HUBUNGAN ANTARA DERAJAT INFEKSI CACING YANG
DITULARKAN MELALUI TANAH TERHADAP TINGKAT
KECERDASAN PADA ANAK DI SD NEGERI 067775
KOTAMADYA MEDAN
TESIS
OLEH
AGUSTINA SAMOSIR
107027004/IKT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN ANTARA DERAJAT INFEKSI CACING YANG
DITULARKAN MELALUI TANAH TERHADAP TINGKAT
KECERDASAN PADA ANAK DI SD NEGERI 067775
KOTAMADYA MEDAN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kedokteran Tropis dalam Program Studi Ilmu Kedokteran
Tropis pada Sekolah Pascasarjana Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
OLEH
AGUSTINA SAMOSIR
107027004/IKT
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGESAHAN TESIS
Judul Tesis : HUBUNGAN ANTARA DERAJAT
INFEKSI CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH TERHADAP
TINGKAT KECERDASAN PADA ANAK DI SD NEGERI 067775
KOTAMADYA MEDAN
Nama Mahasiswa : AGUSTINA SAMOSIR
Nomor Induk Mahasiswa
: 107027004
Program Studi : Ilmu Kedokteran Tropis
Fakultas : Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof.dr.Aman A.P.Depari, DTM&H, Sp.Park dr. HemmaYulfi, DAP&E, M.Med,Ed Ketua Anggota
Ketua Program Studi, D e k a n,
PERNYATAAN ORISINALITAS
HUBUNGAN ANTARA DERAJAT INFEKSI CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH TERHADAP TINGKAT KECERDASAN PADA ANAK
DI SD NEGERI 067775 KOTAMADYA MEDAN
T E S I S
Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar.
Medan, April 2013
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Agustina Samosir
NIM : 107027004
Program Studi : Magister Kedokteran Tropis
Jenis Karya Ilmiah : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:
HUBUNGAN ANTARA DERAJAT INFEKSI CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH TERHADAP TINGKAT KECERDASAN PADA ANAK DI SD NEGERI 067775 KOTAMADYA MEDAN.
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.
Medan, April 2013
Telah diuji pada
Tanggal :27 April 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof.dr.Aman A.P.Depari, DTM&H, Sp.Park Anggota : 1. dr. HemmaYulfi, DAP&E, M.Med,Ed
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala karunia dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Dengan selesainya penulisan tesis ini perkenankanlah saya untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, SpA (K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Kedokteran Tropis.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp PD – KGEH, atas kesempatan untuk mengikuti program Magister Ilmu Kedokteran Tropis pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis, Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA (K) beserta jajarannya atas kesempatan, bimbingan serta petunjuk selama saya menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada Prof. dr. Aman A.P. Depari, DTM&H, Sp Park dan dr. Hemma Yulfi, DAP&E, M.Med.Ed sebagai dosen pembimbing yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing dan mengarahkan saya dalam menulis tesis ini.
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada seluruh rekan mahasiswa Program Magister Ilmu Kedokteran Tropis yang telah memberikan masukan dan dorongan kepada penulis.
Kepada alm. ayah saya S. Samosir dan ibunda Shinta Sihite yang selalu mendoakan, melimpahiku dengan penuh kasih sayang saya sampaikan hormat yang setinggi-tingginya. Juga kepada kakanda Dra. Perak Samosir M.Si yang banyak membantu dalam buku referensi dan proses penyelesaian tesis ini saya ucapkan terimakasih.
Kepada suamiku tercinta Ir. Patuan Pasaribu, MM dan ketiga putra-putriku tersayang Benhard, Venissha dan Johan, dari lubuk hati yang paling dalam saya sampaikan terima kasih atas dorongan, kesabaran dan pengertian yang diberikan selama saya mengikuti pendidikan, bagiku “My Family is My Sprit”.
Semoga tesis ini dapat berguna bagi sesama manusia.
Medan, April 2013
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap : Agustina Samosir
Tempat/ tanggal lahir : Medan, 22 Agustus 1966
Agama : Kristen Protestan
NIP : 140351739
Pangkat/ Golongan : Pembina / IV a
Nama Ayah : Sumihar Samosir (Alm)
Nama Ibu : Sinta Sihite
Nama Suami : Ir. Patuan Pasaribu MM
Nama Anak : 1. Benhard M. Pasaribu (18 tahun)
2. Venissha C. Pasaribu (15 tahun) 3. Johan N. Pasaribu (12 tahun) Riwayat Pendidikan : - Tamat SD Parulian Medan 1977
- Tamat SMP Negeri 3 Medan 1981 - Tamat SMA Negeri 5 Medan 1984
- Tamat Dokter Umum FK-USU 1993
Riwayat Pekerjaan : - Dokter PTT Puskesmas Berastagi 1996 - 1999 - Dokter Puskesmas Prabumulih Barat 2000 - 2005 - Kepala Puskesmas Pasar Prabumulih 2005 - 2006 - Kepala Puskesmas Prabumulih Barat 2006 - 2008 - Dokter Puskesmas Pangkalan Susu 2008 - 2011
ABSTRAK
Latar Belakang : Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminthiasis atau STH) masih merupakan masalah dunia terutama di daerah tropik dan sub tropik, termasuk di Indonesia. Penelitian Pasaribu pada tahun 2003 dan Ezeamama dkk pada tahun 2005 menunjukkan bahwa anak usia sekolah dasar (SD) merupakan kelompok umur yang paling sering terinfeksi oleh cacing usus yang ditularkan melalui tanah, hal ini disebabkan karena anak SD paling sering berkontak dengan tanah sebagai sumber infeksi. Infeksi cacing yang cukup tinggi prevalensinya di Indonesia adalah infeksi cacing yang disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides, cacing tambang dan Trichuris trichiura. Secara umum, infeksi cacing usus ini dapat mengakibatkan terjadinya anemia, gangguan gizi, gangguan pertumbuhan dan gangguan kecerdasan.
Tujuan Penelitian : Untuk melihat hubungan antara derajat infeksi cacing STH terhadap tingkat kecerdasan pada anak di SD 067775 Kotamadya Medan.
Hasil : Pada SD Negeri 067775 dijumpai anak derajat infeksi ringan 63%, infeksi sedang 37% dan infeksi berat 0%. Tingkat kecerdasan mental defective 12,9 %, borderline 25,8 %, low average 29 %, average 27,4 %, high average 4,8 %.
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat infeksi cacing STH terhadap tingkat kecerdasan pada anak di SD 067775 Kotamadya Medan.
ABSTRACT
Background: Intestinal worm infection transmitted through soil (soil transmitted helminthiasis/STH) is still a world health problem particularly in tropical and sub-tropical regions including in Indonesia. Generally, STH can cause anemia, malnutrition and growth and intelligence faltering.
Objective: To examine the relationship between the degree of STH worm infection suffered by primary school students and their intelligence level.
Methods: A cross-sectional study was carried out among a purposive sample of 150 students of SDN 067775 in Medan City from July until August 2012. Feces examination was conducted using Kato-Katz method, while intelligence level was measured using Wechsler Intelligence Scale for Children. The statistical analysis was done employing cross tabulation and Kolmogorov-Smirnov test.
Results: 62 students (41%) were positive for worm eggs in their feces. 63%, 37% and none of students experienced respectively light, moderate and serious infection. Most students (68%) had mental intelligence below the average. The Kolmogorov-Smirnov z test statistic of the relationship between the STH infection level and intelligence level is 3.413.
Conclusion: The degree of STH worm infection suffered by the primary school students and their intelligence level associates significantly.
