• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Miskonsepsi Siswa Menggunakan Certainty of Response Index (CRI) dan Wawancara Diagnosis pada Konsep Sel,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Miskonsepsi Siswa Menggunakan Certainty of Response Index (CRI) dan Wawancara Diagnosis pada Konsep Sel,"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

(CRI)

DAN WAWANCARA DIAGNOSIS

PADA KONSEP SEL

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi

Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

RIA MAHARDIKA

NIM: 109016100072

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i

Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa kelas XI SMAN 8 Tangerang Selatan pada konsep sel. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Pengambilan sampel menggunakan teknik sampling jenuh, sehingga didapatkan 120 sampel siswa. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah tes objektif pilihan ganda disertai dengan metode Certainty of Response Index (CRI) serta lembar wawancara. Berdasarkan kelengkapannya, data yang digunakan hanya 80 data siswa dari jumlah keseluruhan sampel. Hasil analisis menunjukkan bahwa miskonsepsi muncul pada sub konsep komponen kimiawi sel sebesar 61,25 %, sub konsep struktur dan fungsi sel sebesar 33,21 %, sub konsep organel sel tumbuhan dan hewan sebesar 31,75 %, dan sub konsep mekanisme transpor pada membran sebesar 31, 67 %. Dengan demikian hasil analisis menunjukkan bahwa miskonsepsi pada siswa dikarenakan siswa tidak memahami konsep secara utuh dan menghubungkan satu konsep dengan konsep lain dengan pemahaman parsial, sehingga mengakibatkan siswa membuat kesimpulan yang salah. Berdasarkan analisis data tersebut menunjukkan bahwa CRI efektif digunakan untuk mengetahui miskonsepsi dan wawancara diagnosis efektif digunakan dalam mengetahui alasan siswa yang menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi.

(7)

ii

Concept, BA Thesis, Study Program of Biology Education, Department of Natural Sciences Education, Faculty of Tarbiya and Teachers’ Sciences, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta.

The research aims to identify students’ misconceptions on cells concept at the eleventh grade of SMAN 8 South Tangerang. The design of this research is descriptive method. The samples were taken through saturated sampling; hence the samples were 120 students. Multiple choice objective test by Certainty of Response Index (CRI) and interview sheets were used as the instruments of this research. Based on the completeness, there were only 80 students’data used. The results show that misconceptions occurred on chemical components of cell sub concept were 61,25 %, structure and function of cells sub concept were 33,21 %, cell organelles of plants and animals sub concept were 31,75 %, and mechanisms of membrane transport sub concept were 31, 67 %. Thus, these results show that the students’ misconceptions happened because of the students’ partial understanding. It means they were not fully understood about the concept and associated one concept with another one, therefore students made false conclusions. According to the data analysis, CRI is effective for detecting the misconceptions and the diagnostic interview is effective for knowing students’ reasons about the causes of their misconceptions .

(8)

iii

serta karunia-Nya. Shalawat serta salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad

SAW yang membawa perubahan ke zaman yang penuh dengan perkembangan

ilmu pengetahuan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Identifikasi Miskonsepsi Siswa Menggunakan Certainty of Response Index (CRI) dan Wawancara Diagnosis pada Konsep Sel”.

Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir dalam rangka menyelesaikan studi

strata I (SI) untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan (S.Pd) yang diajukan

kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih. Dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis

menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Ibu Nurlena Rifa’i. M.A., Ph. D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Baiq Hana Susanti, M.Sc Ketua Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam,

3. Ibu Dr. Zulfiani M. Pd Ketua Program Studi Pendidikan Biologi,

4. Ibu Nengsih Juanengsih, M.Pd., Dosen Pembimbing I yang telah membimbing

dalam menyelesaikan skripsi,

5. Ibu Meiry Fadilah Noor, M.Si., yang telah membimbing dalam menyelesaikan

skripsi serta memberikan ilmu pengetahuannya selama perkuliahan,

6. Dra. Hj. Yuliani, M.Pd., Kepala SMAN 8 Kota Tangerang Selatan dan seluruh

guru SMAN 8 yang telah membantu dalam proses penelitian skripsi

berlangsung,

7. Neni Handayani, S.Pd., Guru Bidang Studi Biologi kelas XI SMAN 8

Tangerang Selatan, yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama

(9)

iv terima kasih telah berbagi pengetahuan,

10.Bapak Ida Bagus Mahardika dan Ibu Khoiriah, orang tua penulis yang

senantiasa mencurahkan kasih sayang dan senantiasa mendoakan keberhasilan

penulis dan memberikan bantuan baik moril maupun materil kepada penulis

selama proses penyelesaian skripsi ini,

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu baik secara langsung

maupun tidak langsung, dari lubuk hati yang paling dalam saya ucapkan terima

kasih.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis

harapkan. Semoga laporan ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para

pembaca pada umumnya.

Jakarta, 27 Februari 2014

(10)

v

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KERANGKA TEORITIS, PENELITIAN YANG RELEVAN DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Teoritis 1. Konsep ... 7

a. Definisi Konsep ... 7

b. Perolehan Konsep... 8

c. Pembagian Konsep ... 9

d. Pembelajaran dan Pengajaran Konsep ... 10

e. Tingkat Pencapaian Konsep ... 10

2. Miskonsepsi ... 12

a. Definisi Miskonsepsi ... 12

b. Miskonsepsi dan Konsep Alternatif ... 13

c. Miskonsepsi, Status, dan Sifat ... 13

d. Terbentuknya Miskonsepsi ... 14

e. Sebab-sebab Terjadinya Miskonsepsi ... 15

(11)

vi

4. Wawancara Diagnosis ... 21

B. Konsep Sel ... 23

1. SK dan KD Materi Sel ... 23

2. Kajian Materi Sel ... 23

C. Hasil Penelitian yang Relevan ... 24

D. Kerangka Berpikir ... 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

B. Metode Penelitian ... 28

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 28

D. Teknik Pengumpulan Data ... 29

E. Instrumen Penelitian ... 29

1. Tes Objektif ... 29

2. Wawancara ... 31

F. Kalibrasi Instrumen ... 32

1. Uji Validitas ... 32

2. Uji Realibilitas ... 33

3. Daya Pembeda ... 34

4. Tingkat Kesukaran ... 35

G. Analisis Data 1. Penilaian dan Pengelompokkan Data... 36

a. Penilaian ... 36

b. Pengelompokkan Data ... 37

2. Penafsiran Data ... 37

a. Perhitungan Data ... 38

(12)

vii

2. Deskripsi Butir Soal Berdasarkan Nilai CRI untuk Jawaban

Salah (CRIs) dan Fraksi (F) ... 42

3. Miskonsepsi Sel yang Terjadi pada Siswa ... 44

B. Pembahasan Terhadap Hasil Penelitian ... 45

1. Analisis Miskonsepsi yang Terjadi pada Siswa ... 50

a. Struktur dan Fungsi Sel ... 50

b. Organel Sel Tumbuhan dan Hewan ... 53

c. Mekanisme Transpor Pada Membran ... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 59

B. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(13)

viii

Tabel 2.2 Skala Respon Certainty of response index ... 20

Tabel 2.3 Ketentuan untuk Membedakan antara Tahu Konsep, Miskonsepsi, dan Tidak Paham Konsep untuk Responden Secara Individu ... 21

Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Hasil Belajar pada Konsep Sel ... 30

Tabel 3.2 Enam Skala CRI (Certainty of Response Index)... 31

Tabel 3.3 Hasil Uji Validitas Instrumen ... 33

Tabel 3.4 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ... 34

Tabel 3.5 Hasil Uji Daya Pembeda ... 35

Tabel 3.6 Hasil Uji Taraf Kesukaran Instrumen ... 36

Tabel 3.7 Skor Perbutir Soal ... 36

Tabel 3.8 Skala Respon Certainty of Response Index ... 36

Tabel 3.9 Ketentuan untuk Membedakan antara Tahu Konsep, Miskonsepsi, dan Tidak Tahu Konsep ... 37

Tabel 3.10 Ketentuan Nilai CRIs serta Fraksi ... 39

Tabel 4.1 Persentase Siswa Berdasarkan Jawaban dan Indeks CRI Kategori Paham (P), Miskonsepsi (M), Tidak Paham (TP) pada Konsep Sel ... 40

