DAS. Sedangkan Daerah Tangkapan Air (DTA) adalah suatu wilayah daratan yang menerima air hujan, menampung, dan mengalirkannya melalui satu outlet atau tempat peruntukannya (Departemen Kehutanan 1998).

Secara makro, DAS terdiri dari unsur: biotik (flora dan fauna), abiotik (tanah, air, dan iklim) dan manusia, dimana ketiganya saling berinteraksi dan saling ketergantungan membentuk sistem hidrologi (Haridjaja 1980). Sedangkan Seyhan (1990) berpendapat bahwa DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem hidrologi yang dipengaruhi oleh presipitasi (hujan) sebagai masukan ke dalam sistem. DAS mempunyai karakteristik yang spesifik yang berkaitan erat dengan unsur-unsur utamanya, antara lain: jenis tanah, topografi, geologi, geomorfologi, vegetasi, dan tata guna lahan.

2.2Erosi

Erosi tanah didefinisikan sebagai suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain, baik disebabkan oleh pergerakan air, angin, dan atau es. Di daerah tropis seperti Indonesia, erosi terutama disebabkan oleh air hujan (Rahim 2003).

(19)

4

berpengaruh terhadap erosi adalah intensitas curah hujan. Kecuraman dan panjang lereng merupakan faktor topografi yang berpengaruh terhadap kadar lumpur. Faktor tanah yang mempengaruhi erosi dan sedimentasi yang terjadi adalah: luas jenis tanah yang peka terhadap erosi, luas lahan kritis atau daerah erosi dan luas tanah berkedalaman rendah. Faktor vegetasi yang mempengaruhi aliran permukaan dan erosi berlangsung melalui beberapa proses, sebagai berikut:

1. Intersepsi hujan untuk tajuk tanaman,

2. Mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak,

3. Pengaruh akar dan kegiatan biologis yang berhubungan dengan stabilitas struktur dan porositas tanah,

4. Transpirasi yang menyebabkan turunnya kandungan air tanah.

Menurut Morgan (1986) erosi dapat diklasifikasikan dalam enam bentuk, sebagai berikut:

1. Erosi percikan, erosi yang terbentuk karena tanah yang terbawa oleh percikan air hujan,

2. Erosi aliran permukaan, erosi yang terjadi karena aliran air yang mampu membawa butir-butir tanah yang terdapat di permukaan,

3. Erosi aliran di bawah permukaan, erosi yang disebabkan oleh aliran air yang terpusat pada terowongan-terowongan atau saluran-saluran air yang terdapat di bawah permukaan tanah.

4. Erosi alur, erosi yang terjadi karena adanya aliran yang cukup keras sehingga secara mendadak aliran air terhadang oleh benda yang ada di kaki gunung.

5. Erosi selokan, merupakan kelanjutan dari erosi alur, akibat runtuhnya terowongan atau saluran di bawah tanah, akibat terjadinya longsor yang arahnya memanjang.

(20)

2.3Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Erosi

Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi erosi menurut Nurhayati (1986) dapat diringkas dalam rumus berikut:

E = f ( C, T, V, S , H) ………...…….. (1) dimana:

C = faktor iklim S = faktor tanah

T = faktor topografi H = campur tangan manusia V = faktor vegetasi f = fungsi tertentu

E = Erosi

Dalam rumus tersebut terdapat dua macam variabel, yaitu: (1) Faktor yang mudah dikendalikan (manusia dan vegetasi) dan (2) Faktor-faktor yang sulit dikendalikan oleh manusia secara langsung (iklim, topografi, dan sifat tanah tertentu tetapi pengaruhnya secara tidak langsung dapat dimodifikasikan manusia).

Sedangkan menurut Hardjowigeno (1995) faktor yang mempengaruhi besarnya erosi yang terpenting,yaitu: curah hujan, tanah, lereng, vegetasi, dan manusia.

Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan disperse hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan akibat erosi (Arsyad 2006).

Kekuatan menghancurkan tanah dari curah hujan jauh lebih besar dibandingkan dengan kekuatan pengangkut dari aliran permukaan (Hardjowigeno 1995).

Selain curah hujan, berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda-beda. Kepekaan erosi tanah yaitu mudah atau tidaknya tanah tererosi adalah fungsi berbagai interaksi sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan erosi, yaitu: (1) Sifat-Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas dan kapasitas menahan air dan (2) Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap disperse dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh dan aliran permukaan (Arsyad 2006).

(21)

6

berpengaruh adalah konfigurasi, keseragaman dan arah lereng. Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 45 derajat. Selain dari memperbesar jumlah aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar kecepatan aliran permukaan yang demikian memperbesar energi angkut air. Jika lereng permukaan tanah menjadi dua kali lebih curam maka banyaknya erosi per satuan luas menjadi 2,0-2,5 kali lebih banyak (Arsyad 2006).

Pengaruh panjang lereng terhadap erosi bervariasi tergantung jenis tanahnya (Baver 1959). Musgrave (1955) dalam Baver (1959) mengemukakan bahwa pengaruh panjang lereng terhadap erosi tergantung intensitas hujan. Erosi meningkat dengan bertambahnya panjang lereng pada intensitas hujan yang tinggi, tetapi erosi menurun dengan bertambahnya panjang lereng pada intensitas hujan yang rendah.

Menurut Seta (1987) tanaman dapat memperkecil erosi karena (1) Intersepsi air hujan oleh tajuk tanaman (2) Pengurangan aliran permukaan (3) Peningkatan agregasi tanah serta porositasnya dan (4) Peningkatan kehilangan air tanah sehingga tanah cepat kering. Intersepsi air hujan oleh vegetasi mempengaruhi jumlah air yang sampai ke tanah sehingga dapat mengurangi aliran permukaan dan mempengaruhi kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh ke tanah (Arsyad 2006).

Menurut Arsyad (1980) banyak faktor yang menentukan apakah manusia akan memperlakukan dan mempergunakan tanahnya secara bijaksana sehingga menjadi lebih baik dan dapat memberikan pendapatan yang cukup untuk jangka waktu yang tidak terbatas, antara lain: (1) Luas tanah pertanian yang dapat diusahakan, (2) Tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi, (3) Harga hasil pertanian, (4) Pasar dan sumber keperluan usaha tani, (5) Infrastrukstur dan fasilitas kesejahteraan.

