• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi miskonsepsi siswa dengan menggunakan metode Certainty of Response Index (CRI) pada konsep fotosintesis dan respirasi tumbuhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi miskonsepsi siswa dengan menggunakan metode Certainty of Response Index (CRI) pada konsep fotosintesis dan respirasi tumbuhan"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

FOTOSINTESIS DAN RESPIRASI TUMBUHAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Tri Ade Mustaqim NIM 108016100031

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan. Skripsi Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap miskonsepsi siswa SMAN se-Kota Tangerang Selatan pada konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan. Metode penelitian yang digunakan adalah survey. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik proportional stratified random sampling, sehingga didapatkan sampel dari strata atas, tengah, dan bawah sebanyak 1 sekolah dengan 2 kelas. Instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa berupa Tes Pilihan Ganda Beralasan Terbuka disertai kolom CRI. Dari penelitian ditemukan bahwa persentase siswa yang mengalami miskonsepsi sebesar 37,99% dan lebih kecil dibandingkan dengan persentase siswa yang tidak tahu konsep. Miskonsepsi yang dialami siswa banyak terjadi pada penggunaan gas pada peristiwa fotosintesis dan respirasi tumbuhan.

(6)

vi

Respiration in Plants. BA Thesis, of Biology Education Study Program, Department of Science Education, Faculty of Tarbiya and Teaching Sciences, Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta.

The aims of this research was to elicit senior high school students’ misconceptions in Photosynthesis and Plant Respiration at South Tangerang. The Method used in this research was survey with proportional stratified random sampling. The test was administered to 194 students from grade XII. Open Reasoning Multiple Choice Test with Certainty Response Index (CRI) is used to identify students’ misconceptions inPhotosynthesis and Respiration in Plants. As a result of the analyses undertaken, it was found that percentage of students’ misconceptions was smaller than students who didn’t know. The percentage of students’ misconceptions is 37,99%. Students’ misconception occured on the use of gas for photosynthesis and respiration in plants.

(7)

vii

Alhamdulillahirabbil’alamiin. Segala puji bagi Allah Swt. sang raja ilmu pengetahuan yang selalu memberi titik-titik petunjuk dan pencerahan dalam setiap permasalahan sehingga penulis dapat membentuk garis yang sangat lurus dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis curahkan kepada sosok pemimpin ummat, Nabi Muhammad Saw., yang telah membawa kita semua ke suatu peradaban yang madani.

Penyusunan karya ilmiah yang berjudul Identifikasi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan dengan Menggunakan Metode Certainty Response Index (CRI) tentunya tidak akan pernah terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dra. Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Baiq Hana Susanti, M.Sc., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam.

3. Dr. Zulfiani, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Biologi dan Dosen Pembimbing Skripsi yang telah ikhlas membimbing dan memotivasi penulis dalam kondisi apa pun.

4. Dr. Yanti Herlanti, M.Pd., Dosen Pembimbing Skripsi yang telah ikhlas membimbing dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan penelitian skripsi.

5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Biologi, yang telah memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan penulis.

6. Pargiyati, Ibunda tercinta yang telah ikhlas dan sabar mempelajari dan memahami karakteristik anak-anaknya.

(8)

viii

telah memberikan izin penelitian di sekolah yang dipimpin.

10. Guru-guru Biologi di beberapa SMA se-Kota Tangerang Selatan yang telah meluangkan waktu untuk membimbing saat penulis melakukan penelitian. 11. Siswa-siswa kelas XII IPA di beberapa SMA se-Kota Tangerang Selatan

yang telah bekerja sama ikut serta dalam penelitian ini.

12. Fina Nurul Khotimah, yang telah ikhlas dan sabar memotivasi dan membantu penulis agar dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik.

13. Bapak Moh. Husni Thamrin, yang selalu memberikan pandangan positif kepada penulis mengenai karya ilmiah.

14. Mba Ani dan Dek Uci yang telah ikhlas memberikan do’a bagi penulis.

15. Teman-teman khususnya dari Jurusan Biologi, yang tanpa sadar telah memberikan motivasi yang besar bagi penulis untuk terus maju.

16. Rekan-rekan guru dan staff Madrasah Tsanawiyah Nur Asy-Syafi’iyah yang selalu memotivasi penulis untuk menyelesaikan tugas skripsi ini.

Semoga Allah Swt. membalas segala kebaikan bagi seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini dengan kebaikan dan keberkahan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya pendidikan di Indonesia. Amiin.

Wassalamualaikum wr. wb.

Jakarta, Mei 2014

(9)

ix

LEMBAR PENGESAHANPENGUJI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ...xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Batasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORITIK DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Teori ... 7

1. Konsep ... 7

2. Miskonsepsi ... 15

3. Identifikasi Miskonsepsi ... 19

4. Tunjauan Umum Konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan... 30

B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 31

(10)

x

D. Teknik Pengumpulan Data ... 39

E. Intrumen Penelitian ... 40

F. Teknik Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 47

B. Pembahasan ... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(11)

xi

3.1. Hasil Uji Coba Instrumen Soal Identifikasi Miskonsepsi ... 44

3.2. Modifikasi Kategori Tingkatan Pemahaman ... 45

4.1. Data Persentase 4 Kategori Tingkatan Pemahaman Siswa SMAN A ...48

4.2. Data Persentase 4 Kategori Tingkatan Pemahaman Siswa SMAN B ...50

4.3. Data Persentase 4 Kategori Tingkatan Pemahaman Siswa SMAN C ...52

(12)

xii

(13)

xiii

2. Kisi-kisi Instrumen Tes Pilihan Ganda ... 68

3. Rekap Hasil Anates Konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan ... 83

4. Soal dan Format Lembar Jawaban ... 92

5. Rekap Hasil Identifikasi Pemahaman Siswa SMAN A Tangsel ... 99

6. Rekap Hasil Identifikasi Pemahaman Siswa SMAN B Tangsel ... 103

7. Rekap Hasil Identifikasi Pemahaman Siswa SMAN C Tangsel ... 107

8. Rekap Hasil Identifikasi Pemahaman Siswa Per Butir Soal ... 111

9. Rekap Hasil Identifikasi Pemahaman Siswa Seluruh SMA ... 117

10. Hasil Uji Kai Kuadrat Per Butir Soal ... 118

11. Hasil Ujian Nasional Biologi Per Kabupaten/Kota Tahun 2011 & 2012 ... 127

12. Rekap Jawaban Miskonsepsi Siswa Tiap SMA pada Butir 1, 2, 23, & 24 .. 128

(14)

1 A. Latar Belakang Masalah

Ilmu pengetahuan alam merupakan ilmu yang diperoleh melalui investigasi yang bersifat eksperimen dan eksplanasi teoretis atas fenomena-fenomena yang terjadi di alam sekitar.1 Fenomena-fenomena alam tersebut dipahami oleh para ilmuwan dalam bentuk konsepsi yang bersifat ilmiah. Biologi merupakan cabang dari ilmu pengetahuan alam yang mengkaji konsepsi-konsepsi ilmiah mengenai makhluk hidup. Salah satu konsep yang dikaji dalam biologi adalah konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan. Konsep tersebut merupakan konsep penting dalam biologi karena mengkaji perpindahan energi dan materi dalam suatu ekosistem, sehingga untuk dapat memahami fungsi organisme didalam suatu ekosistem atau biosfer tersebut harus dapat pula memahami konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan dengan baik.

Studi yang dilakukan oleh Hulusi ÇOKADAR menyatakan bahwa beberapa siswa sering mengalami konsepsi yang cenderung salah pada konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan.2 Konsepsi yang cenderung salah atau berbeda dengan konsepsi ilmiah tersebut dinamakan miskonsepsi.3 Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa miskonsepsi yang dialami siswa tidak hanya terjadi pada konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan, tetapi terjadi juga pada konsep Ekologi, Genetika, Klasifikasi Makhluk Hidup, dan Sistem Sirkulasi.4 Namun, siswa paling sering mengalami miskonsepsi pada konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan terutama pada pengertian mendasar mengenai konsep

1

Robert E. Krebs, Scientific Development and Misconcepstions Trough The Ages: A Reference Guide, (Greenwood: Greenwood Publishing Group. Inc., 1999), p. 6.

2

Hulusi ÇOKADAR, ”Photosynthesis and Respiration Processes: Prospective Teachers’

Conception Level”, Education and Science Journal, 37, 164, 2012, p. 82. 3

Ceren Tekkaya, ”Misconception as Barrier to Understanding Biology”, Hacettepe Universitesi Egitim Fakultesi Dergisi, 23, 2002, p. 259.

