• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebutuhan energi dan protein domba induk pada fase akhir kebuntingan dan laktasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebutuhan energi dan protein domba induk pada fase akhir kebuntingan dan laktasi"

Copied!
372
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)
(132)
(133)
(134)
(135)
(136)
(137)
(138)
(139)
(140)
(141)
(142)
(143)
(144)
(145)
(146)
(147)
(148)
(149)
(150)
(151)
(152)
(153)
(154)
(155)
(156)
(157)
(158)
(159)
(160)
(161)
(162)
(163)
(164)
(165)
(166)
(167)
(168)
(169)
(170)
(171)
(172)
(173)
(174)
(175)
(176)
(177)
(178)
(179)
(180)
(181)
(182)
(183)
(184)
(185)
(186)
(187)
(188)
(189)
(190)
(191)
(192)

KF,BUTUHAN ENERGI

DAN

PROTEIN

DOMBA INDUK PADA

FASE

AKHIR

ICEBUNTINGAN DAN

LAKTASI

DISERTASI

PROGRAM P W A S W A N A

INSTlTUT

PERTANIAN

BOGOR

BOGOR

(193)

Energy and Crude Protein Requirements of Ewes During Late

Pregnancy and Lactation

A B S T R A C T

Thuty-six Javanese thin-tail

ewes

were caged individually and

allotted randomly to a 3

x

3

factorial arrangement of dietary

treatments,

consisting of three levels of crude protein (1 5,18 and 2 1

%

on

DM

basis)

and

three

levels

of metabolable

energy

(

10,11.7

and 13.4

MJ/kgDM),

with four

replicates.

Dry

and

organic

matter intakes

( g ~ k g B ~ ' ~ )

dunng

late

pregnancy,

as

well

as

during

lactation, were not significauly different

between

treatments.

It

was

also found that the apparent digestibility of the

nutrients

were

unaffected

by the dietary

treatments.

Increasing both

dietary

protein and

energy

level ,

however, significantly

(P

<

0.05)

increased

nitrogen

retention

and metabolizable

energy

intake.

A significant

linear

relationship

(P

<

0.01)

was

found

between

nitrogen intake and

nitrogen

retention. Based

on

the

data

obtained, that

the metabolize

energy

requirement of pregnant and

lactation

ewes

can

be described

by the equation;

E M 0

=

-

40.63

+

0.35 BWms(kg)

-

4.63

ADG (kg)

+

9.61 Log EMICP

(194)

I-Wayan Mathius Kebutuhan Energi dan Protein Domba Induk pada

Fase Akhir Kebuntingan d m Laktasi" (dibawah bimbingan Prof. Dr. D.

Sastradipradja, sebagai ketua, Prof. Dr. Toha Sutardi, Dr. Hj. L. Amalia Sofyan,

Prof. Dr. Asikin Natasasmita dan Prof. Dr. D.T.H. Sihombing, masing-masing

sebagai anggota)

Pertambahan penduduk yang meningkat, menuntut ketersediaan dagmg

yang meningkat pula Salah satu upaya pengadam daging ysng dapat dilakukan

sdalah dengan peningkatan produksi ternak. Pada tahun 1994, sumbangan temak

domba

tertrsdap

pengadaan daging Nasional oukup rendah ( 2.9 % dari pengadaan

daging total). Disisi lain domba memiliki kemampuan

untuk

dapat

berkembangbiak dan tumbuh dengan cepat dan relatif mudah dalam

pemehraannya. Salah satu potensi genetik yang hingga kini menciapat

perhatian agar laju produksi dapat menhgkat adalah domba ekor tipis Indonesia

dapat

beranak lebih

dari satu

&or.

perkelahiran dan dapat beranak tiga h l i dalam

kurun walctu dua tahun. Namun demikian

untuk

dapat melahirkan d kernbar

dengan bobot lahir

dan

daya hidup yang tinggi, masih merupakan permasalahan

tersendiri. Hal ini dibuktdcan dengan tingginya tingkat kematian domba anak

(195)

lahir dan produksi susu yang rendah sebagai akibat domba induk tidak mendapat

nutrien yang oukup untuk berproduksi, terutama pada fase

akhu

kebuntingan

dan

fase laktasi.