DAFTAR ISI
II.3. Morfologi, Daur hidup, Patogenesa Ascaris lumbricoides . 10 II.4. Morfologi, Daur hidup, Patogenesa Trichuris trichiura .... 13
II.5. Morfologi, Daur hidup, Patogenesa Cacing Tambang ... 16
II.6. Reaksi Imunologi pada infeksi cacing ... 20
II.7. Status Anemia Gizi Anak ... 21
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 : Kategori Pengukuran Kecerdasan ... 8 Tabel 2 : Klasifikasi Intelegensia berdasarkan skala Weschler ... 8 Tabel 3 : Defenisi Operasional ... 27 Tabel 4 : Hasil Pemeriksaan Telur Cacing pada Siswa SD 067775 ……. 29 Tabel 5 : Distribusi umur siswa SD yang terinfeksi cacing ………….. 30 Tabel 6 : Distribusi jenis kelamin siswa SD yang terinfeksi cacing …… 30 Tabel 7 : Distribusi suku siswa SD yang terinfeksi cacing ………. 30 Tabel 8 : Distribusi kelas siswa SD yang terinfeksi cacing ……… 31 Tabel 9 : Distribusi derajat infeksi siswa SD yang terinfeksi cacing …... 31 Tabel 10 : Distribusi tingkat kecerdasan siswa SD yang terinfeksi cacing 32 Tabel 11 : Distribusi Kejadian Anemia Siswa SD yang Terinfeksi Cacing 32 Tabel 12 : Distribusi Status Gizi Anak ... 33 Tabel 13 : Distribusi Jenis Infeksi Cacing Siswa SD yang Terinfeksi Cacing 33 Tabel 14 : Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Kecerdasan ………... 34 Tabel 15 : Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Kejadian
Anemia ... 35 Tabel 16 : Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Status Gizi 35 Tabel 17 : Hubungan Kejadian Anemia dengan Tingkat Kecerdasan ….. 36 Tabel 18 : Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Tingkat
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 : Cacing dan Telur Ascaris lumbricoides ... 11
Gambar 2 : Siklus Hidup Cacing Ascaris Lumbricoides ... 12
Gambar 3 : Cacing dan Telur Trichiuris lrichiura ... 14
Gambar 4 : Siklus Hidup Cacing Trichiuris trichiura ... 15
Gambar 5 : Bagian Mulut Cacing A duodenale dan N americanus ... 16
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : WISC Record Form ... 50
Lampiran 2 : Surat Pernyataan Kesediaan ... 51
Lampiran 3 : Kuisioner Penelitian ... 52
Lampiran 4 : Pemeriksaan Tinja Cara Kato-Katz ... 54
Lampiran 5 : Pemeriksaan Hb Cara Cyan ... 55
Lampiran 6 : Status Gizi ... 57
Lampiran 7 : Surat Komite Fakultas Kedokteran Sumatera Utara ... 58
Lampiran 8 : Daftar Pemeriksaan Telur Cacing ... 59
Lampiran 9 : Data Klinis Anak ... 63
Lampiran 10 : Hasil Tes IQ ... 65
Lampiran 11 :Output SPSS Statistika Deskriptif ... 67
DAFTAR SINGKATAN
ADCC : Antibody Defendenr Cell Cytotoxicity
dkk : dan kawan kawan
EPG : egg per gram
Hb : Hemoglobin
IGF 1 : Insuline like growth factor 1
Ig : Immunoglobulin
IL : Interleukin
IQ : Intelligence Quotient
kg : kilogram
L : liter
LTD 4 : Leukotrin D 4
mg : milligram
NEPG : number of egg per gram
PIQ : performance intelligence quotient ROI : reactive oxygen intermediate
SD : standar deviasi
STH : soil transmitted helminth TNF : Tumor Necrosis Factor
um : mikrometer
VIQ : verbal inteligence quetient WHO : World Health Organization
ABSTRAK
Latar Belakang : Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminthiasis atau STH) masih merupakan masalah dunia terutama di daerah tropik dan sub tropik, termasuk di Indonesia. Penelitian Pasaribu pada tahun 2003 dan Ezeamama dkk pada tahun 2005 menunjukkan bahwa anak usia sekolah dasar (SD) merupakan kelompok umur yang paling sering terinfeksi oleh cacing usus yang ditularkan melalui tanah, hal ini disebabkan karena anak SD paling sering berkontak dengan tanah sebagai sumber infeksi. Infeksi cacing yang cukup tinggi prevalensinya di Indonesia adalah infeksi cacing yang disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides, cacing tambang dan Trichuris trichiura. Secara umum, infeksi cacing usus ini dapat mengakibatkan terjadinya anemia, gangguan gizi, gangguan pertumbuhan dan gangguan kecerdasan.
Tujuan Penelitian : Untuk melihat hubungan antara derajat infeksi cacing STH terhadap tingkat kecerdasan pada anak di SD 067775 Kotamadya Medan.
Hasil : Pada SD Negeri 067775 dijumpai anak derajat infeksi ringan 63%, infeksi sedang 37% dan infeksi berat 0%. Tingkat kecerdasan mental defective 12,9 %, borderline 25,8 %, low average 29 %, average 27,4 %, high average 4,8 %.
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat infeksi cacing STH terhadap tingkat kecerdasan pada anak di SD 067775 Kotamadya Medan.
ABSTRACT
Background: Intestinal worm infection transmitted through soil (soil transmitted helminthiasis/STH) is still a world health problem particularly in tropical and sub-tropical regions including in Indonesia. Generally, STH can cause anemia, malnutrition and growth and intelligence faltering.
Objective: To examine the relationship between the degree of STH worm infection suffered by primary school students and their intelligence level.
Methods: A cross-sectional study was carried out among a purposive sample of 150 students of SDN 067775 in Medan City from July until August 2012. Feces examination was conducted using Kato-Katz method, while intelligence level was measured using Wechsler Intelligence Scale for Children. The statistical analysis was done employing cross tabulation and Kolmogorov-Smirnov test.
Results: 62 students (41%) were positive for worm eggs in their feces. 63%, 37% and none of students experienced respectively light, moderate and serious infection. Most students (68%) had mental intelligence below the average. The Kolmogorov-Smirnov z test statistic of the relationship between the STH infection level and intelligence level is 3.413.
Conclusion: The degree of STH worm infection suffered by the primary school students and their intelligence level associates significantly.
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted
helmithiasis) disebut juga penyakit infeksi kecacingan STH, masih merupakan
problema kesehatan masyarakat terutama di daerah tropis dan sub tropis termasuk
Indonesia. Penyakit yang termasuk dalam kelompok kurang mendapat perhatian
(neglected disease) ini memang tidak menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba-tiba namun menyebabkan banyak korban, dan merupakan penyakit yang secara
perlahan menggerogoti kesehatan manusia, menyebabkan gangguan penyerapan gizi
dan dapat menyakibatkan penurunan tingkat intelegensia anak (Sudomo M, 2008).
Badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization) memperkirakan
lebih dari 1 milyar penduduk dunia terinfeksi dengan cacing usus, terutama yang
penularannya melalui tanah, dan kira-kira 400 juta diantaranya menyerang anak-anak
(WHO, 1996).
Anak usia sekolah dasar (SD) merupakan kelompok umur yang paling sering
terinfeksi oleh cacing usus yang ditularkan melalui tanah, hal ini disebabkan karena
anak SD paling sering berkontak dengan tanah sebagai sumber infeksi (Pasaribu,
2003, Ezeamama dkk, 2005).
Di Indonesia, angka nasional prevalensi kecacingan pada tahun 1987 sebesar
78,6%, masih relatif cukup tinggi. Program pemberantasan penyakit kecacingan pada
anak yang dicanangkan pada tahun 1995 efektif menurunkan prevalensi kecacingan
menjadi 33,3% pada tahun 2003. Sejak tahun 2002 hingga 2006, prevalensi penyakit
kecacingan secara berurutan adalah sebagai berikut: 33,3%; 33,3%’ 46,8%; 28,4%;
32,6% (Depkes RI, 2008).
Diperkirakan 60%-90% penduduk Indonesia menderita penyakit infeksi
kecacingan STH, dimana prevalensi tertinggi terdapat pada anak SD (Hadidjaja,
tropis, walaupun dijumpai juga pada daerah beriklim sedang dan dingin (Kazura,
2000).