4

(15)

tersebut.5 Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Ita Viana Dewi, Yuni Sri Rahayu, dan Erman yang menyatakan bahwa respirasi tumbuhan hanya terjadi pada waktu malam hari dan hanya daun yang berwarna hijau yang mampu untuk berfotosintesis.6

Miskonsepsi dapat terjadi ketika siswa berusaha membentuk pengetahuan dengan cara menerjemahkan pengalaman baru dalam bentuk konsepsi awal.7 Pembentukan konsepsi awal ini dapat dimulai ketika siswa mendapatkan pengalaman pembelajaran di sekolah maupun dilingkungannya sendiri. Para pakar di bidang miskonsepsi juga menemukan hal lain yang menjadi penyebab miskonsepsi pada siswa, diantaranya adalah dari siswa itu sendiri, guru, buku teks, dan metode pembelajaran yang digunakan.8 Siswa yang mengalami miskonsepsi juga dapat dikarenakan oleh adanya kesulitan siswa dalam memahami konsep.9 Kesulitan tersebut dapat berasal dari rumitnya konsep ataupun istilah yang terdapat pada biologi.10

Kesulitan-kesulitan siswa tersebut tentunya dapat berdampak pada ketidaktercapainya hasil belajar siswa secara optimal. Contoh indikasi adanya kesulitan siswa dalam memahami konsep biologi ini dialami oleh beberapa sekolah menengah atas negeri di wilayah Tangerang Selatan. Berdasarkan kajian data hasil ujian nasional dari tahun 2011 hingga 2012 di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang Selatan, dan Bekasi menunjukkan bahwa Tangerang Selatan memiliki nilai rata-rata ujian nasional biologi di bawah rata-rata.11 Hal ini perlu

5

Filocha Haslam dan David F. Treagust, ”Diagnosing secondary students’ misconceptions of photosynthesis and respiration in plants using a two-tier multiple choice instrument”, Journal of Biological Education, 21, 3, 1987, p. 203.

6

Ita Viana Dwi, dkk., ”Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk Mengatasi Miskonsepsi Siswa SMP pada Materi Fotosintesis”, Jurnal Pendidikan Sains e-Pensa, 1, 2, 2013, h. 21.

7

National Science Teachers Association, Buku Pedoman Guru Biologi Edisi ke-4, Terj. dari The Biology Teacher’s Handbook 4th Edition oleh Paramitha, (Jakarta: PT Indeks, 2013), Cet. I, h. 4.

National Science Teachers Association, op. cit., h. 30. 11

(16)

ditelusuri bagaimana tingkat pemahaman siswa terhadap konsep-konsep dalam biologi khususnya konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan.

Berbagai macam cara dapat digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi pada siswa diantaranya ialah menggunakan peta konsep, tes pilihan ganda dengan disertai alasan terbuka, tes esai tertulis, wawancara diagnosis, diskusi dalam kelas, serta praktikum dengan disertai tanya jawab.12 Peta konsep memiliki keunggulan yaitu guru dapat dengan mudah melihat apakah hubungan antara konsep pada peta itu benar atau salah.13 Tes pilihan ganda disertai alasan terbuka memiliki keunggulan dalam mengidentifikasi miskonsepsi siswa karena guru dapat menentukan tipe kesalahan siswa dalam suatu konsep berdasarkan jawaban yang dipilih serta dapat mengurangi jawaban tebakan siswa.14 Tes esai tertulis memiliki keunggulan yakni guru dapat langsung mengklasifikasi pemahaman siswa berdasarkan tingkat pemahamannya pada suatu konsep.15 Kemudian, diskusi dalam kelas, keunggulannya ialah guru dapat mendeteksi gagasan siswa mengenai suatu konsep sehingga guru dapat mengerti konsepsi alternatif yang dimiliki oleh siswa.16 Praktikum tanya jawab memiliki keunggulan yakni guru dapat mendeteksi siswa yang mengalami miskonsepsi secara langsung terhadap konsep yang dipraktikkan.17 Terdapat satu teknik lagi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yaitu Metode Certainty of Response Index (CRI). Metode yang dikembangkan oleh Saleem Hasan ini digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya miskonsepsi sekaligus dapat membedakannya dengan tidak tahu konsep dan paham konsep. Metode CRI merupakan ukuran tingkat keyakinan/kepastian responden dalam menjawab setiap

12

Paul Suparno, op. cit, h. 129. 13

Ibid., h. 121-122. 14

Tim Penyusun, Tes Diagnostik, (Jakarta: Direktorat PSMP, 2007), h.4. 15

Michael R. Abraham, “Understanding and Misunderstanding of Eight Graders of Five

Chemistry Concept Found in Textbooks”, Journal of Research in Science Teaching, 29, 1992, h. 112.

16

Paul Suparno, op. cit, h. 127-128. 17

(17)

soal yang diberikan.18 CRI biasanya didasarkan pada suatu skala dan diberikan bersamaan dengan setiap jawaban suatu soal.

Kelemahan tes pilihan ganda dengan teknik CRI terletak pada pengkategorian peserta didik yang memiliki tingkat kepercayaan diri rendah dan pada besarnya faktor menebak siswa dalam menjawab soal.19 Hal ini ditandai dengan adanya siswa yang sebenarnya mampu menjawab dan memahami konsep-konsep yang terdapat pada soal, namun karena memiliki tingkat keyakinan yang rendah menuntunnya memilih skala CRI yang rendah, sehingga dikelompokkan dalam kategori tidak paham konsep (menebak). 20 Dengan memperhatikan kondisi ini maka kategori pemahaman yang disusun oleh Saleem Hasan dimodifikasi oleh Aliefman Hakim dengan menambahkan alasan terbuka pada tes pilihan ganda, sehingga siswa yang memahami konsep tetapi memilih CRI yang rendah masuk ke dalam kategori paham konsep tetapi kurang yakin.21 Kelebihan teknik ini yaitu guru dapat menganalisis miskonsepsi siswa secara objektif karena selain menjawab soal pilihan ganda dan tingkat keyakinan terhadap jawaban, alasan siswa terhadap jawaban dari pertanyaan juga dapat terungkap sehingga miskonsepsi siswa dapat teridentifikasi dengan mudah dan tepat.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis melakukan penelitian dengan mengangkat judul penelitian yaitu, ”Identifikasi Miskonsepsi Siswa dengan Menggunakan Metode Certainty of Response Index (CRI) pada Konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan”.

18

Saleem Hasan, dkk, ”Misconception and The Certainty of Response Index (CRI)”, Physics Education, 1999, 34(5), p. 294.

19Aliefman Hakim,dkk, “Student Concept Understanding of Natural Products Chemistry in

Primary and Secondary Metabolies Using the Data Collecting Technique of Modified CRI”, International Online Journal of Education Sciences, 2012, 4(3), p. 546.

20

Ibid., p. 548. 21

(18)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa masalah yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut:

1. Konsep Fotosintesis dan Respirasi merupakan konsep penting dalam biologi karena mengkaji perpindahan energi dan materi dalam suatu ekosistem.

2. Dalam mengkonstruk pengetahuan/konsep, konsepsi siswa terkadang berbeda dengan konsepsi ilmiah yang dimiliki oleh para ilmuwan.

3. Rata-rata hasil ujian nasional biologi kota Tangerang Selatan dari tahun 2011 hingga 2012 dibawah rata-rata hasil ujian nasional biologi dalam cakupan wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang Selatan, dan Bekasi.

4. Dari telaah beberapa jurnal penelitian, siswa sering mengalami miskonsepsi pada konsep fotosintesis dan respirasi tumbuhan.

5. Metode CRI yang dikembangkan oleh Saleem Hasan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa masih memiliki kelemahan dalam hal pengkategorian tingkat pemahaman.

6. Identifikasi miskonsepsi siswa menggunakan CRI pada konsep fotosintesis dan respirasi tumbuhan mengacu pada identifikasi miskonsepsi yang dimodifikasi oleh Aliefman.

C. Pembatasan Masalah

Sehubungan dengan luasnya permasalahan yang muncul dari topik kajian yang dilakukan, maka pembatasan diperlukan guna memperoleh kedalaman kajian dan untuk menghindari perluasan permasalahan. Adapun pembatasan masalah dalam hal ini adalah:

1. Miskonsepsi siswa pada konsep fotosintesis dan respirasi tumbuhan.

(19)

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang diuraikan di atas, maka permasalahan penelitian yang dapat dirumuskan yaitu: “Bagaimana miskonsepsi siswa SMAN se-Kota Tangerang Selatan pada konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan Hijau dengan menggunakan Certainty Response Index (CRI)?”

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengungkap miskonsepsi siswa SMAN se-Kota Tangerang Selatan pada konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi Guru

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu guru mengenali tingkat pemahaman siswa mengenai konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan Hijau secara objektif, sehingga guru dapat melakukan tindak lanjut yang tepat jika terdapat siswa yang terdidentifikasi mengalami miskonsepsi.

