• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN MINERAL KROMIUM DALAM RANSUM UNTUK INDUK DOMBA BUNTING DAN LAKTASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN MINERAL KROMIUM DALAM RANSUM UNTUK INDUK DOMBA BUNTING DAN LAKTASI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN MINERAL KROMIUM DALAM RANSUM

UNTUK INDUK DOMBA BUNTING DAN LAKTASI

(Utilization of Organic Chromium in The Diet for Pregnant and Lactating

Local Ewes)

I-W. MATHIUS, D. YULISTIANI, W. PUASTUTI danM. MARTAWIDJAYA Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

An adequate supply of dietary chromium to ewes is necessary in order to optimize animal performance. This experiment was intended to study three different levels of organic-chromium in the diet on the performance of late pregnancy and lactating ewes. Twenty-four local pregnant ewes are penned individually, which allowed for separate given of forages and concentrate. Water is made available at all times. In order to maintain nutrient requirements, all ewes are fed ad lib of fresh chopped king grass and commercial concentrate having 18% of crude protein, as much as 2% of body weight. Since the beginning of late pregnancy till 12 weeks of lactating period, ewes are allocated to three dietary treatment groups of concentrate containing different amount of chromium. The three concentrate treatments are (R1) additional 0 ppm Cr-organic (control), (R2) additional 2 ppm and (R3) additional 4 ppm Cr-organic. Data are analyzed by analysis of variance (ANOVA) using GLM procedures of SAS with a model appropriate for a randomized complete design. Feed intake on the basis of dry matter during pregnancy period was not significantly different as well as during lactation. Total feed intake (dry matter intake) during lactating phase was not affected by dietary chromium, averaging 1142 g/head/day. Individual mean birth weight was 2,7 kg for control group and 2,3 kg for group fed diet containning 4 ppm organic-chromium. There was not significant (P>0.05) effect of dietary chromium on lamb birth weight. However, when expressed as ewes, lamb birth weight was 3,7 kg for ewes fed control diet and 4,3 kg for ewes fed diet containt 4 ppm organic chromium (P<0.05). From birth to 12 week of age there was not significant difference (P>0.05) in lamb growth rate. It is clear that feeding diet containing chromium is not suitable for pregnant and lactating ewes.

Key Words: Cromium-Organic, Ewes, Pregnant, Lactating

ABSTRAK

Pasokan nutrient kromium yang cukup untuk domba induk sangat dibutuhkan agar dapat menunjukkan penampilan yang optimal. Penelitian ini mempelajari manfaat chromium daalm pakan untuk domba induk yang sedang bunting tua dan laktasi. Dua puluh empat domba induk bunting tua dikandangkan dan dilengkapi dengan palaka. Air tersedia secara bebas setiap saat. Ransum disusun sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan domba. Sejak bunting tua hingga umur dua belas minggu setelah beranak, ternak diberi pakan imbuhan berupa tambahan kromium pada tiga tingkat penambahan, yakni 0 ppm, sebagai control (R1), penambahan 2 ppm (R2) dan penambahan Cr sejumlah 4 ppm (R3). Perolehan data diolah dengan prosedur GLM dengan paket SAS dengan model yang sesuai dengan rancangan acak lengkap. Konsumsi ransum yang didasari pada bahan kering selama phase bunting tua dan phase laktasi tidak menunjukkan perbedaan. Total konsumsi bahan kering selama phase laktasi tidak dipengaruhi oleh tingkat imbuhan mineral kromium, dengan rataan konsumsi bahan kering sejumlah 1142 g/ekorkor/hari. Rataan bobot lahir individu adalah 2,7 kg untuk domba induk yang mendapat ransum kontrol dan 2,3 kg untuk kelompok yang mendapat imbuhan kromium sejumlah 4 ppm. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan terhadap bobot lahir individu. Akan tetapi bila diekspresikan dalam bobot lahir per domba induk maka pada kelompok yang mendapat ransum kontrol memiliki bobot lahir seberat 3,7 kg, sedangkan yang mendapat imbuhan mineral kromium sejumlah 4 ppm memiliki bobot lahir seberat 4,3 kg (P<0,5). Dari lahir hingga berumur 12 minggu, tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap laju pertumbuhan anak. Dapat disimpulkan bahwa pemberian mineral kromium tidak memberikan pengaruh nyata pada induk domba bunting dan laktasi.

