PROGRAM SEKOLAH LAPANG
PENGELOLAAN TANAMAN
TERPADU (SL-PTT)
(Kasus: Gabungan Kelompok Tani “Jaya Tani” Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)
Oleh :
ARI WAHYU WIJAKSANA I34080063
Dosen Pembimbing: Ir. Fredian Tonny, MS
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
ARI WAHYU W. Institutional Sustainability Analysis and Level of Group Participation in SL-PTT (Case: Gapoktan Jaya Tani in Cibunian Village, District Pamijahan, Bogor Regency). Supervised by FREDIAN TONNY NASDIAN.
This research analyzes the sustainability of Gapoktan ‘Jaya Tani’ institutional. This study using a quantitative approach with survey method. Respondents in this research are farmers from Gapoktan members who are currently active in the activities of the SL-PTT. They were 30 people, they came from three groups of farmers with low levels of ability, medium, and high, with the ownership of land is narrow, medium, and large. The purpose of this research are 1) Analyze the socioeconomic characteristics of Gapoktan ‘Jaya Tani’ members and its relation with the level of individual participation in the program SL-PTT, 2) Identifies the level of management, the level of democracy, the level of transparency, accountability, and the level of the power of institutional network that is built up, 3) Identify the level of group participation in SL-PTT program, and 4) analyze the extent role of institutional sustainability against the participation of the group in the program SL-PTT. The results of this research show the sustainability of Gapoktan ‘Jaya Tani’ institutional is sustain because the level of management is high, and the principles of Good Governance (democracy, transparency, and accountability) works well in Gapoktan. Sustain category of Gapoktan Jaya Tani is still at the lowest level cause of the level of group participation in SL-PTT program which is still at the level of placation (degree of tokenisme), at this level the communities have influence even though in some ways is still determined by people that has power.
Kelompok dalam Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) (Kasus: Gabungan Kelompok Tani “Jaya Tani” Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor). Dibawah bimbingan FREDIAN TONNY NASDIAN.
Pembangunan yang dilakukan selama ini, menempatkan unsur kelembagaan
sebagai salah satu faktor penting untuk menjamin keberhasilan dan
kesinambungan pembangunan dalam berbagai bidang. Kurang efektifnya
beberapa program pembangunan disadari karena lemahnya kelembagaan yang
menopang program tersebut. Keberhasilan program-program pemberdayaan
khususnya yang ditujukan untuk petani, tidak lepas dari dukungan kelembagaan
yang ada di komunitas desa tersebut.
Penelitian ini menganalisis keberlanjutan kelembagaan Gapoktan Jaya Tani.
Penelitian ini, menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu dengan metode survai.
Responden dalam penelitian ini adalah petani anggota Gapoktan yang saat ini
sedang aktif dalam kegiatan SL-PTT. Responden dalam penelitian ini berjumlah
30 orang, responden berasal dari tiga kelompok tani berdasarkan tingkat
kemampuan rendah, sedang, dan tinggi dengan luas kepemilikan lahan sempit,
sedang, dan luas.
Tujuan dari penelitian ini adalah 1) Menganalisis karakteristik sosial
ekonomi petani anggota Gapoktan Jaya Tani dan hubungannya dengan tingkat
partisipasi individu dalam program SL-PTT, 2) Mengidentifikasi tingkat
keseimbangan pelayanan-peran serta, tingkat demokrasi, tingkat transparansi,
tingkat akuntabilitas, dan kekuatan jejaring kelembagaan yang terbangun, 3)
Mengidentifikasi tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT, dan 4)
Menganalisis sejauh mana peran kelembagaan berkelanjutan terhadap partisipasi
kelompok dalam program SL-PTT.
Penelitian ini dilaksanakan di Gabungan Kelompok Tani „Jaya Tani‟ Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Program yang saat ini sedang
aktif dilaksanakan di masing-msing Poktan adalah kegiatan Sekolah Lapang
serta yang tergolong tinggi, dan prinsip-prinsip good governance (demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas) berfungsi dengan baik di Gapoktan.
Tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT masih berada pada
level placation (degree of tokenisme), pada tingkat ini masyarakat memiliki pengaruh meskipun dalam beberapa hal masih ditentukan oleh pihak yang
memiliki kekuasaan. Tingkat placation ini termasuk dalam derajat penghargaan atau degree of tokenisme, yaitu suatu tingkat partisipasi di mana masyarakat dapat berpartisipasi namun mereka tidak memiliki kemampuan untuk
mendapatkan jaminan bahwa ide-ide mereka akan dipertimbangkan oleh
pemegang keputusan. Keberlanjutan kelembagaan memiliki peran penting dalam
kaitannya dengan tingkat partisipasi kelompok dalam program Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu, karena keberlanjutan kelembagaan ini terkait
juga dengan kesamaan persepsi terhadap program SL-PTT dan kesamaan visi
dari setiap anggota. Dengan adanya kesamaan visi maupun persepsi terhadap
program maka tidak akan ada lagi petani yang merasa bahwa
pertemuan-pertemuan dalam kegiatan SL-PTT mengganggu aktivitas kerja mereka. Dari
hasil penelitian diperoleh suatu analisis bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara luas lahan dan rata-rata penghasilan dengan tingkat partisipasi petani
PROGRAM SEKOLAH LAPANG
PENGELOLAAN TANAMAN
TERPADU (SL-PTT)
(Kasus: Gabungan Kelompok Tani “Jaya Tani” Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)
ARI WAHYU WIJAKSANA I34080063
SKRIPSI
Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Ari Wahyu Wijaksana
NIM : I34080063
Judul : ANALISIS KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN DAN
TINGKAT PARTISIPASI KELOMPOK DALAM
PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN
TANAMAN TERPADU (SL-PTT) (Studi Kasus: Gabungan Kelompok Tani “Jaya Tani” Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Ir. Fredian Tonny, MS NIP. 19580214 198503 1 004
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG
BERJUDUL”ANALISIS KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN DAN
TINGKAT PARTISIPASI KELOMPOK DALAM PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) (KASUS: GABUNGAN KELOMPOK TANI “JAYA TANI” DESA CIBUNIAN, KECAMATAN PAMIJAHAN, KABUPATEN BOGOR)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN
MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG
BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN PIHAK
LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN
DALAM NASKAH.
Bogor, Januari 2012
Ari Wahyu Wijaksana
Penulis merupakan anak pertama dari pasangan bapak Misbahudin dan ibu
Wiwin Widiawati. Penulis dilahirkan 17 Februari 1990 di Tasikmalaya, Jawa
Barat. Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, menuntutnya untuk menjadi
pribadi yang mandiri dan menjadi panutan di keluarganya. Mengawali pendidikan
formal di SD Negeri Kaduagung Tasikmalaya, lalu melanjutkan di MTS Negeri
Cipaingeun Tasikmalaya, kemudian pada tahun 2005 penulis melanjutkan
pendidikan di Pondok Pesantren AL-AMIN Kota Tasikmalaya. Selama di Pondok
Pesantren penulis aktif berorganisasi baik dalam kepengurusan OSIS MA
AL-AMIN dan Kepengurusan Pesantren.