2. Bagi Peneliti

(20)

7 A. Kajian Teori

1. Konsep

Pada abad ke 16 seorang filsuf Perancis Rene Descartes mengguncang dunia dengan filsafatnya yang terkenal yaitu Cogito Er Gosum yang berarti Aku Berpikir Maka Aku Ada. Ragukan segala sesuatu, pikirkan, pahami dan renungkan, bandingkan, lalu berakhir dengan sebuah konsep.1 Begitulah filsafat ini bekerja dalam kehidupan manusia, yaitu mencari sebuah konsep dengan jalan berpikir dan merenung. Dengan lahirnya filsafat ini, semua ilmuwan menjadikan filsafat ini sebagai acuan dalam mencari dan menemukan konsepsi yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Siswa merupakan manusia yang selalu berusaha membentuk konsepsi – konsepsi di dalam struktur kognifnya. Namun, dalam usaha membentuk konsepsi tak jarang siswa cenderung mengalami kesalahan dalam menerjemahkan suatu fenomena atau peristiwa yang terjadi di alam sekitar.

Miskonsepsi pada siswa dapat menjadi salah satu faktor penyebab lemahnya pemahaman siswa terhadap konsep-konsep pelajaran.2 Sebelum mempelajari bagaimana proses terjadinya miskonsepsi pada siswa, kita perlu memahami beberapa pengertian konsep yang dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan sebagai berikut :

a. Definisi Konsep

Mungkin tidak ada satu pun definisi yang dapat mengungkapkan arti yang luas mengenai definisi konsep. Walaupun dapat ditentukan suatu definisi verbal dari suatu konsep, definisi tersebut tidak dapat mengungkapkan keseluruhan hubungan-hubungan konsep tersebut dengan

1

Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar, (Surabaya: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 25.

2

(21)

konsep yang lain.3 Bahkan filsuf sains Karl Popper menegaskan bahwa ciri teori atau konsep yang baik adalah jika teori atau konsep tersebut mampu membuat sejumlah prediksi yang pada prinsipnya dapat disangkal atau dibuktikan keliru dengan pengamatan.4 Tetapi, bukan berarti kita berada dalam kebingungan untuk menentukan definisi konsep atau teori yang baik, paling tidak kita mampu menentukan definisi mengenai konsep atau teori dengan berbagai pendekatan ilmiah.

Flavell menyarankan, bahwa konsep-konsep dapat berbeda dalam tujuh dimensi yaitu :5

1) Atribut. Setiap konsep mempunyai sejumlah atribut yang berbeda. Atribut-atribut dapat berupa hal-hal yang berkaitan dengan fisik; seperti warna, tinggi, rasa, atau bentuk, atau dapat juga atribut-atribut tersebut dapat berupa atribut fungsional.

2) Struktur. Dimensi konsep berupa struktur yang membahas mengenai cara terkaitnya atau tergabungnya atribut-atribut tersebut. Ada hubungan atau kaitan di antara atribut-atribut tersebut. Ada tiga macam struktur pada dimensi konsep. Pertama, konsep-konsep yang bersifat konjuktif yaitu konsep-konsep dimana terdapat dua atau lebih sifat-sifat sehingga dapat memenuhi syarat sebagai contoh konsep. Kedua, konsep-konsep disjunktif adalah konsep-konsep di mana satu dari dua atau lebih sifat-sifat atau atribut-atribut harus ada. Ketiga, konsep-konsep relasional mengenai hubungan tertentu antara atribut-atribut konsep.

3) Keabstrakan. Keabstrakan membahas mengenai konsep-konsep yang tidak dapat dilihat dan konkret.

3

Ratna Wilis Dahar, Teori-teori Belajar, (Jakarta: Erlangga, 1996), h.79. 4

Stephen Hawking, A Brief History of Time: Sejarah Singkat Waktu, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 10.

5

(22)

4) Keinklusifan. Dimensi ini lebih menekankan kepada contoh-contoh yang terlibat langsung dalam konsep tersebut.

5) Generalitas. Bila dibuat sistem klasifikasi, konsep-konsep menurut dimensi ini dapat berbeda sesuai posisi superordinat atau subordinatnya. Contoh, konsep wortel adalah subordinat terhadap konsep sayuran, selanjutnya konsep sayuran subordinat terhadap konsep tanaman yang dapat dimakan. Makin umum suatu konsep, makin banyak hubungan atau asosiasi yang dapat dibentuk dengan konsep-konsep lainnya.

6) Ketepatan. Ketepatan suatu konsep menyangkut apakah ada sekumpulan aturan-aturan untuk membedakan contoh-contoh dari noncontoh-noncontoh suatu konsep.

7) Kekuatan. Kekuatan suatu konsep ditentukan oleh sejauh mana orang setuju, bahwa konsep itu penting.

Konsep merupakan salah satu bagian dari klasifikasi pengetahuan yang terdapat dalam sebuah materi pelajaran. Pengetahuan yang bersifat konsep yaitu pengetahuan yang mengacu pada pengertian, definisi, ciri khusus, komponen atau bagian dari suatu objek.6 Konsep juga merupakan rangkaian fakta-fakta yang teruji secara ilmiah sehingga menghasilkan definisi atau pengertian yang bersifat kognitif dan informatif.

Ahli lain mengatakan bahwa konsep merupakan bentuk abstraksi mental yang mewakili suatu kelas stimulus-stimulus. Jika suatu konsep telah dipelajari seseorang, maka orang tersebut akan dapat menampilkan perilaku-perilaku tertentu berdasarkan konsep.7 Definisi ini menekankan bahwa suatu konsep dapat menjadi stimulan yang dapat membentuk respon dari seseorang yang mempelajarinya. Respon dari stimulus-stimulus bisa berupa perilaku seseorang di dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan apa yang dipelajarinya.

6

Zulfiani, Strategi Pembelajaran Sains, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 37.

7

(23)

Definisi ini juga menekankan adanya sifat kausatif (sebab-akibat) dari suatu konsep.

Kustiyah menyatakan bahwa konsep merupakan bahan pembangun proses berfikir.8 Konsep merupakan desain awal untuk mengkonstruksi pengetahuan seseorang dalam memahami sesuatu. Definisi yang dipaparkan oleh Kustiyah mengenai konsep dianggap sebagai pandangan konstruktivisme. Dari pandangan Kustiyah inilah seakan mendukung pandangan Karl Popper mengenai ciri terbaik dari suatu teori atau konsep, yang memberikan arti yang luas bahwa jika konsep dibangun atas dasar konstruktivisme maka konsep akan selalu selalu sejalan dengan perkembangan kognitif manusia sehingga konsep-konsep dasar bisa menjadi konsep subordinat (konsep cabang).

Berdasarkan dari ketiga definisi ini, maka konsep dapat diartikan sebagai pengetahuan yang dapat bersifat definitif dan praktis. Sifat definitif digunakan untuk membangun pengetahuan diri secara teori mengenai ilmu pengetahuan, sedangkan sifat praktis digunakan sebagai dasar bagi seseorang untuk dapat menerapkan konsep-konsep tersebut dalam memenuhi hasrat atau kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari.

b. Perolehan Konsep

Menurut Ausubel, konsepsi-konsepsi yang dibentuk oleh siswa diperoleh dengan dua cara yaitu sebagai berikut:9

1) Pembentukan Konsep (concept formation)

Pembentukan konsep merupakan proses induktif. Proses berpikir secara induktif merupakan proses berpikir di mana kita dihadapkan dengan konsepsi-konsepsi yang bersifat khusus sehingga didapatkan suatu kesimpulan atas dasar konsepsi-konsepsi khusus tersebut. Konsepsi yang merupakan kesimpulan tersebut disebut sebagai konsepsi umum. Pembentukan konsep merupakan suatu

8

Kustiyah, op. cit., h. 25. 9

(24)

bentuk kegiatan pada pembelajaran yang bersifat penemuan (discovery learning), di mana konsep-konsep yang akan dibentuk secara umum harus didapatkan dari proses-proses menemukan konsepsi yang bersifat khusus melalui teknik discovery learning. Pembentukan konsep juga mengikuti pola contoh/aturan. Siswa yang sedang mengalami proses pembelajaran akan selalu dihadapkan pada sejumlah contoh-contoh ataupun noncontoh-noncontoh.

Melalui proses yang dinamakan diskriminasi dan abstraksi, ia menetapkan suatu aturan yang dapat menentukan kriteria umum untuk konsep tersebut. Dengan adanya proses diskriminasi, yakni proses membandingkan atau membedakan contoh-contoh ataupun noncontoh-noncontoh, siswa akan mengalami perlawanan atau persetujuan dalam pembetukan konsepsi. Melalui proses abstraksi, yakni proses untuk menemukan suatu konsistensi logika atas suatu peristiwa atau fenomena, siswa akan mendapatkan suatu kepastian hukum atau definisi melalui penyaringan (filter) terhadap gejala atau peristiwa.

(25)

membentuk konsistensi logika terhadap suatu peristiwa alami berdasarkan fakta-fakta yang didapatkan.

2) Asimilasi Konsep

Berbeda dengan proses pembentukan konsep, asimilasi konsep bersifat deduktif. Proses asimilasi konsep lebih dahulu mengenali siswa pada konsepsi-konsepsi yang bersifat umum (lebih bersifat definisi atau pengertian) lalu menjabarkan konsepsi yang bersifat umum tersebut ke dalam konsepsi-konsepsi yang bersifat khusus. Dalam proses ini siswa diberi pengenalan akan suatu definisi konsep dan atribut-atribut dari konsep yang bersifat umum tersebut. Ini berarti bahwa siswa akan belajar definisi konseptual dengan memeroleh penyajian atribut-atribut kriteria berdasarkan definisi konsep, dan kemudian mereka akan menghubungkan atribut – atribut ini dengan gagasan-gagasan yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif mereka.