(2)

PENDAHULUAN

Ternak dengan tingkat produksi tinggi (bunting tua dan/laktasi), sering mengalami cekaman sebagai akibat perubahan fisiologis (GOFF dan HORST, 1997) ataupun cekaman lingkungan. Pada kondisi di mana ternak mengalami cekaman, konsentrasi hormon kortisol akan dikeluarkan dan bersifat antagonis dengan hormon insulin yang diketahui memainkan peran yang cukup penting dalam penyerapan nutrien seperti glukose. Diketahui pula Cr merupakan ingredien aktif substrat

GTF (glucose tolerance faktor) dan

berpengaruh terhadap meningkatnya penyerapan glukosa (Savoini, dikutip oleh MORDETI et al., 1997). Konsekuensinya, akan mengganggu laju penyerapan nutrien, menurunkan tingkat efisiensi penggunaan ransum sekaligus penampilan ternak menjadi tidak optimal. ANDERSON (1994) melaporkan bahwa kebutuhan Cr meningkat pada kondisi ternak mengalami cekaman, termasuk bunting tua dan laktasi. YANGet al. (1996), melaporkan suplementasi Cr-organik pada pakan sapi induk yang baru pertama kali beranak dapat meningkatkan produksi susu 13%. Hal ini disebabkan karena induk yang baru pertama kali beranak lebih mengalami cekaman secara nutrisi dan fisiologi ataupun psikoekologi untuk beradaptasi dengan fenomena baru berupa kebuntingan dan laktasi serta beradaptasi dengan lingkungan yang baru terutama apabila induk-induk tersebut ditempatkan dalam suatu kelompok ternak. Tulisan ini akan melaporkan hasil studi yang mempelajari manfaat mineral Kromium (Cr) organik dalam ransum domba induk bunting tua dan laktasi.

MATERI DAN METODE

Studi ini terdiri dari dua sub kegiatan, yakni preparasi kromium organik dan uji invivo.

Kromium (Cr) organik disintesis dari CrCl3 dengan cara fermentasi menggunakan inokulan

Saccharomyses sp dan substrat tepung beras. Selanjutnya preparasi mineral kromium di lakukan sebagai yang diuraikan oleh YULISTIANIet al. (2002).

Pada uji biologis, pemberian Cr-organik ini disuplementasikan pada pakan konsentrat

dengan kandungan protein kasar sejumlah 18% tertera pada Tabel 1. Materi percobaan menggunakan domba induk fase bunting tua yang dilanjuti hingga fase laktasi, sebanyak 24 ekor. Domba diberi pakan dasar cacahan rumput raja segar, dan pakan tambahan komersial sebanyak 2% dari bobot hidup. Pakan tambahan komersial mengandung kadar protein kasar sejumlah 18% dan TDN 70%. Domba diacak untuk mendapatkan salah satu dari pakan perlakuan imbuhan mineral Cr-organik. Perlakuan percobaan selengkapnya sebagai berikut:

R0 = Rumput + Konsentrat + Saccharomyces + 0 ppm Cr-Organik

R1 = Rumput + Konsentrat + 2 ppm Cr Organik R2 = Rumput + Konsentrat + 4 ppm Cr Organik Peubah yang diamati adalah konsumsi pakan, bobot lahir anak, bobot sapih anak dan pertambahan bobot hidup anak pra-sapih, mortalitas anak pra-sapih dan perubahan bobot hidup induk selama periode laktasi. Penampilan ternak dilakukan dengan menimbang ternak pada pagi hari sebelum ternak diberi pakan dengan frekuensi penimbangan 1 kali untuk setiap dua minggu. Pengamatan jumlah konsumsi dilakukan setiap hari dengan cara mengetahui selisih jumlah pemberian dan sisa pakan. Sementara itu, untuk mengetahui tingkat kemampuan ternak mencerna nutrien yang dikonsumsi dilakukan pada minggu terakhir penelitian, dengan cara menimbang jumlah pemberian dan sisa pakan serta jumlah feses setiap harinya. Contoh bahan (pemberian hijauan, sisa hijauan, konsentrat dan feses) ditimbang dan selanjutnya untuk kepentingan analisis, ditetapkan sub-contoh sebanyak 10% dari jumlah koleksi setiap harinya. Sub contoh selama periode pengamatan disatukan dalam satu kantong plastik dan secara komposit ditetapkan 10% untuk kepentingan analisis. Contoh yang telah kering dihaluskan dengan alat penghalus dan melewati saringan yang berukuran 0,8 mm. Analisa bahan kering (DM) contoh dilakukan dengan cara mengeringkan contoh dalam oven dengan suhu 105°C selama 12–48 jam/bobot contoh konstan. Sementara itu, analisa protein/nitrogen (PK) dilakukan menurut metoda makro-Kjeldhal (AOAC, 1984). Produksi NH3 ditentukan dengan

(3)

metode mikrodifusi Conway, produksi VFA total, dilakukan dengan teknik penyulingan uap (DEPT. DAIRY SCI., 1966), sedangkan kecernaan serta retensi N dilakukan dengan metoda koleksi total.

Pola rancangan yang digunakan adalah acak lengkap dengan model matematisnya adalah:

Y = µ + βj + εjk Y : nilai pengamatan µ : nilai rataan

βj : pengaruh tingkat substitusi εjk : galat baku

Sumber: PETERSEN (1985)

Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan menggunakan paket SAS (1987)

Tabel 1. Komposisi nutrien hijauan raja dan pakan tambahan penelitian

Pakan Komposisi nutrien Rumput/

hijauan Pakan tambahan Bahan kering (%) Protein kasar (%BK) SDN (%BK) SDA (%BK) Energi(kal/g) 16,49 10,91 66,35 40,86 9,42 90,81 18,31 33,69 14,72 14,63

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari dua puluh empat ekor ternak yang diamati, diketahui seekor ternak tidak bunting sehingga jumlah ulangan yang dipergunakan pada penelitian ini tidak sama. Hal tersebut boleh jadi disebabkan kelemahan petugas untuk menentukan apakah seekor ternak positif bunting atau tidak. Penentuan seekor ternak bunting atau tidak didasarkan pada pengalaman para petugas kandang. Ternak dengan tanda-tanda seperti perut membesar, bentuk perut tidak simetris bila dilihat dari belakang dan ambing membesar/bengkak merupakan indikator awal diketahuinya ternak dalam kondisi bunting. Hal tersebut dapat ditentukan

apabila ternak telah bunting selama tiga bulan pertama.

Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan bahwa, pemberian cacahan rumput raja segar secara bebas dan pakan tambahan komersial tertera pada Tabel 2 sejumlah 2% dari bobot hidup (BH) per ekor per hari, selama bunting tua memberikan nilai rataaan konsumsi bahan (BK), protein kasar (PK), energi (E) dan serat (serat deterjen asam/SDA dan serat deterjen netral/SDN) berturut-turut adalah 1022,6 g/ekor; 160 g/ekorkor; 13,0541 MJ/e; 463,6 g/ekor dan 245 g/ekor. Dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan terdahulu (WILSON et