Tidak lama setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren, berkat
rahmat Allah Swt penulis berhasil diterima di Institut Pertanian Bogor di Mayor
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat melalui jalur USMI tahun 2008. Pada tahun pertama kuliah penulis berhasil memperoleh beasiswa Lippo
Bank, serta program beasiswa BMU dari IPB. Penulis masuk dalam Program
Akselerasi mahasiswa departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat 2011 dan berusaha menyelesaikan studinya selama 3,5 tahun. Selama
menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif menjadi pengurus dalam organisasi
kemahasiswaan IPB. Diantaranya aktif di Himpunan Peminat Ilmu Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) pada Divisi Community Development 2011. Selain itu penulis juga pernah aktif dibeberapa kepanitiaan. Diantaranya, Kemah Riset 2010, Indonesian Ecology Expo (INDEX) 2010 dan
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Analisis Keberlanjutan Kelembagaan dan Tingkat Partisipasi Kelompok dalam
Program Pemberdayaan Petani di Komunitas (Kasus : Gabungan Kelompok Tani “Jaya Tani” Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)
Terimakasih yang setulus-tulusnya penulis ucapkan kepada pembuatan
skripsi ini. Terimakasih kepada Ir. Fredian Tonny MS, sebagai dosen pembimbing
yang telah bersedia memberikan bimbingan, meluangkan waktu, dan berbagi ilmu
sehingga penulis dapat lebih memahami topik bahasan dan dapat menyelesaikan
skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada bapak Edi
(ketua Gapoktan), bapak Supanji (ketua Poktan Karya Tani), Uci (ketua Poktan
Subur Tani), bapak Odih (ketua Poktan Adil Tani), bapak Jasiman, SP (PPL Desa
Cibunian), bapak Apik (BPD) atas kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat
terlaksana.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana peran keberlanjutan
kelembagaan Gapoktan Jaya Tani terhadap tingkat partisipasi kelompok dalam
program SL-PTT. Peneliti mengetahui bahwa karya ini belumlah sempurna,
sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga
skripsi dapat menghasilkan laporan yang bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Januari 2012
Ari Wahyu Wijaksana
Penulis menyadari skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya bantuan dari
berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut telah membantu penulis dengan
menyumbangkan pemikiran, memberikan masukan, dan mendukung penulis baik
secara moril maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Kedua orang tuaku bapak Misbahudin dan ibu Wiwin Widiawati, yang
selalu menyayangi, memberikan motivasi, dukungan moril dan materil.
Terimakasih atas untaian doa yang tidak pernah putus;
2. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS sebagai dosen pembimbing, atas segala
arahan, motivasi, saran, dan pemikirannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini;
3. Dr.Ir. Saharudin selaku dosen penguji utama, Heru Purwandari, S.P, MSi
selaku dosen penguji wakil departemen SKPM dan Ir. Hadianto, MS
selaku dosen uji petik Skripsi, terimakasih atas masukan, kritik dan
arahannya yang sangat berharga dalam penulisan Skripsi;
4. Bapak Edi ketua Gapoktan, beserta anggota bapak Uci, bapak Supanji,
bapak Odih, bapak Apik (ketua BPD), dan bapak Jasiman, SP selaku PPL
di Desa Cibunian;
5. Ruly dan Angga adiku yang selalu menjadi motivasi untuk bisa menjadi
kakak yang baik;
6. Mang Asep, bi Ida dan semua keluarga besar yang senantiasa memberikan
dukungan moril dan materil;
7. Nur Apriandini yang selalu memberi semangat dan meluangkan waktu
untuk mendengarkan keluhan-keluhan penulis. Cepat selesai skripsinya ya;
8. Teman-teman Kuil Cinta, M.Rizki Pratama, Bejo, Ucup, Giway, Itaw,
Reza, Jabbar, Ozi, Gaung, Malih, Ahong, Robi, Farhan;
9. Teman-teman KPM 45 terimakasih banyak atas pengalaman-pegalaman
menarik dan kebersamaan kita selama kuliah;
10.Teman-teman Comdev Himasiera, Ageu, Hamdani, Siti, Tanti, Tri, Opang,
DAFTAR ISI
1.2 Masalah Penelitian... 3
1.3 Tujuan Penelitian... 5
1.4 Kegunaan Penelitian... 5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS... 7
2.1 Tinjauan Pustaka... 7
2.1.1 Kelembagaan dan Modal Sosial... 7
2.1.2 Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemberdayaan Masyarakat... 8
2.1.3 Tipologi Kelembagaan Komunitas Lokal... 9
2.1.4 Partisipasi... 10
2.1.5 Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat... 14
2.1.6 Model-model Pengembangan Masyarakat... 15
2.1.7 Komunitas... 18
2.1.8 Kemitraan... 18
2.1.9 SL-PTT : Definisi, Tujuan, dan Azas... 19
2.2 Kerangka Pemikiran... 22
2.3 Hipotesis Penelitian... 25
2.4 Definisi Konseptual... 25
2.5 Definisi Operasional... 26
BAB III PENDEKATAN LAPANG... 31
3.1 Metode Penelitian... 31
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 31
3.3 Penentuan Responden dan Informan... 32
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 32
3.5 Teknik Analisis Data... 33
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI... 34
4.1 Profil Desa Cibunian... 34
4.1.1 Keadaan Alam dan Letak Geografis... 34
4.1.2 Struktur Sosial Masyarakat Desa Cibunian... 35
4.1.3 Pola Adaptasi Ekologi... 36
4.2 Profil Gapoktan Jaya Tani... 36
4.3 Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu... 38
4.4 Ikhtisar... 40
BAB V KARAKTERISTIK PETANI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT PARTISIPASI DALAM PROGRAM SL-PTT... 41
5.2 Usia Responden... 42
5.3 Tingkat Pendidikan Responden... 42
5.4 Jenis Pekerjaan Responden... 43
5.5 Luas Lahan Responden... 43
5.6 Rata-rata Penghasilan Responden... 44
5.7 Hubungan Karakteristik Petani dengan Tingkat Partisipasi dalam SL-PTT... 44
5.7.1 Hubungan Jenis Kelamin dengan Tingkat Partisipasi... 44
5.7.2 Hubungan Usia dengan Tingkat Partisipasi... 45
5.7.3 Hubungan Pendidikan dengan Tingkat Partisipasi... 46
5.7.4 Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Partisipasi... 47
5.7.5 Hubungan Tingkat Penghasilan dengan Tingkat Partisipasi... 48
5.8 Ikhtisar... 49
BAB VI KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN ... 50
6.1 Tingkat Keseimbangan Pelayanan-Peran Serta... 50
6.2 Tingkat Demokrasi... 51
6.3 Transparansi... 52
6.4 Akuntabilitas ... 53
6.5 Jejaring Kelembagaan ... 53
6.6 Tingkat Partisipasi Kelompok dalam Program SL-PTT... 54
6.7 Keberlanjutan Kelembagaan... 62
6.8 Ikhtisar... 62
BAB VII KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN DAN PARTISIPASI KELOMPOK... 64
BAB VIII PENUTUP ... 67
8.1 Simpulan... 67
8.2 Saran... 68
DAFTAR PUSTAKA... 70
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011-2012 ... 32 Tabel 2. Luas dan Persentase Penggunaan Lahan Desa Cibunian 2010... 35 Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Cibunian Menurut Jenis
Mata Pencaharian 2010... 35 Tabel 4. Jumlah Anggota Berdasarkan Kelompok Tani, Ketua, dan Alamat di
Gapoktan Jaya Tani 2011... 36 Tabel 5. Tingkat Kemampuan dan Nama Kelompok Tani 2011... 37 Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Jenis Kelamin di
Gapoktan Jaya Tani ... 41 Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Usia di Gapoktan Jaya
Tani... 42 Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
di Gapoktan Jaya Tani... 43 Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di
Gapoktan Jaya Tani... 43 Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kepemilikan Luas
Lahan... 44 Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Rata-rata
Penghasilan/Bulan... 44 Tabel 12. Jumlah dan Persentase Tingkat Partisipasi Responden Menurut Jenis
Kelamin... 45 Tabel 13. Jumlah dan Persentase Tingkat Partisipasi Responden Menurut
Usia... 46 Tabel 14. Jumlah dan Persentase Tingkat Partisipasi Responden Menurut
Tingkat Pendidikan... 47 Tabel 15. Jumlah dan Persentase Tingkat Partisipasi Responden Menurut Luas
Lahan... 48 Tabel 16. Jumlah dan Persentase Tingkat Partisipasi Responden Menurut