Tabel 4.2 Nilai CRI untuk Jawaban Salah dan Fraksi ... 42

Tabel 4.3 Miskonsepsi dan Alasan Miskonsepsi Siswa ... 44

Tabel 4.4 Kelompok Soal Paham Konsep, Tidak Paham Konsep, dan Miskonsepsi ... 46

(14)

ix

Gambar 4.1 Grafik Persentase Tingkat Pemahaman Siswa pada Subkonsep

Sel ... 47

Gambar 4.2 Grafik Nilai CRI untuk Jawaban Salah dan Fraksi (F) pada Konsep

Sel ... 48

(15)

x

Pembelajaran Sel ... 64

Lampiran 2. Kisi Kisi Instrumen Penelitian ... 72

Lampiran 3. Rekap Hasil Uji Instrumen ... 102

Lampiran 4. Soal Tes ... 105

Lampiran 5. Lembar Jawaban Tes... 116

Lampiran 6. Hasil Tes Objektif Siswa Menggunakan CRI ... 118

Lampiran 7. Persentase Siswa Berdasarkan Jawaban dan Indeks (CRI) dalam Kategori Paham (P), Miskonsepsi (M), Tidak Paham (TP) 120 Siswa ... 126

Lampiran 8. Persentase Siswa Berdasarkan Jawaban dan Indeks (CRI) dalam Kategori Paham (P), Miskonsepsi (M), Tidak Paham (TP) 80 Siswa ... 131

Lampiran 9. Nilai CRI Siswa untuk Jawaban Benar ... 137

Lampiran 10. Nilai CRI Siswa untuk Jawaban Salah... 141

Lampiran 11. Protokol Wawancara (Guru) ... 145

Lampiran 12. Kegiatan Wawancara Siswa ... 146

Lampiran 13. Uji Referensi ... 157

(16)

1

A. Latar Belakang Masalah

Pentingnya pendidikan dalam membangun suatu bangsa tidak diragukan lagi.1

Tilaar dan Surakhmad mengatakan bahwa pendidikan memiliki peranan dalam

membangun masa depan.2 Dalam hal ini proses pembelajaran IPA ikut serta

berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Peran pembelajaran IPA tersebut

dikarenakan proses pembelajaran yang bersifat utuh berdasarkan hakikat IPA

yang meliputi beberapa aspek yaitu aspek sikap, aspek proses, aspek produk,

aspek aplikasi.3

Proses pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung

untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar

secara alamiah. Oleh sebab itu, mata pelajaran Biologi SMA/MA berdasarkan

KTSP menekankan pada fenomena alam dan penerapannya yang meliputi salah

satu aspek yaitu organisasi seluler, struktur jaringan, struktur dan fungsi organ

tumbuhan, hewan dan manusia serta penerapannya dalam konteks sains,

lingkungan, teknologi dan masyarakat.4

Paragraf di atas menjelaskan bahwa berdasarkan pada KTSP proses

pembelajaran IPA ikut serta memiliki peran dalam meningkatkan mutu

pendidikan. Proses pembelajaran merupakan aktifitas belajar yang dilakukan

siswa dengan melibatkan sumber belajar, sarana dan prasarana, siswa dan guru.

Dalam hal ini siswa belajar atau mempelajari suatu sumber belajar menggunakan

sarana prasarana yang mendukung sumber belajar dengan bantuan guru.

Menurut Slavin, Learning is usually defined as a change in an individual caused by experienced. Kemudian Slavin juga mengatakan, “Learning take

1

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian III:

Pendidikan Disiplin Ilmu, (Bandung: PT. Imtima, 2007), Cet. II, h. 266.

2

Ibid., h.249.

3

Zulfiani, dkk, Strategi Pembelajaran Sains, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), Cet. I, h. 46-47.

4

(17)

place in many ways. Sometime intentional, as when students acquire information presented in a classroom or when they look something up in the

encyclopedia. Sometimes it is unintentional, as in the case of the child’s

reaction to the needle. All sorts of learning are going on all the time.5

Dari pernyataan Slavin, belajar diartikan sebagai perubahan individu yang

terjadi melalui pengalaman atau interaksi antara siswa dengan lingkungan sebagai

sumber dan proses belajar yang terjadi melalui banyak cara baik disengaja

maupun tidak disengaja. Proses belajar tersebut akan terus berlangsung sepanjang

waktu menuju perubahan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan kebiasaan

baru.6

Piaget juga mengemukakan bahwa belajar merupakan proses konstruksi

(pembentukan) pengetahuan oleh siswa dari pengalamannya, yang berlangsung

secara terus menerus. Sehingga siswa akan merekonstruksi pengetahuannya

sampai siswa mendapatkan pemahaman yang baru mengenai suatu objek.7 Oleh

karena itu, sebelum masuk ke dalam pendidikan formal setiap siswa memiliki

pengalaman dan pola pikir yang berbeda, sehingga dapat membentuk pra-konsep

siswa yang berbeda pula. Pola pikir siswa yang berbeda dengan pola pikir para

ilmuwan, dikatakan sebagai miskonsepsi.8 Menurut Suparno selain siswa itu

sendiri, terdapat juga faktor-faktor penyebab terjadinya miskonsepsi yaitu guru

atau pengajar, buku teks, konteks, dan cara mengajar.9

Perihal miskonsepsi, semua bidang Sains (Biologi, Kimia, Fisika, dan

Astronomi) merupakan bidang yang rentan dimiskonsepsikan.10 Oleh sebab itu

dalam hal ini mata pelajaran Biologi yang diajarkan tidak hanya sekedar sebagai

produk berupa konsep atau prinsip Biologi, tetapi juga mengajar melalui

5

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. IV, h. 16.

6

Ibid, h. 16-17.

7

Eveline Siregar dan Hartini Nara. Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), Cet. I, h. 39.

8

Ceren Tekkaya, “Misconception as Barrier to Understanding Biology, Hacettepe Universitesi Egitim Fakultesi Dergisi”, Vol. 23, 2002, h. 259, (http://www.efdergi.hacettepe.edu.tr/200223 ceren%20tekkaya.pdf).

9

Paul Suparno, Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: PT. Grasindo, 2005), Cet. I, h. 53.

10

(18)

pengalaman Biologi.11 Karena alasan tersebut, dalam mempelajari Biologi tidak

cukup hanya dengan sekedar mengajarkan materi Biologi. Siswa seyogyanya

diajak mempelajari materi Biologi menurut cara berpikirnya.12 Dengan demikian

siswa akan mengkonstruk pemahaman dari pengetahuan yang sudah mereka

dapatkan sendiri. Sehingga dalam proses belajar mengajar miskonsepsi dapat

dihindari.

Berdasarkan hasil wawancara, guru bidang Biologi SMAN 8 Tangerang

Selatan mengatakan bahwa sebesar 60% siswa kelas XI IPA memperoleh hasil

belajar yang rendah pada konsep Sel. Adapun rendahnya hasil belajar tersebut

karena diduga abstraknya sub konsep organel sel tumbuhan dan hewan serta

subkonsep mekanisme transpor, dimana untuk mengurangi keabstrakan konsep

tersebut dapat dikonkritkan dengan metode atau strategi yang lebih tepat.

Menurut beliau, rendahnya hasil belajar siswa tersebut disebabkan oleh faktor

perbedaan daya serap dan daya retensi siswa. Berdasarkan hasil wawancara

tersebut, penulis memilih konsep Sel sebagai materi yang akan diidentifikasi

apakah terjadi miskonsepsi siswa di dalamnya. Sebab rendahnya hasil belajar

siswa dapat merupakan ciri dari dampak terjadinya miskonsepsi.

Menurut Campbell, Sel merupakan materi dasar bagi ilmu Biologi.13 Oleh

sebab itu Sel merupakan konsep yang mendasari pemahaman siswa untuk

memahami konsep-konsep Biologi selanjutnya. Adanya miskonsepsi dalam

pikiran siswa akan menghambat proses penerimaan dan asimilasi

pengetahuan-pengetahuan baru siswa mengenai konsep Sel. Selain itu, kurangnya motivasi

siswa untuk memperbaiki atau membentuk pemahaman konsep yang benar, akan

menghalangi keberhasilan siswa dalam proses belajar selanjutnya.14

Ketua BAN-S/M, Abdul Mukti dalam DetikNews mengatakan bahwa satuan pendidikan di Indonesia dianggap masih lemah dalam banyak hal dibanding

11

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, op. cit., h. 267.

12

Ibid., h. 253.

13

Campbell, Reece dan Mitchell, Biologi, Terj. dari Biology oleh Amalia, (Jakarta: Erlangga, 2002), Cet. V, h. 112.