Siswa terlebih dahulu diperkenalkan akan definisi suatu konsep secara teoretis, kemudian definisi-definisi tersebut dihubungkan ke dalam struktur kognitif yang telah mereka miliki sebelumnya. Untuk memeroleh konsep-konsep melalui proses asimilasi, siswa yang belajar harus sudah memeroleh definisi formal dari konsep-konsep tersebut. Suatu definisi formal dari suatu kata menunjukkan kesamaan-kesamaan dengan konsep itu, dan membedakan kata tersebut dari konsep-konsep lain.

(26)

dengan proses-proses kehidupan yang lain. Contoh lain ialah definisi formal dari respirasi, yaitu suatu proses penggunaan bentuk energi kimiawi yang terdapat pada makanan dalam bentuk energi kimiawi yang dapat digunakan untuk aktifitas makhluk hidup. Tentunya dalam proses tersebut terjadi pembakaran energi oleh oksigen yang terjadi pada organel sel mitokondria sehingga dihasilkan energi (ATP), karbondioksida, dan air. Atribut-atribut berupa energi ATP, oksigen, karbondioksida, air, dan mitokondria memberikan suatu atribut yang hanya dimiliki oleh respirasi.

Sesudah definisi dari konsep itu disajikan, konsep-konsep tersebut dapat diilustrasikan dengan memberikan contoh-contoh atau deskripsi-deskripsi verbal dari contoh-contoh. Jadi, asimilasi konsep digunakan untuk proses pembelajaran kebermaknaan (meaningful reception meaning). Proses perolehan konsep yang diterapkan dengan cara ini menekankan penyajian konsep-konsep formal yang selanjutnya akan dijelaskan dengan contoh-contoh sederhana yang sesuai dengan struktur kognitif mereka, sehingga perolehan konsep lebih bermakna.

c. Tingkat-tingkat Pencapaian Konsep

Klausmeier membuat hipotesis yang menyatakan bahwa ada empat tingkat pencapaian konsep. Tingkat-tingkat pencapaian ini muncul dalam urutan yang invarian. Empat tingkat pencapaian konsep tersebut adalah sebagai berikut :10

1) Tingkat Konkret. Untuk mencapai konsep tingkat konkret, siswa harus dapat memperhatikan benda tersebut, dan dapat membedakan benda itu dari stimulus-stimulus yang ada di lingkungannya. Selanjutnya ia harus menyajikan benda itu sebagai suatu gambaran mental, dan menyimpan gambaran mental tersebut. Dengan begitu, seseorang yang berada atau telah mencapai tingkatan konkret mampu

10

(27)

mengenali konsepsi tersebut dari wujud fisik dan mampu membedakan wujud fisik tersebut dengan wujud fisik lainnya.

2) Tingkat Identitas. Pada tingkat identitas, seseorang akan mengenali suatu objek (a) sesudah selang waktu, (b) bila orang itu mempunyai orientasi ruang (spatial orientation) yang beragam terhadap objek tersebut, atau (c) bila objek tersebut dapat diobservasi melalui indera yang berbeda, misalnya untuk mengetahui buah jeruk itu dengan merasakan rasanya bukan dengan melihatnya.

3) Tingkat Klasifikatori. Pada tingkatan pencapaian konsep ini, siswa dapat mengenali persamaan dari dua contoh yang berbeda dari kelas yang sama, atau sebaliknya mengenali perbedaan dari dua contoh yang sama dari kelas yang berbeda. Sebagai contoh, terdapat dua makhluk hidup yang termasuk ke dalam genus yang sama namun termasuk ke dalam spesies yang berbeda.

(28)

2. Miskonsepsi

a. Definisi Miskonsepsi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia konsepsi mengandung arti pendapat atau paham.11 Jika didasarkan pada pengertian ini konsepsi juga dapat berarti kemampuan seseorang dalam menerjemahkan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar kemudian dihubungkan dengan struktur kognitifnya. Konsepsi-konsepsi yang ada pada seseorang ada yang sesuai dengan konsepsi ilmiah, ada yang tidak. Konsepsi yang tidak sesuai dengan konsepsi ilmiah dinamakan miskonsepsi. Miskonsepsi memiliki pengertian yaitu suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang diakui oleh para ahli.12 Biological Science Curriculum Study (BSCS) menggunakan istilah konsepsi pendahulu untuk menggambarkan konsepsi siswa yang berada di luar pemahaman ilmiah terhadap fenomena-fenomena atau peristiwa.13 Novak dalam Joel Mintez, et. al. menyatakan bahwa miskonsepsi adalah pemahaman yang salah yang dimiliki oleh siswa pada setiap domain pengetahuan yang seringkali berasal dari proses belajar hafalan.14 Miskonsepsi dapat diartikan juga sebagai tafsiran atau pemahaman seseorang atau lebih terhadap suatu konsep yang salah atau tidak sesuai dengan konsep yang diakui oleh para ahli.

David Hammer dalam Yuyu R. Tayubi juga menyatakan bahwa miskonsepsi adalah suatu konsepsi atau struktur kognitif yang melekat dengan kuat dan stabil dibenak siswa yang sebenarnya menyimpang dari konsepsi yang dikemukakan para ahli, yang dapat menyesatkan para siswa dalam memahami fenomena-fenomena alam dan dalam melakukan

11

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h 588.

12

Paul Suparno, Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: PT Grasindo, 2005), h. 8.

13

National Science Teachers Association, Buku Pedoman Guru Biologi Edisi ke-4, Terj. dari The Biology Teacher’s Handbook 4th Edition oleh Paramitha, (Jakarta: PT Indeks, 2013), Cet. I, h. 30.

14

(29)

eksplanasi.15 Pendapat David Hammer ini menunjukkan bahwa miskonsepsi dapat tertanam secara lahiriah dengan kuat di dalam pengetahuan siswa sehingga pengetahuan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran saat memahami peristiwa yang terjadi di alam maupun saat melakukan penjelasan.

Definisi lain dari miskonsepsi adalah suatu kesalahan dalam memahami suatu konsep yang ditunjukkan dengan kesalahan saat menjelaskan konsep tersebut dengan bahasa sendiri.16 Definisi ini menyatakan bahwa miskonsepsi dapat terlihat ketika seseorang mengemukakan penjelasan tentang suatu konsep dengan gaya bahasanya sendiri.

b. Sifat Miskonsepsi

Berdasarkan hasil suatu penelitian mengenai miskonsepsi, Driver dalam Ratna Wilis Dahar mengemukakan hal-hal mengenai sifat miskonsepsi sebagai berikut :

1)Miskonsepsi bersifat pribadi. Bila dalam suatu kelas anak-anak disuruh menulis tentang percobaan yang sama (misalnya hasil demonstrasi guru), mereka memberikan berbagai interpretasi. Setiap anak melihat dan menginterpretasikan eksperimen tersebut menurut caranya sendiri. Setiap anak mengonstruksi kebermaknaannya sendiri.

2)Miskonsepsi memiliki sifat yang stabil. Kerap kali terlihat bahwa gagasan ilmiah ini tetap dipertahankan anak, walaupun guru sudah memberikan kenyataan yang berlawanan.

3)Bila menyangkut koherensi, anak tidak merasa butuh pandangan yang koheren sebab interpretasi dan prediksi tentang peristiwa-peristiwa alam praktis kelihatannya cukup memuaskan. Kebutuhan akan koherensi dan kriteria untuk koherensi menurut persepsi anak tidak sama dengan di persepsi ilmuwan. 17

15

Yuyu R. Tayubi, “Identifikasi Miskonsepsi pada Konsep-konsep Fisika Menggunakan Certainty of Response Index (CRI)”, Jurnal Pendidikan, 5, 2005, h. 5.