al., 1998), dimana induk domba diberikan cacahan rumput raja segar dan konsentrat GTO3 (Indofeed) sebanyak 500 g/ekor/hari, maka nilai tersebut tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun jumlah pemberian pakan tambahan lebih banyak dari yang terdahulu, tidak berpengaruh terhadap kemampuan konsumsi nutrien. Dengan perkataan lain, kemampuan seekor ternak domba mengkonsumsi ransum akan dibatasi oleh suatu faktor pembatas. VAN SOEST et al. (1991) melaporkan bahwa kandungan serat deterjen netral (SDN) sangat berpengaruh terhadap kemampuan ternak ruminansia untuk dapat mengkonsumsi pakan. Selanjutnya dikatakan bahwa, kandungan SDN ransum lebih besar dari 56% akan menekan tingkat konsumsi bahan kering. Tingginya tingkat kandungan komponen serat kasar akan memperlambat laju alir nutrien dalam saluran pencernaan (VAN SOEST, 1985), sekaligus mengakibatkan makin lamanya waktu tinggal nutrien pakan dalam saluran pencernaan. Kandungan serat deterjen netral ransum (SDN) yang dikonsumsi pada penelitian ini mencapai 45,33% dari bahan kering(BK).

Pemberian kromium (Cr) pada tingkat yang berbeda dalam pakan tambahan komersial selama fase bunting tua tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05), baik pada tingkat konsumsi per ekor (Tabel 2) maupun pada tingkat konsumsi per kg bobot hidup metabolis (kg BH0,75) tertera pada Tabel 3. Hal ini disebabkan ransum dasar yang diberikan pada setiap perlakuan, cukup dapat menyediakan nutrien mudah larut dalam rumen dalam jumlah yang sama sehingga pertumbuhan dan kegiatan/aktivitas mikro-organisme rumen dari seluruh kelompok perlakuan pakan adalah

(4)

sama. Tidak berbedanya konsumsi bahan kering ransum diantara ternak yang mendapat tambahan Cr-organik yang berbeda, kemungkinan dipengaruhi oleh laju alir digesta yang sama. Secara keseluruhan, kisaran konsumsi harian bahan kering ransum oleh domba induk adalah 72,67 g/kg BH0,75. Nilai tersebut lebih rendah dari hasil penelitian terdahulu, yakni masing-masing sejumlah 76,84 (MATHIUS et al., 1996) dan 76,3 g/kg BH0,75 (MATHIUS et al., 1998). Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa kemampuan konsumsi bahan kering seekor ternak mempunyai batas tertentu. Faktor pembatas dimaksud adalah kapasitas daya tampung rongga perut domba induk, sebagai akibat kompetisi antara peruntukan fetus dan bahan pakan (FORBES, 1986).

Tidak berbedanya kemampuan ternak mengkonsumsi bahan kering boleh jadi disebabkan juga oleh protein kasar ransum dari seluruh perlakuan dapat mensuplai nitrogen (N) dalam bentuk amonia untuk kembang-biak dan aktifitas mikro-organisme rumen dalam jumlah yang sama. Sebagai konsekuensinya

tampilan ternak pada semua perlakuan adalah sama, yakni kenaikan bobot hidup harian sebesar 83 g/ekor/hari. KEARL (1982) menyarankan agar domba induk yang sedang bunting tua (BH 35 kg) diberikan protein kasar sejumlah 11,19 g/kg BH0,75. Sementara pada kegiatan ini diperoleh rataan protein kasar yang dikonsumsi yang hampir sama, yakni mencapai 11,37 g/kg BH0,75, namun lebih rendah yang dilaporkan terdahulu (MATHIUSet al., 2002a).

Konsumsi energi (energi bruto) pada penelitian ini hampir sama dengan yang dilaporkan MATHIUSet al. (2002b), yakni 0,9 MJ/kg BH0,75 tertera pada Tabel 3, dan nilai tersebut setara dengan 0,558 MJME/kg BH0,75. Hasil penelitian terdahulu mendapatkan bahwa kebutuhan hidup pokok akan energi metabolis (ME) untuk domba induk lokal yang sedang bunting adalah 0,425 MJ (MATHIUS, 1995). Dari perbandingan nilai tersebut terlihat bahwa ada kelebihan EM yang diperoleh pada penelitian ini, yakni sejumlah 0,133 MJ untuk setiap kg BH0,75, dan jumlah tersebut dapat dipergunakan untuk produksi (pertambahan bobot hidup harian).