Tingkat Penghasilan... 49 Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Keseimbangan
Pelayanan-Peran Serta dalam Gapoktan... 50 Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Penerapan
Prinsip-Prinsip Demokrasi... 51 Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Penerapan
Prinsip-Prinsip Transparansi... 52 Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Penerapan
Prinsip-Prinsip Akuntabilitas dalam Gapoktan Jaya Tani... 53 Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Kekuatan
Jejaring yang Terbangun Gapoktan Jaya Tani... 53 Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Kehadiran
dalam Pertemuan... 55 Tabel 23. Jumlah Skor Tingkat Partisipasi... 56 Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Keaktifan dalam
Berdiskusi dan Mengemukakan Pendapat... 58 Tabel 25. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Keaktifan
Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Kesediaan
Untuk Membayar... 60 Tabel 27. Tingkat Partisipasi Kelompok dalam Program SL-PTT... 61 Tabel 28. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Keberlanjutan
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Lampiran 1. Hasil Olah Data Statistik ... 71
Lampiran 2. Struktur Organisasi Gapoktan Jaya Tani ... 77
Lampiran 3. Sketsa Lokasi ... 78
Lampiran 4. Kerangka Sampling ... 79
BAB I
PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang
Pembangunan yang dilakukan saat ini, menempatkan unsur kelembagaan
sebagai salah satu faktor penting untuk menjamin keberhasilan dan
kesinambungan pembangunan dalam berbagai bidang. Hal ini mengingat sifat
kelembagaan merupakan unsur esensial yang tidak dapat dijiplak secara
mentah-mentah atau dipinjam dari negara lain, melainkan harus digali dan dibentuk
berdasarkan atas potensi dan sumberdaya lokal dengan mempertimbangkan
nilai-nilai sosial dan budaya yang melekat pada masyarakat dan peraturan perundangan
yang berlaku. Selanjutnya kelembagaan itu harus diarahkan dan digerakan agar
dapat mengimbangi dinamika dalam bidang ekonomi, mampu mengantisipasi
berbagai perubahan-perubahan yang cepat dan mampu memanfaatkan berbagai
masukan terutama informasi teknologi yang diperlukan guna menunjang
pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan yang berdayaguna dan berhasil
guna (Nasution, 2002).
Seiring terjadinya pergeseran paradigma pembangunan nasional ke arah
demokratisasi dan desentralisasi, sudah selayaknya kalau konsep pembangunan
berorientasi kepada konsep pemberdayaan masyarakat. Namun pada
kenyataannya tidak semua program pemberdayaan masyarakat yang diupayakan
berjalan baik, hal tersebut salah satunya dikarenakan masih lemahnya
kelembagaan yang ada di tingkat komunitas. Seperti yang diungkapkan Syahyuti1
jika dicermati secara mendalam, pada hakikatnya pengembangan kelembagaan
masih merupakan jargon politik daripada kenyataan riil di lapangan. Dengan membungkus suatu kebijakan dengan “pengembangan kelembagaan” seolah-olah pelaksana program telah bersifat menghargai kearifan lokal, lebih sosial, dan lebih
partisipatif. Kenyataanya mungkin teknologi sebagai entry point-nya, bukan
kelembagaan. Padahal kelembagaan merupakan faktor yang mendasar untuk
1
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Mono25-02.pdf [diakses pada hari Rabu, 04 Mei 2011,
mengembangkan potensi individu maupun kelompok pemanfaat, serta membentuk
solidaritas antar pihak.
Pernyataan di atas diperkuat dari hasil penelitian Tim Studi Aksi PSP3 IPB
di DAS Citanduy. Ditemukan bahwa kelembagaan komunitas lokal masih belum
mampu mengembangkan jejaring kelembagaan baik secara horizontal maupun
vertikal. Secara horizontal, kelembagaan komunitas lokal yang ada belum mampu
membangun dan mengembangkan jejaring dengan berbagai kelembagaan lain di
luar komunitasnya. Sedangkan secara vertikal pemerintah dengan kebijakannya
masih belum memberikan ruang yang luas bagi partisipasi anggota kelembagaan
komunitas lokal untuk mengembangkan kreatifitasnya dan dalam proses
pengambilan keputusan.
Menurut Nasdian (2006) Peningkatan kapasitas kelembagaan desa
merupakan suatu proses dalam pemberdayaan komunitas desa. Dalam pendekatan
kolaboratif prinsip kesetaraan bagi para stakeholder adalah kunci keberhasilan dalam mewujudkan kemitraan. Namun pada kenyataannya komunitas desa
sebagai stakeholder berada pada posisi paling lemah sehingga diperlukan upaya pemberdayaan agar prinsip kesetaraan tercapai dan masyarakat dapat berperan
sejajar dengan stakeholder lainnya.
Pada dasarnya kegiatan pemberdayaan masyarakat di komunitas tidak hanya
dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan NGO. Bahkan, sekarang oleh
pihak-pihak swasta yang berkepentingan di wilayah komunitas tersebut sebagai
bentuk tanggung jawab sosialnya. Sebagai suatu metode, pemberdayaan
masyarakat menekankan adanya proses partisipasi dan peranan langsung dari
warga komunitas (Suharto, 2005).
Jaya Tani adalah Gabungan Kelompok Tani yang ada di Desa Cibunian,
Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Program pemberdayaan yang sedang
aktif saat ini adalah kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
untuk Padi.Program SL-PTT bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan petani dalam mengelola usaha taninya melalui berbagai macam
strategi salah satunya adalah melalui penguatan kelembagaan pertanian yang
meliputi kelembagaan penyuluhan, kelompok tani (Poktan), gabungan kelompok
dan lain-lain serta pembiyaan usaha tani melalui KKP-E, LM3, Kredit Usaha
Rakyat (KUR), dan PUAP.
Kegiatan SL-PTT di Desa Cibunian dilaksanakan pada masing-masing
kelompok tani anggota Gapoktan Jaya Tani. Keberhasilan program Sekolah
Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu ini tidak lepas dari dukungan kelembagaan
yang ada di tingkat lokal salah satunya adalah Gapoktan Jaya Tani. Oleh karena
itu, keberlanjutan kelembagaan Gapoktan Jaya Tani dipandang menarik untuk diteliti lebih lanjut dan kaitannya dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) di Gapoktan Jaya Tani.
1.2 Masalah Penelitian
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) merupakan
sekolah lapangan bagi petani dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani
melalui penggunaan input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi sehingga
mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk menunjang peningkatan produksi
secara berkelanjutan.Dalam SL-PTT petani dapat belajar langsung di lapangan
melalui pembelajaran dan penghayatan langsung (mengalami), mengungkapkan,
menganalisis, menyimpulkan dan menerapkan (melakukan/mengalami kembali),
menghadapi dan memecahkan masalah-masalah terutama dalam hal teknik
budidaya dengan mengkaji bersama berdasarkan spesifik lokasi. SL-PTT
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip partisipatif. Pada pelaksanaan SL-PTT
petani berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan
kondisi setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran dalam
bentuk laboratorium lapangan.
Setiap petani anggota Gapoktan atau Poktan berasal dari latar belakang
sosial ekonomi yang berbeda-beda misalnya tingkat pendididikan, luas lahan dan
sebagainya. Menurut Slamet (1993) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat partisipasi masyarakat yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan dan mata pencaharian. Oleh karena itu, secara garis besar,
Keberlanjutan kelembagaan Gapoktan Jaya Tani dianggap begitu penting
mengingat lembaga ini adalah lembaga yang paling representatif dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat khususnya petani mengenai berbagai macam
informasi yang mendukung kegiatan atau pengembangan pertanian di Desa
Cibunian. Melihat peran dan fungsinya yang cukup sentral di masyarakat, maka
muncul pertanyaan: Bagaimana tingkat keseimbangan pelayanan-peran serta, tingkat demokrasi, tingkat transparansi, tingkat akuntabilitas, dan kuat jejaring kelembagaan yang terbangun?