2.4Metode Pendugaan Erosi

(22)

dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith pada tahun 1965. Model USLE dirancang untuk memprediksi rata-rata kehilangan tanah yang disebabkan oleh aliran permukaan dalam jangka panjang pada daerah yang memiliki sistem pengelolaan dan tanaman yang spesifik. Model ini juga dapat digunakan pada lahan non pertanian (Wischmeier dan Smith 1978). Bentuk persamaannya adalah sebagai berikut:

A = R . K . L . S . C . P………...(2) dimana:

A : Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun) R : Indeks daya erosi curah hujan (erosivitas hujan)

K : Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah) L : Faktor panjang lereng

S : Faktor gradien kemiringan lereng C : Faktor tanaman (vegetasi)

P : Faktor usaha-usaha pencegahan erosi (konservasi)

Penjelasan terhadap persamaan tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1. Faktor erosivitas hujan (R)

Asdak (2006) menyatakan tenaga pendorong yang menyebabkan terkelupas dan terangkutnya partikel-partikel tanah ke tempat yang lebih rendah dikenal dengan istilah erosivitas hujan. Kemampuan air hujan sebagai penyebab terjadinya erosi adalah bersumber dari laju dan distribusi tetesan air hujan, dimana keduanya mempengaruhi besarnya energi kinetik air hujan. Faktor erosivitas hujan merupakan hasil perkalian antara energi kinetik (E) dari suatu kejadian hujan dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30). Indeks erosivitas hujan adalah nilai R yang

I30 : Intensitas hujan 30 menit maksimum

Nilai E dapat dihitung dari pencatatan hujan pada kertas pias dengan rumus (Wischmeier dan Smith 1978):

(23)

8

dimana:

I : Intensitas hujan (cm/jam)

Bila tersedia data curah hujan harian maka nilai erosivitas bulanan (RM) dapat dihitung dengan menjumlahkan erosivitas hujan harian (RH) selama satu bulan. Nilai RH dapat dihitung dengan menggunakan rumus RH : Erosivitas hujan harian

Apabila data yang tersedia data curah hujan bulanan, maka nilai harga erosivitas hujan bulanan (RM) dapat dihitung dengan menggunakan rumus Bols (1978) sebagai berikut:

RM = 6,119 (Rain)m1,21 . (Days)m-0,47 . (Max.P)m0,53...(6)

dimana:

RM : Erosivitas hujan bulanan

(Rain)m : Banyaknya hari hujan setiap bulan

(Days)m : Hujan harian maksimum (cm)

(Max.P) : Hujan harian maksimum rata-rata (cm)

Bila data jumlah curah hujan harian maksimum rata-rata (Max.P)m

dan banyaknya hari hujan tidak tersedia, maka nilai erosivitas hujan bulanan dapat dihitung dengan menggunakan rumus Lenvain (1975) dalam Bols (1978) sebagai berikut:

RM = 2,21 (Rain)m1,36...(7)

dimana:

RM : Erosivitas hujan bulanan (Rain)m : Curah hujan bulanan (cm)

Nilai R (erosivitas hujan) setahun diperoleh dengan menjumlahkan RM selama satu tahun.

(24)

2. Faktor erodibilitas tanah (K)

Faktor erodibilitas tanah merupakan jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun per satuan indeks daya erosi curah hujan pada sebidang tanah tanpa tanaman (gundul), tanpa usaha pencegahan erosi, lereng 9% (5o), dan panjang lereng 22 meter (Hardjowigeno 1995).

Faktor erodibilitas tanah menunjukkan kekuatan partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah oleh adanya energi kinetik air hujan. Besarnya erodibilitas tanah ditentukan oleh karakteristik tanah seperti tekstur tanah, stabilitas agregat tanah, kapasitas infiltrasi, dan kandungan bahan organik serta bahan kimia tanah.

Beberapa metode penetapan nilai faktor erodibilitas tanah (K), adalah sebagai berikut:

a. Melihat tabel penentuan nilai K dengan terlebih dahulu mengetahui informasi jenis tanah.

b. Menggunakan nomograf erodibilitas tanah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Nomograf ini disusun oleh lima parameter yaitu % fraksi debu dan pasir sangat halus, % fraksi pasir, % bahan organik, struktur tanah, dan permeabilitas tanah (Poerwowidodo 1999).

c. Analisa laboratorium secara statis yang dirumuskan oleh Wischmeier dan Smith (1978). Nilai erodibilitas tanah yang didapatkan dari metode ini paling mendekati nilai K aktual. Untuk tanah-tanah yang mengandung 70 % debu

Jika tidak tersedia data analisis pisahan-pisahan tanah, maka penetapannya menggunakan kelas tekstur, dengan nilai M untuk setiap kelas tekstur tersaji pada Tabel 1.

(25)

10 24

(26)

b : kode/ nilai struktur tanah (Tabel 3) c : kode/ nilai permeabilitas tanah (Tabel 4) Tabel 1 Nilai ukuran butir-butir tanah (M) untuk suatu kelas tekstur tanah

Kelas Tekstur

(USDA) Nilai M

Kelas Tekstur

(USDA) Nilai M

Liat berat 210 Pasir 3035

Liat sedang 750 Lempung berpasir 3245

Liat berpasir 1213 Lempung liat berdebu 3770

Liat ringan 1685 Lempung berpasir 4005

Lempung liat berpasir 2160 Lempung 4390

Liat berdebu 2830 Lempung berdebu 6330

Lempung liat 2830 Debu 8245

Sumber: Purwowidodo 2002

Tabel 2 Nilai bahan organik (b) untuk setiap kisaran kandungan bahan organik

Pisahan Organik (%)

Pengukuran persen organik di atas dilakukan dengan menggunakan metode Walkley dan Black, dengan mengasumsikan 58% kandungan C-total tanah adalah bahan organik. Nilai bahan organik diketahui melalui rumus:

B.O. Tanah (%) = C-Organik (%) x 1,724 ... (9) Tabel 3 Nilai struktur tanah

Tipe Struktur Nilai

Tabel 4 Nilai permeabilitas tanah

Kelas Permeabilitas Besaran Permeabilitas Tanah (cm/ jam) Nilai

Cepat >25,4 1

3. Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S)

(27)

12

lereng mengacu pada aliran air permukaan, yaitu lokasi berlangsungnya erosi dan kemungkinan terjadinya deposisi sedimen. Pada umumnya, kemiringan lereng diperlakukan sebagai faktor yang seragam (Departemen Kehutanan 1998).