14

(19)

negara lain, termasuk pada kompetensi para lulusannya.15 Salah satu kemungkinan

faktor yang menyebabkan lemahnya kompetensi lulusan tersebut adalah karena

terjadinya miskonsepsi. Menurut Irawan, ironinya permasalahan miskonsepsi ini

justru seringkali luput dari sorotan berbagai pihak.16

Besarnya dampak yang disebabkan miskonsepsi pada siswa membuktikan

bahwa sudah seharusnya miskonsepsi tersebut diidentifikasi. Adapun untuk

mengetahui keberadaan miskonsepsi dapat menggunakan berbagai cara, yaitu

wawancara diagnosis, penyajian peta konsep, metode CRI, tes multiple choice

dengan reasoning terbuka, diskusi dalam kelas, praktikum dengan tanya jawab,

tes esai tertulis.

Pada penelitian ini miskonsepsi akan diidentifikasi berdasarkan tingkat

keyakinan siswa menggunakan metode Certainty of Response Index (CRI).17

Metode ini diperkenalkan oleh Saleem Hasan, Diola Bagayoko, dan Ella L. Kelley, dalam jurnal mereka yang berjudul “Misconceptions and The Certainty of Response Index (CRI)”. Mereka meneliti bahwa membedakan antara siswa yang

mengalami miskonsepsi dan tidak paham konsep cukup sulit. Oleh sebab itu

mereka membuat metode untuk membedakan keduanya (miskonsepsi dan tidak

paham konsep). Dari hasil penelitian tersebut mereka membuktikan bahwa

metode CRI efektif dalam mendiagnosis siswa yang tidak paham konsep dan

siswa yang mengalami miskonsepsi.18 Karena CRI dapat mengidentifikasi

keduanya berdasarkan tingkat keyakinan responden, sehingga dalam penerapan

metode tersebut kejujuran siswa dalam menjawab CRI merupakan hal yang sangat

penting dan harus diperhatikan.

Metode CRI ini memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulannya yakni

bersifat sederhana dan dapat digunakan di berbagai jenjang (sekolah menengah

15

DetikNews (M. Rizki Maulana), Indonesia Masih Lemah dalam Mutu Pendidikan & Kualitas Lulusan, 2013, (www.m.detik.com/news/read/2012/12/26/131704/2126881/10//Indonesia -masih-lemah-dalam-mutu-pendidikan-kualitas-lulusan).

16

Suandi Sidauruk, “Miskonsepsi Siswa SMU Negeri Kotamadya Palangkaraya Terhadap Konsep Perubahan Materi, Hukum Kekekalan Massa, dan Sistem Periodik”, Jurnal Penelitian Kependidikan, Vol. 2, 1999, h. 191.

17

Saleem Hasan, et.al, “Misconceptions and the Certainty of Response Index (CRI)”, Journal of Phys. Educ., Vol. 5, 1999, h. 294.

(20)

sampai perguruan tinggi), sedangkan kelemahannya adalah metode ini sangat

bergantung pada kejujuran siswa.

Pada penelitian ini untuk mendukung metode CRI maka digunakan metode

wawancara diagnosis untuk mengetahui konsistensi setiap siswa yang didiagnosa

memiliki jawaban miskonsepsi pada CRI. Dengan metode wawancara tersebut,

alasan dari jawaban miskonsepsi siswa dapat digali lebih jauh. Sehingga peneliti

dapat memperoleh informasi secara objektif.19

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang

kemungkinan muncul di konsep Sel dengan penelitian yang berjudul ”Identifikasi

Miskonsepsi Siswa Menggunakan Certainty of Response Index (CRI) dan

Wawancara Diagnosis pada Konsep Sel”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi masalah sebagai

berikut:

1. Kurangnya motivasi siswa dalam membentuk pemahaman konsep yang

benar.

2. Hasil belajar Biologi siswa SMAN 8 Tangerang Selatan pada konsep Sel

masih rendah.

3. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru bidang Biologi SMAN 8

Tangerang Selatan, daya serap siswa dan daya retensi siswa menjadi

penyebab rendahnya hasil belajar pada konsep Sel.

4. Konsep Sel merupakan konsep yang abstrak, sehingga membutuhkan proses

belajar dengan strategi yang tepat untuk mengkonkritkan konsep tersebut.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dibatasi pada aspek

identifikasi miskonsepsi siswa kelas XI SMAN 8 Kota Tangerang Selatan

19

(21)

menggunakan metode CRI (Certainty of Response Index) dan wawancara

diagnosis pada konsep Sel.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah “Berapa besar persentase siswa yang mengalami

miskonsepsi pada setiap subkonsep sel dan apa penyebab miskonsepsi pada siswa?”, dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Miskonsepsi apa saja yang dialami siswa pada konsep Sel?

2. Berapa besar persentase siswa yang mengalami miskonsepsi pada setiap

subkonsep Sel?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang

terjadi pada siswa di SMAN 8 Tangerang Selatan kelas XI Semester Ganjil Tahun

Ajaran 2013/2014 pada Konsep Sel.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Bagi peneliti, menjadi pengalaman dan masukan dalam mengindentifikasi

miskonsepsi siswa menggunakan metode CRI (Certainty of Response Index)

dan wawancara diagnosis.

2. Bagi guru, menjadi informasi yang dapat digunakan untuk bahan

pertimbangan dalam memilih, merancang serta memperkaya strategi

pembelajaran yang tepat agar miskonsepsi pada siswa tidak terulang kembali.

3. Bagi pembaca, diharapkan dapat menjadi informasi, referensi untuk

penelitian selanjutnya atau sebagai metode yang praktis untuk pemecahan

(22)

7

A. Kajian Teoritis

1. Konsep

a. Definisi Konsep

Konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang memiliki

ciri-ciri yang identik atau sama.1 Berikut ini merupakan definisi konsep menurut

beberapa ahli:

1) Rosser

Konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek,

kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan, yang mempunyai

kemiripan.2

2) Woodruft

Konsep merupakan suatu ide atau gagasan yang relatif sempurna dan bermakna

mengenai suatu obyek. Konsep juga merupakan produk seseorang dalam

membuat pengertian terhadap obyek-obyek melalui pengalaman dan bahasanya

sendiri.3

3) Gagne

Konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang memiliki ciri

yang sama.4

4) Bruner

Konsep adalah pendapat yang meningkatkan pemikiran seseorang dalam

beberapa cara sehingga membantu mengurangi kompleksitas dunia ketika

1

Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar EdisiII, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), Cet. III, h. 31.

2

Kustiyah, Miskonsepsi Difusi dan Osmosis pada Siswa MAN Model, Jurnal Ilmiah Guru Kanderang Tingang, Vol. 1, 2007, h. 25, (http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act =tampil&id=38918&idc=32)

3 Ibid.

4

(23)

mengklasifikasikan objek agar lebih mudah untuk dipahami.5

5) Robert E. Slavin

Konsep adalah gagasan abstrak yang digeneralisasi dari contoh-contoh

spesifik. Misalnya bola dan kursi berwarna merah, ini berarti mengilustrasikan konsep sederhana “merah”.6

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep adalah

gagasan atau abstraksi mengenai suatu objek, kejadian, atau hubungan yang

digeneralisasikan sehingga mudah dipahami dan memiliki makna.

b. Perolehan Konsep

Ausubel dalam Dahar menyatakan bahwa perolehan konsep dilakukan dengan

dua cara yaitu dengan formasi konsep (concept formation) yaitu proses induktif

dan asimilasi konsep (concept assimilation) yaitu proses deduktif.7 Formasi

konsep menurut Gagne dapat disamakan dengan belajar konsep konkret seperti

pada anak-anak sebelum memasuki dunia sekolah.8 Pembentukan atau formasi

konsep ini merupakan proses induktif yaitu pembentukan konsep dari hasil

penemuan yang melibatkan proses-proses mental sehingga menghasilkan

generalisasi-generalisasi. Sedangkan asimilasi konsep adalah cara perolehan

konsep selama dan sesudah konsep, dimana siswa memperoleh penyajian

atribut-atribut kriteria dari konsep untuk dihubungkan dengan gagasan relevan yang telah

ada dalam struktur kognitifnya.9

Berbeda dengan pendapat Ausubel, Piaget menyatakan bahwa perolehan

konsep melalui cara asimilasi konsep dan akomodasi konsep.10 Asimilasi disini

adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep,

5

Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang Jilid 1, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 327.

6

Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik, (Jakarta: PT. Indeks, 2011), Cet. I, h. 300-301.