16

Kustiyah, loc. cit. 17

(30)

c. Penyebab terjadinya Miskonsepsi

Penelitian mengenai penyebab miskonsepsi sudah banyak dilakukan. Miskonsepsi siswa terhadap suatu konsep dapat terjadi melalui satu ataupun gabungan pengalaman belajar siswa.18 Secara garis besar, penyebab miskonsepsi yang dialami siswa yaitu penyebab yang berasal dari pengetahuan lahiriah siswa, konteks, guru, metode mengajar, serta buku teks.19

Pengalaman dan kejadian sehari-hari siswa merupakan salah satu penyebab miskonsepsi yang berasal dari siswa secara kontekstual. Pengalaman dapat membentuk konsep pengetahuan yang cukup kuat karena langsung dialami oleh siswa itu sendiri. Pembentukan konsep merupakan proses induktif yang membentuk pengetahuan siswa berdasarkan gabungan pengalaman siswa secara terus-menerus dan beragam dalam kehidupannya.20 Miskonsepsi yang muncul pada siswa dapat disebabkan oleh pengalaman sehari-hari siswa ketika beinteraksi dengan alam sekitarnya.21 Hal ini sesuai dengan pendapat Ceren Tekkaya yaitu, “Misconceptions may originate from certain experiences that are commonly shared by many students”.22 Selain itu, kemampuan, tahap perkembangan, minat serta cara berpikir juga merupakan faktor-faktor yang terdapat dalam diri siswa yang dapat menghadirkan miskonsepsi bagi siswa tersebut.23

Penyebab miskonsepsi selanjutnya yaitu dapat juga berasal dari guru. Ceren Tekkaya menyatakan bahwa miskonsepsi pada siswa dapat terjadi dikarenakan oleh guru yang melakukan kesalahan dalam proses pembelajaran.24 Penyebab miskonsepsi siswa yang lain yang berasal dari guru yaitu kurangnya penguasaan guru akan materi serta sikap guru yang

18

Ceren Tekkaya, “Misconceptions as Barrier to Understanding Biology”, Journal of Universitas Hacettepe Ankara, 23, 2002, h. 260.

19

Paul Suparno, op. cit., h. 29. 20

Ratna Wilis Dahar, op. cit., h. 81. 21

Yuyu R. Tayubi, op. cit., h. 4. 22

Ceren Tekkaya, loc. cit. 23

Paul Suparno, loc. cit. 24

(31)

tidak berhubungan baik dengan siswa.25 Jika hal ini terus terjadi, maka miskonsepsi akan terus berlanjut selama guru tersebut mengajarkan konsep yang salah dalam setiap pembelajaran.

Miskonsepsi pada siswa ternyata juga dapat disebabkan oleh buku teks yang dipelajari siswa. Penyebab miskonsepsi dari buku teks biasanya disebabkan oleh penjelasan atau uraian yang salah dalam buku tersebut.26 Disamping itu menurut Odom, buku teks merupakan sumber informasi utama bagi guru sehingga jika di dalam buku teks tersebut terdapat

miskonsepsi, akan mendorong terjadinya miskonsepsi pula pada guru.27 Jika guru menggunakan buku teks yang mengalami miskonsepsi sebagai satu-satunya sumber informasi maka miskonsepsi pada buku tersebut akan ditransfer dari guru ke siswa.

Penyebab miskonsepsi selanjutnya dapat juga berasal dari metode pembelajaran. Metode belajar yang hanya menekankan metode belajar yang bersifat hafalan dapat menjadi salah satu penyebab miskonsepsi karena siswa tidak distimulasi untuk dapat menghubungkan konsep secara mendalam.28

Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab terbentuknya miskonsepsi pada seorang anak dapat dilihat pada cara anak dalam menerima ilmu pengetahuan, diantaranya yaitu : (1) anak cenderung memberikan dasar pada pemikirannya (kognitif) tersebut pada hal-hal yang tampak dalam situasi masalah, (2) anak hanya melihat dan menginterpretasikan suatu fenomena hanya dari segi sifat keabsolutan suatu fenomena bukan dari segi interaksi di dalamnya, (3) cara berpikir cenderung mengikuti urutan kausal linear.29 Tentunya, jika tidak ada

25

Paul Suparno, loc. cit. 26

Ibid.

27Yusuf Hilmi Adisendjaja dan Oom Romlah, “

Identifikasi Kesalahan dan Miskonsepsi Buku Teks Biologi SMU”, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Biologi, Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia 25 –26 Mei 2007.

28

Joel J. Mintzes, et al., op. cit., h. 42. 29

(32)

perkembangan dalam proses berpikir miskonsepsi pada anak-anak akan terus berlanjut hingga dewasa.

3. Identifikasi Miskonsepsi

Dari beberapa pengertian dan penyebab miskonsepsi yang telah dipaparkan, maka diperlukan suatu usaha untuk mengidentifikasi siswa yang mengalami miskonsepsi agar kondisi tersebut dapat dicegah atau bahkan dapat diarahkan ke konsep yang benar. Identifikasi menurut bahasa ialah penentu atau penetapan identitas seseorang, benda, dan sebagainya.30 Dari pengertian tersebut, identifikasi merupakan suatu kegiatan yang didalamnya ditetapkan suatu ciri-ciri atau identitas dari suatu objek dengan tujuan agar mudah dikenali. Di dalam pendidikan dikenal dengan diagnosis, yakni usaha untuk mempelajari keadaan seseorang individu atau kelompok agar dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok tertentu, menguasai atau tidak menguasai konsepsi ilmiah tertentu.31 Untuk dapat mengidentifikasi miskonsepsi pada siswa diperlukan tes. Di sini akan dijabarkan beberapa definisi tes beserta penggolongannya.

a. Definisi Tes

Tes adalah alat pengukur yang memiliki standar yang objektif sehingga dapat digunakan secara meluas, serta dapat digunakan untuk mengukur dan membandingkan keadaan psikis dan tingkah laku seseorang.32 Tes dalam dunia pendidikan merupakan cara atau prosedur yang digunakan dalam rangka pengukuran dan penilaian yang berbentuk tugas atau serangkaian tugas baik berupa pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab atau perintah-perintah yang harus dikerjakan oleh peserta tes, sehingga dapat dihasilkan nilai yang melambangkan tingkah laku

30

Tim Penyusun Kamus, op. cit., h. 417. 31

Suwarto, Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajaran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 91.

32

(33)

peserta tes.33 Tes juga merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif terhadap seorang individu atau keseluruhan sebagai usaha evaluasi program.34 Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil pengertian bahwa tes adalah cara atau prosedur yang digunakan untuk mengukur, membandingkan serta menilai tingkah laku peserta tes dengan menggunakan berbagai bentuk tes yang harus dijawab oleh peserta tes, sehingga hasil pengukuran, penilaian maupun pembanding dapat dijadikan gambaran tingkah laku peserta tes.

b. Penggolongan Tes Berdasarkan Fungsinya

Penggolongan tes menurut fungsinya didasari oleh segi mana atau dengan alasan apa penggolongan tes itu dilakukan. Penggolongan tes digolongkan menjadi 3 golongan yaitu berdasarkan fungsinya, aspek psikis, kelompok. Dalam hal ini, akan dikemukakan penggolongan tes berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai berikut :35

1) Tes Seleksi.

Tes ini sering dilaksanakan dalam rangka penerimaan calon siswa atau mahasiswa baru. Materi tes pada tes seleksi ini merupakan materi prasyarat sesuai dengan program pendidikan yang akan diikuti oleh calon. Tingkat kesulitan pada tes seleksi tergolong cukup tinggi, hal ini sesuai dengan sifat tes seleksi yaitu menyeleksi atau melakukan penyaringan sehingga hanya calon-calon yang memiliki kemampuan tinggi saja yang mampu mengerjakan tes seleksi.

Tes seleksi dapat dilaksanakan secara lisan, tertulis, praktik dan kombinasi dari lisan, tertulis maupun praktik. Sebagai tindak lanjut dari hasil tes seleksi, maka para calon yang dipandang mampu memenuhi batas persyaratan minimal yang telah ditentukan dianggap lolos dari tes tersebut. Salah satu contoh tes seleksi yang digunakan

33

Ibid., h. 67. 34

Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi), (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 33.

35

(34)

ialah tes seleksi Olimpiade Sains Nasional yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional. Olimpiade Sains Nasional merupakan kegiatan seleksi yang merupakan salah satu strategi peningkatan mutu pendidikan sekaligus sebagai upaya mengembangkan wahana kompetisi bagi siswa di seluruh Indonesia dalam bidang matematika, fisika, biologi, dan IPS.36

2) Tes Awal

Tes jenis ini sering dilaksanakan untuk tujuan mengetahui sejauh manakah peserta didik menguasai bahan ajar yang akan diajarkan. Tes awal dilaksanakan sebelum pembelajaran, sehingga tingkat kesulitan untuk tes ini relatif mudah. Materi tes awal umumnya menekankan bahan-bahan penting yang umumnya sudah seharusnya diketahui. Tes awal dapat dilaksanakan baik secara tertulis atau secara lisan.

3) Tes Akhir.

Tes jenis sering dilaksanakan untuk tujuan mengetahui apakah semua materi ajar yang tergolong penting sudah dapat dikuasai dengan baik oleh peserta didik. Umumnya materi tes tersebut dibuat mirip dengan tes awal. Jika hasil tes akhir tersebut lebih baik daripada tes awal, maka program pembelajaran yang diberikan berhasil.

36

(35)

4) Tes Diagnostik.

Diagnosis merupakan proses yang kompleks dalam suatu usaha untuk menarik kesimpulan dari hasil-hasil pemeriksaan gejala-gejala, perkiraan penyebab, pengamatan dan penyesuaian dengan kategori yang sesuai.37 Istilah diagnostik juga dapat diuraikan dari asal katanya yaitu diagnosis yang berarti mengidentifikasi penyakit dari gejala-gejala yang ditimbulkan.38 Dari pengertian tersebut, diagnosis merupakan usaha seseorang menggunakan teknik identifikasi dalam menerjemahkan gejala-gejala dari fenomena atau peristiwa yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi.

