ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHATANI
PADI ORGANIK DENGAN PADI ANORGANIK
(Kasus : Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat)
INDAH WULANDARI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
RINGKASAN
INDAH WULANDARI. Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dengan Padi Anorganik (Kasus : Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat). Dibimbing Oleh UJANG SEHABUDIN.
Pertanian merupakan hal yang substansial dalam pembangunan, yaitu sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, penyedia bahan mentah untuk industri, penyedia lapangan kerja, dan penyumbang devisa negara. Hal yang wajar apabila bangsa Indonesia sebagai bangsa yang membangun selalu meletakkan pembangunan sektor pertanian sabagai prioritas utama dalam pembangunan. Titik kulminasi pembangunan pertanian terjadi pada tahun 1984, yaitu saat Indonesia yang sebelumnya mendapat predikat sebagai negara pengimpor beras terbesar dapat mencapai swasembada beras dengan program Bimbingan Massal (BIMAS). Program BIMAS merupakan salah satu realisasi bahwa revolusi hijau telah mencapai swasembada beras, sehingga mampu mengatasi kerawanan pangan. Hasil pertanian dari program BIMAS memang sangat menguntungkan, namun metode pertanian yang diterapkan menimbulkan beberapa akibat, seperti menurunnya produktivitas tanah akibat penggunaan pupuk kimia secara berlebihan dan rusaknya keseimbangan ekosistem akibat penggunaan pestisida.
Meningkatnya taraf kehidupan masyarakat membuat sebagian masyarakat menyadari arti pentingnya hidup yang berkualitas. Masyarakat semakin menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan kimia untuk pertanian akan menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan dan kesehatannya. Sebagian anggota masyarakat mulai mengubah pola makan dengan cara memilih produk pangan yang sehat, alami, dan berkualitas. Mereka juga mulai mencari produk pangan yang aman untuk dikonsumsi agar tidak berpengaruh negatif pada tubuhnya. Saat ini produk-produk pertanian organik seperti beras sudah banyak tersedia di supermarket tertentu. Hal ini membuat konsumen dapat dengan mudah memanfaatkan produk-produk tersebut walaupun harga jual yang ditawarkan cukup tinggi.
Tujuan penelitian ini adalah membandingkan struktur biaya dan pendapatan usahatani padi organik dengan padi anorganik. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara purposive dengan pertimbangan karena daerah ini merupakan salah satu daerah di Kota Bogor, disamping wilayah Kecamatan Bogor Selatan yang petaninya mengembangkan usahatani padi organik. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani padi organik dan anorganik yang berada di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede yang dipandu dengan kuesioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari penelusuran karya-karya ilmiah yang terkait dengan penelitian dan data-data yang diperoleh dari kantor Kelurahan Sindang Barang, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Badan Pusat Statistika, dan media komunikasi internet.
dan pemilik, maka biaya yang dikeluarkan petani penggarap per hektar dan per kilogram output per musim tanam lebih besar dibandingkan petani pemilik. Hal ini karena petani pemilik tidak mengeluarkan biaya sewa lahan yang berupa bagi hasil ke pemilik tanah. Biaya total per hektar dan per kg output per musim tanam yang dikeluarkan petani penggarap usahatani padi organik lebih besar dibandingkan anorganik, namun dari sisi petani pemilik sebaliknya. Komponen biaya tunai petani penggarap usahatani padi organik dan padi anorganik yang memiliki nilai tertinggi adalah bagi hasil (sewa lahan), sedangkan komponen biaya tunai petani pemilik usahatani padi organik dan anorganik yang memiliki nilai tertinggi adalah biaya tenaga kerja luar keluarga untuk penanaman sampai pemanenan. Pendapatan atas biaya tunai dan biaya total usahatani padi organik lebih besar dibandingkan anorganik. Hal ini disebabkan produktivitas dan harga gabah kering panen (GKP) organik lebih besar dibandingkan anorganik. Apabila dibedakan antara petani penggarap dan pemilik, maka pendapatan atas biaya tunai dan biaya total yang diterima petani pemilik usahatani padi organik dan anorganik lebih besar dibandingkan petani penggarap. Usahatani yang dijalankan petani padi organik dan anorganik sama-sama menguntungkan, namun jika dilihat dari nilai R-C rasionya maka usahatani padi organik lebih menguntungkan dibandingkan usahatani padi anorganik dan petani pemilik usahatani padi organik dan anorganik lebih menguntungkan dibandingkan petani penggarap. Secara statistik pendapatan atas biaya tunai dan biaya total usahatani padi organik berbeda nyata dengan anorganik yang diperoleh dari hasil uji beda dengan menggunakan SPSS 16. Kata Kunci : Usahatani, Padi Organik, Padi Anorganik, Biaya, Pendapatan.
ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHATANI
PADI ORGANIK DENGAN PADI ANORGANIK
(Kasus : Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat)
INDAH WULANDARI H44070046
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dengan Padi Anorganik: Kasus Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
Indah Wulandari
Judul Skripsi : Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik
dengan Padi Anorganik (Kasus Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat)
Nama : Indah Wulandari NIM : H44070046
Disetujui Dosen Pembimbing,
Ir. Ujang Sehabudin NIP. 19680301 199303 1 003
Diketahui Ketua Departemen,
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan bagi Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan suri taulaudan bagi saya untuk tidak mudah menyerah. Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orangtua tercinta Ayah Ismul Hadi Nasution, SH, mama Sumiyati, adik-adikku Novita Elia, Eka Mahlida dan Nadia Selvia serta keluarga besar atas segala doa, kasih sayang, dukungan dan motivasi tulus kepada penulis.
2. Ir. Ujang Sehabudin sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, motivasi, masukan, dan saran kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
3. Hadianto, SP, M.Si dan Novindra, SP sebagai dosen penguji yang bersedia meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan saran demi penyempurnaan skripsi ini.
4. Bapak Inta (ketua kelompok tani Mekar Tani) dan Bapak Acep (ketua kelompok tani Harapan Mekar) yang telah membantu dalam pengambilan data selama penelitian.
5. Seluruh petani responden di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede yang telah bersedia meluangkan waktu untuk diwawancara.
6. Seluruh mahasiswa/i ESL 44 khususnya Erlinda, Nasya Fathiras, Tina Rakhmawati dan Devina Marcia Sihombing yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis.
7. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas kebaikannya. Amin
Bogor, Juli 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat serta hidayah-Nya. Salawat serta salam penulis kirimkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dengan Padi Anorganik (Kasus : Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Tujuan penelitian ini adalah membandingkan struktur biaya dan pendapatan usahatani padi organik dengan padi anorganik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi petani sebagai bahan pertimbangan untuk memilih usahatani yang lebih efisien. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan karena keterbatasan yang dihadapi. Pada akhirnya, penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Juli 2011
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1 Sistem Pertanian Organik ... 11
2.1.1 Komponen Pertanian Organik ... 14
2.1.2 Tujuan Pertanian Organik ... 15
2.1.3 Permasalahan Seputar Pertanian Organik ... 17
2.2 Sistem Pertanian Konvensional/Anorganik ... 18
2.3 Perbedaan Sistem Pertanian Organik dan Anorganik ... 19
2.4 Perbedaan Usahatani Padi Organik dan Padi Anorganik ... 20
2.5 Kebijakan Pemerintah terkait Pertanian Organik ... 22
2.6 Penelitian Terdahulu ... 22
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 27
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 27
3.1.1 Konsep Usahatani ... 27
3.1.2 Biaya Usahatani ... 30
3.1.3 Pendapatan Usahatani ... 31
3.1.4 Rasio Penerimaan dan Biaya (R-C Rasio) ... 33
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 34
IV. METODE PENELITIAN ... 37
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37
4.2 Jenis dan Sumber Data ... ... 37
4.3 Metode Pengambilan Sampel ... 37
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 38
4.4.1 Analisis Struktur Biaya ... 39
4.4.2 Analisis Pendapatan ... 40
4.4.3 Analisis R-C Rasio ... 41
4.4.4 Uji Beda Dua Sampel Bebas (Independent Samples T Test) ... 42
x
V. GAMBARAN UMUM ... ... 45
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 45
5.1.1 Letak Geografis dan Pembagian Administrasi ... 45
5.1.2 Kependudukan ... ... 47
5.1.3 Sarana dan Prasarana ... 49
5.2 Gambaran Umum Budidaya Padi Organik dan Anorganik ... 50
5.2.1 Pengolahan Tanah ... ... 50
5.2.2 Pembenihan ... ... 52
5.2.3 Penanaman (tandur) ... 53
5.2.4 Perawatan Tanaman ... 54
5.2.4.1 Penyiangan ... 54
5.2.4.2 Pemupukan ... . 55
5.2.4.3 Pengendalian Organisme Pengganggu ... 57
5.2.5 Pemanenan dan Pasca Panen ... 58
5.3 Permasalahan Usahatani Padi ... 59
5.4 Karakteristik Responden ... ... 61
5.4.1 Usia ... ... 62
5.4.2 Tingkat Pendidikan ... 62
5.4.3 Status Usaha ... ... 63
5.4.4 Luas Lahan ... ... 64
5.4.5 Status Pengusahaan Lahan ... 64
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 66
6.1 Analisis Perbandingan Struktur Biaya Usahatani Padi Organik dan Anorganik ... 66
6.2 Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Anorganik... 74
6.2.1 Analisis Perbandingan R-C Rasio Usahatani Padi Organik dan Anorganik... 77
6.2.2 Hasil Uji Beda Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Anorganik... 79
VII. SIMPULAN DAN SARAN ... ... 82
7.1 Simpulan ... ... 82
7.2 Saran ... ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... ... 84
LAMPIRAN ... ... 86
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Data Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2005-2010 ... 1
2 Perbedaan Sistem Pertanian Organik dan Anorganik Berdasarkan Aspek Input-Output Produksi ... 19
3 Struktur Biaya Operasional Usahatani Padi Organik dan Anorganik ... 21
4 Pengambilan Sampel Petani Padi Organik dan Anorganik ... 38
5 Struktur Biaya Usahatani Padi Organik dan Anorganik ... 40
6 Luas Wilayah Kelurahan Situ Gede Menurut Penggunaan ... 47
7 Jumlah Penduduk Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede Menurut Golongan Umur Tahun 2010 ... 48
8 Jumlah Penduduk Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2010 ... 49
9 Perbandingan Penggunaan Tenaga Kerja Pengolahan Lahan Usahatani Padi Organik dan Anorganik ... 51
10 Perbandingan Penggunaan Benih pada Usahatani Padi Organik dan Anorganik ... 53
11 Perbandingan Kegiatan Pemupukan Usahatani Padi Organik dan Anorganik ... 56
12 Penggunaan Rata-Rata Pupuk Kimia pada Usahatani Padi Anorganik di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede ... 57
13 Perbandingan Produktivitas Usahatani Padi Organik dan Anorganik ... 59
14 Kelompok Umur Responden Petani Padi Organik dan Anorganik ... 62
15 Penggolongan Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 63
16 Status Usaha Petani Padi Organik dan Anorganik ... 64
17 Penggolongan Petani Padi Organik dan Anorganik Berdasarkan Luas Lahan ... 64
18 Penggolongan Petani Padi Organik dan Anorganik Berdasarkan Status Pengusahaan Lahan ... 65
19 Struktur Biaya Usahatani Padi Organik dan Anorganik per Hektar per Musim Tanam ... 67
xii
21 Struktur Biaya Usahatani Padi Organik dan Anorganik
Petani Penggarap dan Pemilik per kg Output
per Musim Tanam ... 73 22 Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan
Anorganik per Hektar per Musim Tanam... 74 23 Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan
Anorganik Petani Penggarap dan Pemilik per Hektar
per Musim Tanam ... 75 24 Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan
Anorganik Petani Penggarap dan Pemilik per Kg Output
per Musim tanam ... 76 25 Perbandingan R-C Rasio Usahatani Padi Organik
dan Anorganik per Hektar per Musim Tanam ... 77 26 Perbandingan R-C Rasio Usahatani Padi Organik dan
Anorganik Petani Penggarap dan Pemilik per Hektar
per Musim Tanam ... 78 27 Hasil Uji Beda Pendapatan Usahatani Padi Organik
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Kerangka Pemikiran Operasional... 36
2 Pengolahan Lahan... 52
3 Penanaman Padi... 54
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Peta Kelurahan Sindang Barang ... 87 2 Rincian Biaya Petani Penggarap Usahatani
Padi Organik per Hektar ... 88 3 Rincian Biaya Petani Pemilik Usahatani
Padi Organik per Hektar ... 89 4 Rincian Biaya Petani Pemilik Usahatani
Padi Anorganik per Hektar ... 89 5 Rincian Biaya Petani Penggarap Usahatani Padi Anorganik
per Hektar ... 90 6 Hasil Uji Beda Dua Sampel Bebas
(Independent Samples T Test) ... 91
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris dan salah satu negara berkembang di Asia Tenggara. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang banyak dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Menurut data statistik, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar 237,64 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen per tahun. Dengan jumlah penduduk sebesar 237,64 juta jiwa maka Indonesia menempati peringkat keempat di dunia sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Oleh sebab itu, sebagai negara agraris dan memiliki penduduk yang banyak, peran sektor pertanian sangat penting dalam memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat dan mendukung perekonomian nasional. Data mengenai jumlah dan
laju pertumbuhan penduduk dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Data Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2005 - 2010
Tahun Jumlah Penduduk
(Juta Jiwa)
Laju Pertumbuhan Penduduk (%)
2005 218,86 1,30
2008 2010
228,42 237,64
1,36 1,49 Sumber : Data Statistik Indonesia, 20101
Pertanian merupakan hal yang substansial dalam pembangunan, yaitu
sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, penyedia bahan mentah untuk industri,
penyedia lapangan kerja, dan penyumbang devisa negara. Hal yang wajar apabila
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang membangun selalu meletakkan
pembangunan sektor pertanian sebagai prioritas utama dalam pembangunan. Titik
puncak pembangunan pertanian dalam hal ini pertanian tanaman pangan terjadi
1
pada tahun 1984, yaitu saat Indonesia yang sebelumnya mendapat predikat
sebagai negara pengimpor beras terbesar dapat mencapai swasembada beras
dengan program Bimbingan Massal (BIMAS) yang dijalankannya (Winangun,
2005).
Program BIMAS digunakan sebagai salah satu realisasi bahwa revolusi
hijau telah mencapai swasembada beras, sehingga hal tersebut mampu mengatasi
kerawanan pangan yang terjadi (Sutanto, 2002b). Revolusi hijau merupakan usaha yang dilakukan manusia dalam meningkatkan produksi pangan dengan jalan melakukan pengembangan pada teknologi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kesejahteraan penduduk dunia2. Hasil pertanian yang didapat dari program BIMAS tersebut memang sangat menguntungkan, namun metode
pertanian yang diterapkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat
Indonesia masih terus dipertanyakan. Hal ini dikarenakan adanya beberapa akibat
yang ditimbulkan, seperti menurunnya produktivitas tanah akibat penggunaan
pupuk kimia secara berlebihan dan rusaknya keseimbangan ekosistem akibat
penggunaan pestisida yang tanpa disadari akan mengakibatkan matinya spesies
lain selain hama dan penyakit tanaman. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan
penggunaan pupuk dan pestisida anorganik maka petani memerlukan biaya yang
relatif mahal sehingga akan berimplikasi pada semakin meningkatnya biaya
produksi yang dikeluarkan (Winangun, 2005).