7

Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 64-65.

8

Ibid., h. 64.

9

Zulfiani, dkk, Strategi Pembelajaran Sains, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), Cet. I, h. 28.

(24)

ataupun pengalaman baru ke suatu pola yang sudah ada dalam pikirannya.11

Sedangkan akomodasi adalah ketika seorang siswa mendapatkan pengalaman baru

sedangkan siswa tidak dapat mengasimilasikan pengalaman tersebut kedalam pola

pemikirannya yang sudah ada. Maka dari pengalaman baru itulah seorang siswa

akan mengadakan akomodasi dengan cara membentuk pola baru yang cocok

dengan pengalaman yang baru saja diperolehnya untuk kemudian memodifikasi

pola yang sudah ada atau pola yang lama sehingga membentuk pola yang selaras

dengan pola yang sudah ada sebelumnya.12

c. Pembagian Konsep

Djamarah membedakan konsep menjadi dua yaitu:13

1) Konsep konkret adalah pengertian yang menunjuk pada objek-objek dalam

lingkungan fisik. Konsep ini mewakili benda tertentu, seperti meja dan kursi.

2) Konsep yang didefinisikan adalah konsep yang mewakili realitas hidup, tetapi

tidak langsung menunjuk pada realitas dalam lingkungan hidup fisik, karena

realitas dalam lingkungan hidup fisik, karena realitas itu tidak berbadan. Hanya

dirasakan adanya melalui proses mental. Misalnya saudara sepupu, saudara

kandung, paman, bibi, dan belajar. Untuk memberikan pengertian pada semua

kata itu diperlukan konsep yang didefinisikan dengan menggunakan lambang

bahasa.14

Selama menuntut ilmu, siswa dituntut untuk menguasai konsep tertentu.

Sebab dengan menguasai konsep, maka akan diperoleh pengertian atas suatu

materi yang dipelajari. Seseorang yang tidak menguasai konsep tertentu akan

mengalami kesulitan memahami suatu kalimat yang dibaca.

11

Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 31.

12

Ibid., h. 32.

13

Djamarah, op. cit., h. 31.

(25)

d. Pembelajaran dan Pengajaran Konsep

Konsep pada umumnya dipelajari dengan dua cara yaitu dengan cara

pengamatan dan cara definisi sebagai berikut:

1) Cara pengamatan15

Umumnya konsep dengan cara ini di pelajari secara non formal. Misalnya, anak mempempelajari konsep “mobil” dengan mendengarkan kendaraan tertentu yang disebut “mobil”. Pada awalnya, anak itu mungkin akan menyertakan sepeda motor ke dalam konsep “mobil” tetapi, setelah waktu berjalan, konsep itu diperbaiki hingga anak tersebut dapat dengan jelas membedakan “mobil” dari “bukan mobil”.

2) Cara definisi16

Suatu konsep yang hanya dapat diartikan dengan tepat melalui cara memberi

definisi, misalnya untuk menjadi tante, seseorang harus perempuan yang saudara

laki-laki atau saudara perempuannya (atau ipar laki-laki atau perempuan)

mempunyai anak bukan dengan mengamati wanita yang dipanggil dengan sebutan

tante. Berdasarkan definisi tersebut, contoh dan bukan contoh “tante” dapat

dibedakan dengan cepat.

Tenny Son dan Park mengusulkan guru mengikuti tiga aturan ketika

menyajikan contoh konsep:17

1) Urutkan contoh-contoh dari yang mudah hingga yang sulit,

2) Pilih contoh yang berbeda dari yang satu dengan yang lain,

3) Bandingkan dan bedakan contoh dan bukan contoh.

e. Tingkat Pencapaian Konsep

Klausmeier menghipotesiskan empat tingkat pencapaian konsep yang

urutannya invariant.18 Empat tingkat pencapaian konsep menurut Klausmeier

15

Slavin, op. cit., h. 301.

16 Ibid.

17

Ibid., h. 302.

18

(26)

adalah tingkat konkret, tingkat identitas, tingkat klasifikasi, dan tingkat formal.

Berikut merupakan uraian dari keempat tingkat pencapaian konsep:19

1) Tingkat Konkret

Seseorang dapat dikatakan telah mencapai konsep tingkat konkret apabila

orang tersebut mengenal suatu benda yang telah dihadapinya. Untuk mencapai

tingkat ini, siswa harus dapat memperlihatkan suatu benda dan dapat membedakan

berbagai macam benda dari stimulus-stimulus yang ada di lingkungannya.

2) Tingkat Identitas

Seseorang dapat dikatakan telah mencapai konsep tingkat konkret apabila

orang tersebut mengenal suatu objek: a) sesudah selang waktu; b) bila orang itu

memiliki orientasi ruang dari objek tersebut; c) bila orang itu dapat mengenal

benda dengan indra yang berbeda, misalnya ketika seseorang dapat mengenali

bola melalui menyentuh bukan dengan melihatnya.

3) Tingkat Klasifikasi

Seseorang dapat dikatakan telah mencapai konsep tingkat konkret apabila

orang tersebut dapat mengenal persamaan dari dua contoh yang berbeda dari kelas

yang sama. Artinya, seorang siswa dapat mengklasifikasikan mana yang

merupakan contoh dan mana yang non-contoh dari suatu konsep. Dalam

pencapaian tingkat klasifikasi ini sangat diperlukan operasi mental tambahan,

yaitu dengan mengadakan generalisasi bahwa dua atau lebih contoh sampai

batas-batas tertentu itu ekuivalen.

4) Tingkat Formal

Untuk pencapaian konsep pada tingkat ini siswa sudah harus dapat

menentukan atribut-atribut kriteria yang membatasi konsep. Dapat dikatakan

seorang siswa telah mencapai konsep tersebut jika siswa dapat memberikan nama

konsep itu, mendefinisikan konsep itu ke dalam atribut-atributnya kriterianya,

mendiskriminasi, dan memberi nama atribut-atribut yang membatasi,

mengevaluasi, serta memberikan contoh dan noncontoh konsep tersebut secara

nonverbal.

19

(27)

2. Miskonsepsi

a. Definisi Miskonsepsi

Berg mengatakan bahwa setiap individu memiliki interpretasi berbeda

terhadap sebuah konsep. Interpretasi itu merupakan sebuah konsepsi, dan konsepsi

tersebut dapat sesuai dengan pendapat para ahli sains, namun dapat juga

bertentangan. Jika konsepsi siswa tersebut melatarbelakangi siswa dalam

memahami suatu konsep, maka konsep siswa tersebut disebut miskonsepsi20.

Miskonsepsi (salah konsep) adalah konsep yang tidak sesuai dengan pengertian

ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para pakar dalam bidang itu.21 Osborne memberi beberapa nama, yaitu ada yang menyebutnya “children’s science”, “misconception”, “alternative framework”, “alternative conception”, atau “children’s idea”, namun istilah miskonsepsi seringkali lebih banyak mewakili semua istilah tersebut.22 Dalam pengertian lain miskonsepsi adalah kepercayaan

yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diterima umum dan memang sudah

terbukti sahih tentang sesuatu.23

Berikut merupakan definisi miskonsepsi menurut beberapa tokoh:

1) Saleem Hasan

Miskonsepsi sebagai struktur kognitif (pemahaman) yang berbeda dari

pemahaman yang telah ada dan diterima di lapangan, dan struktur kognitif ini

dapat mengganggu penerimaan ilmu pengetahuan yang baru.24

2) Kustiyah

Miskonsepsi adalah kesalahan dalam memahami suatu konsep yang

ditunjukkan dengan kesalahan dalam menjelaskan dalam bahasanya sendiri.25

20Ed van den Berg, “Alternative Conceptions in Physics and Remediation Version 4.3”, Course Material, Philippines, 2004, h. 12.

21

Paul Suparno, Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: PT. Grasindo, 2005), Cet. I, h. 4.

22

Dahar, op. cit., h. 153.

23

Ormrod, op. cit., h. 338.

24Saleem Hasan, et.al, “Misconceptions and the Certainty of Response Index (CRI)” ,

Journal of Phys. Educ, Vol. 5, 1999, h. 294.

25

(28)

3) Feldsine

Miskonsepsi adalah suatu kesalahan dan hubungan yang tidak benar antara

konsep-konsep.26

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi

adalah suatu gagasan dari sebuah pengertian yang tidak sesuai dengan pengertian

ilmiah atau interpretasi hubungan konsep-konsep tidak dapat diterima.

b. Miskonsepsi dan Konsep Alternatif

Kebanyakan penelitian modern lebih suka menggunakan istilah konsep

alternatif daripada miskonsepsi. Alasan mereka adalah:27

1) Konsep alternatif lebih menunjuk pada penjelasan berdasarkan pengalaman

yang dikonstruksikan oleh siswa sendiri.