Di Indonesia, mematoda usus yang paling banyak dijumpai pada manusia
adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Trichuris trichiura, Enterobius vermicularis, sedangkan Strongyloides stercoralis jarang dilaporkan. Hasil survei Subdit Diare Depkes RI pada tahun 2002 dan 2003, ditemukan bahwa pada 40 SD di
10 propinsi menunjukkan prevalensi kecacingan berkisar antara 2,2%-90,3% (Depkes RI. 2006).
Prevalensi Ascaris di Sumatera Utara diperkirakan 50%-79,9%, Trichuariasis 80%-100%, dan infeksi hookworms 50%-79,9% (de Silva dkk, 2003). Sri Alemina (2002) menemukan bahwa prevalensi infeksi pada anak SD di Desa Suka
Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo mencapai 70%. Menurut Ritarwan (2006) di
kota Medan ditemukan prevalensi Ascariasis 29,2 %, Trichuriasis 6,3 % dan infeksi
campuran Ascariasis + Trichuriasis sebesar 58,3 %.
Pasaribu (2003) melaporkan dari lima SD di desa Suka Kecamatan Tiga
Panah, Kabupaten Karo diperoleh 283 diantara 310 anak, (91,3%) positif
mengandung telur cacing usus, 252 anak diantaranya (89%) mengandung telur
Ascaris lumbricoides, diantara 252 anak ini, ternyata anak yang menderita infeksi campuran sebanyak 89,7% dan hanya 26 anak (10,3%) menderita infeksi tunggal
Ascaris lumbricoides, 216 anak (95,6%) dengan infeksi campuran A lumbricoides dan T trichiura, 9 anak (9%) dengan infeksi campuran A lumbricoides, T trichiura dan cacing tambang serta seorang anak (0,4%) dengan infeksi campuran A lumbricoides dan cacing tambang (Firmansyah, 2003).
Secara umum, infeksi cacing usus ini dapat mengakibatkan terjadinya anemia,
gangguan gizi, gangguan pertumbuhan dan gangguan kecerdasan. Dalam jangka
panjang apabila terjadi infeksi terus menerus akan menurunkan kualitas sumber daya
manusia (Montressor et al, 1998).
Mengingat bahwa prevalensi tertinggi infeksi kecacingan STH terdapat pada
anak usia sekolah dasar, dikuatirkan infeksi cacing dapat mempengaruhi tingkat
namun diduga proses ini terjadi secara tidak langsung, mungkin melalui kejadian
anemia dan malnutrisi yang diderita anak akibat terinfeksi kecacingan STH (Awasthi
et al, 2003).
Menurut Siregar (2006) respon tubuh terhadap infeksi cacing usus sangat
bervariasi, sehingga menimbulkan berbagai jenis gejala klinis. Bila akibat infeksi
yang terjadi berat, maka gangguan pertumbuhan akan terjadi sehingga dapat
menyebabkan penurunan tingkat kecerdasan. Namun bila akibat yang ditimbulkannya
ringan, tidak terjadi gangguan pertumbuhan.
Ritarwan (2006) telah melakukan penelitian tentang hubungan tingkat
kecerdasan antara anak yang terinfeksi cacing dan anak yang tidak terinfeksi cacing.
Dari penelitian ini diperoleh bahwa memang ada perbedaan tingkat kecerdasan antara
anak yang terinfeksi cacing dengan anak yang tidak terinfeksi cacing.
Dalam penelitian ini, penulis hendak melanjutkan penelitian tersebut untuk
melihat apakah ada perbedaan tingkat kecerdasan pada anak SD penderita infeksi
kecacingan STH di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan berdasarkan derajat infeksi
cacing yang berbeda.
Dalam penelitian ini akan dilihat juga distribusi penderita infeksi kecacingan
STH menurut umur, jenis kelamin, suku, tingkat pendidikan, kejadian anemia dan
status gizi anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.
I.2. Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana hubungan antara status gizi dengan tingkat kecerdasan pada anak
di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.
2. Bagaimana hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan kejadian
anemia pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.
3. Bagaimana hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan status
gizi pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.
4. Bagaimana hubungan antara kejadian anemia dengan tingkat kecerdasan pada
5. Bagaimana hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat
kecerdasan pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.
I.3.Tujuan Penelitian I.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara
derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan pada anak sekolah dasar.
I.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui prevalensi infeksi kecacingan STH (Ascaris
lumbricoides dan Tricuris trichiura) pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.
2. Untuk mengetahui distribusi penderita infeksi kecacingan STH menurut
umur, jenis kelamin, suku, kelas, derajat infeksi kecacingan STH, tingkat
kecerdasan, kejadian anemia, status gizi dan jenis infeksi cacing dari anak
di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.
3. Untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan tingkat kecerdasan
pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.
4. Untuk mengetahui hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH
dengan kejadian anemia pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya
Medan.
5. Untuk mengetahui hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH
dengan status gizi pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.
6. Untuk mengetahui hubungan antara kejadian anemia dengan tingkat
kecerdasan pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.
7. Untuk mengetahui hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH
dengan tingkat kecerdasan pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya
I.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah :
1. Meningkatkan usaha pencegahan akibat penyakit infeksi kecacingan STH
pada anak sekolah, seperti status gizi yang buruk, gangguan pertumbuhan,
anemia dan tingkat kecerdasan yang berkurang.
2. Membantu Dinas Kesehatan melalui Puskesmas dalam program
pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat infeksi cacing usus
sehingga dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia.
I.5. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian adalah :
1. Terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan tingkat
kecerdasan pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.
2. Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat infeksi kecacingan STH
dengan kejadian anemia pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.
3. Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat infeksi kecacingan STH
dengan status gizi pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.
4. Terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian anemia dengan tingkat
kecerdasan pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya Medan.
5. Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat infeksi kecacingan STH
dengan tingkat kecerdasan pada anak di SD Negeri 067775 Kotamadya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi Kecerdasan
Kecerdasan ialah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat
fikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar,
merencanakan, memecahkan masalah, berfikir abstrak, memahami gagasan,
menggunakan bahasa dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan
kognitif yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan
alat psikometri yang biasa disebut dengan test IQ (Rositayanti, 2012).
Claparde menyatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk
menyesuaikan secara mental terhadap situasi atau kondisi yang baru. Buhler
menyatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman
atau pengertian.
Weschler (1958) mendefinisikan kecerdasan sebagai kumpulan atau totalitas
kemampuan seseorang untuk belajar (ability to learn), bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungannya dengan efektif.
(Kolb, 1984 ). Stenberg & Slater (1982) mendefinisikan kecerdasan sebagai tindakan
atau pemikiran yang bertujuan dan adaptif.
Menurut Thurstone (1924/1973) spesifikasi kecerdasan terdiri dari
pemahaman dan kemampuan verbal, angka dan hitungan, kemampuan visual, daya
ingat, penalaran, kecepatan perseptual.
Makin tinggi tingkat kecerdasan seseorang, makin memungkinkannya
melakukan suatu tugas yang banyak menuntut rasio dan akal dan melaksanakan
tugas-tugas yang sifatnya kompleks ( Kolb, 1984).
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak
perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks
numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama
William Stern (1912), yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ.
Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak
sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa
tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman
mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja
(general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan
menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk
orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk
anak-anak.
Skala Wechsler yang umum dipergunakan untuk mendapatkan taraf
kecerdasan membagi kecerdasan menjadi dua kelompok besar yaitu kemampuan
kecerdasan verbal (VIQ) dan kemampuan kecerdasan tampilan (PIQ). Pengukuran
nilai kecerdasan pada penelitian ini menggunakan nilai WISC (Wechsler Intelligance Scale for Children) yang dibuat oleh David Wechsler (1974), karena ini pengukuran tingkat kecerdasan yang terbaik dibandingkan dengan pengukuran tingkat kecerdasan
yang lain (skala Stanford-Binet).