Penilaian faktor panjang lereng pada setiap satuan lahan pengamatan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan (Eyles 1968 dalam Departemen Kehutanan 1998) :

L = (Lo/22)0,5...(10) dimana :

L : Faktor panjang lereng Lo : Panjang Lereng (m)

Penilaian faktor kemiringan lereng setiap satuan lahan menggunakan persamaan (Epink 1979 dalam Departemen Kehutanan 1998) : S =(s/9)1,4...(11) dimana :

S : Faktor kemiringan lereng s : Kemiringan lereng (%)

Menurut Wischmeier dan Smith (1978) dalam Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja (1992), faktor lereng dapat ditentukan dengan persamaan : LS = (l/22)0,5 (0,065 + 0,045 S + 0,0065 S2)... (12) dimana :

l : Panjang lereng (m) S : Kemiringan lahan (%)

Nilai LS dapat ditentukan menurut kemiringan lerengnya, yang terlihat pada tabel berikut.

Tabel 5 Penilaian faktor panjang dan kemiringan lereng (LS)

Kemiringan Lereng (%) Nilai LS

0-5 0,25

5-15 1,20

15-35 4,25

35-50 9,50

>50 12,00

Sumber: Hardjowigeno dan Sukmana 1995

4. Faktor pengelolaan tanaman (C)

(28)

kehilangan tanah yang diolah tanpa tanaman, pada tanah, lereng, dan curah hujan yang sama. Faktor ini mengukur kombinasi pengaruh tanaman dan pengelolaannya. Besaran faktor C untuk aneka bentuk pengelolaan tanaman/tumbuhan dapat dilihat pada tabel di bawah. Semakin baik perlindungan permukaan tanah oleh tanaman pangan/ vegetasi, semakin rendah tingkat erosi (Departemen Kehutanan 1998).

Tabel 6 Besaran faktor C untuk aneka bentuk pengelolaan tanaman/ tumbuhan

No Macam Penggunaan Besaran Faktor C

1 Tanah bera tanpa tanaman 1

2 Sawah irigasi 0,01

3 Sawah tadah hujan 0,05

4 Tegalan,tanaman tidak spesifik 0,7

5 Rumput Brachiaria

19 Kebun campuran, tajuk bertingkat, penutup tanah bervariasi

Kerapatan tinggi 0,1

Kerapatan sedang 0,3

Kerapatan rendah 0,5

20 Tanah perkebunan dengan penutup tanah (permanen)

Kerapatan tinggi 0,1

Kerapatan rendah 0,5

21 Reboisasi dengan penutup tanah, tahun pertama 0,3

22 Kopi dengan penutup tanah 0,2

23 Tanaman bumbu (cabai, jahe) 0,9

(29)

14

Tabel 6 Lanjutan

No Macam Penggunaan Besaran Faktor C

25 Kolam ikan 0,001

26 Lahan kritis, tanpa vegetasi 0,95

27 Semak belukar/ padang rumput 0,3

28 Hutan, hutan alami (primer) berkembang baik

Serasah tinggi 0,001

31 Sorgum-sorgum (terus-menerus) 0,341

32 Padi gogo - jagung (rotasi) + mulsa jerami 2 ton/ha dari

10-20 ton/ha pupuk kandang 0,03

33 Padi gogo tumpang sari jagung + ubi kayu dirotasikan

dengan kedelai/ kacang tanah 0,421

34 Padi gogo - jagung + mulsa jagung 0,183

35 Padi gogo - jagung (dalam rotasi) 0,209

36 Pemukiman 0,6

37 Alang-alang, permanen 0,021

38 Alang-alang, dibakar satu kali 0,2

39 Semak, lamtoro 0,51

40 Sengon dengan semak campuran 0,012

41 Sengon tanpa tanaman bawah 1

42 Kentang ditanam mengikuti lereng 1

43 Kentang ditanam mengikuti kontur 0,35

44 Bawang ditanam dalam kontur 0,08

45 Pohon tanpa semak 0,32

46 Ubikayu, tumpang sari dengan kedelai 0,181

47 Ubikayu, tumpang sari dengan kacang tanah 0,195

48 Ubi kayu + sorghum (tumpang sari) 0,345

49 Padi gogo + sorgum (tumpang sari) 0,417

50 Kacang tanah + kacang gude (tumpang sari) 0,495

51 Kacang tanah + kacang tunggak (tumpang sari) 0,571

(30)

Tabel 6 Lanjutan

No Macam Penggunaan Besaran Faktor C

53 Padi gogo + mulsa jerami 4 ton/ ha 0,096

54 Kacang tanah + mulsa batang jagung 4 ton/ ha 0,128

55 Kacang tanah, mulsa Clotalaria sp 3 ton/ ha 0,136

56 Kacang tanah, mulsa kacang tunggak 0,259

57 Kacang tanah, mulsa jerami 2 ton/ ha 0,377

58 Padi gogo, mulsa Clotalaria sp 3 ton/ ha 0,387

59 Padi gogo-jagung-ubi kayu, mulsa jerami 6 ton/ha, setelah

padi ditanami kacang tanah 0,790

60 Padi gogo - jagung - kacang tanah dalam rotasi, dengan sisa

tanaman jadi mulsa 0,347

61 Padi gogo - jagung - kacang tanah dalam rotasi 0,496

62 Padi gogo + jagung + kacang tanah (dalam rotasi dengan

mulsa tanaman) 0,357

63 Padi gogo + jagung + kacang tanah (tumpang sari) 0,588

Sumber: Pusat Penelitian Tanah dalam Arsyad (1989), Asdak (1985), dan Sutrisno (2002)

5. Faktor usaha pencegahan erosi/ konservasi lahan (P)

Nilai faktor tindakan manusia dalam konservasi tanah (P) adalah nisbah antara besarnya erosi dari lahan dengan suatu tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi pada lahan tanpa tindakan konservasi. Termasuk dalam tindakan konservasi tanah adalah penanaman dalam strip, pengolahan tanah menurut kontur, guludan dan teras. Nilai dasar P adalah satu yang diberikan untuk lahan tanpa tindakan konservasi. Beberapa nilai faktor P untuk berbagai tindakan konservasi diberikan dalam tabel berikut ini (Suripin 2002).