Teknologi revolusi hijau merupakan teknologi budidaya tanaman padi
yang pada waktu itu dimasyarakatkan oleh pemerintah dengan istilah Panca
Usahatani, yaitu pengolahan tanah, pemupukan dengan pupuk buatan, perbaikan
2
jaringan pengairan, penanaman benih unggul, serta pengendalian hama dan
penyakit dengan pestisida. Teknologi ini menggunakan teknik bercocok tanam
intensif dengan ciri pemakaian pestisida dan pupuk kimia sintetik. Dengan adanya
teknologi ini diharapakan kebutuhan pangan seluruh penduduk yang meningkat
setiap tahunnya dapat terpenuhi.
Dunia usaha pertanian saat ini dihadapkan pada dilema yaitu mengenai
apakah akan tetap mempertahankan pola pengelolaannya seperti saat ini dengan
menggunakan lebih banyak input luar (obat-obatan dan pupuk buatan) atau
dengan menggunakan lebih banyak input dalam (kompos, pupuk kandang, dan
obat-obatan alami). Dua pilihan ini sama-sama memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing dan bila dipilih memiliki bobot pilihan yang imbang.
Jika memilih dengan lebih banyak menggunakan input luar, dalam jangka pendek
kebutuhan akan hasil-hasil pertanian akan dapat dipenuhi, akan tetapi dalam
jangka panjang akan mengalami penurunan yang drastis akibat kerusakan
lingkungan yang ditimbulkannya. Sebaliknya, jika memilih pada penggunaan
input dalam yang lebih banyak, maka dalam jangka pendek kebutuhan akan
hasil-hasil pertanian tidak dapat dipenuhi. Namun, dalam jangka panjang akan
menjamin terpenuhinya kebutuhan akan hasil-hasil pertanian secara
berkesinambungan (Winangun, 2005).
Menurut pakar ekologi, teknologi modern (pertanian yang tergantung pada
bahan kimia) berdasarkan pertimbangan fisik dan ekonomi dianggap berhasil
menanggulangi kerawanan pangan, namun harus dibayar mahal dengan semakin
meningkatnya kerusakan atau degradasi yang terjadi di permukaan bumi
yang dihasilkan dari teknologi revolusi hijau tidak berkelanjutan maka para ahli
pertanian mendirikan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pertanian dengan tujuan untuk mengembangkan sistem pertanian alternatif yang ramah lingkungan. Sistem pertanian tersebut biasa dikenal sebagai pertanian organik. Pertanian organik dianggap sebagai salah satu solusi bagi revolusi hijau karena dapat mengajarkan petani untuk menggunakan input-input pertanian yang ramah lingkungan seperti pupuk dan pestisida alami serta mengajarkan petani untuk menghargai kearifan dan budaya lokal dalam pertanian. Selain itu, petani dapat menghasilkan produk yang aman bagi konsumen, menyehatkan tanah, dan menjaga keanekaragaman hayati.
Masih berkembangnya pertanian organik di Indonesia menyebabkan pengelolaan pertanian organik memerlukan perhatian yang khusus dari instansi terkait. Hal ini berkaitan dengan hak konsumen untuk mendapatkan kejelasan mengenai apakah produk yang dihasilkan dikelola secara organik atau tidak dan apakah produk yang dihasilkan mempunyai atribut aman dikonsumsi (food safety attributes), atribut ramah lingkungan (ecolabelling attributes) dan sesuai standar yang dikeluarkan International Federation for Organic Agricultural Movements
(IFOAM) maupun Standar Nasional Indonesia (SNI) atau tidak. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar konsumen mempunyai perlindungan hukum yang jelas. Sebab dengan harga jual produk organik yang tinggi dan tidak adanya aturan yang jelas menyebabkan bisnis ini akan meningkat tanpa terkendali sehingga memungkinkan terjadinya penipuan yang berkedok produk organik.
Berdasarkan data IFOAM tahun 2006 luas lahan organik di Indonesia mencapai 41.431 ha, yaitu setara dengan 0,1 persen lahan pertanian Indonesia, sedangkan menurut Asosiasi Organis Indonesia (AOI) tahun 2008 luas lahan organik di Indonesia telah mencapai 60.000 ha. Sementara yang telah disertifikasi sebagai pertanian organik sampai dengan tahun 2008 baru 23 pelaku organik yang mencakup lahan seluas kurang lebih 7.533 ha. Umumnya produk organik yang telah disertifikasi tersebut hanya dipasarkan di dalam negeri3.
Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya hayati tropika, kelimpahan sinar matahari, air dan tanah, serta budaya masyarakat yang menghormati alam. Hal ini lah yang membuat Indonesia memiliki potensi yang besar untuk pertanian organik. Permintaan beras organik di Indonesia terus mengalami peningkatan
3
setiap tahunnya. Pada tahun 2001 produksi beras organik sebesar 1.180 ton, sedangkan pada tahun 2004 produksi beras organik meningkat menjadi 11.000 ton. Pada tahun 2005 pasar beras organik Indonesia mencapai 28 miliar rupiah dengan pertumbuhan sekitar 22 persen per tahun. Meningkatnya pasar beras organik diikuti dengan peningkatan jumlah petani organik Indonesia yang pada tahun 2001 berjumlah 640 orang petani, meningkat menjadi 1.700 orang petani di tahun 20044.
Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar. Dari 75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan. Pertanian organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau belum tercemar oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik. Lahan yang belum tercemar adalah lahan yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan yang demikian kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah diusahakan secara intensif dengan menggunakan bahan pupuk dan pestisida kimia. Namun, apabila lahan tersebut digunakan untuk ditanami secara organik maka memerlukan masa konversi yang cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun agar lahan tersebut terbebas dari bahan kimia5.
1.2 Perumusan Masalah
Sistem pertanian organik adalah suatu sistem produksi pertanian dimana bahan organik, baik makhluk hidup maupun yang sudah mati merupakan faktor penting dalam proses produksi. Penggunaan pupuk organik (alami atau buatan)
4
http://www.biocert.or.id/files/edition [Diakses tanggal 2 Juli 2006]
dan pupuk hayati serta pemberantasan hama, penyakit dan gulma secara biologis merupakan contoh penerapan pertanian organik (Sugito dkk, 1995).
Sistem pertanian organik yang semakin populer akhir-akhir ini disebabkan karena adanya kegagalan sistem pertanian anorganik dalam mempertahankan kelestarian lahan dan lingkungan dalam jangka panjang. Hal tersebut terjadi karena dalam penerapannya, sistem pertanian tersebut sangat bergantung pada pemakaian bahan-bahan kimiawi seperti pupuk urea, TSP, ZA, pestisida dan sebagainya sehingga dalam jangka panjang akan berdampak pada rusaknya lahan pertanian yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas.
Di Indonesia khususnya Pulau Jawa, sistem pertanian organik seperti padi organik sudah diterapkan. Salah satunya adalah Kota Bogor yang berada di Jawa Barat. Pengembangan padi organik di Kota Bogor difokuskan pada Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat. Daerah ini merupakan salah satu daerah pertanian di Kota Bogor yang menerapkan sistem pertanian padi organik.
keunggulan komparatif sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di Kota Bogor. Selain itu, pemerintah melalui Departemen Pertanian telah mencanangkan gerakan Go Organik 2010 untuk memperkenalkan para petani kepada sistem usahatani pertanian organik. Sistem pertanian organik ini akan dilaksanakan secara bertahap dan diharapkan bisa terwujud di seluruh Indonesia pada tahun 2010.6
Dalam kenyataannya kegiatan pertanian padi organik masih sulit untuk diterapkan. Hal tersebut terjadi karena adanya beberapa kendala dalam penerapannya seperti keinginan petani yang ingin praktis dalam mengolah lahannya sehingga sulit untuk menyampaikan informasi mengenai pertanian organik dan sulitnya memasarkan produk padi organik yang disebabkan karena padi tersebut merupakan produk yang tidak umum.