Penelitian ini bertujuan mempelajari kebutuhan dasar energi dan protein

kasar domba induk ekor tipis Indonesia yang sedang bunting tua dan laktasi.

Diharapkan dengm mengetahui kebutuhan dasar tersebut, penyusunan mategi

pemberian pakan pada domba betina yang sedang bexprodubi dapat dilakukan

Penelitian, dilaksanakan di Kandang Petcobam dan Laboratorium Balai

Penelitian Ternak (Balitnak), lokapi Bogor. Tiga puluh enam ekor domba dengan

umur kebuntingan 12 minggu diaoak untuk mendapatkan salah satu dari sembilan

pakan percobam yang telah dipersiapkan, dengan pola faktorial3 X 3. Pakan

percobaan menrpakan kombinasi dari tiga tingkat kadar kandungan energi (E) dan

tiga tingkat kandungan protein kasat (P). Kadar energi tersebut adalah 10 MJ,

11,7 MJ dan 13,4 MJ/kg bahan kering; -an kadat protein kasar pakan

p e m b m adalah 1 5,18

dan

21 % dari bahan kering. Frekwnsi pemberian pakan

dilakukan

&yak

empat kali per hari (hanya pada siang hari) dengan interval

pemberian 3 jam sekali. Parameter yang diukur adalah jumlah penggunaan

nutrien

dan

pmampilan produksi serta rgwoduksi tern& Penggumm nutrien

yang diukur adalah konsumsi nutrien, keoernaan nutria dengan metode koleksi

(196)

lahir (ekor dan total), pembahan bobot hidup induk dan anak.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa:

1.

Fase

Bunting Tua.

Rataan jumlah konsumsi bahan kering (BK) per ekor ti& menunjukkan

perbedaan yang nyata ( P > 0.05), baik untuk tingkat konsumsi per ekor domba

maupun pada tingkat berat hidup (BH) metabolis, dengan rataan konmrmsi BK

( g / k g ~ p 3 adalah 74.5. Rataan konsumsi protein kasar

(PK)

dipengaruhie <

0.01) oleh tinglcat protein pakan percobaan. Dibandingkan denga yang pernah

dilaporkan, rataan konsumsi baik untuk BK dan PK yang diperoleh pada

penelitian ini telah melebihi kebutuhan baku domba bunting dengan bobot

hidup

(BH)

yang sama sebagai yang dilaporkan Ross (1989). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering (g/kgBp7q pads penelitian ini

d i p e n g d ( P < 0.05) oleh kandungan energi palcan percobaan, dan mengikuti

penamaan Y = 45.19

+

60.7EM dengan tingkat keeratan 0.64 (P < 0.01).

Tingkat konmnsi(g/kg BQ0.'3 komponen serat kasar, baik serat detergent

netral( NDF) maupun serat detergent asam ( ADF) dipemgaruhi secara nyata (P

< 0.01) oleh tingkat energi pakan percobam

.

Kisaran NDF yang dapat

dikonsumsi ( P < .05) adalah 26 1.85 g pada pakan petcobam dengan kadar

protein 18 % dan energi 13.4 MJkg BK sampai 5 17.9 g pada palcan percobaan

(197)

sampai dengan 44 % dari BK. Jumlah tersebut lebih rendah dari ambang yang

membatasi tingkat kemampuan domba untuk mengkonsumsi bahan kering harian.

Tidak dipexoleh hubungan antara konsumsi BK dan kadar

NDF

pakan pada pemgamatan ini.