Tabel 7 Besaran faktor P untuk aneka teknik konservasi tanah

No Teknik Konservasi Tanah Besaran P

1 Teras bangku 0,370

- sempurna 0,040

- sedang 0,150

- jelek 0,350

2 Teras tradisional 0,400

3 Padang rumput (permanent grass field)

(31)

16

No Teknik Konservasi Tanah Besaran P

6 Mulsa jerami yang digunakan

- 6 ton/ ha/ tahun 0,300

Reboisasi dengan penutup tanah pada tahun awal 0,300

Pertanaman baris jagung-kacang tanah dan sisa tanaman dijadikan

mulsa 0,050

10 Jagung - kedelai dan sisa tanaman dijadikan mulsa 0,087

11 Jagung – mulsa jerami padi 0,080

12 Padi gogo – kedelai, mulsa jerami 4 ton/ ha 0,193

13 Kacang tanah – kacang hijau 0,730

14 Kacang tanah – kacang hijau – mulsa jerami 0,013

15 Padi gogo – jagung – kacang tanah + mulsa 0,267

16 Jagung + padi gogo + ubi kayu + kacang tanah, sisa tanaman dijadikan

mulsa 0,159

17 Teras gulud: padi – jagung 0,013

18 Teras gulud: sorghum - sorghum 0,041

19 Teras gulud: ketela pohon 0,063

20 Teras gulud: jagung – kacang tanah, mulsa + sisa tanaman dijadikan

mulsa 0,006

21 Teras gulud: kacang tanah + kedelai 0,105

22 Teras gulud: padi – jagung – kacang tunggak, kapur 2 ton/ ha 0,012

23 Teras bangku: jagung – ubi kayu/ kedelai 0,056

24 Teras bangku: sorghum – sorghum 0,024

25 Teras bangku: kacang tanah – kacang tanah 0,009

26 Teras bangku: tanpa tanaman 0,039

(32)

kebutuhan biaya dan waktu kerja kajian petak ukur lapangan dalam menetapkan nilai-nilai mandiri masing-masing faktor pengendali erosi tanah. Penetapan parameter pengendali erosi tanah dengan model ini tetap berdasarkan pada kajian satuan petak ukur yaitu(Poerwowidodo 1999):

Z = K . C . X ... (13) dimana:

Z : nilai tengah prakiraan laju erosi tanah tahunan (ton/ha/tahun)

K : nilai tengah laju erosi tanah tahunan (ton/ha/tahun) dari petak contoh baku berukuran 30 m x 10 m pada kemiringan 4,5%, terbuka

dan diketahui nilai erodibilitasnya

C : nilai perbandingan laju erosi tanah antara petak ukur bertanaman dan petak ukur yang diberakan dalam keadaan tanpa penutup

X : perbandingan antara laju erosi tanah antara lapangan yang memiliki panjang lereng dan kemiringan tertentu dengan laju erosi dari petak ukur. Dengan semakin banyaknya data dan informasi yang dihasilkan dari penelitian dan percobaan, para ahli konservasi tanah Amerika Serikat terus melakukan penyempurnaan terhadap USLE, yang berakhir dengan dikembangkannya RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation). Menurut Poerwowidodo (1999) metode ini dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat pada metode USLE dengan memperbaharui data dan pendekatan baru, koreksi kelemahan-kelemahan USLE, dan penggunaan teknologi baru yaitu teknologi berdasarkan komputer. Metode RUSLE ini diterbitkan pertama kali pada bulan Desember 1992. Sejak pertama kali dipublikasikan program RUSLE telah mengalami berbagai perubahan pada perangkat lunaknya.

Pada kasus tertentu, terutama untuk daerah tangkapan air yang belum diketahui besarnya komponen-komponen penyusun rumus USLE perlu diupayakan cara prakiraan yang lebih sederhana tetapi masih dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Cara prakiraan erosi yang dimaksud adalah dengan memanfaatkan data debit, muatan sedimen, berat jenis tanah di daerah kajian, dan besarnya nisbah pelepasan sedimen (Sediment Delivery Ratio, SDR). Untuk selanjutnya prakiraan erosi dengan cara ini disebut prakiraan erosi metode SDR.

(33)

18

tingkat erosinya. Data ini diusahakan dalam periode waktu yang cukup panjang (tahunan). Umumnya, untuk mendapatkan data muatan sedimen dalam jangka panjang dapat dibuat persamaan debit-sedimen (sediment-discharge rating curve) dari data debit dan muatan sedimen yang tersedia di lokasi pengamatan tersebut, data muatan sedimen untuk tahun-tahun berikutnya dapat dihitung dengan hanya menggunakan data debit (Asdak 1995).

2.5Sedimentasi

Sedimen adalah tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi. Sedimen yang dihasilkan dari proses erosi dan terbawa oleh suatu aliran akan diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau berhenti disebut dengan sedimentasi (Arsyad 2006).

Menurut Manan (1976), sedimentasi adalah proses pengendapan dari bahan organik dan nonorganik yang tersuspensi di dalam air dan diangkut oleh air. Sedimen dimana partikelnya bergerak melayang dalam air yang dibawa oleh aliran air disebut suspended load atau muatan melayang. Sedimen yang gerakan partikel-partikelnya dengan cara menggelinding, bergeser dan melompat disebut bed load atau muatan dasar.

Total erosi yang terjadi pada sebuah DAS dikenal sebagai gross erosion. Akan tetapi tidak semua material yang tererosi dari DAS terbawa ke sungai, tergantung dari kekuatan pengangkut dalam hal ini aliran permukaan. Jumlah total material yang tererosi yang mampu menyelesaikan perjalanannya sampai ke hilir (tempat pengamatan) dikenal sebagai sediment yield. Besarnya sediment yield yang didapat dari pengukuran dapat dipergunakan untuk memperkirakan gross erosion yang terjadi dalam suatu daerah pengaliran (Shen 1971).

Perbandingan antara jumlah sedimen yang dihasilkan suatu DAS terhadap total jumlah erosi pada periode waktu yang sama disebut Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) atau Sediment Delivery Ratio (SDR). Nilai SDR diperlukan untuk mengkonversi besarnya erosi hasil dugaan dari suatu wilayah DAS ke dalam hasil sedimen, sehingga penentuan nilai tersebut merupakan tahapan kritik yang sangat mempengaruhi keakuratan erosi bersih hasil dugaan (Morris dan Fan 1997).