Pengukuran nilai kecerdasan pada penelitian ini menggunakan nilai WISC
(Wechsler Intelligance Scale for Children) yang dibuat oleh David Wechsler (1974), yang terbagi atas 12 macam test dan dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu: verbal
Tabel 1. Kategori Pengukuran Kecerdasan
SKALA VERBAL SKALA PERFORMANCE
1. Informasi
Pemberian skor pada WISC didasarkan atas kebenaran jawaban dan waktu
yang diperlukan oleh subjek dalam memberikan jawaban yang benar tersebut. Skor
tesebut kemudian diterjemahkan dalam angka standard melalui norma sehingga
akhirnya diperoleh angka IQ untuk skala verbal, dan satu angka IQ untuk skala
performans dan satu angka IQ untuk keseluruhan, skala Test Intelligensi Wecshler
adalah test individual, yang diberikan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Serta
dasar pengukurannya adalah deviation IQ dengan nilai rata-rata 100 dan besar
penyimpangan = 15 (Kolb, 1984).
Berikut ini pada Tabel 2 diberikan klasifikasi intelegensia berdasarkan skala
Wechsler.
Tabel 2. Klasifikasi Intelegensia berdasarkan Skala Wechsler Skala
80 – 89 36 – 51 Moderate mental retardation
66 – 79 Borderline 70 – 79 20 – 35 Sever mental retardation ≤ 65 Mentally defective Dibawah 19 Profound Mental Retardation
II.2. Epidemiologi
Anak usia pra sekolah sangat mudah mengalami defisiensi besi akibat infeksi
cacing, sementara mereka berada dalam masa perkembangan mental dan fisik yang
maksimum dan cepat, terutama sekali sangat membutuhkan vitamin dan
mikronutrient yang hilang akibat infeksi cacing (Pollit, 1997; Siregar, 2006).
Diperkirakan 1,47 milyar penduduk dunia menderita Ascariasis dengan
morbidity rate 23,7% dan mortality rate 0,02%, penderita Trichuariasis diperkirakan 1,3 milyar penduduk dunia dengan morbidity rate 20,9% dan mortality rate 0.005%, sementara 1.3 milyar penduduk dunia menderita infeksi hookworms dengan morbidity rate 12,3% dan mortality rate 0.04% (Oemijati, 1996).
Prevalensi di Indonesia menurut beberapa penelitian menunjukkan prevalensi
yang relatif tinggi, lebih dari 60%-90% dan prevalensi terbesar ditemukan pada anak
balita dan anak usia sekolah dasar (Oemijati, 1996).
Hasil survei cacing di sekolah dasar di beberapa propinsi pada tahun
1986-1991 menunjukkan prevalensi 60%-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar
40%-60%. Hasil survei Subdit Diare Depkes RI pada tahun 2002 dan 2003 pada 40
SD di 10 propinsi menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2%-96,3% (Depkes,
2006).
Laporan Broker (2002) menyebutkan distribusi infeksi cacing di Indonesia
secara geografis menunjukkan prevalensi yang berbeda. Prevalensi tertinggi di Irian
dan Sumatera Utara, sementara prevalensi terendah ditemukan di Jawa Timur. Hasil
penelitian di beberapa SD di Badung menunjukkan prevalensi infeksi 58,3%-96,8%.
Penelitian Wachidanijah (2002) pada anak SD di Kebumen menunjukkan prevalensi
70,6% dan 58,4% diantaranya pada anak berusia 11-13 tahun.
Beberapa penelitian di Kabupaten Deli Serdang menunjukkan prevalensi
infeksi cacing sebesar 87% (Tiangsa, 1985), sementara prevalensi infeksi berdasarkan
Terdapat beberapa faktor yang berperan penting dalam tingginya prevalensi
infeksi cacing STH, antara lain faktor sosio demografi dan faktor tindakan
pengobatan yang dilakukan.
Faktor geografis suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap perbedaan
tingkat infeksi dan secara geografis, Sumatera Utara adalah salah satu wilayah
dengan distribusi infeksi cacing tertinggi di Indonesia. Perbedaan jenis kelamin,
pekerjaan, pengetahuan dan perilaku, serta faktor sosial ekonomi juga erat kaitannya
dengan prevalensi infeksi cacing. Pengetahuan dan perilaku seorang anak dan orang
tua khususnya ibu, erat kaitannya dengan tingkat infeksi, berhubungan dengan
epidemologi penyakit. Perilaku hidup bersih dan sehat seorang anak sangat berpotensi
untuk mencegah terjadinya infeksi cacing.
II.3. Morfologi, Daur Hidup dan Patogenesis Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides yang kita sebut juga cacing gelang termasuk family Ascarididae, Genus Ascaris. Hospesnya adalah manusia, cacing ini menyebabkan penyakit yang disebut Ascariasis. Penyebarannya diseluruh dunia (kosmopolit) dan
lebih sering dijumpai pada anak usia diatas 5 tahun sampai 10 tahun. Di Indonesia
frekwensinya tinggi yaitu 80%-90%. (Brown 1982: Beaver dkk, 1984)
II.3.1. Morfologi
Morfologi cacing terdiri dari:
• Cacing betina panjangnya 20cm-35cm, bentuk silindris (bulat panjang), warna
putih kemerah-merahan. Ekor lurus/ Tidak melengkung.
• Cacing jantan panjangnya 10cm-30cm bentuk silindris, warna putih kemerah-merahan. ekor melengkung.
Morfologi telur terdiri dari:
• Stadium tidak dibuahi: ukuran ± 90 x 40 mikron, dinding dalam: hialin tipis,
dinding luar: albuminoid kasar berwarna kuning trengguli. Berisi
granula-granula kasar.
• Stadium dibuahi terdiri dari : corticated ukuran ± 60 x 45 mikron, dinding dalam: hialin tebal, dinding luar albuminoid kasar berwarna kuning trengguli
Gambar 1. Cacing dan Telur Ascaris lumbricoides Dikutip dari:
II.3.2 Daur Hidup
Daur hidup Ascaris lumbricoides dimulai sejak dikeluarkannya telur oleh cacing betina di usus halus kemudian dikeluarkan bersama tinja, dengan kondisi yang
menguntungkan seperti udara yang hangat, lembab, tanah yang terlindung matahari,
embrio akan berubah didalam telur menjadi larva yang infektif. Apabila manusia
tertelan telur yang infektid, larva akan keluar di duodenum dan kemudian menembus
dinding usus halus menuju ke venula mesenterika, masuk ke sirkulasi portal,
kemudian ke jantung kanan melalui pembuluh darah kecil paru sampai di jaringan
alveolar paru. Setelah itu larva berimigasi ke saluran nafas atas yakni daerah
bronkiolus, menuju bronchus, trachea, epiglottis kemudian tertelan, turun ke esophagus, dan menjadi dewasa di usus halus.Dalam perjalanan siklus hidupnya larva
A lumbricoides dapat menyebabkan trauma pada alveoli berupa pendarahan
(petechial hemorrhage). Yang mengakibatkan darah mengumpul di alveoli dan
bronkioli sehingga menyebabkan edema paru, keadaan ini disebut dengan
Pneumonitis ascaris (Bundy dkk, 2000).
A lumbricoides dapat hidup dalam tubuh penderita selama 12-18 bulan
(Brown, 1982; Kazura, 2000; Haburchak, 2001). Untuk kelangsungan hidupnya,
cacing gelang ini membutuhkan karbohidrat dan protein dalam jumlah yang relatif
besar (karbohidrat 0,14 gram perekor per hari dan protein 0,035 gram perekor per
Gambar 2. Siklus hidup cacing A lumbricoides
Dikutip dari: http://www.dpd.cdc.gov.