Tabel 2. Rataan konsumsi harian domba induk saat bunting tua

Tingkat imbuhan Cr Parameter

R0 R1 R2

Rataan Total konsumsi BK (kg/ekor/hari)

Hijauan Tambahan 1025,31 374,2 650,7 1032,75 368,22 664,44 1009,59 352,45 657,22 1022,6

Konsumsi Protein (g/ekor/hari) Hijauan Tambahan 160,0 40,57 119,17 161,90 40,16 121,68 258,74 38,41 120,33 160,2 SDN (g/ekor/hari) Hijauan Tambahan 467,5 248,3 219,2 468,1 244,2 223,9 455,3 233,9 206,4 463,63 SDA (g/ekor/hari) Hijauan Tambahan 248,71 152,9 95,8 248,17 150,43 97,74 240,74 144,01 96,733 245,87 Energi (MJ/ekor/hari) Hijauan Tambahan 13,0387 3,5249 9,5207 13,1893 3,4685 9,7208 12,9343 3,3195 9,6147 13,0541 R0 = 0 ppm Cr (kontrol); R1 = 2 ppm Cr; R2 = 4 ppm Cr

(5)

Pengaruh pakan perlakuan terhadap penampilan domba induk saat melahirkan dan jumlah anak sekelahiran dari masing-masing kelompok (Tabel 4), dengan rataan 1,5 ekor sekelahiran. Diyakini dengan pasti bahwa perbedaan tersebut tidak diakibatkan penambahan mineral Cr-organik. Terlihat bahwa penambahan mineral Cr-organik tidak berpengaruh secara nyata (P>0,05) terhadap bobot lahir (kg/anak), namun menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap total bobot lahir (kg/ekorkor induk). Konsekuensi dari bobot lahir total/ekor induk yang meningkat, berpengaruh terhadap penyusutan bobot hidup induk sesaat setelah beranak tertera pada Tabel 4. Penyusutan bobot hidup induk yang berbanding terbalik dengan total bobot lahir, disebabkan karena perbedaan bobot lahir total/ekor induk, dan bukan disebabkan oleh perbedaan bobot cairan yang keluar bersama-sama plasenta. Hal ini didasarkan pada kenyataaan bahwa bobot plasenta tidak berbeda nyata antara plasenta yang berasal dari kelahiran tunggal ataupun kembar, sebagaimana yang dilaporkan oleh MELLOR dan MURRAY (1981).

Hasil penelitian juga menunjukkan tingkat kematian yang cukup tinggi terjadi pada kelompok yang mendapat tambahan mineral Cr-organik sejumlah 4 ppm Cr, yakni mencapai 20%. Namun tingginya tingkat kematian tersebut disebabkan rendahnya bobot lahir anak pada kelompok tersebut. Dari delapan ekor induk yang beranak, tiga ekor diantaranya memiliki tingkat kelahiran kembar tiga. Dari setiap ekor induk tersebut satu anak mati

beberapa saat setelah beranak. Kondisi yang lemah, sebagai akibat rendahnya bobot lahir merupakan faktor penyebab kematian anak domba tersebut. INOUNU et al. (1993) menyatakan bahwa, untuk mendapatkan daya hidup yang tinggi maka domba anak yang dilahirkan harus memiliki bobot lahir lebih tinggi dari 1,5 kg. Sementara bobot lahir domba anak yang mati memiliki bobot lahir 1,3 kg/ekor.