(34)

SDR QS

E ...(14)

Nilai SDR diperoleh dari persamaan Auerswald (1992) dalam Arsyad (2006): SDR = -0,02 + 0,385 A-0,2 ... (15) dimana :

Qs = Laju sedimen (ton/ha/tahun) E = Erosi total (ton/ha/tahun)

SDR = Nisbah pelepasan sedimen (Sediment Delivery Ratio) A = Luas daerah tangkapan air (km2)

Secara khusus pengaruh luas DAS terhadap SDR dijelaskan oleh Robinson (1979) dalam Arsyad (1989) bahwa semakin luas suatu DAS akan semakin menurun SDR, tapi penurunannya tidak linear. Ditambahkan oleh Shen dan Julien (1979) bahwa penurunan SDR terjadi secara linear dengan meningkatnya luas areal drainase. Kondisi fisik DAS yang menentukan SDR sangat komplek dan bervariasi untuk setiap DAS, pada daerah-daerah tertentu SDR pada suatu DAS sangat ditentukan oleh adanya penghambat atau dataran di pinggir sungai (Morris dan Fan 1997).

Williams dan Berndt (1972) dalam Suripin (2002) menunjukkan bahwa besarnya sediment delivery ratio sangat bervariasi antara satu DAS dengan DAS lainnya dan bervariasi dari tahun ke tahun. SDR tidak hanya dipengaruhi oleh faktor luas DAS tapi juga faktor-faktor lain, diantaranya geomorfologi, faktor lingkungan, lokasi sumber sedimen, karakteristik relief dan kemiringan, pola drainase dan kondisi saluran, penutup lahan, tata guna lahan, dan tekstur tanah.

Besaran SDR berkisar dari 0,1 sampai 1,0. SDR=1 berarti seluruh massa tanah tererosi memasuki aliran air sungai dan hal itu mencerminkan kemampuan lahan yang sangat rendah dalam mengendalikan erosi tanahnya (Purwowidodo 2002).

(35)

partikel-20

partikel tanah yang tererosi tersebut keluar dari daerah tangkapan air DAS/ Sub DAS. Produksi sedimen umumnya mengacu kepada besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam suatu sistem DAS. Tidak semua tanah akan tererosi di permukaan daerah tangkapan air akan sampai ke titik pengamatan. Sebagian tanah tererosi tersebut akan terdeposisi di cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki lereng dan bentuk-bentuk penampungan sedimen lainnya. Oleh karenanya, besarnya hasil sedimen biasanya bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS/ Sub DAS (Asdak 1995).

2.6 Sistem Informasi Geografi (SIG)

Menurut Aronof (1989) mendefinisikan Sistem Informasi Geografi (SIG) sebagai suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi yang mencakup pemasukan, manajemen data, manipulasi dan analisis serta pengembangan produk dan percetakan.

(36)
(37)

22

BAB III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua lokasi, yaitu Sub DAS Cipeureu yang terletak di dalam kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat, dan Sub DAS Cibadak. Kedua lokasi tersebut terletak di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, pada bulan Mei sampai dengan 1 Agustus 2010.

(38)

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. GPS Garmin 60 CSX

2. Ring sampel tanah 3. Botol ukuran 60 ml 4. Meteran

5. Oven 6. Desikator 7. Gelas ukur

8. Timbangan digital 9. Corong

10.Labu takar 11.Bola pimpong

12.Palu

13.Komputer, MS Excel 2007, MS Word 2007, Software Arcview 3.3, alat – alat tulis

14.Plastik 15.Kertas label 16.Kertas saring 17.Data spasial meliputi:

a. Peta digital topografi Hutan Pendidikan Gunung Walat skala 1:25000. Sumber: Manajemen Hutan Pendidikan Gunung Walat

b. Peta digital penutupan lahan Hutan Pendidikan Gunung Walat skala 1:25000. Sumber: Manajemen Hutan Pendidikan Gunung Walat

c. Peta jenis tanah Hutan Pendidikan Gunung Walat skala 1: 25000. Sumber: Manajemen Hutan Pendidikan Gunung Walat d. Peta penutupan lahan Kabupaten Sukabumi skala 1:25000.

(39)

24

e. Peta jenis tanah Kabupaten Sukabumi skala 1:25000. Sumber: Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Kabupaten Sukabumi f. Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar 1209-121 Cibadak skala

1:25000. Sumber: Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan

Nasional

3.3 Pengumpulan Data 3.3.1 Jenis data

Data yang dikumpulkan adalah: 1. Data curah hujan

2. Data debit aliran sungai

3. Data konsentrasi sedimen aliran 4. Data sifat fisik tanah

5. Data kemiringan lereng

6. Data penggunaan lahan dan konservasi tanah 7. Data batas wilayah Sub DAS

3.3.2 Metode Pengumpulan Data 1. Data curah hujan

Data curah hujan didapat dari stasiun curah hujan Sekarwangi. Data curah hujan yang digunakan yaitu data curah hujan tahunan (tahun 2005 sampai dengan tahun 2009).

2. Data debit aliran sungai

Debit aliran sungai di titik patusan (outlet) Sub DAS Cipeureu diukur secara tidak langsung dengan mengukur kecepatan aliran dan luas penampang basah titik patusan. Luas penampang di titik patusan Sub DAS Cipeureu menggunakan luas penampang basah flume, sedangkan di Sub DAS Cibadak menggunakan luas penampang basah sungai alami.