Selain itu, kendala yang sering dijumpai dalam penerapan usahatani padi organik adalah produksi padi yang dihasilkan masih dibawah hasil padi anorganik, namun dibalik kendala terdapat beberapa kelebihan dalam menerapkan usahatani padi organik, salah satunya yaitu harga beras organik lebih mahal dari pada harga beras anorganik. Menurut para petani yang berada di Kelurahan Situ Gede Kota Bogor Jawa Barat, harga beras organik yang dijual di pasar mencapai Rp 8.000/kg, sedangkan harga beras anorganik yang dijual mencapai Rp 7.000/kg. Mahalnya harga beras organik tersebut diharapkan dapat memberikan rangsangan kepada para petani untuk terus mengembangkan usahatani yang ramah lingkungan dan dapat memberikan tingkat penghasilan yang lebih baik bagi para petani. Selain itu, mahalnya harga beras organik ternyata tidak terlalu mempengaruhi permintaan pasar. Hal ini karena, beras organik memiliki rasa yang lebih pulen
dan lebih wangi serta memiliki nilai kandungan nutrisi dan mineral yang tinggi yang dibutuhkan oleh tubuh.
Keuntungan lain yang didapatkan petani dari usahatani padi organik adalah gabah dari pertanian organik umumnya memiliki rendemen yang lebih tinggi, yaitu hingga 72 persen. Artinya, setiap 100 kg gabah akan menghasilkan 72 kg beras. Persentase itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan rendemen beras biasa yang rata-rata hanya 65 persen7.
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perbandingan struktur biaya usahatani padi organik dan padi anorganik?
2. Bagaimana perbandingan pendapatan usahatani padi organik dan padi anorganik?
1.3 Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah 1. Membandingkan struktur biaya usahatani padi organik dan padi anorganik. 2. Membandingkan pendapatan usahatani padi organik dan padi anorganik. 1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak petani, pemerintah, penulis dan peneliti lainnya.
1. Pihak petani, sebagai masukan untuk para petani khususnya di Kelurahan Sindang Barang dan Kelurahan Situ Gede dalam mengembangkan usahatani padi organik.
2. Pihak Pemerintah Kota Bogor, sebagai masukan dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pengembangan padi organik.
3. Pihak penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang usahatani padi organik atau pertanian organik baik aspek teknis maupun ekonomis.
4. Pihak peneliti lain, penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi yang bermanfaat dan menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Pertanian Organik
Menurut Sutanto (2002a), pertanian organik diartikan sebagai suatu sistem
produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang hara sacara hayati. Daur ulang
hara merupakan teknologi tradisional yang sudah cukup lama dikenal sejalan
dengan perkembangan peradaban manusia, terutama di daratan China. Daur ulang
hara dapat melalui sarana limbah tanaman dan ternak serta limbah lainnya yang
mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah.
Sistem pertanian organik merupakan suatu sistem yang berpijak pada
kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan
kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas
yang baik bagi hasil pertanian dan lingkungan. Menurut International Federation
of Organic Agriculture Movements (IFOAM), tujuan yang hendak dicapai dengan
penggunaan sistem pertanian organik adalah sebagai berikut (Winangun, 2005) :
a. Menghasilkan bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah
yang cukup;
b. Mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usahatani dengan
mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna, tanah, tanaman, serta
hewan;
c. Memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan;
d. Memanfaatkan bahan-bahan yang mudah didaur ulang baik di dalam maupun
di luar usahatani;
e. Membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin
12
f. Mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelestarian habitat
tanaman dan hewan;
g. Memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian
(terutama petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi
manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan
kepuasan kerja, termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat.
Istilah pertanian organik dimunculkan karena konsep pertanian ini
mempergunakan asupan yang bersifat organik dan dalam perkembangannya
mempunyai banyak aliran serta pola tersendiri hampir di tiap wilayah. Hal ini
dilatarbelakangi oleh konsep dan pandangan yang berbeda-beda mengenai
pertanian organik itu sendiri. Berbagai konsep mengenai pola pertanian organik
atau berwawasan lingkungan dapat dikelompokan menjadi lima7, yaitu :
1. Pertanian biodinamis : sistem budidaya yang mendasarkan pada peredaran
bulan;
2. Pertanian ekologis : pertanian yang tanpa merubah lingkungan setempat;
3. Pertanian permaculture : pertanian yang menerapkan pola pertanian permanen
in situ dan terpadu dari berbagai komponen pertanian dan peternakan;
4. Pertanian biologis : pertanian yang menitik beratkan pada keseimbangan
organisme;
5. Pertanian natural : sistem pertanian yang mendasarkan pada pandangan hidup
bahwa alam telah mengatur dirinya sendiri. Perbedaan wawasan dan
pendekatan pertanian berlingkungan atau pertanian organik yang
berbeda- 7
beda menghasilkan variasi praktek pertanian organik yang berbeda-beda,
walaupun tujuannya sama.
Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa
tanaman, kompos dan pupuk kandang menjadi biomass tanah yang selanjutnya
setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Hal
ini berbeda sama sekali dengan pertanian konvensional yang memberikan unsur
hara secara cepat dan langsung dalam bentuk larutan sehingga segera diserap
dengan takaran dan waktu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Beras organik merupakan beras yang berasal dari padi yang dibudidayakan
secara organik atau tanpa pengaplikasian pupuk dan pestisida kimia. Oleh karena
tanpa bahan kimia, beras organik tersebut terbebas dari residu pupuk kimia dan
pestisida kimia yang sangat berbahaya (Andoko, 2002). Dalam menghasilkan
beras organik yang benar-benar murni memerlukan waktu yang sangat lama yaitu
idealnya 5 sampai 15 tahun. Tujuannya adalah untuk mengembalikan ekosistem
tanah yang sudah lama terkontaminasi oleh pestisida. Selain harus
mengembalikan ekosistem tanah, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan
agar menghasilkan beras organik yang berkualitas, diantaranya adalah8 :
a. Lokasi lahan harus jauh dari polusi, misalnya : asap knalpot motor dan limbah
pabrik;
b. Sistem pengairan harus baik, tidak boleh bercampur dengan lahan pertanian
yang belum organik (masih menggunakan pestisida);
c. Kontur tanah Terasiring (sengkedan);
14
d. Lahan-lahan pertanian yang berada di sekitarnya tidak boleh menggunakan
pestisida.
2.1.1 Komponen Pertanian Organik
Cara bertanam padi organik pada dasarnya tidak berbeda dengan bertanam
padi secara konvensional. Perbedaannya hanyalah pada pemilihan varietas dan
penggunaan pupuk. Pertanian organik biasanya diawali dengan pemilihan bibit
atau benih tanaman non-hibrida. Selain untuk mempertahankan keanekaragaman
hayati, bibit non-hibrida sendiri secara teknis memungkinkan untuk ditanami
secara organik. Hal ini dikarenakan bibit non-hibrida dapat hidup dan berproduksi
optimal pada kondisi yang alami. Sementara bibit atau benih hibrida biasanya
dikondisikan untuk dibudidayakan secara anorganik, seperti harus menggunakan
pupuk kimia dan pestisida kimia (Andoko, 2002). Selain pemilihan varietas,
komponen-komponen lainnya yang mempengaruhi pertanian organik adalah
lahan. Lahan yang dapat dijadikan pertanian organik adalah lahan yang terbebas
dari bahan agrokimia pupuk dan pestisida. Terdapat dua pilihan lahan yaitu lahan
pertanian yang baru dibuka dan lahan pertanian intensif yang dikonversi untuk
lahan pertanian organik.
Komponen lainnya yang mempengaruhi pertanian organik adalah pupuk.