Tes diagnostik merupakan tes yang digunakan dengan tujuan mengetahui kelemahan-kelemahan siswa sehingga dapat diberi perlakuan yang tepat berdasarkan kelemahan-kelemahan siswa tersebut.39 Tes diagnostik dilaksanakan untuk menentukan secara tepat, jenis kesukaran yang dialami oleh peserta didik pada mata pelajaran tertentu.40 Tes diagnostik juga digunakan sebagai alat atau instrumen dalam mengidentifikasi kesulitan belajar yang dialami oleh siswa.41 Tes diagnostik yang baik dapat memberikan gambaran akurat mengenai miskonsepsi yang dialami oleh siswa berdasarkan informasi kesalahan yang dialami siswa tersebut.42 Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, tes diagnostik merupakan rangkaian tes atau instrumen yang pada dasarnya memiliki tujuan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami siswa sebelum atau sesudah pembelajaran.

Agar suatu tes dapat dikatakan mampu mendiagnosis miskonsepsi siswa secara akurat dan tepat, maka tes diagnostik harus memiliki karakteristik. Ada pun karakteristik yang terdapat dalam tes diagnostik yakni: (a) dirancang untuk mendeteksi kesulitan belajar

37

Suwarto, op. cit., h. 90. 38

Tim Penyusun, Tes Diagnostik, (Jakarta: Direktorat PSMP, 2007), h.3. 39

Suharsimi Arikunto, op. cit., h. 34. 40

Anas Sudijono, op. cit., h. 70. 41

Suwarto, op. cit.,h. 113. 42

(36)

siswa, sehingga format dan respons yang akan dijaring harus didesain memiliki fungsi diagnostik, (b) dikembangkan atas dasar analisis terhadap sumber-sumber kesalahan atau kesulitan yang dimungkinkan dapat menjadi penyebab masalah pada siswa terhadap suatu materi, (c) menggunakan soal-soal dengan bentuk uraian atau jawaban singkat sehingga mampu menangkap informasi dengan lengkap, bila ada alasan tertentu sehingga menggunakan bentuk pilihan ganda harus disertakan dengan penjelasan mengapa memilih jawaban tersebut sehingga dapat mengurangi jawaban tebakan, (d) disertai rancangan tindak lanjut sesuai dengan kesulitan yang teridentifikasi.43 Materi atau konsep yang ditanyakan dalam tes diagnostik pada umumnya ditekankan pada konsep-konsep tertentu yang biasanya atau menurut pengalaman sulit dipahami siswa.44 Mehrens dan Lehmann dalam Suwarto menyatakan bahwa tes diagnostik bisa dianggap valid jika : (1) bagian-bagian tes kemampuan komponen harus menekankan hanya pada satu jenis kesalahan; (2) perbedaan-perbedaan bagian tes harus dapat dipercaya. Butir-butir tes diagnostik cenderung memiliki tingkat kesulitan yang relatif rendah.45 Jadi, pertanyaan-pertanyaan yang digunakan di dalam mendiagnosis atau mengidentifikasi miskonsepsi harus benar-benar terbatas berdasarkan analisis sumber-sumber yang dimungkinkan dapat menjadi miskonsepsi siswa.

43

Tim Penyusun, op. cit., h.4. 44

Anas Sudijono, op. cit., h. 71. 45

(37)

5) Tes Formatif.

Tes formatif merupakan tes hasil belajar yang memiliki tujuan yakni untuk mengetahui sejauh mana membentuk pengetahuannya selama mengikuti program pembelajaran. Tes formatif ini biasanya dilaksanakan di tengah-tengah program pembelajaran. Biasanya tes formatif biasa dikenal dengan istilah Ulangan Harian. Butir-butir soal yang terdapat pada tes formatif umumnya memiliki tingkat kesulitan yang beragam, dari tingkat kesulitan yang relatif rendah hingga tinggi.

6) Tes Sumatif

Tes sumatif merupakan tes hasil belajar yang dilaksanakan setelah program pengajaran selesai diberikan. Biasanya dikenal dengan istilah Ujian Akhir Sekolah atau Ujian Akhir Nasional. Tes ini umumnya disusun atas dasar materi pelajaran yang diberikan selama satu semester atau beberapa semester. Tes sumatif dilaksanakan secara tertulis. Butir-butir soal yang diberikan biasanya memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi daripada tes formatif. Tujuannya adalah untuk menentukan nilai yang melambangkan keberhasilan peserta didik selama menempuh proses pembelajaran atau program pembelajaran tertentu.

c. Perbandingan Tes Diagnostik, Tes Formatif, dan Tes Sumatif

Untuk memperoleh gambaran umum mengenai perbandingan antara tes diagnostik, tes formatif dan tes sumatif, berikut ini akan disajikan secara umum dalam bentuk Tabel 2.1.46

46

(38)

Tabel 2.1. Perbandingan Tes Diagnostik, Tes Formatif, dan Tes Sumatif

Tinjauan Tes Diagnostik Tes Formatif Tes Sumatif

Fungsi

 Menentukan apakah materi prasyarat

 Tes prestasi belajar yang berstandar.

(39)

 Tes buatan guru.

(40)

d. Bentuk Tes Pilihan Ganda Beralasan

Ada berbagai macam bentuk tes tertulis yang digunakan oleh guru dalam mengevaluasi peserta didiknya yaitu tes hasi belajar bentuk uraian dan bentuk objektif.47 Tes pilihan ganda merupakan salah satu bentuk tes objektif di mana tiap butir soal dapat mencakup banyak materi yang terdiri atas bagian keterangan dan bagian kemungkinan jawaban atau alternatif. Kemungkinan jawaban dapat terdiri atas satu jawaban benar dan beberapa jawaban yang termasuk pengecoh (distractions).48 Pengertian lain mengenai bentuk tes pilihan ganda adalah salah satu bentuk tes objektif yang terdiri atas pertanyaan atau pernyataan yang sifatnya belum selesai, dan untuk menyelesaikannya harus dipilih satu pilihan jawaban dari beberapa pilihan jawaban dari setiap butir soal. 49 Dari pengertian tersebut, tes bentuk pilihan ganda merupakan bentuk tes yang bersifat objektif karena penilaiannya sangat sederhana yang berdasarkan pada satu kunci pilihan saja.

Pada berbagai penelitian, tes pilihan ganda terbukti dapat digunakan secara efektif untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami oleh siswa karena sifatnya yang objektif dan dapat menghasilkan skor dengan cepat walaupun dengan jumlah peserta yang relatif banyak.50 Tetapi, terdapat beberapa kelemahan dari tes pilihan ganda, khususnya dalam identifikasi miskonsepsi pada siswa. Menurut Rollnick dan Mahoona, kelemahan bentuk tes pilihan ganda terletak pada pertanyaan yang ada tidak dapat memberikan ruang kepada siswa dalam mengemukakan ide dan gagasan mengenai suatu topik atau konsep terhadap soal secara mendalam bahkan seringkali siswa dapat memberikan jawaban yang benar padahal alasan mereka salah.51 Dengan adanya kelemahan ini, memungkinkan siswa menjawab soal dengan cara menebak pilihan/alternatif jawaban.

47

Anas Sudijono, op. cit., h. 99. 48

Suharsimi Arikunto, op. cit., h. 168. 49

Anas Sudijono, op.cit., h. 118. 50S. O. Adodo, “Effects of Two

-Tier Multiple Choice Diagnostic Assessment Items on

Students’ Learning Outcome in Basic Science Technology (BST)”, Academic Journal of Interdisciplinary Studies by MCSER-CEMAS-Sapienza University of Rome, 2, 2013, p. 202.

(41)

Berdasarkan beberapa penelitian juga, tes pilihan ganda dapat dikombinasikan sesuai dengan tujuan penggunaannya yakni dengan menambahkan alasan jawaban pada tiap butir soalnya. Terdapat beberapa bentuk tes pilihan ganda beralasan, diantaranya yaitu tes pilihan ganda beralasan terbuka dan tes pilihan ganda beralasan tertutup. Tes pilihan ganda terbuka adalah tes pilihan ganda yang memberikan instruksi kepada siswa untuk memilih jawaban dari pilihan ganda pada soal dengan menyertakan alasan mengapa ia memilih jawaban tersebut.52 Bentuk instrumen ini juga digunakan dan dikembangkan oleh Haslam dan Treagust dalam penelitiannya mengenai identifikasi pemahaman siswa pada konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan.53 Jenis tes ini juga dapat membantu guru untuk mengklasifikasi jawaban dan alasan siswa sehingga dapat diketahui kelompok siswa yang benar-benar paham konsep dengan yang memiliki masalah dalam mempelajari konsep.