2) Memberikan penghargaan intelektual kepada siswa yang mempunyai gagasan

tersebut.

3) Kerap kali konsep alternatif secara kontekstual masuk akal dan juga berguna

untuk menjelaskan beberapa persoalan yang sedang dihadapi siswa.

Namun istilah konsep alternatif lebih sesuai digunakan bila kita menggunakan

dasar filsafat konstruktivisme dalam proses pembelajaran. Menurut filsafat

tersebut, pengetahuan itu merupakan bentukan siswa yang menggelutinya. Siswa

sendirilah yang membentuk pengetahuan dalam otak mereka melalui segala

keaktifan pikiran mereka. Oleh karena siswa sendiri yang membentuk

pengetahuan mereka, maka kemungkinan mereka dapat membentuk

pengetahuannya yang berbeda dengan pengetahuan para ahli, maka munculah

konsep alternatif.28

c. Miskonsepsi, Status, dan Sifat

Berdasarkan hasil penelitian Driver yang dilakukan pada siswa-siswa tingkat

menengah untuk menemukan miskonsepsi dalam topik-topik: “Light, electric and

simple circuits, heat and temperature, force and motion, the gaseous state, the

26

Suparno, op. cit., h. 4-5.

27

Ibid., h. 5.

28

(29)

particulate nature of matter in the gaseous phase, beyond appearances: the

conservation of matter under physical and chemical transformations”, beliau

mengemukakan hal-hal berikut:29

1) Miskonsepsi bersifat pribadi. Setiap anak memberikan berbagai interpretasi

menurut caranya sendiri.

2) Miskonsepsi bersifat stabil. Sering kali gagasan anak yang berbeda dengan

gagasan ilmiah tetap dipertahankan walaupun guru sudah memberikan suatu

kenyataan yang berlawan.

3) Bila menyangkut koherensi, anak tidak merasa butuh pandangan yang

koheren sebab interpretasi dan prediksi tentang peristiwa-peristiwa alam

praktis kelihatannya cukup memuaskan.

d. Terbentuknya Miskonsepsi

Driver mengemukakan bagaimana terbentuknya miskonsepsi dalam

pembelajaran, yaitu sebagai berikut: 30

1) Anak cenderung mendasarkan berpikirnya pada hal-hal yang tampak dalam

suatu situasi masalah.

2) Anak hanya memperhatikan aspek-aspek tertentu dalam suatu situasi. Hal ini

disebabkan karena anak lebih cenderung menginterpretasikan suatu fenomena

dari segi sifat absolut benda-benda, bukan dari segi interaksi antara

unsur-unsur suatu sistem.

3) Anak lebih cenderung memperhatikan perubahan daripada situasi diam.

4) Bila anak-anak menerangkan perubahan, cara berpikir mereka cenderung

mengikuti urutan kausal linier.

5) Gagasan yang dimiliki anak mempunyai berbagai konotasi; gagasan anak

lebih inklusif dan global.

6) Anak kerap kali menggunakan gagasan yang berbeda untuk menginterpretasi

situasi-situasi yang oleh para ilmuwan digunakan cara yang sama.

29

Dahar, op. cit., h. 154.

(30)

e. Sebab-sebab Terjadinya Miskonsepsi

Miskonsepsi dapat berasal dari beberapa sumber misalnya dari guru yang

menyampaikan suatu konsep yang keliru, dari siswa sendiri, serta dapat juga dari

metode mengajar yang kurang tepat. Menurut Winny dan Taufik, sebab-sebab

terjadinya miskonsepsi yaitu kondisi siswa, guru, metode mengajar, buku dan

konteks. Secara lebih jelas penyebab dari adanya miskonsepsi adalah sebagai

berikut:31

1) Kondisi siswa

Miskonsepsi yang berasal dari siswa sendiri dapat terjadi karena asosiasi

siswa terhadap istilah sehari-hari sehingga menyebabkan miskonsepsi.

2) Guru

Jika guru tidak memahami suatu konsep dengan baik yang akan diberikan

kepada muridnya, ketidakmampuan dan ketidakberhasilan guru dalam

menampilkan aspek-aspek esensi dari konsep yang bersangkutan, serta

ketidakmampuan menunjukkan hubungan konsep satu dengan konsep lainnya

pada situasi dan kondisi yang tepat pun dapat menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi terjadinya miskonsepsi pada siswa.

3) Metode mengajar

Penggunaan metode belajar yang kurang tepat, pengungkapan aplikasi yang

salah serta penggunaan alat peraga yang tidak secara tepat mewakili konsep

yang digambarkan dapat pula menyebabkan miskonsepsi pada pikiran siswa.

4) Buku

Penggunaan bahasa yang terlalu sulit dan kompleks terkadang membuat anak

tidak dapat mencerna dengan baik apa yang tertulis di dalam buku, akibatnya

siswa menyalahartikan maksud dari isi buku tersebut.

5) Konteks

Dalam hal ini penyebab khusus dari miskonsepsi yaitu penggunaan bahasa

dalam kehidupan sehari-hari, teman, serta keyakinan dan ajaran agama.

31Winny Liliawati dan Taufik R. Ramalis, “Identifikasi Miskonsepsi Materi IPBA di SMA

(31)

Adapun contohnya adalah diskusi kelompok yang tidak efektif, misalnya

kelompok didominasi oleh beberapa orang dan di antara mereka ada yang

mengalami miskonsepsi, maka dia akan mempengaruhi teman-temannya yang

lain.

Tabel 2.1 Penyebab Miskonsepsi Siswa32

Sebab Utama Sebab Khusus

Siswa 1. Prakonsepsi

2. Pemikiran asosiatif 3. Pemikiran humanistik

4. Reasoning yang tidak lengkap/salah 5. Intuisi yang salah

6. Tahap perkembangan kognitif siswa 7. Kemampuan siswa

8. Minat belajar siswa

Guru/pengajar 1. Tidak menguasai bahan, tidak kompeten 2. Bukan lulusan dari bidang ilmunya

3. Tidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan atau ide

4. Relasi guru-siswa tidak baik Buku teks 1. Penjelasan keliru

2. Salah tulis, terutama dalam rumus

3. Tingkat kesulitan penulisan buku terlalu tinggi bagi siswa

4. Siswa tidak tahu membaca buku teks 5. Buku fiksi sains terkadang konsepnya

menyimpang demi menarik pembaca 6. Kartun sering memuat miskonsepsi

Konteks 1. Pengalaman siswa

2. Bahasa sehari-hari berbeda 3. Teman diskusi yang salah 4. Keyakinan dan agama

5. Penjelasan orang tua atau orang lain yanv keliru

6. Konteks hidup siswa (TV, radio, film yang keliru)

7. Perasaan senang/tidak senang bebas atau tertekan.

Cara mengajar 1. Hanya berisi ceramah dan menulis 2. Langsung ke dalam bentuk matematika 3. Tidak mengungkapkan miskonsepsi siswa 4. Tidak mengoreksi pekerjaan rumah yang salah

32

(32)

Sebab Utama Sebab Khusus

5. Model analogi 6. Model praktikum 7. Model diskusi

8. Model demonstrasi yang sempit 9. Non-multiple intellegences

f. Sumber Miskonsepsi

Menurut Ormrod, kemungkinan miskonsepsi siswa berasal dari beragam

sumber, yaitu:33

1) Miskonsepsi muncul dari niat baik siswa itu sendiri untuk memahami apa

yang mereka lihat.

2) Siswa menarik kesimpulan yang salah, karena menyimpulkan hanya dari apa

yang ia lihat tanpa mencari tahu konsep yang sebenarnya.

3) Masyarakat dan budaya dapat memperkuat miskonsepsi. Terkadang

ungkapan-ungkapan yang umum dalam bahasa pun salah mempresentasikan

makna yang sesungguhnya.

4) Dongeng dan acara kartun yang ditampilkan di televisi bisa salah

mempresentasikan hukum Fisika.

5) Gagasan yang keliru dari orang lain, guru, dan pengarang buku pelajaran.

g. Cara Mengetahui Pengetahuan Awal dan Miskonsepsi Siswa

Berikut ini merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengetahui

miskonsepsi:

1) Wawancara Diagnosis

Wawancara dapat membantu kita dalam mengenal secara mendalam letak

miskonsepsi siswa dan mengapa siswa sampai pada pemahaman seperti itu.