Pupuk organik yang dapat digunakan adalah kompos, pupuk kandang, azola,
pupuk hijau, limbah industri, dan limbah perkotaan termasuk limbah rumah
tangga. Karakteristik umum yang dimiliki pupuk organik ialah kandungan unsur
hara rendah dan sangat bervariasi, serta penyediaan hara terjadi secara lambat dan
terbatas. Keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan pupuk organik adalah
kelemahan yang diperoleh dari penggunaan pupuk organik diantaranya adalah
diperlukan dalam jumlah yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan unsur
hara dari suatu pertanaman, hara yang dikandung untuk bahan yang sejenis sangat
bervariasi, dan kemungkinan akan menimbulkan kekahatan unsur hara apabila
bahan organik yang diberikan belum cukup matang (Susanto, 2002b). Menurut
Andoko (2002) beberapa sifat dari pupuk organik adalah sebagai berikut :
a. Memperbaiki struktur tanah, dari berlempung yang liat menjadi ringan;
b. Memperbaiki daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak terurai;
c. Memperbaiki daya ikat air pada tanah;
d. Memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah;
e. Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara;
f. Menyediakan makanan bagi mikroba;
g. Menurunkan aktivitas mikroorganisme merugikan.
2.1.2 Tujuan Pertanian Organik
Tujuan pertanian organik dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang yang
akan dicapai melalui pengembangan pertanian organik adalah (Sutanto, 2002b) :
1. Melindungi dan melestarikan keragaman hayati serta fungsi keragaman dalam
bidang pertanian;
2. Memasyarakatkan kembali budidaya organik yang sangat bermanfaat dalam
mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan sehingga menunjang
kegiatan budidaya pertanian yang berkelanjutan;
3. Membatasi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat residu pestisida,
16
4. Mengurangi ketergantungan petani terhadap masukan dari luar yang berharga
mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan;
5. Mengembangkan dan mendorong kembali munculnya teknologi pertanian
organik yang telah dimiliki petani secara turun-temurun, serta merangsang
kegiatan penelitian pertanian organik oleh lembaga penelitian dan universitas;
6. Membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara menyediakan
produk-produk pertanian bebas pestisida, residu pupuk, dan bahan kimia
pertanian lainnya;
7. Meningkatkan peluang pasar produk organik, baik domestik maupun global
dengan jalan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha yang bergerak
dalam bidang pertanian.
Adapun tujuan jangka pendek yang akan dicapai melalui pengembangan
pertanian organik adalah sebagai berikut (Sutanto, 2002b) :
1. Ikut serta menyukseskan program pengentasan kemiskinan melalui
peningkatan pemanfaatan peluang pasar dan ketersediaan lahan petani yang
sempit;
2. Mengembangkan agribisnis dengan jalan menjalin kemitraan antara petani
sebagai produsen dan para pengusaha;
3. Membantu menyediakan produk pertanian bebas residu bahan kimia pertanian
lainnya dalam rangka ikut meningkatkan kesehatan masyarakat;
4. Mengembangkan dan meningkatkan minat petani pada kegiatan budidaya
organik baik sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan yang
mampu meningkatkan pendapatan tanpa menimbulkan terjadinya kerusakan
5. Mempertahankan dan melestarikan produktivitas lahan, sehingga lahan
mampu berproduksi secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan generasi
sekarang dan mendatang.
2.1.3 Permasalahan Seputar Pertanian Organik
Permasalahan mengenai pertanian organik meliputi penyediaan pupuk
organik, teknologi pendukung budidaya pertanian organik, dan pemasaran produk
organik9. Permasalahan pertanian organik di Indonesia sejalan dengan
perkembangan pertanian organik itu sendiri. Pertanian organik mutlak
memerlukan pupuk organik sebagai sumber hara utama. Dalam sistem pertanian
organik, ketersediaan hara bagi tanaman harus berasal dari pupuk organik.
Padahal dalam pupuk organik tersebut kandungan hara per satuan berat kering
bahan jauh dibawah realis hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik, seperti
Urea, TSP dan KCl. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar tanaman
(minimum crop requirement) cukup membuat petani kesulitan.
Masalah utama lainnya mengenai pertanian oganik adalah teknologi
budidaya pertanian organik. Teknik bercocok tanam yang benar seperti pemilihan
rotasi tanaman dan pemutusan siklus hidup hama perlu diketahui. Selain itu,
teknologi pencegahan hama dan penyakit juga sangat diperlukan, terutama pada
pembudidayaan pertanian organik di musim hujan. Selain itu, untuk pemasaran
produk organik didalam negeri sampai saat ini hanyalah berdasarkan kepercayaan
kedua belah pihak, konsumen dan produsen. Sedangkan untuk pemasaran ke luar
negeri, produk organik Indonesia masih sulit menembus pasar internasional
meskipun sudah ada beberapa pengusaha yang pernah menembus pasar
international tersebut. Kendala utama adalah sertifikasi produk oleh suatu badan
18 sertifikasi yang sesuai standar suatu negara yang akan dituju. Akibat keterbatasan
sarana dan prasarana terutama terkait dengan standar mutu produk, sebagian besar
produk pertanian organik tersebut berbalik memenuhi pasar dalam negeri yang
masih memiliki pangsa pasar cukup luas. Hal ini menyebabkan petani melabel
produknya sendiri sebagai produk organik walaupun kenyatannya banyak yang
masih mencampur pupuk organik dengan pupuk kimia serta menggunakan sedikit
pestisida. Sehingga, petani yang benar-benar melaksanakan pertanian organik
secara murni akan merugi.
2.2 Sistem Pertanian Konvensional/ Anorganik
Sistem pertanian konvensional terbukti mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi secara global, khususnya di bidang pertanian. Salah satu
contoh di Indonesia adalah mampu berswasembada pangan (terutama beras) sejak
tahun 1983. Tetapi sistem pertanian konvensional tersebut tidak terlepas dari
resiko dampak negatif yang ditimbulkan. Meningkatnya kebutuhan pangan yang
seiring dengan laju pertambahan penduduk, menuntut peningkatan terhadap
penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida.
Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan dari sistem pertanian
konvensional, yaitu sebagai berikut (Schaller dalam Winangun, 2005) :
a. Pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia pertanian dan
sedimen;
b. Ancaman bahaya bagi kesehatan manusia dan hewan, baik karena pestisida
maupun bahan aditif pakan;
c. Pengaruh negatif aditif senyawa kimia pertanian tersebut pada mutu dan
d. Penurunan keanekaragaman hayati termasuk sumber genetik flora dan fauna
yang merupakan modal utama pertanian berkelanjutan (sustainable
agriculture);
e. Peningkatan daya ketahanan organisme penganggu terhadap pestisida;
f. Penurunan daya produktivitas lahan karena erosi, pemadatan lahan, dan
berkurangnya bahan organik;
g. Munculnya resiko kesehatan dan keamanan manusia pelaku pertanian.
2.3 Perbedaan Sistem Pertanian Organik dan Anorganik
Menurut Salikin (2003), terdapat perbedaan antara pertanian organik dan
pertanian anorganik yang ditinjau berdasakan aspek input-output produksi.
Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbedaan Sistem Pertanian Organik dan Anorganik Berdasarkan Aspek Input-Output Produksi
No Uraian Sistem Pertanian Organik Sistem Pertanian Anorganik
1. Lahan • Olah Tanah Minimum (OTM) Olah Tanah Intensif (OTI)
• Olah Tanah Bermulsa (OTB)
• Olah Tanah Konservasi (OTK)
• Tanpa Olah Tanah (TOT)
2. Benih Varietas Lokal Varietas unggul
3. Pupuk • Pupuk kandang
• Pupuk Hijau
• Bokashi
• Urea
• TSP
• KCl
• NPK
• ZPT
4. Pestisida • Pestisida alami
• Pengendalian hama terpadu
• Insektisida
• Herbisida
5. Manajemen • Orientasi jangka panjang
• Orientasi ekonomi dan ekologi
• Manajemen global dan
indigenous local
• Orientasi jangka pendek
• Orientasi produk
• Manajemen industrial
20
2.4 Perbedaan Usahatani Padi Organik dan Padi Anorganik
Menurut Andoko (2002), terdapat beberapa perbedaan yang harus
diperhatikan dalam menanam padi organik yaitu, penyiapan lahan, pemberian
pupuk, dan pengendalian organisme penganggu. Pada tahap persiapan lahan,
sebaiknya tanah dan air yang digunakan untuk pertanian organik harus terbebas
dari pestisida dan kandungan berbahaya kimia lainnya. Pada tahap ini, petani
melakukan pengolahan lahan sawah dengan cara membajak menggunakan traktor
dan kerbau. Setelah itu, pemberian pupuk kandang pada usahatani padi organik
dapat dilakukan dengan cara ditebarkan merata keseluruh permukaan lahan.