II.3.3. Patogenesis
A lumbricoides menimbulkan gejala penyakit yang disebabkan oleh: a. Larva
Larva bisa menimbulkan kerusakan paru – paru tetapi biasanya hanya kerusakan
kecil dan larva ini dapat menyebabkan Loeffler syndrome dengan gejala sebagai berikut:
- Demam, batuk, Infiltrasi paru – paru, Asthma, Leukosiotis, Eosinofilia, Foto
Thorax menggambarkan seperti gambaran Pneumonia. Ini akibat migrasi larva
di paru – paru.
Gejala klinis ini biasanya hanya ringan saja kecuali bagi orang yang sensitive,
bisa agak berat (Brown, 1982; Beaver dkk, 1984).
b. Cacing Dewasa
Adanya A lumbricoides dalam usus halus dapat menyebabkan kerusakan mukosa usus halus, berupa proses peradangan pada dinding usus, pelebaran dan
kripta dan infiltrasi sel bulat ke lamina propria. Kondisi ini berakibat pada
gangguan absorbs makanan. Sebagian kelainan ini dapat kembali normal bila
cacing dikeluarkan (Onggowaluyo dkk, 1998). Efek langsung yang terukur
akibat kelainan mukosa usus halus adalah meningkatnya nitrogen dalam tinja.
Steatorhoe karena terjadi gangguan absorbsi
lemak, gangguan absorbsi karbohidrat yang diukur dengan xylo test. Akibat
lainnya cacing gelang ini menyebabkan hiperperistaltik sehingga menimbulkan
diare. Hal ini dapat mengakibatkan rasa tidak enak diperut, kolik akut pada
daerah epigastrium dan gangguan selera makan (Brown, 1982; Beaver dkk,
1984).
Cacing mungkin juga masuk ductus choledochus, appendix, menyumbat ampula
vateri dan menyebabkan Pancreatitis haemoragik. Waktu muntah, cacing dewasa
dapat juga keluar melalui mulut dan hidung. Dalam sehari setiap ekor cacing ini
menghisap 0,14 gram karbohidrat dan protein 0,035 gram dalam usus halus
penderita.(Gani; 2004).
II.4. Morfologi, Daur Hidup dan Patogenesis Trichuris trichiura
Trichuris trichiura (whip worm) atau cacing cambuk merupakan salah satu Nematoda usus yang penting pada manusia cacing Trichuris ini termasuk family Trichinellidae, genus Trichiuris. Hospes definitifnya adalah manusia dan habitat normalnya di sekun dan kolom ascendes (Beaver dkk, 1984; Kazura.2000)
II.4.1 Morfologi
Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm.
Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira3/5 dari panjang
seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing
Gambar 3. Cacing dan Telur Trichuris trichiura
Dikutip dari
Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan,
dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar
berwarna kekuningan – kuningan dan bagian dalamnya jernih.
II.4.2 Daur Hidup
Daur hidup cacing ini dimulai dengan tertelannya telur yang mengandung
embrio matur (stadium infektif), kemudian larva menetas di usus halus, larva ini
selanjutnya masuk kedalam villi usus halus dan menetap selama3 sampai 10 hari
kemudian berimigrasi ke lumen sekum. Tiga per empat anterior bagian cacing masuk
(embedded) di mukosa superfisialis dan bagian posterior yang pendek bebas di dalam lumen. Cacing berkembang menjadi dewasa dan mampu bertelur dalam waktu 1
sampai 3 bulan. Rata – rata usia cacing dewasa adalah 1 tahun (Beaver dkk,1984;
Gambar 4. Siklus hidup Trichuris trichiura
Dikutip dari:
II.4.3. Patogenesis
Mekanisme pasti bagaimana T trichiura menimbulkan kelainan pada manusia tidak diketahui, akan tetapi diketahui ada dua proses yang berperan yakni trauma oleh
cacing dan efek toksik. Trauma pada dinding usus terjadi karena cacing ini
membenamkan bagian kepalanya pada dinding sekum dehingga menyebabkan reaksi
anafilaksis lokal yang dimediasi oleh lg E, terlihat infiltrasi lokal eosinofil di
submukosa usus dan dapat terjadi edema pada dinding usus. Pada keadaan ini mukosa
mudah berdarah. Pada infeksi berat dapat dijumpai mencret yang mengandung darah
dan lendir (sindroma disentri klasik/ Trichuris disentry syndrome, massive infantile Trichuriasis), menimbulkan intoksikasi sistemik dan diikuti anemia. Ada juga sindroma disentri yang lebih ringan berupa kolitis dengan gangguan kecerdasan.
Anemia yang ditimbulkan cacing T trichiura, pernah dilaporkan kadar hemoglobin penderita mencapai 3gr/dl akibat infeksi cacing ini (Beaver dkk, 1984; Strickland,
Efek infeksi T trichiura dapat menyebabkan menurunnya insulin like growth factor (IGF-1), suatu hormon pertumbuhan bersifat anabiotik yang berfungsi pada pertumbuhan skeletal dan hematopoesis (Duff dkk,1999). Plasma IGF-1 meningkat
pada masa anak dan mencapai puncaknya pada pubertas. Hormon ini merupakan
marker biokimia yang baik untuk menilai gangguan pertumbuhan dan menilai
gangguan nutrisi pada seorang anak (Clayton dkk, 2003). Dari suatu penelitian
terhadap 14 anak sekolah usia dasar dengan sindroma disentri trikuris. Didapatkan
kadar plasma IGF-1 rendah, kadar serum tumor necrosis factor (TNF) meningkat. Konsentrasi rerata hemoglobin rendah dan sintesis kolagen menurun. Keadaan
tersebut bila berlangsung kronik ini akan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan
pada anak (Duff dkk, 1999). Bila infeksinya ringan biasa asymptomatis (tanpa
gejala). Bila jumlah cacingnya banyak biasanya timbul diare dengan feses yang
berlendir, nyeri perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun.
II.5. Morfologi, Daur Hidup dan Patogenesis Cacing Tambang II. 5. 1 Morfologi
Ancylostoma cenderung lebih besar dan daripada Necator. Cacing dewasa jarang terlihat karena melekat erat pada mucosa usus dengan bagian mulutnya
berkembang dengan baik (gigi pada Ancylostoma dan lempeng pemotong pada Necator) (Gambar 5).
Dikutip dari : http://www.dpd.cdc.gov
Telur- telur yang keluar bersama feses biasanya pada stadium awal
pembelahan, bentuknya lonjong dengan ujung bulat melebar dan berukuran kira-kira
panjang 60µm dan lebar 40µm. Ciri khasnya yaitu adanya ruang yang jernih di antara
embrio dengan kulit yang tipis (Kazura, 2000; Gilman, 2000).
Cacing dewasa berbentuk silindrik. Ukuran cacing betina 9-13 mm dan cacing
jantan 5-10 mm. Bentuk Necator americanus seperti huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale seperti huruf C. Rongga mulut kedua species cacing ini lebar dan terbuka. Pada Necator americanus mulut dilengkapi gigi kitin, sedangkan pada Ancylostoma duodenale dilengkapi dua pasang gigi berbentuk lancip. Kedua cacing ini, yang jantan ujung ekornya mempunyai bursa kopulatriks, sedangkan yang betina ujung
ekornya lurus dan lancip. Kedua spesies cacing dewasa ini secara morfologis
mempunyai perbedaan yang nyata (terutama bentuk tubuh, rongga mulut, dan bursa
kopulatriksnya).
II.5.2 Daur Hidup
Infeksi cacing tambang pada manusia disebabkan oleh Necator americanus dan Anyclostoma duodenale. Manusia merupakan tuan rumah utama infeksi cacing ini. Di Indonesia lebih sering disebabkan oleh Necator americanus. Dari suatu penelitian diperoleh bahwa sepuluh anak-anak, telah terinfeksi sebelum usia 5 tahum
dan 90% terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas infeksi meningkat sampai usia 6-7
tahun (Kazura, 2000; Gilman, 2000).
Cacing tambang dapat menghasilkan telur 10.000 - 20.000 setiap harinya.