Dalam penerapannya, SL-PTT tidak lepas dari prinsip-prinsip partisipasi.
Hal itu dimulai dengan proses diskusi untuk mengidentifikasi masalah dan
peluang antara petani dengan penyuluh lapang, kemudian menentukan komponen
teknologi PTT berdasarkan kesepakatan kelompok, penyusunan RUK, penerapan
PTT dan sampai pada pengembangan PTT ke petani lainnya. Melihat proses
tersebut penting untuk mengetahui sejauh mana tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT?
Keberhasilan program SL-PTT dilihat dari meningkatnya pengetahuan dan
keterampilan petani dalam menentukan teknologi pengelolaan tanaman terpadu
yang sesuai dengan situasi dan kondisi alam pada masing-masing kelompok tani,
selain itu keberhasilan program ini juga dapat dilihat dari tingkat partisipasi
masyarakat dalam setiap rangkaian kegiatan. Keberhasilan program ini juga tidak
lepas dari bagaimana faktor eksternal dan internal, faktor eksternal misalnya
keterampilan penyuluh dalam menarik minat, mengidentifikasi masalah dan
kemampuan bekerjasama bersama petani, dari faktor internal salah satunya adalah
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji sampai sejauh mana keberlanjutan kelembagaan Gapoktan Jaya Tani dan tingkat partisipasi kelompok dalam program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu. Tujuan utama ini akan dijawab melalui tujuan-tujuan khusus penelitian, yaitu:
1) Menganalisis karakteristik sosial ekonomi petani anggota Gapoktan
Jaya Tani dan hubungannya dengan tingkat partisipasi individu dalam
program SL-PTT;
2) Mengidentifikasi tingkat keseimbangan pelayanan-peran serta, tingkat
demokrasi, tingkat transparansi, tingkat akuntabilitas, dan kuat jejaring
kelembagaan yang terbangun;
3) Mengidentifikasi tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT;
dan
4) Menganalisis sejauh mana peran kelembagaan berkelanjutan terhadap
tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT.
1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
1) Bagi Akademisi
Hasil penelitian berjudul “Analisis Keberlanjutan Kelembagaan dan Tingkat Partisipasi Kelompok Dalam Program Pemberdayaan Petani di Komunitas” dapat digunakan untuk memahami hubungan antara tingkat partisipasi kelompok dalam program pemberdayaan petani di
komunitas dengan keberlanjutan kelembagaan Gapoktan Jaya Tani.
Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
ilmiah bagi perkembangan ilmu pengembangan masyarakat.
2) Bagi Masyarakat
Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada
masyarakat mengenai peran penting penguatan kelembagaan lokal
dengan stakeholders lain dalam mewujudkan kolaborasi dan kemitraan.
3) Bagi Pihak Swasta
Melalui hasil penelitian ini, diharapkan program pemberdayaan yang
akan diupayakan di komunitas, memperhatikan kelembagaan yang ada
tingkat komunitas tersebut, sehingga program pemberdayaan yang
diupayakan dapat berkelanjutan.
4) Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi
pemerintah dalam penyusunan program pemberdayaan di komunitas
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Kelembagaan dan Modal Sosial
Kelembagaan mempunyai pengertian sebagai wadah dan sebagai norma.
Lembaga atau institusi adalah seperangkat aturan, prosedur, norma perilaku
individual yang sangat penting bagi pengembangan pertanian (Gunadi, 1998
dalam Nasution, 2002). Sedangkan menurut Rofiq (1989) dalam Nasution (2002) lembaga kemasyarakatan adalah pranata sosial yang mengatur prilaku para
anggota masyarakat. Koentjaraningrat (1964) dalam Soekanto (1982) mengatakan bahwa pranata sosial adalah “suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat”. Jadi dalam hal ini kelembagaan sosial adalah sistem norma, nilai, dan pola hubungan yang mengatur warga
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
Modal sosial diartikan sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil
dari organisasi sosial-ekonomi, seperti pandangan umum, kepercayaan,
resiprositas, pertukaran ekonomi dan infomasi, kelompok-kelompok formal dan
informal, serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal fisik dan modal manusia
sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif dan pembangunan (Colleta
and Cullen, 2000 dalam Nasdian 2005).
Menurut Nasdian (2005) Modal sosial memiliki empat dimensi: (1)
integrasi, berupa ikatan-ikatan antar kekerabatan, agama, dan etnik; (2) pertalian,
yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal; (3) integritas
organisasional, yaitu kemampuan dan keefektifan institusi negara menjalankan
fungsinya; dan (4) sinergi, yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan
dengan komunitas. Fokus perhatiannya adalah apakah negara memberikan ruang
yang luas atau tidak bagi berpartisipasi warganya. Dimensi pertama dan kedua
berada pada tingkat horizontal, sedangkan dimensi ketiga dan keempat, ditambah
Menurut Syahyuti2 ditemukan berbagai pendekatan yang keliru dalam
pengembangan kelembagaan khususnya bagi kelembagaan yang tergolong ke
dalam enacted institution3. Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal, bukan vertikal. Anggota suatu
kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama dan
tujuannya lebih untuk distribusi bantuan dan memudahkan kontrol dari pelaksana
program, bukan untuk peningkatan social capital masyarakat. Berdasarkan studi kasus yang dilakukan oleh tim PSP3-IPB di DAS Citanduy menunjukan bahwa
kelembagaan komunitas lokal umumnya belum berhasil mengembangkan jejaring
(networking) antar kelembagaan tersebut, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, kelembagaan komunitas lokal yang ada belum mampu
membangun dan mengembangkan jejaring dengan berbagai kelembagaan lain di
luar komunitasnya. Akan tetapi kecenderungan ke arah itu sudah tampak, yakni
dengan upaya diversifikasi usaha yang dilakukan oleh kelembagaan tersebut.
Sedangkan secara vertikal pemerintah dengan kebijakannya masih belum
memberikan ruang yang luas bagi partisipasi anggota kelembagaan komunitas
lokal untuk mengembangkan kreatifitasnya dan dalam proses pengambilan
keputusan.
2.1.2 Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemberdayaan Komunitas
Kapasitas kelembagaan adalah tingkat kemampuan suatu
badan/lembaga/organisasi dengan struktur pengorganisasian tertentu,
proses-proses kerja, dan budaya kerja yang erat hubungannya dengan keterampilan dan
kualifikasi individu berupa uraian pekerjaan, motivasi, dan sikap kerja dari
individu-individu yang mendukung kelembagaan tersebut. Peningkatan kapasitas
kelembagaan desa merupakan suatu yang sistemik dan manajerial, yang
didalamnya mengandung proses interaksi, komunikasi, dan relasi diantara tiga “ruang kekuasaan” di aras desa. Rencana strategis desa, rencana pembangunan desa, peraturan desa, dan keuangan dirancang secara partisipatif dengan peran
2
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Mono25-02.pdf [diakses pada hari Rabu, 04 Mei 2011,
pukul 20:09 WIB]
3
serta multi stakeholder merupakan basis dan instrumen penguatan kapasitas kelembagaan desa (Nasdian, 2006).
Menurut Israel (1990) pengembangan atau penguatan kelembagaan
mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam
mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Proses
ini dapat secara internal digerakan oleh manajer sebuah lembaga atau
dicampurtangani dan dipromosikan oleh pemerintah atau oleh badan-badan
pembangunan. Khasnya pengembangan kelembagaan menyangkut sistem
manajemen (perencanaan, penyusunan anggaran, akunting, auditing, perawatan
dan pengadaan termasuk pemantauan dan evaluasi).