Selanjutnya guru dapat mengarahkan siswa sehingga siswa menyadari

kesalahannya. Bila siswa sadar akan miskonsepsinya, maka selanjutnya

miskonsepsi tersebut akan lebih mudah dirubah34

33

Ormrod, op. cit., h. 339.

34

(33)

2) Penyajian Peta Konsep

Konsepsi siswa juga dapat diperkirakan dengan peta konsep yang bentuknya

tentu saja berbeda dengan tingkat pemahaman masing-masing siswa terhadap

suatu konsep. Oleh karena itu penelusuran pengetahuan awal (prior knowledge)

siswa dapat dilakukan dengan bantuan peta konsep. 35

Peta konsep yang mengungkapkan hubungan berarti antar konsep dan

menekankan gagasan-gagasan pokok, yang disusun secara hierarkis, dengan jelas

dapat mengungkapkan miskonsepsi, siswa yang digambarkan dalam peta

konsep.36

3) Metode CRI

Metode ini dapat menggambarkan keyakinan responden terhadap kebenaran

alternatif jawaban yang direspon. Dengan metode CRI (Certainty of Response

Index) responden diminta untuk merespon setiap pilihan pada masing-masing item

tes pada tempat yang telah disediakan, sehingga siswa yang mengalami

miskonsepsi dan tidak paham konsep dapat dibedakan.

4) Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka

Pada tes ini siswa harus menjawab dan menulis mengapa ia mempunyai

jawaban seperti itu. Jawaban-jawaban yang salah dalam pilihan ganda ini

selanjutnya akan dijadikan bahan tes selanjutnya. Berdasarkan hasil jawaban yang

tidak benar dalam pilihan ganda tersebut, peneliti dapat mewawancarai siswa

untuk meneliti bagaimana cara siswa berpikir dan mengapa mereka memiliki pola

pikir seperti itu. 37

5) Diskusi dalam Kelas

Dalam kelas siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang

konsep yang sudah diajarkan atau yang hendak diajarkan.38 Dari kegiatan diskusi

tersebut, peneliti atau guru dapat mendeteksi gagasan atau pola pikir siswa yang

35Muhammad Taufiq, “Remediasi Miskonsepsi Mahasiswa Calon Guru

Fisika pada Konsep Gaya Melalui Penerapan Model Siklus Belajar (Learning Cycle) 5E”, Jurnal Pendidikan IPA Indonesia JPII1, Vol. 2, 2012, h. 199, (http://jornal.unnes.ac.id/index.php/jpii).

36

Suparno, op. cit., h. 121.

37

Ibid, h. 123.

38

(34)

tepat atau tidak. Cara mendeteksi miskonsepsi siswa dengan metode diskusi ini

sangat cocok untuk diterapkan pada kelas yang besar. 39

6) Praktikum dengan Tanya Jawab

Kegiatan praktikum yang disertai dengan tanya jawab antara guru dengan

siswa dapat digunakan sebagai alat untuk mendeteksi terjadinya miskonsepsi pada

siswa atau tidak. Selama praktikum disarankan agar guru selalu bertanya

mengenai konsep pada kegiatan praktikum dan memperhatikan bagaimana siswa

menjelaskan persoalan dalam praktikum tersebut. 40

7) Tes Esai Tertulis

Dari tes esai tertulis maka dapat diketahui miskonsepsi yang dibawa siswa

dalam bidang apa. Setelah ditemukan miskonsepsinya, dapatlah beberapa siswa di

wawancarai untuk lebih mendalami mengapa mereka memiliki gagasan seperti

itu. Berdasarkan wawancara tersebut maka akan terlihat darimana miskonsepsi itu

dibawa.41

3. Certainty of Response Index (CRI)

Metode Certainty of Response Index ini merupakan metode yang

diperkenalkan oleh Saleem Hasan, Diola Bagayoko, dan Ella L. Kelley untuk

mengukur suatu miskonsepsi yang tengah terjadi. Dengan metode CRI, responden

diminta untuk memberikan tingkat kepastian dari kemampuan mereka sendiri

dengan mengasosiasikan tingkat keyakinan tersebut dengan pengetahuan, konsep,

atau hukum. 42

Metode CRI ini meminta responden untuk menjawab pertanyaan disertai

dengan pemberian derajat atau skala (tingkat) keyakinan responden dalam

menjawab pertanyaan tersebut. Sehingga metode ini dapat menggambarkan

keyakinan siswa terhadap kebenaran dari jawaban alternatif yang direspon. Setiap

pilihan respon memiliki nilai skala, yaitu:43

39

Ibid, h. 127-128.

40

Ibid, h. 128.

41

Suparno, Ibid, h. 126.

42

Hasan, et.al., loc. cit. 43

(35)

Tabel 2.2 Skala Respon Certainty of Response Index

CRI Kriteria Kategori

B S

0 (Totally guessed answer): jika menjawab soal 100%

ditebak TP TP

1 (Almost guess) jika menjawab soal presentase unsur

tebakan antara 75%-99% TP TP

2 (Not sure) jika menjawab soal presentase unsur tebakan

antara 50%-74% TP TP

3 (Sure) antara 25%-49%jika menjawab soal presentase unsur tebakan P M

4 (Almost certain) jika menjawab soal presentase unsur

tebakan antara 1%-24% P M

5 (Certain) jika menjawab soal tidak ada unsur tebakan

sama sekali (0%) P M

Berdasarkan tabel tersebut, skala CRI ada 6 (0-5) dimana 0 berarti tidak

paham konsep dan 5 adalah yakin benar akan konsep yang responden jawab. Jika

derajat keyakinan rendah (nilai CRI 0-2) menyatakan bahwa responden

menjawabnya dengan cara menebak, terlepas dari jawabannya benar atau salah.

Hal ini menunjukkan bahwa responden tidak paham konsep. Jika nilai CRI tinggi,

dan jawaban benar maka menunjukkan bahwa responden paham konsep

(jawabannya beralasan) Jika nilai CRI tinggi, jawaban salah maka menunjukkan

miskonsepsi. Jadi, seorang siswa mengalami miskonsepsi atau tidak paham

konsep dapat dibedakan dengan cara sederhana yaitu dengan membandingkan

benar atau tidaknya jawaban suatu soal dengan tinggi rendahnya indeks kepastian

jawaban (CRI) yang diberikan untuk soal tersebut. Pada halaman selanjutnya

merupakan tabel ketentuan untuk membedakan antara siswa yang tahu konsep,

miskonsepsi, dan tidak paham konsep untuk responden secara individu dan

kelompok.

(36)

Tabel 2.3 Ketentuan CRI untuk Membedakan Tahu Konsep, Miskonsepsi,

dan Tidak Paham Konsep44

Kriteria

Jawaban CRI Rendah (<2,5) CRI Tinggi (>2,5)

Jawaban benar

Jawaban benar tapi CRI rendah berarti tidak paham konsep (lucky guess)

Jawaban benar dan CRI tinggi berarti menguasai konsep dengan baik Jawaban

salah

Jawaban salah dan CRI rendah berarti tidak paham konsep

Jawaban salah tapi CRI tinggi berarti terjadi miskonsepsi

Dari hasil tabulasi data setiap siswa dengan berpedoman kombinasi jawaban

yang benar dan salah serta berdasarkan tinggi rendahnya nilai CRI, kemudian data

diagnosis dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu siswa yang paham akan

materi, miskonsepsi, dan sama sekali tidak paham.

Adapun fungsi metode CRI berdasarkan penelitian Saleem et.al., yaitu:45

1. Alat menilai kepantasan/sesuai tidaknya penekanan suatu konsep di beberapa

sesi.

2. Alat diagnostik yang memungkinkan guru memodifikasi cara pengajarannya

3. Alat penilai suatukemajuan/sejauh mana suatu pengajaran efektif.

4. Alat membandingkan keefektifan suatu metode pembelajaran termasuk

teknologi, strategi. pendekatan yang diintegrasikan di dalamnya. Apakah

mampu meningkatkan pemahaman dan menambah kecakapan siswa dalam

memecahkan masalah.