Pada usahatani padi organik, pupuk yang digunakan seluruhnya berupa
pupuk organik seperti pupuk kandang dan bokashi sebanyak 2 ton/ha. Sedangkan
pada usahatani padi anorganik, pupuk yang digunakan adalah pupuk kimia seperti
urea, TSP, dan KCl. Pada pertanian padi anorganik, dosis pemupukan dengan
pupuk kimia semakin meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan pada pertanian
padi organik, dosis pemupukan cenderung semakin menurun.
Perbedaan lain antara usahatani padi organik dan usahatani padi anorganik
terletak pada pengendalian organisme penganggu dan pembersihan gulma. Pada
usahatani padi organik, pengendalian organisme penganggu dan pembersihan
gulma tidak menggunakan bahan-bahan kimia. pengendalian organisme
penganggu pada usahatani padi organik dilakukan dengan menggunakan pestisida
alami, sedangkan pembersihan gulma dilakukan dengan cara mencabut gulma
secara manual oleh tenaga kerja.
Selain itu, perbedaan usahatani padi organik dan padi anorganik juga dapat
lebih menguntungkan dibanding usahatani padi anorganik. Hal ini terjadi karena
biaya yang dikeluarkan pada usahatani padi organik lebih kecil dari pada
usahatani padi anorganik. Secara rinci perbandingan biaya operasional usahatani
padi secara organik dan anorganik dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Struktur Biaya Operasional Usahatani Padi Organik dan Anorganik
Uraian Budidaya (Rp/ha)
Organik (%) Anorganik (%) Benih 30 kg 150.000 5,09 150.000 3,53
Pupuk dasar :
•Pupuk kandang/ kompos 5 ton 750.000 25,46 0 0,00
Pupuk susulan :
• Urea 500 kg 0 0,00 600.000 14,12
• KCl 250 kg 0 0,00 432.500 10,18
• TSP 250 kg 0 0,00 500.000 11,77
• Pupuk kandang/ kompos 200 kg 150.000 5,09 0 0,00 • Pupuk organik cair 50.000 1,69 0 0,00
Pestisida :
• Pestisida organik 50.000 1,69 0 0,00 • Pestisida kimia 0 0,00 750.000 17,65
Tenaga kerja :
• Pengolahan lahan (borongan) 250.000 8,48 250.000 5,88 • Penanaman (borongan) 250.000 8,48 250.000 5,88 • Penyulaman 5 HKP 50.000 1,69 50.000 1,17 Pengolahan tanah ringan 10 HKP 100.000 3,39 100.000 2,35 • Penyiangan 25 HKP 250.000 8,48 250.000 5,88 • Pemupukan 20.000 0,68 40.000 0,94 • Penyemprotan 10 HKP 100.000 3,39 100.000 2,35 • Pemanenan (borongan) 775.000 26,31 775.000 18,24
Jumlah 2.945.000 100,00 4.247.500 100,00
Sumber : Andoko, 2002
Andoko (2002) menunjukkan bahwa biaya usahatani padi organik lebih
rendah dibandingkan biaya usahatani padi anorganik. Proporsi biaya tertinggi
pada usahatani padi organik adalah biaya pemanenan dengan persentase sebesar
26,31 persen, sedangkan proporsi biaya tertinggi pada usahatani padi anorganik
adalah biaya pembelian pupuk urea, KCl dan TSP dengan persentase sebesar
22
2.5 Kebijakan Pemerintah terkait Pertanian Organik
Pencanangan dan upaya program “Go Organik 2010” oleh Departemen
Pertanian sudah dilakukan sejak tahun 2001. Adapun tujuan program ini adalah
untuk memperkenalkan kepada para petani pada sistem usahatani organik,
mewujudkan Indonesia sebagai salah satu produsen pangan organik terbesar di
dunia dan memenuhi tersedianya produk pertanian yang bebas pestisida baik pada
pasar dalam maupun luar negeri.
Penyuksesan program tersebut memerlukan keterpaduan peran dan
tanggungjawab seluruh stakeholder terkait termasuk pemerintah, yang salah satu
tugasnya adalah memfasilitasi pelaksanaan program Go Organik 2010 mulai dari
penyusunan kebijakan, sosialisasi sistem pangan organik, penyiapan infrastruktur
sistem pangan organik, penyiapan kelembagaan, penyiapan tenaga
fasilitator/pembina sistem pertanian organik, penyiapan inspektor organik, dan
memfasilitasi akses pasar bagi produk-produk organik berkualitas10.
2.6 Penelitian Terdahulu
Marini (2007), melakukan penelitian tentang analisis perbandingan
keuntungan usahatani padi bebas pestisida dengan padi anorganik di Gapoktan
Silih Asih, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis perbandingan keuntungan antara usahatani bebas pestisida
dengan padi anorganik yang dilihat dari sisi pendapatan dan efisiensi usahatani,
mengetahui saluran, lembaga dan marjin pemasaran padi bebas pestisida di
berbagai lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran dan mengetahui
karakteristik konsumen beras bebas pestisida. Hasil analisis pendapatan
menunjukkan bahwa jumlah produksi dan penerimaan total per tahun padi bebas
pestisida lebih kecil daripada jumlah produksi dan penerimaan total per tahun padi
anorganik. Jumlah produksi dan penerimaan padi bebas pestisida masing-masing
sebesar 12.087,5 kg/ha dan Rp 20.547.985/tahun, sedangkan jumlah produksi dan
penerimaan padi anorganik masing-masing sebesar 14.512,96 kg/ha dan Rp
20.769.444/tahun. Pada sisi biaya, jumlah biaya tunai yang dikeluarkan oleh
petani padi anorganik lebih besar dibandingkan jumlah biaya tunai yang
dikeluarkan oleh petani padi bebas pestisida dan ini juga berdampak pada biaya
total yang dikeluarkan oleh masing-masing petani tersebut. Biaya tunai dan biaya
total yang dikeluarkan oleh petani padi bebas pestisida masing-masing sebesar Rp
6.533.083/ha/tahun dan Rp 15.584.606/ha/tahun, sedangkan jumlah biaya tunai
dan biaya total yang dikeluarkan oleh petani padi anorganik masing-masing
sebesar Rp 14.468.569/ha/tahun dan Rp 11.338.333/ha/tahun. Proporsi biaya tunai
tertinggi pada usahatani padi anorganik dan padi bebas pestisida adalah biaya
tenaga kerja luar keluarga dengan persentase masing-masing sebesar 57,60 persen
dan 47,64 persen.
Dengan demikian, dari segi pendapatan maka pendapatan kotor dan
pendapatan bersih usahatani padi bebas pestisida lebih besar dibandingkan
pendapatan kotor dan pendapatan bersih usahatani padi anorganik. Pendapatan
kotor dan pendapatan bersih usahatani padi bebas pestisida sebesar Rp 11.300.875
dan Rp 9.209.652, sedangkan pendapatan kotor dan pendapatan bersih usahatani
padi anorganik sebesar Rp 7.300.875 dan Rp 6.184.838. Hasil analisis R-C rasio
menunjukkan bahwa usahatani padi bebas pestisida lebih layak dan
menguntungkan dibandingkan usahatani padi anorganik. Hal ini ditunjukkan oleh
24 besar dibandingkan dengan usahatani padi anorganik yaitu masing-masing sebesar
3,145 dan 2,080 serta 1,812 dan 1,397.