Rataan dari seluruh pengamatan menunjukkan bahwa jumlah anak yang lahir per domba induk adalah 1,5 ekor dengan rataan bobot lahir adalah 2295 g/ekor dan total bobot per domba induk adalah 3339,7g. Hasil pengamatan terdahulu terhadap jenis domba lokal Indonesia mendapatkan rataan jumlah anak (ekor/induk), bobot lahir (kg/ekorkor anak) dan total bobot lahir (kg/induk) secara berutan adalah 1,54; 1,8 dan 2,74 untuk domba Sumatera (INIGUES et al., 1991) dan 1,75; 1,6 dan 2,8 untuk domba Jawa (INOUNU et al., 1993). Bobot lahir yang lebih berat, baik per ekor domba anak maupun domba induk pada kegiatan ini, kemungkinan disebabkan tatalaksana pemeliharaan, khususnya pemberian pakan yang lebih terkontrol. Pertambahan bobot hidup harian domba anak dalam kurun waktu 8 minggu pertama tidak menunjukkan perbedaan (P>0,05), sebagai akibat penambahan Cr- organik yang berbeda pada domba induk, baik per ekor anak maupun per induk, dengan rataan secara berurutan sebesar 138 dan 186 g. Sebagai konsekuensinya total bobot sapih per induk tidak menunjukkan perbedaan nyata, dengan rataan 14,2 kg.

Tabel 3. Rataan konsumsi nutrien dan Pertambahan Bobot Hidup Harian pada saat domba bunting tua Tingkat imbuhan Cr Uraian R0 R1 R2 Uji statistik Konsumsi (g/kgBH0,75) Bahan kering Protein kasar Serat Deterjen Netral Serat Deterjen Asam Energi (MJ GE/ekor/hari) Energi (MJ ME/ekor/hari) PBHH (g/hari) 73,23 11,43 33,39 17,77 0,9318 0,5777 88,4 ± 17,3 72,57 11,38 32,89 17,44 0,9269 0,5747 83,3 ± 22,9 71,99 11,32 32,47 17,17 0,9223 0,5718 80,3 ± 19,5 TN TN TN TN TN TN TN ME = 0,62 GE (MAFF, 1977), TN: Tidak berbeda nyata

(6)

Tabel 4. Penampilan domba induk laktasi dan domba anak

Tingkat imbuhan Cr Uraian

R0 R1 R2 Uji statistik Jumlah induk

Jumlah sekelahiran (ekor) Bobot lahir/ekor anak (kg) Bobot lahir/induk (kg)

Bobot induk sesaat sebelum beranak (kg) Bobot induk 24 jam setelah beranak (kg) Tingkat kematian anak (%)

Bobot anak umur 8 mingggu/induk (kg) PBHH anak/induk (g)

PBHH anak/ekor (g)

Konsumsi bahan kering (g/hari/ekor) Total bahan kering

Bahan kering hijauan, Bahan kering pakan tambahan

8 1,375 2,71 3,725 41,54 35,91 0 14,38 190,3 138,0 1139,1 388,3 752,5 7 1,285 2,68 3,444 42,29 35,77 0 14,06 189,6 147,5 1145,6 382,6 763,0 8 1,8755 2,30 4,310 42,89 34,25 20 14,40 180,3 130,4 1145,2 379,2 766,1 - * * - - - - - TN TN TN TN TN TN: Tidak berbeda nyata

Berbeda nyata (P<0,05)

Pola konsumsi yang sama juga terjadi pada domba induk fase laktasi. Konsumsi bahan kering dan serat, relatif sama dan tidak menunjukkan peningkatan yang nyata (P<0,05). Secara keseluruhan respon domba induk terhadap penambahan Cr-organik sejak beranak sampai dua bulan pertama laktasi adalah sama. Terlihat bahwa selama enam minggu pertama, domba induk menunjukkan pertambahan bobot hidup yang negatif. Sedangkan mulai minggu ke tujuh dan delapan tidak menunjukkan respons (PBHH sama dengan nol). Diharapkan bobot hidup induk akan kembali pada posisi yang sama seperti pada saat setelah melahirkan pada awal bulan ketiga fase laktasi. Dengan perkataan lain untuk dapat dikawinkan kembali agar sesuai dengan tatalaksana pemeliharaan domba, yakni pada bulan ke tiga, domba induk harus dapat mencapai bobot hidup yang paling tidak harus sama dengan bobot hidup sesaat setelah beranak.