4. Wawancara Diagnosis

Wawancara disebut juga interview atau kuesioner lisan yang dilakukan

pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara

(interviewee).46 Ketika digunakan untuk keperluan diagnosa maka wawancara

(37)

tersebut disebut dengan wawancara klinis (clinical interview) atau wawancara

diagnostik (diagnostic interview).47

Sebagai alat diagnosa, wawancara ini juga memiliki tujuan untuk membantu

siswa dalam menyadari kesalahannya, dan sangat membantu dalam rangka

mengurangi miskonsepsi siswa, hal ini dapat disebut juga dengan wawancara

klinis.48 Pertanyaan wawancara dapat tidak terstruktur (bebas) dan terstruktur.

Dalam wawancara bebas, guru atau peneliti bertanya kepada siswa dan siswa

dapat menjawab secara bebas. Urutan atau apa yang hendak dipertanyakan dalam

wawancara itu tidak perlu dipersiapkan. Wawancara terstruktur sebaliknya, yaitu

urutan pertanyaan wawancaranya pun secara garis besar sudah disusun dan

direncanakan, sehingga memudahkan interviewer dalam praktiknya.49 Sedangkan

bentuk pertanyaan wawancara campuran merupakan pertanyaan yang menuntut

jawaban campuran.50 Menurut Arikunto, dilihat dari pelaksanaanya wawancara

terdiri dari tiga macam:51

a) Wawancara bebas (inguided interview) yaitu interviewer bebas menanyakan

pertanyaan apa saja namun juga mengingat akan data apa saja yang harus

dikumpulkan. Dalam pelaksanaannya pewawancara tidak membawa pedoman

wawancara sehingga interviewee tidak menyadari sepenuhnya bahwa ia

sedang diwawancarai.

b) Wawancara terpimpin (guided interview) yaitu dalam melakukan wawancara

interviewer membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci seperti

bentuk pertanyaan wawancara terstruktur.

c) Wawancara bebas terpimpin yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan

wawancara terpimpin. Dalam pelaksanaannya, interviewer membawa

pedoman yang hanya merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan

ditanyakan.

47Kary Dayle Jones, “The Unstructured Clinical Interview”,

Journal of Counseling & Development, Vol. 88, 2010, h. 220.

48

Ibid., h. 107.

49

Paul Suparno, op. cit., h. 126-127.

50

Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran Prinsip Teknik Prosedur, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. III, h. 158.

51

(38)

B. Konsep Sel

1. SK dan KD Materi Sel

Bidang Biologi sebagai salah satu bidang IPA di sekolah menengah,

diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri

sendiri dan alam sekitar.52 Berkaitan dengan konsep sel yang dipelajari untuk

tingkat SMA/MAN, konsep sel memiliki standar kompetensi (SK) dan

Kompetensi Dasar (KD) sebagai berikut:53

Standar Kompetensi : 1. Memahami struktur dan fungsi sel sebagai unit

terkecil kehidupan.

Kompetensi Dasar : 1.1Mendeskripsikan komponen kimiawi sel, struktur

dan fungi sel sebagai uni terkecil kehidupan.

1.2Mengidentifikasi organela sel tumbuhan dan hewan

1.3Membandingkan mekanisme transpor pada

membran (difusi, osmosis, transport aktif,

endositosis, eksositosis).

2. Kajian Materi Sel

Menurut Campbell, sel merupakan materi dasar bagi ilmu Biologi.54 Oleh

sebab itu sel merupakan konsep yang mendasari pemahaman siswa untuk

memahami konsep-konsep Biologi selanjutnya. Menurut Campbell, sel

merupakan kumpulan materi sederhana yang dapat hidup.55 Dalam bukunya,

Biologi, Edisi Kelima-Jilid I, Campbell, et.al mengkaji materi sel menjadi lebih

rinci.

52

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA/MA, (Jakarta: Depdiknas, 2006), h. 167, (http://matematika.upi.edu/wp-content/uploads/2013/02/Buku-Standar-Isi-SMA.pdf ).

53

Ibid., h. 171.

54

Campbell, Reece dan Mitchell, Biologi, Terj. dari Biology oleh Amalia, (Jakarta: Erlangga, 2002), Cet. V, h. 112.

(39)

Pratiwi dalam buku Biologi untuk SMA kelas XI dengan menyesuaikan

Standar Isi 2006, menjelaskan bahwa sel merupakan penyusun tubuh makhluk

hidup atau sel sebagai unit terkecil dari makhluk hidup.56

Adapun materi sel pada tingkat SMA/MA terdiri dari beberapa sub konsep

yaitu komponen kimiawi sel, struktur dan fungsi sel yang terdiri dari struktur dari

sel tumbuhan dan sel hewan dan bagian sel dan organel sel, serta transpor melalui

membran sel.57

C. Hasil Penelitian yang Relevan

Saleem Hasan, Diola Bagayoko, Ella Kelley dalam penelitiannya yang berjudul “Misconceptions and Certainty of Response Index” bermaksud untuk mengembangkan metode yang bermanfaat untuk membedakan kurangnya

pemahaman konsep dari miskonsepi. Hasil penelitian yang mereka lakukan

membuktikan bahwa metode CRI efektif untuk dijadikan alat diagnostik

miskonsepsi, sebagai alat penilaian untuk mengukur suatu pencapaian ketika

metode tersebut diberikan kepada siswa ketika pretes maupun postes, dan yang

terakhir metode CRI dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk

membandingkan hasil belajar mana yang lebih efektif jika menggunakan metode

pengajaran, penggunaan teknologi, dan pendekatan yang berbeda.58

Kustiyah dalam penelitiannya “Miskonsepsi dan Osmosis pada Siswa MAN Model” berupaya untuk mengungkap miskonsepsi difusi dan osmosis pada siswa. Hasil daripada penelitian yang dilakukannya membuktikan bahwa 1) semakin

kompleks suatu konsep maka semakin sulit dipahami dan kecenderungan makin

mudah menimbulkan miskonsepsi bagi siswa, 2) kesalahan yang dilakukan siswa

terutama karena kemampuan abstraksi yang masih rendah dan ketidakmampuan

menjelaskan istilah-istilah yang berasal selain dari bahasa Indonesia.59

Dalam penelitiannya yang berjudul “Misconceptions in Biology Education

and Conceptual Change Strategies”, Mehmet Bahar mencari penyebab bagaimana

56

Pratiwi, dkk, Biologi untuk SMA Kelas XI, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 8.

57

Aryulina Diah, dkk. Biologi 2 SMA dan MA untuk Kelas XI. Jakarta: Erlangga, 2004, h. 3-21.

58

Hasan, et.al, op. cit., 299.

59

(40)

miskonsepsi dapat terjadi pada siswa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

miskonsepsi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja dan proses

pembelajaran siswa, adapun solusi yang ditawarkan Mehmet Bahar adalah dengan

cara menggunakan teknik perubahan konseptual.60

Dang Sabli menyimpulkan dalam skripsinya “Analisis Miskonsepsi Siswa

Madrasah Aliyah (MA) Kelas X pada Subkonsep Pencemaran Lingkungan”.

Berdasarkan penelitiannya, metode CRI efektif dalam mengidentifikasi siswa

yang paham konsep, miskonsepsi dan tidak paham konsep sehingga dapat

menghasilkan data kecenderungan siswa mengalami miskonsepsi sebesar 30,2 %,

paham konsep sebesar 41,4 %, dan siswa tidak paham konsep sebesar 28,5 %.61

Ceren Tekkaya, dalam penelitiannya “Misconception as Barrier to

Understanding Biology”, bermaksud untuk mendukung agar proses pembelajaran

menjadi lebih aktif dan bermakna dengan melakukan studi untuk mencari

penyebab miskonsepsi yang terjadi pada siswa agar miskonsepsi tersebut dapat

diperbaiki.62

Dalam penelitiannya yang berjudul “Remediasi Miskonsepsi Mahasiswa

Calon Guru Fisika pada Konsep Gaya Melalui Penerapan Model Siklus Belajar

(Learning Cycle) 5 E”, Taufiq menyatakan bahwa penggunaan metode Certainty

of Respon Index (CRI) sangat membantu dirinya untuk memetakan miskonsepsi

yang dialami mahasiswa.63

Nurayu Fitriana menyimpulkan dalam skripsinya yang berjudul “Analisis

Miskonsepsi Siswa SMA Kelas XI pada Konsep Stoikiometri”. Penelitiannya

menunjukan bahwa metode CRI efektif untuk menganalisis miskonsepsi yang

terjadi pada siswa. Berdasarkan kesimpulannya, Fitriana menyimpulkan bahwa

faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi siswa adalah kurang

60Mehmet Bahar, “Misconceptions in Biology Education and conceptual Change Strategies”, Kuram ve Uygulamada Egitim Bilimleri/Educational Sciences: Theory and Practice, Vol. 1, 2003, h. 59, (http://www.academia.edu/1394447/Misconceptions_in_Biology_Education_and_Concept ual_Change_Strategies)

61Dang Sabli, “

Analisis Miskonsepsi Siswa Madrasah Aliyah (MA) Kelas X pada Subkonsep Pencemaran Lingkungan”, skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 2009, h.75, tidak dipublikasikan.