Rachmiyanti (2009), melakukan penelitian tentang analisis perbandingan
usahatani padi organik metode System of Rice Intensification (SRI) dengan padi
konvensional di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dan menganalisis pengaruh
perubahan sistem usahatani dari usahatani non organik menjadi usahatani organik
metode SRI yang dilakukan oleh para petani terhadap tingkat pendapatannya.
Dari segi produksi, jumlah produksi yang dihasilkan pada usahatani padi
organik metode SRI lebih rendah dibandingkan usahatani padi konvensional.
Jumlah produksi pada usahatani padi organik metode SRI sebesar 5.753 kg/ha,
sedangkan jumlah produksi usahatani padi konvensional sebesar 6.106 kg/ha.
Namun, dari segi penerimaan, penerimaan total usahatani padi organik metode
SRI lebih besar dari penerimaan total usahatani padi konvensional. Penerimaan
total usahatani padi organik metode SRI sebesar Rp 17.259.000, sedangkan
penerimaan total usahatani padi konvensional sebesar Rp 12.212.000. Besarnya
penerimaan total yang diterima oleh petani padi organik dikarenakan harga jual
GKP padi organik per kilogram lebih tinggi dari harga jual GKP konvensioan per
kilogram, yaitu Rp 3.000/kg, sedangkan harga GKP padi konvensional adalah Rp
2.000/kg.
Berdasarkan hasil analisis pendapatan diketahui bahwa pendapatan atas
biaya tunai dan pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI
masing-masing sebesar Rp 8.528.778/ha dan Rp 6.061.430/ha. Sedangkan
konvensional masing-masing sebesar Rp 7.245.966/ha dan Rp 6.567.345/ha. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pendapatan atas biaya tunai petani padi organik
metode SRI lebih besar dibandingkan dengan pendapatan atas biaya tunai petani
padi konvensional. Ini terjadi karena rata-rata penerimaan tunai petani padi
organik lebih besar dari petani padi konvensional. Berbeda dengan pendapatan
atas biaya totalnya yang menunjukkan bahwa petani padi konvensional nilainya
lebih besar jika dibandingkan dengan petani padi organik metode SRI. Hal
tersebut disebabkan oleh besarnya biaya yang diperhitungkan, sehingga
pendapatan atas biaya totalnya menjadi lebih kecil.
Apabila dilihat dari imbangan penerimaan dan biaya (R-C rasio) diketahui
bahwa R-C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani padi organik metode SRI
sebesar Rp 1,98 lebih rendah dari R-C rasio yang diperoleh petani padi
konvensional, yaitu sebesar Rp 2,46. Hal ini berarti bahwa dari setiap satu rupiah
biaya yang dikeluarkan oleh petani padi organik metode SRI hanya akan
memberikan penerimaan sebesar Rp 1,98 lebih rendah dari penerimaan yang
diperoleh petani padi konvensioanal. Begitu pula dengan R-C rasio atas biaya
total, untuk petani padi organik metode SRI R-C rasio yang diperoleh hanya
sebesar Rp 1,54, sedangkan petani padi konvensional lebih besar dari petani padi
organik tersebut, yakni sebesar Rp 2,16. Hal ini berarti penerimaan yang diperoleh
padi konvensional lebih besar dari petani padi organik metode SRI.
Berdasarkan hasil uji untuk membedakan tingkat pendapatan, diketahui
bahwa hasil uji t untuk pendapatan atas biaya total petani padi organik metode
SRI yang dibandingkan dengan pendapatan atas biaya total petani konvensional
26 (1,63) yaitu sebesar 0,99. Hal ini berarti bahwa perubahan sistem usahatani yang
dilakukan oleh petani ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan
tingkat pendapatan atas biaya total petani padi konvensional (terima H0). Hal ini
terjadi karena nilai pendapatan atas biaya total yang diperoleh petani padi organik
metode SRI lebih kecil dibandingkan pendapatan atas biaya total padi
konvensional. Apabila dilihat dari pendapatan atas biaya tunai, diketahui bahwa
nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel untuk taraf nyata (α) 5% (1,63) yaitu
sebesar 1,64. Hal ini berarti bahwa perubahan sistem usahatani yang dilakukan
oleh petani berpengaruh nyata terhadap perubahan tingkat pendapatan atas biaya
tunai petani padi konvensional (tolak H0). Hal ini terjadi karena nilai pendapatan
atas biaya tunai yang diperoleh petani padi organik metode SRI lebih kecil
dibandingkan pendapatan atas biaya tunai padi konvensional.
Penelitian Wulandari (2011) mengambil topik yang hampir sama dengan
penelitian terdahulu yaitu analisis perbandingan struktur biaya dan pendapatan
usahatani padi organik dengan usahatani padi anorganik di Kelurahan Sindang
Barang dan Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa
Barat. Alat analisis yang digunakan adalah analisis struktur biaya, analisis
pendapatan, dan analisis R-C rasio. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis
mengenai uji beda pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total
antara petani padi organik dan petani padi anorganik. Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian terdahulu adalah perbandingan struktur biaya, pendapatan dan
R-C rasio usahatani padi organik dan anorganik dibedakan berdasarkan status
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini meliputi konsep usahatani, biaya usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio). Secara rinci penjelasan kerangka pemikiran teoritis dapat dilihat dibawah ini. 3.1.1 Konsep Usahatani
Menurut Hernanto (1991), usahatani adalah organisasi dari alam, tenaga kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi ini dalam ketatalaksanaanya berdiri sendiri dan sengaja dilaksanakan oleh seorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat genologis, politis, maupun teritorial sebagai pengelolanya.
Sedangkan, ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien dengan tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif jika petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki sebaik-baiknya dan efisien jika pemanfaatan sumberdaya tersebut dapat menghasilkan output yang lebih besar daripada input (Soekartawi, 1995).
Hernanto (1989) menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur pokok yang selalu ada pada suatu usahatani. Unsur-unsur tersebut juga dikenal dengan faktor produksi yang terdiri dari tanah, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan (manajemen).
a. Tanah
28 tidak merata. Dalam pada itu, tanah mempunyai beberapa sifat yang diantaranya adalah luas relatif tetap atau dianggap tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan, dapat dipindahtangankan dan atau diperjualbelikan. Hernanto (1989) membagi golongan petani berdasarkan luas tanah yang dimilikinya menjadi empat bagian, yaitu :
• golongan petani luas ( kepemilikan lahan > 2 hektar );
• golongan petani sedang ( kepemilikan lahan antara 0,5- 2 hektar );
• golongan petani kecil ( kepemilikan lahan antara 0,5 hektar ); • golongan buruh tani tidak memiliki lahan.
b. Tenaga Kerja
Tenaga kerja pada usahatani terdiri dari tenaga kerja manusia, ternak, dan mekanik. Tenaga kerja manusia dapat diperoleh dari dalam keluarga dan luar keluarga. Selain itu, tenaga kerja manusia dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Kerja manusia dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kecukupan, tingkat kesehatan, dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan usahatani.
Tenaga kerja ternak digunakan untuk pengolahan dan angkutan. Sedangkan tenaga kerja mekanik digunakan untuk pengolahan tanah, pemupukan, pengobatan, penanaman, dan panen. Tenaga mekanik bersifat substitusi, yaitu digunakan sebagai pengganti tenaga ternak dan manusia.
Modal terutama modal operasional merupakan unsur pokok usahatani yang paling penting diantara tiga unsur pokok usahatani lainnya. Dalam pengertian ekonomi, modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barang-barang baru, yaitu produksi pertanian. Sedangkan modal operasional adalah modal dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana produksi dan tenaga kerja, bahkan untuk membiayai pengelolaan. Berdasarkan sifatnya, modal dibedakan menjadi modal tetap dan modal bergerak. Modal tetap adalah modal yang tidak habis pada satu periode produksi seperti tanah dan bangunan. Modal bergerak adalah modal yang habis dalam satu periode proses produksi seperti alat-alat, bahan, uang tunai, piutang dibank, tanaman, dan ternak.
d. Pengelolaan (manajemen)
Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah produktivitas dari setiap faktor maupun produktivitas dari usahanya.