Secara umum, pemberian mineral Cr-organik dalam ransum domba induk tidak berdampak sebagaimana yang diperkirakan. LINDEMANN (1997) melaporkan bahwa Cr sangat dibutuhkan oleh ternak yang mengalami

cekaman agar tingkat produktivitasnya tidak terganggu. Boleh jadi cekaman dimaksud adalah untuk ternak yang mengalami cekaman dengan tingkat yang tinggi, seperti cekaman sebagai akibat transportasi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pemberian Cr organik yang ditambahkan pada pakan tambahan tidak berpengaruh terhadap penampilan domba induk pada saat bunting tua. Hal yang sama juga terjadi pada penampilan domba induk pada saat laktasi dan domba anak.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terselesainya penelitian hingga penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis, terutama saudara Rohman dan Widaningsih yang telah banyak membantu selama pelaksanaan penelitian ini.

(7)

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1984. Official Method of Analysis. 14th Ed. Association of official analytical Chemist. Washington, D.C

ANDERSON, R.A. 1987. Chromium. In: Element in Human and Animal Nutrition. 5th Ed. Academic Press, San Diego, CA. p.225. DEPT DAIRY SCIENCE. 1966. General Laboratory

Procedures. Univ. Wisconsin.

FORBES, J.M. 1986. The Voluntary Food Intake of Farm Animals. Butterworth & Co. Ltd.London pp. 206.

GOFF, J.P. and R.L. HORST, 1997. Physiological changes at parturition and their relationship to metabolic disorder. J. Dairy Sci., 80: 1260– 1268.

INIGUEZ,L., M. SANCHEZ and S. GINTING. 1991. Productivity of Sumatran sheep in a system integrated with rubber plantation. Small Rumin. Res. 5: 303–317.

INOUNU,I., L.INIQUEZ, G.E. BRADFORD, SUBANDRYO and B. TIESNAMURTI. 1993. Porduction performance of prolific Javanese ewes. Small Rumin. Res. 12: 243–257.

LINDEMANN, M.D. 1997. Organic Chromium: The Missing Link in Farm Animal Nutrition. In: The Living Gut: Bridging the Gap Between Nutrition and Performance. Proc. 10th Annual Asia Pacific Lecture Tour. Alltech. Pp85–102. KEARL, L C. 1982. Nutrient requirements of

ruminants in developing countries. Int'l Feedstuff Inst. Utah Agric. Exp. Sta. USU. Logan Utah. USA.

MATHIUS, I-W. 1995. Kebutuhan Energi dan Protein domba Induk pada Fase Kebuntingan dan Laktasi, Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

MATHIUS, I-W., M. MARTAWIDJAYA, A. WILSON dan T. MANURUNG. 1996.Studi strtegi kebutuhan eneri-protein untuk domba lokal: I. Fase pertumbuhan. JITV. 2(2): 84–91. MATHIUS, I-W., B. HARYANTO dan I.W.R. SUSANA.

1998. Pengaruh pemberian protein dan energi terlindungi terhadap konsumsi dan kecernaan oleh domba muda. JITV. 3(2): 94–100.

MATHIUS, I-W.,D. YULISTIANI dan W. PUASTUTI. 2002a. Pengaruh subtitusi protein dalam bentuk bungkil kedelai terproteksi terhadap penampilan domba bunting dan laktasi. JITV

7(1): 22–29.

MATHIUS, I-W., D. SASTRADIPRADJA, T. SUTARDI, A. NATASASMITA, L.A. SOFYAN dan D.T.H. SIHOMBING. 2002b. Studi strategi kebutuhan energi-protein untuk domba lokal: 4. Domba induk fase bunting tua. JITV 7(3).

MELLOR, D.J. and L. MURRAY. 1981. Effects of placental weight and maternal nutrition on the growth rate of individual fetuses in single and twin bearing ewes during late pregnancy. Res. Vet. Sci. 30: 198–204.