Secara keseluruhan, tingkat kecemaan (%) nutrien tidak dipengaruhi

oleh pakan percobaan, meskipun ada kecendenmgan terjadinya peningkatan,

dengan rataan masing-masing 55% 69%

dan

68% untuk BK, PK dan energi

seoara be- Perbedaan tersebut terutama dipengaruhi oleh tingkat energi

p a h (P < 0.01). Tingkat kecemaan BK tertinggi terjadi pada pakan perlakuan

dengan tingkat kandungan protein dan energi sebesar 18 %

dan

13.4 MJ/kg, dan

terendah terlihat pada perlakuan pakan dengan tingkat kandungan protein kssar

dan energi 21 % BK dan 13.4 MJkg BK. Dari

data

yang diperoleh terlihat

adanya hubungan antara kemampuan temak untuk mencerna BK dengan

kandungan ADF pakan. Hubungan tersebut menghti pemmam Y = 585.24

-

2.767

X;

r = 0.52 dengan tingkat keeratan hubungan persamaan sangat

nyata(P < 0.01).

Kisaran protein kasar yang dapat dicerna (PKDD) adalah 108.18 g sampai

164.21 g/ekorhari atau setam dengan 1 1.9 g sampai 15.80 g/ kgBBO.". Makin

tinggi kadar protein kasar pakan maka semakin tinggi pula tingkat protein kasar

(198)

0.752 X; r = 0.95

(P

< 0.001).

Ketersediaan energi yang dapat dicerna (ET) menunjukkan perbedaan

yang sangat nyata (P < 0.01) sebagai akibat tingkat kandungan energi pakan,

dengan rataan energi tercema sebesar 8.84 MJ/ekor /hari. Dengan asumsi energi

methan (EMt) wtara dengan 8 % dari energi yang dikonsumsi maka rataan

energi metabolis (EM) yang berhasil dikonsumsi adalah 7.37 MJ/hari. Jumlah

tersebut lebih rendah 0.84

MJ

unit jika dibandingkan dengan yang pernah

dilaporkan. Dengan perkataan lain EM yang berhasil dikonsumsi hanya

memberikan 90 % dari yang dibutuhkan domba bunting. Hubungan antara

energi yang dikonsumsi (EK) dan EM, dapat digambarkan dengan persamaan

garis Y =

-

65.13

+

0.61 X ; ( r = 0.94; P < 0.01 ). Pada penelitian ini

diperoleh infmmasi bahwa rataan kadar asamp hidroksi butirat

p-OHB)

darah

domba adalah 0.54 mMoYd1. Niai tersebut menunjukkan bahwa ternak

penelitian cukup mendapat pasolcan energi dari pakan. Huburrgan sangat nyata

(P 4 0.01) terjadi antara

ksdar

asam a-hidroxibutirat plasma d a d (mMoVdl)

dengan

EM

(MJ/ekor) mengikuti persamaan Y = 0.7494

-

0.016037

X;

dengan

tingkat keeratan hubungan r = 0.43 (P < 0.05).

Perbedaan jumlah nitrogen yang dikoflsumsi dengan yang dikeIuarkan dari

tubuh bersarna fcses dm urin merupakan gambaran tingkat nitrogen yang dapat

(199)

Perlakuan pakan mernberikan gambaran yang positif dengan meningkatnya kadar

protein kasar dalarn pakan Hubungan antara nitrogen yang dikonsumsi dengan

nitrogen yang tertinggal mengkuti persamaan

Y

=

-

0.37

+

0.55

X;

r = 0.87

( P < 0.01). Dari persamaan tersebut diketahui bahwa kebutuhan nitrogen untuk

hidup pokok domba bunting adalah 0.67g/kgBH!"' dan jumlah tersebut lebih

banyak 0.14 unit jika dibandingkan dengan yang dilaporkan terdahulu Dengan

perkataan lain untuk mememuhi kebutuhan hidup pokok domba bunting dengan

BH 35 kg membutuhkan nitrogen sejumlah 9.6 g atau setara dengan 60.3 g

PWekor.

Retensi energi pada umumnya dinyatakan dengan tingkat produksi temak

yang bersangkutan, misainya pertambahan bobot hidup harian (PBHH). Rataan

PBHH, yakni 176 g tidak dipengaruhi oleh kadar protein dan energi pakan.