(40)

a. Bola pimpong dilemparkan beberapa meter di sebelah pangkal flume (Sub DAS Cipeureu) dan pangkal sungai yang telah ditentukan (Sub DAS Cibadak), kemudian gerakannya diikuti

b. Mencatat waktu yang diperlukan oleh aliran untuk menghanyutkan pelampung mulai dari pelampung melewati garis pertama hingga garis terakhir (hilir)

c. Pengukuran kecepatan aliran tersebut dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pengukuran

Luas penampang basah sungai diukurdengan langkah sebagai berikut: a. Menentukan lokasi segmen aliran air yang akan diukur

b. Mengukur lebar aliran air dengan menggunakan meteran dengan cara mengukur jarak dari satu dinding ke dinding lainnya tepat di permukaan aliran air

c. Mengukur kedalaman segmen aliran

3. Data konsentrasi sedimen aliran

Konsentrasi sedimen aliran sungai diukur melalui pengukuran konsentrasi sedimen contoh air. Pengambilan sampel air sungai dilakukan bersama-sama dengan pengukuran debit, yaitu dilakukan setiap hari pada pukul 07.00, pukul 12.00 dan pukul 17.00. Langkah-langkah pengukuran kandungan sedimen aliran dilakukan sebagai berikut:

a. Mengambil contoh air di titik/ lokasi yang telah ditentukan, yaitu di bagian tengah aliran dan diambil dari jeluk bagian tengah, sebanyak 60 ml.

b. Menyaring contoh air dengan menggunakan kertas saring yang sebelumnya kertas tersebut sudah dioven selama ± 2 jam pada suhu 105 0 C dan diketahui beratnya (berat awal). Disaring sampai benar-benar tidak ada airnya lagi.

c. Mengeringkan sedimen yang tersaring tersebut menggunakan oven listrik dengan suhu 1050 C selama 24 jam.

(41)

26

4. Data sifat fisik tanah

Sifat fisik tanah yang diukur meliputi: a. Kerapatan bongkah (bulk density) b. Porositas

c. Kadar air pada retensi 1 pF, 2 pF, 2.54 pF, 4.2 pF d. Pori drainase

e. Jumlah air tersedia f. Permeabilitas g. C-organik h. Tekstur tanah.

Data sifat fisik tanah point (a)-(f) didapat dari hasil analisis data contoh tanah tidak terganggu (undisturbed soil samples) . Contoh tanah diambil dengan menggunakan ring sample untuk mewakili kedalaman 0-15 cm. Sedangkan sifat fisik tanah poin (g) dan (h) didapat dari hasil analisis data contoh tanah terganggu (disturbed soil samples) di titik pengambilan yang sama dengan titik pengambilan contoh tanah terganggu. Lokasi pengambilan contoh tanah ditentukan berdasarkan perbedaan kelas kemiringan lahan.

Jumlah contoh tanah yang diambil sebanyak 8 contoh dari Sub DAS Cipeureu dan 4 contoh dari Sub DAS Cibadak. Selanjutnya contoh tanah yang telah diambil dianalisis sifat fisik tanahnya di Laboratorium Fisika Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

5. Data kemiringan lereng

Data kemiringan lereng di dua lokasi pengamatan diperoleh dari analisis digital yang bersumber dari peta digital topografi Hutan Pendidikan Gunung Walat skala 1:25000 dan peta Rupa Bumi Indonesia Lembar 1209-121 Cibadak skala 1:25000.

6. Data penggunaan lahan dan konservasi tanah

(42)

7. Data batas wilayah sub DAS

Data batas wilayah sub DAS Cipeureu dan sub DAS Cibadak didapat dengan menggunakan software ArcView versi 3.3. Tahapan pembuatan batas wilayah sub DAS sebagai berikut:

a. Persiapan data (Generating DEM dari data kontur)

Langkah yang dilakukan dalam persiapan data adalah sebagai berikut: 1. Mengaktifkan program ArcView

2. Mengaktifkan Extension Spatial Analyst

Untuk mengaktifkan Extension Spatial Analyst, pilih menu File – Ekstension, kemudian pilih Extension Spatial Analyst

3. Menampilkan data spasial yang akan dianalisis.

Buat New View, lalu tampilkan data kontur yang akan dianalisis.

Gambar 3 Kontur Kecamatan Cibadak.

(43)

28

Gambar 4 Triangulated Irregular Network (TIN) dari shapefile.

5. Membuat Digital Elevation Model (DEM) dalam GRID berdasarkan DEM TIN, dengan cara menggunakan Sub Menu Convert to Grid dalam Menu Theme, kemudian menentukan spesifikasi output Grid.

Gambar 5 Digital Elevation Model (DEM) dalam bentuk grid.

b. Generalisasi jaringan sungai

(44)

Gambar 6 Halaman depan tampilan software ArcView SWAT. Langkah yang dilakukan:

1. Menampilkan data (dalam bentuk DEM Grid) yang akan dibangun jaringan sungai

Gambar 7 Kolom pengisian data yang akan ditampilkan.

2. Mengecek DEM Properties, lakukan Modifikasi Projection dengan memilih Custom Projection.

(45)

30

Type : Zone 48

Gambar 8 Menu dan kolom pengisian proyeksi.

3. Memilih apply untuk melakukan preprocessing pada DEM untuk mengisi Sinks yang ditemukan. (Sinks merupakan sebuah nilai yang salah, yang lebih rendah dari nilai sekitarnya sehingga air yang mengalir ke dalamnya tidak bisa mengalir ke luar. Untuk itu lubang-lubang tersebut harus diisi).

4. Mendefinisikan jaringan sungai yang diinginkan dengan memasukkan angka pada Threshold Area yang ada dalam tampilan window

Gambar 9 Kolom pengisian angka untuk menentukan jaringan sungai. 5. Memilih apply maka akan terbentuk jaringan sungai berikut outletnya di

(46)

Gambar 10 Jaringan sungai beserta outlet di tiap Sub DAS di Kecamatan Cibadak

c. Generalisasi batas DAS dan Sub DAS

Langkah- langkah yang dilakukan:

1. Mendefinisikan DAS yang akan dibatasi dengan memilih (select) salah satu outlet (Whole Watershed Outlet)

2. Daerah Aliran Sungai bisa dideliniasi berikut jaringan sungai yang ada di dalamnya

(47)

32

3.4 Pengolahan Data

3.4.1 Transformasi hujan - debit aliran

Transformasi hujan-limpasan dihitung dengan persamaan:

R Q

RPdQdQQb …..……….(17)

dimana:

RP = Respon hidrologi terhadap hujan

R = Curah hujan (mm) Q = Limpasan total(m3/detik) Qd = Limpasan langsung (m3/detik)

Qb = Limpasan dasar (m3/detik)

Debit aliran dihitung dengan persamaan berikut: V V = Kecepatan aliran rata-rata (m/detik)

Transformasi hujan - limpasan di kedua Sub DAS dianalisis dari: 1. Hyetograph dan hydrograph

2. Hujan netto (hujan yang menjadi debit, % debit thd CH) 3. Ratio Qmax/Qmin

4. Diagram pencar dan regresi curah hujan dengan debit

3.4.2 Muatan sedimen

Muatan sedimen harian dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Q

Cs

Qs  ...(19) dimana:

Qs = Debit sedimen (gr/detik)

Cs = Konsentrasi sedimen contoh air (mg/l) Q = Debit aliran air sungai (m3/ detik)

3.4.3 Pendugaan laju erosi dengan metode USLE

(48)

3.4.4 Perhitungan erosi dengan Nisbah Pengangkutan Sedimen (Sediment Delivery Ratio)

Perhitungan Nisbah Pengangkutan Sedimen (Sediment Delivery Ratio) menggunakan persamaan (15) dan (16).