30 usahatani yang dapat berpengaruh terhadap berhasilnya suatu usahatani yang terdiri dari tersedianya sarana transportasi dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usahatani, fasilitas kredit, serta sarana penyuluhan bagi petani.
3.1.2 Biaya Usahatani
Menurut Soekartawi (1995), biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Jadi besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh seperti biaya untuk sewa tanah, pajak, alat pertanian, dan iuran irigasi. Biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang dihasilkan seperti biaya untuk sarana produksi. Penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel disebut dengan biaya total (total cost).
Menurut Hernanto (1989), terdapat empat kategori atau pengelompokkan biaya, yaitu biaya tetap, biaya variabel, biaya tunai, dan biaya tidak tunai. Biaya tetap adalah biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi seperti pajak, penyusutan alat dan bangunan pertanian, pemeliharaan kerbau, pemeliharaan pompa air, dan traktor. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya sangat tergantung kepada biaya skala produksi seperti biaya untuk pupuk, benih, pestisida, dan buruh atau tenaga kerja upahan.
tunai variabel. Biaya tunai tetap terdiri dari biaya pengairan dan pajak tanah, sedangkan biaya tunai variabel terdiri dari biaya pemakaian benih, pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja luar keluarga. Biaya tidak tunai adalah biaya yang tidak dimasukkan kedalam biaya tunai tetapi diperhitungkan dalam kegiatan usahatani. Biaya tidak tunai terbagi atas biaya tidak tunai tetap dan biaya tidak tunai variabel. Biaya tidak tunai tetap meliputi biaya untuk tenaga keluarga, sedangkan biaya tidak tunai variabel meliputi biaya panen dan pengolahan tanah dari keluarga dan jumlah pupuk kandang yang dipakai (Hernanto, 1989).
3.1.3 Pendapatan Usahatani
Soekartawi (1986), mengemukakan bahwa pendapatan usahatani dibedakan atas pendapatan kotor (gross farm income) dan pendapatan bersih (net farm income). Pendapatan kotor usahatani didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Pendapatan kotor usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu pendapatan kotor tunai dan pendapatan kotor tidak tunai. Pendapatan kotor tunai merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani dan tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usahatani yang berbentuk benda dan yang dikonsumsi. Sedangkan pendapatan kotor tidak tunai merupakan pendapatan bukan dalam bentuk uang, seperti hasil panen yang dikonsumsi, digunakan dalam usahatani untuk bibit atau makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, disimpan digudang dan menerima pembayaran dalam bentuk benda.
32 produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan kedalam usahatani.
Selain itu, pendapatan juga dibedakan menjadi pendapatan tunai dan pendapatan tidak tunai. Pendapatan tunai merupakan pendapatan yang diperoleh dari penerimaan dan biaya tunai. Sedangkan pendapatan tidak tunai merupakan pendapatan yang diperoleh dari penerimaan dan biaya total. Bentuk pendapatan tunai dapat menggambarkan tingkat kemajuan ekonomi usahatani dalam spesialisasi dan pembagian kerja. Besarnya pendapatan tunai atau proporsi penerimaan tunai dari total penerimaan yang masuk dapat digunakan untuk perbandingan keberhasilan petani satu dengan yang lainnya (Hernanto, 1991).
Penerimaan usahatani (farm receipts), yaitu penerimaan dari semua sumber usahatani yang meliputi jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, nilai penggunaan rumah dan barang yang dikonsumsi. Sedangkan pengeluaran usahatani (farm expenses) adalah semua biaya operasional dengan tanpa memperhitungkan bunga dari modal usahatani dan nilai kerja pengelola usahatani. Pengeluaran ini meliputi pengeluaran tunai (current expenses), penyusutan benda fisik, pengurangan nilai inventaris, dan nilai tenaga kerja yang tidak dibayar.
usahatani akan mendorong petani untuk dapat mengalokasikannya dalam berbagai kegunaan seperti untuk biaya periode selanjutnya, tabungan, dan pengeluaran lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
3.1.4 Rasio Penerimaan dan Biaya (R-C Rasio)
Return Cost Ratio (R-C Rasio) merupakan perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya (Soekartawi, 1995). Analisis R-C rasio digunakan untuk menunjukkan berapa rupiah penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani tersebut. Semakin besar nilai R/C maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang akan diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan atau usahatani tersebut layak untuk diusahakan. Persamaan R-C rasio dapat dirumuskan sebagai berikut :
34 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Sebagai negara agraris dan memiliki jumlah penduduk yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, Indonesia harus terus berupaya dalam
meningkatkan ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat yang meningkat. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat, maka pemerintah melaksanakan program Bimbingan Massal
(BIMAS) yang digunakan sebagai salah satu realisasi bahwa revolusi hijau telah
mencapai swasembada beras. Revolusi hijau merupakan usaha yang dilakukan manusia dalam meningkatkan produksi pangan dengan jalan melakukan pengembangan pada teknologi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kesejahteraan penduduk dunia. Hasil pertanian yang didapat dari program BIMAS tersebut memang sangat menguntungkan. Namun dalam penerapannya, program
ini menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia yang berlebihan yang bertujuan
untuk menambah kesuburan tanah dan membuat tanaman tersebut tahan terhadap
serangan hama penyakit. Hal ini berakibat pada menurunnya produktivitas tanah,
rusaknya keseimbangan ekosistem dan terganggunya kesehatan manusia.
oleh konsumen, menyehatkan tanah, dan menjaga keanekaragaman hayati. Namun, kegiatan pertanian organik masih sulit untuk diterapkan. Hal tersebut terjadi karena adanya keinginan petani yang ingin praktis dalam mengolah lahannya dan produktivitas padi organik yang dihasilkan masih dibawah produktivitas anorganik sehingga menyebabkan harga beras organik lebih mahal dari pada harga beras anorganik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk membandingkan usahatani padi organik dan anorganik untuk mengetahui sistem pertanian mana yang lebih baik dan lebih menguntungkan untuk diusahakan oleh petani.
36 Kualitas (Kesehatan) Kuantitas
Usahatani padi organik Usahatani padi anorganik
Kebutuhan pangan (beras) meningkat
Struktur biaya
Uji membedakan pendapatan (uji
beda sampel bebas) Deskriptif (Proporsi)
Pendapatan dan R-C rasio Produksi dan Produktivitas
Analisis perbandingan usahatani padi organik dengan usahatani padi anorganik
Peningkatan efisiensi biaya dan pendapatan usahatani padi
Pengembangan usahatani padi organik
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus di Kelurahan Sindang Barang dan
Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan
karena daerah ini merupakan salah satu daerah di Kota Bogor, disamping wilayah
Kecamatan Bogor Selatan yang petaninya mengembangkan usahatani padi
organik. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret - April 2011.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani padi
organik dan anorganik yang berada di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede
yang dipandu dengan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari
penelusuran karya-karya ilmiah yang terkait dengan penelitian dan data-data yang
diperoleh dari kantor Kelurahan Sindang Barang, Kelurahan Situ Gede,
Kecamatan Bogor Barat, Badan Pusat Statistika, dan media komunikasi internet.
4.3 Metode Pengambilan Sampel
Pada penelitian ini, responden yang diambil adalah petani padi organik
dan petani padi anorganik yang berada di Kelurahan Sindang Barang dan
Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat. Jumlah petani responden yaitu 44
orang yang terdiri dari 22 petani padi organik dan 22 petani padi anorganik.
Pengambilan sampel petani padi organik di Kelurahan Sindang Barang dan Situ
Gede dilakukan dengan menggunakan metode sensus dengan jumlah responden