Hubungan antara tingkat retensi energi (PBHH, glekor) dengan energi metabolis

(EM, KJIekor) mengrkuti persamaan Y = 83 1 5.497

-

120.26 X dengan tingkat

hubungan r = 0.84 (P < 0.01). Bila p a m a a n temebut diekstrapolasi

sehingga PBHH sama dengan 0 g maka EM yang diperoleh adalah 69.15 KJ. Dengan mempergunakan persamaan energi terretensi (ER) sama dengan selisih

energi metabolis (EM) dengan pr&i panas (PP) maka produksi panas harian

h b a bunting adalah 69.15 KJ/hari. Bila rataan EM yang diionsumsi d ' i a n g i

(200)

setara dengan 176 g PBHH. Data tersebut memberi gambaran untuk setiap g

PBBH membutuhkan 41.48 KJ EM. Nilai tersebut lebih rendah dari yang pernah

dilaporkan Rattray, et al. (1 974), yakni 43.58 KJ E M Dari peubah yang diamati

diperoleh bahwa kebutuhan domba ekor tipis akan protein kasar mengikuti

pemmaan, PK(kg) = 1.03

+

0.0083 BH"" (kg)

+

0.0997 PBHH (kg)

-

0.204 log

EM/PK (KJ/kg); r = 0.65(P < 0.01); sedangkan kebutuhan energi menghti

persamaan EM(MJ) =

-

40.63

+

0.3 5 BH O*'s (kg)

-

4.63 PBHH (kg)

+

9.61 log

EMBK (KJkg), r = 0.62( P < 0.01). Dari kedua persamaan pendugaan

kebutuhan PK dan EM diketahui bahwa domba ekor tipis Indonesia yang sedang

bunting membutuhkan 1.2 sampai 1.35 kali lebih banyak jika dibandingkan

dengan yang disarankan NRC (1985).

2. Fase Laktasi.

Dari data yang diperoleh terlihat bahwa konsumsi bahan kering

(g/kgBP73 mempunyai hubungan (P < 0.05) dengan konsumsi NDF

(g/kgBH"73dan mengikuti persmaan Y = 75.93

+

0.263 X; r = 0.63 ( P< 0.05).

Konsumsi harian protein kasar sangat nyata (P < 0.01) dipengaruhi oleh kadar

protein pakan percob- Lebih jauh tealhat bahwa ketersediaan protein kasar untuk dapat diserap sangat nyata (P < 0.01) dipengaruhi oleh kadsr protein kasar

pakan percobaan. Tedihat bahwa semakin tinggi kadar protein kasar yang

Gambar

Tabel T e k s
Tabel 3. Komposisi Ingredien dan Nutrien Ransum Perlakuan.
Gambar 2. Pola perubahan bobot hidup (kg) dan konsumsi BK (kg) pada
Tabel 6. Pengaruh umur bunting terhadap koefisien cerna semu (%) nutrien
+7

Referensi

Dokumen terkait

Empat puluh ekor 60 tikus ( Rattus norvegicus ) bunting dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan yaitu K (tidak diberi fitoestrogen, sebagai kontrol), AW (diberi ekstraktempe dengan

Produksi susu induk berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan bobot badan, bobot sapih dan daya hidup anak domba ekor tipis Jawa periode lahir sampai sapih

Berdasarkan hasil analisis korelasi diatas dapat disimpulkan bahwa pada domba kelompok I0 baik domba ekor gemuk maupun domba ekor tipis, lingkar dada mempunyai keeratan yang

Produksi susu induk berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan bobot badan, bobot sapih dan daya hidup anak domba ekor tipis Jawa periode lahir sampai sapih

Pemberian kromium (Cr) pada tingkat yang berbeda dalam pakan tambahan komersial selama fase bunting tua tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P&gt;0,05), baik pada

Produksi susu induk berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan bobot badan, bobot sapih dan daya hidup anak domba ekor tipis Jawa periode lahir sampai sapih

Produktivitas induk domba ekor tipis dapat diketahui melalui total berat lahir, total berat sapih, litter size serta daya hidup anak sampai dengan disapih serta lambing interval..

Peubah yang diamati meliputi profil kuda estimasi bobot badan, jenis kuda, kondisi fisiologis bunting atau laktasi, pemberian pakan jenis pakan yang diberikan, jumlah pakan dan