Telur cacing tambang dikeluarkan bersama tinja dan berkembang di tanah, didalam
kondisi kelembaban dan temperatur yang optimal telur akan menetas dalam 1-2 hari
dan melepaskan larva rhabditiform, yang kemudian berkembang menjadi larva
filariform. Perkembangan dari telur ke larva filariform berlangsung 5-10 hari. Larva
ini masuk kedalam tubuh manusia dengan menembus kulit dan tertelan bersama
makanan atau air yang terkontaminasi kemudian masuk ke sirkulasi darah melalui
pembuluh darah vena dan sampai alveoli kemudian bermigrasi ke saluran nafas
Migrasi melalui darah dan paru – paru berlangsung selama 1 minggu, sedangkan
siklus dari larva berlangsung selama 7-8 minggu (Kazura, 2000; Gilman, 2000).
Cacing ini dapat bertahan selama 7 tahun atau lebih (Gilman, 2000). Cacing
dewasa umumnya hidup di sepertiga bagian atas usus halus dan melekat pada lapisan
mukosa dan submukosa usus halus dengan rongga mulutnya. Cacing ini
menyebabkan laserasi pada kapiller villi usus halus dan menyebabkan pendarahan
lokal pada usus. Sebagian dari darah akan ditelan oleh cacing dan sebagian keluar
bersama dengan tinja. Tinja penderita dapat mengandung sejumlah darah. Pada
infeksi sedang (angka telur pergram tinja > 5000) kehilangan darah dapat didektesi
dalam tinja rata-rata 8 ml per hari. Sehingga gejala utama infeksi cacing ini adalah
terjadinya anemia (Anemia Hypochrom Microcyter) dan defisiensi besi
(Onggowaluyo dkk, 1998). Gejala klinis yang terjadi tergantung pada derajat infeksi,
makin berat infeksi manifestasi klinis yang terjadi semakin mencolok berupa
anoreksia, mual, muntah, diare, kelelahan, sakit kepala, sesak napas, palpitasi,
dispepsia, nyeri disekitar duodenum, yeyunum dan ileum, juga bisa ditemukan
protein plasma yang rendah (hypoalbuminemia), kelainan absorbsi nitrogen dan
vitamin B12, akan tetapi yang paling tetap menonjol adalah berkurangnya zat besi.
Dapat juga dijumpai kardiomegali, serta retardasi mental dan fisik (Onggowaluyo
Dikutip dari
Gambar 6. Siklus hidup Cacing Tambang
II.5.3. Patogenesis
Telur kedua cacing ini keluar bersama-sama dengan tinja. Di dalam tubuh
manusia, dengan waktu 1-1,5 hari telur telah menetas dan mengeluarkan larva
Rhabditiform yang panjangnya kurang lebih 25 μ, rongga mulut panjang dan sempit,
esofagus memiliki dua bulbus yang terletak, panjang tubuh bagian anterior.
Selanjutnya dalam waktu kira-kira 3 hari, larva rhabditiform berkembang menjadi
larva filariform (bentuk infektif) yang panjangnya kira-kira 500 mikron, rongga mulut
tertutup dan esofagus terletak >4 panjang tubuh bagian anterior. Larva filariform apat
tahan di dalam tanah selama 7-8 minggu. Daur hidup kedua cacing tambang ini mulai
dari larva filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan
berturut-turut menuju jantung, paru-paru, bronkus, trakea, laring, dan terakhir dalam
usus halus sampai menjadi dewasa.
Gejala klinis nekatoriasis dan ankilostomiasis di timbulkan oleh adanya larva
maupun cacing dewasa. Gejala permulaan yang timbul setelah larva menembus kulit
adalah timbulnya rasa gatal-gatal biasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah
Apabila lesi berubah menjadi vesikuler akan terbuka karena garukan. Gejala ruam
papuloeritematosa yang berkembang akan menjadi vesikel. Ini diakibatkan oleh
banyaknya larva filariform yang menembus kulit. Kejadian ini disebut ground itch.
Apabila larva mengadakan migrasi ke paru maka dapat menyebabkan pneumonitis
yang tingkat gejalanya tergantung pada jumlah larva tersebut. Gejala klinik yang di
sebabkan oleh cacing tambang dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, ganguan
gizi, dan kehilangan darah.
II.6. Reaksi imunologi pada infeksi cacing
Respon tubuh terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks oleh
karena cacing lebih besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit. Pertahanan terhadap
banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset
Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi Ig E dan IL5
merangsang perkembangan dan aktivasi eusinofil. IgE yang berikatan dengan
permukaan cacing diikat eusinofil,selanjutnya eusinofil diaktifkan dan mensekresi
granul enzim yang menghancurkan parasit cacing. Eusinofil lebih efektif dibanding
leukosit lain karena eusinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim
proteolitik dan ROI yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing yang masuk
kedalam lumen saluran cerna.pertama dirusak oleh IgG, IgE dan dibantu oleh ADCC.
Sitokin yang dilepas sel T yang dipacu antigen spesifik merangsang proliferasi sel
goblet dan sekresi bahan mukus yang menyelubungi cacing yang dirusak. Hal itu
memungkinkan cacing dapat dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan gerakan
usus yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan diare akibat pencegahan
absorbsi natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan prostaglandin asal sel
mast. Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/basofil
yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus
tempat cacing hidup. Eusinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas
protein kationik. MBP dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui
IgA/IgG dan melepas superoksida oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing, Ig
oleh sel Th2 dan eksesnya diduga untuk memenuhi IgE pada permukaan sel mast
untuk dijadikan refrakter terhadap rangsangan antigen cacing (Baratawijaya, 2004).
II. 7. Status anemia gizi
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah kurang
dari normal yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin
(Depkes RI, 2006). Sedangkan anemia gizi adalah kekurangan kadar hemoglobin
(Hb) dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk
pembentukan Hb tersebut. Di Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan kerena
kekurangan zat besi (Fe) hingga disebut anemia kekurangan zat besi atau anemia
defisiensi besi.
Salah satu faktor penyebab yang memperberat keadaan anemia pada anak usia
sekolah dasar adalah infeksi kecacingan STH. Infeksi cacing yang banyak diderita
anak-anak adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale & Necator americanus). Pada infeksi cacing gelang yang berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi
sehingga memperberat keadaan malnutrisi, efek yang serius terjadi obstruksi usus
(ileus, intussuspection). Cacing cambuk dan cacing tambang menghisap darah
penderita sehingga dapat menimbulkan anemia (Onggowaluyo dkk, 1998).
II. 8. Status gizi berdasarkan hasil dan rekomendasi Semiloka Antropometri di Indonesia.
Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada kelompok
masyarakat. Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal
dengan Antropometri. Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi, antropomteri
disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel lain. Variabel tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Umur
Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan
penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan
berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai
kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti 1 tahun; 1,5 tahun; 2 tahun.
Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya
adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah
dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak diperhitungkan (Depkes,
2006).
b. Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa
jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang
mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun.
Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (Berat Badan menurut Umur)
atau melakukan penilaian dengam melihat perubahan berat badan pada saat
pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan gambaran keadaan
kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya memerlukan satu
pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang dapat
menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu (Depkes
RI, 2006).
c. Tinggi Badan
Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari
keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat
keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir
rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk
Indeks TB/U ( tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB ( Berat Badan
menurut Tinggi Badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang
lambat dan biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada
umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan
dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes RI, 2006).
Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk
menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan status
untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh (Depkes
RI, 2006).
Untuk menentukan klasifikasi gizi digunakan Z-score (Standar Deviasi = SD)
sebagai batas ambang. Kategori sesuai dengan klasifikasi status gizi berdasarkan
indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) yang dibagi menjadi 4
klasifikasi dengan batas ambang sebagai berikut :
a. Batas bawah gizi buruk adalah mean − 3 Standar deviasi (SD).
b. Batas bawah gizi kurang adalah mean − 3 SD dan batas atas mean -2 SD.
c. Batas bawah gizi sedang adalah mean − 2 SD dan batas atas mean -1 SD.