Bentuk tes pilihan ganda tertutup selain terdiri dari soal dan pilihan jawaban, juga dilengkapi dengan pilihan alasan jawaban yang telah tersedia dalam setiap butir soalnya. Kelebihan tes ini yaitu guru dapat lebih mudah untuk menganalisis jawaban siswa. Instrumen tes ini telah dikembangkan oleh beberapa peneliti salah satunya Haslam dan Treagust pada konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan.54

e. Certainty of Response Index (CRI)

Untuk mengidentifikasi terjadi miskonsepsi sekaligus dapat membedakannya dengan tidak tahu konsep, Saleem Hasan telah mengembangkan suatu metode identifikasi yang dikenal dengan istilah CRI (Certainty of Response Index) yang merupakan ukuran tingkat keyakinan/kepastian responden atau siswa dalam menjawab setiap

52

Paul Suparno, op. cit.,h. 123. 53

S. O. Adodo, op.cit., h. 203. 54

(42)

pertanyaan atau soal yang diberikan.55 CRI biasanya digunakan pada ilmu pengetahuan sosial, khususnya penelitian yang sifatnya survey di mana responden diminta untuk mengisi tingkat keyakinan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki atas soal yang diberikan.56 CRI biasanya didasarkan pada suatu skala tingkat keyakinan yang diberikan bersamaan dengan lembar jawaban.57 Jadi, tiap butir yang berisi option jawaban selalu disertakan dengan skala tingkat keyakinan yang harus dipilih. Hal ini untuk mengetahui tingkat keyakinan responden dari setiap jawaban butir soal.

Tingkat kepastian jawaban tercermin dalam skala CRI yang diberikan, CRI yang rendah menandakan ketidakyakinan konsep pada responden (siswa) dalam menjawab pertanyaan, dalam hal ini siswa menjawab atas dasar tebakan semata sedangkan CRI tinggi mencerminkan keyakinan dan kepastian konsep yang tinggi pada diri responden dalam menjawab butir soal.58 Namun, teknik CRI memiliki kelemahan yakni terletak pada pengkategorian siswa. Kelemahan tes pilihan ganda dengan teknik CRI terletak dalam pengkategorian peserta didik yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah dan besarnya faktor menebak siswa dalam menjawab soal.59 Hal ini ditandai dengan adanya siswa yang sebenarnya mampu menjawab dan memahami konsep-konsep yang terdapat pada soal, namun karena memiliki tingkat keyakinan yang rendah menuntunnya memilih skala CRI yang rendah, sehingga dikelompokkan dalam kategori tidak paham konsep (menebak). 60 Dengan memperhatikan kondisi ini maka kategori pemahaman yang disusun oleh Saleem dan Hasan dimodifikasi oleh Aliefman Hakim dengan menambahkan alasan terbuka pada tes pilihan ganda, sehingga siswa yang memahami konsep tetapi

55

Yuyu Tayubi, op. cit., h. 5. 56

Saleem Hasan, et al., ”Misconception and The Certainty of Response Index (CRI)”, Physics Education, 34, 5, 1999, p. 294.

57

Yuyu Tayubi, loc. cit. 58

Ibid. 59

Aliefman Hakim, et al., “Student Concept Understanding of Natural Products Chemistry

in Primary and Secondary Metabolies Using the Data Collecting Technique of Modified CRI”,

International Online Journal of Education Sciences, 4, 3, 2012, p. 546. 60

(43)

memilih CRI yang rendah masuk ke dalam kategori paham konsep tetapi kurang yakin.61 Artinya, Aliefman mencoba menambahkan pilihan ganda beralasan disamping untuk memodifikasi kategori siswa, juga memenuhi salah satu karakteristik tes diagnostik yakni menggunakan bentuk soal pilihan ganda beralasan.

4. Tinjauan Umum mengenai Konsep Fotosintesis dan Respirasi Tumbuhan

Konsep fotosintesis dan respirasi tumbuhan merupakan salah satu konsep dasar dalam biokimia, karena di dalamnya terdapat beberapa konsepsi-konsepsi biologis yang berkaitan dengan proses-proses kimiawi kehidupan. Konsep fotosintesis dan respirasi tumbuhan diajarkan pada siswa kelas XII (dua belas) IPA. Dalam kurikulum KTSP, konsep ini terletak pada Standar Kompetensi (SK) memahami sistem dalam kehidupan tumbuhan. Konsep juga termasuk Kompetensi Dasar (KD) 2.2 yaitu mendeskripsikan proses perolehan nutrisi dan transformasi energi pada tumbuhan.62

Terminologi fotosintesis berasal dari kata photon yang berarti cahaya dan synthesis yang berarti sintesis, sehingga fotosintesis diartikan sebagai peristiwa penyusunan zat organik dari zat anorganik dengan bantuan cahaya matahari.63 Sumber energi cahaya yang digunakan pada fotosintesis umumnya berasal dari cahaya matahari karena memiliki spektrum cahaya tampak yakni ungu dan merah.64 Fotosintesis dilakukan oleh tumbuhan, beberapa bakteri, dan protista tertentu.65 Dengan bantuan cahaya yang memiliki spektrum cahaya tampak, tumbuhan dapat menyusun molekul-molekul organik dari molekul-molekul-molekul-molekul anorganik. Proses fotosintesis dapat berlangsung kapan pun asalkan ada sumber cahaya tampak, di mana cahaya

61

Ibid., p. 548. 62

Lampiran 13, Silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). 63

Istamar Syamsuri, Biologi 3A, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 41. 64

Arif Priadi, Biologi 3, (Jakarta: Yudhistira, 2009), h. 34. 65

(44)

tersebut ditangkap oleh klorofil.66 Reaksi fotosintesis berlangsung pada organel sel yang disebut kloroplas.67

Respirasi merupakan suatu proses membebaskan energi melalui reaksi kimia dengan atau tidak menggunakan oksigen.68 Respirasi dilakukan oleh semua sel penyusun tubuh, baik sel-sel tumbuhan maupun sel hewan.69 Respirasi pada tumbuhan terjadi kapan saja jika oksigen di lingkungan berada pada kondisi yang optimal.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk dapat mengidentifikasi miskonsepsi siswa dalam konsep-konsep sains termasuk biologi. Salah satunya yaitu penelitian yang berjudul “Diagnosing secondary student’s misconceptions of photosynthesis and respiration in plants using a two-tier multiple choice instrument” yang dilakukan oleh Treagust dan Haslam, menyebutkan bahwa miskonsepsi masih terjadi terutama pada subkonsep hubungan antara fotosintesis dan respirasi tanaman, dengan presentase di atas 10.70

Penelitian yang berjudul “Misconceptions as Barrier to Understanding Biology” yang dilakukan oleh Ceren Tekkaya, menyebutkan bahwa penting untuk dilakukan identifikasi pada kemungkinan terjadinya miskonsepsi siswa terhadap suatu materi khususnya dalam materi konsep-konsep biologi. Siswa yang mengalami miskonsepsi selain akan mengalami kesalahan akan pemahaman suatu materi, jika tidak mendapat penjelasan dan pemahaman yang bersifat korektif, maka miskonsepsi tersebut akan terus terbawa dan tertanam hingga siswa dewasa nanti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat konsep-konsep yang terdapat miskonsepsi siswa dalam

66

Istamar Syamsuri, loc. cit. 67

Ibid. 68

Arif Priadi, op. cit., h. 28. 69

Istamar Syamsuri, op. cit., h. 31. 70

(45)

pemahamannya, diantaranya yaitu konsep tentang sel, fotosintesis, ekologi, genetika, klasifikasi, pernafasan, dan sirkulasi darah.71

Penelitian selanjutnya mengenai miskonsepsi dilakukan oleh Sacit Köse dengan judul, ”Diagnosing Student Misconceptions: Using Drawings as a Research Method”. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dari 156 mahasiswa dengan umur 20-25 tahun dan wawancara terhadap 15 mahasiswa, beberapa miskonsepsi telah ditemukan antara lain mengenai : hubungan antara fotosintesis dengan respirasi pada tumbuhan dan makanan dan nutrisi pada tumbuhan. Penelitian ini menggunakan teknik analisis gambar dan wawancara.72

Kemudian, Fatma EKICI, Erhan EKICI, dan Fatih AYDIN juga melakukan penelitian yang berkenaan dengan miskonsepsi. Penelitian mereka berjudul “Utility of Concept Cartoons in Diagnosing and Overcoming Misconceptions Related to Photosynthesis”. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kartun konsep fotosintesis dapat digunakan untuk mengeliminasi dan mengidentifikasi miskonsepsi. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tes Diagnostik dengan menggunakan Kartun.73

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Hulusi COKADAR yang berjudul “Photosynthesis and Respiration Processes : Prospective Teachers’ Conception Level”. Penelitian Hulusi COKADAR ingin mengungkapkan konsepsi yang dimiliki oleh calon guru sekolah dasar dan tingkat menengah mengenai konsep fotosintesis dan respirasi. Metode penelitian yang ia gunakan adalah metode survey dengan 152 responden yang terdiri atas 90 mahasiswa calon guru sekolah dasar dan 62 mahasiswa calon guru tingkat menengah. Instrumen yang digunakan berupa tes esai terbuka (open-ended question). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari 90 mahasiswa calon guru sekolah dasar, 42% dan 29% memahami konsep/definisi fotosintesis dan

71

Ceren Tekkaya, op. cit., p. 259.