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan tim PSP3-IPB di lima provinsi,
yaitu: Nangroe Aceh Darusalam, Sumatera Barat, Jawa Barat, Bali, dan Papua.
Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan desa tidak cukup hanya dengan
sekedar melaksanakan program-program pendidikan, pelatihan, penataran,
penyuluhan, sosialisasi dan lain-lain. Akan tetapi peningkatan kapasitas
kelembagaan desa sebagai wujud pemberdayaan komunitas desa merujuk kepada
reformasi kelembagaan desa, sehingga dapat terpenuhinya tuntutan dan kebutuhan
otonomi desa, sebagai suatu cara pendekatan ke arah pemerintahan (pengaturan),
administrasi, dan pengembangan mekanisme-mekanisme partisipatif yang tepat
guna dan lebih demokratis.
Dalam upaya pemberdayaan komunitas desa dan pengembangan
kelembagaan yang berkelanjutan maka dikemukakan tiga alternatif yang dapat
dilakukan yaitu: (1) Membangun dan mengembangkan kelembagaan kooperatif
dan produktif di tingkat komunitas berbasis kemitraan; (2) Membangun dan
mengembangkan manajemen pembangunan pedesaan (kawasan) di tingkat
kabupaten sebagai wujud dari local goverment policies, dan (3) Membangun dan mengembangkan jejaring kelembagaan yang berbasis komunitas.
2.1.3 Tipologi Kelembagaan Komunitas Lokal
Menurut Nasdian (2005) tipologi kelembagaan komunitas lokal „dikonstruksi‟
berdasarkan dua variabel pokok, yaitu: tinggi rendahnya “keseimbangan
diidentifikasi empat tipe kelembagaan yakni: (1) Tipe-1, kelembagaan yang
sustain; (2) Tipe-2, kelembagaan yang semi sustain dengan kendala manajemen;
(3) Tipe-3, kelembagaan yang tidak sustain; dan (4) Tipe-4, kelembagaan
semi-sustain dengan kendala good governance. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah:
Gambar 1. Tipologi kelembagaan komunitas lokal
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas
lokal, yaitu: (1) jejaring kerjasama; (2) intervensi positif pemerintah; (3)
kecukupan anggaran; dan (4) aturan-aturan tertulis. Dengan demikian melalui
program-program pengembangan jejaring kerjasama, intervensi pemerintah,
kecukupan pangan, dan aturan-aturan tertulis akan dapat meningkatkan
keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal.
2.1.4 Partisipasi
Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif yang diambil warga sendiri,
dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan
proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol
secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: pertama, warga komunitas SUSTAINABLE
UNSUSTAINABLE
(4)
“Keseimbangan Pelayanan-Peranserta” (1)
(3) (2)
Berfungsi “good governance”
dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang dan dikontrol oleh
orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk
keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan,
bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang
sadar (Nasdian, 2006).
Partisipasi didefinisikan sebagai keterlibatan mental/pikiran dan
emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk
memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta
turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Dengan kata
lain,batasan dari partisipasi adalah keterlibatan komunitas setempat secara aktif
dalam pengambilan keputusan atau pelaksanaannya terhadap
proyek-proyekpembangunan (Keith Davis, dalamSastropoetro 1988)
Dalam makalahnya yang berjudul ” A Ladder of Citizen Participation” dalam Journal of the American Planning Association (1969), Sherry Arstein mengemukakan delapan tangga atau tingkatan partisipasi. Kedelapan tingkatan
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Manipulation
Dengan mengatasnamakan partisipasi, masyarakat diikutkan sebagai ‟stempel karet‟ dalam badan penasihat. Tujuannya adalah untuk dipakai sebagai formalitas semata dan untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah
tingkat partisipasi masyarakat yang murni, karena telah diselewengkan dan
dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa.
2) Therapy
Pada tingkat therapy atau pengobatan ini, pemegang kekuasaan sama dengan ahli kesehatan jiwa. Mereka menganggap ketidakberdayaan sebagai
penyakit mental. Dengan berpura-pura mengikutsertakan masyarakat dalam suatu
perencanaan, mereka sebenarnya menganggap masyarakat sebagai sekelompok
orang yang memerlukan pengobatan. Meskipun masyarakat dilibatkan dalam
berbagai kegiatan namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk
3) Informing
Dengan memberi informasi kepada masyarakat akan hak, tanggung jawab,
dan pilihan mereka merupakan langkah awal yang sangat penting dalam
pelaksanaan partisipasi masyarakat. Namun acapkali pemberian informasi dari
penguasa kepada masyarakat tersebut bersifat satu arah. Masyarakat tidak
memiliki kesempatan untuk memberikan umpan balik dan tidak memiliki
kekuatan untuk negosiasi. Apalagi ketika informasi disampaikan pada akhir
perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk
mempengaruhi program. Komunikasi satu arah ini biasanya dengan menggunakan
media pemberitaan, pamflet,dan poster.
4) Consultation
Meminta pendapat masyarakat merupakan suatu langkah logis menuju
partisipasi penuh. Namun konsultasi ini masih merupakan partisipasi semu karena
tidak ada jaminan bahwa pendapat mereka akan diperhatikan. Cara yang sering
digunakan dalam tingkat ini adalah jejak pendapat, pertemuan warga, dan dengar
pendapat. Jika pemegang kekuasaan membatasi usulan masyarakat, maka kegiatan
tersebut hanyalah merupakan suatu partisipasi palsu. Masyarakat pada dasarnya
hanya dianggap sebagai abstraksi statistik, karena partisipasi hanya diukur dari
frekuensi kehadiran dalam pertemuan, seberapa banyak brosur yang dibawa
pulang dan juga dari seberapa banyak kuesioner dijawab. Dengan demikian,
pemegang kekuasaan telah merasa memiliki bukti bahwa mereka telah mengikuti
rangkaian pelibatan masyarakat.
5) Placation
Pada tingkat ini masyarakat sudah memiliki beberapa pengaruh meskipun
dalam beberapa hal pengaruh tersebut tidak memiliki jaminan akan diperhatikan.
Masyarakat memang diperbolehkan untuk memberikan masukan atau
mengusulkan rencana akan tetapi pemegang kekuasaanlah yang berwenang untuk
menentukan. Salah satu strateginya adalah dengan memilih masyarakat miskin
yang layak untuk dimasukkan ke dalam suatu lembaga. Jika mereka tidak
bertanggung jawab dan jika pemegang kekuasaan memiliki mayoritas kursi, maka
6) Partnership
Pada tingkat ini, kekuasaan disalurkan melalui negosiasi antara pemegang
kekuasaan dan masyarakat. Mereka sepakat untuk sama-sama memikul tanggung
jawab dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Aturan ditentukan dengan
melalui mekanisme take and give, sehingga diharapkan tidak mengalami perubahan secara sepihak. Partnership dapat berjalan efektif bila dalam masyarakat ada kekuasaan yang terorganisir, pemimpinnya bertanggung jawab,
masyarakat mampu membayar honor yang cukup bagi pemimpinnya serta adanya
sumber dana untuk menyewa teknisi, pengacara dan organisator masyarakat.
Dengan demikian, masyarakat benar-benar memiliki posisi tawar-menawar yang
tinggi, sehingga akan mampu mempengaruhi suatu perencanaan.