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di SD Negeri di Medan yakni SD Negeri 067775
Kotamadya Medan. Dari bulan Juli 2012 sampai dengan Agustus 2012.
III.2. Populasi dan Sampel Penelitian
Sampel penelitian diambil dari populasi anak–anak SD Negeri 067775.
Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan teknik penarikan sampel secara
purposive. Populasi sasaran adalah semua anak–anak yang dalam pemeriksaan
tinjanya ditemukan telur cacing usus, yang memenuhi kriteria diagnostik yang
dilakukan dengan pemeriksaan tinja (EPG), status gizi, status antropometik dan
pemeriksaan WISC (Wechsler Intelligance Scale for Children). Kriteria Inklusi
1. Murid sekolah dasar kelas IV sampai kelas VI (8-12 tahun).
2. Anak yang ditemukan telur cacing usus pada pemeriksaan tinjanya.
3. Mengikuti semua prosedur pemeriksaan dalam penelitian.
Kriteria Eksklusi
1. Dalam 1 bulan terakhir ada minum obat cacing.
2. Selama waktu observasi ada melakukan pengobatan (medis atau tradisional)
untuk kasus kecacingan.
3. Menderita penyakit kronis.
4. Pindah ke sekolah di luar lokasi penelitian.
III.3. Rancangan Penelitian
Sampel diambil secara total random sampling, dengan pengolahan data yang
digunakan adalah Statistika Deskriptif dan Uji Statistik Nonparametrik. Uji Statistik
Nonparametrik digunakan untuk mengolah data dari dua variabel yang merupakan
III.4. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilaksanakan dengan teknik sampling purposive, dengan cara memeriksa tinja anak dari populasi yang ada. Jumlah populasi sebanyak 150 orang
dan anak yang dijumpai telur cacing pada pemeriksaan tinjanya akan menjadi sampel
penelitian.
III.5. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep penelitian ini
adalah sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
Variabel Perantara
Derajat Infeksi Kecacingan STH
Tingkat Kecerdasan
Kejadian Anemia
III.6 Kerangka Kerja Penelitian
Anak Kelas 4, 5, 6 (150 orang)
Pemeriksaan Tinja cara Kato-Katz
Kriteria inklusi, 62 orang
Negatif, 88 orang
Pemeriksaan Hb (cara cyan)
Pemeriksaan status gizi (Antropometri WHO)
Pemeriksaan tingkat kecerdasan (WISC) Positif, 62 orang
III.8. Metode Analisis Statistik
Metode analisis statistik yang digunakan adalah :
1. Untuk melihat distribusi penderita infeksi kecacingan STH menurut
umur, jenis kelamin, suku, tingkat pendidikan, kejadian anemia dan status
gizi anak digunakan analisis data dengan Statistika Deskriptif.
2. Untuk melihat hubungan antara derajat infeksi cacing yang ditularkan
melalui tanah dengan tingkat kecerdasan, digunakan analisis data dengan
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1 HASIL PENELITIAN IV.1.1 Karakteristik Penelitian
Jumlah siswa SD 067775 kelas IV, V dan VI ada sebanyak 150 orang,
terdiri dari anak laki-laki sebanyak 83 orang (55%) dan anak perempuan sebanyak 67
orang ( 45%). Siswa kelas IV (dua kelas) sebanyak 81 orang (54%), sedangkan siswa
kelas V (1 kelas) sebanyak 33 orang (22%) dan siswa kelas VI (1 kelas) sebanyak 36
orang (24%). Distribusi kelas diberikan pada Tabel 4. Semua anak (100%) bersedia
memeriksakan tinjanya. Enam puluh dua anak (41%) dijumpai pemeriksaan tinja
yang positif terinfeksi cacing, dengan 39 anak (63 %) derajat infeksi ringan dan 23
anak (37 %) derajat infeksi sedang, dan tidak ditemukan anak dengan derajat infeksi
berat pada pemeriksaan ini.
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing pada Siswa SD 067775
Infeksi
n %
+ 62 41
− 88 59
Enam puluh dua anak ini memenuhi kriteria inklusi, dengan demikian
subyek penelitian yang dianalisis berjumlah 62 orang. Analisis selanjutnya akan
menggunakan 62 anak ini menjadi sampel yang diteliti.
IV.1.2 Karakteristik Umur, Jenis Kelamin, Suku dan Kelas
Dari 62 subjek penelitian yang dianalisa, umur termuda penderita adalah 8
tahun dan umur tertua 13 tahun, dengan rata-rata umur 9,68 ± 1,252. Distribusi
8−10 tahun dan rentang umur 11−13 tahun. Distribusi umur berdasarkan kelompok
rentang umur diberikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Distribusi umur siswa SD yang terinfeksi cacing
Karakteristik Umur n %
8−10 tahun 44 71
11−13 tahun 18 29
Berdasarkan jenis kelamin, ternyata sama banyaknya jumlah anak laki-laki
dan perempuan yakni masing-masing sebanyak 31 orang (50 %). Distribusi jenis
kelamin siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Distribusi jenis kelamin siswa SD yang terinfeksi cacing
Karakteristik Jenis Kelamin n %
Laki-laki 31 50
Perempuan 31 50
Berdasarkan suku, distribusi suku yang terbanyak adalah Minangkabau
sebanyak 26 orang (41,9%), diikuti suku Melayu sebanyak 24 orang (38,7 %),
sedangkan suku Jawa sebanyak 8 orang (12,9 %), suku Batak sebanyak 3 orang (4,8
%) dan suku Nias sebanyak 1 orang (1,6 %). Distribusi suku siswa SD yang
terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Distribusi suku siswa SD yang terinfeksi cacing
Karakteristik Suku
n %
Batak 3 4,8
Jawa 8 12,9
Melayu 24 38,7
Nias 1 1,6
Berdasarkan kelas siswa, distribusi terbanyak pada siswa kelas IV sebanyak
30 orang (48,4%), siswa kelas V sebanyak 14 orang (22,6%) dan siswa kelas VI
sebanyak 18 orang (29%). Distribusi kelas siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan
pada Tabel 8.
Tabel 8. Distribusi kelas siswa SD yang terinfeksi cacing
Karakteristik Kelas
n %
Kelas IV 30 48,4
Kelas V 14 22,6
Kelas VI 18 29
IV.1.3 Distribusi Derajat Infeksi Siswa SD yang Terinfeksi Cacing
Berdasarkan derajat infeksi yang diderita siswa, distribusi terbanyak adalah
derajat infeksi ringan sebanyak 39 orang (62,9%) , derajat infeksi sedang sebanyak
23 orang (37,1%) dan tidak ada derajat infeksi berat. Distribusi derajat infeksi siswa
SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Distribusi derajat infeksi siswa SD yang terinfeksi cacing
Distribusi Derajat Infeksi
n %
Ringan 39 62,9
Sedang 23 37,1
Berat 0 0
IV.1.4 Distribusi Tingkat Kecerdasan Siswa SD yang Terinfeksi Cacing
dan high average sebanyak 3 orang (4,8%). Distribusi tingkat kecerdasan siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Distribusi tingkat kecerdasan siswa SD yang terinfeksi cacing
Tingkat Kecerdasan n %
Mental defective 8 12,9
Borderline 16 25,8
Low Average 18 29
Average 17 27,4
High Average 3 4,8
Superior 0 0
Very Superior 0 0
IV.1.5 Distribusi Kejadian Anemia Siswa SD yang Terinfeksi Cacing
Berdasarkan kejadian anemia siswa, distribusi terbanyak adalah tidak anemia
sebanyak 32 orang (52%) dan anak yang anemia sebanyak 30 orang (48%) Distribusi
kejadian anemia siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Distribusi Kejadian Anemia Siswa SD yang Terinfeksi Cacing
Kejadian Anemia n %
Anemia 30 48
Tidak Anemia 32 52
IV.1.6 Distribusi Status Gizi Siswa SD yang Terinfeksi Cacing
Berdasarkan semiloka antropometri di Indonesia ada beberapa cara untuk
penentuan status gizi antara lain berat badan terhadap umur (BB/U), tinggi badan
terhadap umur (TB/U), berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB), lingkar lengan
Dalam penelitian ini penentuan status gizi dilakukan dengan menggunakan
berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Tidak dijumpai anak dengan status
gizi buruk pada penelitian ini.