72 Sacit Köse, “Diagnosing Student Misconceptions: Using Drawings as a Research

Method”, World Applied Sciences Journal, 2, 2008, p. 283 73

Fatma EKICI, et al., ”Utility of Concept Cartoons in Diagnosing and Overcoming

(46)

respirasi dengan baik. Sedangkan dari 62 mahasiswa calon guru tingkat menengah, 5% dan 2% memahami konsep fotosintesis dan respirasi dengan baik. Menurutnya, penyebab miskonsepsi tersebut dimungkinkan berdasarkan literasi sains, sehingga perlu adanya diskusi lebih lanjut terkait hal ini.74

Penelitian lain yang berkaitan dengan miskonsepsi dilakukan oleh Ita Viana Dwi, Yuni Sri Rahayu, dan Erman. Penelitian mereka berjudul Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk Mengatasi Miskonsepsi Siswa SMP pada Materi Fotosintesis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa persentase miskonsepsi siswa terbesar ialah 59% pada konsep yang menyatakan bahwa malam hari tumbuhan melakukan respirasi dan menghasilkan CO2.

C. Kerangka Berpikir

Manusia memiliki naluri atau kemampuan alami untuk dapat menerjemahkan fenomena-fenomena atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar. Kemampuan alamiah ini sangat bermanfaat bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Hal ini sejalan dengan pandangan seorang filsuf perancis yakni Rene Des Cartes dengan filsafatnya yang terkenal yaitu cogito er gosum yang memiliki arti aku berpikir maka aku ada. Dengan adanya filsafat ini, manusia terus menerus mencari konsepsi-konsepsi yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Hal ini yang menyebabkan seorang manusia mengalami pengalaman pembelajaran.

Siswa atau peserta didik merupakan manusia yang mengalami banyak pengalaman belajar. Melalui pengalaman belajar inilah siswa dapat memperoleh pengetahuan baru yang bermanfaat untuk dirinya. Dalam membentuk pengetahuannya, siswa dihadapkan oleh dua cara yakni formasi konsep dan asimilasi konsep. Pada formasi konsep, siswa secara naluri akan memperoleh pengetahuan berdasarkan lingkungan konkretnya ke dalam struktur kognitif yang ia miliki. Hasil dari formasi konsep yang telah

74

Hulusi ÇOKADAR, ” Photosynthesis and Respiration Processes : Prospective Teachers’

(47)

dilakukan siswa berdasarkan pengalaman konkretnya ini disebut prakonsepsi atau konsepsi awal. Prakonsepsi yang dimiliki oleh siswa sebelum memasuki pembelajaran formal di sekolah bermacam-macam. Hal ini dikarenakan adanya latar belakang dan kemampuan yang berbeda-beda dari masing-masing siswa dalam memformasi konsep.

Siswa yang mengalami pembelajaran yang menstilmulasi ia agar mampu mengaitkan prakonsepsi yang dimiliki dengan definisi formal yang diajarkan, maka sesungguhnya siswa telah mengalami asimilasi konsep. Pada dasarnya siswa memiliki kemampuan alami dalam menghubungkan setiap makna secara definisi dengan struktur kognitif yang telah dibentuk. Namun, terkadang asimilasi yang dilakukan oleh siswa ada yang berhasil dan ada yang belum berhasil atau gagal. Hal ini berkaitan dengan perkembangan kognitif dan tata bahasa. Proses berfikir dan pemahaman seseorang atau beberapa orang terhadap suatu konsep juga banyak dipengaruhi oleh pengalaman dan kemampuan kognitif dasar yang dimiliki. Pada tahap penafsiran atau pemahaman tersebutlah, seseorang berpotensi mengalami konsepsi yang salah atau tidak sesuai dengan konsep yang diakui oleh para ahli. Hal inilah yang disebut dengan miskonsepsi.

Miskonsepsi dapat melekat pada diri seorang siswa sehingga dapat menyesatkan pemahaman siswa dalam memahami fenomena alamiah maupun saat eksplanasi ilmiah. Hal ini tentu akan berdampak negatif terhadap kelangsungan pembentukan pengetahuan bagi siswa selanjutnya. Oleh sebab itulah, perlu dilakukan usaha identifikasi miskonsepsi atau diagnosis tingkat pemahaman siswa sehingga dapat diketahui bagian konsep/subkonsep materi yang salah dalam pemahaman siswa.

(48)

Respirasi Tumbuhan hijau membahas bagaimana tumbuhan melakukan pertukaran gas.

Tes dalam pendidikan adalah suatu cara pengukuran dan penilaian yang dapat dijadikan suatu instrumen pengumpulan data mengenai pengetahuan siswa ataupun keberhasilan suatu program pengajaran yang bentuknya dapat berupa pertanyaan atau penugasan yang dapat dinilai dan diukur dengan menggunakan standar penilaian tertentu. Tes diagnostik merupakan suatu jenis tes yang dilakukan untuk mengetahui kesulitan dan masalah siswa dalam memahami suatu konsep yang butir soal tesnya harus dapat mengungkapkan kesulitan dan masalah siswa, sehingga guru dapat mengetahui cara untuk menindaklanjuti dan mengatasi masalah atau kesulitan belajar siswa tersebut.

(49)

Formasi Konsep

Konsepsi Awal Siswa

Pembelajaran Formal

Siswa berhasil melakukan asimilasi Siswa gagal

melakukan Asimilasi

Tes Diagnostik/Identifikasi Tingkat Pemahaman Siswa

Menggunakan CRI

Siswa Paham Konsep dengan baik

Siswa Paham Konsep Tetapi Kurang Yakin

Siswa Miskonsepsi

Siswa Tidak Tahu Konsep

(50)

37 A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada semester genap yaitu pada bulan Februari 2014, tahun ajaran 2013/2014. Lokasi penelitian yang dilakukan yaitu bertempat di beberapa Sekolah Menengah Atas se-Kota Tangerang Selatan, Banten.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survey karena ingin memperoleh gambaran umum mengenai miskonsepsi yang terjadi pada siswa SMAN se-Kota Tangerang Selatan. Metode penelitian survey digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi mengenai populasi yang besar dengan menggunakan sampel. Ada tiga karakteristik utama survey yaitu (1) informasi yang dikumpulkan mendeskripsikan beberapa aspek antara lain kemampuan, sikap, kepercayaan, pengetahuan dari populasi, (2) informasi yang dikumpulkan melalui pengajuan pertanyaan, (3) informasi diperoleh dari sampel dan bukan dari populasi.1

Dalam pengumpulan data, peneliti mengumpulkan informasi mengenai miskonsepsi siswa pada konsep fotosintesis dan respirasi tumbuhan yang dideskripsikan dengan cara menganalisis kesesuaian data hasil jawaban siswa dengan konsep yang sesungguhnya. Penelitian ini menggunakan instrumen berupa soal tes pilihan ganda beralasan terbuka disertai kolom CRI. Alur penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 3.1.

1

(51)

Gambar 3.1. Alur Penelitian Penyusunan dan

Justifikasi Instrumen Soal

Identifikasi Miskonsepsi terhadap Siswa

Pengolahan Data Hasil Penelitian

Analisis Data Kelompok Miskonsepsi

Gambar

Tabel
Gambar
Tabel 2.1. Perbandingan Tes Diagnostik, Tes Formatif, dan Tes Sumatif
Gambar 2.1. Bagan Kerangka Pikir
+7

Referensi

Dokumen terkait

Umumnya konsep dengan cara ini di pelajari secara non formal. Misalnya, anak mempempelajari konsep “mobil” dengan mendengarkan kendaraan tertentu yang disebut

Langkah-lang- kahnya adalah: (1) Mencari rata-rata CRI jawaban benar dan jawaban salah dari setiap konsep yang diujikan; (2) Menentukan fraksi mahasiswa yang menjawab benar atau

Jumlah responden yang paham konsep dan miskonsepsi sebanyak41,82% orang, untuk yang paham konsep mereka menjawab F herman < F gesek dengan alasan hal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa lebih paham konsep pada konsep soal 8 mengenai prinsip kerja pompa hidrolik dengan presentase 50%, sedangkan siswa kurang paham konsep

Berdasarkan tabel 3 dan gambar 1, dapat dilihat bahwa persentase tertinggi siswa yang tahu konsep pada soal nomer 14 pada sub konsep cahaya dapat dibiaskan yaitu

Bentuk miskonsepsi yang dialami yaitu siswa menganggap bahwa pH yang tidak berubah secara signifikan dalam larutan penyangga yang terbentuk dari campuran H 2 PO 4 -

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase mahasiswa yang mengalami miskonsepsi, tahu konsep, dan tidak tahu konsep pada pembelajaran konsep

beberapa uraian tersebut maka peneliti perlu melakukan suatu penelitian yang bersifat evaluatif dalam proses belajar mengajar dengan mengidentifikasi miskonsepsi