3.4.5 Tingkat Bahaya Erosi

Tingkat bahaya erosi (TBE) ditentukan berdasarkan laju erosi tahunan rata-rata dan kedalaman tanah. Klasifikasi TBE mengacu pada klasifikasi Departemen Kehutanan (1998) sebagimana disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8 Klasifikasi tingkat bahaya erosi

Solum (cm) Kelas Bahaya Erosi

I II III IV V

Laju Erosi Tanah (ton/ ha/ tahun) < 15 15 – 60 60 - 180 180 – 480 > 480

Tebal (> 90) SR R S B SB

Sedang (60 - 90) R S B SB SB

Tipis (30 - 60) S B SB SB SB

Sangat tipis (<30) B SB SB SB SB

Sumber: Departemen Kehutanan 1998 dalam Purwowidodo 2002

(49)

34

BAB IV.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Sub DAS Cipeureu terletak di dalam kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi. Secara geografis Sub DAS Cipeureu terletak antara 6⁰54'00" −

6⁰54'02" LS dan 106⁰48'02" – 106⁰49'00" BT. Secara administrasi pemerintahan terletak di wilayah Desa Batununggal dan Hegarmanah, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Luas Sub DAS Cipeureu adalah 17,97 ha atau sekitar 5% dari luas hutan pendidikan Gunung Walat. Sub DAS Cipeureu merupakan sub DAS ordo-2, terdiri dari 2 sub-sub DAS ordo-1, yaitu Cipeureu I dan Cipeureu II. Luas kedua sub DAS tersebut masing-masing seluas 8,3 ha dan 9,6 ha.

Secara geografis Sub DAS Cibadak terletak antara 6⁰53'71" − 6⁰54'27" LS

dan 106⁰48'18" – 106⁰49'34" BT. Secara administrasi pemerintahan terletak di wilayah Desa Karang Tengah, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi dengan luas 5,28 hektar. Sub DAS Cibadak merupakan Sub DAS ordo 1 dan sungainya bermuara di Sungai Ciheulang.

4.2 Iklim

Iklim Hutan Pendidikan Gunung Walat dan Sub DAS Cibadak menurut Klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B, dengan dengan nilai Q (persentase rata-rata bulan kering terhadap bulan basah) sebesar 14,3% − 33% dan banyaknya curah hujan tahunan berkisar antara 1600 – 4400 mm. Suhu udara maksimum di siang hari 29° C dan minimum 19° C di malam hari (Rencana Pengembangan HPGW 2009 − 2013 dan Profil Kecamatan Cibadak 2005).

Berdasarkan perhitungan data curah hujan selama 5 tahun (2005-2009), iklim Hutan Pendidikan Gunung Walat dan Sub DAS Cibadak termasuk tipe B klasifikasi Schmidt dan Ferguson, dengan nilai Q sebesar 30% dan rata-rata hujan tahunan sebesar 2124,5 mm/tahun.

4.3 Hidrologi

(50)

Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas dan Legok Pusar yang airnya mengalir sepanjang tahun. Sub DAS Cipeureu merupakan sub DAS ordo-2, terdiri dari 2 sub-sub DAS ordo-1 yaitu Cipeureu I dan Cipeureu II. Sungai Cipeureu termasuk sungai perenial yang mengalir sepanjang tahun. Sedangkan Sub DAS Cibadak termasuk sub DAS ordo-1 yang merupakan cabangsungai Ciheulang.

4.4 Topografi Lapangan

Sub DAS Cipeureu terletak di lereng selatan Gunung Walat, dengan kondisi lapangan yang miring dari utara ke selatan dan bergelombang dari barat ke timur. Kemiringan lerengnya berkisar dari datar sampai curam. Secara geografis areal tersebut berada di ketinggian 500-661 meter di atas permukaan laut.

Sub DAS Cibadak terletak di lereng Utara Gunung Walat, dengan kondisi lapangan yang miring dari selatan ke utara dan bergelombang dari barat ke timur. Sub DAS Cibadak bertopografi datar sampai curam, berada di ketinggian 555-658 meter di atas permukaan laut. Penyebaran kelas kemiringan lahan di Sub DAS Cipeureu dan di Sub DAS Cibadak disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Penyebaran luas areal Sub DAS Cipeureu HPGW dan Sub DAS Cibadak berdasarkan kelas kemiringan lahan

No Kelas Kemiringan*

Sub DAS Cipeureu Sub DAS Cibadak Luas **

Sumber: *Hardjowigeno dan Sukmana 1995 **Hasil analisis digitasi

4.5 Jenis Tanah dan Geologi

(51)

36

secara selaras, di beberapa tempat daerah ini ditemukan banyak fosil globigerina oligosin (Effendi 1974 dalam Manan, dkk1991).

4.5.1 Tanah Sub DAS Cipeureu

Hasil analisa mineralogi tanah oleh Manan, dkk (1991) menunjukkan bahwa susunan mineral pasir total didominasi oleh kuarsa penuh, diikuti adanya sanidin. Hal ini menunjukkan bahwa bahan induk tanah di Sub DAS Cipeureu berasal dari batuan sedimen tua (tersier) bersifat masam. Cadangan mineral umumnya rendah, kecuali di beberapa tempat, yang banyak dipengaruhi bahan-bahan volkan, yang diduga berasal dari Gunung Pangrango. Komplek liatnya didominasi oleh tipe liat kaolinit, haulisit yang memiliki daya menahan hara dan air rendah. Jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Cipeureu adalah tanah latosol dan tanah podsolik.