Berdasarkan status gizi siswa, distribusi terbanyak adalah status gizi baik
sebanyak 48 orang (77,4%), diikuti status gizi sedang 12 orang (19,8 %) dan status
gizi kurang sebanyak 2 orang (3,2%). Distribusi status gizi siswa SD yang terinfeksi
cacing diberikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Distribusi Status Gizi Anak
IV. I. 7. Distribusi Jenis Infeksi Cacing Siswa SD yang Terinfeksi Cacing
Berdasarkan jenis infeksi cacing, distribusi terbanyak adalah infeksi cacing
A lumbricoides sebanyak 46 orang (74,19%) dan T trichiura 16 orang (25,81 %). Distribusi jenis infeksi cacing siswa SD yang terinfeksi cacing diberikan pada Tabel
13.
Tabel 13. Distribusi Jenis Infeksi Cacing Siswa SD yang Terinfeksi Cacing Jenis Infeksi Cacing
n %
A lumbricoides 46 74,19
T trichiura 16 25,81
Dalam penelitian ini tidak ditemukan siswa yang terinfeksi cacing tambang.
Mungkin karena letak geografis tempat penelitian ini di perkotaan. Sebab cacing ini
banyak terdapat di tanah di perkebunan kopi, teh dan karet, serta daerah
pekerja tambang yang menderita penyakit ini sehingga disebut dengan cacing
tambang.
IV.1.8. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Kecerdasan
Hubungan antara status gizi kurang dengan tingkat kecerdasan sebagai
berikut : distribusi status gizi kurang hanya pada mental deffective dan borderline masing-masing sebanyak 1 orang (1,6%). Status gizi sedang 2 orang (3,2%)
mempunyai tingkat kecerdasan mental deffective, 4 orang (6,5%) borderline , sebanyak 2 orang (3,2%) low average , 4 orang (6,5%) average dan tidak ada high
average. Untuk status gizi baik sebanyak 5 orang (8,1%) mempunyai tingkat
kecerdasan mental deffective, 11 orang (17,7%) borderline, sebanyak 16 orang (25,8%) low average, 13 orang (21,0%) average dan3 orang (4,8%) high average.
Dengan menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov, diperoleh bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara status gizi dengan tingkat
kecerdasan (p = 0,001).
Hubungan antara status gizi dengan tingkat kecerdasan diberikan pada
Tabel 14.
Tabel 14. Hubungan status gizi dengan tingkat kecerdasan
Status Keterangan. * Uji Kolmogorov-Smirnov
IV.1.9 Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Kejadian Anemia
Hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan kejadian anemia
sebagai berikut : untuk anemia, anak yang menderita derajat infeksi ringan ada
(37,1%). Untuk tidak anemia, anak yang menderita derajat infeksi ringan ada
sebanyak 32 orang (51,6%) dan tidak ada anak yang menderita derajat infeksi
sedang. Tidak ada anak yang menderita infeksi berat untuk kejadian anemia dan
kejadian tidak anemia.
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara derajat
infeksi kecacingan STH yang diderita seorang anak dengan kejadian anemia (p = 0,531).
Hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan kejadian anemia
diberikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Hubungan derajat infeksi kecacingan STH dengan kejadian anemia
IV. 1.10 Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Status Gizi
Hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan status gizi kurang
sebagai berikut : untuk status gizi kurang, tidak ada anak yang menderita derajat
infeksi ringan, sedangkan derajat infeksi sedang ada sebanyak 2 orang (3,2%). Untuk
status gizi sedang sebanyak 7 orang (11,3%) yang menderita derajat infeksi ringan,
dan derajat infeksi sedang ada sebanyak 5 orang (8,1%). Untuk status gizi baik ada
sebanyak 32 orang (51,6%) yang menderita derajat infeksi ringan, dan derajat infeksi
sedang ada sebanyak 16 orang (25,8%). Tidak ada anak yang menderita infeksi berat
untuk semua status gizi.
Terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara derajat infeksi
Hubungan antara derajat infeksi kecacingan STH dengan status gizi
diberikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Hubungan derajat infeksi kecacingan STH dengan status gizi
Derajat Infeksi
Keterangan. * Uji Kolmogorov-Smirnov
IV.1.11 Hubungan Kejadian Anemia dengan Tingkat Kecerdasan
Hubungan antara kejadian anemia dengan tingkat kecerdasan sebagai
berikut : distribusi anemia terbanyak borderline, sebanyak 16 orang (25,8%), kemudian mental deffective sebanyak 8 orang (12,9%), sedangkan pada low average dan average sama banyaknya, masing-masing sebanyak 3 orang (4,8%). Tidak ada anak yang mempunyai tingkat kecerdasan high average menderita anemia. Untuk kejadian tidak anemia average dan high average hampir sama banyaknya. Sebanyak 15 orang (24,2%) low average, 14 orang (22,6%) average dan 3 orang (4,8%) high average. Anak yang tidak anemia, tidak ada yang mempunyai tingkat kecerdasan mental deffective dan borderline.
Terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara kejadian
anemia dengan tingkat kecerdasan (p = 0,001).
Hubungan antara kejadian anemia dengan tingkat kecerdasan diberikan
Tabel 17. Hubungan kejadian anemia dengan tingkat kecerdasan
Keterangan. * Uji Kolmogorov-Smirnov
IV.1.12 Hubungan Derajat Infeksi Kecacingan STH dengan Tingkat Kecerdasan
Hubungan antara derajat infeksi ringan dengan tingkat kecerdasan sebagai
berikut : distribusi derajat infeksi ringan tidak ada yang mempunyai tingkat
kecerdasan mental deffective, 1 orang (1,6%) borderline, 18 orang (29,0%) low average, 17 orang (27,4%) average, dan 3 orang (4,8%) high average. Untuk derajat infeksi sedang tingkat kecerdasan anak hanya mental deffective sebanyak 8 orang (12,9%) dan borderline sebanyak 15 orang (24,2%). Tidak ada anak yang menderita infeksi berat untuk semua tingkat kecerdasan.
Terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara derajat infeksi
kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan (p = 0,001).
Hubungan derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat kecerdasan
Tabel 18. Hubungan derajat infeksi kecacingan STH dengan tingkat
Keterangan. * Uji Kolmogorov-Smirnov IV.1.13. Hasil Pemeriksaan WISC
Hasil pemeriksaan variabel WISC siswa SD yang terinfeksi cacing sebagai
berikut : information derajat infeksi ringan mempunyai rerata 9,62 dan SD 3,258, dan untuk derajat infeksi sedang mempunyai rerata 6,09 dan SD 2,214. Comprehension derajat infeksi ringan mempunyai rerata 9,00 dan SD 2,695, dan untuk derajat infeksi
sedang mempunyai rerata 4,78 dan SD 2,110. Digit span derajat infeksi ringan mempunyai rerata 8,72 dan SD 2,176, dan untuk derajat infeksi sedang mempunyai
rerata 6,61 dan SD 2,148. Picture completion derajat infeksi ringan mempunyai rerata 9,10 dan SD 2,210, dan untuk derajat infeksi sedang mempunyai rerata 6,57 dan SD
2,233. Block design derajat infeksi ringan mempunyai rerata 9,21 dan SD 3,861, dan untuk derajat infeksi sedang mempunyai rerata 6,43 dan SD 1,973. Hasil pemeriksaan
variabel WISC berdasarkan derajat infeksi diberikan pada Tabel 19.
Terdapat perbedaan yang bermakna untuk hubungan antara semua variabel