7) Delegated Power
Negosiasi antara masyarakat dengan pejabat pemerintah bisa
mengakibatkan terjadinya dominasi kewenangan pada masyarakat terhadap
rencana atau program tertentu. Pada tingkat ini masyarakat menduduki mayoritas
kursi, sehingga memiliki kekuasaan dalam menentukan suatu keputusan. Selain
itu, masyarakat juga memegang peranan penting dalam menjamin akuntabilitas
program tersebut. Untuk mengatasi perbedaan, pemegang kekuasaan tidak perlu
meresponnya akan tetapi dengan mengadakan proses tawar-menawar.
8) Citizen Control
Pada tingkat ini, masyarakat menginginkan adanya jaminan bahwa
kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan diberikan kepada
mereka, bertanggung jawab penuh terhadap kebijakan dan aspek-aspek manajerial
dan bisa mengadakan negosiasi apabila ada pihak ketiga akan mengadakan
perubahan. Dengan demikian, masyarakat dapat berhubungan langsung dengan
sumber-sumber dana untuk memperoleh bantuan atau pinjaman tanpa melewati
pihak ketiga.
informasi dan menyuarakan pendapat akan tetapi tidak ada jaminan kalau
pendapat komunitas akan diakomodasi. Placation (level tertinggi tokenism), komunitas bisa memberikan saran kepada pemegang kekuasaan, akan tetapi
kewenangan menentukan tetap ada pada pemegang kekuasaan. Partnership, membuat komunitas dapat bernegosiasi dan terlibat dalam pengambilan
keputusan. Pendelegasian kewenangan dan kontrol, komunitas memegang
mayoritas pengambilan keputusan dan kekuasaan pengelolaan. Secara jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:
Sumber : Arstein, 1969
Gambar 2. Delapan Tangga Tingkat Partsipasi Masyarakat
2.1.5 Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat
Pengembangan masyarakat adalah salah satu metode pekerjaan sosial yang
tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui
pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada
prinsip partisipasi sosial. Pengembangan masyarakat merupakan suatu proses
swadaya masyarakat yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kondisi
masyarakat pada bidang sosial, politik, kultural, dan ekonomi (Suharto, 2005).
Masih menurut Suharto (2005) pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang,
kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki
kebebasan(freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan
pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka
perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Secara umum istilah pengembangan
masyarakat merujuk kepada usaha-usaha yang dilakukan secara swadaya oleh
masyarakat bersama dengan pemerintah setempat untuk meningkatkan kondisi
masyarakat di bidang ekonomi, sosial, dan kultural serta untuk mengintegrasikan
masyarakat yang ada ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan memberi
kesempatan yang memungkinkan masyarakat tersebut membantu secara penuh
pada kejayaan dan kemakmuran bangsa (Conyers, 1996 dalam Nasdian, 2006). Dengan demikian, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai
proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan
atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka
pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah
perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau
mempunyai pengetahuan, dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
(Suharto, 2005).
Pada dasarnya setiap individu dan kelompok memiliki daya. Akan tetapi
kadar daya itu akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kondisi ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait antara lain seperti
pengetahuan, kemampuan, status, dan gender. Bentuk relasi sosial yang dicirikan dengan dikotomi subyek dan obyek merupakan relasi yang ingin “diperbaiki” melalui proses pemberdayaan.
2.1.6 Model-Model Pengembangan Masyarakat
Suharto (2005) mengemukakan tiga model dalam memahami konsep
1. Pengembangan masyarakat lokal
Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang ditujukan untuk
menciptakan kejayaan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi
aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Anggota masyarakat dipandang
bukan sebagai sistem klien yang bermasalah melainkan sebagai masyarakat yang
unik dan memiliki potensi, hanya saja potensi tersebut belum sepenuhnya
dikembangkan.
Pengembangan masyarakat lokal pada dasarnya merupakan proses interaksi
antara anggota masyarakat setempat yang difasilitasi oleh pekerja sosial. Pekerja
sosial membantu meningkatkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan
mereka dalam mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada ”tujuan proses” (process goal) daripada tujuan tugas atau tujuan hasil (task or product goal). Setiap anggota masyarakat bertanggung jawab untuk menentukan tujuan dan memilih strategi yang tepat
untuk mencapai tujuan tersebut. Pengembangan kepemimpinan lokal, peningkatan
strategi kemandirian, peningkatan informasi, komunikasi, relasi, dan keterlibatan
anggota masyarakat merupakan inti dari proses pengembangan masyarakat yang
bernuansa bottom up.
2. Perencanaan sosial
Perencanaan sosial menunjuk pada proses pragmatis untuk menentukan
keputusan dan menetapkan tindakan dalam memecahkan masalah sosial tertentu. Perencanaan sosial lebih berorientasi pada ”tujuan tugas” (task goal) daripada ”tujuan proses”. Sistem klien perencanaan sosial umumnya adalah kelompok -kelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups) atau kelompok rawan sosial ekonomi. Pekerja sosial berperan sebagai perencana sosial yang memandang mereka sebagai “konsumen” atau “penerima pelayanan”. Keterlibatan para penerima pelayanan dalam proses pembuatan kebijakan,
penentuan tujuan, dan pemecahan masalah bukan merupakan prioritas karena
pengambilan keputusan dilakukan oleh para pekerja sosial di lembaga-lembaga
mengidentifikasi, melaksanakan, dan mengevaluasi program-program pelayanan
kemanusiaan.
3. Aksi sosial
Tujuan dan sasaran utama aksi sosial adalah perubahan-perubahan
fundamental dalam kelembagaan dan struktur masyarakat melalui proses
pendistribusian kekuasaan, pendistribusian sumber, dan pengambilan keputusan.
Pendekatan aksi sosial didasari oleh suatu pandangan bahwa masyarakat adalah sistem klien yang seringkali menjadi “korban” ketidakadilan struktur. Aksi sosial berorientasi pada tujuan proses maupun hasil. Masyarakat diorganisir melalui
proses penyadaran, pemberdayaan, dan tindakan-tindakan aktual untuk mengubah
struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prinsip demokrasi dan keadilan.
Berdasarkan model-model pengembangan masyarakat yang diungkapkan
Suharto (2005), dapat dianalisis bahwa pola pemberdayaan yang dilakukan oleh
tim PSP3-IPB merupakan salah satu model aksi sosial dimana proses
pemberdayaan komunitas desa dilakukan dengan peningkatan atau penguatan
kapasitas kelembagaan desa. Hal tersebut dilakukan karena kenyataan di lapangan
komunitas desa sebagai stakeholders berada pada posisi yang lemah. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut dipandang dari dimensi sturktural-kultural.
Dimensi struktural dalam arti masyarakat lapisan bawah di tingkat komunitas
tidak berdaya mengahadapi lapisan yang lebih kuat. Akibatnya adalah
upaya-upaya pemberdayaan masyarakat lapisan bawah tidak berjalan sebagaimana
tujuannya karena kendala sturuktural tersebut. Masalah struktural tersebut
mengalahkan interes pribadi dari aparatur pemerintah yang lebih kuat.
Melalui peningkatan kapasitas kelembagaan diharapkan akan dapat
meningkatkan kemampuan komunitas desa, sehingga terjadi perubahan dan
memiliki peran yang sebanding dengan stekeholders lainnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan jalan meningkatkan kapasitas kelembagaan. Peningkatan
kapasitas kelembagaan terkait dengan peningkatan kemampuan pemerintah desa
mendistribusikan atau pembagian sumberdaya desa secara seimbang dan merata
sesuai dengan prioritas kebutuhan komunitas desa. Kemudian peningkatan
kemampuan untuk peka dan tanggap terhadap aspirasi warga masyarakat serta
program pemberdayaan masyarakat benar-benar dapat teraktualisasi dengan baik
serta partisipasi komunitas desa semakin meningkat.