Latosol merupakan tanah yang tergolong cukup baik jika dilihat dari sudut kimia fisik yang berhubungan langsung dengan penggunaan praktis di lapangan. Sifat gembur, struktur ramah dan tekstur liat dengan kadang-kadang berdebu atau berlempung merupakan cirri khas baiknya sifat fisik. Sifat kimia, pH H20 berkisar antara 4,4 sampai 4,9; kapasitas tukar kation (KTK) berkisar antara 14,6 sampai 24,5 mendukung adanya pendominasian tipe liat 1:1. Rata-rata kejenuhan basa pada lapisan olah tergolong sedang (F=30); C-organik pada lapisan olah cukup yaitu rata-rata lebih dari 2,5%; sedangkan rata-rata N-total di lapisan olah tergolong sedang (lebih dari 0,2%). Permeabilitas tanah lapisan atas rata-rata 2,91 cm/jam, sedangkan tanah sub.soil rata-rata permeabilitasnya adalah 2,01 cm/jam. Padanan nama tanah seperti ini dalam sistem taksonomi (USDA 1975) adalah Tropohumult.

(52)

4.5.2 Tanah Sub DAS Cibadak

Jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Cibadak adalah tanah podsolik. Tanah podsodik dinilai yang paling dominan dan terdapat pada bagian tengah kearah barat kecamatan Cibadak. Jenis tanah ini adalah tanah yang berasal dari bahan liat dengan solum dalam dan disertai dengan batas antar lapisan jelas (Profil Kecamatan Cibadak 2005).

4.6 Tutupan Lahan

Tutupan lahan Sub DAS Cipeureu terdiri dari : tegakan pinus (Pinus merkusii), agathis (Agathis lorantifolia), puspa (Schima walichii), dan lahan kosong. Sedangkan tutupan lahan Sub DAS Cibadak seluruhnya berupa lahan terbuka. Komposisi keadaan penutup tanah oleh tajuk pada Sub DAS Cipeureu seperti tertera pada Tabel 10 di bawah ini:

Tabel 10 Luas penutupan lahan Sub DAS Cipeureu berdasarkan kelas kemiringan lahan

No Jenis Tutupan Lahan Kelas Kemiringan (%) Luas (ha)

0-5 5-15 15-35 35-50

1 Agathis + Puspa - 0,57 0,44 0,14 1,15

2 Pinus 0,10 0,31 1,29 0,09 1,79

3 Pinus+Mahoni - - 0,06 - 0,06

4 Puspa 0,96 2,00 9,95 0,77 13,67

5 Lahan Kosong 0,17 - 1,07 0,06 1,30

Total 1,22 2,87 12,81 1,06 17,97

(53)

38

BAB V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Curah Hujan

Curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian berdasarkan hasil pengukuran di stasiun curah hujan Sekarwangi selama periode Januari 2005 - Juli 2010 disajikan dalam Gambar 12.

Gambar 12 Grafik curah hujan bulanan Sub DAS Cipeureu dan Cibadak Januari 2005-Juli 2010.

Statistik curah hujan yang tercatat di stasiun curah hujan Sekarwangi menunjukkan rata-rata curah hujan selama 5 tahun sebesar 2124,5 mm/thn dengan curah hujan tahunan maksimum terjadi pada tahun 2008 sebesar 2721 mm/thn dan curah hujan tahunan minimum terjadi pada tahun 2006 sebesar 1365 mm/thn. Hasil klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson memperlihatkan bahwa Sub DAS Cipeureu dan Sub DAS Cibadak termasuk tipe B, dengan nilai Q sebesar 30%, rata-rata bulan basah yaitu sebanyak 8 bulan dan bulan kering sebanyak 2 bulan. Musim penghujan terjadi mulai bulan November sampai bulan Februari dengan curah hujan tertinggi pada bulan Desember. Musim kemarau terjadi mulai bulan Juli hingga bulan September, dengan bulan terkering terjadi pada bulanAgustus.

Data curah hujan selama 5 tahun yang diperoleh dari stasiun hujan Sekarwangi disajikan dalam Lampiran 1. Sedangkan data hujan selama pengamatan disajikan dalam Lampiran 2.

5.2 Transformasi Hujan - Debit Aliran

(54)

pengamatan disajikan dalam Lampiran 3 dan Lampiran 4. Statistik hujan dan debit langsung di kedua Sub DAS disajikan dalam Tabel 11.

Gambar 13 Hyetograph dan hidrograph debit total Sub DAS Cipeureu dan Sub DAS Cibadak hasil pengukuran di lapangan.

Gambar 14 Hyetograph dan hidrograph debit langsung Sub DAS Cipeureu dan Sub DAS Cibadak hasil pengukuran di lapangan.

Gambar

Gambar 1  Nomograf erodibilitas tanah (K) (untuk satuan metric) (Wischmeier et.al., 1971 dalam Poerwowidodo 1999)
Tabel 6  Besaran faktor C untuk aneka bentuk pengelolaan tanaman/ tumbuhan
Tabel 6  Lanjutan
Tabel 6  Lanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. 2) Guru menyampaikan materi pembelajaran. 3) Siswa diberi kesempatan membaca dan mempelajari materi tersebut. 4) Siswa diberi

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dapat disimpulkan bahwa variabel Partisipasi Anggaran di uji secara parsial terhadap Kinerja Laporan Keuangan

Metode yang akan digunkan adalah metode kualitatif agar dapat menggali atau menemukan hasil bagaimana pelaku usaha mikro kecil menetapkan harga jual dan strategi

Etika Bisnis Islam pada Perilaku Pemasaran dan Kepuasan Konsumen Pemasaran dalam ekonomi Islam merupakan tinjauan seluruh proses pemasaran dan penambahan nilai (value added)

Dari hasil penelitian di Dusun 12 Translok Desa Margasari Lampung Timur terdapat 7 jenis tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat antara lain api-api ( Avicennia marina )

Pantai Timur Jaya tidak dapat dipakai sebagai dasar dalam pengambilan keputusan bagi pemilik perusahaan yang juga dikasus ini adalah direktur perusahaan untuk mengganti

Perhitungan perbandingan dua metode pekerjaan pembekistingan plat dilakukan berdasarkan waktu dan biaya proyek (biaya langsung dan tak langsung), sesuai dengan bar chart

Hasil penelitian sebelumnya yang telah dilaporkan memperlihatkan bahwa penggunaan cahaya monokromatik berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan broiler berkaitan dengan