62Ceren Tekkaya, “Misconception as Barrier to Understanding Biology,

Hacettepe Universitesi Egitim Fakultesi Dergisi”, Vol. 23, 2002, h. 265.

63

(41)

utuhnya pemahaman siswa terhadap suatu konsep, kurang kuatnya pemahaman

siswa terhadap materi yang dipelajari sebelumnya, dan kurangnya penguatan

konsep yang diajarkan oleh guru pada proses pembelajaran, serta adanya

kemungkinan siswa menarik kesimpulan yang salah dengan mendasarkan pada

bagaimana kelihatannya sesuatu dan lain sebagainya.64

Yuyu R. Tayubi dalam penelitiannya yang berjudul “Identifikasi Miskonsepsi

Pada Konsep-Konsep Fisika Menggunakan Certainty of Response Index (CRI)”

menyatakan bahwa miskonsepsi atau kekeliruan konsepsi dipercaya dapat

menghambat pada saat proses asimilasi pengetahuan-pengetahuan baru pada

benak para siswanya, oleh sebab itu Tayubi mengadakan penelitian untuk

mengukur miskonsepsi siswa dengan menggunakan metode CRI. Hasil uji coba

penggunaan CRI dalam pengajaran Fisika tersebut menunjukkan bahwa metode

tersebut efektif digunakan untuk membedakan antara siswa yang mengalami

miskonsepsi dan yang tidak paham konsep. Selain itu penggunaannya pada proses

belajar mengajar sangat dimungkinkan karena proses pengidentifikasian dan

penganalisisan hasilnya tidak memakan waktu yang lama.65

64Nurayu Fitriana, “Analisis Miskonsepsi Siswa SMA Kelas XI pada Konsep Stoikiometri”, Skripsi pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012, h. 64, tidak dipublikasikan.

(42)

D. Kerangka Berpikir

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir

Konsep awal yang sesuai dengan konsep ilmiah

Proses pembelajaran formal

Kesalahan konsep masuk ke dalam struktur kognitif siswa

Miskonsepsi

Timbul masalah dalam proses belajar siswa sehingga menyebabkan siswa sulit menerima informasi baru

Analisis miskonsepsi Konsep awal yang tidak

sesuai dengan konsep ilmiah

Formasi konsep

CRI (Certainty of Response Index) dan wawancara diagnosis

Pra konsep yang tepat Pra konsep yang salah

(43)

28

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMAN 8 Tangerang Selatan, yang beralamat

di Jalan Cirendeu Raya No. 5 Ciputat 15419, dan dilaksanakan dari tanggal

16 September sampai tanggal 23 Oktober 2013 pada Semester Ganjil Tahun

Ajaran 2013/2014.

B. Metode Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan menggunakan metode deskriptif. Penelitian

deskriptif adalah suatu penelitian yang mendeskripsikan atau menggambarkan

fenomena-fenomena yang ada.1 Pada penelitian ini peneliti mengumpulkan

data mengenai suatu gejala yang terjadi akibat proses pembelajaran.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi merupakan wilayah generalisasi subjek yang mempunyai

karakteristik tertentu untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya.2 Populasi

target dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMAN 8 Tangerang Selatan

yang telah mempelajari konsep Sel. Sampel merupakan bagian dari jumlah

dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.3 Teknik yang

digunakan untuk mengambil sampel pada penelitian ini ialah teknik sampling

jenuh, yaitu teknik sampling yang menggunakan semua anggota populasi

sebagai sampel.4 Tujuan penggunaan teknik tersebut karena mengantisipasi

terjadinya penyusutan jumlah sampel yang disebabkan tidak lengkapnya data

siswa, sehingga data tidak dapat diolah untuk tahap penelitian selanjutnya

(wawancara diagnosis). Pada penelitian ini jumlah sampel sebanyak 120

1

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Program Paskasarjana Universitas Pendidikan Indonesia & Rosda, 2011), Cet. VII, h. 72.

2

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D)

(Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. IV, h. 117.

3

Ibid, h. 118.

4

(44)

siswa, setelah dilakukan pengolahan data tes objektif dengan CRI (Certainty

of Response Index) didapatkan 40 siswa yang memiliki jawaban tidak

lengkap, sehingga data yang digunakan hanya berjumlah 80 siswa. Hasil

pengolahan data tersebut menunjukkan bahwa terdapat penyusutan jumlah

sampel dari 120 siswa menjadi 80 siswa.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan tes dan nontes. Untuk tes berupa tes objektif sedangkan untuk

nontes menggunakan metode wawancara diagnosis.

E. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini digunakan dua instrumen untuk memperoleh data

penelitian, yaitu sebagai berikut:

1. Tes Objektif

Tes objektif yang dilengkapi dengan metode CRI (Certainty of Response

Index) digunakan untuk menganalisis siswa yang mengalami miskonsepsi,

sekaligus membedakannya dengan siswa yang tidak paham konsep.

Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes objektif berbentuk

pilihan ganda (multiple choice) dengan lima opsi jawaban untuk

masing-masing soal tes yang penyusunannya disesuaikan dengan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP). Tes pilihan ganda adalah suatu butir soal yang

alternatif jawabannya lebih dari dua.5Multiple choice terdiri atas bagian

keterangan (stem) dan bagian kemungkinan jawaban atau alternatif (options).

Kemungkinan jawaban opsi terdiri atas satu jawaban yang benar yaitu kunci

jawaban dan beberapa pengecoh (distractor)6.

5

Eveline Siregar dan Hartini Nara. Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia), Cet. I, h. 152.

6

(45)

Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Hasil Belajar pada Konsep Sel

Klasifikasi Bloom: C1 (Pengetahuan), C2 (Pemahaman), C3 (Penerapan), C4 (Analisis), C5 (Sintesis), C6 (Evaluasi).

*Valid (Uji lapangan)

** Tidak valid berdasarkan validasi ahli

Pada tabel 3.1 diketahui bahwa terdapat 38 instrumen valid berdasarkan

uji lapangan dan terdapat tiga instrumen yang tidak valid berdasarkan validasi

ahli yaitu soal nomor 6, 8, dan 26. Dengan demikian data untuk butir soal

nomor 6 pada sub konsep komponen kimiawi sel, soal nomor 8 pada sub

Gambar

Tabel 2.1 Penyebab Miskonsepsi Siswa32
Tabel 2.2 Skala Respon Certainty of Response Index
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Hasil Belajar pada Konsep Sel
+7

Referensi

Dokumen terkait

beberapa uraian tersebut maka peneliti perlu melakukan suatu penelitian yang bersifat evaluatif dalam proses belajar mengajar dengan mengidentifikasi miskonsepsi

Dalam pengambilan sampel penelitian agar diperoleh hasil data yang lebih valid mengenai tingkat pemahaman konsep siswa, baik pada siswa dengan kognitif tinggi,

Hasil data yang diperoleh kemudian di analisis menggunakan Certainty of Respond Index (CRI), dimana analisis terhadap data dibedakan kedalam tiga kategori yaitu tahu konsep, tidak

Jumlah responden yang paham konsep dan miskonsepsi sebanyak41,82% orang, untuk yang paham konsep mereka menjawab F herman &lt; F gesek dengan alasan hal

Soal nomor 1 menguji penguasaan konsep siswa tentang konsep hidrolisis garam, yaitu mengenai asal mula pembentukan garam barium klorida dan barium nitrat dari larutan asam

Hasan Khoiri dkk menemukan bahwa tingkat miskonsepsi pada buku ajar fisika terbagi dalam beberapa aspek yaitu aspek penjelasan konsep dengan persentase 20%, penulisan rumus

Jumlah responden yang paham konsep dan miskonsepsi sebanyak41,82% orang, untuk yang paham konsep mereka menjawab F herman &lt; F gesek dengan alasan hal

Hasil data yang diperoleh kemudian di analisis menggunakan Certainty of Respond Index (CRI), dimana analisis terhadap data dibedakan kedalam tiga kategori yaitu tahu konsep, tidak