MORDENTI A., A. PIVA and G.Piva. 1997. The European Perspective on organic chromium in Animal Nutrition. In. T.P. LYONS and K.A. JACQUES (eds). Biotechnology in the Feed Industry. Proc. Of Alltech’s 13th Annuual Symposium. Alltech Inc. Nottingham Univ. Press. pp. 227–240.

PETERSEN, R.G. 1985. Design and Analysis of Experiments. Marcel Dekker Inc. New York. SAS. 1987. SAS User's Guide: Stastistics. SAS Inst.

Inc., Cary, NC.

VAN SOEST, P.J. 1985. Use of detergents in analysis of fiber. III. Study of effects of heating and drying on yield of fiber and lignin in forages.

J. Assoc. Agric. Chem. 48: 785.

VAN SOEST, P.J., J.B. ROBERTSON and B.A. LEWIS. 1991. Methods for dietary fiber, neutral detergent fiber and non-starch polysaccharides in relation to animal nutrition. J. Dairy Sci.

74: 3583–3597.

YANG, W.Z. D.N. MOWAT, A. SUBIYATNO and R.M. LIPTRAP. 1996. Effects of chromium supplementation on early lactation performance of holstein cow. Can. J. Anim. Sci. 76: 221–230.

YULISTIANI D. 2002. Laporan Tahunan.

WILSON, A., I-W MATHIUS dan B. HARYANTO. 1998. Respons pemberian protein dan energi terlindungi dalam pakan dasar untuk domba induk. Pros. Seminar Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor hlm. 439–447.

(8)

DISKUSI Pertanyaan:

Penelitiannya berapa lama? Bagaimana dengan kecernaannya dan glukosa darahnya?

Jawaban:

Penelitian berlangsung mulai saat induk bunting tua (empat minggu sebelum beranak) sampai fase laktasi (8 minggu setelah beranak). Tingkat kecernaan nutrien tidak berbeda, sementara kadar glukosa tidak diamati, namun diperkirakan pemberian yang tidak berbeda akan menghasilkan kadar glukosa darah akan sama.

Gambar

Tabel 1.  Komposisi nutrien hijauan raja dan pakan  tambahan penelitian
Tabel 2. Rataan konsumsi harian domba induk saat bunting tua
Tabel 3. Rataan konsumsi nutrien dan Pertambahan Bobot Hidup Harian pada saat domba bunting tua  Tingkat imbuhan Cr  Uraian  R 0 R 1 R 2 Uji statistik  Konsumsi (g/kgBH 0,75 )  Bahan kering  Protein kasar  Serat Deterjen Netral  Serat Deterjen Asam  Energi
Tabel 4. Penampilan domba induk laktasi dan domba anak

Referensi

Dokumen terkait

Nilai BCF (bioakumulasi faktor) dan TF(translokasi faktor) lamun terhadap logam berat Pb dan Cd termasuk ke dalam kategori akumulator(&gt;1) yang dapat mentranslokasikan logam

menunjukan hasil regresi secara keseluruhan yang menjelaskan hubungan stres kerja terhadap kinerja karyawan, dimana didapatkan nilai R sebesar 0,776 yang menunjukkan

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis: (1) pengaruh pengetahuan produk yang dimiliki petugas layanan terhadap kinerja petugas layanan, (2) pengaruh

sumber daya yang dimiliki oleh kelompok pedagang kaki lima itu sendiri untuk. mendorong peningkatan pendapatan/keuntungan (profitabilitas)

Melalui artikel ini penulis berpendapat bahwa di era teknologi informasi ini, sudah seharusnya umat Islam secara umum dan para pendakwah secara khusus

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, uji t variabel kehandalan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan pengunjung Bukit Wisata Pule Payung, cepat tanggap tidak

Hasil evaluasi dapat dilihat pada website LPSE Kabupaten Kendal: http//lpse.kendalkab.go.id/.. Demikian pengumuman dari kami harap

RM (agama Katolik) berbeda agama dengan pewaris agama Islam yang berdasarkan kompilasi dalam hukum Islam bahwa pewaris muslim tidak boleh mewaris pada ahli waris