2.1.7 Komunitas
Jim Ife (1989) dalam Nasdian (2006) menyebutkan pengertian komunitas dengan warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat lebih luas (society) melalui kedalaman perhatian bersama (a community of interest) atau oleh tingkat interaksi yang tinggi. Para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama
(common needs). Jika tidak ada kebutuhan bersama maka bukan suatu komunitas. Aktivitas anggota komunitas dicirikan dengan partisipasi dan keterlibatan
langsung anggota komunitas dalam kegiatan/program yang dijalankan. Suatu
komunitas mempunyai lokalitas atau tempat tinggal tertentu. Komunitas yang
mempunyai tempat tinggal tetap dan permanen biasanya mempunyai ikatan
solidaritas yang kuat sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya. Di samping
iu, harus ada suatu perasaan diantara anggota bahwa mereka saling memerlukan
dan bahwa lahan yang mereka tempati memberikan kehidupan bagi semuanya.
Unsur-unsur perasaan komunitas (community sentiment) dijelaskan oleh Nasdian (2006) antara lain seperasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan.
2.1.8 Kemitraan
Menurut Nasution (2002) kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama yang
menganut asas kesetaraan dan saling ketergantungan antar anggota dan antar
kelompok dalam masyarakat. Kemitraan dalam hal ini adalah kerjasama sinergi
berkaitan dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki masing-masing pihak,
sehingga setiap komponen anggota dan kelompok yang bekerjasama akan
mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan apabila mereka bekerja
sendiri-sendiri. Kemitraan tersebut akan meningkatkan efisiensi dan memberikan
keuntungan yang lebih tinggi.
Pembentukan kemitraan akan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
dengan strategi lainnya yaitu karena lebih mudah dibentuk, lebih luwes
diimplementasikan, tidak memerlukan dana yang besar, beresiko kecil, serta
menimbulkan beberapa efek ganda yang cukup berarti bagi perusahaan(Wahyudi,
2.1.9 SL-PTT : DEFINISI, TUJUAN DAN AZAS4
SL-PTT adalah bentuk sekolah yang seluruh proses belajarmengajarnya
dilakukan di lapangan. Hamparan sawah milik petani peserta program penerapan
PTT disebut hamparan SL-PTT, sedangkan hamparan sawah tempat praktek
sekolah lapang disebut laboratorium lapang (LL). Sekolah lapang seolah-olah
menjadikan petani peserta sebagai murid dan pemandu lapang (PL I atau PL II)
sebagai guru. Namun pada sekolah lapang tidak dibedakan antara guru dan
muridkarena aspek kekeluargaan lebih diutamakan, sehingga antara guru dan
murid. saling memberi pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman. SL-PTT
juga mempunyai kurikulum, evaluasi pra dan pasca kegiatan, dan sertifikat.
Bahkan sebelum SL-PTT dimulai perlu dilakukan registrasi terhadap peserta yang
mencakup nama dan luas lahan sawah garapan, pembukaan, dan studi banding
atau kunjungan lapang (field trip). Penciri SL-PTT adalah sebagai berikut:
1. Peserta dan pemandu saling memberi dan menghargai.
2. Perencanaan dan pengambilan keputusan dilakukan bersama dengan
kelompok tani (poktan) atau gabungan kelompok tani (gapoktan).
3. Komponen teknologi yang akan diterapkan berdasarkan hasil PRA yang
dilakukan oleh petani peserta.
4. Pemandu tidak mengajari petani, akan tetapi petani belajar dengan
inisiatif sendiri, pemandu sebagai fasilitator memberikan bimbingan.
5. Materi latihan, praktek, dan sarana belajar ada di lapangan.
6. Kurikulum dirancang untuk satu musim tanam, sehingga dalam periode
tersebut diharapkan terdapat 10-18 kali pertemuan antara peserta dengan
pemandu.
Sasaran dan Tujuan
Pada tahun 2011 diharapkan dapat terselenggara SL-PTT di 60.000 unit.
Satu unit SL-PTT padi inbrida dilaksanakan pada hamparan lahan sawah seluas
25 ha, 24 ha di antaranya untuk SL-PTT dan 1 ha untuk Laboratorium Lapang.
Untuk padi hibrida, satu unit SLPTT dilaksanakan pada lahan sawah seluas 15 ha.
Luas lahan sawah yang akan menerapkan PTT melalui SL-PTT diperkirakan 1,58
4
juta ha. Strategi ini diharapkan dapat memperluas penyebaran PTT yang akan
berdampak terhadap percepatan implementasi program P2BN. Tujuan utama
SL-PTT adalah mempercepat alih teknologi melalui pelatihan dari peneliti atau
narasumber lainnya. Narasumber memberikan ilmu dan teknologi (IPTEK) yang
telah dikembangkan kepada pemandu lapang I (PL I) sebagai Training of Master Trainer (TOMT). PL I terdiri atas penyuluh pertanian, Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT), dan Pengawas Benih Tanaman (PBT) tingkat
provinsi yang telah dilatih di tingkat nasional (Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi-BB-Padi). Selanjutnya PL I menurunkan IPTEK tersebut kepada PL II yang
terdiri atas penyuluh pertanian, POPT, dan PBT tingkat kabupaten/kota.
Pelatihan bagi PL II diselenggarakan di tingkat provinsi dan materinya
diberikan oleh narasumber dan PL I. Pelatihan bagi pemandu lapang
diselenggarakan di kabupaten/kota. Peserta pelatihan adalah penyuluh pertanian,
POPT dan PBT tingkat kecamatan/desa. Materi pelatihan diberikan oleh
narasumber dan PL II. Melalui SL-PTT diharapkan terjadi percepatan penyebaran
teknologi PTT dari peneliti ke petani peserta dan kemudian berlangsung difusi
secara alamiah dari alumni SL-PTT kepada petani di sekitarnya. Seiring dengan
perjalanan waktu dan tahapan SL-PTT, petani diharapkan merasa memiliki PTT
yang dikembangkan. Keuntungan yang diperoleh pemberi dan penerima dalam
kegiatan ini adalah:
1. Keuntungan bagi pemandu, PPL, dan PHP
Dengan motto“memberi lebih baik dari menerima” pemandu (PPL atau PHP) memberikan pengetahuan dan pengalamannya kepada petani sehingga
pemandu merasa bermanfaat bagi banyak orang, terutama petani. Dalam hal ini
pemandu dituntut untuk mampu berkomunikasi dengan baik dan mampu pula
menggerakkan petani mengembangkan dan memajukan usahatani di wilayah
kerjanya.
2. Keuntungan bagi petani
Petani peserta SL-PTT diberi kebebasan memformulasikan ide, rencana, dan
keputusan bagi usahataninya sendiri. Mereka dilatih agar mampu membentuk dan
menggerakkan kelompok tani dalam alih teknologi kepada petani lain. Melalui
bersama-sama meningkatkan produksi padi dalam upaya mewujudkan
swasembada beras. Kebersamaan semua pihak yang terlibat dalam SL-PTT
merupakan faktor pendorong bagi petani dalam mengelola usahataninya.
Beberapa azas SL-PTT yang perlu dipahami oleh pemandu dan
petanipeserta SL-PTT adalah sebagai berikut:
1. Sawah sebagai sarana belajar
Keterampilan yang dituntut dari petani peserta sekolah lapang dalam
menerapkan PTT adalah keterampilan membawa PTT ke lahan usahataninya
sendiri dan lahan petani yang lain. Oleh karena itu, petani peserta SL-PTT akan
menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk menerapkan teknologi di lapang
dan hanya sebagian kecil waktu yang digunakan di kelas untuk membahas aspek
yang terkait dengan usahatani, seperti koperasi, gapoktan, kelompok tani, dan
pemasaran hasil.
2. Belajar lewat pengalaman dan penemuan sendiri
Sesuai dengan motto petani SL-PTT “mendengar, saya lupa; melihat, saya ingat; melakukan, saya paham; menemukan sendiri, saya kuasai” maka setiap kegiatan yang dilakukan sendiriakan memberikan pengalaman yang
berharga. Oleh karena itu, petanidituntut untuk mampu menganalisis kegiatan
yang telah dilakukan,kemudian menyimpulkan dan menindaklanjutinya.
Kesimpulan yangtelah dibuat merupakan dasar dalam melakukan perubahan dan
ataupengembangan teknologi.
3. Pengkajian agroekosistem sawah
SL-PTT dicirikan oleh adanya pertemuan petani peserta dalam periode
tertentu, mingguan atau dua mingguan, bergantung kepada pengalaman mereka
setelah mengamati perubahan ekosistem persawahan. Aktivitas mingguan berupa
monitoring yang hasilnya diperlukan dalam pengambilan keputusan. Untuk itu, petani peserta SL-PTT perlu didorong untuk membiasakan diri menganalisis
ekosistem dan mengkaji produktivitas dan efektivitas teknologi yang dicoba pada
4. Metode belajar praktis
Aktivitas SL-PTT perlu dirancang sedemikian rupa agar petani mudah
memahami masalah yang dihadapi di lapangan dan menetapkan teknologi yang
akan diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut. Misalnya, bagaimana petani
mengetahui kondisi tanaman yang kurang pupuk, hubungan antara iklim dan
keberadaan OPT, atau bagaimana mereka dapat mengetahui kesuburan tanah.
Dalam memberikan panduan dan motivasi kepada petani, pemandu SL-PTT harus
mampu berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa yang mudah dipahami
petani.
5. Kurikulum berdasar keterampilan yang dibutuhkan
Kurikulum dirancang atas dasar analisis keterampilan yang perlu dimiliki
petani SL-PTT, agar mereka dapat memahami dan menerapkan PTT di lahan
sendiri dan mengembangkan kepada petani lainnya. Selain keterampilan teknis,
petani peserta SL-PTT juga memperoleh kecakapan dalam perencanaan kegiatan,
kerja sama, dinamika kelompok, pengembangan materi belajar, dan komunikasi.
Hal ini penting artinya bagi petani peserta SL-PTT untuk dapat menjadi fasilitator
yang mampu memotivasi dan membantu kelompok tani.
2.2 Kerangka Pemikiran
Kelompok Tani adalah kumpulan petani/peternak yang dibentuk atas dasar
kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber
daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota,
sedangkan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) adalah kumpulan dari
beberapa Kelompok Tani yang bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan
skala ekonomi dan efisiensi usaha.
Gapoktan Jaya Tani adalah Gabungan Kelompok Tani yang terdapat di
Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. FungsiGapoktan ini
sangat penting bagi petani yang ada di Desa Cibunian, sebagai sebuah
kelembagaan Gapoktan Jaya Tani berfungsi sebagai wadah bagi para petani untuk
saling berbagi informasi pertanian dan meningkatkan produktivitas serta efisiensi
usaha tani mereka melalui kemudahan dalam mengakses informasi pertanian,
Diperlukan berbagai upaya penguatan kelembagaan dalam meningkatkan
keberlanjutan kelembagaan Gapoktan Jaya Tani salah satunya dengan
memperkuat jejaring kerjasama dengan lembaga-lembaga yang dapat mendukung
pengembangan pertanian di Desa Cibunian. Menurut Israel (1990) pengembangan
atau penguatan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki
kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia
dan keuangan yang ada. Strategi ini dapat dilakukan dengan mengutamakan
prinsip-prinsip good governance danmenjalin kerjasama dengan kelembagaan penyuluhan, koperasi tani (Koptan), penangkar benih, pengusaha benih, kios,
KUD, P3A dan sebagainya.
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) merupakan
sekolah lapangan bagi petani dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani
melalui penggunaan input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi sehingga
mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk menunjang peningkatan produksi
secara berkelanjutan. Dalam SL-PTT petani dapat belajar langsung di lapangan
melalui pembelajaran dan penghayatan langsung (mengalami), mengungkapkan,
menganalisis, menyimpulkan dan menerapkan (melakukan/mengalami kembali),
menghadapi dan memecahkan masalah-masalah terutama dalam hal teknik
budidaya dengan mengkaji bersama berdasarkan spesifik lokasi. Kegiatan ini
dilaksanakan pada masing-masing Kelompok Tani anggota Gabungan Kelompok
Tani. Keberhasilan program SL-PTT dapat dilihat dari peningkatan kemampuan
dan keterampilan petani dalam mengelola usaha taninya serta tingkat partisipasi
kelompok dalam setiap tahapan pelaksanaan SL-PTT. Tingkat partisipasi
kelompok dalam program SL-PTT dilhat dari tingkat partisipasi setiap individu
dalam kehadiran dalam penyusunan rencana usaha kelompok (RUK), keaktifan
berdiskusi atau menyampaikan ide dalam pembuatan RUK, keterlibatan secara
fisik, dan kesediaan membayar iuran jika ada kesepakatan dalam kelompok.
Keberhasilan program SL-PTT ditentukan oleh dua faktor, yaitu: faktor
internal dan eksternal. Faktor internal adalah kondisi atau keberlanjutan Gapoktan
Jaya Tani, sementara faktor eksternalnya yaitu kemampuan dan keterampilan
penyuluh dalam membuka ruang yang luas bagi para petani untuk berpartisipasi.
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian
: hubungan mempengaruhi
: diukur berdasarkan
: Hubungan
Keberlanjutan Kelembagaan
Partisipasi Kelompok Partisipasi individu Good Governance
1. Tranparansi 2. Akuntabilitas
3. Demokrasi Keseimbangan Pelayanan
dan Peran serta (Partisipasi-Servis)
GAPOKTAN “Jaya Tani”
Jejaring (Networking)
terhadap tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT, akan diidentifikasi
mulai dari karakteristik sosial ekonomi petani dan bagaimana hubungannya
dengan tingkat partisipasi setiap individu. Lalu, akan diidentifikasi pula
bagaimana tingkat keseimbangan pelayanan-peran serta, tingkat demokrasi,
tingkat akuntabilitas, dan kekuatan jejaring yang terbangun. Setelah itu, peneliti
akan mengidentifikasi tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT.
Terakhir, penulis akan mendeskripsikan sejauh mana peran keberlanjutan
kelembagaan terhadap tingkat partisipasi kelompok dalam program SL-PTT di
Gapoktan Jaya Tani, Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor
(Gambar 3).
2.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah :
1. Responden berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi tingkat partisipasinya
dalam program SL-PTT.
2. Semakin tinggi usia (senior) maka tingkat partisipasi dalam program
SL-PTT akan semakin tinggi.
3. Semakin tinggi pendidikan yang pernah ditamatkan responden maka
tingkat partisipasi dalam program SL-PTT akan semakin tinggi.
4. Semakin tinggi luas lahan yang dimiliki maka tingkat partisipasi dalam
program SL-PTT akan semakin tinggi.
5. Semakin tinggi penghasilan responden maka tingkat partisipasi dalam
program SL-PTT akan semakin tinggi.
2.4 Definisi Konseptual
1. Keberlanjutan kelembagaan adalah tingkat atau ukuran keberlanjutan suatu
lembaga yang ada di komunitas yaitu : (1) Sustain; (2) Semi sustain dengan kendala manajemen; (3) Semi sustain dengan kendala good governance; (3) Tidak sustain. Dinilai berdasarkan keseimbangan antara pelayanan dengan peranserta, good governance (demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas) danjejaring kelembagaan.
2. Partisipasi adalah keterlibatan komunitas dalam pertemuan, diskusi,